You are on page 1of 35

2.

1 Anti Jamur

Terapi infeksi jamur terapi infeksi jamur sistemik dan infeksi jamur yang
menyebar sebaiknya di bawah supervisi dokter spesialis.

Aspergilosis. Aspergilosis umumnya menyerang saluran nafas, namun pada


pasien immunocompromised berat, bentuk invasifnya dapat mengenai sinus, jantung, otak
dan kulit. Vorikonazol merupakan obat pilihan; amfoterisin (formulasi liposomal lebih
disukai bila terjadi gangguan ginjal) dan itrakonazol merupakan alternatif pada pasien
yang gagal diterapi dengan amfoterisin.

Kandidiasis. Umumnya infeksi kandida pada permukaan kulit dapat diatasi


dengan terapi lokal, sedangkan untuk infeksi yang meluas atau yang sulit memerlukan
terapi antijamur sistemik. Infeksi jamur pada vagina dapat diatasi dengan terapi antijamur
lokal atau dengan flukonazol oral. Untuk organisme yang resisten, dapat diberikan
itrakonazol oral. Infeksi jamur pada orofaringeal umumnya memberikan respon terhadap
terapi lokal. Flukonazol oral diberikan untuk infeksi yang tidak memberikan respon.
Flukonazol efektif dan dapat diabsorbsi dengan baik. Itrakonazol dapat digunakan untuk
infeksi yang resisten terhadap flukonazol. Untuk infeksi jamur yang dalam dan
menyebar, dapat digunakan infus amfoterisin intravena tunggal. Vorikonazol terutama
digunakan untuk infeksi oleh Candida spp yang resisten terhadap flukonazol (termasuk C.
krusei).

Kriptokokosis. Infeksi ini jarang terjadi, namun infeksi pada


pasien immunecompromised, terutama pasien AIDS, dapat mengancam jiwa. Meningitis
kriptokokus merupakan penyebab yang paling umum pada infeksi meningitis karena
jamur. Terapi pilihan untuk meningitis kriptokokus adalah infus amfoterisin intravena
selama 2 minggu, dilanjutkan dengan flukonazol oral selama 8 minggu sampai hasil
kultur negatif.

Histoplasmosis. Infeksi ini jarang terjadi pada daerah dengan suhu panas. Pada
pasien infeksi HIV, infeksi ini dapat mengancam jiwa. Itrakonazol dapat digunakan untuk
terapi infeksi indolent non-meningeal pada pasien imunokompeten termasuk
histoplasmosis paru kronis. Ketokonazol merupakan terapi alternatif pada pasien
imunokompeten. Infus amfoterisin intravena lebih disukai pada pasien dengan infeksi
berat atau nyata. Setelah terapi berhasil, itrakonazol dapat diberikan untuk mencegah
terjadinya kekambuhan.

Infeksi kulit dan kuku. Infeksi jamur ringan dan lokal pada kulit (termasuk Tinea
corporis, Tinea cruris, dan Tinea pedis) dapat diatasi dengan terapi topikal (13.10.2).
Terapi sistemik (itrakonazol atau terbinafin) digunakan jika terapi topikal tidak dapat
mengatasi infeksi jamurnya, infeksi terjadi di banyak area, atau infeksi sulit diobati,
seperti infeksi pada kuku (onchomycosis) atau kulit kepala/ketombe (tinea
capitis). Griseofulvin digunakan untuk Tinea capitis pada dewasa dan anak. Griseofulvin
efektif terhadap infeksi yang disebabkan oleh Trichophyton tonsurans dan Microsporum
spp. Obat ini telah digunakan secara luas untuk mengatasi tinea di berbagai bagian tubuh.
Namun, sekarang ini sudah banyak digantikan oleh antijamur yang lebih baru. Anti jamur
triazol (terutama itrakonazol) atau imidazol oral dan terbinafin lebih sering digunakan
karena memiliki spektrum kerja yang lebih luas dan memerlukan lama terapi yang lebih
singkat. Tinea capitis diobati secara sistemik, tetapi untuk mengurangi penularan dapat
ditambahkan anti jamur topikal. Pityriasis versicolor dapat diatasi
dengan itrakonazol oral jika terapi topikal tidak efektif. Flukonazol oral merupakan
alternatif. Terbinafin oral tidak efektif untuk mengatasi Pityriasis
versicolor. Terbinafin dan itrakonazol sudah menggantikan griseofulvin untuk terapi
sistemik pada onychomycosis terutama pada kuku ibu jari. Terbinafin merupakan obat
pilihan utama, sedangkan itrakonazol diberikan sebagai terapi intermittent pulse.

Pasien immunocompromised memiliki risiko yang tinggi untuk terinfeksi jamur,


oleh sebab itu diperlukan profilaksis antijamur. Imidazol oral atau antijamur triazol
merupakan obat pilihan untuk profilaksis. Flukonazol lebih mudah diabsorpsi daripada
itrakonazol dan ketokonazol serta lebih aman dibanding ketokonazol untuk terapi jangka
panjang. Infus amfoterisin intravena digunakan untuk terapi empiris pada infeksi jamur
serius. Flukonazol digunakan untuk mengatasi infeksi Candida albicans.
A. Obat yang digunakan untuk infeksi jamur
a. GOLONGAN POLIEN.

Termasuk dalam golongan ini adalah amfoterisin dan nistatin. Keduanya tidak
diabsorpsi secara oral. Obat ini digunakan untuk infeksi oral, orofaringeal dan
perioral yang diberikan secara topikal di mulut.

Infus amfoterisin intravena digunakan untuk infeksi jamur sistemik dan aktif
terhadap sebagian besar jamur dan ragi. Obat ini terikat kuat pada protein plasma
dan penetrasinya ke dalam jaringan dan cairan tubuh buruk. Amfoterisin bersifat
toksik dan efek samping sering terjadi. Sediaan amfoterisin dalam lipid bersifat
kurang toksik dan direkomendasikan bila sediaan konvensional
dikontraindikasikan karena toksisitasnya, terutama nefrotoksisitas atau jika respon
terhadap amfoterisin konvensional tidak memuaskan.

Nistatin terutama digunakan untuk infeksi Candida albicans di kulit dan


membran mukosa, termasuk untuk kandidiasis pada usus dan esofageal.

a. GOLONGAN IMIDAZOL.
Termasuk dalam golongan imidazol, klotrimazol, ketokonazol, ekonazol,
sulkonazol dan tiokonazol. Obat-obat ini digunakan untuk terapi lokal
kandidiasis vagina dan untuk infeksi dermatofit.
Ketokonazol pada pemberian oral diabsorpsi jauh lebih baik dibandingkan
dengan golongan imidazol lainnya. Namun obat ini telah dilaporkan berkaitan
dengan kejadian hepatotoksisitas yang fatal. Untuk pemberian per oral, risiko
dan manfaat ketokonazol sebaiknya dipertimbangkan secara hati-hati terutama
yang berkaitan dengan hepatotoksisitas. Oleh karena itu diperlukan
pengamatan klinik dan laboratorium. Pemberian per oral tidak untuk infeksi
superfisial.
Mikonazol dapat digunakan secara topikal untuk infeksi pada rongga
mulut. Obat ini juga efektif untuk infeksi usus. Absorpsi sistemik dapat terjadi
pada penggunaan gel mikonazol oral sehingga dapat menimbulkan interaksi
obat yang bermakna.
b. GOLONGAN TRIAZOL
Termasuk golongan ini adalah flukonazol dan itrakonazol.
Flukonazol diabsorpsi sangat baik setelah pemberian oral. Penetrasi obat
ini pada cairan serebro spinal cukup baik sehingga dapat digunakan untuk
mengatasi meningitis fungal.
Itrakonazol aktif terhadap semua bentuk infeksi dermatofit. Kapsul
itrakonazol memerlukan kondisi asam dalam lambung untuk mendapatkan
absorpsi yang optimal. Itrakonazol dapat menyebabkan kerusakan hati dan
sebaiknya dihindari atau digunakan secara hati-hati pada pasien dengan
penyakit hati, termasuk pasien anak. Flukonazol lebih jarang menyebabkan
hepatotoksisitas. Vorikonazol merupakan antijamur dengan spektrum luas dan
diindikasikan untuk infeksi yang mengancam jiwa.

Anti jamur lain :

Griseofulvin efektif dalam mengatasi infeksi dermatofit yang meluas dan sulit diobati,
namun penggunaannya telah banyak digantikan oleh antijamur yang lebih baru, terutama pada
infeksi kuku. Obat ini merupakan pilihan utama pada infeksi trichophyton pada anak. Lama
terapi

tergantung pada tempat infeksi dan dapat berlangsung selama berbulan-


bulan. Terbinafin merupakan obat pilihan untuk infeksi jamur pada kuku dan juga untuk
mengatasi kurap.

Monografi:

AMFOTERISIN (AMFOTERISIN B)

Indikasi:

lihat dalam dosis; penanganan mikosis sistemik berat dan atau deep mycosis.

