You are on page 1of 27

BAB VI

TREATMENT

A. Interaksi Pikiran dan Tubuh


Mengapa dokter dan paramedis sekarang ini mengalami kesulitan dalam merawat
manusia seutuhnya? Praktek kedokteran modern sudah menjadi sesuatu yang
mekanis, bersifat teknis, dan tersekat-sekat. Pandangan kita yang rasionalistis dan
yang tersekat-sekat membuat sulit terlaksananya pendekatan terpadu yang bertujuan
menyembuhkan orang sakit. Dokter, perawat, teknisi, terapis fisik, psikolog, psikiater,
terapis (nonfisik), pekerja sosial, konselor, rohaniawan, dan lain-lain yang turut
merawat seseorang -semuanya mendapat pelatihan di bidangnya masing-masing.
Tetapi keseluruhan sistem yang ada sekarang ini tidak memungkinkan terjalinnya
kerjasama di antara mereka (caregivers) walaupun pasien yang sedang ditolong
seringkali memerlukan pertolongan dari mereka semua. Sebagai pemberi pengobatan,
perawatan, dan bimbingan psikologis (caregivers), perlu bekerjasama dalam satu tim
(Fountain D.E, 2002).
Setiap individu/pasien memiliki kekhususan (ke-unique-an) sendiri yang berakar
pada jenis kelamin, konstitusi, pengalaman hidup, umur, fase kehidupan, sumber-
sumber kekuatan dan dukungan lain, agama, kepercayaan, budaya dan sebagainya,
yang mempengaruhi keadaannya baik dalam kondisi sakit maupun sehat. Dokter
harus mampu mempertimbangkan berbagai aspek tersebut dalam menangani masalah
kesehatan (Wibisono S, 2007).
Bukti-bukti menunjukkan bahwa banyak pasien dengan penyakit yang parah
menggunakan kepercayaan religius untuk melakukan koping terhadap penyakitnya.
Penggunaan religius/spiritualitas dilakukan secara luas untuk memperkirakan
keberhasilan koping terhadap penyakit fisik. Dalam meta-analisis dari lebih 850
penelitian yang meneliti hubungan antara religius dan berbagai aspek dari kesehatan
mental, sebagian besar penelitian menunjukkan manusia mempunyai kesehatan
mental Yang lebih baik dan lebih berhasil beradaptasi terhadap tekanan jika mereka
religius. Analisis lain dari 350 penelitian menemukan bahwa orang religius secara
fisik lebih sehat, mempunyai gaya hidup yang lebih sehat dan memerlukan perawatan
kesehatan yang lebih sedikit (D'Saouza, 2007).
Kita semua mengalami, efek yang sama dari interaksi mental-fisik dalam
kehidupan keseharian. Kurang disadari bahwa, peningkatan funggi imun berkaitan
dengan perubahan fisik dan mental ini. Status fisik sangat berespons terhadap persepsi
dari rangsangan lingkungan, tidak mengherankan bahwa sistem imun juga sangat kuat
dipengaruhi oleh Status mental. Komponen utama dari sistem imun, leukosit (sel
darah putih), berfungsi dalam lingkungan kimiawi yang dinamis melibatkan molekul
pembawa pesan dari sistem saraf, eksokrin, dan endokrin. Perubahan fisiologis
mengubah susunan kimia dari lingkungan ini, yang dapat menimbulkan ekspresi
genetik dari pelepas atau reseptor protein pada leukosit atau yang sejenis di mana
sitokin (molekul komunikasi antar sel imun) akan berikatan dengan reseptornya. Dan
hubungan ini tidak secara langsung; fungsi imun sendiri dapat mengubah proses
neurologi, fisiologi dan, sudah tentu, proses perilaku. Perilaku, dihasilkan dari
permainan dinamis dari tingkat hormonal dan hubungan saraf, dapat memicu fungsi
imun disamping juga dapat dipicu oleh sel imun (gambar 1)

