You are on page 1of 122

PENGARUH SUHU, JENIS DAN PERBANDINGAN PELARUT

TERHADAP KELARUTAN BIOPLASTIK DARI PHA


(Poly-β-Hydroxyalkanoates) YANG DIHASILKAN Ralstonia eutropha PADA
SUBSTRAT HIDROLISAT PATI SAGU

Oleh
DOSSI RAHDUMI ANATIA
F34102044

2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Dossi Rahdumi Anatia. F34102044. Pengaruh Suhu, Jenis dan Perbandingan
Pelarut Terhadap Kelarutan Bioplastik dari PHA (Poly-β-Hydroxyalkanoates)
Yang Dihasilkan Ralstonia Eutropha Pada Substrat Hidrolisat Pati Sagu Di bawah
bimbingan Muslich dan Khaswar Syamsu. 2007.

RINGKASAN

Plastik banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan industri, karena


mempunyai keunggulan-keunggulan seperti kuat, ringan dan stabil. Kebanyakan
plastik yang dipakai adalah plastik sintetis yang berasal dari minyak bumi, yang
sifatnya tidak terbarukan. Sampah plastik ini sulit terombak oleh mikroorganisme
dalam lingkungan sehingga menyebabkan masalah lingkungan yang sangat serius.
Pemecahan masalah sampah plastik dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan
seperti daur ulang, teknologi pengolahan sampah plastik dan pengembangan
bahan plastik baru dari bahan baku yang terbarukan yang dapat hancur dan terurai
dalam lingkungan yang dikenal dengan sebutan plastik biodegradabel.
PHA (Poly-β-hydroksialkanoates) merupakan salah satu poliester
degradabel yang paling menjanjikan. PHA dapat dihasilkan melalui proses
kultivasi menggunakan bakteri Ralstonia Eutropha. PHA memiliki kekuatan dan
kekerasan yang baik serta dapat divariasikan untuk berbagai penggunaan dengan
mengubah komposisinya. Penggunaan hidrolisat pati sagu dalam produksi
bertujuan untuk mereduksi biaya bahan baku produksi PHA dan memberikan nilai
tambah kepada sagu Indonesia (51.3 % dari luas areal sagu didunia).
PHA dari hidrolisat pati sagu dapat dibuat bioplastik dengan teknik
solution casting menggunakan pelarut. Diperlukan pelarut yang sesuai agar PHA
dapat berikatan baik dengan pemlastis dalam pembuatan film bioplastik.
Perlakuan yang diberikan dalam pelarutan film bioplastik ini adalah perlakuan
jenis pelarut, (kloroform, asam asetat glasial dan dimetilformamida),
perbandingan PHA-pelarut (1:10, 1:20, dan 1:30) dan suhu pelarutan (suhu kamar
(25 0C) dan suhu 500 C). Analisa kinerja pelarut bioplastik dan pengamatan fisik
dilakukan untuk mengetahui kondisi pelarutan yang sesuai. Analisa kinerja pelarut
bioplastik dilakukan melalui pengukuran sifat fisik larutan yaitu nilai optical
density (absorbansi), kekeruhan, viskositas, dan indeks swelling larutan
Nilai absorbansi terendah didapatkan pada pelarut kloroform dengan
perbandingan PHA-pelarut 1:30 pada suhu 50o C yaitu sebesar 0.375 untuk
ulangan pertama dan 0.25 untuk ulangan yang kedua. Semakin rendah nilai
absorbansi maka semakin baik kelarutan PHA didalam pelarut tersebut karena
absorbansi menunjukkan pola dispersi dan ukuran partikel PHA yang terlarut di-
dalam larutan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis pelarut,
perbandingan PHA-pelarut, suhu, blok, dan interaksi antara jenis pelarut dengan
suhu berpengaruh nyata terhadap nilai absorbansi larutan PHA.
Hasil pengukuran kekeruhan menunjukkan nilai kekeruhan yang terbesar
terdapat pada perlakuan pelarut asam asetat dengan suhu 50 0 C dan perbandingan
PHA-pelarut 1:10 yang bernilai 490 FTU untuk ulangan pertama dan 552 FTU
untuk ulangan kedua, sedangkan nilai kekeruhan yang terkecil adalah pada
perlakuan pelarut kloroform dengan suhu kamar dan perbandingan PHA-pelarut
1:30 yaitu sebesar 38 FTUpada ulangan pertama sedangkan untuk ulangan kedua
bernilai 39 FTU. Analisis keragaman menunjukkan bahwa blok, perlakuan jenis
pelarut, perlakuan suhu, perlakuan perbandingan PHA-pelarut, interaksi antara
jenis pelarut dengan suhu serta interaksi antara suhu dengan perbandingan PHA-
pelarut memberikan pengaruh nyata terhadap nilai kekeruhan.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa blok, perlakuan jenis pelarut,
perlakuan suhu, perlakuan perbandingan PHA-pelarut, interaksi antara jenis
pelarut dengan suhu serta interaksi antara jenis pelarut dengan perbandingan
PHA-pelarut memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan nilai viskositas.
Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa peningkatan nilai viskositas terkecil
adalah pada perlakuan pelarut dimetilformamida dengan perbandingan PHA-
pelarut 1:30 pada suhu ruang yaitu 0.06 Cp (ulangan pertama) dan 0.09 Cp
(ulangan kedua), sedangkan peningkatan nilai viskositas terbesar adalah pada
perlakuan pelarut kloroform dengan perbandingan PHA-pelarut 1:10 pada suhu
500C sebesar 0.384 Cp (ulangan pertama) dan 0.537 Cp (ulangan kedua).
Peningkatan nilai viskositas disebabkan oleh perubahan ukuran dan bentuk
polimer terlarut di dalam pelarut.
Ratio/indeks swelling merupakan rasio dari volume pengembangan
polimer menjadi semacam gel dalam keseimbangan dengan pelarut murni
(Gordon, 1963). Nilai swelling index larutan PHA pada perlakuan pelarut
kloroform dengan suhu 50 0C dan perbandingan PHA-pelarut 1:30 menunjukkan
nilai swelling index yang terbesar jika dibandingkan dengan semua perlakuan
yang diujikan yaitu sebesar 115.197 (ulangan pertama) dan 132.28 (ulangan
kedua) sedangkan nilai swelling index yang terkecil adalah pada perlakuan pelarut
dimetilformamida dengan perbandingan PHA-pelarut 1:10 pada suhu kamar. Hasil
analisis ragam menunjukkan bahwa blok, perlakuan jenis pelarut, perlakuan suhu,
perlakuan perbandingan PHA-pelarut dan interaksi perlakuan jenis pelarut dengan
suhu berpengaruh nyata nilai swelling index.
Berdasarkan hasil pengamatan fisik yang dilakukan, dari semua sampel
yang diujikan, hanya sampel yang menggunakan pelarut kloroform yang dapat
membentuk lembaran setelah dilakukan proses pelarutan. Blanko (PHB
komersial) membentuk lembaran hanya pada perlakuan pelarut kloroform pada
suhu 50 0C sedangkan pelarutan pada suhu ruang tidak menghasilkan lembaran.
DOSSI RAHDUMI ANATIA. F34102044. The Effect of Temperature Solvent
Types and Solvent Ratio on Dissolve of Bioplastic from PHA (Poly-β-
hydroksialkanoates ) Produced by Ralstonia Eutropha Using Hydrolyzed Sago
Starch. Supervised by Muslich and Khaswar Syamsu. 2007.

SUMMARY

The reasons of using conventional plastics or often called plastics in many


purposes in houseware and heavily entrenched in many industries are of its tough,
light in weight and have more stable chemical structure. Most of conventional
plastics are synthetic polymer is made from mineral-oil. These subtances made
from unrenewable things that hard to be broken down into other substances by
activities of naturally occuring microorganism. In fact, the conventional plastics
has taken seriously environmental problem. The solutions are recycling,
conducting technology of plastic degradation and the interesting solutions found
in the developing biopolymers made from biorenewable resources, degraded in
natural environments, and these called biodegradable polymers.
PHA (Poly-β-hydroksialkanoate) is one of degradable polyesters that
prominent to develop in the future. Substance of PHA can be produced through
cultivation process of Ralstonia Eutropha bacteria. Substance of PHA has
characteristics : high in strength, hard and can be used in several directions by
adjusting on its composition. The objective of this research using material
hidrolyzed sago starch was to reduce the cost of production PHA substance, all at
once giving added value for Indonesian sago production that reachs 51.2% of
production worlwide.
In the case of PHA produced using hidrolysed sago starch, it can be made
bioplastic using solution techniques, with the help of the kind of solvent. Of
course, this procedure needs the right kind of solvent, including its concentration,
to ensure PHA substances associated well to plasticizer to perform bioplastic film.
The treatment on dissociate bioplastic film in this research are three types of
solvent (chloroform, acetic acid glacial and dimetiformamide), three kind of ratio
of concentration PHA-solvent (1:10, 1:20, 1:30) and two degree of celcius
temperature (25oC (room temperature) and 50o C). This research then was
completed with several analyse such analyse of performance of dissociation (i.e.
absorbans test, turbidity test, viscosity test and swelling index test) and physical
observation.
The optimum value of abosorbans was obtained by chloroform at ratio of
concentration of PHA-chloroform 1:30 run at temperature of 50 oC, valued as
0.375 on first repeating treatment, and as 0.25 on the second repeating treatment.
This parameter values show that dissolved PHA in the solvent better with
decrease in the values, because absorbans values describe model of dispersion and
depend on the size of particle of PHA dissolved in the solvent. ANAVA Test
showed that solvent, ratio of concentration PHA-solvent, temperature, block and
the interaction between solvent and temperature, all had significant effect in the
value of absorbans of PHA dilution.
Turbidity test showed that the highest value obtained on the combination
treatment of acetic acid on concentration of 1:10, run at temperature of 50 oC, that
valued as 490 FTU on first repeating treatment, and valued as 552 FTU on the
second repeating treatment. While the lowest value was on combination treatment
of chloroform at ratio of concentration PHA-chloroform 1:30, run at room
temperature, valued as 38 FTU on the first repeating treatment and valued as 39
FTU on the second repeating treatment. ANAVA test showed that block, solvent,
temperature, ratio of concentration PHA-solvent, interaction between types of
solvent and temperature and interaction between solvent and ratio of
concentration PHA-solvent, all had significant effect in the value of Turbidity.
ANAVA test showed that block, types of solvent, temperature, ratio of
concentration PHA-solvent, interaction between types of solvent and temperature
and interaction between solvent and ratio of concentration PHA-solvent, all had
significant effect in the increment of the value of viscosity. The lowest increment
of value had obtained on the combination treatment of dimetilformamide on ratio
of concentration PHA-solvent 1:30, run at room temperature, that valued as
0.06Cp (first repeating treatment) and as 0.09 Cp (second repeating treatment),
while the highest increment of value had obtained on the combination treatment of
chloroform on ratio of concentration PHA-solvent 1:10, run at temperature of
50oC, valued as 0.384 Cp (first repeating treatment) and as 0.537 Cp (on second
repeating treatment). The changing size and formation of polymer dissolved in the
solvent are considered as increased viscosity level.
The ratio/swelling index is the ratio of swelling volume of polymer
become such kind of gelatin, balanced with pure-solvent (Gordon, 1963). The
Swelling index of PHA dilution on the combination treatment of chloroform on
ratio of concentration PHA-chloroform 1:30, run at temperature of 50o C as the
optimum value compared with another combination treatment, that valued as
115.197 (on first repeating treatment) and as 132.28 (second repeating treatment).
The lowest value obtained on the combination treatment of dimetilformamide on
ratio of concentration PHA-dimetilformamide 1:10, run at room temperature.
ANAVA test showed that block, solvent, temperature, ratio of concentration
PHA-solvent and interaction between solvent and temperature, all had significant
effect in the value of swellingindex.
Based on physical observation on tested sample, the result refering to
chloroform is considered to perform layer again after treatment. Blanko sample
(commercial pure PHA) perform the layer only on the treatment using chloroform
that conduct at temperature of 50° C, while other combination treatment
conducted at room temperature was failed to produce thin film.
BIODATA RINGKAS

Dossi Rahdumi Anatia dilahirkan di Bojonegoro, 17 Juli


1984. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara,
putri dari pasangan Soegianto dan Murdji’ah. Penulis
menyelesaikan sekolah dasar di SD Negeri Sukorejo I,
Bojonegoro pada tahun 1996 dan melanjutkan ke SLTP Negeri
I Bojonegoro pada tahun yang sama. Tahun 1999, penulis
menyelesaikan masa belajarnya di SLTP dan melanjutkan ke SMU Negeri I
Bojonegoro (1999-2002). Pada tahun 2002, penulis diterima di Departemen
Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor melalui jalur USMI.
Selama kuliah, penulis aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan
antara lain menjadi bendahara Departemen PSDM BEM TPB (2002-2003), staff
Departemen Kewirausahaan HIMALOGIN (Himpunan Mahasiswa Teknologi
Industri) pada masa kepengurusan 2003-2004, staff Biro Kesekretariatan FBI-F
(Forum Bina Islami Fateta) 2003-2004, bendahara internal Paguyuban Angling
Dharma (Perhimpunan Mahasiswa dan Masyarakat Bojonegoro Bogor)
kepengurusan 2003-2004, bendahara Dewan Permusyawaratan Mahasiswa
Fakultas Teknologi Pertanian (DPM-F) pada masa kepengurusan 2004-2005 dan
Badan Khusus HIMALOGIN 2004-2005 . Selain itu, penulis aktif terlibat dalam
berbagai kegiatan ilmiah dan penelitian diantaranya adalah tentang Studi
Kelayakan Pendirian Industri Vegetable Leather yang didanai oleh HaKI.
Penulis ditunjuk untuk menjadi asisten praktikum beberapa mata kuliah
dasar pada Tingkat Persiapan Bersama (TPB) yaitu asisten praktikum Kimia
Dasar I, Biologi Dasar dan Pendidikan Agama Islam (PAI). Selain itu juga penulis
menjadi asisten praktikum pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
diantaranya asisten Laboratorium Bioproses dan Laboratorium Lingkungan.
Penulis menyelesaikan masa kuliah di IPB pada tahun 2006 dengan
menyelesaikan tugas akhir berupa skripsi berjudul “Pengaruh Suhu, Jenis dan
Perbandingan Pelarut Terhadap Kinerja Pelarutan Bioplastik dari PHA
(Poly-β-Hydroxyalkanoates) Yang Dihasilkan Ralstonia Eutropha Pada
Substrat Hidrolisat Pati Sagu”.
PENGARUH SUHU, JENIS DAN PERBANDINGAN PELARUT
TERHADAP KELARUTAN BIOPLASTIK DARI PHA
(Poly-β-Hydroxyalkanoates) YANG DIHASILKAN Ralstonia eutropha PADA
SUBSTRAT HIDROLISAT PATI SAGU

Oleh
DOSSI RAHDUMI ANATIA
F34102044

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PENGARUH SUHU, JENIS DAN PERBANDINGAN PELARUT


TERHADAP KELARUTAN BIOPLASTIK DARI PHA
(Poly-β-Hydroxyalkanoates) YANG DIHASILKAN Ralstonia eutropha PADA
SUBSTRAT HIDROLISAT PATI SAGU

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh
DOSSI RAHDUMI ANATIA
F34102044

Dilahirkan pada tanggal 17 Juli 1984


di Bojonegoro – Jawa Timur

Tanggal lulus : Februari 2007

Ir. Muslich, MSi Dr. Ir. Khaswar Syamsu,MSc


Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
BIODATA RINGKAS

Dossi Rahdumi Anatia dilahirkan di Bojonegoro, 17 Juli


1984. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara,
putri dari pasangan Soegianto dan Murdji’ah. Penulis
menyelesaikan sekolah dasar di SD Negeri Sukorejo I,
Bojonegoro pada tahun 1996 dan melanjutkan ke SLTP Negeri
I Bojonegoro pada tahun yang sama. Tahun 1999, penulis
menyelesaikan masa belajarnya di SLTP dan melanjutkan ke SMU Negeri I
Bojonegoro (1999-2002). Pada tahun 2002, penulis diterima di Departemen
Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor melalui jalur USMI.
Selama kuliah, penulis aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan
antara lain menjadi bendahara Departemen PSDM BEM TPB (2002-2003), staff
Departemen Kewirausahaan HIMALOGIN (Himpunan Mahasiswa Teknologi
Industri) pada masa kepengurusan 2003-2004, staff Biro Kesekretariatan FBI-F
(Forum Bina Islami Fateta) 2003-2004, bendahara internal Paguyuban Angling
Dharma (Perhimpunan Mahasiswa dan Masyarakat Bojonegoro Bogor)
kepengurusan 2003-2004, bendahara Dewan Permusyawaratan Mahasiswa
Fakultas Teknologi Pertanian (DPM-F) pada masa kepengurusan 2004-2005 dan
Badan Khusus HIMALOGIN 2004-2005 . Selain itu, penulis aktif terlibat dalam
berbagai kegiatan ilmiah dan penelitian diantaranya adalah tentang Studi
Kelayakan Pendirian Industri Vegetable Leather yang didanai oleh HaKI.
Penulis ditunjuk untuk menjadi asisten praktikum beberapa mata kuliah
dasar pada Tingkat Persiapan Bersama (TPB) yaitu asisten praktikum Kimia
Dasar I, Biologi Dasar dan Pendidikan Agama Islam (PAI). Selain itu juga penulis
menjadi asisten praktikum pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
diantaranya asisten Laboratorium Bioproses dan Laboratorium Lingkungan.
Penulis menyelesaikan masa kuliah di IPB pada tahun 2006 dengan
menyelesaikan tugas akhir berupa skripsi berjudul “Pengaruh Suhu, Jenis dan
Perbandingan Pelarut Terhadap Kinerja Pelarutan Bioplastik dari PHA
(Poly-β-Hydroxyalkanoates) Yang Dihasilkan Ralstonia Eutropha Pada
Substrat Hidrolisat Pati Sagu”.
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ............................................................................................ vii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... x
I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG ........................................................................ 1
B. TUJUAN .............................................................................................. 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 4
A. PATI SAGU ......................................................................................... 4
B. HIDROLISAT PATI SAGU ................................................................ 5
C. PHA (Poly-β-Hydroxyalkonoates) ....................................................... 7
D. PHB (Poly-β-Hydroxybutyrate) ........................................................... 8
E. Ralstonia eutropha ............................................................................... 10
F. PROSES PRODUKSI PHA ................................................................. 12
G. PROSES HILIR PHA ......................................................................... 14
H. PELARUT BIOPLASTIK ................................................................. 15
1. Kloroform.......................................................................................... 18
2. Asam Asetat Glasial .......................................................................... 19
3. Dimetilformamida ............................................................................. 20
III. BAHAN DAN METODE ......................................................................... 23
A. BAHAN DAN ALAT ......................................................................... 23
1. Bahan ............................................................................................ 23
2. Alat ................................................................................................ 23
B. METODE PENELITIAN .................................................................... 24
1. Tahapan Penelitian ......................................................................... 24
a. Menentukan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Kelarutan PHA ......................................................................... 25
b. Menentukan Interaksi Faktor-Faktor Perlakuan ...................... 26

v
c. Menentukan Pengaruh Perlakuan Dalam Pembentukan
Lembaran PHA ...................................................................... 26
2. Prosedur Penelitian ........................................................................ 27
a. Pembuatan Bahan Baku (PHA) .................................................. 27
b. Pembuatan Larutan Bioplastik ................................................... 27
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 35
A. MENENTUKAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
KELARUTAN PHA ............................................................................ 29
a. Absorbansi (Optical Density) ..................................................... 32
b. Kekeruhan (Turbidimetry) ......................................................... 34
c. Viskositas ................................................................................... 36
d. Swelling Index ............................................................................ 38
B. INTERAKSI FAKTOR-FAKTOR PERLAKUAN ............................ 40
a. Absorbansi (Optical Density) ..................................................... 40
b. Kekeruhan (Turbidimetry) ......................................................... 42
c. Viskositas ................................................................................... 44
d. Swelling Index ............................................................................ 46
C. MENENTUKAN PENGARUH PERLAKUAN DALAM
PEMBENTUKAN LEMBARAN PHA ............................................... 47
V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 54
A. KESIMPULAN .................................................................................... 54
B. SARAN ................................................................................................ 55
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 57
LAMPIRAN .................................................................................................... 63

vi
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Karakter fisik PHA dan pebandingannya dengan bahan
plastik lainnya ................................................................................... 9

Tabel 2. Nilai parameter kelarutan pada beberapa pelarut ............................... 17

Tabel 3. Sifat-sifat fisik kimia kloroform ........................................................ 19

Tabel 4. Sifat fisik dan kimia asam asetat glasial ............................................ 20

Tabel 5. Sifat fisik dan kimia dimetilformamida ............................................. 21

Tabel 6 . Hasil pengamatan fisik pelarutan dengan kloroform ........................ 48

Tabel 7. Hasil pengamatan fisik pelarutan dengan asam asetat glasial............ 50

Tabel 8. Hasil pengamatan fisik pelarutan dengan dimetilformamida ............ 51

Tabel 9. Hasil pengamatan fisik pelarutan PHB murni.................................... 52

vii
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Tanaman sagu ............................................................................. 4

Gambar 2. Granula pati sagu ........................................................................ 5

Gambar 3. Proses hidrolisis pati menjadi glukosa ........................................ 6

Gambar 4. Struktur kimia PHA (Atkinson dan Mavituna, 1991) ................. 7

Gambar 5. Struktur kimia molekul PHB (Laferty et al., 1988) .................... 9

Gambar 6. Polimer PHB dalam sel Ralstonia eutropha ............................... 11

Gambar 7. Skema tahapan umum produksi PHA (Kessler et al. 2001) ....... 13

Gambar 8. Struktur kimia kloroform ........................................................... 18

Gambar 9. Struktur kimia asam asetat .......................................................... 20

Gambar 10. Struktur kimia dimetilformamida................................................ 21

Gambar 11. Diagram alir tahapan penelitian .................................................. 24

Gambar 12. Rangkaian alat proses pelarutan bioplastik ................................. 28

Gambar 13. Diagram alir prosedur penelitian ................................................. 28

Gambar 14. Reaksi polimer dan pelarut dan reaksi penambahan


pemlastis...................................................................................... 30

Gambar 15. Histogram hubungan antara jenis pelarut, perbandingan


PHA-pelarut dan suhu dengan nilai absorbansi ........................... 33

Gambar 16. Histogram hubungan antara jenis pelarut, perbandingan


PHA-pelarut dan suhu dengan nilai kekeruhan .......................... 35

Gambar 17. Histogram hubungan antara jenis pelarut, perbandingan


PHA-pelarut dan suhu dengan peningkatan nilai viskositas ....... 37

Gambar 18. Histogram hubungan antara jenis pelarut, perbandingan


PHA-pelarut dan suhu dengan nilai swelling index .................. 39

Gambar 19. Grafik interaksi antara jenis pelarut dan suhu pelarutan
terhadap nilai absorbansi .............................................................. 40

viii
Gambar 20. Histogram hasil uji lanjut perbandingan PHA-pelarut
terhadap nilai absorbansi .............................................................. 41

Gambar 21. Grafik interaksi antara jenis pelarut dengan suhu pelarutan
terhadap nilai kekeruhan ............................................................. 42

Gambar 22. Grafik interaksi antara suhu pelarutan dengan perbandingan


PHA-pelarut terhadap nilai kekeruhan ......................................... 43

Gambar 23. Grafik interaksi antara jenis pelarut dengan perbandingan


PHA-pelarut terhadap peningkatan nilai viskositas .................... 44

Gambar 24. Grafik interaksi antara jenis pelarut dengan suhu pelarutan
terhadap peningkatan nilai viskositas........................................... 45

Gambar 25. Grafik interaksi antara jenis pelarut dengan suhu pelarutan
terhadap nilai indeks swelling ..................................................... 46

Gambar 26. Histogram hasil uji lanjut perbandingan PHA-pelarut


terhadap nilai indeks swelling ...................................................... 47

Gambar 27. Foto hasil pengamatan fisik pelarutan PHA dengan


kloroform .................................................................................... 49

Gambar 28. Foto hasil pengamatan fisik pelarutan PHA dengan


asam asetat glasial ....................................................................... 50

Gambar 29. Foto hasil pengamatan fisik pelarutan PHA dengan


dimetilformamida ........................................................................ 52

Gambar 30. Foto hasil pengamatan fisik pelarutan PHB blanko .................... 53

ix
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Lintasan umum biosintesis dan degradasi PHB oleh mikroba ... 63

Lampiran 2. Kelarutan PHA dalam berbagai pelarut ...................................... 64

Lampiran 3. Prosedur pembuatan bahan baku (PHA) ..................................... 65

Lampiran 4. Analisa kelarutan PHA ................................................................ 72

Lampiran 5. Data nilai pengujian kelarutan pada blanko ............................... 74

Lampiran 6. Data nilai absorbansi .................................................................. 75

Lampiran 7. Hasil analisis keragaman absorbansi ........................................... 77

Lampiran 8. Hasil uji lanjut nilai absorbansi .................................................. 78

Lampiran 9. Data nilai kekeruhan .................................................................... 79

Lampiran 10. Hasil analisis keragaman kekeruhan.......................................... 81

Lampiran 11. Hasil uji lanjut nilai kekeruhan ................................................. 82

Lampiran 12. Data nilai viskositas .................................................................. 83

Lampiran 13. Hasil analisis keragaman viskositas ......................................... 85

Lampiran 14. Hasil uji lanjut nilai viskositas.................................................. 86

Lampiran 15 . Data swelling index hasil analisa pelarut .................................. 88

Lampiran 16. Hasil analisis keragaman uji swelling index ............................. 91

Lampiran 17. Hasil uji lanjut nilai swelling index .......................................... 92

x
I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Plastik banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, karena


mempunyai keunggulan-keunggulan seperti kuat, ringan dan stabil. Disisi lain,
plastik menyebabkan masalah lingkungan yang sangat serius karena sulit
terombak oleh mikroorganisme dalam lingkungan. Pemecahan masalah
sampah plastik dapat dilakukan beberapa melalui pendekatan seperti daur
ulang, teknologi pengolahan sampah plastik dan pengembangan plastik
biodegradabel.
PHA (Poly-β-hydroksialkanoates) merupakan salah satu jenis plastik
biodegradabel yang paling menjanjikan. PHA memiliki kekuatan dan
kekerasan yang baik serta dapat divariasikan untuk berbagai penggunaan
dengan mengubah komposisinya. Poliester ini juga resisten terhadap
kelembaban dan memiliki permeabilitas oksigen yang sangat rendah (Van
Wegen et al., 1998). Poliester-poliester PHA dapat didegradasi secara biologis
dan kompatibel untuk kisaran penggunaan yang luas mulai dari benang jahit
pada operasi bedah sampai bahan-bahan kemasan.
Meskipun PHA menunjukkan sifat-sifat yang menguntungkan untuk
berbagai aplikasi namun secara komersial masih menghadapi kendala
ekonomi. Nilai jual produk plastik PHA yaitu $ 16/kg yang jauh lebih tinggi
dibandingkan nilai jual produk plastik berbasis petrokimia yang hanya sekitar
$ 1/kg. Penurunan biaya produksi dapat diupayakan melalui pengembangan
strain-strain bakteri, substrat kultivasi yang lebih murah, proses kultivasi yang
lebih efisien dan proses recovery yang lebih ekonomis.
Sagu merupakan salah satu alternatif bahan baku murah dan
terbaharukan yang melimpah, memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan
hidrolisat patinya, karena kandungan glukosa yang cukup besar dalam sagu
serta kemudahan untuk mengekstrak patinya. Indonesia merupakan pemilik
areal sagu terbesar di dunia dengan luas areal sekitar 1,128 juta ha atau 51,3%
dari 2,201 juta ha areal sagu dunia. Produksi pati sagu di Indonesia pada
tahun 2000 mencapai 6.333,88 ton dan meningkat menjadi 13.883,12 ton pada
tahun 2001 (Abner dan Miftahorrahman, 2002). Cadangan pati sagu tiap
tahunnya diperkirakan hanya 0,05 – 1 % yang dimanfaatkan untuk ekspor,
10 % sebagai bahan baku makanan tradisional dan 89 % beum termanfaatkan
dengan baik (Wiyono et al., 1990).
Menurut penelitian Atifah (2006) tentang pemanfaatan hidrolisat pati
sagu sebagai sumber karbon pada produksi bioplastik poli(3-hidroksialkanoat)
oleh Ralstonia eutropha, PHA yang dihasilkan dengan substrat pati sagu
termasuk jenis PHB (polihidroksibutirat) karena memiliki kemiripan titik leleh,
gugus fungsional dan hasil metanolisis dengan PHB murni. PHB merupakan
bahan termoplastik dengan banyak karakteristik menarik, salah satunya adalah
kemiripannya dengan polipropilen. Permintaan pasar akan bahan termoplastik
yang bersifat biodegradable ini juga sangat besar (Lafferty et al. di dalam
Rehm and Reid, 1988). Kekurangan PHB sebagai bioplastik adalah bersifat
rapuh dan kaku (Kim et al, 1994). Penggunaan bahan tambahan seperti
pemlastis pada proses pembuatan bioplastik dari PHB diharapkan dapat
memperbaiki kekurangan tersebut. Pemlastis tidak dapat dicampurkan begitu
saja dengan PHB, diperlukan pelarut dan kondisi pelarutan yang sesuai agar
PHB dengan pemlastis dapat bercampur dengan baik (Allcock dan Lampe,
1981).
PHB merupakan jenis polimer. Polimer memiliki molekul yang
berbeda dengan molekul kebanyakan senyawa, karena memiliki rantai
fleksibel yang sangat panjang, yang terdiri dari unit-unit yang berulang. Unit
berulang ini memiliki ikatan yang fleksibel yang terbagi ke dalam segmen
kinetik yang bergerak translasional sangat lambat jika dibandingkan dengan
molekul kebanyakan (Furukawa, 2005), oleh karena itu pelarutan PHB dalam
pelarut tidak mengikuti kaidah Ksp melainkan mengikuti kaidah sistem solven
(interaksi dipol-dipol (Gaya van der waals) antara pelarut dengan zat terlarut)
(Pine et al., 1988). PHB dapat larut dalam beberapa pelarut organik
(Lafferty et al. didalam Rehm and Reid, 1988). Kloroform, dimetilformamida
dan asam asetat glasial merupakan jenis pelarut yang memiliki kemampuan
melarutkan bioplastik pada suhu ruang atau sedikit diatas suhu ruang (Durrans
dan Davies, 1988). Ketiga pelarut ini memiliki kelarutan yang tinggi dalam

2
PHB dan merupakan pelarut yang biasa digunakan untuk melarutkan PHB
(Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid, 1988).
Menurut Day dan Underwood (1999), faktor-faktor penting yang
mempengaruhi kelarutan adalah suhu, sifat dari pelarut dan kehadiran ion-ion
lain dalam larutan. Suhu, komposisi (konsentrasi), pH, kekuatan ionik, dan
irradiasi cahaya mempengaruhi sifat kelarutan polimer dalam suatu pelarut
(Mark et al., 2004). Berdasarkan penelitian Wijanarko (2003) didapatkan
pelarut terbaik adalah kloroform dengan perbandingan pelarut dan PHA 4:1,
pelarut lain yang diujikan adalah aseton dan diklorometana. Wijanarko (2003)
menyarankan adanya perlakuan suhu untuk menentukan kelarutan yang
terbaik pada suhu diatas suhu ruang. Proses kimia dapat berjalan lebih cepat
dengan naiknya suhu proses.

B. TUJUAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan pengaruh


perlakuan suhu, jenis dan perbandingan PHA-pelarut terhadap kelarutan PHA.
Selain itu juga untuk mendapatkan interaksi jenis pelarut dan kondisi
pelarutan (perbandingan PHA-pelarut dan suhu) yang sesuai bagi
pembentukan film bioplastik yang dihasilkan oleh Ralstonia eutropha pada
substrat hidrolisat pati sagu.

3
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. PATI SAGU

Sagu adalah tanaman berbiji tunggal (monokotil) yang berasal dari


keluarga Palmae, marga Metroxylon, Ordo Spadiciflorae (Gambar 1).
Keluarga Palmae yang memiliki kandungan pati cukup tinggi ini berasal dari
bahasa Yunani yang terdiri dari kata Metra yang berarti batang atau empulur
dan xylon yang berarti xylem. (Flach, 1997)

Gambar 1. Tanaman sagu

Potensi pemanfaatan sagu di Indonesia sangat besar. Saat ini


setidaknya ada hutan sagu 1,25 juta hektare (Ha) di Papua dan Maluku, serta
148 ribu ha lahan sagu semi budidaya di kepulauan Riau, Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Lahan tersebut merupakan lahan
sagu terbesar di dunia. Sagu sangat potensial untuk dikembangkan sebagai
bahan pangan alternatif bagi masyarakat Indonesia karena sagu mampu
menghasilkan pati kering hingga 25 ton per hektare (Ha), jauh melebihi beras
atau jagung. Kadar pati kering dalam sagu diatas kandungan pati beras yang
hanya 6 ton per ha, sedangkan pati kering jagung hanya 5,5 ton (Humas,
2006).
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik yang
terdiri dari dua fraksi yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa mempunyai
struktur rantai lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa, sedangkan amilopektin
selain mempunyai rantai lurus juga mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,6)-
D-glukosa sebanyak 4-5% dari berat total (Winarno, 1997).
Pati sagu merupakan hasil ekstraksi pati dari batang empulur tanaman
sagu dengan bantuan air. Tahapan proses pengolahan pati sagu secara
tradisional meliputi: penebangan pohon, pemotongan dan pembelahan,
penokokan atau pemarutan, pemerasan, penyaringan, pengendapan dan
pengemasan (Haryanto dan Pangloli, 1992). Menurut Abner dan
Miftahorrahman (2002), secara teoritis, dari satu batang pohon sagu dapat
dihasilkan 100-600 kg pati sagu kering. Rendemen untuk pengolahan yang
ideal adalah 15 %.
Pati sagu merupakan butiran atau granula yang berwarna putih
mengkilat, tidak berbau dan tidak berasa. Pati sagu memiliki granula yang
berbentuk elips agak terpotong dengan ukuran granula sebesar 20-60 μm dan
suhu gelatinisasinya berkisar antara 60-72 0C (Knigt, 1969). Gambar granula
pati sagu dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Granula pati sagu (Winarno, 1997)

B. HIDROLISAT PATI SAGU

Sirup glukosa (hidrolisat pati) adalah nama dagang dari larutan


hidrolisis pati, larutan ini merupakan cairan jernih dan kental dengan
komponen utama glukosa dan diperoleh dari proses hidrolisa pati dengan cara
kimia atau enzimatik. Proses hidrolisis pati menjadi molekul glukosa dapat
dilihat pada Gambar 3.

5
(C6H10O5)n + n H2O (C6H12O6)n
pati Katalis, panas Glukosa

Gambar 3. Proses hidrolisis pati menjadi glukosa(Winarno, 1997)

Hidrolisis pati secara kimiawi dengan menggunakan asam lebih mudah


dilakukan dibandingkan secara enzimatis. Peralatan yang diperlukan juga
tidak terlalu rumit. Namun timbul beberapa masalah, seperti peralatan yang
digunakan harus tahan korosi dan DE (dextrose equivalent) yang dihasilkan
lebih rendah dibanding hidrolisis secara enzimatis (Berghmans, 1981).
Hidrolisis enzimatis memiliki beberapa keuntungan, yaitu lebih spesifik
prosesnya dan produk yang dihasilkan sesuai dengan yang diinginkan. Kondisi
proses yang dapat dikontrol, biaya pemurnian murah, dihasilkan lebih sedikit
produk samping dan abu serta kerusakan warna yang dapat diminimalkan
(Norman di dalam Birch et al., 1981).
Pembuatan sirup glukosa dengan hidrolisis enzim terdiri atas tiga
tahapan dalam mengkonversi pati yaitu : gelatinisasi, likuifikasi dan
sakarifikasi. Gelatinisasi merupakan pembentukan suspensi kental dari larutan
pati yang disebabkan adanya kenaikan suhu (di atas 55oC), likuifikasi
merupakan proses hidrolisis pati parsial yang ditandai dengan menurunnya
viskositas. Likuifikasi terjadi setelah gelatinisasi dengan adanya aktifitas
enzim α-amilase yang memecah ikatan α-(1,4)-glikosidik di bagian dalam
rantai polisakarida secara acak menghasilkan oligosakarida yang mengandung
6-7 maltosa (Fullbrook di dalam Dzieldzic dan Kearsley, 1984).
Proses selanjutnya adalah sakarifikasi. Sakarifikasi merupakan proses
hidrolisis oligosakarida (hasil dari tahap likuifikasi) lebih lanjut oleh enzim
tunggal atau enzim campuran menjadi glukosa (Chaplin dan Bucle, 1990).
Sakarifikasi dengan enzim amiloglukosidase (AMG) selanjutnya akan
memutuskan rantai molekul maltosa menjadi glukosa bebas. Tidak seperti
likuifikasi yang hanya memakan waktu sekitar 60 menit, sakarifikasi biasanya
memakan waktu yang lebih lama yaitu 24-96 jam (Fullbrook di dalam
Dzieldzic dan Kearsley, 1984).
Menurut penelitian Akyuni (2004) tentang pemanfaatan sagu untuk
membuat sirup glukosa menyatakan bahwa produksi hidrolisat pati sagu

6
secara enzimatis memiliki nilai DE tertinggi (50,83) pada tahap likuifikasi
diperoleh dengan waktu proses selama 210 menit dan pada konsentrasi α-
amilase 1,75 U/g pati, pH hasil proses likuifikasi ditepatkan menjadi 4-4,5
sebelum dilanjutkan ke proses sakarifikasi. Pada tahap sakarifikasi, nilai DE
tertinggi (98,99) diperoleh pada konsentrasi amiloglukosidase 0,3 U/g pati dan
waktu sakarifikasi 48 jam.

C. PHA (Poly-β-Hydroxyalkanoates)

PHA (Poly-β-Hydroxyalkanoates) adalah suatu famili poliester


thermoplastis bermolekul tinggi yang terbentuk secara alami atau melalui cara
bioteknologi khusus (Utz et al., 1991). PHB (Poly-β-Hydroxybutyrate) dan
kopolimer Poly-β-Hydroxybutyrate dengan Poly-β-Hydroxyvalerate (PHB-co-
PHV) merupakan dua tipe famili PHA yang paling banyak diteliti secara
intensif dan telah banyak dijumpai di pasaran. PHA alami mengandung
sekelompok n-alkil. Struktur PHA dapat dilihat pada Gambar 4.

R O PHA rantai pendek


R = H, CH3, CH2CH3
O O PHA rantai menengah
n R = (CH2)2CH3–(CH2)8CH3

Gambar 4. Struktur kimia PHA (Atkinson dan Mavituna, 1991)

Berbeda dengan plastik konvensional yang dibuat dari bahan berbasis


petrokimia, PHA dibuat dari bahan baku tumbuhan yang dapat diperbarui
yang digunakan sebagai substrat fermentasi (Yoshida et al., 1996). PHA
(Poly-β-Hydroxyalkanoates) terakumulasi di dalam bakteri sebagai hasil
ketidakseimbangan nutrisi yang terjadi saat kelebihan karbon dan energi. PHA
memiliki sifat termoplastik dan elastomer tergantung dari komposisi
monomernya dan dapat terdegradasi secara sempurna.
PHA dibentuk dalam sitoplasma sel, bentuknya dapat berupa granula
dan kristal. Granula tersebut mengandung PHA depolimerase yang terdapat
dalam membran protein atau pada sitoplasma yang menyebabkan terjadinya

7
degradasi polimer. PHA memiliki karakteristik kimia dan fisik yang
dibutuhkan bagi penggunaannya sebagai termoplastik komersial. Polimer ini
dapat digunakan lebih lanjut melalui pencetakan larutan maupun pelelehan
untuk membentuk serat, film, plastik fleksibel, dan plastik rigid
(Timmins et al., 1993).
Menurut Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid (1988) PHA
memiliki densitas yang berkisar antara 1.171 dan 1.260 g.cm-3. Nilai densitas
yang lebih rendah berhubungan dengan densitas amorf, sedangkan nilai
densitas yang lebih tinggi berkenaan dengan densitas kristalin. Titik leleh
PHA bervariasi dan biasanya berada diantara 157 dan 188oC. PHA memiliki
karakteristik thermoplastik dan dapat diekstrusi dan/atau diberi penekanan.
PHA telah dibuktikan bersifat biodegradabel dalam lingkungan
mikrobial aktif baik aerobik maupun anaerobik seperti pada limbah kompos
aerobik dan anaerobik, sediman estuarin, tanah, air sungai, dan air laut
(Krupp dan Jewel, 1992; Page et al., 1992; Doi et al., 1991). PHA dapat
digunakan sebagai benang jahit pada operasi medis, peralatan rekaman karena
sifat piezoelektrik yang baik, substitusi untuk poliester sintetis pada
pembuatan serat dan sebagai bahan kemasan. Selain itu PHA dapat juga
ditenun menyerupai wool katun sehingga cocok digunakan sebagai popok
bayi (Crueger dan Crueger, 1984).

D. PHB (Poly-β-Hydroxybutyrate)

Poly-β-Hydroxybutyrate (PHB) sebagai salah satu jenis PHA


merupakan suatu polimer linier dan di bawah kondisi normal merupakan
komponen yang relatif tidak reaktif. PHB dengan kopolimer Poly-β-
Hydroxybutyrate dengan Poly-β-Hydroxyvalerate (PHB-co-PHV) memiliki
sifat-sifat termoplastik yang baik. PHB sering dibandingkan dengan
polipropilen karena sifat fisiknya yang serupa. Perbedaannya adalah bahwa
PHB sangat rapuh untuk beberapa penggunaan, dengan rasio elastisitas
hampir dua kelas lebih rendah dibandingkan dengan polipropilen.
Perbandingan sifat-sifat kimia PHB dan polipropilen dapat dilihat pada
Tabel 1.

8
Tabel 1. Sifat fisik dan kimia polipropilen (PP) dan poly-β-hydroxybutyrate (PHB)

PARAMETER PP PHB
Titik Cair, Tm (oC) 171-186 171-182
Suhu Transisi Kaca, Tg (oC) -15 5-10
Kristalinitas (%) 65-70 65-80
Densitas (gcm-3) 0,905-0,94 1,23-1,5
Bobot Molekul, (Mw (x105) 2,2-7,0 1-8
Distribusi Bobot Molekul 5-12 2.2-3.0
Modulus Kelenturan (Gpa) 1,7 3,5-4,0
Kekuatan Tarik (Mpa) 39 40
Pemanjangan Hingga Putus (%) 400 6-8
Retensi Terhadap Ultraviolet Buruk Baik
Retensi Terhadap Pelarut Baik Buruk
3 -2 -1 -1
Permeabilitas Oksigen (cm m atm d ) 1700 45
Sumber : Timmins et al., (1993)

Kopolimer PHB-co-PHV lebih fleksibel sehingga lebih disukai untuk


beberapa penggunaan (Poirier et al.,1995 seperti dikutip oleh
Ayorinde et al., 1998). Sperling dan Carraher di dalam Kroschwitz (1990)
menambahkan bahwa dengan kandungan komonomer yang rendah polimer
tersebut menyerupai polivinilklorida yang tidak plastis, sedangkan dengan
kandungan monomer yang cukup polimer ini memiliki sifat seperti
polipropilen. Struktur kimia molekul PHB dapat dilihat pada Gambar 5.

CH3 O
| ||
CH C
O O
CH2
n

Gambar 5. Struktur kimia molekul PHB (Lafferty et al. di dalam


Rehm and Reid 1988)

9
Pada konsentrasi yang tinggi dengan menurunnya kristalinitas, maka
polimer ini lunak dan liat seperti polietilen. Meskipun PHB lebih rapuh dan
lebih sensitif terhadap pelarut dibandingkan dengan poliester komersial,
namun PHB memiliki resistansi yang lebih besar terhadap radiasi ultraviolet
dan bersifat dapat didegradasi (Crueger dan Crueger di dalam Brock, 1984).
Ketahanan kimia PHB terhadap minyak sangat baik dan polimer tersebut juga
bersifat tahan terhadap cairan dan impermeable (Kemmis, 1993).
Penggunaan PHB memberikan keuntungan dari sisi pertimbangan
lingkungan karena sifatnya yang dapat didegradasi secara biologis. Dawes dan
Sutherland (1976) menyatakan bahwa PHB merupakan polimer linier.
Degradasinya memerlukan aktivitas proteolitik yang diikuti dengan hidrolisis
oleh PHB depolimerase menjadi dimer dan selanjutnya dipecah menjadi
monomer-monomer.
Menurut Hrabak (1992), PHB mempunyai karakteristik mirip
polipropilen dengan tiga keunikan, yaitu termoplastik, 100% tahan air, dan
100% biodegradable. Lindsay (1992) dan Holmes di dalam Bassett (1988)
menambahkan bahwa PHB mempunyai beberapa karakteristik yang banyak
diinginkan seperti ketahanan terhadap uap air dan tidak larut di air. Karakter
inilah yang membedakan PHB dengan biodegradable plastik yang lain. PHB
juga mempunyai impermeabilitas yang baik terhadap oksigen.

E. Ralstonia eutropha

Menurut Ishizaki dan Tanaka (1991) Ralstonia eutropha merupakan


bakteri kemoautotrof fakultatif yang dapat mengakumulasi poli-β-
hydroksyalkanoates (PHA) sebagai cadangan energi dalam kondisi kultur
yang mengandung sedikit mineral atau oksigen. Genus Ralstonia eutropha
berbentuk batang, batang bulat atau bulat dengan diameter 0,5-1,0 mikrometer
dan panjang 0,5-2,6 mikrometer. Ralstonia eutropha memiliki flagel
berbentuk peritrichous dan bersifat aerob obligat.

10
Gambar 6. Polimer PHB dalam sel Ralstonia eutropha
(www.metabolix.com, 2006)

Ralstonia eutropha termasuk dalam bakteri gram negatif yang mampu


mengakumulasi PHA (Poly-β-Hydroxyalkanoates) sebagai cadangan energi di
bawah kondisi kultur yang mengandung sedikit mineral atau oksigen (Ishizaki
dan Tanaka, 1991). Akumulasi PHA terjadi setelah kondisi keterbatasan
oksigen terjadi. Bobot kering sel dan perolehan PHA lebih tinggi pada kondisi
keterbatasan oksigen dibandingkan kondisi keterbatasan amonium. Kemmish
(1993) mengatakan bahwa Ralstonia eutropha mampu mengakumulasi hingga
80 % polimer dalam berat kering sel.
Klem di dalam Robinson et al. (1999) menyatakan berdasarkan kajian
sekuens dan hibridisasi 16S RNA, Alcaligenes eutrophus sekarang
dikelompokkan ke dalam genus Ralstonia dengan nama baru Ralstonia
eutropha. Pada R. eutropha terdapat operon tunggal yang mengandung tiga
jenis gen yang diperlukan untuk sintesa PHB, yaitu phaA, phbB, dan phbC.
PhbA (yaitu ketothiolase) bergabung dengan dua molekul asetil-KoA untuk
menghasilkan asetoasetil-KoA yang kemudian direduksi menjadi D-β-
hidroksibutiril-KoA oleh phbB (yaitu suatu reduktase asetosetil-CoA yang
membutuhkan NADPH). Molekul D-β-hidroksibutiril-KoA membentuk unit
monomer PHB, kemudian dipolimerisasi melalui ikatan ester oleh phbC (yaitu
suatu PHB sintetase). Pada lingkungan yang kaya, PHB secara enzimatis
didegradasi menjadi asetil-KoA yang masuk ke jalur primer metabolisme dan
dimineralisasi menjadi karbondioksida. Degradasi dimulai oleh dipolimerase

11
yang dikode sebagai gen phbZ. Jalur metabolisme dan degradasi PHB oleh R.
eutropha dari karbohidrat secara lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1.
Babel et al. di dalam Scheper (2001) menyatakan bahwa meskipun
faktor-faktor pembatas (ammonium, oksigen, fosfat, sulfat, K+, Mg2+ atau
Fe2+) memiliki peran dan pengaruh fisiologis yang berbeda, namun secara
kualitatif bakteri merespon pembatasan-pembatasan tersebut dalam bentuk
yang hampir sama. Konsentrasi intraseluler asetil-KoA yang tinggi akan
menunjang sintesis asetoasetil-KoA, sementara itu ekivalen pereduksi
(reducing equivalent) harus ada untuk menarik asetoasetil-KoA yang
terbentuk dari reaksi kesetimbangan. Secara umum, pasokan nutrisi yang
tidak seimbang, misalnya nitrogen atau oksigen, akan menurunkan
kompleksitas metabolisme dan menyalurkan rangkaian karbon ke jalur sintesis
PHB. Ketika siklus TCA dihambat maka laju pelepasan 2/H/ (melalui siklus
TCA) dan jumlah 2/H/ yang tersedia menurun. Jika siklus TCA terhenti maka
reaksi sebelum siklus TCA harus menyediakan 2/H/ yang dibutuhkan untuk
mereduksi asetoasetil-KoA menjadi 3-hidroksibutiril-KoA. Dengan demikian,
jika ditambahkan glukosa maka siklus TCA tertunda dan sintesis PHB terjadi
(Babel et al. di dalam Scheper, 2001).

F. PROSES PRODUKSI PHA

Proses produksi PHA secara umum terdiri dari dua tahap utama, yaitu
kultivasi dan isolasi PHA. Tahap kultivasi merupakan tahap pertumbuhan
biomas sel dan akumulasi biopolimer PHA. Setelah kultivasi berakhir,
dilakukan pemanenan biomassa dan biopolimer yang diikuti dengan tahap
isolasi biopolimer. Pemisahan biopolimer dapat dilakukan dengan pelarut
(solvent based) maupun tanpa pelarut (non-solvent-based). Pemisahan tanpa
pelarut pada dasarnya adalah proses melarutkan biomassa non-PHA, diikuti
dengan sentrifugasi atau ultrafiltrasi. Pemisahan dengan pelarut merupakan
proses ekstraksi PHA dengan pelarut, diikuti dengan presipitasi dengan
air/metanol (Kessler et al. di dalam Scheper, 2001). Tinjauan umum proses
produksi PHA lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 7.

12
KULTIVASI PRODUKSI BIOMASSAA
TAHAP 1 Perkembangbiakan sel pada kondisi pertumbuhan seimbang

KULTIVASI AKUMULASI POLIMER PHA


TAHAP 2 Akumulasi polimer cadangan pada kondisi nutrisi terbatas

PEMANENAN

Tanpa Pelarut Dengan Pelarut


• Pelarutan biomassa non- • Ekstraksi PHA dengan
PHA pelarut
ISOLASI
• Sentrifugasi / ultrafiltrasi • Presipitasi dengan metanol
/air

Gambar 7. Skema tahapan umum produksi PHA


(Kessler et al. di dalam Scheper, 2001).

Secara teknis PHA dapat diproduksi dengan kultivasi batch (curah),


fed-batch (terumpani) maupun kontinyu (sinambung). Sistem fed-batch
banyak diterapkan terutama untuk memicu peningkatan akumulasi PHA di-
dalam sel. Pada saat pergantian operasi dari batch ke fed-batch, densitas
biomassa telah mencapai level yang tinggi dan konsentrasi substrat kunci
menurun dan hampir habis. Level substrat pembatas yang rendah tersebut
dipertahankan dengan pengumpanan perlahan substrat berkonsentrasi tinggi
secara konstan (Nielsen dan Villadsen di dalam Rehm et al., 1993). Terkait
dengan penggunaan glukosa sebagai sumber karbon bagi R. eutropha,
beberapa strategi pengumpanan substrat telah dikembangkan selama kultivasi
fed-batch untuk menjaga konsentrasi glukosa agar tetap berada dalam rentang
yang optimal bagi akumulasi PHB (Lee dan Choi di dalam Babel dan
Steinbuthchell, 2001).
Menurut Atifah (2006), hidrolisat pati sagu dapat digunakan sebagai
sumber karbon bagi R. eutropha untuk tumbuh dan memproduksi PHA baik
pada kultivasi batch (curah) maupun pada kultivasi fed-batch. Akan tetapi,
kultivasi fed-batch dengan jenis umpan hidrolisat pati sagu adalah yang paling
efektif diterapkan untuk meningkatkan konsentrasi PHA dan rendemen PHA

13
di dalam sel meskipun tidak efektif untuk meningkatkan konsentrasi sel.
Konsentrasi PHA dan rendemen PHA di dalam sel dapat meningkat lebih dari
dua kali lipat (3,72 g/L atau 76,54% dari bobot kering sel) dibandingkan
dengan hasil kultivasi batch (1,44 g/L atau 32,65% dari bobot kering sel) pada
kondisi karbon berlebih dengan indikasi nutrisi pembatas berupa magnesium,
sulfat, nitrogen dan fosfat. Ralstonia eutropha tumbuh paling baik pada
konsentrasi gula awal 30 g/L dengan laju pertumbuhan spesifik maksimal
0,108/jam dan rendemen molekuler (Yx/s) sebesar 0,227 g sel/g gula.

G. PROSES HILIR PHA

Ketika tahapan kultivasi telah selesai, sel yang mengandung PHA


harus dipisahkan dari media kultivasi dengan berbagai prosedur konvensional
seperti sentrifugasi, filtrasi atau flokulasi-sentrifugasi. Sel selanjutnya dipecah
agar polimer di dalamnya dapat diisolasi (Kessler et al. di dalam Scheper,
2001). Hal ini senada dengan Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid (1988),
proses pemisahan biomassa yang mengandung PHA biasa dilakukan dengan
cara sentrifugasi atau flokulasi dan sentrifugasi, kemudian tahap selanjutnya
adalah pemisahan PHB/PHAs dari biomassa. Pemisahan PHA/PHB dari
biomassanya dapat dilakukan dengan ekstraksi pelarut, proses digest dengan
sodium hipoklorit dan proses digest secara enzimatis (Lee, 1996).

Metode yang paling sering digunakan untuk mengisolasi PHA adalah


ekstraksi polimer dari biomassa menggunakan pelarut (seperti: kloroform,
metilen klorida, propilen karbonat, dikloroetan) namun proses tersebut
membutuhkan pelarut dalam jumlah besar (Lee, 1996). Beberapa metode lain
juga dikembangkan, misalnya penggunaan sodium hipoklorit untuk memecah
bahan-bahan sel non-PHA secara bertahap. Meskipun efektif, sodium
hipoklorit dapat mendegradasi PHA sehingga menurunkan berat molekulnya
(Kessler et al. di dalam Scheper, 2001).

Lee et al. (1999) melakukan pemecahan sel rekombinan E. coli yang


mengandung 69% PHB dengan NaOH 0,2 N selama satu jam pada suhu 30oC
dan PHB yang diperoleh menunjukkan kemurnian 97%. Apabila waktu
pemecahan (digestion) diperpanjang hingga lima jam maka kemurnian PHB

14
meningkat menjadi 98%, begitu juga jika konsentrasi NaOH ditingkatkan
menjadi 2 N. Pemecahan bahan-bahan sel non-PHA dengan NaOH (NaOH
digestion) memiliki beberapa kelebihan, yaitu murah dan ramah lingkungan,
PHB yang diperoleh memiliki kemurnian tinggi (>98%) dan selama proses
ekstraksi tidak terjadi degradasi PHB.

PHA diketahui dapat larut dalam kloroform (Lafferty et al. di dalam


Rehm and Reid, 1988) dan cara ini telah lama digunakan untuk mengekstrak
PHA dari biomassa mikrobial. Larutan PHA-kloroform dipanaskan pada suhu
40oC selama 20 jam. PHA-kloroform selanjutnya disaring dengan kertas
saring whatman 40 untuk memisahkan ampas dan larutan PHA-kloroform.
Kloroform diuapkan pada ruang asam sehingga PHA yang tersisa membentuk
suatu lapisan PHA kering yang lebih murni.

H. PELARUT BIOPLASTIK

Mellan (1950) menjelaskan bahwa pelarut dapat dibagi menjadi dua


kelompok yaitu kelompok polar dan non polar. Terdapat kecenderungan kuat
bagi senyawa non polar untuk larut dalam pelarut non polar dan bagi senyawa
kovalen polar atau senyawa ion untuk larut dalam pelarut polar, dengan
perkataan lain, sejenis melarutkan sejenis (Keenan et al., 1984). Perbedaan
dari kedua kelompok tersebut adalah potensial elektrik. Kelompok non polar
tidak memiliki potensial elektrik pada molekulnya, sedangkan kelompok polar
memiliki potensial elektrik pada molekulnya. Pelarut yang memiliki gugus
karboksil (alkohol) dan karbonil (keton) termasuk dalam pelarut non polar.
Pelarut yang bersifat non polar, misalnya hidrokarbon hanya dapat melarutkan
senyawa yang bersifat non polar. Senyawa polar hanya dapat larut dalam
pelarut polar, misalnya air (Mellan,1950) .
Terdapat berbagai gaya antar rantai di dalam polimer. Jika rantai
mengandung atom yang sangat elektronegatif, seperti oksigen, maka efek
induktif (dorongan elektron dalam ikatan kovalen menuju elektron yang lebih
elektronegatif) menyebabkan rantai terpolarkan. Oleh karenanya tarikan dipol-
dipol terjadi dan bagian σ- suatu rantai akan tertarik ke bagian σ+ rantai
tetangganya. Gugus polar pada satu rantai mengimbas dipol pada rantai

15
tetangganya, sehingga menyebabkan terjadinya tarikan antar rantai. Gaya tarik
antara dipol-imbasan dan dipol tetap disebut gaya imbas (gaya induksi) dan
biasanya kecil. Jenis gaya ini dikenal dengan gaya London atau gaya dispersi.
Elektron pada suatu saat tertentu dalam atom, tidak tersebar secara setangkup
diseputar intinya, karena lebih banyak elektron berada pada suatu sisi daripada
sisi yang lainnya. Akibatnya terjadi dipol sementara, dengan cara yang sama
dipol sementara terjadi pada rantai polimer dan mengimbas dipol pada rantai
tetangganya, menghasilkan tarikan antar rantai. Untuk rantai polimer yang
mempunyai dipol, gaya tarik atau gaya Van Der Waals, dan sebagian besar
disebabkan oleh gaya London (Cowd didalam Clark, 1991).
Gaya Van Der Waals tersusun dari beberapa gaya tarik antar molekul.
Gaya-gaya tersebut adalah gaya orientasi, gaya induksi dan gaya
dispersi/London. Apabila molekul-molekul yang membentuk kristal molekuler
mempunyai momen dipol dan molekul-molekul mempunyai orientasi yang
tepat, maka akan terjadi gaya tarik dipol-dipol. Gaya yang timbul disebut gaya
orientasi. Gaya tarik molekul atau atom non polar dengan molekul polar cukup
besar karena adanya induksi kepada molekul atau atom yang non polar. Gaya
tarik yang terjadi disebut gaya induksi, sedangkan molekul-molekul polar
seperti gas mulia tidak mempunyai dipol, molekulnya simetris, adanya
perpindahan sedikit dari kedudukan inti dan elektron dalam molekul,
menyebabkan terjadinya dipol pada molekul lain akibat induksi, hingga terjadi
gaya tarik, yang disebut gaya tarik dispersi (Sukardjo, 1989).
Tarikan antar-rantai jenis lainnya yang penting adalah akibat ikatan
hidrogen yang dapat dipandang sebagai suatu bentuk khas antar aksi dipol-
dipol. Ketika atom hidrogen terikat pada atom yang sangat elektronegatif,
maka inti hidrogen hampa akan elektron pelindung sebab awan pasangan
elektron tertarik pada atom yang lebih elektronegatif (efek imbas). Inti
hidrogen kemudian membentuk ujung yang positif dipol kuat dan mencari
daerah kerapatan elektron tinggi misalnya atom elektronegatif (mempunyai
muatan) yang terbentuk pada rantai tetangganya. Hasilnya adalah tarik
menarik antar rantai yang kuat.