Peringatan:

bila diberikan secara parenteral sering menimbulkan efek samping (perlu pengawasan ketat dan
uji dosis yang diperlukan); pemeriksaan fungsi hati dan ginjal, hitung jenis sel darah, dan
pemeriksaan elektrolit plasma (hindari penggunaan obat lain yang bersifat hepatotoksik seperti
kortikosteroid, kecuali untuk mengendalikan radang); antineoplastik; pergantian tempat suntikan
yang terlalu sering (iritasi), infus yang cepat (risiko aritmia). Hati-hati pada wanita hamil dan ibu
menyusui. Reaksi anafilaksis kadang-kadang terjadi pada penggunaan amfoterisin intravena.
Dianjurkan untuk memberikan dosis percobaan sebelum infus amfoterisin dan pasien diamati
selama kira-kira 30 menit. Antipiretik dan kortikosteroid sebagai profilaksis hanya diberikan
pada pasien dengan riwayat reaksi obat sebelumnya, sedangkan amfoterisin harus diberikan.

Interaksi:

lihat Lampiran 1 (amfoterisin).

Efek Samping:

bila diberikan secara parenteral: Anoreksia, nausea, muntah, diare, sakit perut; demam, sakit
kepala, sakit otot dan sendi; anemia; gangguan fungsi ginjal (termasuk hipokalemia dan
hipomagnesemia) dan toksisitas ginjal; toksisitas kardiovaskuler (termasuk aritmia); gangguan
darah dan neurologis (kehilangan pendengaran, diplopia, kejang, neuropati perifer); gangguan
fungsi hati (hentikan obat); ruam; reaksi anafilaksis.

Dosis:

oral: untuk kandidiasis intestinal, 100-200 mg tiap 6 jam. Bayi dan Anak-anak, 100 mg 4 kali
sehari. Injeksi intravena: infeksi jamur sistemik, dosis percobaan 1 mg selama 20-30 menit
dilanjutkan dengan 250 mcg/kg bb/hari, pelan-pelan dinaikkan sampai 1 mg/kg bb/hari;
maksimum 1,5 mg/kg bb/hari atau selang sehari.

Catatan:

Biasanya diperlukan terapi jangka panjang. Jika terputus lebih dari 7 hari, ulangi lagi dengan
dosis 250 mcg/kg bb/hari dan dinaikkan pelan-pelan. Mikosis sistemik berat dan atau deep
mycosis: terapi dapat dimulai dengan dosis harian 1,0 mg/kg bb berat badan. Dosis dapat
ditingkatkan jika dibutuhkan menjadi dosis yang direkomendasikan yaitu 3,0 - 4,0 mg/kg bb.
Dosis sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing pasien.

ANIDULAFUNGIN
Indikasi:

kandidemia pada pasien dewasa non-neutropenia.

Peringatan:

monitor fungsi hati, tidak direkomendasikan pada anak di bawah usia 18 tahun, kehamilan,
menyusui.

Kontraindikasi:

hipersensitivitas.

Efek Samping:

trombositopenia, koagulapati, hiperkalemia, hipokalemia, hipomagnesemia, kejang, sakit kepala,


kemerahan, diare, peningkatan gama-glutamiltransferase, peningkatan alkalin fosfatase dalam
darah, peningkatan alanin aminotransferase, ruam, pruritus.

Dosis:

infus intravena, dosis awal 200 mg sebagai dosis tunggal, diikuti 100 mg/hari. Terapi dilanjutkan
selama minimal 14 hari sesudah hasil positif terakhir pada kultur.

FLUKONAZOL

Indikasi:

lihat dalam dosis.

Peringatan:

gangguan ginjal, kehamilan (dosis tinggi menyebabkan teratogenik pada hewan) dan menyusui,
peningkatan enzim hati. Aritmia, hindarkan pemakaian bersama astemizol atau terfenadin atau
cisaprid.

Interaksi:

lihat Lampiran 1 (antijamur, imidazol, triazol).

Efek Samping:
nausea, sakit perut, diare, kembung; gangguan enzim hati; kadang-kadang ruam (hentikan obat
atau awasi secara ketat); angioudem, anafilaksis, lesi bulosa, nekrolisis epidermal toksik,
sindrom Stevens-Johnson; pada pasien AIDS pernah dilaporkan reaksi kulit yang hebat.

Dosis:

oral, vaginitis dan balanitis kandida, 150 mg dosis tunggal. Kandidiasis mukosa (kecuali
genitalia) 50 mg/hari (100 mg/hari untuk infeksi yang sulit sembuh) diberikan selama 7-14 hari,
untuk kandidiasis orofarings (maksimal 14 hari, kecuali pasien immunocompromised); 14 hari
untuk kandidiasis oral atropikans; 14-30 hari untuk infeksi mukosa lainnya (mis. esofagitis,
kandiduria, infeksi bronkopulmoner noninvasif).ANAK, oral atau infus intravena, 3-6 mg/kg bb
pada hari pertama, kemudian 3 mg/kg bb per hari (tiap 72 jam pada neonatus usia sampai 2
minggu, tiap 48 jam pada neonatus usia 2-4 minggu). Tinea pedis, korporis, kruris, versikolor
dan kandidiasis dermal, per oral, 50mg/hari selama 2-4 minggu (sampai 6 minggu pada tinea
pedis); lama pengobatan maksimum 6 minggu. Infeksi kandida invasif (termasuk kandidemia
dan kandidiasis diseminata) dan infeksi kriptokokus (termasuk meningitis), oral atau infus
intravena, dosis awal 400 mg kemudian 200 mg/hari, bila perlu ditingkatkan menjadi 400
mg/hari. Pengobatan diteruskan sesuai dengan respons (untuk meningitis kriptokokus, minimal
6-8 minggu).ANAK, 6-12 mg/kg bb/hari (tiap 72 jam pada neonatus usia sampai 2 minggu, tiap
48 jam untuk neonatus usia 2-4 minggu). Pencegahan kambuhnya meningitis kriptokokus pada
pasien AIDS, 100-200 mg/hari (setelah melengkapi terapi primer). Profilaksis infeksi jamur pada
pasien immunocompromised, setelah kemoterapi atau radioterapi, 50-400 mg/hari disesuaikan
dengan risiko; 400 mg/hari jika ada risiko tinggi infeksi sistemik, misalnya setelah transplantasi
sumsum tulang. Terapi dimulai sebelum terjadinya netropenia dan dilanjutkan smpai 7 hari
setelah jumlah netrofil yang diinginkan tercapai. ANAK, tergantung dari lama dan beratnya
neutropenia, 3-12 mg/kg bb/hari (tiap 72 jam untuk neonatus usia sampai 2 minggu, tiap 48 jam
untuk neonatus usia 2-4 minggu).

GRISEOFULVIN

Indikasi:

infeksi dermatofitosis kulit, kulit kepala, rambut dan kuku, bila terapi topikal gagal.

Peringatan:
kadang-kadang menimbulkan atau mencetuskan lupus eritematosus sistemik; ibu menyusui.
Pengemudi (menurunkan kewaspadaan); meningkatkan efek alkohol.

Interaksi:

Lampiran 1 (griseofulvin).

Kontraindikasi:

gangguan fungsi hati berat, SLE, porfiria, kehamilan (hindari kehamilan selama pengobatan
sampai satu bulan berikutnya).

Efek Samping:

sakit kepala, mual, muntah, ruam, fotosensitivitas, pusing, lelah, agranulositosis dan leukopenia,
SLE, eritema multiforme, nekrosis epidermal toksik, neuropati perifer, gangguan koordinasi.

Dosis:

500 mg/hari sebagai dosis tunggal atau dosis terbagi. Dosis dapat digandakan pada infeksi berat.
Turunkan dosis bila terjadi perbaikan.ANAK, 10 mg/kg bb/hari sebagai dosis tunggal atau
terbagi.

ITRAKONAZOL

Indikasi:

kandidiasis orofarings dan vulvo vaginal; ptyriasis versicolor, infeksi dermatofita


lainnya; onychomycosis; histo-plasmosis; terapi alternatif bila antijamur lain tidak cocok atau
tidak efektif pada infeksi sistemik (aspergilosis, kriptokokosis, kandidiasis termasuk meningitis),
terapi pemeliharaan pada pasien AIDS, profilaksis infeksi jamur pada neutropenia bila terapi
standar tidak cocok.

Peringatan:

hindari pemakaian pada riwayat gangguan fungsi hati. Pemeriksaan fungsi hati harus dilakukan
bila pengobatan lebih dari 1 bulan atau bila timbul mual, anoreksia, muntah, lelah, sakit perut
atau urin berwarna gelap (hentikan obat bila hasil tes abnormal); gangguan fungsi ginjal
(bioavailabilitas dapat berkurang); absorpsi berkurang pada penderia AIDS dan neutreopenia
(periksa kadar dalam darah dan bila perlu dosis dapat dinaikkan); hentikan obat bila terjadi
neuropati perifer; kehamilan (lihat Lampiran 4) dan ibu menyusui.

Interaksi:

Lampiran 1 (anti jamur, imidazol, triazol). Aritmia: hindarkan penggunaan bersamaan dengan
astemizol, terfenadin dan cisaprid.

Efek Samping:

mual, sakit perut, dispepsia, konstipasi, sakit kepala, pusing, kenaikan enzim hati, gangguan
haid, reaksi alergi (pruritus, ruam, urtikaria, angioudem), hepatitis dan ikterus kolestatik
(terutama bila pengobatan melebihi satu bulan); neuropati perifer (hentikan obat), pernah
dilaporkan sindrom Stevens-Johnson; hipokalemia pada penggunaan jangka panjang, udem dan
rambut rontok.

