Professional Documents
Culture Documents
Key : Sejarah, Ilmu, Pemerintahan Islam, Politik, Kepemimpinan, Abu Bakar Ash Shiddiq
Abstrak
Ilmu pemerintahan adalah seni memimpin masyarakat. Kemampuan bertindak tegas, jujur
dan berkeadilan adalah prasyarat utama yang dapat menumbuhkan dukungan
masyarakat. Islam sebagai ajaran universal memiliki semua pedoman dan prinsip tentang
hal tersebut. Abu Bakar Ash Shiddiq adalah tokoh utama semasa Rasulullah. Penguasaan,
pemahaman dan pengamalan Islamnya adalah modal utama manakala ia diamanahi untuk
menjadi pemimpin umat Islam pasca kematian Rasulullah. Lewat penguasaan dan
pemahaman agamanya, Islam diaplikasikan sebagai sistem yang efektif dalam
membangun kesejahteraan dan kemakmuran rakyat melalui tata kelola pemerintahan
yang jujur dan berkeadilan. Rakyat yang hidup dalam kesejahteraan dengan di bawah
pemerintahan yang jujur dan adil adalah sebab tumbuhnya pemerintahan yang kuat lagi
tangguh.
Pendahuluan
Upaya menggali secara komprehensif sejarah ilmu dan peradaban Islam pada masa
Abu Bakar Ash Shiddiq tidak bisa tidak merupakan bagian penting dan bernilai strategis
dalam sejarah perjalanan Islam. Hal ini didasari dengan pertimbangan :
Dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sebaik-baik manusia adalah orang-orang yang hidup
pada zamanku (generasiku) kemudian orang-orang setelah mereka kemudian orang-orang setelah
mereka. Kemudian akan datang sebuah kaum yang persaksian seorang dari mereka mendahului
sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya". Hr. Bukhari
Karenanya kepemimpinan Abu Bakar Ash Shiddiq adalah corak dan model dalam Islam
dimana penetapan dan pengembangan Islam sebagai agama dalam konteks kehidupan
bermasyarakat dan bernegara dipastikan bagian dari penjabaran atau aktualisasi
pengamalan Islam yang benar. Sehingga keputusan apapun yang diambil pada masa
itu, baik berkaitan dengan penetapan hukum atau penyelesaian urusan keummatan
menjadi yurisprudensi hukum Islam.
Makalah ini Tentu saja, mencoba untuk memaparkan secara singkat biografi Abu
Bakar Ash Shiddiq , proses pengangkatannya sebagai Khalifah, bagaimana keadaan
pemerintahan pada masanya serta tantangan dan kemajuan-kemajuan yang diperoleh Abu
Bakar Ash Shiddiq selama menjabat sebagai khalifah. Dengan tujuan untuk menelisik masa
kepemimpinan Abu Bakar Ash-Shiddiq ditinjau dari aspek ilmu politik pemerintahan
dengan cara :
Abu Bakar Ash-Shiddiq lahir di Mekah pada tahun 568 M atau 55 tahun sebelum
hijrah. Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Ustman bin ‘Amr bin Ka’b bin sa’d bin taim
bin Murrah At Taimi. Dia merupakan khalifah pertama dari Al-Khulafa'ur Rasyidin , sahabat
Nabi Muhammad SAW yang terdekat dan termasuk di antara orang-orang yang pertama
masuk Islam (as-sabiqun al-awwalun). Dia mendapat gelar Ash-Shiddiq karena ia bergegas
membenarkan kerasulan Rasullulah terutama pada keesokan hari pada peristiwa "Isra
Mi’raj".1 Pada zaman pra Islam, ia bernama Abu Ka’bah, kemudian diganti oleh Nabi SAW
menjadi Abdullah. Usianya tiga tahun lebih muda dari Rasulullah saw. Abu Bakar Ash-
Shiddiq lahir pada tahun 573 M dan wafat pada tanggal 23 Jumadil Akhirtahun 13
H, bertepatan dengan bulan Agustus 634 M, dalam usianya 63 tahun.
Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah putra dari keluarga bangsawan yang terhormat di
Makkah. Semasa kecil dia merupakan lambang kesucian dan ketulusan hati serta kemuliaan
akhlaknya, sehingga setiap orang mencintainya. Pengabdian Abu Bakar untuk Islam
1
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2006, hal, 393
Abu Bakar Ash Shiddiq dikenal sebagai anak yang baik, sabar, jujur, dan lemah
lembut, dia merupakan lambang kesucian dan ketulusan hati. Sifat-sifat yang mulia itu
membuat ia disenangi oleh masyarakat. la menjadi sahabat Nabi Muhammad SAW
semenjak keduanya masih remaja. Setelah dewasa ia mencari nafkah dengan jalan
berdagang dan ia dikenal sebagai pedagang yang jujur, berhati suci dan sangat dermawan,
dan ia dikenal sebagai pedagang yang sukses.2
Di samping itu, Abu Bakar Ash-Shiddiq dikenal mahir dalam ilmu nasab
(pengetahuan mengenai silsilah keturunan). la menguasai dengan baik berbagai nasab
kabilah dan suku-suku arab, bahkan ia juga dapat mengetahui ketinggian dan kerendahan
masing-masing dalam bangsa arab.3
Al Bukhari (wafat 256 H/870 M) di dalam sebuah hadits yang diriwayatkannya, yang
dikatakan berasal dari Ibnu Abbas (wafat 68 H/688 M), dan hadits itu dipungut oleh Dr.
Ahmad Amin di dalam karyanya Fajr al Islami, menceritakan4 :
Ali bin Abi Thalib saat itu masih berusia 34 tahun, keluar dari kerumunan kaum
mukmin yang tengah berkumpul di luar rumah Ummul Mukminin Aisyah dan saat
itulah Abbas bin Abdul Muthalib membawanya ke suatu tempat, dan mengatakan :
2
Ibid hal 3
3
Shaban, Sejarah Islam (600-750): Penafsiran Baru, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993, hal. 25
4
Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, 1979, Bulan Bintang, hal 15
Ali Bin Abi Thalib menjawab : Di dalam hal itu, demi Allah, jikalau beliau
menyatakan bukan hak kita maka niscaya orang banyak tidak akan memberikan
kesempatan bagi kita pada masa selanjutnya. Aku sendiri demi Allah, tidak ingin
menanyakannya.
Bani Saidah adalah keluarga termulia dalam lingkungan suku besar Khazraj. Saad bin
Ubadah adalah tokoh terkemuka di dalam keluarga tersebut. Berdiam di pasar madinah
dan memiliki balai pertemuan untuk bersantai, namun dalam hal luar biasa menjadi tempat
berkumpul dan bermusyawarah. Mendengar Nabi telah wafat, maka Saad bin Ubadah
menggelar rapat darurat. Dalam Tarikh At-Thabari, tercatat isi pidato Saad bin Ubadah
yang berbunyi5 :
Kamu hai kalangan Anshar, terdahulu dalam agama, termulia dalam Islam, yang
tidak dimiliki kablah arab lainnya. Muhammad saw berdiam belasan tahun dalam
lingkungan kaumnya, menyampaikan dakwah supaya menyembah Ar Rahman,
meng Esa-kan Ar Rahman, melepaskan lain-lain puaan. Tetapi Cuma sedikit yang
mau beriman, hingga mereka itu tidak mampu menjamin keselamatan Rasul Allah
dan tidak mampu memperkembangkan agamanya, bahkan tidak mampu membela
diri mereka sendiri.
Kamu bersikap keras terhadap segala musuhnya, hingga bangsa Arab pada akhirnya
tunduk kepada agama Allah. Allah memberkahi bumi tempat kediaman kamu ini.
Dengan pedang kamu itulah tunduk bangsa Arab. Allah mewafatkannya kini,
sedangkan dia sendiri menaruh rela kepada kamu, menjadi buah hatinya. Tetapi
mereka itu (Muhajirin) bertindak hendak merebut pimpinan. Pimpinan itu adalah
hak kamu, bukan hak siapapun di luar kamu.