16
Cairan dapat menjadi pelarut yang baik bagi suatu polimer apabila
molekul-molekul dari cairan tersebut menyerupai unit-unit struktural polimer
secara kimia dan fisik (Allcock dan Lampe, 1981). Sedang menurut Rabek
(1983), pelarut polimer yang baik adalah pelarut yang memiliki parameter
kelarutan sama atau mirip dengan parameter kelarutan polimer yang akan
dilarutkan. Parameter kelarutan itu adalah gaya dispersi, kapasitas ikatan
hidrogen serta polaritas dan interaksi induksi. Parameter kelarutan ketiga
pelarut dapat dilihat pada Tabel 2 .

Tabel 2. Nilai parameter kelarutan pada beberapa pelarut*

Gaya Kapasitas Ikatan Polaritas dan


Pelarut Dispersi Hidrogen Interaksi Induksi
Kloroform 8,65 1,5 2,8
Asam asetat 7,1 3,9 6,6
Dimetilformamida 8,52 6,7 5,5
*) Rabek, 1983

Suatu pelarut yang ideal ditandai oleh kemampuannya untuk


melarutkan sejumlah polimer dalam selang temperatur yang dibatasi oleh
temperatur kristalisasi larutan atau temperatur pengadukan yang rendah dan
pada temperatur dimana tekanan uap larutan sebesar 1 torr (1 torr = 1/760 atm
= 133,322 N m-2 (SI)). Pada prakteknya pelarut polimer ideal seperti itu tidak
ada. Suatu bahan yang bersifat non-pelarut ditandai dengan
ketidakmampuannya untuk melarutkan polimer pada temperatur berapapun di
bawah tekanan atmosfer (Rabek,1983).
Allock dan Lampe (1981) menjelaskan bahwa pelarut yang baik
bersifat mudah menguap sehingga akan menguap dengan laju penguapan yang
sesuai pada suhu ruangan atau sedikit di atas suhu ruang. Pelarut ini juga
tidak terlalu volatil sehingga tidak akan menguap terlalu cepat dan
membentuk gelembung atau endapan semikristalin. Penguapan yang terlalu
cepat dalam pembuatan film dapat menyebabkan pendinginan film sehingga
menyebabkan terjadinya penarikan atau kondensasi air dan udara.

17
Poli-β-hidroksialkanoat (PHA) dapat larut pada berbagai pelarut
seperti kloroform, metilen klorida, etilen klorida, piridin atau campuran
diklorometan/etanol (Atkinson dan Mavituna, 1991). Kelarutan PHB dalam
beberapa pelarut dapat dilihat pada Lampiran 2.

1. Kloroform (CHCl3)
Kloroform adalah nama umum untuk triklorometana (CHCl3),
merupakan pelarut aprotik yaitu pelarut yang molekul-molekulnya tidak
ikut serta dalam kesetimbangan yang melibatkan proton, memiliki tetapan
dielektrik sebesar 4,81 (Rivai, 1995). Kloroform sering digunakan sebagai
bahan pembius, meskipun kebanyakan digunakan sebagai pelarut nonpolar
di laboratorium atau industri. Wujudnya pada suhu ruang berupa cairan,
namun mudah menguap, memiliki stuktur molekul tetrahedral
3
(Anonim , 2005).

Gambar 8. Struktur kimia kloroform (Anonim3, 2005)

Kloroform merupakan cairan dengan berat molekul tinggi, tidak


berwarna, berbau harum, dan sangat toksik. Senyawa ini bersifat toksik
dan narkotik, sehingga tidak digunakan secara luas sebagai pelarut. Cairan
ini juga bersifat stabil dengan titik didih rendah (Mellan, 1950). Kloroform
juga memiliki daya larut yang sangat tinggi dan telah dimanfaatkan untuk
tujuan-tujuan khusus seperti pelarut lemak, minyak, lilin, alkaloid dan
lain-lain. Kloroform digunakan sebagai pelarut yang umum pada industri
lemak, gum, minyak, parafin/lilin, plastik dan polimer (Anonim3, 2005).
Kloroform dapat larut dengan semua hidrokarbon terhalogenasi dan
dengan sebagian besar pelarut lainnya. Sifat fisika dan kimia kloroform
dapat dilihat pada Tabel 3.

18
Tabel 3. Sifat-sifat fisik kimia kloroform*
Parameter Nilai
Berat Molekul 119,3
Titik Didih 60-62 oC
Titik Beku -63,5 oC
Gravitasi Spesifik 1,499 (15 oC)
Panas Spesifik 0,233 Cal/g atau B.t.u/lb/oF
Kalor Laten 59,1 Cal/g
Penguapan 106,4 B.t.u/lb
5,63 millipoise (20 oC)
Viskositas 5,10 millipoise (30 oC)
*) Mellan (1950)

2. Asam Asetat Glasial (CH3COOH)


Asam asetat glasial merupakan larutan yang mengandung 99.5 %
asam asetat (methane carboxylic acid atau ethanoic acid). Termasuk
dalam golongan senyawaan asam karboksilat. Jernih, asam organik yang
tidak berwarna, memiliki bau yang khas seperti cuka, digunakan sebagai
pelarut dalam industri karet, plastik, serat asetat, obat-obatan, dan
fotografi. Asam asetat glasial mendidih pada suhu 118°C, dan memiliki
densitas sebesar 1.049 g/mL pada 25°C. mudah terbakar pada titik nyala
api 39°C. Asam asetat larut pada semua perbandingan dalam air, etil
alkohol, dan dietil eter dengan ikatan hidrogen, bersifat sangat korosif
(Anonim1, 2005).
Asam asetat glasial juga digunakan untuk sintesis anhidrat asam
asetat, ester, garam, zat warna, zat wangi, bahan farmasi, plastik, serat
buatan, selulosa dan sebagai penambah makanan. Asam asetat glasial ini
bersifat racun, berbahaya dan termasuk bahan yang korosif. Cairan dan
uapnya dapat menyebabkan luka bakar yang hebat pada seluruh jaringan
tubuh manusia, jika tertelan dapat menyebabkan kerusakan yang fatal, dan
jika terhirup berbahaya bagi paru-paru dan gigi, bersifat mudah terbakar
baik dalam bentuk cairan ataupun uapnya (Anonim2, 2005).

19
C
CH3
Gambar 9. Struktur kimia asam asetat (Anonim1, 2005)

Asam asetat adalah pelarut yang polar, sama seperti etanol dan
air dengan konstanta dielektrik sebesar 6,2. Seperti halnya pelarut
kloroform dan hexana, asam asetat glasial tidak hanya melarutkan
senyawa-senyawa polar seperti gula dan garam organik, tetapi juga dapat
melarutkan senyawa non-polar seperti minyak dan elemen lain (polimer).
Hal ini memungkinkan asam asetat menjadi pelarut yang dapat dipakai
secara luas oleh industri (Anonim1, 2005).

Tabel 4. Sifat fisik dan kimia asam asetat glasial*


Sifat fisik/kimia Nilai
Penampakan jernih/bening,tak berwarna
Bau Kuat, seperti cuka
Kelarutan Sangat larut (berbagai perbandingan)
Densitas 1,05 kg/L
pH 2,4 (1.0M solution)
Titik didih 118 0 C (244F)
Titik lebur 16,6 0 C (63F)
Molaritas 60,05 g/mol
*) Anonim1, 2005

3. Dimetilformamida (HCON(CH3)2
Dimetilformamida merupakan gugus alkil dari formamida,
termasuk golongan amida yang merupakan turunan asam karboksilat,
gugus –OH diganti dengan –NH2 atau amoniak dan satu H diganti dengan
asil. Pada suhu kamar berbentuk cairan yang jernih, larut dalam air dan
pelarut organik pada umumnya. Dimetilformamida termasuk pelarut yang
sering digunakan dalam reaksi kimia, dalam keadaan murni tidak berbau,

20
namun DMF yang terdegdradasi karena penanganan teknik memiliki bau
amis yang berasal dari pengotor dimetilamina (Anonim4, 2006).

CH3

CH3
Gambar 10. Struktur kimia dimetilformamida (Anonim4, 2006)

Dimetilformamida adalah pelarut polar yang aprotik dengan titik


didih yang tinggi, larut dalam pelarut organik yang lain yaitu alkohol, eter,
aseton, benzene dan kloroform. Disintesa dari asam formiat dan
dimetilamin. DMF tidak stabil dalam basa kuat seperti NaOH atau asam
kuat seperti HCl atau H2SO4 dan akan kembali ke dalam bentuk asam
formiat dan dimetilamnia, terutama pada suhu tinggi. Digunakan sebagai
pelarut dalam produksi serat akrilik , plastik, obat-obatan, pestisida, kulit
sintetis, serat dan film (Howard, 1993; Gescher, 1993). Dimetilformamida
dapat menembus hampir semua jenis plastik dan membuat plastik
mengembang. Sifat fisika dan kimia dimetilformamida dapat dilihat pada
Tabel 5. Dimetilformamida dapat menyebabkan kanker manusia (bersifat
karsinogenik), itu juga menyebabkan cacat pada janin. Pada beberapa
sektor industri wanita dilarang bekerja dengan DMF (Farquharson et al.,
1983).
Tabel 5. Sifat fisik dan kimia dimetilformamida*
Sifat fisik/kimia Nilai
Bobot Molekul 73,09 g/mol
Penampakan Cairan jernih
Densitas, fase 0,944 g/cm³, cairan
Titik lebur -61 °C (212 K)
Titik didih 153 °C (426 K)
Konstanta dielektrik 36,7
Indeks polaritas 6,4
Titik nyala 58 °C
*) Anonim4, 2006

21
Air
Pati sagu

Menurut penelitian Wijanarko (2003) pelarut terbaik adalah kloroform


dengan nilai absorbansi 0.04 + 0.01 dan nilai swelling index sebesar 5.28 +
2.82. Hasil uji analisis ragam menunjukkan bahwa jenis pelarut tidak
berpengaruh nyata terhadap peningkatan viskositas larutan PHA. Waktu
pencampuran PHA setelah jam ke-48 menunjukkan fasa dan homogenitas
larutan yang tidak signifikan dilihat dari pengamatan visual.

22
III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

1. Bahan
Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan film bioplastik
adalah poli-β-hidroksialkanoates (PHA) hasil kultivasi aerob bakteri
Ralstonia eutropha dengan substrat hidrolisat pati sagu. Proses kultivasi
tersebut menggunakan strain bakteri Ralstonia eutropha IAM 12368 yang
diperoleh dari IAM Culture Collection, Institute of Molecular and Celular
Bioscience, The University of Tokyo. Sumber karbon yang digunakan
dalam substrat kultivasi adalah hidrolisat pati sagu (Metroxylon sp) yang
dipersiapkan melalui hidrolisis enzimatis pati sagu dengan enzim α-
amilase dan amiloglukosidase.
Bahan-bahan untuk kultivasi bakteri dan isolasi PHA adalah
nutrien broth, (NH4)2HPO4, K2HPO4, KH2PO4, MgSO4 0,1 M,
FeSO4.7H2O, MnCl2.4H2O, CoSO4.7H20, CaCl2.7H2O, CuCl2.2H2O,
ZnSO4.7H2O, buffer tris-hidroklorida, NaOH, dan NH4OH. Bahan yang
digunakan untuk analisa kinerja pelarut bioplastik adalah PHA, PHB
murni, kloroform, asam asetat glasial dan dimetilformamida.

2. Alat
Alat-alat utama yang digunakan untuk kultivasi PHA adalah
shaking waterbath, termometer, autoklaf, pH meter, bioreaktor 10 liter,
sentrifuse kecepatan tinggi, homogenizer, desikator, dan clean bench.
Peralatan yang digunakan untuk analisa pelarut adalah neraca
analitik, termometer, pendingin tegak, water bath, magnetic stirer, toples
kecil, stirer, pipet mikro, pompa vakum, corong pemisah,
spektrofotometer CECIL seri 2000, spektrofotometer DR 2000 dan
viskosimeter.
B. METODE PENELITIAN

Metode penelitian ini dibagi menjadi tahapan penelitian dan prosedur


percobaan. Tahapan penelitian menjelaskan tentang langkah-langkah yang
harus dilalui untuk mencapai tujuan penelitian, sedangkan prosedur penelitian
merupakan urutan kegiatan dan tata cara teknis tentang penelitian yang
dikerjakan.

1. Tahapan Penelitian

Penelitian ini terdiri dari empat tahap, yaitu (a) Menentukan faktor-
faktor yang mempengaruhi kelarutan PHA, (b) Menentukan interaksi
faktor-faktor perlakuan dan (c) Menentukan pengaruh perlakuan dalam
pembentukan lembaran PHA. Diagram alir tahapan penelitian dapat dilihat
pada Gambar 11.

Mulai

Menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan PHA

Menentukan interaksi faktor-faktor perlakuan

Menentukan pengaruh perlakuan dalam pembentukan lembaran PHA

Selesai

Gambar 11. Diagram alir tahapan penelitian

24
a. Menentukan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kelarutan PHA

Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan PHA dalam pelarut


organik meliputi jenis pelarut, perbandingan pelarut-PHA dan suhu
Hal ini didasarkan pada pernyataan Day dan Underwood (1999),
faktor-faktor penting yang mempengaruhi kelarutan adalah suhu, sifat
dari pelarut dan kehadiran ion-ion lain dalam larutan. Suhu, komposisi
(konsentrasi), pH, kekuatan ionik, dan irradiasi cahaya mempengaruhi
sifat kelarutan polimer dalam suatu pelarut (Mark et al., 2004).
Identifikasi pengaruh perlakuan dilakukan dengan analisis
ANOVA mengggunakan rancangan percobaan acak blok faktorial
3x2x3 dengan ulangan/replikasi sebagai bloknya. Variabel respon
dalam penelitian ini adalah nilai absorbansi, kekeruhan, viskositas dan
indeks swelling. Masing-masing perlakuan yang dimaksud adalah :

A. Jenis pelarut yang digunakan


A1 = kloroform
A2 = asam asetat glasial
A3 = dimetilformamida
B. Suhu
B1 = suhu kamar (25oC)
B2 = 500 C
C. Perbandingan PHA dengan pelarut
C1 = 1:10
C2 = 1:20
C3 = 1:30
Model umum rancangan percobaan adalah sebagai berikut :
Yijkl = μ + Ai + Bj + Ck + Dl + (AB)ij+ (AC)ik+ (BC)jk + (ABC) ijk + ε l(ijk)

Nilai pengamatan untuk pengaruh perlakuan A (jenis


pelarut) taraf ke-i, perlakuan B (Suhu) taraf ke-j,
Yijkl =
dengan perlakuan C (perbandingan PHA-pelarut)
taraf ke-k pada blok ke-l (l=1,2)

25
μ = Rata-rata sebenarnya
Ai = Pengaruh taraf ke-i perlakuan A (jenis pelarut)
Bj = Pengaruh taraf ke-j perlakuan B (suhu)
Pengaruh taraf ke-k perlakuan C (perbandingan
Ck =
PHA-pelarut)
Dl = Pengaruh blok taraf ke-l
Pengaruh interaksi/kombinasi antara perlakuan A
(AB)ij = (jenis pelarut) pada taraf ke-i dengan perlakuan B
(suhu) pada taraf ke-j
Pengaruh interaksi/kombinasi antara perlakuan A
(AC)ik = (jenis pelarut) pada taraf ke-i dengan perlakuan C
(perbandingan PHA-pelarut) pada taraf ke-k
Pengaruh interaksi/kombinasi antara perlakuan B
(BC)jk = (suhu) pada taraf ke-j dengan perlakuan C
(perbandingan PHA-pelarut) pada taraf ke-k
Pengaruh interaksi/kombinasi antara perlakuan A
(jenis pelarut) pada taraf ke-i, perlakuan B (suhu)
(ABC)ijk =
pada taraf ke-j dan perlakuan C (perbandingan PHA-
pelarut) pada taraf ke-k
Pengaruh galat dari satuan percobaan ke-l dalam
εl(ijk) =
kombinasi perlakuan (ijk)

b. Menentukan Interaksi Faktor-Faktor Perlakuan

Pengkajian interaksi faktor-faktor perlakuan dilakukan dengan


cara menguji lanjut analisis ragam hasil tahapan penentuan faktor-
faktor yang mempengaruhi kelarutan PHA . Uji lanjut menggunakan
metode LSR.

c. Menentukan Pengaruh Perlakuan Dalam Pembentukan


Lembaran PHA.

Menentukan pengaruh perlakuan dalam pembentukan lembaran


PHA dilakukan dengan mengkaji mekanisme pembentukan lembaran

26
pada polimer dan kaitannya dengan variabel respon pada perlakuan
penelitian. Pengamatan fisik setelah pelarutan juga dilakukan untuk
mengamati jenis pelarut dan kondisi pelarutan yang dapat
menghasilkan lembaran setelah terjadinya proses pelarutan.

2. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian ini ada dua tahapan. Tahap pertama adalah
pembuatan bahan baku bioplastik untuk menghasilkan PHA dan tahap
yang kedua adalah tahap penelitian utama yaitu analisa kinerja pelarut
bioplastik.
(a) Pembuatan Bahan Baku (PHA)

Pembuatan bahan baku bertujuan untuk memperoleh PHA


sebagai bahan utama pembuatan film bioplastik. Pembuatan bahan
baku terdiri dari tiga tahap, yaitu persiapan substrat, produksi PHA
secara fed batch, dan proses hilir PHA. Proses pembuatan bahan baku
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3.

(b) Pembuatan Larutan Bioplastik (Allcock dan Lampe, 1981;


Laffety et al. di dalam Rehm and Reid, 1988; Rabek 1983)

Larutan bioplastik dibuat melalui proses pencampuran antara


PHA dan pelarut. Pelarut yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kloroform, asam asetat glasial dan dimetilformamida. Menurut Lee
(1996), untuk melarutkan satu bagian PHA diperlukan 20 bagian
pelarut, oleh karena itu penelitian ini menggunakan konsentrasi
dibawah 20 bagian pelarut dan diatas 20 bagian pelarut, jadi
perbandingan PHA-pelarut yang digunakan adalah 1:10, 1:20 dan 1:30.
Perlakuan suhu dilakukan pada suhu ruang dan suhu 500C. Lama
pelarutan adalah 4 jam, sesuai dengan penelitian Sugiarti, R. (2003)
dan Akmaliah, P. (2003) mengenai pembuatan film bioplastik dengan
menggunakan substrat hidrolisat minyak sawit. Rangkaian alat untuk
proses pelarutan bioplastik dapat dilihat pada Gambar 12.

27
Gambar 12. Rangkaian alat proses pelarutan bioplastik
(A) Suhu kamar (25o C), (B) Suhu 500C

Analisa kelarutan PHA dilakukan dengan pengujian karakteristik


larutan bioplastik yang meliputi sifat fisik larutan yaitu nilai optical
density (absorbansi), kekeruhan, viskositas, dan indeks swelling larutan
PHA. Prosedur selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4. Diagram
prosedur penelitian adalah seperti pada Gambar 13.

Mulai

Pembuatan bahan baku :


a. Persiapan substrat
Pembuatan hidrolisat pati sagu
Persiapan kultur dan media kultivasi
b. Produksi PHA secara fed batch
c. Proses hilir

Pelarutan PHA dengan berbagai


perlakuan

Analisa Kelarutan PHA


(Absorbansi, kekeruhan, viskositas dan index swelling,
pengamatan fisik)

Selesai

Gambar 13. Diagram prosedur penelitian

28
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KELARUTAN PHA

Menurut Day dan Underwood (1999), faktor-faktor penting yang


mempengaruhi kelarutan adalah suhu, sifat dari pelarut dan kehadiran ion-ion
lainnya dalam larutan tersebut. Suhu, komposisi (konsentrasi), pH, kekuatan
ionik, dan irradiasi cahaya mempengaruhi sifat kelarutan polimer dalam suatu
pelarut (Mark et al., 2004). Berdasarkan penelitian Wijanarko (2003) tentang
pengaruh pelarut bioplastik yang menyarankan untuk menggunakan perlakuan
suhu, maka pada penelitian ini pencampuran dilakukan pada suhu kamar
(25oC) dan suhu 500C. Peningkatan suhu dapat mempercepat reaksi yang
terjadi. Apabila terjadi peningkatan suhu, beberapa polimer terurai akibat
kehilangan monomernya satu per satu (Cowd di dalam Clark, 1991). Polimer
yang terurai monomernya akan lebih mudah direaksikan dengan senyawa lain.
Pelarut yang digunakan dalam analisa ini merupakan pelarut-pelarut
yang biasa digunakan dalam produksi biopolimer. Menurut Lafferty et al. di-
dalam Rehm and Reid (1988), kelarutan PHB dalam beberapa pelarut,
menunjukkan kelarutan tinggi pada pelarut kloroform, asam asetat glasial dan
dimetilformamida (Lampiran 2). Pelarut PHA adalah aseton, benzena, butil
asetat, butil propionat, kloroform, 1,2-dikloroethana, dietilformamida, dimetil
karbonat, dimetil sulfoxida, dimetilformamida, etil asetat, metil asetat, asam
asetat glasial, 1,1,2,2-tetrakloroethana, 1,1,2-trikloroethana, 1,2,3-
trikloropropana, toluena, dan xilena (Noda, 1998). Durrans dan Davies (1988)
juga menyatakan hal yang sama bahwa kloroform, dimetilformamida dan
asam asetat glasial merupakan jenis pelarut yang memiliki kemampuan
melarutkan bioplastik pada suhu ruang atau sedikit diatas suhu ruang.
Mekanisme pelarutan polimer dalam suatu pelarut yang sesuai
didahului dengan meregangnya rantai polimer pada suatu dimensi mekanik.
Hasil peregangan ini adalah terurainya ikatan sambung silang yang ada di
dalam polimer. Lalu pelarut masuk ke dalam jaringan polimer, sehingga
volumenya naik secara isotropicaly (sama ke setiap arah). Pelarut
meningkatkan pemisahan ikatan sambung silang dalam polimer dengan
menggunakan simetri bola (ke segala arah, semua vektor dengan panjang
faktor konstan), sehingga semua gaya dorong menjadi seimbang dan
menyebabkan imbibisi pelarut dalam polimer (Gordon, 1963). Proses ini
diilustrasikan seperti pada Gambar 14. Setelah pelarut berimbibisi ke dalam
molekul PHA, maka rantai PHA menjadi lebih meregang. Ketika pemlastis
ditambahkan, maka pemlastis tersebut akan mudah untuk tersisip di antara
rantai-rantai PHA.

Polimer

Polimer + Pelarut

Gambar 14. (a). Reaksi antara polimer dan pelarut (b) Reaksi penambahan
pemlastis pada polimer (Spink dan Waychoff, 1958)

Polimer memiliki molekul yang berbeda dengan molekul kebanyakan


senyawa, karena memiliki rantai fleksibel yang sangat panjang, yang terdiri
dari unit-unit yang berulang. Unit berulang ini memiliki ikatan yang fleksibel
yang terbagi ke dalam segmen kinetik yang bergerak translasional sangat
lambat jika dibandingkan dengan molekul kebanyakan (Furukawa, 2005), oleh
karena itu pelarutan PHA dalam pelarut tidak mengikuti kaidah Ksp
melainkan mengikuti kaidah sistem solven (interaksi dipol-dipol (Gaya van
der waals) antara pelarut dengan zat terlarut) (Pine et al., 1988). Terdapat
berbagai gaya antar rantai di dalam polimer. Jika rantai polimer berinteraksi
dengan molekul pelarut sesuai maka akan terdapat kecenderungan ujung
positif suatu dipol menuju ke arah ujung negatif dipol yang lain. Pada rantai
polimer sendiri, bagian σ- suatu rantai akan tertarik ke bagian σ+ rantai
tetangganya, sehingga menyebabkan terjadinya tarikan antar rantai. Gaya ini
disebut gaya van der waals (gaya orientasi) dan biasanya kecil.

30
Polimer larut sempurna atau menggembung oleh pelarut tertentu. Jika
polimer itu larut, maka dengan menambahkan lebih banyak polimer, proses
kelarutannya mungkin terjadi lebih lambat atau bahkan dicegah oleh
kekentalan larutan yang semakin tinggi, bukan karena tercapainya keadaan
jenuh. Beberapa kaidah umum dapat diterapkan untuk menjelaskan kerumitan
tadi. Kaidah “pelarut melarutkan senyawa sejenisnya”, sehingga polimer dan
pelarut yang sama strukturnya akan mendorong terjadinya pelarutan, misalnya
polimer polar akan cenderung larut pada pelarut polar. Kelarutan polimer
berkurang dengan bertambahnya massa molekul. Jika suatu polimer dapat
larut dalam pelarut yang cocok dan kemudian ditambahkan bukan pelarut
(atau jika larutan polimer dituangkan ke dalam bukan pelarut yang jumlahnya
berlebihan), maka polimer akan mengendap (Cowd di dalam Clark, 1991).
PHA telah dibuktikan bersifat biodegradabel dalam lingkungan
mikrobial aktif baik aerobik maupun anaerobik, seperti pada limbah kompos
aerobik dan anaerobik, sediman estuarin, tanah, air sungai, dan air laut
(Krupp dan Jewel, 1992; Page et al., 1992; Doi et al., 1991). Beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi biodegradasi suatu polimer adalah geometri
molekuler ikatan rantai panjang (berkaitan dengan panjang rantai polimer atau
bobot molekulnya), kompleksibilitas struktur polimer (berkaitan dengan
kerumitan struktur polimer seperti adanya rantai cabang, rantai rangkap,
amorf, dan kristalin) dan sifat hidrofilik polimer (kelarutan dalam air)
(Andrady, 2000). Pelarut tidak mengakibatkan berubahnya geometri
molekuler ataupun struktur rantai PHA karena fungsi pelarut adalah untuk
meregangkan ikatan antar monomer PHA sehingga pemlastis dapat lebih
mudah berikatan dengan PHA, setelah itu pelarut dapat dipisahkan dari PHA
dengan cara evaporasi. Oleh karena itu, pelarutan PHA tidak mempengaruhi
efektifitas biodegdradasi PHA di alam. Hal ini tentunya berbeda dengan
penambahan pemlastis dalam PHA yang mempengaruhi biodegradasi PHA di
alam, karena menurut Cuq (1997), penambahan pemlastis pada bahan polimer
mengakibatkan terjadinya modifikasi pada susunan tiga dimensi molekul,
menaikkan mobilitas rantai, menurunkan gaya tarik intermolekul dan Tg (suhu

31
peralihan dari bentuk kaca ke karet (rubber) untuk polimer amorf atau
peralihan dari kaca ke termoplastik untuk polimer kristalin) bahan amorf.
Penentuan jenis pelarut dan kondisi pelarutan yang sesuai untuk
pembuatan film biopolimer dengan bahan dasar PHA merupakan hal yang
sangat penting. Jenis pelarut dan kondisi pelarutan yang sesuai untuk PHA
akan menghasilkan lembaran PHA tanpa penambahan pemlastis. Analisa
kelarutan bioplastik PHA dilakukan melalui pengukuran sifat fisik larutan
yaitu nilai optical density (absorbansi), kekeruhan, viskositas, dan indeks
swelling larutan PHA.

a. Absorbansi (Optical Density)

Pengukuran absorbansi dilakukan dengan menggunakan alat


spektrofotometer, dengan panjang gelombang yang sesuai untuk
absorbansi cahaya yang maksimal oleh PHA. Rabek (1983) menjelaskan
bahwa aktivitas optik pada larutan biopolimer terdiri dari rotasi cahaya
yang terpolarisasi secara liniear di sekitar sumbu perputaran cahaya. Hal
ini terjadi ketika cahaya melewati sejumlah polimer dalam keadaan cair
atau terlarut. Absorbsi sinar ultraviolet dan radiasi elektromagnetik cahaya
tampak oleh rantai utama polimer mengakibatkan transisi di antara tingkat
energi elektronik dari makromolekul, hasilnya merupakan spektrum
absorbsi elektron.
Dasar dari spektroskopi adalah interaksi dari radiasi dengan bahan
dari panjang gelombang yang sangat pendek sampai sangat tinggi. Tidak
semua zat dapat menyerap energi radiasi dari sinar, tetapi hanya jika
energi tersebut dibutuhkan oleh zat untuk mengadakan perubahan kimia
molekul. Jadi, hanya sinar yang mempunyai energi atau panjang
gelombang tertentu yang diserap oleh molekul (Winarno, 1973). Panjang
gelombang yang sesuai untuk absorbsi cahaya yang maksimal oleh PHA
yaitu pada 575 nm (Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid, 1988).
Rabek (1983) menjelaskan bahwa absorbansi juga berkaitan
dengan penyebaran cahaya di dalam larutan biopolimer. Penyebaran
cahaya pada media yang homogen ditunjukkan dengan nilai absorbansi

32
yang rendah, sedangkan pada media yang tidak homogen ditunjukkan
dengan nilai absorbansi yang tinggi dimana cahaya tersebut disebarkan ke
semua arah.
Larutan dengan nilai absorbansi yang rendah menunjukkan
kelarutan PHA yang tinggi terhadap pelarut, karena pelarut mampu
meregangkan rantai ikatan molekul PHA sehingga terdispersi secara
merata di dalamnya. Begitu pula sebaliknya, nilai absorbansi yang besar
menunjukkan kelarutan PHA yang rendah, karena pelarut tidak mampu
memisahkan ikatan antar molekul PHA, hal ini mengakibatkan PHA tidak
terdispersi secara merata. Data nilai absorbansi dapat dilihat pada
Lampiran 6. Gambar 15 menunjukkan histogram hubungan jenis dan
perbandingan PHA-pelarut serta suhu pelarutan dengan nilai absorbansi
larutan.