Dosis:

kandidiasis orofarings, 100 mg/hari (200 mg pada pasien AIDS atau neutropenia) selama 15 hari.

Vulvovaginitis kandida, 200 mg 2 kali sehari selama 1 hari.

Ptyriasis versicolor, 200 mg/hari selama 7 hari.

Tinea korporis dan tinea kruris, 100 mg/hari selama 15 hari, atau 200 mg/hari selama 7 hari.

Tinea manus dan pedis, 100 mg/hari selama 30 hari.

Onikomikosis, 200 mg/hari selama 3 bulan, atau bertahap 200 mg 2 kali sehari selama 7 hari
diulangi setelah interval 21 hari; dua tahap untuk kuku jari tangan, tiga tahap untuk kuku jari
kaki.

Histoplasmosis, 200 mg, 1-2 kali sehari. Alternatif pada infeksi sistemik, 200 mg sekali sehari
(kandidiasis 100-200 mg/hari), untuk infeksi invasif atau diseminata dan meningtis kriptokokus
sampai 200 mg dua kali sehari. Terapi pemeliharaan pada pasien AIDS dan profilaksis pada
neutropenia, 200 mg sekali sehari; dosis digandakan bila kadar dalam darah rendah.

ANAK dan LANSIA, tidak dianjurkan.

KASPOFUNGIN ASETAT
Indikasi:

kandidiasis invasif (diantaranya kandidemia, pada pasien neutropenik dan non-neutropenik);


kandidiasis esofageal; kandidiasis orofaringeal; aspergilosis invasif (pada pasien yang sukar
disembuhkan atau intoleran terhadap terapi lain).

Peringatan:

kehamilan; menyusui; pasien berusia di bawah 18 tahun.

Interaksi:

kaspofungin asetat menurunkan kadar takrolimus dalam darah, maka pada pasien yang menerima
kedua obat tersebut, perlu dilakukan monitoring kadar takrolimus dalam darah, dan dilakukan
penyesuaian dosis takrolimus; siklosporin meningkatkan AUC kaspofungin asetat, diperkirakan
hal ini terjadi karena penurunan pengambilan kaspofungin asetat oleh hati; terjadi peningkatan
sementara ALT dan AST hati apabila kaspofungin asetat dan siklosporin diberikan bersamaan;
pemberian kaspofungin asetat bersama dengan penginduksi klirens obat seperti efavirenz,
nevirapin, rifampisin, deksametason, fenitoin, atau karbamazepin, sebaiknya dipertimbangkan
penggunaan kaspofungin asetat 70 mg sehari; penggunaan bersama dengan siklosporin;
peningkatan sementara alanine transaminase (ALT) dan aspartate transaminase (AST) ≤ 3 kali
lipat dari Upper Limit of Normal (ULN) pada beberapa subjek sehat yang menerima 3 mg/kg bb,
dosis siklosporin dengan kaspofungin asetat yang akan normal kembali dengan penghentian
pemberian obat; terjadi peningkatan ± 35% pada Area Under the Curve (AUC) kaspofungin
asetat ketika diberikan bersama dengan siklosporin, kadar siklosporin dalam darah tidak berubah.

Kontraindikasi:

hipersensitif terhadap kaspofungin asetat.

Efek Samping:

demam, sakit kepala, nyeri perut, nyeri, kedinginan, mual, muntah, diare, peningkatan jumlah
enzim hati (AST, ALT, alkalin fosfatase, direct bilirubin dan bilirubin total), peningkatan
kreatinin serum, anemia (penurunan hemoglobin dan hematokrit), plebitis/tromboplebitis,
komplikasi pada tempat pemberian infus, ruam kulit, pruritus, bengkak pada wajah, sensasi
hangat, bronkospasme, anafilaktik, disfungsi hati, udem perifer, dan hiperkalsemia.
Dosis:

Invasive candidiasis, infus intravena lambat (± 1 jam), dosis muatan (loading dose) tunggal 70
mg diberikan pada hari pertama, selanjutnya diikuti dengan dosis 50 mg sehari. Lama
pengobatan harus disesuaikan dengan respons klinis dan mikrobiologi pasien. Umumnya, terapi
anti jamur harus dilanjutkan paling tidak 14 hari setelah hasil pemeriksaan kultur terakhir yang
positif.

Esophageal dan oropharyngeal candidiasis, infus intravena lambat (± 1 jam), 50 mg sehari.

Invasive Aspergillosis, infus intravena lambat (± 1 jam), dosis tunggal 70 mg diberikan pada hari
pertama, selanjutnya diikuti dengan dosis 50 mg sehari. Lama pengobatan sebaiknya disesuaikan
dengan keparahan dari penyakit lain yang menyertai, pemulihan dari kondisi imunosupresi dan
respon klinis pasien. Pemberian bersama dengan penginduksi metabolik efavirenz, nevirapin,
rifampin, deksametason, fenitoin, atau karbamazepin, harus dipertimbangkan penggunaan dosis
kaspofungin asetat 70 mg sehari.

Pasien dengan gangguan fungsi hati ringan dan lansia, tidak memerlukan penyesuaian
dosis. Esophageal dan/atauoropharyngeal candidiasis dengan gangguan fungsi hati sedang,
direkomendasikan pemberian kaspo-fungin asetat 35 mg sehari.

Invasive candidiasis atau invasive aspergillosis dengan gangguan fungsi hati sedang, setelah
dosis awal 70 mg, direkomendasikan pemberian kaspofungin asetat 35 mg sehari.

KETOKONAZOL

Indikasi:

mukosa sistemik, kandidiasis mukokutan resisten yang kronis, mukosa saluran cerna resisten
serius, kandidiasis vaginal resisten yang kronis, infeksi dermatofita pada kulit atau kuku tangan
(tidak pada kuku kaki); profilaksis mikosa pada pasien imunosupresan; kandidiasis mukokutan
kronis yang tidak responsif terhadap nistatin dan obat-obat lain; infeksi mikosis sistemik
(kandidiasis, paraksidioidomikasis, cocci dioidomycosis, hiptoplasmosis).

Peringatan:
lakukan uji fungsi hati secara klinis dan secara biokimia untuk pengobatan yang berlangsung
lebih dari 14 hari lakukan uji fungsi hati sebelum memulainya, 14 hari setelah mulai, kemudian
selang sebulan sekali. Hindari pada porfiria Aritmia. Hindari pemberian bersama dengan
astemizol atau terfenadina. Juga hindari pemberian bersama cisaprid.

Interaksi:

Lampiran 1 (antifungi, imidazol dan triazol).

Kontraindikasi:

gangguan hati; kehamilan (teratogenesitas pada hewan, pada kemasan cantumkan peringatan
kehamilan) dan menyusui; pemberian bersamaan dengan terfenadin atau astemizol.

Efek Samping:

mual, muntah, nyeri perut; sakit kepala; ruam, urtikaria, pruritus; jarang trombositopenia,
parestesia, fotofobia, pusing, alopesia, ginaekomastia dan oligospermia; kerusakan hati fatal
Peringatan: risiko terbentuknya hepatitis lebih besar jika diberikan lebih dari 14 hari.

Dosis:

DEWASA 200 mg/hari bersama makanan, biasanya untuk 14 hari; jika setelah 14 hari respons
tidak memadai, lanjutkan hingga setidaknya 1 minggu setelah gejala hilang dan kultur menjadi
negatif; maksimum 400 mg/hari. ANAK, 3 mg/kg bb/hari dosis tunggal atau dalam dosis terbagi.
Kandidiasis vaginal resisten yang kronis, 400 mg/hari bersama makanan selama 5 hari.

MIKAFUNGIN NATRIUM

Indikasi:

kandidemia, kandidiasis diseminasi akut, peritonitis kandida dan abses; kandidiasis esofagus;
pencegahan infeksi kandida pada pasien yang mengalami transplantasi sel punca hematopoietik.

Peringatan:

Pantau fungsi ginjal, gangguan fungsi ginjal, kehamilan, menyusui, hepatotoksisitas.

Interaksi:
Sirolimus, nifedipin atau trakonazol perlu dikurangi dosisnya karena mikafungin meningkatkan
toksisitas obat tersebut.

Kontraindikasi:

Hipersensitivitas.

Efek Samping:

mual, flebitis, muntah, peningkatan enzim aspartat aminotransferase, peningkatan alkali fosfat
darah, netropenia, anemia, leukopenia, hipokalemia, hipomagnesimia, hipokalsemia, sakit
kepala, diare, nyeri abdominal, penambahan amino-transferase alanin; peningkatan bilirubin
darah, uji fungsi hati abnormal, kemerahan episodik pada wajah/leher, hiperbilirubinemia, ruam,
pireksia, kekakuan, gagal ginjal (lebih sering pada anak-anak).

Dosis:

Infus intravena, Pengobatan pasien dengan kandidemia, diseminasi kandidiasis akut,


peritonitis kandida dan abses: DEWASA (bobot badan lebih dari 40 kg) 100 mg per hari,
maksimal 200 mg per hari; bobot badan kurang dan sama dengan 40 kg: 2 mg per kg per hari,
maksimal 4 mg per kg per hari. ANAK-ANAK (kurang dari 16 tahun) (bobot badan lebih dari 40
kg) 100 mg per hari, maksimal 200 mg per hari; (bobot badan kurang dan sama dengan 40 kg) 2
mg per kg per hari, maksimal 4 mg per kg per hari. Lama pengobatan minimal 14 hari.