Kalangan Muhajirin yang berkerumun sekitar rumah Ummul Mukminin Aisyah dan
sekitar Masjid nabawi itu cepat beroleh berita tentang persidangan kalangan Anshar itu.
Semuanya ingin datang berbondong-bondong tapi dicegah oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Sehingga kemudian kalangan Muhajirin hanya mengirim 3 (tiga) tokoh saja, yaitu Abu Bakar
Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah bin Jarrah.
5
ibid, hal 18-19
Allah telah menganugerahi kepada Muhajirin itu sebagai pihak yang paling pertama
membenarkannya, beriman dengannya, menederita bersamanya, memikul segala
macam adzab siksa, sewaktu sekaliannya masih menantangnya dan memusuhinya.
Sekalipun begitu tidaklah kecut walaupun jumlah masih sedikit.
Kamu, masyarakat Anshar, tiada sesiapapun dapat membantah keutamaan
kedudukan kamu di dalam agama, masuk pihak terdahulu di dalam islam. Allah
maha kuasa telah rela memanggilkan kamu dengan para penolong (Anshar), baik
pun bagi agama maupun Rasul-Nya. Dia telah berhijrah kepada kamu, dan di dalam
lingkungan kamu berada para istrinya, dan para sahabatnya. Sesudah pihak
Muhajirin, maka tidak suatu pihak pun mempunyai kedudukan tinggi seperti kamu.
Kami adalah Umara’ (Para Penguasa) dan kamu adalah Wuzara’ (Para Wazir). Kamu
adalah tempat berunding dan tiada suatu keputusan apapun tanpa kamu.
Ketenangan sikap dan ketenangan bicara dari Abu Bakar Ash-Shiddiq ini, sangat
berkesan dan mampu mendinginkan kepala yang telah panas. Akan tetapi Hubab bin
Munzir Anshari, seorang tokoh terkemuka dalam lingkungan Khazraj segera cepat
menangkis pidato Abu Bakar Ash-Shiddiq itu, dengan berkata yang menurut Tarikh at-
Thabari, berbunyi 7:
Pidato Hubab bin Munzir Anshari itu cukup keras. Muaranya adalah perpecahan.
Umar bin Khattab tidak lagi mampu menahan diri, lalu maju ke depan menagkis pidato itu,
yang menurut Tarikh at-Thabari, berbunyi :
Tidak mungkin bahwa dua berada dalam satu tanduk. Allah niscaya akan tidak rela bahwa
kamu memegang tampuk kekuasaan, sedangkan Nabi bukan dari lingkungan kamu. bangsa
Arab sendiri niscaya akan tidak enggan menerima impinan pihak, yang nabi berada dari
lingkungannya. Itu adalah suatu kenyataan, yang merupakan alasan terkuat bagi setiap
pihak yang menantang. Siapa yang menantang wewenang Muhammad dan kekuasaanya?
6
Ibid, hal 20
7
Ibid, hal 21
Tangkisan Umar yang terlampau tajam. Tidak heran jikalau reaksi Hubab bin Munzir
Anshari lebih keras lagi, yang menurut Tarikh at-Thabari, berbunyi8 :
Kamu, hai keluarga Anshar, kokohkan persatuan. Jangan dengarkan ucapannya dan
sahabatnya. Kamu akan kehilangan hak pimpinan. Jikalau mereka itu tidak mau
dengar terhadap apa yang kamu tuntut itu, maka usir mereka itu dari daerah ini.
Kamu akan lantar menentukan segalanya. Kamu lebih berhak memegang pimpinan
daripada mereka itu. Dengan kekutaan pedang kamulah berkmbang agama ini, dan
tunduk seluruh bangsa Arab. Jikalau mereka itu tetap berkeras kepala, demi Allah,
mari kita ulang kembali sejarah lama.