100
90
80
Nilai Absorbansi

70
60
50
40
30
20
10
0
10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30
kmr 50 kmr 50 kmr 50

kloroform asam asetat glasial dimetil formamide

Gambar 15. Histogram hubungan antara jenis pelarut, perbandingan PHA-


pelarut dan suhu dengan nilai absorbansi

Dari histogram pada Gambar 15 terlihat bahwa dengan semakin


banyak pelarut yang digunakan maka semakin kecil pula nilai absorbansi.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Cowd di dalam Clark (1991) bahwa
peningkatan absorbansi cahaya berhubungan dengan konsentrasi. Semakin
besar konsentrasi pelarut maka nilai absorbansi semakin kecil, begitu pula
sebaliknya, apabila konsentrasi pelarut kecil maka nilai absorbansi juga

33
semakin besar karena adanya peningkatan hamburan cahaya. Data tabel
(Lampiran 6) menunjukkan bahwa nilai absorbansi yang paling rendah
adalah pada perlakuan pelarut kloroform dengan perbandingan PHA-
pelarut 1:30 dan suhu pelarutan 50oC yang memiliki nilai absorbansi
sebesar 0.375 untuk ulangan pertama dan 0.25 untuk ulangan yang kedua.
Ini berarti bahwa PHA dapat larut dengan baik pada pelarut kloroform.
Nilai absorbansi yang paling tinggi adalah pada perlakuan pelarut
asam asetat glasial dengan perbandingan PHA-pelarut 1:10 dan suhu
pelarutan 500C, yaitu 87.8125 (ulangan pertama) dan 44,125 (ulangan
kedua). PHA dalam asam asetat tidak terdispersi secara merata. Oleh
karena itu, dibutuhkan sampai 125 kali pengenceran sehingga didapatkan
pembacaan nilai absorbansi yang baik, yaitu antara 0.2 sampai 0.8. Hasil
analisis ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa blok, perlakuan jenis
pelarut, perlakuan suhu, perlakuan perbandingan PHA-pelarut dan
interaksi antara jenis pelarut dengan suhu pelarutan berpengaruh nyata
terhadap nilai absorbansi larutan PHA.

b. Kekeruhan (Turbidimetry)
Kekeruhan berhubungan dengan konsentrasi zat yang diukur dan
intensitas sorotan cahaya yang melewati larutan (Anonim7, 2006). Apabila
seberkas sinar ditembuskan ke dalam cairan yang tidak homogen, sebagian
sinar dihamburkan. Hal ini disebabkan kerapatan cairan yang tidak
seragam. Peningkatan hamburan dapat dihubungkan dengan konsentrasi
dan massa molekul zat terlarut (Cowd di dalam Clark, 1991) .
Pengukuran kekeruhan pada prinsipnya hampir sama dengan
pengukuran absorbansi larutan. Pengukuran berdasarkan pada sistem
deteksi optik dari partikel yang sangat kecil yang tersuspensi dalam
pelarut. Sorotan cahaya akan mengirimkan gelombang cahaya yang lalu
dipencar-pencarkan sesuai dengan sudut dari kekeruhan. Semakin keruh
suatu zat, maka semakin banyak cahaya yang diserap. Larutan yang
memiliki nilai kekeruhan yang besar menunjukkan kelarutan PHA yang
rendah pada larutan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya cahaya yang
diserap oleh partikel PHA yang terdispersi di dalam larutan.

34
Pengujian nilai kekeruhan menghasilkan hubungan yang positif
dengan pengujian nilai absorbansi. Pada penelitian ini didapatkan
histogram seperti Gambar 16 yang menunjukkan hasil nilai kekeruhan
yang terbesar terdapat pada perlakuan pelarut asam asetat dengan suhu
500C dan perbandingan PHA-pelarut 1:10 yang bernilai 552 FTU pada
ulangan pertama dan 490 FTU pada ulangan yang kedua. Nilai kekeruhan
yang terkecil adalah pada perlakuan pelarut kloroform dengan suhu kamar
dan perbandingan PHA-pelarut 1:30 yaitu sebesar 39 FTU (ulangan
pertama) dan 38 FTU (ulangan kedua). Hasil lengkap pengujian kekeruhan
dapat dilihat pada Lampiran 9.

600
500
Nilai Kekeruhan

400

300
200

100

0
10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30

kmr 50 kmr 50 kmr 50

kloroform asam asetat glasial dimetil formamide

Gambar 16. Histogram hubungan antara jenis pelarut, perbandingan PHA-


pelarut dan suhu dengan nilai kekeruhan

Analisis keragaman (Lampiran 10) menunjukkan bahwa blok,


perlakuan jenis pelarut, perlakuan suhu, perlakuan perbandingan PHA-
pelarut, interaksi antara jenis pelarut dengan suhu pelarutan dan interaksi
suhu dengan perbandingan PHA-pelarut memberikan pengaruh nyata
terhadap nilai kekeruhan.

35
c. Viskositas

Viskositas larutan polimer cenderung berkurang dengan turunnya


konsentrasi dan dengan naiknya suhu. Akan tetapi, terdapat beberapa
pengecualian pada polimer yang mengandung gugus terionkan seperti
gugus asam karboksilat. Pada konsentrasi diatas 1%, rantai-rantai dalam
larutan dapat bertindihan dan akibat gaya tolak menolak antar muatan
sejenis pada rantai yang berdampingan, serta pengionan tak sempurna
yang mungkin terjadi, maka rantai tidak memanjang terlalu banyak (Cowd
di dalam Clark, 1991). Menurut Allcock dan Lampe (1991), peningkatan
viskositas yang tinggi diduga disebabkan oleh perubahan ukuran dan
bentuk polimer terlarut di dalam pelarut.
Pada penelitian didapatkan hasil analisis ragam (Lampiran 12)
bahwa blok, perlakuan jenis pelarut, perlakuan suhu, perlakuan
perbandingan PHA-pelarut, interaksi antara jenis pelarut dengan suhu serta
interaksi antara jenis pelarut dengan perbandingan PHA-pelarut
memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan nilai viskositas pelarut
biopolimer. Jenis pelarut mempengaruhi peningkatan nilai viskositas
larutan karena masing-masing pelarut mempunyai sifat fisik dan kimia
yang berbeda, hal ini menyebabkan interaksi yang berbeda pula antara
pelarut dengan PHA. Kenyataan ini sesuai dengan pernyataan Allcock dan
Lampe (1981) bahwa besarnya peningkatan viskositas dari larutan
berbeda-beda nilainya relatif sesuai jenis pelarut yang digunakan.
Histogram peningkatan nilai viskositas (Gambar 17) menunjukkan
bahwa kenaikan viskositas tertinggi terjadi pada PHA yang dilarutkan
pada perbandingan PHA-pelarut 1:10. Apabila dilihat lebih cermat
didapatkan data bahwa nilai peningkatan viskositas terkecil adalah pada
perlakuan pelarut asam asetat glasial pada suhu kamar sebesar 0.06 Cp
untuk ulangan pertama dan 0.09 Cp pada ulangan kedua, sedangkan yang
memiliki peningkatan nilai viskositas terbesar adalah pada perlakuan
pelarut kloroform 1:10 pada suhu 500 C yang memiliki peningkatan nilai
0.384 Cp pada ulangan pertama dan 0.537 Cp untuk ulangan kedua.
Viskositas merupakan hasil dari pergeseran fluida sehingga kekentalan

36
dapat dukur dengan mengukur geseran atau gaya geserannya (shear force).
Fluida dengan viskositas rendah gaya gesernya akan rendah (Srivastava,
1989).

0.45

Peningktan Viscositas
0.4
0.35
0.3
0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0
10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30

kmr 50 kmr 50 kmr 50

kloroform asam asetat glasial dimetil formamide

Gambar 17. Histogram hubungan antara jenis pelarut, perbandingan PHA-


pelarut dan suhu dengan peningkatan nilai viskositas

Pada pelarutan dengan menggunakan PHB blanko dapat dilihat


pada Lampiran 5, bahwa kenaikan viskositas yang terjadi sangat besar
ketika PHB blanko dilarutkan pada kloroform dengan suhu 50oC.
Peningkatan nilai viskositas ini menandakan pelarut dapat melakukan
imbibisi dan meningkatnya pembentukan rantai PHB yang membelit satu
sama lain yang membentuk ikatan seperti gulungan (Gordon, 1963).
Peningkatan suhu akan menyebabkan rantai molekul PHB menjadi
terpisah lebih jauh dan meregang (Cowd di dalam Clark, 1991),
sehingga molekul pelarut dapat melakukan proses imbibisi ke dalam
molekul PHB blanko dengan baik.
Indikator pengujian viskositas digunakan untuk mengetahui
interaksi pelarutan. Apabila nilai viskositas sebelum dan sesudah pelarutan
sama saja atau berbeda tidak terlalu besar, proses pelarutan tidak terjadi
atau terjadi namun kelarutannya sangat rendah. Hal tersebut seperti yang
diutarakan Cowd di dalam Clark (1991) bahwa salah satu ciri polimer
(biopolimer) adalah menghasilkan larutan yang jauh lebih kental daripada
pelarut murninya.

37
d. Swelling Index

Kemampuan suatu polimer untuk menyerap pelarut dan mengalami


pengembangan volume tertentu merupakan fenomena yang umum.
Ratio/indeks swelling merupakan rasio dari volume pengembangan
polimer menjadi semacam gel dalam keseimbangan dengan pelarut murni
(Gordon, 1963). Menurut Rabek (1983), apabila suatu jenis biopolimer
dilarutkan dalam cairan pelarut yang sesuai bagi polimer tersebut, larutan
tersebut akan mengalami pengembangan (swelling) pada suatu tingkatan
tertentu tergantung pada interaksi antara biopolimer terlarut dengan
pelarutnya.
Fenomena suatu polimer menyerap pelarut dan mengalami
pengembangan saat pelarutan terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama,
polimer “mengambil” atau menyerap pelarut dan mengembang menjadi
suatu gel (swelling). Tahap pertama tersebut terjadi pada semua polimer
linear, bercabang, amorf, dan berikatan silang. Tahap kedua pelarutan
terdiri dari pemecahan gel untuk menghasilkan larutan molekul polimer
sebenarnya di dalam pelarut yang diberikan (Allcock dan Lampe, 1981).
Larutan PHA dengan pelarut kloroform memberikan nilai indeks
swelling yang paling tinggi, yaitu perlakuan kloroform dengan
perbandingan PHA-pelarut 1:30 pada suhu 500C yang bernilai 115.197
(ulangan pertama) dan 132.28 (ulangan kedua). Hasil ini sejalan dengan
pendapat Pruett (1988) yang menyatakan bahwa polipropilen yang
memiliki sifat menyerupai PHA memberikan nilai swelling yang tinggi
terhadap pelarut kloroform. Nilai indeks swelling terkecil adalah pada
perlakuan pelarut dimetilformamida dengan perbandingan PHA-pelarut
1:10 pada suhu kamar sebesar 0.2823 untuk ulangan pertama dan 0.4116
untuk ulangan yang kedua. Histogram nilai indeks swelling dapat dilihat
pada Gambar 18.

38
140

Nilai Indeks Swelling


120
100
80
60
40
20
0
10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30

kmr 50 kmr 50 kmr 50

kloroform asam asetat glasial dimetil formamide

Gambar 18. Histogram hubungan antara jenis pelarut, perbandingan PHA-


pelarut dan suhu dengan nilai swelling index

Nilai indeks swelling yang besar pada kloroform menunjukkan


bahwa PHA lebih mudah menyerap pelarut kloroform dibandingkan kedua
pelarut lainnya. Menurut Allcock dan Lampe (1981) penyerapan pelarut
oleh polimer ini disebabkan rantai polimer berada dalam gerakan yang
lentur pada suhu ruangan, sehingga molekul-molekul pelarut dapat
memasuki kisi-kisi polimer dan memisahkan molekul-molekul besar. Pada
akhirnya, polimer akan larut, kecuali apabila terdapat ikatan silang. Rantai
ikatan silang dapat memberikan pembatas pada tingkat kemampuan rantai
untuk memisah dan akhirnya menghambat terjadinya swelling. Data nilai
indeks swelling dapat dilihat pada Lampiran 15.
Analisis ragam pada Lampiran 16 menunjukkan bahwa blok,
perlakuan jenis pelarut, perlakuan suhu, perlakuan perbandingan PHA-
pelarut dan interaksi perlakuan jenis pelarut dengan suhu berpengaruh
nyata terhadap nilai swelling index. Perlakuan jenis pelarut berpengaruh
terhadap nilai swelling index sesuai dengan hasil penelitian Wijanarko
(2003), yang menyatakan bahwa jenis pelarut mempengaruhi nilai swelling
index larutan PHA hidrolisat minyak sawit.

39
B. INTERAKSI FAKTOR-FAKTOR PERLAKUAN

a. Absorbansi (Optical Density)

Hasil analisis ANOVA menunjukkan bahwa interaksi antara jenis


pelarut dan suhu berpengaruh nyata terhadap pengukuran absorbansi.
Interaksi antara jenis pelarut dan suhu kemudian diuji lanjut (Lampiran 8),
sehingga menghasilkan grafik seperti pada Gambar 19. Grafik
menunjukkan bahwa dengan adanya peningkatan suhu maka nilai
absorbansi untuk pelarut asam asetat glasial dan dimetilformamida
cenderung meningkat. Hal ini berbeda dengan pelarut kloroform yang
memiliki nilai absorbansi yang cenderung menurun dengan peningkatan
suhu.

140
Rata-rata Nilai Absorbansi

120

100
Kloroform
80
Asam asetat glasial
60
Dimetilformamida
40

20

0
Suhu kamar Suhu 50
Perlakuan Suhu

Gambar 19. Grafik interaksi antara jenis pelarut dan suhu pelarutan
terhadap nilai absorbansi

Menurut Hildebrand (1970), nilai absorbansi menunjukkan pola


dispersi dan ukuran partikel PHA terlarut di dalam larutan. Peningkatan
suhu menyebabkan partikel PHA dalam asam asetat glasial dan
dimetilformamida menjadi bergerak acak. Partikel ini menyebarkan
cahaya ke segala arah dan menyebabkan naiknya nilai absorbansi. Pada
pelarut kloroform, dengan meningkatnya suhu menyebabkan kelarutan
PHA dalam kloroform meningkat, molekul PHA terdispersi secara merata

40
di dalam pelarut, karena ukuran partikel yang sangat kecil menyebabkan
pembacaan nilai absorbansi menjadi turun.
Kelarutan PHA yang baik adalah pada perlakuan yang
menghasilkan nilai absorbansi terkecil, karena absorbansi yang kecil
menunjukkan kelarutan PHA yang tinggi pada pelarut. Hasil uji lanjut
(Lampiran 8) pada perlakuan perbandingan PHA-pelarut menunjukkan
bahwa nilai absorbansi terkecil terdapat pada perlakuan perbandingan
PHA-pelarut 1:30 (Gambar 20), yang memiliki perbedaan yang nyata
dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Hal ini sesuai dengan pendapat
Cowd di dalam Clark (1991) yang mengatakan bahwa peningkatan
hamburan cahaya berhubungan dengan konsentrasi dan massa molekul zat
terlarut. Semakin besar konsentrasi pelarut, maka hamburan cahaya akan
semakin kecil, begitu pula sebaliknya, jika konsentrasi pelarut kecil maka
hamburan cahaya akan semakin besar. Hal ini ditandai dengan besarnya
nilai absorbansi.

30
Rata-rata nilai absorbansi

25

20

15

10

0
1:10 1:20 1:30
Perbandingan PHA-pelarut

Gambar 20. Histogram hasil uji lanjut perbandingan PHA-pelarut terhadap


nilai absorbansi

41
b. Kekeruhan (Turbidimetry)

Pada analisis ragam, diketahui bahwa interaksi antara perlakuan


jenis pelarut dengan suhu pelarutan berpengaruh nyata terhadap nilai
kekeruhan pada tingkat kepercayaan 99%, kemudian dilakukan uji lanjut
dengan menggunakan metode LSR. Uji lanjut (Lampiran 11) interaksi
antara perlakuan jenis pelarut dengan suhu pelarutan menunjukkan ketiga
pelarut mengalami kenaikan nilai kekeruhan seiring dengan kenaikan
suhu. Perlakuan suhu berpengaruh terhadap nilai kekeruhan karena
kenaikan suhu menyebabkan terjadinya browning (pencoklatan) terhadap
molekul PHA akibat panas. Hal tersebut mengakibatkan warna larutan
menjadi lebih gelap dan akan mempengaruhi pembacaan nilai kekeruhan.
Warna yang lebih gelap akan menyerap gelombang cahaya, sehingga
pembacaan nilai kekeruhan akan semakin besar (Anonim8, 2006). Grafik
interaksi antara jenis pelarut dan suhu pelarutan terhadap nilai kekeruhan
dapat dilihat pada Gambar 21. Pada grafik terlihat bahwa perlakuan
kloroform dengan menggunakan suhu kamar memiliki nilai kekeruhan
terkecil yang berbeda nyata dengan interaksi jenis pelarut dan suhu lainnya
setelah diuji lanjut.

1400

1200
Nilai rata2 Kekeruhan

1000
Kloroform
800
As asetat glasial
600
Dimetilformamida
400

200

0
Suhu kamar Suhu 50
Perlakuan Suhu

Gambar 21. Grafik interaksi antara jenis pelarut dan suhu pelarutan
terhadap nilai kekeruhan

42
Analisis ragam juga menunjukkan bahwa interaksi suhu pelarutan
dengan perbandingan PHA-pelarut mempengaruhi pengukuran nilai
kekeruhan PHA. Gambar 22 memperlihatkan hubungan antara suhu
pelarutan dengan perbandingan PHA-pelarut, nilai kekeruhan mengalami
penurunan seiring dengan bertambahnya jumlah pelarut. Perlakuan
perbandingan PHA-pelarut mempengaruhi pembacaan nilai kekeruhan
karena semakin keruh suatu zat, maka semakin banyak cahaya yang
diserap (Anonim8, 2006), akibatnya pembacaan nilai kekeruhan juga
semakin besar. Perlakuan terbaik adalah perlakuan yang menghasilkan
nilai kekeruhan terkecil, karena nilai kekeruhan yang kecil menunjukkan
kelarutan PHA yang tinggi pada pelarut. Perlakuan yang menghasilkan
nilai kekeruhan terkecil pada grafik adalah pada perlakuan suhu kamar
dengan perbandingan PHA-pelarut 1:30.

1200

1000
Nilai Rata2 Kekeruhan

800
Suhu kamar
600
Suhu 50
400

200

0
1:10 1:20 1:30
Perbandingan PHA-pelarut

Gambar 22. Grafik interaksi antara suhu pelarutan dengan perbandingan


PHA-pelarut terhadap nilai kekeruhan

43
c. Viskositas

Uji lanjut (Lampiran 14) dilakukan untuk mengetahui hubungan


antara jenis pelarut dengan konsentrasi yang memberikan pengaruh nyata
terhadap peningkatan nilai viskositas. Grafik pada Gambar 23
menunjukkan bahwa sejalan dengan meningkatnya konsentrasi, nilai
viskositas semakin turun. Hal ini disebabkan pada saat larutan diencerkan,
PHA dalam pelarut menjadi lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah
pelarut yang ada disekitarnya, inilah yang menyebabkan turunnya gaya
geser fluida dan pembacaan nilai viskositas juga menjadi turun.

0.8
0.7
Rata2 Peningkatan nilai

0.6
viskositas

0.5 Kloroform
0.4 As asetat glasial
0.3 Dimetilformamida
0.2
0.1
0
1:10 1:20 1:30
Perbandingan PHA-pelarut

Gambar 23. Grafik interaksi antara jenis pelarut dengan perbandingan


PHA-pelarut terhadap peningkatan nilai viskositas

Dari analisis ragam pada Lampiran 13, interaksi antara perlakuan


jenis pelarut dan suhu mempengaruhi peningkatan nilai viskositas. Uji
lanjut yang dilakukan pada interaksi ini, disajikan pada Lampiran 14.
Gambar 24 menunjukkan bahwa dengan bertambahnya suhu pelarutan
maka nilai viskositas ketiga pelarut juga menjadi ikut naik. Pada
umumnya, nilai viskositas larutan turun dengan bertambahnya suhu
pelarutan sesuai dengan pernyataan Allcock dan Lampe (1981). Namun
Cowd di dalam Clark (1991) menyatakan bahwa pada larutan polimer
terjadi perbedaan atau terdapat sifat anomali yaitu dengan naiknya suhu,

44
kekentalan larutan turun seperti yang diharapkan, akan tetapi pada suhu
yang lebih tinggi, kekentalan mulai meningkat lagi. Hal tersebut terjadi
karena ada rantai PHA yang membelit secara acak yang mengakibatkan
peningkatan kekentalan.

1.2
Rata2 peningkatan nilai

0.8
viskositas

Kloroform
0.6 As asetat glasial
Dimetilformamida
0.4

0.2

0
Suhu kamar Suhu 50
Perlakuan Suhu

Gambar 24. Grafik interaksi antara jenis pelarut dengan suhu pelarutan
terhadap peningkatan nilai viskositas

Fenomena peningkatan nilai viskositas pada kenaikan suhu dapat


dijelaskan sebagai berikut, ketika PHA hidrolisat pati sagu dilarutkan pada
suhu ruang, gaya Gaya Van der Waals yang dibutuhkan pelarut untuk
meregangkan ikatan polimer dalam PHA tidak lebih besar dari gaya ikat
antar molekul PHA akibatnya pelarut belum banyak yang berimbibisi ke
dalam PHA, nilai viskositas yang terbaca juga cenderung lebih kecil.
Ketika suhu naik, rantai molekul PHA menjadi terpisah lebih berjauhan
dan meregang (Cowd di dalam Clark, 1991), pelarut dapat lebih mudah
berimbibisi dalam molekul PHA dan menyebabkan nilai viskositas yang
terbaca naik.

45
d. Swelling Index

Uji lanjut (Lampiran 17) dilakukan untuk melihat sejauh mana


interaksi perlakuan jenis pelarut dengan suhu mempengaruhi nilai swelling
index. Gambar 25 menunjukkan bahwa sejalan dengan peningkatan suhu,
maka nilai indeks swelling akan cenderung mengalami kenaikan. Pruett
(1988) menyatakan bahwa untuk mendapatkan nilai swelling yang lebih
tinggi, dibutuhkan suhu pelarutan yang lebih tinggi melalui proses
annealing atau pemanasan. Peningkatan suhu membuat molekul-molekul
pelarut dapat lebih mudah memasuki kisi-kisi PHA dan menyebabkan
PHA mengalami pengembangan/swelling. Nilai indeks swelling tertinggi
pada grafik ditunjukkan oleh perlakuan kloroform dengan suhu pelarutan
sebesar 50oC.

250
Nilai rata2 indeks swelling

200

150 Kloroform
As asetat glasial
100 Dimetilformamida

50

0
Suhu kamar Suhu 50
Perlakuan Suhu

Gambar 25. Grafik interaksi antara jenis pelarut dengan suhu pelarutan
terhadap nilai indeks swelling

Perlakuan terbaik dalam pengukuran swelling index ini adalah


perlakuan yang menghasilkan nilai swelling index terbesar, karena nilai
swelling index yang besar menunjukkan bahwa PHA lebih mudah
menyerap pelarut. Hasil uji lanjut (Lampiran 17) pada perlakuan
perbandingan PHA-pelarut menunjukkan bahwa nilai indeks swelling
terbesar terdapat pada perlakuan perbandingan PHA-pelarut 1:30
(Gambar 26), yang memiliki perbedaan yang nyata dibandingkan dengan

46
perlakuan yang lain. Kenaikan nilai indeks swelling ini disebabkan pada
saat larutan diencerkan (konsentrasi bertambah), rantai polimer menjadi
terpisah lebih berjauhan (Cowd di dalam Clark, 1991). Hal ini
memungkinkan molekul-molekul pelarut dapat memasuki kisi-kisi PHA,
menyebabkan PHA mengembang (swelling) dengan lebih baik pula.

40
Nilai rata2 indeks swelling

35
30
25
20
15
10
5
0
1:10 1:20 1:30
Perbandingan PHA-pelarut

Gambar 26. Histogram hasil uji lanjut perbandingan PHA-pelarut


terhadap nilai indeks swelling

C. PENGARUH PERLAKUAN DALAM PEMBENTUKAN LEMBARAN


PHA.

PHA dengan pelarut dan kondisi pelarutan yang sesuai menghasilkan


larutan yang homogen (Allcock dan Lampe, 1981). Larutan bioplastik yang
homogen berarti pelarut dapat melakukan imbibisi dengan baik, yang terlihat
secara fisik sebagai larutan yang memiliki viskositas yang tinggi dibandingkan
dengan viskositas pelarut murni (Cowd di dalam Clark, 1991) dan dapat
membentuk lembaran bioplastik.
Pembentukan lembaran bioplastik terjadi karena interaksi fisik antara
PHA dengan pelarut. Menurut Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid (1988),
molekul PHA mengadsorpsi pelarut membentuk belitan yang acak dan
molekul PHA menjadi mengembang dengan volume yang besar. Pembesaran
partikel terjadi terus menerus sehingga molekul PHA bersinggungan dan
membelit/melingkari satu sama lain. Hal tersebut mengakibatkan seluruh

47
sistem menjadi tetap dan kaku sehingga terbentuklah lembaran (Anonim5,
2006).
Pengamatan fisik dilakukan untuk mengetahui kemampuan PHA
membentuk lembaran kembali setelah pelarutan. Hal ini penting untuk
diketahui, karena untuk menghasilkan film bioplastik dibutuhkan PHA yang
dapat membentuk lembaran setelah pelarutan tanpa adanya penambahan
pemlastis.
Dari semua sampel yang dianalisa hanya PHA yang dilarutkan dalam
kloroform saja yang dapat membentuk lembaran dalam semua perlakuan suhu.
Hal ini dikarenakan PHA (non polar) dapat larut dalam kloroform (non polar)
dengan baik dan membentuk larutan yang homogen sesuai dengan pernyataan
Keenan et al. (1984) terdapat kecenderungan kuat bagi senyawa non polar
untuk larut dalam pelarut non polar dan bagi senyawa kovalen polar atau
senyawa ion untuk larut dalam pelarut polar, dengan perkataan lain, sejenis
melarutkan sejenis. PHA dalam kloroform dapat terdispersi dengan baik,
rantai PHA akan meregang dengan molekul kloroform berada disekitarnya,
rantai-rantai PHA ini akan saling membelit satu sama lain dan membesar
karena kloroform berimbibisi ke dalam molekulnya (Gordon, 1963). Ketika
kloroform di uapkan, molekul PHA saling bersinggungan dan membentuk
belitan antar rantai yang satu dengan yang lain sehingga terbentuk lembaran.
Hasil pengamatan fisik untuk perlakuan dengan menggunakan pelarut
kloroform disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 . Hasil pengamatan fisik pelarutan dengan kloroform

Konsentrasi Suhu kamar (25o C) Suhu 50o C


Terbentuk lembaran , tidak Terbentuk lembaran, tebal
1:10 rata dan tebal dan tidak rata
Terbentuk lembaran , tidak Terbentuk lembaran tidak
rata dalam cetakan, yang rata ketebalannya
1:20 tebal baik, yang tipis rapuh,
bentuk mirip kertas
Terbentuk lembaran, baik, Terbentuk lembaran
1:30 rapuh, seperti PHA awal, permukaan rata
bentuk rata

48
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan yang membentuk
lembaran yang paling baik teksturnya dan rata ketebalannya adalah perlakuan
pelarut kloroform yang memiliki perbandingan PHA-pelarut 1:30 pada suhu
500C. Penampakan PHA setelah dilarutkan pada kloroform dapat dilihat pada
Gambar 27.

Keterangan :
(A) 1:10 suhu kamar (25 oC) (D) 1:10 suhu 500 C
(B) 1:20 suhu kamar (25 oC) (E) 1:20 suhu 500 C
(C) 1:30 suhu kamar (25 oC) (F) 1:30 suhu 500 C

Gambar 27. Foto hasil pengamatan fisik pelarutan PHA dengan kloroform

PHA yang dilarutkan dalam perlakuan pelarut asam asetat glasial,


tidak ada yang dapat menghasilkan lembaran. Semua sampel hanya
membentuk butiran halus (seperti pasir) dan PHA berwarna lebih pucat dari
awal pelarutan, karena asam asetat glasial mendegradasi warna PHA (awal
berwarna coklat muda, akhir berwarna putih tulang). Interaksi dipol pada
ujung rantai PHA dengan gugus aktif asam asetat glasial (OH) tidak terjadi
interaksi kimia yang baik, sehingga larutan yang terbentuk pun hanya berupa
suspensi dengan partikel-partikel kecil PHA yang menyebar. Nilai viskositas
larutan juga menunjukkan kenaikan dibanding dengan nilai viskositas pelarut
murni, manun kenaikannya tidak terlalu besar, secara fisik juga kekentalan
PHA dalam asam saetat glasial tidak begitu terlihat. Karena kenaikan
viskositas yang kecil pada larutan suspensi menyebabkan belitan atau lilitan
dari rantai PHA tidak dapat menjangkau antar molekul yang satu dengan yang

49
lain (Gordon, 1963), akibatnya tidak terjadi tumpang tindih molekul PHA
yang pada akhirnya tidak terbentuk lembaran bioplastik seperti yang
diharapkan. Dari hasil pengamatan, perlakuan suhu dan perbandingan PHA-
pelarut tidak mempengaruhi penampakan fisik PHA setelah pelarutan, kecuali
butiran PHA menjadi lebih halus. Hasil pelarutan dengan asam asetat glasial
disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Hasil pengamatan fisik pelarutan dengan asam asetat glasial

Konsentrasi Suhu kamar (25o C) Suhu 500C


Tidak terbentuk lembaran, Tidak terbentuk lembaran,
1:10 berbutir kasar seperti pasir berbutir halus seperti
tepung
Tidak terbentuk lembaran, Tidak terbentuk lembaran,
1:20 berbutir halus seperti tepung berbutir kasar

Tidak terbentuk lembaran, Tidak terbentuk lembaran,


1:30 butiran seperti tepung butiran sedikit kasar

Penampakan fisik PHA setelah pelarutan dengan asam asetat glasial


dapat dilihat pada Gambar 28.

