You are on page 1of 6

Nama : Nur Zumala Ningrum

NIM : 165020501111059

Matkul : SPEI

Pandangan Ekonomi Abu Ubaid

Dari berbagai hasil karya dan pemikiran yang dituliskan oleh Abu Ubaid, kekuatan utama
pemikiran Abu Ubaid terlihat pada mahakarya yang terangkum dalam sebuah kitab berjudul
al-Amwal. Kitab ini membahas mengenai keuangan publik dan kebijakan fiskal secara
komprehensif yang memuat mengenai hak dan kewajiban negara, pengumpulan dan
penyaluran zakat, khums, kharaj, dan fai sebagai sumber penerima negara lainnya.

Secara umum kitab al-Amwal menjelaskan mengenai praktek-praktek pengelolaan keuangan


suatu negara. Dalam buku tersebut Abu Ubaid menyebutkan bahwa sumber penerimaan
keuangan publik dapat terdiri dari ghanimah, fa'i dan zakat/shadaqoh. Sedangkan terkait
dengan pendistribusian dari penerimaan tersebut dilakukan pembatasan dan memperlakukan
sama terhadap bagian dari setiap manusia yang berhak.

Sedangkan penerimaan negara dengan kategori serupa dengan fa'i, zakat juga meru-pakan
bagian dari penerimaan negara hanya saja memiliki beberapa perbedaan mendasar
dari fa'i khususnya terkait 3 hal yaitu diperoleh dari kaum muslim, hanya diperuntukkan bagi
asnaf (8 golongan) dan dapat dibayarkan oleh si pembayar zakat.

Jika isi kitab al-Amwal dievaluasi dari sisi filosofi hukum, akan tampak bahwa Abu Ubaid
menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Bagi Abu Ubaid, pengimplementasian dari
prinsip ini akan membawa kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya, Abu
Ubaid memiliki pendekatan yang berimbang terhadap hak-hak individu, publik, dan negara,
jika kepentingan individu berbenturan dengan kepentingan publik, ia akan berpihak kepada
kepentingan publik (Karim, 2012:272).

Abu Ubaid menyatakan bahwa zakat tabungan dapat diberikan kepada negara ataupun
langsung kepada para penerimanya, sedangkan zakat komoditas harus diberikan kepada
pemerintah dan jika tidak, maka kewajiban agama diasumsikan tidak ditunaikan. Abu Ubaid
juga menekankan bahwa perbendaharaan negara tidak boleh disalahgunakan atau
dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan pribadinya. Dengan kata lain,
perbendaharaan negara harus digunakan untuk kepentingan publik.

Ketika membahas tentang tarif atau persentasi untuk kharaj dan jizyah, Abu Ubaid
menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial penduduk non-
Muslim yang dalam terminologi keuangan modern disebut sebagai kemampuan membayar
(capacity to pay) dengan kepentingan dari golongan Muslim yang berhak menerimanya.
Kaum Muslimin dilarang menarik pajak terhadap tanah penduduk non-Muslim (ahl al-
dzimmah) melebihi dari apa yang diperbolehkan dalam perjanjian perdamaian.

Penerapan Pemikiran Abu Ubaid Untuk Saat Ini

Ketika pemerintahan kita mengatakan bahwa negara sedang kekurangan dana, mengapa
pemerintah tidak mencetak uang sebanyak mungkin? Setelah menelaah, ternyata tentu tidak
semudah itu. Inflasi akan menjadi alasan utama masalah ini. Lalu bagaimana sebenarnya
mekanisme penerbitan uang? Kita tahu bahwa penerbit uang dilakukan oleh Bank Indonesia
bukan pemerintah, lalu bagaimana mengontrolnya?

Kisah penerbitan uang memiliki sejarahnya sendiri. Sebelum sistem uang sebagai alat tukar
menukar ini diberlakukan, kita mengenal sistem barter. Hanya pertukaran antara barang
dengan barang. Asal saling menguntungkan, transaksi bisa dilakukan. Tak jarang nilai
pertukaran yang terjadi sebenarnya tidak fair namun tetap dilaksanakan karena urgensi
kebutuhan yang harus segera terpenuhi.