Reaksi ini menumbuhkan ketegangan. Dalam suasana yang memuncak itu cepat di
atasi dua tokoh yaitu Abu Ubaidah bin Jarrah dari Muhajirin dan Basyir bin Saad dari
Anshar. Abu Ubadah bin Jarrah maju kedepan. Pembawaan dan sikapnya yang
menimbulkan rasa hormat bagi siapapun, menyebabkan suasana reda kembali. Ia berkata,
“Sahabat-sahabatku dari kalangan Anshar. Kamu adalah pihak yang pertama-tama
menyokong dan membantu. Janganlah kamu menjadi pihak yang pertama-tama berobah
dan berganti pendirian”
Pidatonya yang singkat akan tetapi menusuk para pendengarnya. Semua terdiam
dan menekurkan kepala. Saat itulah Basyir bin Saad yang merupakan tokoh utama suku
Khazraj, maju ke depan dan berkata9 :
Pada saat itulah Basyir bin Saad dan Abu Ubaidah bin jarrah dengan sikap spontan
berteriak: “Mana mungkin hal itu! Demi Allah, kami tidak akan menyerahkan pimpinan
8
Ibid.
9
Ibid, hal 23
Pertemuan politik itu merupakan peristiwa sejarah yang penting bagi umat Islam.
Suatu peristiwa yang mengikat mereka tetap berada dalam satu kepemimpinan
pemerintahan, sebagai penerus pemerintahan Rasul. Dan terpilihnya Abu Bakar Ash-
Shiddiq menjadi khalifah pertama, menjadi dasar terbentuknya sistem khilafah dalam
Islam, yang terkenal dengan khilaf Khulafaur Rasyidin’al-Rasyidin. Sistem ini berlangsung
hingga awal abad XX dengan corak yang berlainan. Pemerintahan model khilafah di dunia
Islam berakhir di Turki sejak Mustafa Kemal menghapusnya pada tgl 3 Mei 1924.11 Dimana
Pemilihan Abu Bakar Ash-Shiddiq tersebut tidak didasarkan pada sitem keturunan, atau
karena keseniorannya dan atau karena pengaruhnya. Tetapi karena beliau memiliki
kapasitas pemahaman agama yang tinggi, berakhlak mulia. dermawan dan paling dahulu
masuk Islam serta sangat dipercaya oleh Nabi. Seandainya pemilihan didasarkan pada
keturunan, kesenioran dan pengaruh, tentulah mereka akan memilih Saad bin Ubadah,
pemimpin golongan Khajraj, atau Abu Sufyan, pemimpin Bani Umayah, dan atau Al-Abbas,
pemuka golongan Hasyimi. Mereka ini lebih senior dan berpengaruh dari Abu Bakar Ash-
Shiddiq.12
Ada silang pendapat tentang posisi Ali bin Abi Thalib. Salah satu hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Syuhab Al Azhari menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib beserta
keluarga Hasyimi dan Zubeir bin Awwam melakukan bai'at terhadap Abu Bakar Ash-Shiddiq
pada masa 6 bulan belakangan, yakni sesudah Fatimah putri rasul wafat.13Keterlambatan
itu, ditafsirkan Ali tidak setuju dengan pembai’atan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Akan tetapi
diriwayat yang lain menyebutkan bahwa Ali telah lebih dahulu berba’at kepada Abu Bakar
Ash-Shiddiq, namun karena perselisihan Abu Bakar Ash-Shiddiq dengan Fatimah tentang
10
Dr. J.Suyuthi Pulungan, M.A, Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta, RajaGrafindo Persada,
1999), h.106-107. Lihat juga M.Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam ; penerjemah, Abdul Hayyie al-Kattani ; Cet.
1, Jakarta: Gema Insani Press 2001. Judul Asli : An-nazhariyatu as-siyasatul-islamiyah) – hal.14
11
Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, 1979, Bulan Bintang, hal.107
12
Ibid, h.107
13
Ibid, h.28
Setelah dilakukan penguburan Rasulullah, menjelang shalat Isya, Abu Bakar Ash-
Shiddiq naik ke mimbar dalam Masjid Nabawi itu dan mengucapkan pidato yang pertama di
dalam kedudukannya sebagai Khalifah. Pidato politik jabatan itu singkat akan tetapi amat
tercatat di dalam Sejarah, berbunyi14 :
Pidato politik itu amat singkat akan tetapi mencerminkan garis-dasar yang teramat
baru di dalam sejarah kemanusian. Pada saat kaisar-kaisar imperium Roma dewasa itu
memilki wewenang dan kekuasaan absolut yang tiada terbatas, dan begitu pun kisra-kisra
imperium Parsi dengan wewenang dan kekuatan absolut, maka Khalifah Abu Bakar Ash-
Shiddiq di dalam kebijaksanaan pemerintahan yang akan dijalankannya itu, dengan jelas
menggariskan kerakyatan yang betul-betul murni. Sekaliannya itu sebagai pelaksanaan
prinsip-prinsip di dalam agama islam.