Keterangan :
(A) 1:10 suhu kamar (D) 1:10 suhu 500 C
(B) 1:20 suhu kamar (E) 1:20 suhu 500 C
(C) 1:30 suhu kamar (F) 1:30 suhu 500 C

Gambar 28. Foto hasil pengamatan fisik pelarutan PHA dengan asam asetat
glasial

50
Pelarutan PHA dengan menggunakan dimetilformamida tidak
menghasilkan bentuk lembaran untuk semua unit percobaan yang dilakukan,
sama seperti pada perlakuan dengan menggunakan asam asetat glasial. Hal ini
dikarenakan molekul PHA dalam pelarut dimetilformamida tidak membentuk
interaksi dipol-dipol yang baik dengan kondisi perlakuan yang diberikan,
dimetilfornamida tidak dapat berimbibisi dengan baik dalam molekul PHA
(suspensi partikel-partikel kecil), sehingga rantai PHA yang membelit satu
sama lain hanya mencapai radius yang tidak sampai mengakibatkan rantainya
saling bertindih dan melingkar satu sama lain dan lembaran bioplastik pun
tidak terbentuk. Kemungkinan kondisi pelarutan yang berbeda (misalkan
dengan melarutkan dalam tekanan inert, suhu yang lebih besar dari 1000C)
akan menghasilkan interaksi dipol yang baik ini karena menurut Lafferty et al.
di dalam Rehm and Reid (1988) dimetilformamida memiliki kelarutan yang
tinggi dalam PHB dan merupakan pelarut yang biasa digunakan untuk
melarutkan PHB. Hasil pengamatan disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Hasil pengamatan fisik pelarutan dengan dimetilformamida


Konsentrasi Suhu kamar (25o C) Suhu 500C
Tidak terbentuk lembaran, Tidak terbentuk lembaran,
1:10 berbutir kasar berbutir halus

Tidak terbentuk lembaran, Tidak terbentuk lembaran,


1:20 berbutir kasar berbutir halus

Tidak terbentuk lembaran, Tidak terbentuk lembaran,


1:30
butiran kasar butiran halus

PHA setelah pelarutan menghasilkan serpihan-serpihan PHA yang


ukurannya lebih besar dibandingkan ketika dilarutkan dalam asam asetat
glasial. Perlakuan suhu mempengaruhi hasil pengamatan fisik, sehingga
didapatkan serpihan yang ukurannya lebih kecil dari perlakuan pada suhu
ruang. Penampakan fisik PHA setelah dilarutkan dalam dimetilformamida
dapat dilihat pada Gambar 29.

51
Keterangan :
(A) 1:10 suhu kamar (D) 1:10 suhu 500 C
(B) 1:20 suhu kamar (E) 1:20 suhu 500 C
(C) 1:30 suhu kamar (F) 1:30 suhu 500 C

Gambar 29. Foto hasil pengamatan fisik pelarutan PHA dengan


dimetilformamida

Perlakuan yang sama juga dilakukan terhadap blanko (PHB murni)


dari Sigma aldrich. Hasil penelitian menunjukkan, dari semua unit percobaan,
hanya sampel yang dilarutkan dalam kloroform dengan menggunakan suhu
500 C saja yang dapat membentuk lembaran. Hasil pengamatan fisik pelarutan
PHB murni dalam beberapa pelarut dapat dilihat pada Tabel 9. Penampakan
fisik hasil pelarutan PHB murni dengan pelarut dapat dilihat pada Gambar 30.

Tabel 9. Hasil pengamatan fisik pelarutan PHB murni

Pelarut Suhu kamar (25o C) Suhu 500C


Tidak terbentuk Terbentuk, sangat halus
lembaran, berbutir halus dan rata ketebalannya
Kloroform
seperti PHB murni awal
(tepung)
Tidak terbentuk Tidak terbentuk
lembaran, berbutir halus lembaran, berbutir halus
Asam asetat glasial
(tepung) seperti PHB (tepung) seperti PHB
murni awal murni awal
Tidak terbentuk Tidak terbentuk
Dimetilformamida lembaran, berbutir halus lembaran, berbutir halus
seperti PHB murni awal seperti PHB murni awal

52
Keterangan :
(A) Kloroform suhu kamar (D) Asam asetat suhu 500 C
(B) Kloroform suhu 500 C (E) Dimetilformamida suhu kamar
(C) Asam asetat suhu kamar (F) Dimetilformamida suhu 500 C

Gambar 30. Foto Hasil Pengamatan Fisik Pelarutan PHB Blanko

PHA hidrolisat pati sagu mampu membentuk lembaran kembali pada


berbagai perlakuan suhu baik pada suhu ruang (25oC) maupun suhu 500C. Hal
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut, proses hilir PHA hidrolisat pati sagu
menggunakan kloroform sebagai pelarut. Ekstraksi dengan pelarut tertentu
dapat mengubah kekuatan dielektrik sistem pelarut dan zat yang terlarut
(Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid, 1988). Selain itu, ekstraksi pelarut
juga dapat menurunkan kepolaran media (konstanta dielektrik) dan
meningkatkan interaksi elektrostatik (Harrison, 1990). Turunnya konstanta
dielektrik dan meningkatnya interaksi elektrostatik PHA hidrolisat pati sagu
terhadap kloroform (akibat proses hilir), maka PHA dapat larut dengan baik
dalam kloroform dengan berbagai perlakuan suhu.

53
IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Larutan dengan nilai absorbansi yang rendah menunjukkan kelarutan


PHA yang tinggi terhadap pelarut. Meningkatnya suhu menyebabkan nilai
absorbansi turun begitu pula ketika semakin banyak pelarut yang digunakan
(meningkatnya perbandingan PHA-pelarut) maka semakin kecil pula nilai
absorbansi. Namun interaksi antara jenis pelarut dan suhu menunjukkan
bahwa dengan adanya peningkatan suhu maka nilai absorbansi untuk pelarut
asam asetat glasial dan dimetilformamida cenderung meningkat. Hal ini
berbeda dengan pelarut kloroform yang memiliki nilai absorbansi yang
cenderung menurun dengan peningkatan suhu. Perbedaan ini disebabkan oleh
perbedaan ukuran partikel PHA terlarut di dalam masing-masing pelarut.

Pengujian nilai kekeruhan menghasilkan hubungan yang positif


dengan pengujian nilai absorbansi. Nilai kekeruhan yang kecil menunjukkan
kelarutan PHA yang tinggi pada pelarut. Namun interaksi antara perlakuan
jenis pelarut dengan suhu pelarutan menunjukkan ketiga pelarut mengalami
kenaikan nilai kekeruhan seiring dengan kenaikan suhu. Perlakuan suhu
berpengaruh terhadap nilai kekeruhan karena kenaikan suhu menyebabkan
terjadinya browning (pencoklatan) terhadap molekul PHA akibat panas.
Interaksi suhu pelarutan dengan perbandingan PHA-pelarut mempengaruhi
pengukuran nilai kekeruhan PHA, nilai kekeruhan mengalami penurunan
seiring dengan bertambahnya jumlah pelarut, dan bertambah seiring dengan
naiknya suhu.

Jenis pelarut mempengaruhi peningkatan nilai viskositas larutan


karena masing-masing pelarut mempunyai sifat fisik dan kimia yang berbeda,
hal ini menyebabkan interaksi yang berbeda pula antara pelarut dengan PHA.
Interaksi jenis pelarut dengan perbandingan PHA-pelarut menunjukkan
bahwa sejalan dengan meningkatnya konsentrasi, nilai viskositas semakin
turun. Interaksi antara perlakuan jenis pelarut dan suhu menunjukkan bahwa
dengan bertambahnya suhu pelarutan maka nilai viskositas ketiga pelarut juga
menjadi ikut naik. Hal ini disebabkan pelarut dapat lebih mudah berimbibisi
dalam molekul PHA ketika suhu naik tidak terlalu tinggi dari suhu ruang dan
menyebabkan nilai viskositas yang terbaca naik.

Nilai swelling index yang besar menunjukkan bahwa PHA lebih


mudah menyerap pelarut. Interaksi perlakuan jenis pelarut dengan suhu
menunjukkan bahwa sejalan dengan peningkatan suhu, maka nilai indeks
swelling mengalami kenaikan untuk semua jenis pelarut yang digunakan.
Peningkatan perbandingan PHA-pelarut juga menyebabkan nilai indeks
swelling mengalami kenaikan.

Pengaruh perlakuan dalam pembentukan lembaran PHA, dari semua


unit percobaan yang diujikan, didapatkan hanya PHA yang dilarutkan dalam
pelarut kloroform saja yang dapat membentuk lembaran. Lembaran yang
paling baik teksturnya dan rata ketebalannya, yaitu pada kondisi perbandingan
konsentrasi 1:30 suhu 50 0C, sedangkan pelarutan PHA blanko yang hanya
membentuk lembaran apabila dilarutkan pada kloroform dengan menggunakan
suhu 500 C. Perlakuan yang sesuai yang dihasilkan dari analisa kelarutan PHA
dan pengamatan fisik adalah perlakuan pelarut kloroform dengan
0
perbandingan PHA-pelarut 1:30 pada suhu 50 C.

B. SARAN

Peningkatan suhu menunjukkan pengaruh yang positif terhadap


kelarutan PHA dalam pelarut organik. Dengan adanya peningkatan suhu
diharapkan mampu mereduksi waktu pelarutan PHA. Oleh karena itu perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui waktu pelarutan PHA yang
sesuai sehingga didapatkan waktu proses pembuatan lembaran PHA yang
lebih efisien. Selain itu disarankan pula untuk meneliti lebih lanjut tentang
pengaruh kecepatan pengadukan terhadap pelarutan bioplastik.

Pada penelitian ini disimpulkan bahwa pelarut yang sesuai untuk


melarutkan PHA dengan kondisi perlakuan yang diberikan adalah kloroform.
Kloroform yang digunakan dalam penelitian adalah kloroform pure analisys

55
yang memiliki harga tinggi dan tidak mudah untuk memperolehnya sedangkan
di toko-toko bahan kimia atau apotek dijual bebas jenis kloroform teknis yang
memiliki harga jauh lebih murah dan kemudahan untuk mendapatkannya.
Disarankan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut tentang kelarutan PHA
dalam kloroform teknis untuk mengurangi biaya produksi film bioplastik
PHA.

Kloroform merupakan pelarut yang tidak digunakan secara luas


karena sifat toksik dan narkotiknya. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian
mengenai pelarut lain yang relatif lebih aman bagi kesehatan dan memiliki
kemampuan yang baik dalam melarutkan PHA (selain pelarut yang telah
digunakan pada penelitian ini).

Ketiga pelarut yang digunakan dalam penelitian ini adalah pelarut


yang memiliki kelarutan tinggi terhadap PHA yang disebutkan pada banyak
literatur, namun pada penelitian ini didapatkan hanya kloroform saja yang
menunjukkan kelarutan yang baik terhadap PHA. Hal ini diduga karena
kondisi perlakuan yang tidak sesuai untuk kedua pelarut yang diujikan,
misalkan suhu yang kurang tinggi, pelarutan dalam tekanan inert, pH,
kekuatan ionik, irradiasi cahaya, kecepatan pelarutan dan faktor-faktor lain
yang mempengaruhi kelarutan PHA. Disarankan untuk melakukan kajian lebih
lanjut tentang kondisi pelarutan yang sesuai untuk dua pelarut yang digunakan
dalam penelitian ini (asam asetat glasial dan dimetilformamida).

56
DAFTAR PUSTAKA

Abner, L dan Miftahorrahman. 2002. Keragaan Industri Sagu Indonesia. Warta


Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Vol 8 No 1. Juni 2002

Akmaliah, P. 2003. Pengaruh Konsentrasi Pemlastis Dimetil Ftalat Terhadap


Karakteristik Bioplastik Dari Polyhydroxyalkanoates (PHA) Yang Dihasilkan
Ralstonia Eutropha Pada Substrat Hidrolisat Minyak Sawit. Skripsi. Fakultas
Teknologi Pertanian, IPB, Bogor

Akyuni, D. 2004. Pemanfaatan Pati Sagu (Metroxylon sp.) untuk Pembuatan Sirup
Glukosa Menggunakan α-Amilase dan Amiloglukosidase. Skripsi. Fakultas
Teknologi Pertanian-Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Allcock, H.R dan Lampe. F.W. 1981. Contemporary Polimer Chemistry. Prentice-
Hall, Inc. New Jersey.

Andrandy, A.L. 2000. Assesment of Biodegdradability in Organic Polymers. In


Hamid, S.H. (ed). Handbook of polymer degradation 2 nd ed, rev and expanded.
Marcel Dekker, Inc., New York

Anonim1. 2005. Acetic Acid. http://en.wikipedia.org/wiki/Acetic_acid. [15 Mei 2006]

Anonim2. 2005. Appendix J: Chemichals Preparations. http://www.mallinckrodt


baker. [15 Mei 2006]

Anonim3. 2005. Chloroform. http://en.wikipedia.org/wiki/Chloroform. [30 November


2006]

Anomim4. 2006. Dimethylformamide. www.wikipedia.org.wiki/Dimethylformamide.


[ 19 Desember 2006]

Anonim5. 2006. Gel Hidrokoloid. http://www.ebookpangan.com. [25 Desember 2006]

Anonim6. 2006. Metabolix Core Technology. http://www.metabolix.com. [15 Mei


2006]

Anonim7. 2006. Tanya Jawab. http://www.answers.com/topic/turbidimetry. [15


November 2006]

Anonim8. 2006. Turbidimetry. www.aptec.diagnostics_turbidimetry. [15 November


2006]

Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati dan Budiyanto S. 1989.


Analisa Pangan. Bogor: IPB Press

ASTM. 1997. Annual Book of ASTM Standars. Vol 09.01. D. 3616.


Atifah, N. 2006. Pemanfaatan Hidrolisat Pati Sagu Sebagai Sumber Karbon Pada
Produksi Bioplastik Poli-(3-Hidroksialkanoat) Secara Fed-Batch oleh Ralstonia
eutropha. Tesis. Fakultas Teknologi Pertanian-Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Atkinson, B dan F. Mavituna. 1991. Biochemical Engineering and Biotechnology


Handbook. Second Edition. M Stockton Press. Now York. 1271 pages.

Ayorinde, F.O., K.A. Saeed, E. Price, A. Morrow, W.E. Collins, F. Mclnnis, S.K.
Pollack dan B. E. Eribo. 1998. Production of Poly-β-Hydroxybutirate from
saponified Vernonia galamensis oil by Alcaligenes eutrophus. Journal of
Industrial Microbiology and Biotechnology. (21):46-50.

Babel W, Ackermann U dan Breuer. 2001. Physiology, regulation and limits of


synthesis of poly(3HB). Di dalam: Scheper T, managing editor. Biopolyester :
Advances in Biochemical Engineering / Biotechnology. Vol 71. Berlin:
Springer-Verlag.

Berghmans, E. 1981. Carbohydrate Simposium in Indonesia “Starch Hydrolisates


Improved Sweeteners Obtained by The Use Enzyme”. Novo Industry AS. Novo
Alle, Denmark.

Byrom, D. 1990. Industrial production of copolymer from Alcaligenes eutrophus.


Di dalam Novel Biodegradable Microbial Polymers, Dawes, E. A. (ed.), Kluwer
Academic Publishers, The Netherlands, 113-117.

Chaplin, M.F dan C. Bucle. 1990. Enzyme Technology. Cambridge University Press,
New York.

Cowd. M. A. 1982. Polimer Chemistry. Di dalam Clark, J.G. (ed). 1982. Modern
Chemistry background readers : John Murray (Publishers Ltd), London.
Diterjemahkan Harry, F. 1991. Kimia Polimer. Penerbit : ITB. Bandung

Crueger, W dan A. Crueger. 1984. Biotechnology : A Textbook of Industrial


Microbiology (Traslated into English by C. Haessly and edited by T.D. Brock).
Sinauer Associates, Inc. Sunderland and Science Tech, Inc. Madison. 308 pages;
Ratledge, 1986.

Cuq, B., N. Gontard, J.L. Cuq dan S. Gullbert . 1997. Selected Functional Properties
of Fish Myofibrillar Protein Based Film as Affected by Hydrophilic Plasticicers.
J. Agric. Food Chem 45 : 622-626

Dawes, I.W. dan I.W. Sutherland. 1976. Microial Psycology. Basic Microbiology.
Volume 4. Blackwell Scientific Publications. Oxford. 185 pages.

Day, R.A. dan A. L. Underwood. 1980. Quantitative Analysis, 4 th edition.


Diterjemahkan R. Soendoro,drs, Widaningsih. W, dan Sri Rahadjeng (eds).
1999. Analisis Kimia Kuantitatif. Edisi keenam. PT. Gelora Aksara Pratama,
Erlangga. Jakarta.

58
Doi, Y., N. Kamiya, M . Sakurai, Y. Inoue dan R. Chujo. 1991. “Studies of
Cocrystallization of PBV by Solid High Resolution 13 C NMR dan DSC, “
Macromolecules, 24: 2178-2182.

Durrans, T.H., dan E.H. Davies. 1988. Solvent. Chapmann and Hall Ltd. London.

Farquharson FG, Hall MH, and Fullerton WT. 1983. Poor obstetric outcome on three
quality control laboratory workers. Lancet 1 (8831) : 983-984 [cited in U.S.
EPA, 1994]

Flach, M. 1997. Sago Palm. Ipgri. Rome-Italy. 75 p

Fullbrook, P.D. 1984. The Enzyme Production of Glucose Syrups. In Dzieldzic, S. Z.


dan M. W. Kearsley (eds.). Glucose Syrups: Science and Technology. Elsevier
Applied Science Publisher, London.

Furukawa, J. 2005. Physical Chemistry of Polymer Rheology. Kodansa, Springer.


USA.

Gescher A. 1993. Metabolism of N,N-dimethylformamide: key to understanding of its


toxicity. Chem. Res. Toxicol. 6(3) : 245-251

Gordon, Manfred. 1963. High Polimers Structure and Physical Properties. Addison-
Wesley Publishing Company, Inc. London.

Harrison, S.T. 1990. The extraction and purification of Poly-β-hydroxybutirate from


Alcaligenes eutrophus. Di dalam Van Wegen, R. J., Y. Ling dan A. P. J.
Middleberg. 1998. Industrial Production of Polyhydroxyalkanoates Using
Escherichia Coli: An Economic Analysis. Trans Chem E., Vol 76, Part A. pp.
417-426.

Haryanto, B dan P. Pangloli. 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius,


Yogyakarta.

Hildebrand, J.H., J.M. Prausnitz dan R.L. Scott. 1970. Reguler and Related Solutions.
Van Nonstrand, New York

Holmes PA. 1988. Biologically produced PHA polymers and copolymers. Di dalam
Bassett DC (ed). Developments in crystalline polymers, , Elsevier, London 2: pp.
1-65.

Howard PH. (ed) 1993. Handbook of Environtmental Fate and Exposure Data of
Organic Chemicals. Vol. IV:Solvent 2. Chelsea, MI: Lewish Publishers. Inc.
Hrabak, O. 1992. Industrial Production of Poly-3-hydroxybutyrate. FEMS
Microbiology Reviews. 103, 251-256.

Humas. 2006. Sagu, Potensial Perkaya Keragaman Pangan. www.bppt.go.id. [13


November 2006]

59
Ishizaki, A dan K. Tanaka. 1991. Production of Poly-β-H ydroxybutyratiric Acid from
Carbon Dioxide by Alcaligenes eutrophus ATCC 17697T. J. Ferm. Bioeng. 71
(4) : 254-257

Keenan, Kleinfelter, dan Wood. 1984. Kimia Untuk Universitas edisi keenam. Judul
asli : General College Chemistry (Sixth Edition), Peterjemah Pudjaatmaka, A
Hadyana. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Kemmish, D. 1993. ICI Bio Pruduct & Fine Chemicals, Biopolimer Group, Billingam.
Cleveand. United Kingdom.

Kessler B, Weisthuis R, Witholt B dan Eggink G. 2001. Production of Microbial


Polyester: Fermentation and Downstream Processes. Di dalam: Scheper T,
managing editor. Biopolyester: Advances in Biochemical
Engineering/Biotechnology. Vol 71. Springer-Verlag Berlin Heidelberg.

Kim, B.S., S.C. Lee, S.Y. Lee, H.N. Chang dan S.I. Woo. 1994. Production of Poly-3-
Hydroxybutiric Acid by Fed Batch Culture of Alcaligenes eutrophus with
Glucose Concentration Control. Biotechnol. Bioeng. 43:892-898.

Klem JK. 1999. Alcaligenes. Di dalam: Robinson RK, Batt CA, Patel PP.
Encyclopedia of Food Microbiology. Vol 1. 2000. London: Academic Press.

Knigt, J. W. 1969. The Starch Industry. Pergamon Press, Oxford.

Krupp, L. R. dan W.J. Jewel. 1992. Biodegradability of Modified Plasitic Films in


Controlled Biological Environtments. Environtmental Sci. Technol., 26(1): 193-
198

Lafferty R.M., Brigitta Korsatko, Werner Korsatko. 1988. Microbial Production of


Poly-β-Hydroxybutyrate Acid. Di dalam Rehm, H.J dan R.G. Reed (eds).
Biotechnology. Vol. 6b. Weinheim VCH, Basel Graz University. Austria.

Lee, S.Y. 1996. Bacterial Polyhydroxyalkanoates. Biotechnol. Bioeng. 49:1-14.

Lee, S.Y. dan J. Choi. 2001. Production of Microbial Polyester by Fermentation of


Recombinant Microorganism. In Babel, W dan A. Steinbuchel. Biopolyester:
Advances in Biochemical Engineering/Biotechnology. Vol 71. Springer-Verlag
Berlin Heidelberg.

Lindsay K. 1992. ‘Truly degradable’ resins are now truly commercial. Modern
Plastics 2: 62-64.

Mark J, Ngai K, Graessley W, Mandelkern L, Samsulski E, Koenig J, dan Wignall G.


2004. Physical Properties of Polymers Third Edition. Cambridge University
Press. USA.

Mellan, I. 1950. Industrial Solvent. Reinhold Publiching Corporation. New York.

60
Nielsen J dan Villadsen J. 1993. Bioreactors: Description and Modeling. Di dalam :
Rehm HJ, Reed G, Pühler A dan Stadler P, editor. Biotechnology.
Bioprocessing. Ed ke-2 Vol 3. VCH, Weiheim.

Noda, Isao. 1998. Solvent extraction of polyhydroxy-alkanoates from biomass


facilitated by the use of marginal nonsolvent. United States Patent 5821299.

Norman, B. E. 1981.New Development IN Starch Syrup Technology. Di dalam G.G .


Birch, N. Blackebrough dan K.J. Parker (ed.). 1981. Enzymes and Food
Processing. Applied Science Publ. Ltd., London.

Page, W. J., K. Budwill dan P. M. Fedorack. 1992. Methanogenic Degradation of


Poly(3-hydroxyalkanoates), Applied and Environmental Microbiology, 58(4):
1398-1401.

Pine, S.H., J. B. Hendrickson, D.J. Cram, dan G.S. Hammand. 1980. Organic
Chemistry Fourth Edition. Mc Graw-Hill, Inc. Diterjemahkan oleh Roehyanti, S.
dan Sasanti W. 1988. Kimia Organik 2 (dala dua jilid). ITB : Bandung.

Poirier, Y., Newrath C. dan Somerville C. 1995. production of PHA, a Family of


Biodegradable Plastics and Elastomers in Bacteria and Plants. Biotechnology. 13
(Feb): 142-150.

Pruett, K. M. 1988. Chemical Resistance for Elastomers. Compass Publications.


California Rabek, J. F. 1983. Experimental Methods in Polymer Chemistry.
Departement of Polymer Technology, The Royal Institute of Technology,
Stockholm. Sweden. A. Wiley-Interscience Publication. Toronto.

Rabek, J. F. 1983. Experimental Methods in Polymer Chemistry. Department of


Polymer Technology, TheRoyal Institute of Technology, Stockholm. Sweden.

Rivai, Harrizul. 1995. Asas Pemeriksaan Kimia. Penerbit UI, Jakarta.

Sperling, L.H. and C.E. Carraher.1990. Polymers from Renewable Sources. In:
Kroschwitz, J.I. (executive ed.). Concise Encyclopedia of Polymer Science and
Engineering. John Wiley & Sons. New York. 1341 pages.

Spink, W. P dan W.F. Waychoff. Plasticizers. J. A. Kent (ed). 1958. Di dalam


Modern Plastic Encyclopedia Issue. Hildrent Press, Inc. New York.

Srivastava, A.C. 1989. Instrumentation Technic. Diterjemahkan oleh Sutanto. Teknik


Instrumentasi. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Sugiarti, R. 2003. Pengaruh Konsentrasi Tributil Fosfat Terhadap Karakteristik


Bioplastik dari Poli-3-Hidroksialkanoat (PHA) Yang Dihasilkan Oleh Ralstronia
eutropha Dengan Substrat Hidrolisat Minyak Sawit. Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

61
Sukardjo. Prof. Dr. 1989. Ikatan Kimia. Penerbit Rineka Cipta, Yogyakarta.

Timmins, M. R., D.F. Gilmore, R.C. Fuller, dan R.W Lenz. 1993. Bacterial Polyesters
and Their Biodegradation. University of Massachusetts. USA.

Utz, H., M. Korn and D. Brune. 1991. Untersuchung zum Einsatz Biobbaubarer
Kunststoffe im Verpackungsbereich. Bundesministerium fur Forschung und
Technologie Forschungsbericht Nr. 01-ZV 8904.

Van Wegen, R. J., Y. Ling dan A. P. J. Middleberg. 1998. Industrial Production of


Polyhydroxyalkanoates Using Escherichia Coli: An Economic Analysis. Trans
Chem., Vol 76, Part A. pp. 417-426.

Wijanarko,Q. 2003. Pengaruh Jenis Pelarut Terhadapkarakteristik Biopolimer Yang


Dihasilkan Oleh Alcaligenes eutrophus Pada Subtrat Hidrolisat Minyak Sawit .
Skripsi . Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.

Winarno, F.G, Dedi Fardiaz, dan Srikandi Fardiaz. 1973. Spektroskopi. Departemen
Teknologi Hasil Pertanian. FATEMETA-1PB. Bogor.

Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Wiyono, B., Toga S., dan Edward A.S. 1990. Percobaan Pendahuluan Pembuatan
Sirup Berfruktosa Tingi dari Pati Sagu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 8 (4) : 144-
145. Puslitbang Hasil Hutan. Departemen Kehutanan.

Yoshida, T., Pornchai M., Reynaldo, E., Made S.P. dan M. Ismail A.K. 1996.
Biotechnology for Sustainable Utilization of Biological Resources in the
Tropics. Joint Seminar. 1996. International Center for Biotechnology. Osaka
University. Japan.

62
Lampiran 1. Lintasan umum biosintesis dan degradasi PHB oleh mikroba
(Ralstonia eutropha, Azotobacter beijerinckii) (Lafferty et al. di-
dalam Rehm and Reid (1988)

Metabolisme karbohidrat
Jalur EMP, HM, ED

CO2
Piruvat

Siklus TCA Asetil-SKoA


X
PhaA
CoASH

Asetasetil-SKoA
Suksinat
NADH2
Suksinil-SKoA ^
Asetoasetat Y NAD
NADH2 PhaB

NAD
]
D(-)-β-hidroksibutiril-SKoA
D(-)-β-hidroksibutirat
Protein-AI
\ PhaC
PhaZ D(-)-β-hidroksibutiril-AI
Oligomer, trimer, dimer
PhaC Z
PhaZ
[
Poli-β-hidroksibutirat

Keterangan :
X β-ketothiolase (β-ketoasilthiolase, asetoasetil-KoA, asetasetil-KoA thiolase)
Y Asetasetil-KoA reduktase
Z PHB polimerase (PHB sintetase)
[ PHB hidrolase
\ Dimer hidrolase
] β-hidroksibutirat dehidrogenase
^ Thiophorase (asetasetil-SKoA thiokinase; Asetoasetat-suksinil-KoA transferase)
EMP : jalur glikolisis Embden-Meyerhof-Parnas
HM : jalur Heksosa Monofosfat
ED : jalur Entner-Doudoroff
Lampiran 2. Kelarutan PHA dalam berbagai pelarut (Lafferty et al. di dalam
Rehm and Reid, 1988)

Kelarutan Tinggi Kelarutan Sedang Tidak Terlarut


Asetat Anhidrida Dioksan Air
Kloroform Oktanol Metanol
Diklorometana Toluen Etanol
Dikloroasetat Piridin Propanol
Etilen karbonat Sikloheksanol
Propilen karbonat Karbontetraklorida
Trifluoroetanol Asam mineral terlarut
Dimetil formamida Alkalin hipoklorit
Etilaseto asetat Dietileter
Triolein Heksana
Asam Asetat Benzena
Alkohol (lebih dari 3 atom-C) Sikloheksanona
Sodium Hidroksida Etil asetat
Etilmetilketon
Tetrahidrofuran
Etilformiat
Butil asetat
Asam Valerat

64
Lampiran 3. Prosedur pembuatan bahan baku (PHA)

a. Persiapan Substrat

Tahap persiapan substrat meliputi proses pembuatan hidrolisat pati


sagu secara enzimatis, persiapan kultur dan media kultivasi.

i. Pembuatan hidrolisat pati sagu (Akyuni, 2004)

Suspensi pati sagu dalam air 30% (b/v) diatur pH-nya 6-6,5 dengan
penambahan CaCO3 kemudian digelatinisasi sempurna dengan cara
pemanasan (70-80oC) dan mengaduknya hingga kental dan bening.
Likuifikasi dilakukan dengan menambahkan α-amilase sebanyak 1,75 U/g
pati ke dalam suspensi pati yang telah tergelatinisasi kemudian dipanaskan
dan diaduk pada suhu 90-95oC selama 210 menit. Hasil likuifikasi
selanjutnya disakarifikasi pada suhu 60oC, pH 4-4,5 selama 48 jam pada
inkubator goyang 150 rpm dengan menambahkan amiloglukosidase
(AMG) sebanyak 0,3 U/g pati, untuk menjernihkan warna, hidrolisat
ditambah arang aktif (1-2 % bobot pati), dipanaskan 80oC selama satu jam
lalu disaring vakum. Hidrolisat pati sagu tersebut telah siap digunakan
sebagai sumber karbon kultivasi PHA dan sebelumnya dilakukan analisis
total gula (metode Fenol Sulfat). Prosedur analisis total gula (Apriyantono
et al.,1989) adalah sebagai berikut:
Prinsip metode ini adalah bahwa gula sederhana, oligosakarida,
polisakarida dan turunannya dapat bereaksi dengan fenol dalam asam
sulfat pekat menghasilkan warna orange-kekuningan yang stabil.