Setelah peradaban semakin maju, manusia mulai mengenal emas dan memanfaatkannya
sebagai standar kekayaan. Emas juga kemudian menjadi alat tukar karena nilainya yang
diakui secara global. Emas disini berupa perhiasan atau produk-produk lainnya hasil buatan
dari emas. Semakin lama orang mulai menyadari perhiasan semacam ini tidak praktis
digunakan dalam transaksi. Dari sini orang mulai berinisiatif membuat uang. Awalnya uang
koin yang juga terbuat dari emas dan nilai nya bergantung pada nilai emas itu sendiri.
Contohnya di Arab yang mengenal uang dinar. Kemudian untuk membentuk nilai uang dalam
ukuran yang lebih kecil digunakanlah koin yang terbuat dari logam lain, semisal logam perak
yang paling banyak digunakan.

Seiring kemajuan zaman, manusia mulai memikirkan alat tukar yang lebih praktis. Tidak
perlu harus dari emas namun nilainya tetap berpatokan pada emas. Muncullah uang kertas
dan uang koin yang tidak terbuat dari emas atau perak. Namun uang tersebut dicetak dengan
berpatokan pada nilai emas atau perak. Jadi untuk menerbitkan sejumlah uang maka penerbit
uang harus mengkompensasikannya dengan emas. Sehingga nilai uang saat itu masih
ditopang oleh emas. Satu catatan yang menarik bahwa selama dunia menggunakan emas dan
perak sebagai mata uang praktis tidak terjadi masalah moneter utamanya terkait inflasi.

Pada permulaan abad 20, ekonomi dunia semakin bertumbuh. Setiap negara memiliki mata
uangnya masing-masing namun semuanya hampir seragam berpatokan pada emas. Amerika
Serikat yang memiliki industri paling mapan sekaligus pemenang Perang Dunia menjadi
acuan penetapan nilai tukar mata uang negara-negara di dunia.

Pada tahun 1944, ditahun dimana sistem Bretton Woods mulai disepakati, tercapai konsensus
penetapan 35 dolar Amerika Serikat setara dengan satu ounce emas. Sehingga jika
pemerintah ingin mencetak 35 dolar maka, pemerintah harus menyerahkan 1 troy ounceemas.
Nilai mata uang sebenarnya cukup stabil pada era ini sampai pada tahun 1971 ketika Amerika
mengalami masalah finansial yang serius. Saat itu, Amerika mengalami kekurangan uang
karena harus menghadapi perang dingin, membiayai perang di Vietnam dan mendukung
sekutunya Israel di Timur Tengah. Di tahun itu, harga resmi emas masih 38 dolar per ons.

Karena membutuhkan uang dalam jumlah besar, Presiden Nixon pun mengambil jalan pintas
dengan keluar dari sistem Bretton Woods. Amerika Serikat pun tak lagi mematok dolarnya
dengan emas. Kebijakan yang juga akhirnya diikuti oleh negara-negara lain di dunia.
Sebelumnya kita juga mematok rupiah dengan emas. Jadi jika ingin menerbitkan sejumlah
uang maka pemerintah harus menyerahkan emas dengan nilai yang setara kepada Bank
Indonesia.

Namun untuk saat ini, negara kita juga tak lagi menjalankan sistem Bretton Woods dalam
penerbitan uangnya. Jadi, nilai rupiah kini tak lagi ditopang oleh emas. Jika ingin menambah
peredaran uang dengan menerbitkan uang baru, maka pemerintah harus menerbitkan surat
utang yang akan dijual kepada Bank Indonesia. BI akan membeli surat utang tersebut dengan
uang yang baru ia terbitkan. Hanya saja surat utang tersebut tidak berisi kewajiban bagi
pemerintah untuk memberikan pengembalian uang kepada BI. Surat utang itu hanya berisi
komitmen bahwa pemerintah dapat menjaga stabilitas ekonomi sebagai akibat dari penerbitan
uang tersebut.

Begitulah kira-kira mekanisme sederhana penerbitan uang baru di Indonesia dan negara-
negara lain di dunia. Jika kita kaitkan dengan pemikiran Abu Ubaid tentang masalah uang,
dimana ia merujuk pada kegunaan umum dan relatif konstannya nilai emas dan perak
dibanding dengan komoditas yang lain. Jika kedua benda tersebut digunakan sebagian
komoditas maka nilainya akan dapat berubah-ubah pula karena dalam hal tersebut keduanya
akan memainkan peran yang berbeda sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar
penilaian dari barang lainnya. Sangat disayangkan karena untuk saat ini indonesia tidak
menggunakan pemikiran tersebut. Penulis menganggap bahwa ini menunjukkan betapa masih
rapuhnya keadaan ini, terlebih lagi karena negara kita masih harus mengikuti kebijakan dari
Amerika terkait masalah ini.