14
Ibid, hal 26
Pidato ini sekaligus menggambarkan garis politik dan kebijaksanaan yang akan
dilaksanakan Abu Bakar dalam pemerintahannya. Di dalamnya ia menggariskan beberapa
hal penting sekaligus sebagai asas dan pondasi utama pemerintahannya, yaitu:
1. Fungsi Risalah, yakni Rasul Allah yang membawa dan menyampaikan ajaran Islam
berdasarkan wahyu-Ilahi kepadanya.
2. Fungsi Imamat, yakni pimpinan kekuasaan duniawi dan agamawi, yang segala catur
kebijaksanaan berdasarkan musyawarah.
Masa pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq hanya berlangsung selama dua tahun
yakni 11-13 H / 632 – 634 M. Masa yang singkat itu justru masa-masa kritis karena
pergolakan dalam negeri mulai terjadi, seperti menolak membayar zakat, murtad (memblot
dari Islam), hingga Mengaku sebagai nabi. Berikut ini beberapa peristiwa besar yang harus
dihadapi oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq tersebut :
Setelah berlangsung bai’at dan pemakaman telah dilakukan dan Abu Bakar Ash-
Shiddiq telah menyampaikan garis kebijakannya, malam itu juga berlangsung perundingan
antara Abu Bakar Ash-Shiddiq dengan pemuka Muhajirin dan Anshar tentang
pemberangkatan pasukan Usamah bin Zaid ke utara tersebut. Perundingan itu berjalan
alot, karena adanya penolakan untuk mengirim kembali pasukan, dengan alasan :16
15
Qs. Al Ahzaab (33): 40 :
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi Dia adalah Rasulullah
dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
16
Joesoef Sou’yb, Ibid hal 54-55
Gerakan Riddat, yakni gerakan belot agama atau murtad telah mulai muncul ketika
Nabi Muhammad masih sakit hingga kewafatannya. gerakan ini dipelopori oleh
Musailamah (wafat 11 H/632 M), Thulaihah (wafat 11 H/632 M) dan Al Aswad Al Insa
(wafat 11 H/632 M). Aswad al-Ansi, merupakan orang pertama yang mengaku sebagai nabi.
Ia adalah pemimpin suku Ansi di Yaman. Ia berhasil merekrut sejumlah pasukan dan
bersekutu dengan daerah-daerah sekitar Yaman untuk melancarkan pemberontakan
terhadap pemerintahan Islam.
Musailamah, orang yang berasal dari suku Bani Hanifah di pusat jazirah Arab. Ia
mengaku sebagai nabi dan mengadakan gerakan penghasutan di Yamamah. Sebenarnya ia
datang ke Madinah beserta sejumlah utusan sebagai orang beriman, namun dalam
perjalanan pulang ia mengaku dirinya sebagai nabi. Kedatangan beliau diterima dengan
baik oleh suku Hanifah, karena memang sejak lama mereka tidak suka dengan seorang nabi
dari suku Quraisy. Karena itu, mereka dengan amat mudah menerima kedatangan
Musailamah dan mengakuinya sebagai seorang nabi yang datang dari suku mereka sendiri.
Thulaihah Ibnu Khuwalid, adalah orang yang mahir dalam peperangan dan terkenal
sebagai orang kaya dari suku Bani As'ad, Arabia selatan. Ia melancarkan perlawanan secara
terang-terangan terhadap pemerintahan Islam sambil mengaku dirinya sebagai seorang
nabi setelah wafatnya Rosulullah SAW.