Externa stimuli

Neurological Physiological Immune


Mental state
activity state function

Gambar 1. Kerangka kerja konseptual


(diadaptasi dari Duncan Smith-Rohrberg, 2000).
Stres dapat memberikan efek imunosupresi, ini tidak mengherankan bahwa eksis
hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA), komponen perifer yang penting dalam respons
stres, sangat berdampak pada rangsangan saraf terhadap sistem imun. Hormon yang
dikeluarkan oleh hipotalamus dan pituitari berpengaruh pada aksi dari beberapa organ
endokrin, seperti organ seks, kelenjar adrenal, dan kelenjar tiroid. Hubungan ini
diperantarai oleh neurohormon sekresi nukleus hipotalamik di dalam darah pada
portal hipopiseal, di mana mereka mempengaruhi kelenjar pituitari posterior, dan
kemudian mengatur kontrol sekres hormonal oleh kelenjar pituitari anterior, yang
akan mengubah efek organ target. Beberapa hormon pituitari yang dipengaruhi
hipotalamus dapat mempengaruhi fungsi imun, seperti GRTH, prolaktin, TSH, FSH,
dan LH, dan secara tidak langsung, model linier dari interaksi neuroimun hampir
selalu terlalu disederhanakan. Bagaimanapun, perhatian utama pada aksi dari
hipotalamus dan pituitari terhadap kelenjar adrenal (HPA), sistem ini merupakan
dasar yang penting bagi fungsi imun (gambar 2).
Cognitive emotional assesment

Incoming stimuli
stressor
CRF Corticotropin
releasing factor
ACTH
Adenocorticotrophin
hormone

Pituitary gland hypotalamus

Associated physiological Noradrenergics fibers


changes (peripheral stress respons)

corticosteroids Adrenal
cortex

Associated physiological
changes

Gambar 2: “Hypothalamus-Pituitary-Adrenal Axis“


(diadaptasi dari Pennisi, 1997)
HPA aksis dan sistem simpatis sistemik dan adrenomedular merupakan lingkaran
perifer dari sistem stres, yang fungsi utamanya untuk memelihara homeostasis
berkaitan dengan stres. Komponen sentral dari sistem ini berada di hipotalamus dan
batang Otak. Sistem stress aktif saat tubuh beristirahat, menanggapi sirkadian yang
berbedabeda, neurosensori, tekanan darah, dan sinyal limbik. Sinyal ini termasuk
sitokin yang diproduksi oleh imunitas yang dipacu reaksi radang, seperti faktor α
tumor nekrosis, interleukin-1, dan interleukin-6. Aktifasi dari sistem stres
meningkatkan rangsangan, peningkatan reflek motorik, meningkatkan kewaspadaan
dan fungsi kognitif, menurunkan hasrat dan rangsangan seksual, dan meningkatkan
toleransi terhadap nyeri. Sistem aktif ini juga mengubah fungsi kardiovaskuler dan
metabolisme antara dan menghambat imunitas terhadap radang.
Gambar 3. Komponen utama dari Sistem Stress Sentral dan perifer.

Gambar 4. Interaksi Glucocorticoids dan Cytokines (diadaptasi dari Munck & Gyre,
1981 ).
Gambar 5. Interaksi antara Sitokon Inflamatori dan efek dari glukokortikoid dan
katekolamin (diadaptasi dari Chrousous, 1995).