Penetapan sampel
Untuk menetapkan total gula, sampel harus berupa cairan
yang jernih. Sebanyak 2 ml sampel dimasukkan ke dalam tabung
reaksi lalu ditambahkan 1 ml larutan fenol 5% dan dikocok.
Selanjutnya ditambahkan dengan cepat 5 ml larutan asam sulfat
pekat dan dibiarkan selama 10 menit, dikocok lalu dipanaskan dalam
penangas air selama 15 menit. Setelah dingin, absorbansinya diukur
dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 490 nm. Sampel

65
sebelumnya diencerkan dengan tingkat pengenceran yang sesuai
sehingga dapat terbaca pada kisaran 20-80% absorban. Nilai rata-
rata absorbansi sampel hasil pengukuran dimasukkan ke persamaan
kurva standar sehingga didapatkan nilai konsentrasi glukosa. Kurva
standar untuk penentuan kadar total gula hidrolisat pati sagu dengan
metode Fenol-Sulfat (Atifah, 2006).
Konsentrasi Absorbansi Kurva Standar Glukosa
glukosa λ 490nm
(μg/ml) 1

Absorbansi 490 nm
y = 0,0141x + 0,0616
10 0,235 ± 0,043 0,8
R2 = 0,9931

20 0,309 ± 0,052 0,6

0,4
30 0,475 ± 0,069
0,2
40 0,627 ± 0,071
0
50 0,762 ± 0,040 0 10 20 30 40 50 60
60 0,917 ± 0,048 Konsentrasi glukosa (mikrogram/ml)

Diagram proses pembuatan hidrolisat pati sagu adalah sebagai


berikut. Pati sagu

Air

Suspensi pati 30%


CaCO3

Set pH 6-6,5

Gelatinisasi
Alfa Amilase 1,75
u/g
Likuifikasi 90-95oC ~ 21 menit

positif Uji iod

HCl 0,2 N negatif

Set pH 4-4,5
AMG 0,3 u/g

Sakarifikasi 60oC, 48-60 jam, 150 rpm

Inaktivasi enzim 105oC ~ 5 menit


Arang aktif 1-2%

Pemanasan 80oC ~ 1 jam

Penyaringan vakum

Hidrolisat pati sagu


66
ii. Persiapan kultur dan media kultivasi (Atifah, 2006)

Kultur R. eutropha dipelihara dalam bentuk kering-beku. Kultur


disegarkan setiap dua minggu dengan menumbuhkannya pada media cair
Nutrient Broth (inkubasi 34oC selama 24 jam).
Formulasi media kultivasi per liter adalah X ml hidrolisat pati sagu
dan Y gram (NH4)2HPO4 sedemikian sehingga rasio C/N awal 10:1
dengan asumsi bahwa konsentrasi karbon pada sirup glukosa pati sagu
adalah 40% dari total gula dan konsentrasi N pada (NH4)2HPO4 adalah
21,21% komposisi media propagasi dan media kultivasi (Atifah, 2006)
dapat dilihat pada Tabel 6. Larutan mikroelemen terdiri dari 2,78 g
FeSO4.7H2O; 1,98 g MnCl2.4H2O; 2,81 g CoSO4.7H2O; 1,67 g
CaCl2.2H2O; 0,17 g CuCl2.2H2O dan 0,29 g ZnSO4.7H2O yang dilarutkan
dalam 1 liter HCl 1 N. Komposisi media propagasi dan media kultivasi
(Atifah, 2006) adalah sebagai berikut :
Media
Propagasi II Propagasi III Kultivasi
Bahan
(90 ml) (900 ml) (9000 ml)
Sirup 9,608 ml 96,085 ml 960,854 ml
(NH4)2HPO4 0,566 gr 5,658 gr 56,577 gr
K2HPO4 0,522 gr 5,22 gr 52,2 gr
KH2PO4 0,342 gr 3,42 gr 34,2 gr
MgSO4 0.1 M 0,9 ml 9,0 ml 90 ml
Mikro Elemen 0,09 ml 0,9 ml 9 ml

Sebelum digunakan, media terlebih dahulu disterilisasi pada suhu


121oC selama 15 menit (sumber karbon dan sumber nitrogen disterilisasi
dalam wadah yang terpisah untuk menghindari reaksi pencoklatan).
Media didiamkan beberapa saat setelah disterilisasi sehingga suhunya
mencapai 25-30oC dan siap diinokulasi.
Untuk keperluan kultivasi, terlebih dahulu dilakukan propagasi
kultur dengan menumbuhkan kultur segar R. eutropha ke dalam media
steril (10% v/v) pada inkubator goyang 150 rpm, suhu 34oC selama 24
jam. Komposisi media propagasi disesuaikan dengan media yang
digunakan pada kultivasi, volume kultur propagasi 10% dari volume
media kultivasi. Kultur hasil propagasi selanjutnya diinokulasikan ke
dalam media kultivasi.

67
b. Produksi PHA secara Fed Batch
Produksi PHA dengan cara kultivasi secara fed batch dengan
Ralstonia eutropha dilakukan pada bioreaktor skala 10 liter. Strategi
pengumpanan larutan stok dilakukan berdasarkan Byrom (1990). Pada saat
mikroba diperkirakan memasuki fase pertumbuhan stasioner maka ke dalam
bioreaktor diumpankan larutan stok dengan volume setara 20 gram gula per
liter kultur atau sekitar 640,57 ml dengan kecepatan pengumpanan konstan 1.7
ml/menit. Kultivasi dilakukan pada suhu 34oC, agitasi 150 rpm, pH 7 dan
aerasi 0,2 vvm. Proses kultivasi dilakukan selama 96 jam dengan
pengumpanan pada jam ke-48.

Bioreaktor kapasitas 10 L yang digunakan dalam penelitian

Diagram alir kultivasi PHA (Modifikasi Ayorinde et al., 1998 oleh


Atifah, 2006)
Kultur Ralstonia eutopha
Media Kultivasi

Sterilisasi Propagasi kultur dalam Nutrien


(121oC, 15’) broth steril

Inokulasi Ralstonia eutopha pada


media kultivasi

Kultivasi (Suhu 34oC, agitasi 150 rpm, pH 7, aerasi 0,2 vvm,


96 jam, pengumpanan pada jam ke-48)

Cairan Kultivasi

68
c. Proses Hilir PHA (modifikasi Van Wegen et al., 1998 dan Williamson, D.
H. Dan J. F. Wilkinson, 1958 di dalam Lafferty et al., 1988)
Setelah proses kultivasi selesai, cairan kultivasi disentrifugasi
sebanyak empat tahap pada kecepatan 13000 rpm selama sepuluh menit.
Sentrifugasi tahap pertama bertujuan untuk memisahkan biomassa dengan fase
cair. Endapan yang diperoleh pada sentrifugasi pertama dibilas dengan
aquades untuk pembersihan, kemudian dilakukan sentrifugasi tahap kedua.
Hasil bilasan ditambah NaOH 0,2 N kemudian dilakukan proses digest
(pelumatan) selama satu jam untuk mengeluarkan PHA dari biomassa sel.
Proses sentrifugasi ketiga dilakukan untuk memisahkan hasil digest
(pelumatan) dengan cairannya (NaOH). Hasil sentrifugasi ketiga dibilas
dengan aquades, kemudian dilakukan sentrifugasi tahap keempat. Hasil
sentrifugasi keempat diambil dan dimasukkan ke cawan petri, kemudian
dioven pada suhu 40-60OC sampai kering dan bobotnya konstan. PHA
merupakan serbuk kering hasil pengeringan pada oven.
PHA kering selanjutnya dimurnikan dengan proses pelarutan pada
kloroform pada suhu 500C. PHA diketahui dapat larut dalam kloroform
(Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid, 1988) dan cara ini telah lama
digunakan untuk mengekstrak PHA dari biomassa mikrobial. Pelarutan ini
dilakukan dengan memasang pendingin tegak (kondensor) pada erlenmeyer
yang berisi PHA-kloroform, dipanaskan pada suhu 50oC selama 20 jam.
Larutan PHA-kloroform selanjutnya disaring dengan menggunakan kertas
saring whatman 40 untuk memisahkan ampas dari larutan PHA-kloroform.
PHA dipisahkan dari kloroform dengan cara menguapkan kloroform dalam
ruang asam sehingga PHA yang tersisa membentuk suatu lapisan PHA kering
yang lebih murni. Diagram alir proses hilir (Modifikasi Van Wegen et al.,
1998 dan Williamson dan Wilkinson, 1958 di dalam Lafferty et al.,1988)
adalah seperti dibawah ini.

69
Cairan Kultivasi

Sentrifugasi (Tahap 1) Supernatan


(13000 rpm, 10’)

Presipitat

Aquadest

Sentrifugasi (Tahap 2) Supernatan


(13000 rpm, 10’)

Presipitat

Lar. NaOH 2%

Digest
(60’)

Sentrifugasi (Tahap 3) Supernatan


(13000 rpm, 10’)

Presipitat
Aquadest
hangat

Sentrifugasi (Tahap 4) Supernatan


(13000 rpm, 10’)

70
A

Presipitat

Pengeringan dengan oven


(50oC, 24 jam)

Presipitat
Kering

Ekstraksi dengan kloroform


(Refluks, 20 jam, 50oC)

Penyaringan dengan Pompa Sel Debris dan


Vakum (Whatman 40) Pengotor lainnya

PHA+Kloroform

Penguapan Kloroform Uap


(suhu ruang) Kloroform

PHA

71
Lampiran 4. Analisa kelarutan PHA (Allcock dan Lampe, 1981; Lafferty et
al. di dalam Rehm and Reid, 1988; Rabek 1983)

a. Absorbansi (Optical Density) (Modifikasi Allcock dan Lampe, 1981)


Pengukuran absorbansi untuk mengetahui kinerja pelarut bioplastik
dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer Cecil seri 2000 dan panjang
gelombang yang digunakan adalah 575 nm (Lafferty et al. di dalam Rehm and
Reid , 1988, Robert M., et al., 1988). Sampel diencerkan sampai 5, 25 dan 125
kali.

Spektrofotometer Cecil seri 2000

b. Kekeruhan (Rabek 1983)


Pengukuran kekeruhan menggunakan Spektrofotometer jenis DR
2000. Sebenarnya pengukuran kekeruhan ini menggunakan prinsip yang sama
dengan absorbansi. Hal ini dilakukan untuk mempertegas hasil dari
absorbansi. Nilai kekeruhan seringkali dipengaruhi warna larutan, sehingga
dapat diketahui intensitasnya. Satuan yang digunakan adalah FTU.

Spektrofotometer DR 2000

72
c. Viskositas (Modifikasi Allcock dan Lampe, 1981)
Pengujian viskositas dilakukan dengan menggunakan alat
viskosimeter Brookfield menggunakan spindel nomer dua dan kecepatan 60
rpm.

Viskosimeter Brookfield

d. Indeks Swelling (ASTM D 3616-95, 1997; Allcock dan Lampe, 1981)


Tiap sampel PHA dilarutkan dalam pelarut kloroform, asam asetat
glasial dan dimetilformamida di dalam stoples ulir kecil kemudian dicampur
dengan menggunakan stirer selama 4 jam pada suhu 250C dan suhu 500C.
Larutan PHA kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring whatman
40. Larutan yang telah disaring kemudian dikeringkan pada suhu kamar
dengan dalam ruang asam sampai bobot konstan. Pengukuran bobot dilakukan
pada larutan, kertas saring dan PHA untuk mengetahui bobot sebelum dan
sesudah penyaringan. Indeks swelling diukur dengan rumus sebagai berikut.

Indeks swelling = (E/D)

E = (F – G) D = bobot kering PHA tidak terlarut (g)


D = (C - B) E = bobot swelling PHA tidak terlarut (g)
B = bobot kering PHA terlarut (g) F = bobot larutan PHA (g)
C = bobot PHA sebelum perlakuan (g) G = bobot larutan PHA terlarut (g)

73
Lampiran 5. Data nilai pengujian kelarutan pada blanko (PHB murni
komersil)

Pelarut Pengujian Suhu Kamar Suhu 500C


Absorbansi 0.308 0.023
Kloroform Kekeruhan 360 49
Perubahan nilai
Viscositas 0.09 0.3000
Index Swelling 11.46219 75.6805

Absorbansi 0.6630 0.6370


Asam Asetat Glasial Kekeruhan 558 543
Perubahan nilai
Viscositas 0.0150 0.1
Index Swelling 2.363249 2.4468

Absorbansi 0.16600 0.24300


Dimetilformamida Kekeruhan 327 344
Perubahan nilai
Viscositas 0.05 0.2
Index Swelling 0.8185 1.79535

Keterangan : Viskositas kloroform 0.5 Cp


Viskositas asam asetat glasial 0.9 Cp
Viskositas dimetilformamida 0.5 Cp

74
Lampiran 6. Data nilai absorbansi

1. Kloroform

Nilai Absorbansi
1
Perlakuan 5 52 53
Ulangan 1 Suhu Kamar 1:10 0.2366 0.0392 0.024
1:20 0.147 0.029 0.018
1:30 0.0690 0.0170 0.005

SUHU 500C 1:10 0.302 0.06 0.017


1:20 0.149 0.036 0.011
1:30 0.113 0.025 0.003

Ulangan 2 Suhu Kamar 1:10 0.128 0.028 0.009


1:20 0.064 0.019 0.006
1:30 0.051 0.013 0.003

SUHU 500C 1:10 0.17900 0.04000 0.01200


1:20 0.087 0.02 0.006
1:30 0.065 0.011 0.002

2. Asam Asetat Glasial

Nilai Absorbansi
Perlakuan 51 52 53
Ulangan 1 Suhu Kamar 1:10 2.82 1.984 0.674
1:20 2.73 1.828 0.497
1:30 2.4700 1.1760 0.2785

1:10 2.86000 1.75450 0.70250


0
Suhu 50 C 1:20 2.4100 1.2595 0.34200
1:30 2.24000 1.06500 0.27200

Ulangan 2 Suhu Kamar 1:10 1.632 0.509 0.112


1:20 0.6785 0.384 0.067
1:30 0.1384 0.1115 0.028

Suhu 500C 1:10 2.44000 1.23800 0.35300


1:20 1.82 0.641 0.182
1:30 1.58 0.617 0.131

75
3. Dimetilformamida

Nilai Absorbansi
1
Perlakuan 5 52 53
Ulangan 1 Suhu Kamar 1:10 1.165 0.5388 0.1176
1:20 1.424 0.321667 0.05
1:30 1.389333 0.257667 0.039

Suhu 500C 1:10 2.00000 1.00400 0.26350


1:20 1.5760 0.5830 0.1360
1:30 1.424 0.4875 0.1035

Ulangan 2 Suhu Kamar 1:10 0.639 0.154 0.036


1:20 0.314 0.052 0.009
1:30 0.228 0.048 0.006

Suhu 500C 1:10 1.84800 0.76400 0.20600


1:20 1.132 0.312 0.065
1:30 1.028 0.238 0.05

76
Lampiran 7. Hasil analisis keragaman nilai absorbansi

Sumber
keragaman DF SS MS F Hitung P
A 2 13.0598 6.5299 172.9 0.000**
B 1 0.5769 0.5769 15.28 0.001**
C 2 1.9254 0.9627 25.49 0.000**
Blok 1 1.8083 1.8083 47.88 0.000**
A*B 2 0.8009 0.4004 10.6 0.001**
A*C 4 0.1617 0.0404 1.07 0.401
B*C 2 0.0035 0.0018 0.05 0.954
A*B*C 4 0.0409 0.0102 0.27 0.893
Error 17 0.642 0.0378
Total 35

S = 0.194339 R-Sq = 96.62% R-Sq(adj) = 93.05%

77
Lampiran 8. Hasil uji lanjut nilai absorbansi

1. Uji lanjut perlakuan C (Perbandingan PHA-pelarut)


Perlakuan Rata-rata LSR
2 3
C1 26.31875 0.056322 0.068418
C2 14.46875
C3 9.59375

Hasil analisis efek perlakuan : C1 C2 C3

Keterangan :
C1 : perbandingan PHA-pelarut 1:10
C2 : perbandingan PHA-pelarut 1:20
C3 : perbandingan PHA-pelarut 1:30

2. Uji lanjut interaksi antara perlakuan A (jenis pelarut) dengan B (suhu)

Perlakuan Rata- LSR


rata 2 3 4 5 6
A1B1 4.0625 0.0563 0.0684 0.0760 0.0815 0.0854
A1B2 3.1875
A2B1 103.5313
A2B2 123.9063
A3B1 16.1
A3B2 51.5

Hasil analisis efek perlakuan : A2B2 A2B1 A3B2 A3B1 A1B1 A1B2
Keterangan :
A1B1 : kloroform, suhu kamar (25 oC)
A1B2 : kloroform, suhu 50 oC
A2B1 : asam asetat glasial, suhu kamar
A2B1 : asam asetat glasial, suhu 50oC
A3B1 : dimetilformamida, suhu kamar (25 oC)
A3B2 : dimetilformamida, suhu 50oC

78
Lampiran 9. Data nilai kekeruhan

1. Kloroform

Nilai Kekeruhan
Perlakuan (FTU Turbidimetry)
Ulangan 1 Suhu Kamar 1:10 102
1:20 57
1:30 38

Suhu 500 C 1:10 101


1:20 80
1:30 68

Ulangan 2 Suhu Kamar 1:10 128


1:20 60
1:30 39

Suhu 500 C 1:10 106


1:20 66
1:30 53

2. Asam Asetat Glasial

Nilai Kekeruhan
Perlakuan (FTU Turbidimetry)
Ulangan 1 Suhu Kamar 1:10 496
1:20 238
1:30 148

Suhu 500 C 1:10 552


1:20 512
1:30 499

Ulangan 2 Suhu Kamar 1:10 311


1:20 205
1:30 100

Suhu 500 C 1:10 490


1:20 294
1:30 277

79
3. Dimetilformamida

Nilai Kekeruhan
Perlakuan (FTU Turbidimetry)
Ulangan 1 Suhu Kamar 1:10 187
1:20 53
1:30 47

Suhu 500 C 1:10 420


1:20 211
1:30 128

Ulangan 2 Suhu Kamar 1:10 118


1:20 62
1:30 31

Suhu 500 C 1:10 341


1:20 169
1:30 116

80
Lampiran 10. Hasil analisis keragaman nilai kekeruhan

Sumber
keragaman DF SS MS F Hitung P
A 2 2.51196 1.25598 224.73 0.000**
B 1 0.7078 0.7078 126.64 0.000**
C 2 1.01905 0.50952 91.17 0.000**
Blok 1 0.0682 0.0682 12.2 0.003**
A*B 2 0.23362 0.11681 20.9 0.000**
A*C 4 0.05957 0.01489 2.66 0.068
B*C 2 0.08114 0.04057 7.26 0.005**
A*B*C 4 0.02266 0.00566 1.01 0.428
Error 17 0.09501 0.00559
Total 35

S = 0.0747593 R-Sq = 98.02% R-Sq(adj) = 95.92%

81
Lampiran 11. Hasil uji lanjut nilai kekeruhan

1. Uji lanjut interaksi antara perlakuan A (jenis pelarut) dengan B (suhu)

Perlakuan Rata-rata LSR


2 3 4 5 6
A1B1 212 0.00832 0.0101 0.0112 0.0120 0.0126
A1B2 237
A2B1 749
A2B2 1312
A3B1 255
A3B2 692.5

Hasil analisis efek perlakuan : A2B2 A2B1 A3B2 A1B2 A3B1 A1B1
Keterangan :
A1B1 : kloroform, suhu kamar (25 oC)
A1B2 : kloroform, suhu 50 oC
A2B1 : asam asetat glasial, suhu kamar
A2B1 : asam asetat glasial, suhu 50oC
A3B1 : dimetilformamida, suhu kamar (25 oC)
A3B2 : dimetilformamida, suhu 50oC

2. Uji lanjut interaksi antara perlakuan B (suhu) dengan C (perbandingan


PHA-pelarut)

LSR
Perlakuan Rata-rata 2 3 4 5 6
B1CI 671 0.00832 0.0101 0.0112 0.0120 0.0126
B1C2 337.5
B1C3 207.5
B2C1 1005
B2C2 666
B2C3 570.5

Hasil analisis efek perlakuan : B2C1 B1CI B2C2 B2C3 B1C2 B1C3
Keterangan :
B1C1 : suhu kamar (25 oC), perbandingan PHA-pelarut 1:10
B1C2 : suhu kamar (25 oC), perbandingan PHA-pelarut 1:20
B1C3 : suhu kamar (25 oC), perbandingan PHA-pelarut 1:30
B2C1 : suhu 50oC, perbandingan PHA-pelarut 1:10
B2C2 : suhu 50oC, perbandingan PHA-pelarut 1:20
B2C3 : suhu 50oC, perbandingan PHA-pelarut 1:30

82
Lampiran 12. Data nilai viskositas

1. Kloroform
Nilai Viscositas
Perlakuan (Cp) Perubahan Nilai
Ulangan 1 Suhu kamar 1:10 0.65 0.15
1:20 0.605 0.105
1:30 0.57 0.07

Suhu 500C 1:10 0.884375 0.384375


1:20 0.7825 0.2825
1:30 0.72 0.22

Suhu kamar 1:10 0.665 0.165


Ulangan 2 1:20 0.613 0.113
1:30 0.6 0.1000

1:10 1.0375 0.5375


0
Suhu 50 C 1:20 0.825 0.325
1:30 0.771 0.271

Keterangan : Viskositas kloroform 0.5 Cp

2. Asam Asetat Glasial

Nilai Viscositas
Perlakuan (Cp) Perubahan Nilai
Ulangan 1 Suhu kamar 1:10 1.0875 0.1875
1:20 0.9900 0.0900
1:30 0.9600 0.0600

Suhu 500C 1:10 1.2750 0.3750


1:20 1.0000 0.1000
1:30 0.9800 0.0800

Suhu kamar 1:10 1.1438 0.2438


Ulangan 2 1:20 1.0500 0.1500
1:30 0.9800 0.0800

1:10 1.2875 0.3875


Suhu500C 1:20 1.1000 0.2000
1:30 1.0000 0.1000

Keterangan : Viskositas asam asetat glasial 0.9 Cp

83
3. Dimetilformamida

Nilai Viscositas
Perlakuan (Cp) Perubahan Nilai
Ulangan 1 Suhu kamar 1:10 0.7750 0.275
1:20 0.6700 0.17
1:30 0.5600 0.06

Suhu 500C 1:10 0.8750 0.375


1:20 0.8500 0.35
1:30 0.6000 0.1000

Suhu kamar 1:10 0.8500 0.35


Ulangan 2 1:20 0.7000 0.2
1:30 0.5900 0.0900

1:10 0.9250 0.42500


Suhu500C 1:20 0.8000 0.3
1:30 0.7000 0.2

Keterangan : Viskositas asam asetat glasial 0.5 Cp

84
Lampiran 13. Analisis keragaman perubahan nilai viskositas

Sumber
keragaman DF SS MS F Hitung P
A 2 0.17334 0.08667 19.37 0.000**
B 1 0.6704 0.6704 149.83 0.000**
C 2 1.25074 0.62537 139.77 0.000**
Blok 1 0.11538 0.11538 25.79 0.000**
A*B 2 0.15815 0.07908 17.67 0.000**
A*C 4 0.15022 0.03755 8.39 0.001**
B*C 2 0.00123 0.00062 0.14 0.872
A*B*C 4 0.03175 0.00794 1.77 0.181
Error 17 0.07607 0.00447
Total 35

S = 0.0668911 R-Sq = 97.10% R-Sq(adj) = 94.04%

 
                                               
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Lampiran 14. Hasil uji lanjut nilai viskositas

1. Uji lanjut interaksi antara perlakuan A (jenis pelarut) dengan B (suhu)

85
Perlakuan Rata-rata LSR
2 3 4 5 6
A1B1 0.3515 0.0067 0.0081 0.009 0.0096 0.0101
A1B2 1.010188
A2B1 0.405625
A2B2 0.62125
A3B1 0.5725
A3B2 0.875

Hasil analisis efek perlakuan : A1B2 A3B2 A2B2 A3B1 A2B1 A1B1
Keterangan :
A1B1 : kloroform, suhu kamar (25 oC)
A1B2 : kloroform, suhu 50 oC
A2B1 : asam asetat glasial, suhu kamar
A2B1 : asam asetat glasial, suhu 50oC
A3B1 : dimetilformamida, suhu kamar (25 oC)
A3B2 : dimetilformamida, suhu 50oC

2. Uji lanjut interaksi antara perlakuan A (jenis pelarut) dengan perlakuan C


(perbandingan PHA-pelarut)

Rata- LSR
Perlakuan rata 2 3 4 5 6 7 8 9
A1C1 0.618438 0.007 0.008 0.009 0.010 0.010 0.011 0.011 0.011
A1C2 0.41275
A1C3 0.3305
A2C1 0.596875
A2C2 0.27
A2C3 0.16
A3C1 0.7125
A3C2 0.51
A3C3 0.225

Hasil analisis efek perlakuan : A3C1 A2C1 A1C1 A3C2 A1C2


A1C3 A2C2 A3C3 A2C3

Keterangan :
A1C1 : kloroform, perbandingan PHA-pelarut 1:10
A1C2 : kloroform, perbandingan PHA-pelarut 1:20

86
A1C3 : kloroform, perbandingan PHA-pelarut 1:30
A2C1 : asam asetat glasial, perbandingan PHA-pelarut 1:10
A2C2 : asam asetat glasial, perbandingan PHA-pelarut 1:20
A2C3 : asam asetat glasial, perbandingan PHA-pelarut 1:30
A3C1 : dimetilformamida, perbandingan PHA-pelarut 1:10
A3C2 : dimetilformamida, perbandingan PHA-pelarut 1:20
A3C3 : dimetilformamida, perbandingan PHA-pelarut 1:30

87
Lampiran 15 . Data swelling index

1. Kloroform

PERLAKUAN B C D F G E Swelling Index Pengenceran


SUHU 1:10 0.0657 0.1007 0.035 42.2462 26.7755 15.4707 9.60913 46 X
KAMAR 1:20 0.0763 0.1001 0.0238 40.5568 24.5944 15.9624 26.82756 25 X
ULANGAN 1
1:30 0.0745 0.1001 0.0256 43.9357 22.3201 1.44104 56.29063 15 kali

SUHU 50 1:10 0.094 0.1088 0.0148 34.7061 17.7165 0.41438 27.99868 41 X


1:20 0.0874 0.1063 0.0189 41.0536 24.5388 0.7864 41.6095 21 X
1:30 0.0941 0.105 0.0109 47.9476 27.8573 1.255644 115.1967 16 X

SUHU 1:10 0.0849 0.1002 0.0153 41.0133 19.4978 0.488989 31.96004 44 X


ULANGAN 2 KAMAR 1:20 0.085 0.1 0.015 44.198 25.5308 0.848509 56.56727 22 X
1:30 0.089 0.1004 0.0114 46.742 33.4218 0.832513 73.02741 16 X

SUHU 50 1:10 0.08815 0.1011 0.01295 44.6084 18.6582 0.603493 46.60178 43 X


1:20 0.0874 0.1005 0.0131 40.4904 23.6371 0.766059 58.47779 22 X
1:30 0.092 0.1011 0.0091 47.7448 28.4853 1.203719 132.2768 16 X

E = (F - G) C = bobot PHA sebelum perlakuan (g) F = bobot larutan PHA (g)


D = (C - B) D = bobot kering PHA tidak terlarut (g) G = bobot larutan PHA terlarut (g)
B = bobot kering PHA terlarut (g) E = bobot swelling PHA tidak terlarut (g) Indeks Swelling = (E/D)

88
2. Asam Asetat Glasial

PERLAKUAN B C D F G E Swelling Index pengenceran


ULANGAN 1 1:10 0.0136 0.1001 0.0865 28.7817 23.7394 0.1681 1.9431 30 X
SUHU 1:20 0.0066 0.1007 0.0941 30.2553 26.5333 0.2326 2.4721 16 X
KAMAR 1:30 0.0013 0.1007 0.0994 43.8400 37.8834 0.3723 3.7453 16 kali

1:10 0.0218 0.1005 0.0787 26.1714 19.5323 0.221303 2.811986 26 X


1:20 0.0401 0.1007 0.0606 24.6599 21.3013 0.2099 3.4639 16 X
SUHU 50 1:30 0.0387 0.1 0.0613 45.6094 40.4114 0.324875 5.299755 16 X

ULANGAN 2 1:10 0.0322 0.1009 0.0687 31.147 26.2795 0.187212 2.725059 30 X


SUHU 1:20 0.0062 0.1004 0.0942 31.7594 25.0497 0.419356 4.451765 16 X
KAMAR 1:30 0.0160 0.1008 0.0848 41.2215 32.4623 0.5475 6.4558 16 X

1:10 0.0417 0.1005 0.0588 26.1714 19.5323 0.221303 3.763662 31 X


1:20 0.0493 0.1000 0.0507 34.0358 29.7584 0.2673 5.2729 16 X
SUHU 50 1:30 0.0579 0.1006 0.0427 38.3096 33.1812 0.320525 7.50644 16 X

E = (F - G) C = bobot PHA sebelum perlakuan (g) F = bobot larutan PHA (g)


D = (C - B) D = bobot kering PHA tidak terlarut (g) G = bobot larutan PHA terlarut (g
B = bobot kering PHA terlarut (g) E = bobot swelling PHA tidak terlarut (g) Indeks Swelling = (E/D)

89
3. Dimetilformamida

PERLAKUAN B C D F G E Swelling Index pengenceran


SUHU 1:10 0.0149 0.1002 0.0853 25.39 24.6676 0.02408 0.282298 30 X
ULANGAN 1 KAMAR 1:20 0.026 0.1003 0.0743 27.399 26.7755 0.02494 0.335666 16 X

1:30 0.004 0.1002 0.0962 30.39 28.6676 0.10765 1.119023 16 kali

SUHU 50 1:10 0.0065 0.1005 0.094 27.902 26.3464 0.051853 0.551631 30 X


1:20 0.024 0.1005 0.0765 28.7726 27.397 0.085975 1.123856 16 X
1:30 0.012 0.1005 0.0885 41.4925 38.4481 0.190275 2.15 16 X

SUHU 1:10 0.0075 0.1055 0.098 27.1216 25.9922 0.040336 0.411589 28 X


ULANGAN 2 KAMAR 1:20 0.0092 0.1001 0.0909 30.3042 29.251 0.065825 0.724147 16 X

1:30 0.0263 0.11 0.0837 51.8671 50.3048 0.097644 1.166592 16 X

1:10 0.0251 0.1004 0.0753 29.2526 27.8977 0.048389 0.64262 28 X


SUHU 50 1:20 0.0509 0.1004 0.0495 33.9432 32.6068 0.083525 1.687374 16 X
1:30 0.0269 0.1004 0.0735 46.959 43.7781 0.198806 2.704847 16 X

E = (F - G) C = bobot PHA sebelum perlakuan (g) F = bobot larutan PHA (g)


D = (C - B) D = bobot kering PHA tidak terlarut (g) G = bobot larutan PHA terlarut (g
B = bobot kering PHA terlarut (g) E = bobot swelling PHA tidak terlarut (g) Indeks Swelling = (E/D)

90
Lampiran 16. Hasil analisis keragaman nilai swelling index

Sumber
keragaman DF SS MS F Hitung P
A 2 18.3959 9.198 1293.07 0.000**
B 1 0.4818 0.4818 67.73 0.000**
C 2 1.3553 0.6777 95.27 0.000**
Blok 1 0.3109 0.3109 43.7 0.000**
A*B 2 0.0692 0.0346 4.86 0.021*
A*C 4 0.0833 0.0208 2.93 0.052
B*C 2 0.0006 0.0003 0.05 0.956
A*B*C 4 0.0478 0.0119 1.68 0.201
Error 17 0.1209 0.0071
Total 35 20.8658

S = 0.0843401 R-Sq = 99.42% R-Sq(adj) = 98.81%

91
Lampiran 17. Hasil uji lanjut nilai swelling index

1. Uji lanjut perlakuan C (Perbandingan PHA-pelarut)


Perlakuan Rata-rata LSR
2 3
C1 10.77513 0.010579 0.012851
C2 16.91782
C3 33.91161

Hasil analisis efek perlakuan : C3 C2 C1

Keterangan :
C1 : perbandingan PHA-pelarut 1:10
C2 : perbandingan PHA-pelarut 1:20
C3 : perbandingan PHA-pelarut 1:30

3. Uji lanjut interaksi antara perlakuan A (jenis pelarut) dengan B (suhu)

Perlakuan Rata-rata LSR


2 3 4 5 6
A1B1 127.141 0.0105 0.0129 0.0143 0.0153 0.0160
A1B2 211.0806
A2B1 10.89657
A2B2 14.05934
A3B1 2.019658
A3B2 4.430164

Hasil analisis efek perlakuan : A1B2 A1B1 A2B2 A2B1 A3B2 A3B1
Keterangan :
A1B1 : kloroform, suhu kamar (25 oC)
A1B2 : kloroform, suhu 50 oC
A2B1 : asam asetat glasial, suhu kamar
A2B1 : asam asetat glasial, suhu 50oC
A3B1 : dimetilformamida, suhu kamar (25 oC)
A3B2 : dimetilformamida, suhu 50oC

92
PENGARUH SUHU, JENIS DAN PERBANDINGAN PELARUT TERHADAP KELARUTAN
BIOPLASTIK DARI PHA (Poly-β-Hydroxyalkanoates) YANG DIHASILKAN Ralstonia eutropha
PADA SUBSTRAT HIDROLISAT PATI SAGU

Muslich1) Khaswar Syamsu 1) dan Dossi Rahdumi Anatia 1)


1)
Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.