Saj'ah, adalah seorang wanita Kristen yang mengaku sebagai seorang nabi. Ia
berasal dari suku Yarbu di Asia Tengah. Sekalipun ia mendapat dukungan dari mayoritas
masyarakatnya, namun ia tidak memiliki keberanian melawan kekuasaan Islam. Karena itu,
ia membentuk kekuatan persekutuan dengan cara melangsungkan perkawinan dengan
Musailamah Al-Kadzab.
Diantara latar belakang dan sebab-sebab keluarnya mereka dari agama Islam yaitu :
2. Masyarakat Arab itu awalnya bersifat Paternalistik yang sangat patuh pada para
pemimpinnya, saat pemimpinnya masuk islam, semua berbondong-bondong islam,
ketika pemimpinnya murtad dan keluar islam, lalu mereka yang tidak kuat imannya
akan keluar dari islam.
3. Agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw, telah membawa perubahan besar
dalam bidang sosial, politik, agama dan kebudayaan. Perubahan itu mengkhawatirkan
banyak pihak, terutama para tokoh masyarakat yang merasa kedudukannya
terpinggirkan ketika masyarakat islam semakin berkembang pesat.
5. Waktu itu di Madinah sebagai pusat kekuasaan Islam, oleh karena itu orang-orang
terutama masyarakat Arab, dengan masuknya islam mereka hanya karena
pertimbangan politik saja. Dan berharap dengan mereka masuk islam akan
mendapatkan perlindungan dari suku-suku lain. Namun setelah Nabi Saw wafat
akhirnya mereka kembali kepada kepercayaannya.
6. Ketika Rasulullah SAW wafat, banyak masyarakat Arab yang belum lama masuk islam,
dan keimanannya pun sangat tipis yang kemudian mereka belum begitu mengerti dan
menghayati dengan benar keagungan dari ajaran Islam. Karena alasan itulah mereka
kembali kepada ajaran mereka semula.
Setahun lamanya Abu Bakar dapat menundukkan kaum yang murtad serta orang-
orang yang mengaku menjadi nabi dan orang-orang yang enggan membayar zakat,
sehingga kalimat Tuhan kembali menjulang tinggi. Dalam kemenangan kaum muslimin ini,
kehormatan besar harus diberikan kepada panglima Khalid bin Walid. Dialah yang
menghancurkan kekuatan Thulaihah dan Sajah serta memaksa keduanya memeluk Islam.
Dan dia pula yang membunuh Musailamah al-Kazzab dan memporak-porandakan
laskarnya.17
17
Dr.Badri Yatim, MA, Sejarah peradaban Islam, 1993, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal 36
18
, Joesoef Sou’yb, Ibid, h.113
19
Joesoef Sou’yb, Ibid, h. 113
Abu Bakar Ash-Shiddiq dengan masa yang cukup singkat telah mampu
menghasilkan kemajuan besar, sebagai berikut :
3. Sistem Politik
20
J.Suyuthi Pulungan, Ibid, h. 114
21
Moh Fachruddin Fuad, Perkembangan Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1995, hal. 77
22
Ibid
d) Perluasan dan Pengembangan Wilayah Islam. Adapun usaha yang ditempuh untuk
perluasan dan pengembangan wilayah Islam Abu Bakar melakukan perluasan
wilayah ke luar Jazirah Arab. Daerah yang dituju adalah Irak dan Suriah yang
berbatasan langsung dengan wilayah kekuasaan Islam. Kedua daerah itu menurut
Abu Bakar harus ditaklukkan dengan tujuan untuk memantapkan keamanan wilayah
Islam dari serbuan dua adikuasa, yaitu Persia dan Bizantium. Untuk ekspansi ke Irak
dipimpin oleh Khalid bin Walid, sedangkan ke Suriah dipimpin tiga panglima yaitu :
Amr bin Ash, Yazid bin Abu Sufyan dan Surahbil bin Hasanah.25
23
Badri Yatim, hal.36.