Gambar 6. Interaksi antara Sistem stress dan Inflamasi yang dimediasi oleh imun
(diadaptasi dari Chrousous, 1995).
B. Panduan Terapi CLP
Terapi psikiatri dan manfaat konsultan psikiater saat ini berkaitan dengan
kesediaan pasien, keakutan pasien, faktor resiko, dan ketersediaan sumber daya
setempat. Psikiatri C-L biasanya menggunakan terapi biologis dan psikoterapetik
yang telah menunjukkan kemanjuran (Westphal J.R dan Freeman A.M, 2000).
1. Terapi Biologis
a. Prinsip dalam terapi.
Prinsip terapi dalam CLP adalah (Jachana, Lane, dan Gelenberg. 1996) :
1) ingat bahwa menghentikan pengobatan sering merupakan tindakan yang
menguntungkan.
2) Bila mungkin, perlu menghindari meresepkan "pengobatan bila perlu".
3) Jika ada kebutuhan memberikan dosis "pengobatan bila perlu”, pantau frekuensi
penggunaan untuk menentukan tingkat dosis yang tepat.
4) Penting untuk menggunakan dosis minimum dalam mempertahankan respons yang
diinginkan.
5) Mengganti satu obat hanya dalam satu waktu.
6) Bila mungkin, gunakan hanya satu obat untuk mengobati gangguan atau gejala
pada pasien.
7) Jaga campuran obat tetap sederhana.
8) Jangan memberikan pengobatan profilaksis kecuali ada alasan yang rasional.
9) Gunakan obat yang telah terbukti kemanjurannya.
10) ingat bahwa kadar obat dalam serum hanya salah satu indikator dari efek, bukan
merupakan bukti dari kemanjuran atau toksisitas.
11) Ketahui bahwa obat generik lebih murah, tetapi bioavailibilitasnya dapat rendah.
12) Pertimbangkan bahwa setiap pasien menampilkan suatu pengalaman baru.
Salah satu pengobatan psikofarmakologi yang paling bermanfaat yang dapat
diberikan seorang konsultan CLP adalah merekomendasikan penghentian pengobatan.
Penggunaan kombinasi psikotropik yang tidak sesuai dengan pengobatan yang lain
memberikan efek samping yang tidak diinginkan yang dapat memberikan efek
merugikan pada pasien secara fisik dan mental. Pasien yang secara medis sakit sangat
rentan pada efek samping ini dan sering menerima pengobatan yang saling
berinteraksi, jadi berpotensi menimbulkan efek samping (Jachana, Lane, .dan
Gelenberg, 1996).
Efek pengobatan jangka pendek dan panjang sering saling tercampur, seperti efek
jangka pendek sedatif dan jangka panjang antipsikotik dari pengobatan neuroleptik.
Jadi, untuk penilaian respons yang adekuat, sangat berguna untuk mengurangi jumlah
variasi obat pada situasi tertentu, seperti menghentikan atau menghindari penggunaan
neuroleptik pada pasien dengan demensia agitasi. Jika mungkin, dosis bila perlu
sebaiknya dihindari sehingga respon pasien dapat diatur, ,dosis harian dapat
ditetapkan. Kegagalan untuk melakukan ini dapat menghasilkan kebingungan dan
kekacauan siklus dosis Yang bila perlu dan yang tetap. Bila dibutuhkan dosis bila
perlu, frekuensi dosis sebaiknya dipantau untuk menentukan jumlah pengobatan
tambahan yang dibutuhkan (lachana, Lane, dan Gelenberg, 1996).
Manajemen pengobatan yang efektif juga menerapkan penggunaan dosis
minimum dari obat penting untuk mempertahankan respons yang diinginkan.
Mengetahui pola umum dari respons dan memantau gejala individual pasien
membantu untuk memastikan peresepan dosis yang sesuai untuk mempertahankan
respons yang lengkap. Keefektifan dari pengubahan pengobatan sering dapat
ditentukan dengan baik dengan mengubah satu obat dalam satu waktu. Idealnya,
dokter sebaiknya menggunakan satu macam obat untuk mengobati pasien dengan
gejala atau gangguan tertentu. Pada beberapa pasien, seperti dengan depresi berulang,
perlu merencanakan kombinasi obat dengan sangat hati-hati. Hampir tidak perlu
untuk menggunakan lebih dari satu obat dari golongan yang sama dalam satu waktu.