Pengobatan pasien dengan kandidiasis esofagus: DEWASA (bobot badan lebih dari 40 kg) 150
mg per hari; (bobot badan kurang dan sama dengan 40 kg: 3 mg per kg per hari. Lama
pengobatan minimal 1 minggu. Profilaksis infeksikandida pada pasien yang mengalami
transplantasi sel punca hematopoetik DEWASA (bobot badan lebih dari 40 kg) 50 mg per hari;
bobot badan kurang dan sama dengan 40 kg: 1 mg per kg per hari. ANAK-ANAK (kurang dari
16 tahun) (bobot badan lebih dari 40 kg) 50 mg per hari; (bobot badan kurang dan sama dengan
40 kg) 1 mg per kg per hari. Lama pengobatan minimal 1 minggu setelah pemulihan netrofil.

NISTATIN

Indikasi:

kandidiasis.
Efek Samping:

mual, muntal, diare pada dosis tinggi, iritasi oral dan sensitisasi, ruam (termasuk urtikaria) dan
dilaporkan terjadi sindroma Stevens-Johnson (jarang).

Dosis:

oral, kandidiasis usus 500.000 UI setiap 6 jam, berikan dosis ganda pada kasus infeksi berat;
ANAK 100.000 UI 4 kali/hari. Profilaksis, 1 juta unit/ hari. Neonatal, 100.000 UI/hari sebagai
dosis tunggal. Untuk penggunaan sebagai obat kumur dalam kasus kandidiasis mulut, lihat
bagian 12.3.2.

POSAKONAZOL

Indikasi:

infeksi jamur Aspergillosis invasif setelah gagal terapi atau intoleran dengan amfoterisin B atau
itrakonazol; Fusariosis setelah gagal terapi atau intoleran dengan amfoterisin B;
Chromoblatomycosis dan mycetoma pada pasien setelah gagal terapi atau intoleran dengan
itrakonazol; Coccidiomycosis setelah gagal terapi atau intoleran dengan amfoterisin B,
itrakonazol atau flukonazol; Kandisiasis orofaringeal pada pasien yang mengidap penyakit berat
atau immunocompromised dimana respon terhadap terapi topikal diperkirakan tidak berhasil.

Peringatan:

hipersensitif; gangguan fungsí hati berat; monitor gangguan elektrolit karena menyebabkan QT
prolongation; kehamilan; menyusui; tidak dapat diekskresi oleh hemodialisis; khasiat dan
keamanan penggunaan pada anak dan remaja dibawah usia 13 tahun belum diketahui pasti.

Interaksi:

Tidak boleh digunakan bersamaan dengan terfenadin, astemizol, cisaprid, pimozid, halofantrin
dan quinidin (Substrat CYP3A4) karena dapat meningkatkan konsentrasi plasma sehingga dapat
menyebabkan perpanjangan QT dan torsades de pointes (jarang); Tidak boleh digunakan
bersamaan dengan simvastatin, lovastatin dan atorvastatin karena dapat meningkatkan inhibitor
reduktase HMG-CoA dalam darah yang menyebabkan Rhabdomyolisis; Tidak boleh digunakan
bersamaan dengan alkaloid ergot (ergotamin dan dihidroergotamin) karena akan meningkatkan
konsentrasi plasma alkaloid ergot sehingga menyebabkan ergotism; Inhibitor enzim pada jalur
metabolisme via UDP glucuronidation (verapamil, siklosporin, kuinidin, klaritromisin,
eritromisin) dapat meningkatkan kadar plasma posakonazol, sedangkan penginduksi enzim
((rifampisin, rifabutin, antikonvulsan tertentu) dapat menurunkan kadar plasma posakonazol;
alkaloid vinka (vinkristin dan vinblastin) meningkatkan kadar posakonazol, se1 hingga dapat
menyebabkan neurotoksisitas; posakonazol dapat meningkatkan Cmax dan AUC takrolimus
secara signifikan sehingga perlu dilakukan monitor kadar takrolimus, kurangi dosis takrolimus
atau hentikan penggunaan posakonazol; Tidak boleh digunakan bersamaan dengan sirolimus atau
jika harus dilakukan, dosis sirolimus dikurangi secara signifikan; Posakonazol meningkatkan
konsentrasi plasma HIV protease Inhibitors, midazolam, antagonis kalsium, digoksin.

Kontraindikasi:

Hipersensitivitas; penggunaan bersamaan dengan terfenadin, astemizol, cisaprid, pimozid,


halofantrin dan quinidin (Substrat CYP3A4), simvastatin, lovastatin dan atorvastatin (inhibitor
reduktase HMG-CoA), alkaloid ergot (ergotamin dan dihidroergotamin).

Efek Samping:

umum terjadi: neutropenia, ketidakseimbangan elektrolit, anoreksia, paraestesia, pusing,


mengantuk, sakit kepala, muntal, mual, nyeri abdomen, diare dispepsia, mulut kering, flatulens,
peningkatan hasil uji fungsi hati (AST, ALT, bilirubin, alkalin fosfatase, GGT), ruam, pireksia
(demam), astenia, lelah.

Tidak umum terjadi: trombositopenia, leukopenia, anemia, eosinofilia, limfadenopati, reaksi


alergi, hiperglikemia, konvulsi, neuropati, hipoanestesi, tremor, Perpanjangan QTc/QT, ECG
abnormal, palpitasi, hipertensi, hipotensi, penglihatan kabur, pancreatitis, kerusakan hati,
hepatitis, jaundice, hepatomegali, sariawan, alopesia, nyeri punggung, gagal ginjal akut, gagal
ginjal, peningkatan kreatinin darah, edema, letih, rasa nyeri, kaku, lemas; mempengaruhi kadar
obat lain: jarang terjadi: sindrom hemolitik uremik, purpura trombositopenik trombotik,
pansitopenia, koagulasi, haemorrhage NOS, Sindrom Steven Johnson, reaksi hipersensitif,
insufisiensi adrenal, penurunan kadar gonadotropin, asidosis tubular ginjal, psikosis, depresi,
sincope, encefalopati, neuropati periferal, diplopia, skotoma, torsadaes de pointes, mati
mendadak, takikardi ventrikular, cardio-respiratory arrest, gagal jantung, infark
miokard, cerebrovascular accident, embolisme paru, deep venous thrombosis NOS, hipertensi
paru, pneumonia interstitial, pneumonitis, perdarahan saluran cerna, ileus, gagal hati, kolestatik
hepatitis, kolestasis, hepatosplenomegali, pengerasan hati, asteriksis, ruam vesikular, nefriitis
interstisial, nyeri payudara, edema lidah, edema muka.

Dosis:

Dewasa dan anak usia 13 tahun atau lebih: infeksi jamur Aspergillosis invasif: 400 mg, dua kali
sehari atau jika tidak dapat mentoleransi, 200 mg, empat kali sehari. Lama pengobatan
tergantung tingkat keparahan penyakit, kekebalan tubuh dan respon klinis.

Coccidiodomycosis: 400 mg, dua kali sehari atau jika tidak dapat mentoleransi, 200 mg, lima
kali sehari;

Kandisiasis orofaringeal: Loading dose, 200 mg sekali sehari pada hari pertama kemudian 100
mg sehari sekali selama 13 hari

Oropharyngeal yang susah disembuhkan atau candida oesophageal: 400 mg sehari, dua kali
sehari. Lamanya pengobatan tergantung pada tingkat keparahan pasien, dan respon klinik.

Profilaksis infeksi jamur invasif: 200 mg, tiga kali sehari. Lamanya pengobatan tergantung pada
penyembuhan dari kondisi neutropenia atau imunosupresi.

Posakonazol sebaiknya diberikan dengan makanan atau dengan 240 ml suplemen nutrisi. Oral
suspensi harus dikocok sebelum digunakan.

TERBINAFIN

Indikasi:

infeksi dermatofita pada kuku; infeksi kurap (termasuk tinea pedis, tinea kruris dan tinea
korporis), dimana terapi oral diperlukan (disebabkan tempat, keparahan, atau luas).

Peringatan:

gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal (lihat Lampiran 3); kehamilan (lihat Lampiran 4),
menyusui (lihat Lampiran 5); psoriasis (beresiko bertambah buruk); penyakit gangguan
kekebalan tubuh (resiko efek serupa Lupus erithematosus).
Interaksi:

lihat lampiran 1 (terbinafin).

Efek Samping:

ketidaknyamanan pada perut, anoreksia, mual, diare; sakit kepala; ruam kulit dan urtikaria
kadang dengan artralgia atau mialgia; gangguan pengecapan (kadang-kadang); hentikan
pengobatan jika terjadi toksisitas liver (jarang) (termasuk jaundice, kolestasis, dan hepatitis),
angiodema, pusing, rasa badan tidak enak, paraesthesia, hipoasthesia, fotosensitivitas, reaksi
kulit serius termasuk sindrom Steven-Johnson dan nekrolisis epidermal toksik (hentikan
pengobatan jika terjadi ruam kulit yang progresif); gangguan psikiatri (jarang), kelainan darah
(termasuk leukopenia dan trombositopenia), efek menyerupai lupus eritematosus, dan psoriasis
yang memburuk.