24
Joesoef Sou’ib, hal 37
25
Chatibul Umam, dkk, Sejarah Kebudayaan Islam, Kudus: Menara Kudus, 2003, hal. 140
Kebijakan lain yang ditempuh Abu Bakar yaitu membagi sama rata hasil rampasan
perang (ghanimah). Dalam hal ini ia berbeda pendapat dengan Umar bin Khattab yang
menginginkan pembagian dilakukan berdasarkan jasa tiap-tiap sahabat. Alasan yang
dikemukakan Abu Bakar adalah semua perjuangan yang dilakukan atas nama Islam
adalah akan mendapat balasan pahala dan Allah SWT di akhirat. Karena itulah biarlah
mereka mendapat bagian yang sama.27
Selama masa pemerintahan Abu Bakar, harta Baitul Mal tidak pernah menumpuk
dalam jangka waktu yang lama karena langsung didistribusikan kepada seluruh kaum
Muslimin, bahkan ketika Abu Bakar wafat, hanya ditemukan satu dirham dalam
perbendaharaan negara. Seluruh kaum Muslimin diberikan bagian yang sama dari hasil
pendapatan negara. Apabila pendapatan meningkat, seluruh kaum Muslimin
mendapat manfaat yang sama dan tidak ada seorang pun yang dibiarkan dalam
kemiskinan. Kebijakan tersebut berimplikasi pada peningkatan pendapatan nasional, di
samping memperkecil jurang pemisah antara orang-orang yang kaya dengan yang
miskin.
26
Moh Fachruddin Fuad, Perkembangan Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1995, hal. 36
27
Ibid
8. Dalam hal pengembangan agama. Pada masanya mulai dirintis upaya mengumpulkan
ayat-ayat Al-Qur'an. Usaha yang ditempuh untuk pengumpulan ayat-ayat Al Qur'an
adalah atas usul dari sahabat Umar bin Khattab yang merasa khawatir kehilangan Al
Qur'an setelah para sahabat yang hafal Al Qur'an banyak yang gugur dalam
peperangan, terutama waktu memerangi para nabi palsu. Alasan lain karena ayat-ayat
Al Qur'an banyak berserakan ada yang ditulis pada daun, kulit kayu, tulang dan
sebagainya. Hal ini dikhawatirkan mudah rusak dan hilang.
Atas usul Umar bin Khattab tersebut pada awalnya Abu Bakar agak berat
melaksanakan tugas tersebut, karena belum pemah dilaksanakan pada masa Nabi
Muhammad SAW. Namun karena alasan Umar yang rasional yaitu banyaknya sahabat
penghafal Al Qur'an yang gugur di medan pertempuran dan dikhawatirkan akan habis
seluruhnya, akhirnya Abu Bakar menyetujuinya, dan selanjutnya menugaskan kepada
Zaid bin Sabit, penulis wahyu pada masa Rasulullah SAW, untuk mengerjakan tugas
pengumpulan itu.29
Menilik dari perjalanan sejarah Abu Bakar Ash-Shiddiq telah memberikan kontibusi
besar dan berdampak luas khususnya bagaimana cara mengaplikasikan Islam yang
rahmatan lil ‘alamin. Kontribusi besar itu adalah :
28
Badri Yatim, hal.37.
29
ibid
Pertama, adab berperang. Abu Bakar Ash-Shiddiq sebelum pasukan Usamah bin Ziad
berangkat memberikan nasehat dengan titahnya : “Jangan melakukan pengkhianatan,
jangan melakukanpelanggaran, jangan ingkar kepada atasan, jangan melampaui batas,
jangan membunuh orang tua, para wanita, dan anak-anak, jangan menebang pohon
yang berbuah, jangan membunuh hewan kecuali untuk dimakan. Ingatlah Allah atas
karuniaNya kepada kamu. Bertempurlah dengan pedang. wahai Usamah, lakukanlah
apa yang telah diperintahkan Nabi dan jangan mengurangi perintahnya”.31
Kedua, Pemahaman tentang Ulil Amri. Terkait dengan Firman Allah : Wahai orang-
orang yang beriman taatilah Allah, taatilah Rasul serta ulil amri di antara kalian. Jika
kalian berselisih dalam suatu urusan, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul jika
kalian memang mengimani Allah dan Hari Akhir. Itu lebih baik dan merupakan sebaik-
baik penjelasan. Qs. An-Nisa’ (4): 59. Konotasi kata ulil amri di sini, menurut Ibn Abbas,
adalah al-umara’ wa al-wullat (para penguasa). Konteks ayat ini juga turun berkaitan
dengan kewajiban untuk menaati penguasa. Karena itu, ulil amri dengan konotasi
penguasa dalam konteks ini jelas lebih tepat ketimbang konotasi ulama atau yang lain.