Disamping itu, jumlah obat efektif yang minimum seharusnya diberikan sehingga
obat tambahan tidak dibutuhkan untuk mengatur efek samping. Sebagai contoh,
menambahkan benzotropin untuk mencegah efek ekstrapiramidal dari neuroleptik
juga dapat menimbulkan toksisitas. Situasi tertentu perlu diwaspadai dalam pemberian
propilaksi (contoh, benzotropin) bila tidak ada gejala ekstrapiramidal; sebagai contoh,
untuk menghindari reaksi distonik yang menakutkan setelah pemberian awal
antipsikotik pada pasien yang gelisah yang mengalami episode awal dari skizoprenia.
Penggunaan kombinasi obat harus dihindari karena tidak dapat mengkontrol dosis
individual dari kandungan obat (jachana, Lane. dan Gelenberg, 1996).
Dalam memilih obat dari banyak yang tersedia, sering sangat membantu untuk
menggunakan apa yang sebelumnya telah terbukti berguna secara individu. Obat
generik dapat memberikan biaya yang minimal, bioavailibilitasnya dapat rendah.
Absorbsi yang bervariasi dari lithium lepas lambat dapat memberikan masalah pada
beberapa pasien. Sangat penting, informasi yang tersedia tentang respon khusus dari
semua pengobatan berdasarkan pada analisis statistik, bukan berdasarkan pengalaman
klinis pada pasien individu. Setiap pasien adalah pengalaman baru! (Jachana, Lane,
dan Gelenberg, 1996).
b. Prinsip dalam pemilihan obat.
Prinsip dalam pemilihan obat (Malt, 2006) adalah :
1) Efek pada masalah klinis
2) Efek pada penyakit yang mendasari.
3) implikasi gambaran efek samping
4) interaksi dengan obat "somatik".
5) Pengobatan oral atau parenteral.
6) Fungsi hati atau ginjal dan dosis.
7) Kesesuaian biologis?
2. Psikoterapi
Psikoterapi didefinisikan dengan istilah umum sebagai penggunaan bahasa verbal
untuk memberikan pengaruh yang menguntungkan pada status mental dan emosi
seseorang. Psikoterapi sendiri dalam psikiatri adalah proses dimana individu (pasien)
turut serta dalam pertemuan terstruktur dan berkesinambungan dengan seseorang
yang memiliki sertifikat, telah mengikuti pelatihan, mempunyai ijin, dan memiliki
organisasi etika serta berkualifikasi untuk mempengaruhi status mental orang lain.
Tidak ada perbedaan fundamental antara pasien dan terapis selain pelatihan yang
diterima terapis sesuai tugasnya. Poin disini adalah psikoterapis tidak lebih superior
dibandingkan pasiennya. Pasien dapat berpikiran seperti itu tetapi terapis harus
menghindarinya (Nash, 2000).
Bentuk utama psikoterapi (Nash, 2000) :
a. Psikoterapi dinamik.
b. Psikoterapi humanistik-eksperiental.
c. Psikoterapi kognitif-behavioral.
d. Psikoterapi eklitik atau integrasi.
Psikoterapi pada pasien yang menderita penyakit medis harus menyesuaikan
dengan kebutuhan pasien (psiko-edukasi, relaksasi, hipnosis, imaginasi, CBT, terapi
ekspresif-suportif), bila dibutuhkan kombinasikan teknik yang ada baik terapi
individu maupun terapi kelompok. Libatkan orang-orang yang sangat berpengaruh
bagi pasien (pasangannya atau keluarga) (Sollner, 2006).
Perlu dilakukan penyesuaian teknik psikoterapi pada pasien dengan penyakit
medis (Sollner, 2006), antara lain:
a. Lebih berpusat pada suportif bukan pada konflik, membangun hubungan terapeutik
yang memberikan rasa aman.
b. Memperkuat sumber daya yang telah ada pada pasien.
c. Memfasilitasi luapan emosi pasien.
d. Lebih terstruktur dalam membuat kerangka terapi yang aman.
e. Pusatkan pada jangka pendek (perspektif waktu yang pendek).
f. Perkuat dukungan sosial (yang menguntungkan)
g. Libatkan orang-orang yang berpengaruh besar pada pasien
h. Berikan dukungan pada terapi medisnya.
Dalam psikoterapi harus mempertimbangkan penyesuaian pasien terhadap
penyakitnya.