Jika membahas masalah fungsi uang, Abu Ubaid mengatakan bahwa uang memiliki dua
fungsi uang --yang tidak mempunyai nilai intrinsik-- sebagai standar dari nilai pertukaran
(standard of exchange value) dan sebagai media pertukaran (medium of exchange). Begitu
pula di Indonesia, mengakui bahwa uang memiliki fungsi sebagai perantara untuk pertukaran
barang dengan barang, juga untuk menghindarkan perdagangan dengan cara barter. Namun di
Indonesia, lebih rincinya uang yang dibedakan dalam dua kategori fungsi, yaitu fungsi asli
dan fungsi turunan.

Harits bin Asad Al-Muhasibi (w. 242 H/857 M)

Harits bin Asad Al-Muhasibi dengan nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdullah al-Harits bin
Asad al-Muhasibi adalah seorang sufi besar dalam sejarah tasawuf[23].al-Muhasibi lahir di
Basrah pada tahun 781 M dan menjadi guru dari seorang sufi terkenal yaitu Junaydi al-
Baghdadi dan Sari al-Saqti, ia banyak menulis buku tentang theology dan tasawwuf[24]. Ia
diberi gelar al-Muhasibi karena suka melangsungkan introspeksi, salah satu karangan dari
Harits bin As’ad al-Muhasibi adalah kitab al-Ri’ayah li Huququ al-Insan, ini adalah salah satu
karangan yang terindah tentang kehidupan batin seorang muslim[25]. Harits bin Asad Al-
Muhasibi meningga di Baghdad tahun 857 M pada umur 76 tahun.
Walaupun ia adalah seorang sufi tapi sumbangsih dalam ilmu ekonomi tidak dielakan, ada
sebuah artikel yang baru-baru ini diterbitkan yaitu ‘Al-Makasib’, yang mana al-Muhasisbi
menulis tentang cara-cara memperoleh pendapatan untuk suatu mata pencaharian, Dia
berkata, “Seseorang yang kegiatannya dalam mencari suatu mata pencarian adalah untuk
membangun hak, dan berhenti daripada melanggar batas yang ditentukan oleh Allah SWT
dalam menghormati kesolehan perdagangan dan industri dan kegiatan lainnya adalah
seseorang yang mentaati Allah SWT dan sesuai mendapat penghargaan sebagai orang yang
berpengetahuan”[26]. Maksud dari perkataan al-Muhasibi yaitu apabila ada seorang muslim
yang dalam mencari nafkahnya (kasab/bisnis) untuk memenuhi hak (maksud hak disini
adalah hak dirinya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya) dan tidak melanggar dari aturan-
aturan bisnis yang telah ditetapkan oleh Allah SWT (contoh, tidak melakukannya Riba,
Gharar, Maisyir) maka orang tersebut termasuk golongan orang yang mentaati Allah SWT
(orang yang beriman) sehingga pantas mendapatkan gelar orang yang berpengetahuan
(‘alim).

Al-Muhasibi selanjutnya melaporkan bagaiman para sahabat Nabi Muhammad Saw dalam
mengamalkan uraian diatas bahwasanya suatu penarikan diri dari kegiatan ekonomi
sebagaimana dianjurakan oleh orang, tidak ada kaitannya dengan ajaran islam yang benar,
maksudnya orang-orang yang hanya berdiam diri tanpa mencari mata pencaharian (kasab)
bukan termasuk dari ajaran islam (tidak ada dalam Al-Qur’an, sunnah, ijma dan qiyas).

Al-Muhasibi juga mengecam para pedagang pada waktu itu yang selalu melanggar peraturan
yang telah ditetapkan, dan selalu melakukan segala hal untuk mendapatkan keuntungan,
sehingga al-Muhasibi menyatakan dengan tegas “Seperti mereka tidak percaya pada hari
pengadilan dan terlibat dalam kegiatan yang melanggar hukum”.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.kompasiana.com/irvanmaulana/5a307d12bde57570ae6c7c32/abu-ubaid-dan-al-
amwal-legenda-dan-mahakarya-untuk-ekonomi-dunia

You might also like