ABSTRACT

Biodegradable plastic have become one of partial solutions of problem solving of disposal of
plastic that take environmental serious problem confronting many countries. PHA is one of the most
promising biodegradable plastics to make plastic utensils (Van Wegen et al., 1998). PHB is a
thermoplastic, belonging to the family of polyhydroxyalkanoate PHAs. It has physical and mechanical
properties comparable to those of isostatic polypropylene iPP. There is a large amount of demand for
biodegradable plastic for using in industrial and medical applications (Lafferty et al. di dalam Rehm and
Reid, 1988). PHB has disadvantage: it has stiff and brittle (Kim et al, 1994). To prevent the degradation
of chains in processing PHB, which can be reduced by addition of plasticizers. To ensure optimal mixing
between PHB and the plasticizer, it need the right solvent and cultured conditions. The treatment of the
dissolved bioplastic film are the kind of solvent (chloroform, acetat glacial acid dan dimetilformamide),
comparation of PHA-solvent (1:10, 1:20, dan 1:30) and the degree of temperature (room temperature (25
0
C) and temperature of 500 C). Analytical procedure of dissociated of bioplastic and physical observation
run to get the optimal condition of dissociated. Analytical procedure of dissociated of bioplastic was
monitored by measuring the optical density (absorbans value), turbidity, viscosity and swelling index of
the solvent.

Keywords : bioplastic, PHA, solvent, temperature, ratio of concentration PHA-solvent, chlroroform,


dimetilformamide, acetic acid glacial, absorbans, turbidity , viscosity and swelling index

PENDAHULUAN Indonesia pada tahun 2000 mencapai 6.333,88 ton


dan meningkat menjadi 13.883,12 ton pada tahun
Plastik biodegradabel adalah salah satu 2001 (Abner dan Miftahorrahman, 2002).
alternatif pemecahan masalah sampah plastik.. Cadangan pati sagu tiap tahunnya diperkirakan
PHA (Poly-β-hydroksialkanoates) merupakan hanya 0,05–1% yang dimanfaatkan untuk ekspor,
salah satu jenis plastik biodegradabel yang paling 10% sebagai bahan baku makanan tradisional dan
menjanjikan. Poliester-poliester PHA dapat 89% beum termanfaatkan dengan baik (Wiyono et
didegradasi secara biologis dan kompatibel untuk al., 1990).
kisaran penggunaan yang luas mulai dari benang Menurut penelitian Atifah (2006) tentang
jahit pada operasi bedah sampai bahan-bahan pemanfaatan hidrolisat pati sagu sebagai sumber
kemasan (Van Wegen et al., 1998). karbon pada produksi bioplastik poli(3-
Meskipun PHA menunjukkan sifat-sifat hidroksialkanoat) oleh Ralstonia eutropha, PHA
yang menguntungkan untuk berbagai aplikasi yang dihasilkan dengan substrat pati sagu
namun secara komersial masih menghadapi termasuk jenis PHB (polihidroksibutirat) karena
kendala ekonomi. Nilai Penurunan biaya produksi memiliki kemiripan titik leleh, gugus fungsional
dapat diupayakan melalui pengembangan strain- dan hasil metanolisis dengan PHB murni. PHB
strain bakteri, substrat kultivasi yang lebih murah, merupakan bahan termoplastik dengan banyak
proses kultivasi yang lebih efisien dan proses karakteristik menarik, salah satunya adalah
recovery yang lebih ekonomis. kemiripannya dengan polipropilen (Lafferty et al.
Sagu merupakan salah satu alternatif bahan di dalam Rehm and Reid, 1988). Kekurangan
baku murah dan terbaharukan yang melimpah, PHB sebagai bioplastik adalah bersifat rapuh dan
memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan kaku (Kim et al., 1994). Penggunaan bahan
hidrolisat patinya, karena kandungan glukosa tambahan seperti pemlastis pada proses
yang cukup besar dalam sagu serta kemudahan pembuatan bioplastik dari PHB diharapkan dapat
untuk mengekstrak patinya. Indonesia merupakan memperbaiki kekurangan tersebut. Pemlastis tidak
pemilik areal sagu terbesar di dunia dengan luas dapat dicampurkan begitu saja dengan PHB,
areal sekitar 1,128 juta ha atau 51,3% dari 2,201 diperlukan pelarut dan kondisi pelarutan yang
juta ha areal sagu dunia. Produksi pati sagu di sesuai agar PHB dengan pemlastis dapat
bercampur dengan baik (Allcock dan Lampe, faktor perlakuan dan (c) Menentukan pengaruh
1981). perlakuan dalam pembentukan lembaran PHA.
Pelarutan PHB dalam pelarut tidak Prosedur penelitian ini ada dua tahapan.
mengikuti kaidah Ksp melainkan mengikuti Tahap pertama adalah pembuatan bahan baku
kaidah sistem solven (interaksi dipol-dipol (Gaya bioplastik untuk menghasilkan PHA dan tahap
van der waals) antara pelarut dengan zat terlarut) yang kedua adalah tahap penelitian utama yaitu
(Pine et al., 1988). PHB dapat larut dalam analisa kinerja pelarut bioplastik.
beberapa pelarut organik (Lafferty et al. didalam
Rehm and Reid, 1988). Kloroform, (a) Pembuatan Bahan Baku (PHA)
dimetilformamida dan asam asetat glasial Pembuatan bahan baku bertujuan untuk
merupakan jenis pelarut yang memiliki memperoleh PHA sebagai bahan utama
kemampuan melarutkan bioplastik pada suhu pembuatan film bioplastik. Pembuatan bahan baku
ruang atau sedikit diatas suhu ruang (Durrans dan terdiri dari tiga tahap, yaitu persiapan substrat
Davies, 1988). Ketiga pelarut ini memiliki (pembuatan hidrolisat pati sagu (Akyuni ,2004),
kelarutan yang tinggi dalam PHB dan merupakan produksi PHA secara fed batch (Atifah, 2004),
pelarut yang biasa digunakan untuk melarutkan dan proses hilir PHA.
PHB (Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid,
1988). (b) Pembuatan Larutan Bioplastik (Allcock
Menurut Day dan Underwood (1999), dan Lampe, 1981; Laffety et al. di dalam Rehm
faktor-faktor penting yang mempengaruhi and Reid, 1988; Rabek 1983)
kelarutan adalah suhu, sifat dari pelarut dan Larutan bioplastik dibuat melalui proses
kehadiran ion-ion lain dalam larutan. Suhu, pencampuran antara PHA dan pelarut. Pelarut
komposisi (konsentrasi), pH, kekuatan ionik, dan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
irradiasi cahaya mempengaruhi sifat kelarutan kloroform, asam asetat glasial dan
polimer dalam suatu pelarut (Mark et al., 2004). dimetylformamida. Menurut Lee (1996), untuk
Berdasarkan penelitian Wijanarko (2003) melarutkan satu bagian PHA diperlukan 20 bagian
didapatkan pelarut terbaik adalah kloroform pelarut, jadi perbandingan PHA-pelarut yang
dengan perbandingan pelarut dan PHA 4:1, digunakan adalah 1:10, 1:20 dan 1:30. Perlakuan
pelarut lain yang diujikan adalah aseton dan suhu dilakukan pada suhu ruang dan suhu 500C.
diklorometana. Wijanarko (2003) menyarankan Lama pelarutan adalah 4 jam, sesuai dengan
adanya perlakuan suhu untuk menentukan penelitian Sugiarti, R. (2003) dan Akmaliah, P.
kelarutan yang terbaik pada suhu diatas suhu (2003) mengenai pembuatan film bioplastik
ruang. Proses kimia dapat berjalan lebih cepat dengan menggunakan substrat hidrolisat minyak
dengan naiknya suhu proses. sawit.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk Analisa kelarutan PHA dilakukan dengan
mendapatkan pengaruh perlakuan suhu, jenis dan pengujian karakteristik larutan bioplastik yang
perbandingan PHA-pelarut terhadap kelarutan meliputi sifat fisik larutan yaitu nilai optical
PHA. Selain itu juga untuk mendapatkan interaksi density (absorbansi), kekeruhan, viskositas, dan
jenis pelarut dan kondisi pelarutan (perbandingan indeks swelling larutan PHA
PHA-pelarut dan suhu) yang sesuai bagi
pembentukan film bioplastik yang dihasilkan oleh HASIL DAN PEMBAHASAN
Ralstonia eutropha pada substrat hidrolisat pati
sagu. A. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
METODOLOGI PENELITIAN Kelarutan PHA
Menurut Day dan Underwood (1999),
Bahan dan Alat faktor-faktor penting yang mempengaruhi
Bahan utama yang digunakan adalah PHA kelarutan adalah suhu, sifat dari pelarut dan
pati sagu, PHB murni dari Sigma-Aldrich, kehadiran ion-ion lainnya dalam larutan tersebut.
kloroform, asam asetat glasial dan Suhu, komposisi (konsentrasi), pH, kekuatan
dimetilformamida. Sedangkan alat utama yang ionik, dan irradiasi cahaya mempengaruhi sifat
digunakan adalah bioreaktor skala 10 L, kelarutan polimer dalam suatu pelarut (Mark et
spektrofotometer Cecil series 2000, DR 2000 dan al., 2004).
viskosimeter. Pelarut yang digunakan dalam analisa ini
merupakan pelarut-pelarut yang biasa digunakan
Metode Penelitian dalam produksi biopolimer. Menurut Lafferty et
Penelitian ini terdiri dari tiga tahap, yaitu al. didalam Rehm and Reid (1988), kelarutan
(a) Menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi PHB dalam beberapa pelarut, menunjukkan
kelarutan PHA, (b) Menentukan interaksi faktor-
kelarutan tinggi pada pelarut kloroform, asam biopolimer dengan bahan dasar PHA merupakan
asetat glasial dan dimetilformamida. hal yang sangat penting. Jenis pelarut dan kondisi
Mekanisme pelarutan polimer dalam suatu pelarutan yang sesuai untuk PHA akan
pelarut yang sesuai didahului dengan menghasilkan lembaran PHA tanpa penambahan
meregangnya rantai polimer pada suatu dimensi pemlastis. Analisa kelarutan bioplastik PHA
mekanik. Hasil peregangan ini adalah terurainya dilakukan melalui pengukuran sifat fisik larutan
ikatan sambung silang yang ada didalam polimer. yaitu nilai optical density (absorbansi), kekeruhan,
Lalu pelarut masuk kedalam jaringan polimer, viskositas, dan indeks swelling larutan PHA.
sehingga volumenya naik secara isotropicaly (
sama ke setiap arah ). Pelarut meningkatkan a. Absorbansi (Optical Density)
pemisahan ikatan sambung silang dalam polimer Pengukuran absorbansi dilakukan dengan
dengan menggunakan simetri bola (ke segala arah, menggunakan alat spektrofotometer, dengan
semua vektor dengan panjang faktor konstan), panjang gelombang yang sesuai untuk absorbansi
sehingga semua gaya dorong menjadi seimbang cahaya yang maksimal oleh PHA. Panjang
dan menyebabkan imbibisi pelarut dalam polimer gelombang yang sesuai untuk absorbsi cahaya
(Gordon, 1963). Proses ini diilustrasikan seperti yang maksimal oleh PHA yaitu pada 575 nm
pada Gambar 1 . Setelah pelarut berimbibisi ke (Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid, 1988).
dalam molekul PHA, maka rantai PHA menjadi Rabek (1983) menjelaskan bahwa
lebih meregang. Ketika pemlastis ditambahkan, absorbansi juga berkaitan dengan penyebaran
maka pemlastis tersebut akan mudah untuk cahaya di dalam larutan biopolimer. Penyebaran
tersisip di antara rantai-rantai PHA. cahaya pada media yang homogen ditunjukkan
. dengan nilai absorbansi yang rendah, sedangkan
pada media yang tidak homogen ditunjukkan
dengan nilai absorbansi yang tinggi dimana
cahaya tersebut disebarkan ke semua arah.
Larutan dengan nilai absorbansi yang
rendah menunjukkan kelarutan PHA yang tinggi
terhadap pelarut, karena pelarut mampu
meregangkan rantai ikatan molekul PHA sehingga
Polimer + Pelarut
terdispersi secara merata di dalamnya. Begitu pula
sebaliknya, nilai absorbansi yang besar
Gambar 1. (a). Reaksi antara polimer dan pelarut menunjukkan kelarutan PHA yang rendah, karena
(b) Reaksi penambahan pemlastis pada polimer pelarut tidak mampu memisahkan ikatan antar
(Spink dan Waychoff, 1958) molekul PHA, hal ini mengakibatkan PHA tidak
Polimer memiliki molekul yang berbeda terdispersi secara merata.
dengan molekul kebanyakan senyawa, karena Dari histogram hubungan jenis dan
memiliki rantai fleksibel yang sangat panjang, perbandingan PHA-pelarut serta suhu pelarutan
yang terdiri dari unit-unit yang berulang. Unit dengan nilai absorbansi larutan terlihat bahwa
berulang ini memiliki ikatan yang fleksibel yang dengan semakin banyak pelarut yang digunakan
terbagi ke dalam segmen kinetik yang bergerak maka semakin kecil pula nilai absorbansi. Hal ini
translasional sangat lambat jika dibandingkan sesuai dengan pernyataan Cowd di dalam Clark
dengan molekul kebanyakan (Furukawa, 2005), (1991) bahwa peningkatan absorbansi cahaya
oleh karena itu pelarutan PHA dalam pelarut tidak berhubungan dengan konsentrasi. Semakin besar
mengikuti kaidah Ksp melainkan mengikuti konsentrasi pelarut maka nilai absorbansi semakin
kaidah sistem solven (interaksi dipol-dipol (Gaya kecil, begitu pula sebaliknya, apabila konsentrasi
van der waals) antara pelarut dengan zat terlarut) pelarut kecil maka nilai absorbansi juga semakin
(Pine et al., 1988). Terdapat berbagai gaya antar besar karena adanya peningkatan hamburan
rantai di dalam polimer. Jika rantai polimer cahaya. Histogram menunjukkan bahwa nilai
berinteraksi dengan molekul pelarut sesuai maka absorbansi yang paling rendah adalah pada
akan terdapat kecenderungan ujung positif suatu perlakuan pelarut kloroform dengan perbandingan
dipol menuju ke arah ujung negatif dipol yang PHA-pelarut 1:30 dan suhu pelarutan 50oC yang
lain. Pada rantai polimer sendiri, bagian σ- suatu memiliki nilai absorbansi sebesar 0.375 untuk
rantai akan tertarik ke bagian σ+ rantai ulangan pertama dan 0.25 untuk ulangan yang
tetangganya, sehingga menyebabkan terjadinya kedua. Ini berarti bahwa PHA dapat larut dengan
tarikan antar rantai. Gaya ini disebut gaya van der baik pada pelarut kloroform. Hasil analisis ragam
waals (gaya orientasi) dan biasanya kecil. menunjukkan bahwa blok, perlakuan jenis pelarut,
Penentuan jenis pelarut dan kondisi perlakuan suhu, perlakuan perbandingan PHA-
pelarutan yang sesuai untuk pembuatan film pelarut dan interaksi antara jenis pelarut dengan
suhu pelarutan berpengaruh nyata terhadap nilai dengan perbandingan PHA-pelarut memberikan
absorbansi larutan PHA. pengaruh nyata terhadap nilai kekeruhan
100 600
90
80 500
Nilai Absorbansi

Nilai Kekeruhan
70
400
60
50 300
40
30 200
20
100
10
0 0
10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30
kmr 50 kmr 50 kmr 50
kmr 50 kmr 50 kmr 50
kloroform asam asetat glasial dimetil formamide
kloroform asam asetat glasial dimetil formamide

Gambar 2. Histogram hubungan jenis dan perbandingan Gambar 3. Histogram hubungan antara jenis pelarut,
PHA-pelarut serta suhu pelarutan dengan nilai perbandingan PHA-pelarut dan suhu dengan nilai
absorbansi larutan kekeruhan

b. Kekeruhan (Turbidimetry) c. Viskositas


Kekeruhan berhubungan dengan Viskositas larutan polimer cenderung
konsentrasi zat yang diukur dan intensitas sorotan berkurang dengan turunnya konsentrasi dan
cahaya yang melewati larutan (Anonim1, 2006). dengan naiknya suhu. Akan tetapi, terdapat
Apabila seberkas sinar ditembuskan ke dalam beberapa pengecualian pada polimer yang
cairan yang tidak homogen, sebagian sinar mengandung gugus terionkan seperti gugus asam
dihamburkan. Hal ini disebabkan kerapatan cairan karboksilat. Pada konsentrasi diatas 1%, rantai-
yang tidak seragam. Peningkatan hamburan dapat rantai dalam larutan dapat bertindihan dan akibat
dihubungkan dengan konsentrasi dan massa gaya tolak menolak antar muatan sejenis pada
molekul zat terlarut (Cowd di dalam Clark, 1991) rantai yang berdampingan, serta pengionan tak
Pengukuran kekeruhan pada prinsipnya sempurna yang mungkin terjadi, maka rantai tidak
hampir sama dengan pengukuran absorbansi memanjang terlalu banyak (Cowd di dalam Clark,
larutan. Pengukuran berdasarkan pada sistem 1991). Menurut Allcock dan Lampe (1991),
deteksi optik dari partikel yang sangat kecil yang peningkatan viskositas yang tinggi diduga
tersuspensi dalam pelarut. Sorotan cahaya akan disebabkan oleh perubahan ukuran dan bentuk
mengirimkan gelombang cahaya yang lalu polimer terlarut di dalam pelarut.
dipencar-pencarkan sesuai dengan sudut dari Pada penelitian didapatkan hasil analisis
kekeruhan. Semakin keruh suatu zat, maka ragam bahwa blok, perlakuan jenis pelarut,
semakin banyak cahaya yang diserap. Larutan perlakuan suhu, perlakuan perbandingan PHA-
yang memiliki nilai kekeruhan yang besar pelarut, interaksi antara jenis pelarut dengan suhu
menunjukkan kelarutan PHA yang rendah pada serta interaksi antara jenis pelarut dengan
larutan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya perbandingan PHA-pelarut memberikan pengaruh
cahaya yang diserap oleh partikel PHA yang nyata terhadap peningkatan nilai viskositas pelarut
terdispersi di dalam larutan. biopolimer. Jenis pelarut mempengaruhi
peningkatan nilai viskositas larutan karena
Pengujian nilai kekeruhan menghasilkan masing-masing pelarut mempunyai sifat fisik dan
hubungan yang positif dengan pengujian nilai kimia yang berbeda, hal ini menyebabkan
absorbansi. Pada penelitian ini didapatkan interaksi yang berbeda pula antara pelarut dengan
histogram yang menunjukkan hasil nilai PHA. Kenyataan ini sesuai dengan pernyataan
kekeruhan yang terbesar terdapat pada perlakuan Allcock dan Lampe (1981) bahwa besarnya
pelarut asam asetat dengan suhu 500C dan peningkatan viskositas dari larutan berbeda-beda
perbandingan PHA-pelarut 1:10 yang bernilai 552 nilainya relatif sesuai jenis pelarut yang
FTU pada ulangan pertama dan 490 FTU pada digunakan.
ulangan yang kedua. Nilai kekeruhan yang Histogram peningkatan nilai viskositas
terkecil adalah pada perlakuan pelarut kloroform menunjukkan bahwa kenaikan viskositas tertinggi
dengan suhu kamar dan perbandingan PHA- terjadi pada PHA yang dilarutkan pada
pelarut 1:30 yaitu sebesar 39 FTU (ulangan perbandingan PHA-pelarut 1:10. Apabila dilihat
pertama) dan 38 FTU (ulangan kedua). Analisis lebih cermat didapatkan data bahwa nilai
keragaman menunjukkan bahwa blok, perlakuan peningkatan viskositas terkecil adalah pada
jenis pelarut, perlakuan suhu, perlakuan perlakuan pelarut asam asetat glasial pada suhu
perbandingan PHA-pelarut, interaksi antara jenis kamar sebesar 0.06 Cp untuk ulangan pertama dan
pelarut dengan suhu pelarutan dan interaksi suhu 0.09 Cp pada ulangan kedua, sedangkan yang
memiliki peningkatan nilai viskositas terbesar adalah pada perlakuan pelarut dimetylformamida
adalah pada perlakuan pelarut kloroform 1:10 dengan perbandingan PHA-pelarut 1:10 pada suhu
pada suhu 500 C yang memiliki peningkatan nilai kamar sebesar 0.2823 untuk ulangan pertama dan
0.384 Cp pada ulangan pertama dan 0.537 Cp 0.4116 untuk ulangan yang kedua.
untuk ulangan kedua. Viskositas merupakan hasil
dari pergeseran fluida sehingga kekentalan dapat 140

Nilai Indeks Swelling


120
dukur dengan mengukur geseran atau gaya 100
geserannya (shear force). Fluida dengan 80
viskositas rendah gaya gesernya akan rendah 60

(Srivastava, 1989). 40
20
0.45 0
Peningktan Viscositas

0.4 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30
0.35
kmr 50 kmr 50 kmr 50
0.3
0.25 kloroform asam asetat glasial dimetil formamide
0.2
0.15
0.1
Gambar 5. Histogram hubungan antara jenis pelarut,
0.05 perbandingan PHA-pelarut dan suhu dengan
0 peningkatan nilai indeks swelling
10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30 10 20 30
Nilai indeks swelling yang besar pada
kmr 50 kmr 50 kmr 50
kloroform menunjukkan bahwa PHA lebih mudah
kloroform asam asetat glasial dimetil formamide
menyerap pelarut kloroform dibandingkan kedua
Gambar 4. Histogram hubungan antara jenis pelarut, pelarut lainnya. Menurut Allcock dan Lampe
perbandingan PHA-pelarut dan suhu dengan (1981) penyerapan pelarut oleh polimer ini
peningkatan nilai viskositas disebabkan rantai polimer berada dalam gerakan
Indikator pengujian viskositas digunakan yang lentur pada suhu ruangan, sehingga molekul-
untuk mengetahui interaksi pelarutan. Apabila molekul pelarut dapat memasuki kisi-kisi polimer
nilai viskositas sebelum dan sesudah pelarutan dan memisahkan molekul-molekul besar. Pada
sama saja atau berbeda tidak terlalu besar, proses akhirnya, polimer akan larut, kecuali apabila
pelarutan tidak terjadi atau terjadi namun terdapat ikatan silang. Rantai ikatan silang dapat
kelarutannya sangat rendah. Hal tersebut seperti memberikan pembatas pada tingkat kemampuan
yang diutarakan Cowd di dalam Clark (1991) rantai untuk memisah dan akhirnya menghambat
bahwa salah satu ciri polimer (biopolimer) adalah terjadinya swelling.
menghasilkan larutan yang jauh lebih kental Analisis ragam menunjukkan bahwa blok,
daripada pelarut murninya. perlakuan jenis pelarut, perlakuan suhu, perlakuan
perbandingan PHA-pelarut dan interaksi
d. Swelling Index perlakuan jenis pelarut dengan suhu berpengaruh
Kemampuan suatu polimer untuk menyerap nyata terhadap nilai swelling index. Perlakuan
pelarut dan mengalami pengembangan volume jenis pelarut berpengaruh terhadap nilai swelling
tertentu merupakan fenomena yang umum. index sesuai dengan hasil penelitian Wijanarko
Ratio/indeks swelling merupakan rasio dari (2003), yang menyatakan bahwa jenis pelarut
volume pengembangan polimer menjadi semacam mempengaruhi nilai swelling index larutan PHA
gel dalam keseimbangan dengan pelarut murni hidrolisat minyak sawit.
(Gordon, 1963). Menurut Rabek (1983), apabila
suatu jenis biopolimer dilarutkan dalam cairan B. Interaksi Faktor-Faktor Perlakuan
pelarut yang sesuai bagi polimer tersebut, larutan a. Absorbansi (Optical Density)
tersebut akan mengalami pengembangan Hasil analisis ANOVA menunjukkan
(swelling) pada suatu tingkatan tertentu bahwa interaksi antara jenis pelarut dan suhu
tergantung pada interaksi antara biopolimer berpengaruh nyata terhadap pengukuran
terlarut dengan pelarutnya. absorbansi. Interaksi antara jenis pelarut dan suhu
Larutan PHA dengan pelarut kloroform kemudian diuji lanjut sehingga menghasilkan
memberikan nilai indeks swelling yang paling grafik seperti dibawah ini. Grafik menunjukkan
tinggi, yaitu perlakuan kloroform dengan bahwa dengan adanya peningkatan suhu maka
perbandingan PHA-pelarut 1:30 pada suhu 500C nilai absorbansi untuk pelarut asam asetat glasial
yang bernilai 115.197 (ulangan pertama) dan dan dimetilformamida cenderung meningkat. Hal
132.28 (ulangan kedua). Hasil ini sejalan dengan ini berbeda dengan pelarut kloroform yang
pendapat Pruett (1988) yang menyatakan bahwa memiliki nilai absorbansi yang cenderung
polipropilen yang memiliki sifat menyerupai PHA menurun dengan peningkatan suhu.
memberikan nilai swelling yang tinggi terhadap
pelarut kloroform. Nilai indeks swelling terkecil
140 b. Kekeruhan (Turbidimetry)
Pada analisis ragam, diketahui bahwa
Rata-rata Nilai Absorbansi
120

100
Kloroform
interaksi antara perlakuan jenis pelarut dengan
80
Asam asetat glasial suhu pelarutan berpengaruh nyata terhadap nilai
60