Gambar 7. Penyesuaian Pasien dan penyakit


Terapi Kognitif-perilaku (CBT) pada pasien dengan penyakit medis bertujuan :
a. Mengurangi gejala.
b. Mengidentifikasi dan mengubah pikiran dan perasaan yang berperan dalam strategi
koping yang maladaptif.
Metode yang dipergunakan:
a. Restrukturisasi kognitif.
b. Menghilangkan pikiran yang tidak benar dengan interfensi perilaku yang sesuai.
c. Menghindarkan dari pikiran dan perasaan yang membuat tidak nyaman.
d. Relaksasi atau hipnosis.
e. Manajemen stres.
Pendekatan psikodinamik dengan terapi suportif-ekspresif dengan tujuan:
a. Mengurangi gejala.
b. Memperkuat dukungan sosial.
c. Mengembangkan strategi kaping yang adekuat.
d. Menghilangkan ketakutan tentang kematian dan sekarat.
e. Mengembangkan perasaan yang koheren. . '
Metoda :
a. Membangun hubungan terapeutik yang memberikan rasa aman (fungsi memberikan
pegangan, Winncott).
b. Memberikan kesempatan mengekspresikan perasaan.
c. Mengkombinasikan teknik suportif dan menghibur.
d. Membicarakan kebesaran liwa “toleransi yang besar didalam diri” (Freud).
e. Mendefinisikan prioritas hidup.
Perilaku dan kebutuhan psikologis pada pasien dengan Penyakit medis
Perilaku
 Cemas, kehilangan control diri, hilang pengharapan
 Kehilangan integritas tubuh, kecacatan, depresi
 Ketergantungan
 Ketakutan diabaikan, ketakutan kematian
 Kehilangan identitas
 Makna khusus dari penyakitnya
Kebutuhan
 Mengembalikan control dan kepercayaan diri
 Memberi kesempatan untuk berduka, mengembangkan penghargaan diri yang
baru
 Menjaga kemandirian
 Menjaga hubungan dengan orang lain
 Memperkuat identitas diri (ego)
 Memperkuat perasaan yang koheren
3. Hubungan Psikofarmaka dan Psikoterapi
Perlu diingat bahwa psikofarmaka mempunyai bagian yang berbeda dalam
efek dibandingkan psikoterapi dan mempunyai jalur yang berbeda. Sebagai
contoh, perubahan pada metabolisme glukosa regional (fluorin-18-ditandai
deoksiglukosa pada PET) pada pasien yang mendapat CBT (gambar atas) dan
pasien yang mendapat paroksetin (gambar bawah) sebagai pengobatan.
Peningkatan metabolisme ditunjukkan warna jingga dan penurunan warna biru
(Malt, 2006).
Hubungan antara daerah yang dipengaruhi Kognitif-behavioral terapi (CBT)
dan respons terhadap pengobatan.
Psikoterapi dan psikofarmaka efektif, tetapi besarnya efek yang diberikan
tidak sangat luar biasa (tidak ada panasea) (Malt, 2006).
d. Peran Treatment CLP
Terapi dalam CLP dapat disimpulkan sebagai integrasi dalam pengobatan dimana
pasien sebagai pusat dalam manajemen penyakit menggunakan kolaborasi antar
profesional dengan memperhatikan kompleksitas pasien secara sistem organik dan
elemen psikososial dan kompleksitas jumlah disiplin ilmu dan tipe pengobatan yang
terlibat. Kolaborasi antar profesional meliputi kolaborasi antar lembaga, kolaborasi
antar tim kerja dari berbagai disiplin ilmu, tim kerja dari sesama disiplin ilmu (Smith
6, 2006).
E. DM Tipe 2, Hipertensi, Obese, Chronic Heart Failure, dan Post Stroke
PRESENTASl KASUS CLP
Laporan Kasus. Tn. Su, Dengan DM Tipe 2, Hipertensi, obese, Chronic Heart