Dengan demikian, ayat ini jelas memerintahkan agar mentaati penguasa.
30
M.Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam ; penerjemah, Abdul Hayyie al-Kattani ; Cet. 1, Jakarta: Gema Insani
Press 2001. Judul Asli : An-nazhariyatu as-siyasatul-islamiyah) – hal.77-78
31
J.Suyuthi Pulungan, h.107
Secara harfiah, frasa ulil amri (uli al-amr) dan wali al-amr mempunyai konotasi
yang sama, yaitu al-hakim (penguasa). Jika wali adalah bentuk mufrad (tunggal)
maka uli adalah jamak (plural). Namun demikian, kata uli bukan jamak dari kata wali.
Al-Quran menggunakan frasa ulil amri dengan konotasidzawi al-amr, yaitu orang-orang
yang mempunyai (memegang) urusan. Ini berbeda dengan frasa wali al-amr, yang
hanya mempunyai satu makna harfiah, yaitu al-hakim(penguasa). Karena itu, frasa ulil
amri bisa disebut musytarak (mempunyai banyak konotasi). Imam al-Bukhari
memaknai frasa tersebut dengan dzawi al-amr (orang-orang yang mempunyai dan
memegang urusan). Ini juga merupakan pendapat Abu Ubaidah. Dengan begitu dapat
dimengerti, mengapa Abu Bakar Ash-Shiddiq berlaku begitu santun dalam
memposisikan Usamah bin Zaid sekalipun usia Usamah pada masa itu baru 20 tahun
saja.
Kesimpulan
Politik Islam adalah politik pembebasan, penegakan keadilan sosial dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat, melalui kebijakan pemerintahan selaku pemilik kekuasaan. Dan
inilah yang menonjol dilakukan pada masa pemerintahan Abu Bakar Ash Shiddiq.
Islam sebagai agama universal sangat tergantung kepada penguasaan dan
pemahaman umat Islam itu sendiri. Penguasaan dan pemahaman Abu Bakar Ash Shiddiq
terhadap Islam tidak diragukan. Kemampuannya dalam mengelaborasi Islam sebagai
kaedah dan sistem yang hidup, diperlihatkan Abu Bakar Ash Shiddiq dengan kepiawaiannya
mengelola konflik pasca kematian Rasulullah. Kebijakannya lahir dari keberanian berijtihad
atas masalah baru dan belum pernah terjadi pada masa Rasulullah, membuat Islam sebagai
sebuah ajaran teraplikasi dengan baik sehingga melahirkan ilmu-ilmu baru tentang tata
kelola pemerintahan yang berciri khas Islami.
32
Joesoef Sou’ib, hal 38
Daftar Pustaka
Chatibul Umam, dkk, Sejarah Kebudayaan Islam, 2003, Menara Kudus, Kudus
Dr.Badri Yatim, MA, Sejarah peradaban Islam, 1993, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Dr. J.Suyuthi Pulungan, M.A, Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta,
RajaGrafindo Persada, 1999), h.106-107
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, 2006, Kalam Mulia, Jakarta
Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, 1979, Bulan Bintang, Jakarta
Shaban, Sejarah Islam (600-750): Penafsiran Baru, 1993, Raja Grafindo Persada, Jakarta
M.Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam ; penerjemah, Abdul Hayyie al-Kattani ; Cet. 1, Jakarta:
Gema Insani Press 2001. Judul Asli : An-nazhariyatu as-siyasatul-islamiyah
Moh Fachruddin Fuad, Perkembangan Kebudayaan Islam, 1995, Bulan Bintang, Jakarta