Dosis:

250 mg per hari biasanya selama 2-6 minggu untuk tinea pedis, 2-4 minggu untuk tinea kruris, 4
minggu pada tinea korporis, 6 minggu - sampai 3 bulan untuk infeksi kuku (kadang-kadang lebih
lama pada infeksi toenail); ANAK (tidak dianjurkan) biasanya selama 2 minggu, tinea kapitis,
pada anak berusia di atas 1 tahun, berat badan 10-20 kg, 62,5 mg sekali sehari; berat badan 20-40
kg, 125 mg sekali sehari; berat badan lebih dari 40 kg, 250 mg sekali sehari.

VORIKONAZOL

Indikasi:

aspergillosis invasif (sebagian besar disebabkan oleh Aspergillus fumigatus), kandidemia pada
pasien non-neutropenik, infeksi serius Candida (termasuk C. Krusei), kandidiasis esofagal,
infeksi serius yang disebabkan oleh Scedosporium apiospermum (bentuk aseksual
dari Pseudallescheria boydii) dan Fusarium spp., termasuk Fusarium solani, pada pasien yang
intoleran atau refrakter terhadap pengobatan lain.

Peringatan:

monitor fungsi hati sebelum pengobatan dan selama pengobatan; penyakit hematologi yang
berbahaya (meningkatkan risiko reaksi hepatik); gangguan fungsi hati; monitor fungsi ginjal;
gangguan fungsi ginjal (lihat Lampiran 3); kehamilan (memastikan kontrasepsi efektif selama
pengobatan- lihat Lampiran 2); gangguan elektrolit, kardiomiopati, bradikardi, aritmia
simptomatik, riwayat perpanjangan interval QT,penggunaan bersama obat lain yang
memperpanjang interval QT; hindari paparan sinar matahari.Untuk penggunaan invus intravena,
dapat timbul reaksi anafilaksis seperti flushing, demam, berkeringat, takikardi, sesak dada,
dispnea, faintness (lemah/pingsan), mual, gatal, ruam kulit. Perlu peringatan pula agar
menghindari mengendarai kendaraan bermotor pada malam hari atau melakukan kegiatan yang
potensial menimbulakn bahaya karena vorikonazol menyebabkan perubahan pandangan seperti
pandangan kabur, dan atau fotophobia.

Interaksi:

lihat lampiran 1 (anti jamur, triazol).

Kontraindikasi:

menyusui (lihat Lampiran 4), pasien yang hipersensitif terhadap vorikonazol dan golongan azol
lainnya.

Efek Samping:

Gangguan gastrointestinal (termasuk mual, muntah, nyeri abdomen, diare), ikterus; udem,
hipotensi, nyeri dada; sindrom sulit pernafasan, sinusitis; sakit kepala, pusing, asthenia, gelisah,
depresi, bingung, agitasi, halusinasi, paraestesia, tremor; gejala menyerupai influenza;
hipoglikemia; hematuria; kelainan darah (termasuk anemia, trombositopenia, leucopenia,
pansitopenia), gagal ginjal akut, hipokalemia; gangguan visual termasuk persepsi yang berubah,
pandangan kabur dengan fotofobia; ruam kulit, pruritus, fotosensitivitas, alopesia, cheilitis;
reaksi pada tempat injeksi; gangguan pengecapan, kolesistitis, pankreatitis, hepatitis, konstipasi,
aritmia (termasuk perpanjangan interval QT), sinkop, peningkatan serum kolesterol, reaksi
hipersensitivitas (termasuk flushing), ataksia, nistagmus, hipoasthesia, ketidakcukupan
adrenokortikal, artritis, blepharitis, neuritis optik, skleritis, glositis, gingivitis, psoriasis, sindrom
Steven-Johnson; kolitis pseudomembran (jarang), gangguan tidur, tinnitus, gangguan
pendengaran, efek ekstrapiramidal, hipertonia, hipotiroidisme, hipertiroidisme, lupus
eritromatosus discoid, nekrolisis epidermal toksik, perdarahan retina, dan atropi optik.
Dosis:

DEWASA: terapi harus dimulai dengan regimen dosis muatan (loading dose) vorikonazol
intravena untuk mencapai kadar plasma pada hari pertama yang mendekati steady state.
Perpindahan dari intravena ke oral dapat dilakukan bila diindikasikan secara klinis. Dosis muatan
adalah vorikonazol intravena 6 mg/kg bb setiap 12 jam untuk 2 dosis, dilanjutkan dengan 4
mg/kg bb setiap 12 jam. Jika pasien dapat mentolerir pengobatan peroral, dapat digunakan
vorikonazol oral. Pasien dengan berat badan >40 kg harus menerima dosis pemeliharaan
vorikonazol sebesar 200 mg setiap 12 jam. Pasien dewasa dengan berat badan < 40 kg harus
menerima dosis pemeliharaan 100 mg setiap 12 jam.

Bila pasien tidak memberikan respon yang adekuat, dosis pemeliharaan oral dapat dinaikkan dari
200 mg setiap 12 jam sampai 300 mg setiap 12 jam. Untuk pasien dengan berat < 40 kg, dosis
pemeliharaan oral dapat dinaikkan dari 100 mg setiap 12 jam menjadi 150 mg setiap 12 jam. Bila
pasien tidak dapat mentolerir pengobatan, dosis pemeliharaan intra venus diturunkan menjadi 3
mg/kg bb setiap 12 jam dan dosis pemeliharaan oral dengan penurunan 50 mg sampai dosis
minimum 200 mg setiap 12 jam (atau 100 mg setiap 12 jam untuk pasien dengan berat < 40 kg).

Lansia: tidak diperlukan penyesuaian dosis. Gangguan fungsi hati: Pada pasien dengan gangguan
fungsi hati ringan hingga sedang, dosis muatan sama dengan pada pasien normal, namun dosis
pemeliharaan diturunkan menjadi setengah dosis normal. Pada pasien dengan gangguan fungsi
hati berat, penggunaan vorikonazol hanya diberikan apabila kemanfaatan lebih tinggi
dibandingkan dengan risiko.

Gangguan fungsi ginjal: tidak diperlukan penyesuaian dosis, namun pada gangguan ginjal sedang
hingga berat, harus dilakukan pemantauan ketat terhadap serum kreatinin dan vorikonazol hanya
diberikan apabila kemanfaatan lebih tinggi dibandingkan dengan risiko. Apabila terjadi
peningkatan serum kreatinin, terapi diganti menjadi terapi vorikonazol oral

A. Infeksi Cacing
1. Cacing kremi (Oxyuris)
2. Cacing gelang (Ascaris)
3. Cacing pita (Taenia)
4. Cacing tambang (Necator)
5. Skistosoma
6. Filaria
7. Drakunkulus
8. Strongiloides

1. Cacing Kremi (Oxyuris)

Antelmintik umumnya efektif pada infeksi cacing kremi, tapi penggunaannya disertai dengan
perbaikan faktor higienis untuk memutus siklus autoinfeksi. Semua anggota keluarga
memerlukan pengobatan.

Usia cacing kremi dewasa tidak lebih dari 6 minggu, dan untuk pertumbuhan cacing yang
baru, telur tertelan dan terpapar oleh asam lambung dan enzim pencernaan dari saluran cerna
bagian atas. Perkembangbiakan cacing tidak terjadi dalam usus besar. Cacing betina dewasa
meletakkan telurnya di kulit sekitar anus yang menyebabkan gatal. Garukkan di sekitar daerah
ini akan menyebabkan telur berpindah ke mulut melalui jari, sering kali melalui makanan yang
dimakan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu. Mencuci tangan dan menyikat kuku sebelum
makan dan setelah ke toilet merupakan hal yang penting dilakukan. Mandi segera setelah bangun
tidur dapat menghilangkan telur cacing yang ditempatkan di sekitar anus pada malam hari.

Mebendazol merupakan obat pilihan untuk semua pasien berumur lebih dari 2 tahun. Obat
ini diberikan sebagai dosis tunggal. Karena seringnya terjadi infeksi ulang, maka diperlukan
pemberian obat pada 2 sampai 3 minggu berikutnya.

Piperazin tersedia dalam sediaan kombinasi dengan senosida sebagai sediaan dosis tunggal.

Monografi:

MEBENDAZOL

Indikasi:

cacing kremi, cacing tambang, cacing gelang, cacing cambuk.

Peringatan:
wanita hamil dan ibu menyusui.

Interaksi:

Lampiran 1 (mebendazol).

Efek Samping:

Sangat jarang: sakit perut, diare, konvulsi (pada bayi) dan ruam (termasuk sindrom Steven
Johnson dan nekrolisis epidermal toksik).

Dosis:

cacing kremi: DEWASA dan ANAK di atas 2 tahun, 100 mg dosis tunggal. Jika terjadi infeksi
kembali, ulangi dosis yang sama 2 minggu kemudian. ANAK di bawah 2 tahun, tidak
dianjurkan.Cacing tambang: DEWASA dan ANAK di atas 2 tahun, 100 mg dua kali sehari
selama 3 hari. ANAK di bawah 2 tahun, tidak dianjurkan.Cacing gelang: lihat bagian 7.7.2.