40
Dimetilformamida
kekeruhan pada tingkat kepercayaan 99%,
20 kemudian dilakukan uji lanjut dengan
0 menggunakan metode LSR. Uji lanjut interaksi
Suhu kamar Suhu 50
Perlakuan Suhu
antara perlakuan jenis pelarut dengan suhu
pelarutan menunjukkan ketiga pelarut mengalami
Gambar 6. Grafik interaksi antara jenis pelarut dan suhu kenaikan nilai kekeruhan seiring dengan kenaikan
pelarutan terhadap nilai absorbansi suhu. Perlakuan suhu berpengaruh terhadap nilai
Menurut Hildebrand (1970), nilai kekeruhan karena kenaikan suhu menyebabkan
absorbansi menunjukkan pola dispersi dan ukuran terjadinya browning (pencoklatan) terhadap
partikel PHA terlarut di dalam larutan. molekul PHA akibat panas. Hal tersebut
Peningkatan suhu menyebabkan partikel PHA mengakibatkan warna larutan menjadi lebih gelap
dalam asam asetat glasial dan dimetilformamida dan akan mempengaruhi pembacaan nilai
menjadi bergerak acak. Partikel ini menyebarkan kekeruhan. Warna yang lebih gelap akan
cahaya ke segala arah dan menyebabkan naiknya menyerap gelombang cahaya, sehingga
nilai absorbansi. Pada pelarut kloroform, dengan pembacaan nilai kekeruhan akan semakin besar
meningkatnya suhu menyebabkan kelarutan PHA (Anonim1, 2006). Grafik interaksi antara jenis
dalam kloroform meningkat, molekul PHA pelarut dan suhu pelarutan terhadap nilai
terdispersi secara merata di dalam pelarut, karena kekeruhan dapat dilihat pada Gambar 8. Pada
ukuran partikel yang sangat kecil menyebabkan grafik terlihat bahwa perlakuan kloroform dengan
pembacaan nilai absorbansi menjadi turun. menggunakan suhu kamar memiliki nilai
Kelarutan PHA yang baik adalah pada kekeruhan terkecil yang berbeda nyata dengan
perlakuan yang menghasilkan nilai absorbansi interaksi jenis pelarut dan suhu lainnya setelah
terkecil, karena absorbansi yang kecil diuji lanjut.
menunjukkan kelarutan PHA yang tinggi pada
1400
pelarut. Hasil uji lanjut (Gambar 7) pada
1200
perlakuan perbandingan PHA-pelarut
Nilai rata2 Kekeruhan

1000
menunjukkan bahwa nilai absorbansi terkecil Kloroform
terdapat pada perlakuan perbandingan PHA- 800
As asetat glasial
pelarut 1:30 yang memiliki perbedaan yang nyata 600
Dimetilformamida

dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Hal ini 400

sesuai dengan pendapat Cowd di dalam Clark 200

(1991) yang mengatakan bahwa peningkatan 0


Suhu kamar Suhu 50
hamburan cahaya berhubungan dengan Perlakuan Suhu
konsentrasi dan massa molekul zat terlarut.
Semakin besar konsentrasi pelarut, maka Gambar 8. Grafik interaksi antara jenis pelarut dan suhu
hamburan cahaya akan semakin kecil, begitu pula pelarutan terhadap nilai kekeruhan
sebaliknya, jika konsentrasi pelarut kecil maka Analisis ragam juga menunjukkan bahwa
hamburan cahaya akan semakin besar. Hal ini interaksi suhu pelarutan dengan perbandingan
ditandai dengan besarnya nilai absorbansi. PHA-pelarut mempengaruhi pengukuran nilai
30
kekeruhan PHA. Gambar 9 memperlihatkan
hubungan antara suhu pelarutan dengan
Rata-rata nilai absorbansi

25
perbandingan PHA-pelarut, nilai kekeruhan
20
mengalami penurunan seiring dengan
15 bertambahnya jumlah pelarut. Perlakuan
10 perbandingan PHA-pelarut mempengaruhi
5 pembacaan nilai kekeruhan karena semakin keruh
0 suatu zat, maka semakin banyak cahaya yang
1:10 1:20 1:30 diserap (Anonim1, 2006), akibatnya pembacaan
Perbandingan PHA-pelarut
nilai kekeruhan juga semakin besar. Perlakuan
Gambar 7. Histogram hasil uji lanjut perbandingan terbaik adalah perlakuan yang menghasilkan nilai
PHA-pelarut terhadap nilai absorbansi kekeruhan terkecil, karena nilai kekeruhan yang
kecil menunjukkan kelarutan PHA yang tinggi
pada pelarut. Perlakuan yang menghasilkan nilai
kekeruhan terkecil pada grafik adalah pada
perlakuan suhu kamar dengan perbandingan PHA- (Cowd di dalam Clark, 1991), pelarut dapat lebih
pelarut 1:30. mudah berimbibisi dalam molekul PHA dan
1200 menyebabkan nilai viskositas yang terbaca naik.
1000
Nilai Rata2 Kekeruhan

800
d. Indeks swelling
Suhu kamar Uji lanjut dilakukan untuk melihat sejauh
600
Suhu 50 mana interaksi perlakuan jenis pelarut dengan
400
suhu mempengaruhi nilai swelling index. Gambar
200 11 menunjukkan bahwa sejalan dengan
0 peningkatan suhu, maka nilai indeks swelling
1:10 1:20 1:30
akan cenderung mengalami kenaikan. Pruett
Perbandingan PHA-pelarut
(1988) menyatakan bahwa untuk mendapatkan
Gambar 9. Grafik interaksi antara suhu pelarutan nilai swelling yang lebih tinggi, dibutuhkan suhu
dengan perbandingan PHA-pelarut terhadap nilai pelarutan yang lebih tinggi melalui proses
kekeruhan annealing atau pemanasan. Peningkatan suhu
c. Viskositas membuat molekul-molekul pelarut dapat lebih
Dari analisis ragam, interaksi antara mudah memasuki kisi-kisi PHA dan
perlakuan jenis pelarut dan suhu mempengaruhi menyebabkan PHA mengalami pengembangan
peningkatan nilai viskositas. Uji lanjut yang /swelling. Nilai indeks swelling tertinggi pada
dilakukan pada interaksi ini, Gambar 10 grafik ditunjukkan oleh perlakuan kloroform
menunjukkan bahwa dengan bertambahnya suhu dengan suhu pelarutan sebesar 50oC.
pelarutan maka nilai viskositas ketiga pelarut juga
menjadi ikut naik. Pada umumnya, nilai viskositas Nilai rata2 indeks swelling
250

larutan turun dengan bertambahnya suhu 200

pelarutan sesuai dengan pernyataan Allcock dan 150 Kloroform


Lampe (1981). Namun Cowd di dalam Clark As asetat glasial

(1991) menyatakan bahwa pada larutan polimer 100 Dimetilformamida

terjadi perbedaan atau terdapat sifat anomali yaitu 50

dengan naiknya suhu, kekentalan larutan turun 0


seperti yang diharapkan, akan tetapi pada suhu Suhu kamar Suhu 50

yang lebih tinggi, kekentalan mulai meningkat Perlakuan Suhu

lagi. Hal tersebut terjadi karena ada rantai PHA


yang membelit secara acak yang mengakibatkan Gambar 11. Grafik interaksi antara jenis pelarut dengan
peningkatan kekentalan. suhu pelarutan terhadap nilai indeks swelling
1.2
Perlakuan terbaik dalam pengukuran
swelling index ini adalah perlakuan yang
Rata2 peningkatan nilai

1
menghasilkan nilai swelling index terbesar, karena
0.8
nilai swelling index yang besar menunjukkan
viskositas

Kloroform
0.6 As asetat glasial
Dimetilformamida
bahwa PHA lebih mudah menyerap pelarut. Hasil
0.4
uji lanjut pada perlakuan perbandingan PHA-
0.2 pelarut menunjukkan bahwa nilai indeks swelling
0 terbesar terdapat pada perlakuan perbandingan
Suhu kamar Suhu 50
Perlakuan Suhu
PHA-pelarut 1:30 (Gambar 12), yang memiliki
perbedaan yang nyata dibandingkan dengan
Gambar 10. Grafik interaksi antara jenis pelarut dengan
perlakuan yang lain. Kenaikan nilai indeks
perbandingan PHA-pelarut terhadap peningkatan nilai swelling ini disebabkan pada saat larutan
viskositas diencerkan (konsentrasi bertambah), rantai
Fenomena peningkatan nilai viskositas polimer menjadi terpisah lebih berjauhan (Cowd
pada kenaikan suhu dapat dijelaskan sebagai di dalam Clark, 1991). Hal ini memungkinkan
berikut, ketika PHA hidrolisat pati sagu dilarutkan molekul-molekul pelarut dapat memasuki kisi-kisi
pada suhu ruang, gaya Gaya Van der Waals yang PHA, menyebabkan PHA mengembang (swelling)
dibutuhkan pelarut untuk meregangkan ikatan dengan lebih baik pula.
polimer dalam PHA tidak lebih besar dari gaya
ikat antar molekul PHA akibatnya pelarut belum
banyak yang berimbibisi ke dalam PHA, nilai
viskositas yang terbaca juga cenderung lebih
kecil. Ketika suhu naik, rantai molekul PHA
menjadi terpisah lebih berjauhan dan meregang
40 saling membelit satu sama lain dan membesar
karena kloroform berimbibisi ke dalam
Nilai rata2 indeks swelling
35
30 molekulnya (Gordon, 1963). Ketika kloroform di
25
uapkan, molekul PHA saling bersinggungan dan
20
15
membentuk belitan antar rantai yang satu dengan
10 yang lain sehingga terbentuk lembaran. Hasil
5 pengamatan fisik untuk perlakuan dengan
0 menggunakan pelarut kloroform disajikan pada
1:10 1:20 1:30
Perbandingan PHA-pelarut
Tabel 1.
Tabel 1. Hasil pengamatan fisik pelarutan dengan
Gambar 12. Histogram hasil uji lanjut perbandingan
kloroform
PHA-pelarut terhadap nilai indeks swelling Suhu kamar
Konsentrasi Suhu 50o C
(25o C)
C. Pengaruh Perlakuan Dalam Pembentukan Terbentuk Terbentuk
Lembaran PHA 1:10 lembaran , tidak lembaran, tebal
rata dan tebal dan tidak rata
PHA dengan pelarut dan kondisi pelarutan
yang sesuai menghasilkan larutan yang homogen Terbentuk Terbentuk
(Allcock dan Lampe, 1981). Larutan bioplastik lembaran , tidak lembaran tidak
yang homogen berarti pelarut dapat melakukan rata dalam rata
cetakan, yang ketebalannya
imbibisi dengan baik, yang terlihat secara fisik 1:20
tebal bagus,
sebagai larutan yang memiliki viskositas yang yang tipis
tinggi dibandingkan dengan viskositas pelarut rapuh, bentuk
murni (Cowd di dalam Clark, 1991) dan dapat mirip kertas
membentuk lembaran bioplastik. Terbentuk Terbentuk
Pembentukan lembaran bioplastik terjadi lembaran, lembaran
karena interaksi fisik antara PHA dengan pelarut. 1:30
bagus, rapuh, permukaan rata
Menurut Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid seperti PHA
(1988), molekul PHA mengadsorpsi pelarut awal, bentuk
membentuk belitan yang acak dan molekul PHA rata
menjadi mengembang dengan volume yang besar. PHA yang dilarutkan dalam perlakuan
Pembesaran partikel terjadi terus menerus pelarut asam asetat glasial, tidak ada yang dapat
sehingga molekul PHA bersinggungan dan menghasilkan lembaran. Semua sampel hanya
membelit/melingkari satu sama lain. Hal tersebut membentuk butiran halus (seperti pasir) dan PHA
mengakibatkan seluruh sistem menjadi tetap dan berwarna lebih pucat dari awal pelarutan, karena
kaku sehingga terbentuklah lembaran (Anonim2, asam asetat glasial mendegradasi warna PHA
2006). (awal berwarna coklat muda, akhir berwarna putih
Pengamatan fisik dilakukan untuk tulang). Interaksi dipol pada ujung rantai PHA
mengetahui kemampuan PHA membentuk dengan gugus aktif asam asetat glasial (OH) tidak
lembaran kembali setelah pelarutan. Hal ini terjadi interaksi kimia yang baik, sehingga larutan
penting untuk diketahui, karena untuk yang terbentuk pun hanya berupa suspensi dengan
menghasilkan film bioplastik dibutuhkan PHA partikel-partikel kecil PHA yang menyebar. Nilai
yang dapat membentuk lembaran setelah viskositas larutan juga menunjukkan kenaikan
pelarutan tanpa adanya penambahan pemlastis. dibanding dengan nilai viskositas pelarut murni,
Dari semua sampel yang dianalisa hanya manun kenaikannya tidak terlalu besar, secara
PHA yang dilarutkan dalam kloroform saja yang fisik juga kekentalan PHA dalam asam saetat
dapat membentuk lembaran dalam semua glasial tidak begitu terlihat. Karena kenaikan
perlakuan suhu. Hal ini dikarenakan PHA (non viskositas yang kecil pada larutan suspensi
polar) dapat larut dalam kloroform (non polar) menyebabkan belitan atau lilitan dari rantai PHA
dengan baik dan membentuk larutan yang tidak dapat menjangkau antar molekul yang satu
homogen sesuai dengan pernyataan Keenan et al. dengan yang lain (Gordon, 1963), akibatnya tidak
(1984) terdapat kecenderungan kuat bagi senyawa terjadi tumpang tindih molekul PHA yang pada
non polar untuk larut dalam pelarut non polar dan akhirnya tidak terbentuk lembaran bioplastik
bagi senyawa kovalen polar atau senyawa ion seperti yang diharapkan. Dari hasil pengamatan,
untuk larut dalam pelarut polar, dengan perkataan perlakuan suhu dan perbandingan PHA-pelarut
lain, sejenis melarutkan sejenis. PHA dalam tidak mempengaruhi penampakan fisik PHA
kloroform dapat terdispersi dengan baik, rantai setelah pelarutan, kecuali butiran PHA menjadi
PHA akan meregang dengan molekul kloroform sedikit lebih halus. Hasil pelarutan dengan asam
berada disekitarnya, rantai-rantai PHA ini akan asetat glasial disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil pengamatan fisik pelarutan dengan yang ukurannya lebih kecil dari perlakuan pada
asam asetat glasial disuhu ruang.
Suhu kamar Perlakuan yang sama juga dilakukan
Konsentrasi Suhu 500C
(25o C) terhadap blanko (PHB murni) dari Sigma aldrich.
Tidak terbentuk Tidak terbentuk Hasil penelitian menunjukkan, dari semua unit
lembaran, lembaran, percobaan, hanya sampel yang dilarutkan pada
1:10
berbutir kasar berbutir agak kloroform dengan menggunakan suhu 500 C saja
halus yang dapat membentuk lembaran.
tidak terbentuk tidak terbentuk PHA hidrolisat pati sagu mampu
1:20 lembaran, lembaran,
membentuk lembaran kembali pada berbagai
berbutir halus berbutir kasar
Tidak terbentuk Tidak terbentuk perlakuan suhu baik pada suhu ruang (25oC)
lembaran, lembaran, butiran maupun suhu 500C. Hal tersebut dapat dijelaskan
1:30 butiran seperti agak kasar sebagai berikut, proses hilir PHA hidrolisat pati
pasir sagu menggunakan kloroform sebagai pelarut.
Ekstraksi dengan pelarut tertentu dapat mengubah
Pelarutan PHA dengan menggunakan kekuatan dielektrik sistem pelarut dan zat yang
dimetilformamida tidak menghasilkan bentuk terlarut (Lafferty et al. di dalam Rehm and Reid,
lembaran untuk semua unit percobaan yang 1988). Selain itu, ekstraksi pelarut juga dapat
dilakukan, sama seperti pada perlakuan dengan menurunkan kepolaran media (konstanta
menggunakan asam asetat glasial. Hal ini dielektrik) dan meningkatkan interaksi
dikarenakan molekul PHA dalam pelarut elektrostatik (Harrison, 1990). Turunnya
dimetilformamida tidak membentuk interaksi konstanta dielektrik dan meningkatnya interaksi
dipol-dipol yang baik dengan kondisi perlakuan elektrostatik PHA hidrolisat pati sagu terhadap
yang diberikan, dimetilfornamida tidak dapat kloroform (akibat proses hilir), maka PHA dapat
berimbibisi dengan baik dalam molekul PHA larut dengan baik dalam kloroform dengan
(suspensi partikel-partikel kecil), sehingga rantai berbagai perlakuan suhu.
PHA yang membelit satu sama lain hanya Tabel 4. Hasil pengamatan fisik pelarutan PHB
mencapai radius yang tidak sampai murni
mengakibatkan rantainya saling bertindih dan Pelarut Suhu kamar Suhu 500C
melingkar satu sama lain dan lembaran bioplastik (25o C)
pun tidak terbentuk. Kemungkinan kondisi Kloroform Tidak terbentuk Terbentuk, sangat
pelarutan yang berbeda (misalkan dengan lembaran, halus dan rata
melarutkan dalam tekanan inert, suhu yang lebih berbutir halus ketebalannya
besar dari 1000C) akan menghasilkan interaksi seperti PHB
dipol yang baik ini karena menurut Lafferty et al. murni awal
di dalam Rehm and Reid (1988) Asam Tidak terbentuk Tidak terbentuk
asetat lembaran, lembaran, berbutir
dimetilformamida memiliki kelarutan yang tinggi glasial berbutir halus halus seperti PHB
dalam PHB dan merupakan pelarut yang biasa seperti PHB murni awal
digunakan untuk melarutkan PHB. Hasil murni awal
pengamatan disajikan pada Tabel 3. Dimetylfor Tidak terbentuk Tidak terbentuk
Tabel 3. Hasil pengamatan fisik pelarutan dengan mamida lembaran, lembaran, berbutir
dimetilformamida berbutir halus halus seperti PHB
Konsentrasi Suhu kamar Suhu 500C seperti PHB murni awal
(25o C) murni awal
1:10 Tidak terbentuk Tidak terbentuk
lembaran, lembaran, berbutir KESIMPULAN
berbutir kasar halus Larutan dengan nilai absorbansi yang
1:20 Tidak terbentuk Tidak terbentuk rendah menunjukkan kelarutan PHA yang tinggi
lembaran, lembaran, berbutir terhadap pelarut. Meningkatnya suhu
berbutir kasar halus menyebabkan nilai absorbansi turun begitu pula
1:30 Tidak terbentuk Tidak terbentuk ketika semakin banyak pelarut yang digunakan
lembaran, lembaran, butiran (meningkatnya perbandingan PHA-pelarut) maka
butiran kasar halus
semakin kecil pula nilai absorbansi. Namun
PHA setelah pelarutan menghasilkan
interaksi antara jenis pelarut dan suhu
serpihan-serpihan PHA yang ukurannya lebih
menunjukkan bahwa dengan adanya peningkatan
besar dibandingkan ketika dilarutkan dalam asam
suhu maka nilai absorbansi untuk pelarut asam
asetat glasial. Perlakuan suhu mempengaruhi hasil
asetat glasial dan dimetilformamida cenderung
pengamatan fisik, sehingga didapatkan serpihan
meningkat. Hal ini berbeda dengan pelarut
kloroform yang memiliki nilai absorbansi yang kelarutan PHA dan pengamatan fisik adalah
cenderung menurun dengan peningkatan suhu. perlakuan pelarut kloroform dengan perbandingan
Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan ukuran PHA-pelarut 1:30 pada suhu 500 C.
partikel PHA terlarut di dalam masing-masing SARAN
pelarut. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
Pengujian nilai kekeruhan menghasilkan untuk mengetahui waktu pelarutan optimal
hubungan yang positif dengan pengujian nilai sehingga didapatkan waktu proses yang lebih
absorbansi. Nilai kekeruhan yang kecil efisien, kelarutan PHA dalam kloroform teknis
menunjukkan kelarutan PHA yang tinggi pada untuk mengurangi biaya produksi film bioplastik
pelarut. Namun interaksi antara perlakuan jenis PHA, pelarut lain yang dapat melarutkan PHA
pelarut dengan suhu pelarutan menunjukkan selain ketiga pelarut yang telah digunakan pada
ketiga pelarut mengalami kenaikan nilai penelitian ini dan pengaruh kecepatan pengadukan
kekeruhan seiring dengan kenaikan suhu. terhadap pelarutan bioplastik.
Perlakuan suhu berpengaruh terhadap nilai
DAFTAR PUSTAKA
kekeruhan karena kenaikan suhu menyebabkan
terjadinya browning (pencoklatan) terhadap
Akmaliah, P. 2003. Pengaruh Konsentrasi
molekul PHA akibat panas. Interaksi suhu
Pemlastis Dimetil Ftalat Terhadap
pelarutan dengan perbandingan PHA-pelarut
Karakteristik Bioplastik Dari
mempengaruhi pengukuran nilai kekeruhan PHA,
Polyhydroxyalkanoates (PHA) Yang
nilai kekeruhan mengalami penurunan seiring
Dihasilkan Ralstonia Eutropha Pada Substrat
dengan bertambahnya jumlah pelarut, dan
Hidrolisat Minyak Sawit. Skripsi. Fakultas
bertambah seiring dengan naiknya suhu.
Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
Jenis pelarut mempengaruhi peningkatan
Akyuni, D. 2004. Pemanfaatan Pati Sagu
nilai viskositas larutan karena masing-masing
(Metroxylon sp.) untuk Pembuatan Sirup
pelarut mempunyai sifat fisik dan kimia yang
Glukosa Menggunakan α-Amilase dan
berbeda, hal ini menyebabkan interaksi yang
Amiloglukosidase. Skripsi. Fakultas
berbeda pula antara pelarut dengan PHA. Interaksi
Teknologi Pertanian-Institut Pertanian Bogor,
jenis pelarut dengan perbandingan PHA-pelarut
Bogor.
menunjukkan bahwa sejalan dengan
Allcock, H.R. dan F.W. Lampe. 1981.
meningkatnya konsentrasi, nilai viskositas
Contemporary Polymer Chemistry. Prentice-
semakin turun. Interaksi antara perlakuan jenis
Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey
pelarut dan suhu menunjukkan bahwa dengan
07632
bertambahnya suhu pelarutan maka nilai
Anonim1. 2006. Tanya Jawab.
viskositas ketiga pelarut juga menjadi ikut naik.
http://www.answers.com/topic/turbidimetry.
Hal ini disebabkan pelarut dapat lebih mudah
[15 November 2006]
berimbibisi dalam molekul PHA ketika suhu naik
Anonim2. 2006. Gel Hidrokoloid.
tidak terlalu tinggi dari suhu ruang dan
http://www.ebookpangan.com. [25 Desember
menyebabkan nilai viskositas yang terbaca naik.
2006]
Nilai swelling index yang besar
.Atifah, N. 2006. Pemanfaatan Hidrolisat Pati
menunjukkan bahwa PHA lebih mudah menyerap
Sagu Sebagai Sumber Karbon Pada Produksi
pelarut. Interaksi perlakuan jenis pelarut dengan
Bioplastik Poli-(3-Hidroksialkanoat) Secara
suhu menunjukkan bahwa sejalan dengan
Fed-Batch oleh Ralstonia eutropha. Tesis.
peningkatan suhu, maka nilai indeks swelling
Fakultas Teknologi Pertanian-Institut
mengalami kenaikan untuk semua jenis pelarut
Pertanian Bogor, Bogor.
yang digunakan. Peningkatan perbandingan PHA-
Cowd. M. A. 1982. Polimer Chemistry. Di dalam
pelarut juga menyebabkan nilai indeks swelling
Clark, J.G. (ed). 1982. Modern Chemistry
mengalami kenaikan.
background readers : John Murray
Pengaruh perlakuan dalam pembentukan
(Publishers Ltd), London. Diterjemahkan
lembaran PHA, dari semua unit percobaan yang
Harry, F. 1991. Kimia Polimer. Penerbit :
diujikan, didapatkan hanya PHA yang dilarutkan
ITB. Bandung
dalam pelarut kloroform saja yang dapat
Day, R.A. dan A. L. Underwood. 1980.
membentuk lembaran. Lembaran yang paling baik
Quantitative Analysis, 4 th edition.
teksturnya dan rata ketebalannya, yaitu pada
Diterjemahkan R. Soendoro,drs,
kondisi perbandingan konsentrasi 1:30 suhu 50
0 Widaningsih. W, dan Sri Rahadjeng (eds).
C, sedangkan pelarutan PHA blanko yang hanya
1999. Analisis Kimia Kuantitatif. Edisi
membentuk lembaran apabila dilarutkan pada
keenam. PT. Gelora Aksara Pratama,
kloroform dengan menggunakan suhu 500 C.
Erlangga. Jakarta.
Perlakuan yang sesuai yang dihasilkan dari analisa
Durrans, T.H., dan E.H. Davies. 1988. Solvent. Srivastava, A.C. 1989. Instrumentation Technic.
Chapmann and Hall Ltd. London. Diterjemahkan oleh Sutanto. Teknik
Furukawa, J. 2005. Physical Chemistry of Instrumentasi. Penerbit Universitas Indonesia,
Polymer Rheology. Kodansa, Springer. USA. Jakarta.
Gordon, Manfred. 1963. High Polimers Structure Sugiarti, R. 2003. Pengaruh Konsentrasi Tributil
and Physical Properties. Addison-Wesley Fosfat Terhadap Karakteristik Bioplastik dari
Publishing Company, Inc. London. Poli-3-Hidroksialkanoat (PHA) Yang
Harrison, S.T. 1990. The extraction and Dihasilkan Oleh Ralstronia eutropha Dengan
purification of Poly-β-hydroxybutirate from Substrat Hidrolisat Minyak Sawit. Skripsi.
Alcaligenes eutrophus. Di dalam Van Wegen, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
R. J., Y. Ling dan A. P. J. Middleberg. 1998. Pertanian Bogor. Bogor.
Industrial Production of Sukardjo. 1985. Ikatan Kimia. Rineka Cipta,
Polyhydroxyalkanoates Using Escherichia Yogyakarta.
Coli: An Economic Analysis. Trans Chem E., Van Wegen, R. J., Y. Ling dan A. P. J.
Vol 76, Part A. pp. 417-426. Middleberg. 1998. Industrial Production of
Hildebrand, J.H., J.M. Prausnitz dan R.L. Scott. Polyhydroxyalkanoates Using Escherichia
1970. Reguler and Related Solutions. Van Coli: An Economic Analysis. Trans Chem.,
Nonstrand, New York Vol 76, Part A. pp. 417-426.Wang DIC,
Kim, B.S., S.C. Lee, S.Y. Lee, H.N. Chang dan Cooney CL, Demain AL, Dunnil P, Humprey
S.I. Woo. 1994. Production of Poly-3- AE, Lilly MD. 1978. Fermentation and
Hydroxybutiric Acid by Fed Batch Culture of Enzyme Technology. New York : John
Alcaligenes eutrophus with Glucose Willey and Sons.
Concentration Control. Biotechnol. Bioeng. Wijanarko,Q. 2003. Pengaruh Jenis Pelarut
43:892-898. Terhadapkarakteristik Biopolimer Yang
Lafferty RM, Korstko B dan Korsatko W. (1988). Dihasilkan Oleh Alcaligenes eutrophus Pada
Microbial Production of Poly (3- Subtrat Hidrolisat Minyak Sawit . Skripsi .
hydroxybutyric acid). In: Rehm H.J. and Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
Reed G. eds. Biotechnology, Vol. 6.
Verlagsgesellschaft, Weinheim, Germany. pp.
135-176.
Lee,S.Y.1996.Bacterial Polyhydroxyalkanoates.
Biotechnol. Bioeng. 49:1-14.
Mark J, Ngai K, Graessley W, Mandelkern L,
Samsulski E, Koenig J, dan Wignall G. 2004.
Physical Properties of Polymers Third
Edition. Cambridge University Press. USA.
Noda, Isao. 1998. Solvent extraction of
polyhydroxy-alkanoates from biomass
facilitated by the use of marginal nonsolvent.
United States Patent 5821299.
Pine, S.H., J. B. Hendrickson, D.J. Cram, dan G.S.
Hammand. 1980. Organic Chemistry Fourth
Edition. Mc Graw-Hill, Inc. Diterjemahkan
oleh Roehyanti, S. dan Sasanti W. 1988.
Kimia Organik 2 (dala dua jilid). ITB :
Bandung.
Pruett, K. M. 1988. Chemical Resistance for
Elastomers. Compass Publications. California
Rabek, J. F. 1983. Experimental Methods in
Polymer Chemistry. Departement of Polymer
Technology, The Royal Institute of
Technology, Stockholm. Sweden. A. Wiley-
Interscience Publication. Toronto.
Spink, W. P dan W.F. Waychoff 1958/1959.
Plasticizers. Di dalam Modern Plastic
Encyclopedia Issue. Hildrent Press, Inc. New
York.
PENGARUH SUHU, JENIS DAN PERBANDINGAN PELARUT TERHADAP
KELARUTAN BIOPLASTIK DARI PHA
(Poly-β-Hydroxyalkanoates) YANG DIHASILKAN Ralstonia eutropha PADA
SUBSTRAT HIDROLISAT PATI SAGU

Oleh
DOSSI RAHDUMI ANATIA
F34102044

2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PENGARUH SUHU, JENIS DAN PERBANDINGAN PELARUT TERHADAP
KELARUTAN BIOPLASTIK DARI PHA
(Poly-β-Hydroxyalkanoates) YANG DIHASILKAN Ralstonia eutropha PADA
SUBSTRAT HIDROLISAT PATI SAGU

Oleh
DOSSI RAHDUMI ANATIA
F34102044

JURNAL SKRIPSI
Sebagai satu syarat untuk melaksanakan sidang untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

2006
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PENGARUH SUHU, JENIS DAN PERBANDINGAN PELARUT TERHADAP


KELARUTAN BIOPLASTIK DARI PHA
(Poly-β-Hydroxyalkanoates) YANG DIHASILKAN Ralstonia eutropha PADA
SUBSTRAT HIDROLISAT PATI SAGU

JURNAL SKRIPSI
Sebagai satu syarat untuk melaksanakan sidang untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh
DOSSI RAHDUMI ANATIA
F34102044

Bogor, 29 Desember 2006


Menyetujui,

Ir. Muslich, MSi


Dosen Pembimbing I

You might also like