Failure, dan Post Stroke
Identitas:
Nama :Tn. Su
Umur : 67 tahun
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pendidikan : D3
Status : Menikah
Pekerjaan : Pensiunan PNS
Alamat : Jaten, Karanganyar
Biaya Pengobatan : Askes
Pasien dirujuk dari bagian penyakit dalam (15/3/2012) ke bagian psikiatri untuk
pengobatan depresinya. Tn. Su, didiagnosis menderita beberapa jenis penyakit, yaitu:
(1) Diabetes melitus tipe 2, (2) Hipertensi grade 1, (3) Obese, (4) CHF-NYHA Ill, (5)
Pasca stroke, (6) Anemia ringan.
Penyakit diabetes dan hipertensi sudah diderita pasien/diketahui sejak tahun 2000,
pasien berobat teratur di RSDM dan minum obat secara teratur. Pasien tidak bisa
menjalani pola makan yang sehat, dan pasien juga jarang melakukan aktifitas
fisik/olahraga. Pada tahun 2003, pasien mendapat serangan stroke pertama hanya 1
hari saja, kemudian pulih seperti semula. Pada tahun 2008, pasien mendapat serangan
stroke yang ke-2 (hemiplegia sinistra), rawat inap 7 hari dan pulih setelah 1 tahun.
Pada Oktober 2010, pasien mendapat serangan stroke yang ketiga, hemiplegia
sinistra, tetapi pasien masih bisa beraktifitas dan tidak mengalami afasia. Pada tahun
2011, pasien didiagnosis menderita gagal jantung/CHF, saat ini NYHA III
Keluhan yang disampaikan pasien dan keluarga yaitu: sesak nafas jika
beraktifitas, dan berkurang jika istirahat, sering terbangun malam hari karena sesak
nafas, lebih nyaman tidur dengan 3 bantal, kadang bengkak seluruh badan, bengkak
bertambah bila aktifitas dan berkurang jika istirahat, dan mudah lelah.
Pada saat masuk rumah sakit pasien mengeluh badan lemas keringat dingin dan
gelisah, sebelumnya pasien minum obat antidiabetes sebelum makan dan setelah
minum obat juga tidak makan. Pasien dirawat di bagian penyakit dalam karena
hipoglikemia.
Pasien mendapat obat dari bagian penyakit dalam:
 Bed rest tidak total
 Diet DM, 1700 kkal
 D10% sampai GDS>200 mg/dl
 NaCl 0.9% jika GDS>200 mg/dl
 Furosemid 1 amp/12 jam
 Captopril 3x25 mg
 Ceftriaxon inj 2 gr/24 jam
 Ranitidin 50 mg/12 jam
 Amdixal 1x10 mg
Mendapat obat dari bagian Neurologi:
 Aspilet 1x80 mg
 Mecobalamin 2x500 mg
 Alprazolam 1x0,5 mg
Pemeriksaan tanggal 16 Maret 2012, Tn. Su, mengatakan ia merasa sedih dan tak
berdaya karena penyakitnya, nafsu makan menurun, tidak bisa tidur, tidak bertenaga,
dan sesak nafas. Pasien juga mengatakan ia merasa sedih karena banyak makanan
yang harus dihindari.
Pasien juga sering kecewa dengan istri karena sering memarahinya jika kepingin
makan makanan yang disenanginya. Istri selalu mengatakan 'pingin sembuh atau
tidak' dan biasanya pasien menjawab pingin mati', hal ini sering terjadi. Menurut istri
pasien kalau makan 'semau gue'.
Menurut istri sejak pensiun tahun 2000, suami mengalami impotensi/disfungsi
ereksi, sejak saat itu pasien sering marah, mudah tersinggung terutama dengan teman-
temannya. Pasien sering mengeluhkan tentang impotensinya dan selalu mengajak istri
untuk mengobati impotensinya, tapi tidak pernah berhasil, dan dari situlah pasien
ketahuan mengidap hipertensi dan diabetes.