PIPERAZIN

Indikasi:

cacing kremi dan cacing gelang.

Peringatan:

gangguan fungsi ginjal (lampiran 3); gangguan fungsi hati; epilepsi; kehamilan (lampiran 4),
menyusui (lampiran 5).

Efek Samping:

mual, muntah, kolik, diare, reaksi alergi termasuk urtikaria, bronkospasmus; jarang terjadi: nyeri
sendi, demam, sindromStevens ohnson dan angioudem; pusing, inkoordinasi otot, mengantuk,
nistagmus, vertigo, pandangan kabur, kebingungan, kontraksi otot klonik pada pasien dengan
gangguan neurologis dan abnormalitas fungsi ginjal.

Dosis:

lihat sediaan di bawah.Eliksir, piperazin hidrat 1 g/5 mL.cacing kremi, 3 g-2,25 g/15 mL sekali
sehari selama 7 hari. ANAK lebih kecil dari 2 tahun, 0,3-0,5 mL/kg bb sekali sehari selama 7
hari. Usia 2-3 tahun, 5 mL sekali sehari selama 7 hari; 4-6 tahun, 7,5 mL sekali sehari selama 7
hari; 7-12 tahun, 10 mL sekali sehari selama 7 hari. Bila perlu ulangi pengobatan setelah satu
minggu.
Cacing gelang: 30 mL dosis tunggal. ANAK di bawah 1 tahun, 0.8 mL/kg bb dosis tunggal; 1-3
tahun 10 mL dosis tunggal; 4-5 tahun 15 mL dosis tunggal; 6-8 tahun 20 mL dosis tunggal; 9-12
tahun 25 mL dosis tunggal. Ulangi pengobatan setelah 2 minggu.

5.6.2 Cacing Gelang (Ascaris)

Levamisol sangat efektif terhadap Ascaris lumbricoides dan umumnya merupakan obat
pilihan. Obat ini ditoleransi dengan sangat baik. Mual ringan atau muntah dilaporkan terjadi pada
sekitar 1% pasien. Pada pasien dewasa diberikan dalam dosis tunggal 120-150 mg.

Mebendazol juga efektif terhadap askaris. Dosis lazimnya 100 mg dua kali sehari selama tiga
hari.

Piperazin dapat diberikan dalam dosis tunggal untuk dewasa.

Monografi:

LEVAMISOL

Indikasi:

infeksi cacing gelang yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides.

Dosis:

dewasa: dosis tunggal 120-150 mg

5.6.3 Cacing Pita (Taenia)

TAENISIDA
Niklosamid merupakan obat yang paling banyak digunakan untuk infeksi cacing pita, dan efek
sampingnya terbatas pada gangguan saluran cerna biasa, sakit kepala ringan dan gatal.
Niklosamid tidak efektif untuk larva cacing. Kekhawatiran terhadap terjadinya cysticerosis pada
infeksi Taenia solium tidak terbukti. Dapat diberikan pencahar 2 jam sesudah pemberian obat
dan dapat diberikan obat anti muntah sebelum pemberian obat. Prazikuantel sama
efektivitasnya dengan niklosamid dan diberikan dalam dosis tunggal 10-20 mg/kg bb setelah
sarapan ringan (25 mg/kg bb untuk untukHymenolepis nana).

KISTA HIDATID

Kista yang disebabkan oleh Echinococcus granulosus berkembang perlahan-lahan dan pasien
asimtomatik tidak selalu harus diobati. Tindakan bedah merupakan pilihan untuk sebagian besar
kasus. Albendazol digunakan setelah tindakan bedah untuk mengurangi risiko kekambuhan atau
sebagai pengobatan primer bila tindakan bedah tidak memungkinkan. Kista alveolaris yang
disebabkan oleh Echinococcus multilocularis umumya fatal bila tidak diobati. Pengobatan
pilihan adalah bedah dan albendazol. Bila bedah yang efektif tidak bisa dilakukan, pemberian
albendazol secara berulang (selama satu tahun atau lebih) mungkin membantu. Selama
pengobatan perlu dilakukan pemeriksaan fungsi hati secara berkala.

Monografi:

ALBENDAZOL

Indikasi:

terapi tambahan (sesudah operasi) untuk kista hidatid yang disebabkan oleh Echinococcus
granulosus, Echinococcus multilocularis atau sebagai obat primer bila tindakan bedah tidak bisa
dilakukan. Strongiloidiasis.

Peringatan:

Lakukan hitung jenis sel darah dan tes fungsi hati sebelum pengobatan dan dua kali selama tiap
siklus pengobatan. Ibu menyusui; hindari kehamilan sebelum mengobati (kontrasepsi non
hormonal selama dan 1 bulan sesudah pengobatan).

Kontraindikasi:

kehamilan.

Efek Samping:

gangguan saluran cerna, sakit kepala, pusing, gangguan enzim hati, alopesia reversibel, ruam,
demam, gangguan darah (leukopenia, pansitopenia); syok alergi bila terjadi kebocoran kista,
kejang dan meningismus pada penyakit serebral.
Dosis:

E. granulosus: DEWASA: Terapi medikamentosa: 800 mg/hari dalam dosis terbagi, selama 28
hari dilanjutkan dengan istirahat 14 hari. Pemberian diulangi sampai 3 siklus. Sebelum operasi:
800 mg/hari selama 28 hari, diikuti periode bebas obat selama 14 hari. Ulangi satu siklus lagi
sebelum operasi. Sesudah operasi: (bila kista masih hidup setelah pengobatan pra bedah, atau
bila tidak mendapat pengobatan pra bedah, atau bila pengobatan pra bedah tidak mencukupi):
800 mg/hari dalam dosis terbagi, selama 28 hari diikuti istirahat 14 hari. Ulangi siklus
pengobatan satu kali lagi.
E. multilocularis: DEWASA (lebih besar dari 60 kg): 800 mg/hari dalam dosis terbagi, diberikan
selama 28 hari, diikuti masa istirahat selama 14 hari. Adakalanya diperlukan pengobatan jangka
panjang (lihat keterangan di atas).

2. Cacing Tambang (Necator)

Cacing tambang hidup pada usus halus bagian atas dan mengisap darah pada tempat
sangkutannya. Cacing ini dapat menyebabkan anemia defisiensi besi, dan jika anemia ini terjadi,
pengobatan yang efektif untuk infeksi ini adalah membasmi cacing dan mengobati anemia.

Mebendazol memiliki spektrum aktivitas yang luas dan efektif terhadap cacing tambang.
Dosis lazimnya adalah 100 mg dua kali sehari selama 3 hari.

3. Filaria

Dietilkarbamazin efektif mengatasi mikrofilaria dan bentuk dewasa dari Loa


loa, Wuchereria bancroft dan Brugia malayi. Untuk mengurangi reaksi pengobatan yang tidak
dikehendaki, terapi dimulai dengan dosis 1 mg/kg bb pada hari pertama dan ditingkatkan secara
bertahap menjadi 6 mg/kg bb dalam dosis terbagi selama 3 hari. Dosis ini dipertahankan selama
21 hari. Pengawasan saat pengobatan diperlukan terutama pada fase awal.

Pada infeksi berat, dapat terjadi reaksi demam dan pada infeksi berat akibat Loa loa, dapat
terjadi risiko mengalami ensefalopati. Pengobatan dihentikan jika terjadi gangguan serebral.

Albendazol dikenal sebagai obat yang digunakan dalam pengobatan cacing usus (cacing
gelang, cacing kremi, cacing cambuk, cacing tambang). Albendazol juga dapat meningkatkan
efek dietilkarbamazin dalam mematikan cacing filaria dewasa dan mikrofilaria tanpa menambah
reaksi yang tidak dikehendaki.

Di daerah endemis filariasis, seringkali prevalensi cacing usus cukup tinggi, sehingga
penggunaan albendazol dalam pengobatan massal filariasis juga akan efektif mengendalikan
prevalensi cacing usus.

Obat kanker/tumor

Defenisi Kemoterapi
Kemoterapi adalah proses pengobatan dengan menggunakan obat-obatan yang bertujuan
untuk membunuh atau memperlambat pertumbuhan sel-sel Kanker. Banyak obat yang digunakan
dalam Kemoterapi. Kemoterapi adalah upaya untuk membunuh sel-sel kanker dengan
mengganggu fungsi reproduksi sel. Kemoterapi merupakan cara pengobatan kanker dengan jalan
memberikan zat/obat yang mempunyai khasiat membunuh sel kanker.
Kemoterapi bermanfaat untuk menurunkan ukuran kanker sebelum operasi, merusak
semua sel-sel kanker yang tertinggal setelah operasi, dan mengobati beberapa macam kanker
darah. Kemoterapi Merupakan bentuk pengobatan kanker dengan menggunakan obat sitostatika
yaitu suatu zat-zat yang dapat menghambat proliferasi sel-sel kanker.

2.2 Tujuan Dan Manfaat Dari Pemberian Kemoterapi


Tujuan pemberian kemoterapi
1. Pengobatan.
2. Mengurangi massa tumor selain pembedahan atau radiasi.
3. Meningkatkan kelangsungan hidup dan memperbaiki kualitas hidup.
4. Mengurangi komplikasi akibat metastase.
Manfaat Kemoterapi
Manfaat Kemoterapi antara lain adalah sebagai berikut:
1. Pengobatan
Beberapa jenis kanker dapat disembuhkan secara tuntas dengan satu jenis Kemoterapi atau
beberapa jenis Kemoterapi.
2. Kontrol
Kemoterapi ada yang bertujuan untuk menghambat perkembangan Kanker agar tidak bertambah
besar atau menyebar ke jaringan lain.
3. Mengurangi Gejala
Bila kemotarapi tidak dapat menghilangkan Kanker, maka Kemoterapi yang diberikan bertujuan
untuk mengurangi gejala yang timbul pada penderita, seperti meringankan rasa sakit dan
memberi perasaan lebih baik serta memperkecil ukuran Kanker pada daerah yang diserang.

2.3 Jenis Obat Anti Kanker Dan Kemoterapi Kanker


2.3.1 Golongan Alkilator
Jenis-jenis obat yang termasuk dalam golongan alkilator yaitu :
1. Siklofosfamid
Sediaan : Siklofosfamid tersedia dalam bentuk kristal 100, 200, 500 mg dan 1,2 gram untuk
suntikan, dan tablet 25 dan 50 gram untuk pemberian per oral.
Indikasi : Leukemia limfositik Kronik, Penyakit Hodgkin, Limfoma non Hodgkin, Mieloma
multiple, Neuro Blastoma, Tumor Payudara, ovarium, paru, Cerviks, Testis, Jaringan Lunak atau
tumor Wilm.
Mekanisme kerja : Siklofosfamid merupakan pro drug yang dalam tubuh mengalami konversi
oleh enzim sitokrom P-450 menjadi 4-hidroksisiklofosfamid dan aldofosfamid yang merupakan
obat aktif. Aldofosfamid selanjutnya mengalami perubahan non enzimatik menjadi fosforamid
dan akrolein. Efek siklofosfamid dipengaruhi oleh penghambat atau perangsang enzim
metabolismenya. Sebaliknya, siklofosfamid sendiri merupakan perangsang enzim mikrosom,
sehingga dapat mempengaruhi aktivitas obat lain.
2. Klorambusil
Sediaan : Klorambusil tersedia sebagai tablet 2 mg. Untuk leukemia limfositik kronik, limfoma
hodgkin dan non-hodgkin diberikan 1-3 mg/m2/hari sebgai dosis tunggal (pada penyakit hodgkin
mungkin diperlukan dosis 0,2 mg/kg berat badan, sedangkan pada limfoma lain cukup 0,1 mg/kg
berat badan).
Indikasi : Leukimia limfositik Kronik, Penyakit Hodgkin, dan limfoma non Hodgkin,
Makroglonbulinemia primer.
Mekanisme kerja : Klorambusil (Leukeran) merupakan mustar nitrogen yang kerjanya paling
lambat dan paling tidak toksik. Obat ini berguna untuk pengobatan paliatif leukemia limfositik
kronik dn penyakin hodgkin (stadium III dan IV), limfoma non-hodgkin, mieloma multipel
makroglobulinemia primer (Waldenstrom), dan dalam kombinasi dengan metotreksat atau
daktinomisin pada karsinoma testis dan ovarium.
3. Prokarbazin
Sediaan : Prokarbazin kapsul berisi 50 mg zat aktif. Dosis oral pada orang dewasa : 100 mg/m2
sehari sebagai dosis tunggal atau terbagi selama minggu pertama, diikuti pemberian 150-200
mg/m2 sehari selama 3 minggu berikutnya, kemudian dikurangi menjadi 100 mg/m2 sehari
sampai hitung leukosit dibawah 4000/m2 atau respons maksimal dicapai. Dosis harus dikurangi
pada pasien dengan gangguan hati, ginjal dan sumsum tulang.
Indikasi : Limfoma Hodgkin.
Mekanisme kerja : Mekanisme kerja belum diketahui, diduga berdasarkan alkilasis asam
nukleat. Prokarbazin bersifat non spesifik terhadap siklus sel. Indikasi primernya ialah untuk
pengobatan penyakit hodgkin stadium IIIB dan IV, terutama dalam kombinasi dengan
mekloretamin, vinkristin dan prednison (regimen MOPP).
4. Karboplatin
Sediaan : Serbuk injeksi 50 mg, 150 mg, 450 mg.
Indikasi : Kanker ovarium lanjut.
Mekanisme kerja : Mekanisme pasti masih belum diketahui dengan jelas, namun diperkirakan
sama dengan agen alkilasi. Obat ini membunuh sel pada semua tingkat siklus, menghambat
biosintesis DNA dan mengikat DNA melalui ikatan silang antar untai. Titik ikat utama adalah
N7 guanin, namun juga terjadi interaksi kovalen dengan adenin dan sitosin.

2.3.2 Golongan Antimetabolit


Jenis-jenis obat yang termasuk dalam golongan antimetabolit yaitu :
1. 5-fluorourasil (5-FU)
Sediaan : Obat ini tersedia sebagai larutan 50 mg/mL dalam ampul 10 mL untuk IV.
Indikasi : Kanker payudara, kolon, esofagus, leher dan kepala, Leukimia limfositik dan
mielositik akut, Limfoma non-Hodgkin.
Target enzim untuk 5-FU ini adalah timidilat sintetase. Perbedaan respon ini berkaitan erat
dengan adanya polimorfisme gen yang bertanggungjawab terhadap ekspresi enzim timidilat
sintetase (TS). Enzim ini sangat penting dalam sintesis DNA yaitu merubah deoksiuridilat
menjadi deoksitimidilat. Diketahui bahwa sekuen promoter dari gen timidilat sintetase bervariasi
pada setiap individu. Ekspresi yang rendah dari mRNA TSberhubungan dengan meningkatnya
kemungkinan sembuh dari penderita kanker yang diobati dengan 5-FU.
2. Gemsitabin
Sediaan : Obat ini tersedia dalam bentuk larutan infus 1-1,2 g/m2.
Indikasi : Kanker paru, pankreas dan ovarium.
Mekanisme kerja : Sebelum menjadi bahan aktif, gemsitabin mengalami fosforilasi oleh enzim
deoksisitidin kinase dan kemudian oleh nukleosida kinase menjadi nukleotida di- dan trifosfat
yang dapat menghambat sintesis DNA. Gemsitabin difosfat dapat menghambat ribonukleotida
reduktase sehingga menurunkan kadar deoksiribonukleotida trifosfat yang penting untuk sintesis
DNA.
3. 6-Merkaptopurin
Sediaan : Obat ini tersedia dalam bentuk tablet 50 mg.
Indikasi : Leukimia limfositik akut dan kronik, leukemia mieloblastik akut dan kronik,
kariokarsinoma.
Mekanisme kerja : Merkaptopurin dimetabolisme oleh hipoxantin-guanin fosforibosil
transferase (HGPRT) menjadi bentuk nukleotida (asam-6-tioinosinat) yang menghambat enzim
interkonversi nukleotida purin. Sejumlah asam tioguanilat dan 6-metilmerkaptopurin ribotida
(MMPR) juga dibentuk dari 6-merkaptopurin. Metabolit ini juga membantu kerja merkaptopurin.
Metabolisme asam nukleat purin menghambat proliferasi sel limfoid pada stimulasi antigenik.
4. Methotrexat
Sediaan : Tablet 2,5 mg, vial 5 mg/2ml, vial 50 mg/2ml, ampul 5 mg/ml, vial 50 mg/5ml.
Indikasi : Leukimia limfositik akut, kariokarsinoma, kanker payudara, leher dan kepala, paru,
buli-buli, Sarkoma osteogenik.
Mekanisme kerja : Metotreksat adalah antimetabolit folat yang menginhibisi sintesis DNA.
Metotreksat berikatan dengan dihidrofolat reduktase, menghambat pembentukan reduksi folat
dan timidilat sintetase, menghasilkan inhibisi purin dan sintesis asam timidilat. Metotreksat
bersifat spesifik untuk fase S pada siklus sel. Mekanisme kerja metotreksat dalam artritis tidak
diketahui, tapi mungkin mempengaruhi fungsi imun. Dalam psoriasis, metotreksat diduga
mempunyai kerja mempercepat proliferasi sel epitel kulit.
5. Sitarabin
Sediaan : Vial 100 mg/ml, dan Vial 1 g/10 ml.
Indikasi : Termasuk zat paling aktif untuk leukemia, juga untuk limphoma, leukemia
meningeal, dan limphoma meningeal. Sedikit digunakan untuk tumor solid.
Mekanisme kerja : Inhibisi DNA sintesis. Sitosin memasuki sel melalui proses carrier dan harus
mengalami perubahan menjadi senyawa aktifnya : arasitidin trifosfat. Sitosin adalah analog purin
dan bergabung ke dalam DNA, sehingga cara kerja utamanya adalah inhibisi DNA polimerase
yang mengakibatkan penurunan sintesis dan perbaikan DNA. Tingkat toksisitasnya mempunyai
korelasi linear dengan masuknya sitosin ke dalam DNA, bergabungnya DNA dengan sitosin
berpengaruh terhadap aktivitas obat dan toksisitasnya.

2.3.3 Golongan Produk Alamiah


Jenis-jenis obat yang termasuk dalam golongan Produk Alamiah yaitu :
1. Vinkristin (VCR)
Sediaan : Tersedia dalam bentuk vial berisi larutan 1, 2, dan 5 mL yang mengandung 1 mg/mL
zat aktif untuk penggunaan IV.
Indikasi : Leukimia limfositik akut, neuroblastoma, tumor Wilms, Rabdomiosarkoma, limfoma
Hodgkin dan non-Hodgkin.
Mekanisme kerja : Berikatan dengan tubulin dan inhibisi formasi mikrotubula, menahan sel
pada fase metafase dengan mengganggu spindel mitotik, spesifik untuk fase M dan S. Vinblastin
juga mempengaruhi asam nukleat dan sintesis protein dengan memblok asam glutamat dan
penggunaannya.
2. Vinblastin (VLB)
Sediaan : Tersedia dalam bentuk vial 10 mg/10 ml.

Indikasi : Penyakit Hodgkin, limfosarkoma, kariokarsinoma dan tumor payudara.

Mekanisme kerja : Vinblastin berikatan pada tubulin dan menghambat formasi mikrotubula,
kemudian menahan sel pada fase metafase dengan cara mengganggu spindel mitotik, spesifik
untuk fase M dan S. Vinblastin juga mempengaruhi asam nukleat dan sintesis protein dengan
memblok asam glutamat dan penggunaannya.
3. Paklitaksel
Sediaan : Anzatax (vial), Ebetaxel (vial), Paxus kalbe farma (vial)
Indikasi : Kanker ovarium, payudara, paru, buli-buli, leher dan kepala.

Mekanisme kerja : Obat ini berfungsi sebagai racun spindel dengan cara berikatan dengan
mikrotubulus yang menyebabkan polimerisasi tubulin. Efek ini menyebabkan terhentinya proses
mitosis dan pembelahan sel kanker.
4. Etoposid
Sediaan : Tersedia dalam bentuk kapsul dan larutan injeksi.

Indikasi : Kanker testis, paru, payudara, limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin, leukimia
mielositik akut, sarkoma kaposi.
Mekanisme kerja : Etoposid bekerja untuk menunda transit sel melalui fase S dan menahan sel
pada fase S lambat atau fase G2 awal. Obat mungkin menginhibisi transport mitokrondia pada
level NADH dehidrogenase atau menginhibisi uptake nukleosida ke sel Hella. Etoposid
merupakan inhibitor topoisomerase II dan menyebabkan rusaknya strand DNA.
5. Irinotekan, Topotekan
Indikasi : Karsinoma ovarium, karsinoma paru sel kecil, karsinoma kolon.

Mekanisme kerja : Irinotekan merupakan bahan alami yang berasal dari tanaman Camptotheca
acuminata yang bekerja menghambat topoisomerase I, enzim yang bertanggung jawab dalam
proses pemotongan dan penyambungan kembali rantai tunggal DNA. Hambatan enzim ini
menyebabkan kerusakan DNA.
6. Daktinomisin ( AktinimisinD)
Sediaan : Tersedia dalam bentuk Injeksi, bubuk untuk rekonstitusi : 0,5 mg (mengandung
manitol 20 mg).
Indikasi : Kariokarsinoma, tumor Wilms, testis, rabdomiosarkoma, sarkoma Kaposi.

Mekanisme kerja : Terikat pada posisi guanin pada DNA, mengalami interkalasi antara pasang
basa guanin dan sitosin sehingga menginhibisi sintesis DNA dan RNA serta protein.
7. Antrasiklin : Daunorubisin, Doksorubisin, Mitramisin
Sediaan : Daunorubisin tersedia dalam bentuk 20 mg daunorubisin hidroklorida dengan
mannitol 100 mg. 2 mg/mL (50 mg) daunorubisin dengan 10 : 5 : 1 rasio molar
distearofosfatidilkolin : kolesterol : daunorubisin. Doksorubisin tersedia dalam bentuk vial 10 mg
dan 50 mg.
Indikasi : Leukimia limfositik dan mielositik akut sarkoma jaringan lunak, sarkoma ostiogenik,
limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin, leukemia akut, karsinoma payudara, genitourinaria, tiroid,
paru, lambung, neuroblastoma dan sarkoma lain pada anak-anak.
Mekanisme kerja : Interkalasi dengan DNA, mempengaruhi transkripsi dan replikasi secara
langsung. Selain itu, obat ini juga mampu membentuk kompleks tripartit dengan topoisomerase
II dan DNA. (Topoisomerase II adalah enzim dependen ATP yang terikat pada DNA dan
memisahkan untai DNA dimulai dari 3′ fosfat, menyebabkan DNA terpisah dan kemudian
menggabungkannya lagi, fungsi penting dalam replikasi DNA dan repair). Formasi kompleks
tripartit dengan antrasiklin dan etoposid menghambat pengikatan kembali untai DNA rusak,
mengakibatkan apoptosis. Efek ini memungkinkan sel rusak karena obat ini, sementara adanya
overekspresi repair DNA terkait transkripsi menunjukkan resistensi. Antrasiklin juga membentuk
radikal bebas dalam larutan pada jaringan normal dan maligna. Intermediat semikuinon yang
dihasilkan dapat bereaksi dengan oksigen membentuk radikal anion superoksida yang
membentuk radikal hidroksil dan hidrogen peroksida yang menyerang dan mengoksidasi basa
DNA (~kardiotoksisitas). Produksi ini dipicu interaksi antrasiklin dengan besi. Antrasiklin berik
atan dengan membran sel mempengaruhi fluiditasdan transpor ion.
Inhibisi sintesis DNA dan RNA dengan interkalasi antara basa DNA oleh inhibisi
topoisomerase II dan obstruksi sterik. Doksurubisin menginterkalasi pada titik lokal ″uncoiling″
dari ikatan heliks ganda. Meskipun mekanisme aksi yang pasti belum diketahui, mekanismenya
diduga melalui ikatan langsung DNA (interkalasi) dan inhibisi pembentukan DNA
(topoisomerase II) yang selanjutnya memblokade sintesis DNA dan RNA dan fragmentasi DNA.
Doksorubisin merupakan logam khelat yang kuat, komplek logam doksorubisin dapat mengikat
DNA dan sel membran dan menghasilkan radikal bebas yang akan merusak DNA dan membran
sel dengan cepat.
8. Bleomisin
Sediaan : Bleomisin sulfat terdapat dalam vial berisi 15 unit untuk pemberian IV, IM, atau
kadang-kadang SK atau intraarterial.
Indikasi : Kanker paru, lambung dan anus karsinoma testis dan serviks, limfoma Hodgkin dan
non-Hodgkin.
Mekanisme kerja : Menghambat sintesis DNA, ikatan-ikatan DNA untuk selanjutnya terjadi
pemutusan untai tunggal dan ganda.
9. L-asparaginase
Sediaan : Obat ini tersedian dalam bentuk serbuk untuk Injeksi.

Indikasi : Leukemia limfositik akut.

Mekanisme kerja : Asparaginase menghambat sintesis protein melalui hidrolisis asparaginase


menjadi asam aspartat dan amonia. Sel leukimia, terutama limfoblast, memerlukan asparaginase
eksogen, sel normal dapat memproduksi asparaginase. Asparaginase adalah daur spesifik untuk
fase G1.

Penyakit yang disebabkan oleh amuba

Amuba umumnya menyerang usus. dengan gejala diare berlendir dan darah disertai kejang-kejang dan
nyeri perut, serta mulas pada waktu buang air besar.
Bila pengobatannya tidak tepat penyakit ini dapat menjalar ke organ organ lain khususnya hati dan
menyebabkan amubiasis hati yang berciri radang hati (hepatitis amuba)

Macam-macam Amubiasis :

 Amubiasis usus: hampir sama dengan disentri basiller (sigelosis) dengan ciri diare akut,
mual, muntah, sakit kepala, anorexia
 Amubiasis Hati : ditandai dengan radang pada hati ( hepatitis amuba)

PENGGOLONGAN OBAT :

1.Obat amuba kontak : yang meliputi senyawa tinidazol, dengan jenis antibiotik tetrasiklin
dan aminoglikosida
2. Obat amuba jaringan : yang terdiri dari senyawa nitro-mikonazol (metronidazol tinidasol) yang
berkhasiat terhadap bentuk histolotika didingding usus dan jaringan jaringan lain. Obat golongan ini
adalah obat pilihan dalam kasus amubiasis.

Metronidazol
Indikasi
infeksi amuba (amubiasis intestinalis, dan abses amuba hepar) juga infeksi oleh trikomonas.

Efek samping
mual, muntah , gangguan pengecapan , vertigo , ngantuk, dan reaksi kulit seperti ruam urtikaria , urin
berwarna gelap.

Sediaan
Tablet metronidazol (Generik) 250mg dan 500mg , tablet vaginal 500mg.

Spesialite obat-obat anti amuba :

No GENERIK dan LATIN DAGANG


.

1. Kloroquin Fosfat Resochin

(Choloroquini Phosphas) Nivaquin


2.
Metronidazol Corsagly

(Metronidazolum DOEN) Flagly


3.
Tinidazol Fasigyn
4.
Nimorazol Naxogin
5.
Secnidazol Sentyl

Flagentyl

You might also like