TINJAUAN PUSTAKA
WHO memproyeksikan menjelang tahun 2025 lebih dari 5% populasi dunia, yaitu
300 juta orang akan menderita diabetes. Pasien yang menderita diabetes tipe 2,
mempunyai risiko 2-4 kali lebih besar kematian yang disebabkan oleh penyakit
kardiovaskular dibanding pasien tanpa diabetes. Penyebab paling umum kematian
pada pasien diabetes adalah penyakit jantung. Sebagai tambahan, penyakit
komorbiditas yang umum pada pasien diabetes yaitu: penyakit vaskular perifer, ESRD
(end-stage renal disease), kebutaan dan amputasi (Grossman et al., 2008).
Hipertensi diidentifikasi sebagai faktor risiko major untuk perkembangan
diabetes. Pasien hipertensi mempunyai risiko 2-3 kali lebih tinggi berkembangnya
diabetes dibanding dengan pasien yang tekanan darahnya normal. Hipertensi sendiri,
merupakan faktor risiko yang potensial pada morbiditas dan mortalitas penyakit
kardiovaskular termasuk gagal jantung kronis/CHF (Grossman et al., 2008).
Hipertensi esensial dan diabetes melitus secara bersama-sama mempengaruhi
organ target major yang sama. Persamaan dari penyakit organ target
hipertensi/diabetes adalah vascular tree. Hipertropi ventrikel kiri dan penyakit arteri
koroner sangat umum pada pasien diabetic hypertensive dibanding dengan pasien-
pasien yang menderita hipertensi atau diabetes secara sendiri-sendiri. Kehadiran yang
bersamaan dari hipertensi dan diabetes secara bersamaan mempercepat penurunan
fungsi ginjal, dan perkembangan retinopati diabetes dan perkembangan penyakit
serebral (stroke) (Takahashi et al., 2001; Grossman et al., 2008).
Terapi. Menurunkan tekanan darah kurang dari 130/80 mmHg adalah tujuan
utama dalam penatalaksanaan pasien hypertensive diabetic. Beta-blockers dilaporkan
mempunyai pengaruh yang memperburuk profil seluruh faktor risiko pada pasien
diabetes. Sebaliknya, calcium antagonists, ACE inhibitors dan angiotensin receptor
blockers, dilaporkan bersifat netral atau menguntungkan yang berkenan dengan profil
faktor risiko metabolik secara keseluruhan. Terapi kombinasi biasanya diperlukan
untuk mencapai goal tekanan darah pada pasien diabetes. Penambahan aldosteron
antagonits dapat menguntungkan pasien dengan hipertensi resisten dan level serum
potasium yang rendah. Kontrol yang agresif tekanan darah, level glukosa dan
kolesterol diusahakan untuk mengurangi risiko kardiovaskular pada pasien diabetic
hypertensive (Grossman et al., 2008).
Kehadiran yang bersamaan dari hipertensi dan diabetes secara bersamaan
mempercepat perkembangan penyakit serebral (stroke). Pasien yang menderita stroke
dan mempunyai tekanan darah diastolik lebih besar dari 105 mmHg, pemberian
antihipertensi secara definitif membantu mencegah stroke yang kedua. Meskipun
demikian, karena autoregulasi aliran darah cerebral terganggu segera setelah stroke,
pengobatan antihipertensi seharusnya dimulai hanya selama fase penyembuhan.
Penurunan tekanan darah yang mendadak harus dihindari, sehingga obat yang
menyebabkan hipotensi postural seharusnya tidak digunakan.
Pencegahan. Pencegahan primer terjadinya penyakit kardiovaskular dan stroke,
yang berhubungan dengan hipertensi dan diabetes melitus, yaitu: (1) menghentikan
kebiasaan merokok; (2) mengontrol tekanan darah; (3) dietary intake, yaitu dengan
pola makan yang sehat; (3) kosumsi aspirin dosis rendah pada pasien dengan risiko
tinggi penyakit jantung koroner, tidak diberikan pada pasien dengan faktor risiko
stroke dan perdarahan. gastrointestinal; (4) manajemen lemak darah; (5) melakukan
aktifitas fisik, paling sedikit 30 menit dengan intensitas moderat, 3-5 kali sehari; (6)
manajemen berat badan, yaitu pencapaian berat badan yang ideal; (7) manajemen
diabetes, yaitu: GDP < 110 mg/dl; HbA1c < 7% (Pearson et al., 2002).
Hubungan Depresi dan Penyakit Medis. Banyak studi mendukung bahwa depresi
mempunyai pengaruh pada kesehatan fisik. Laporan baru-baru ini menemukan bahwa
gejala depresi berhubungan dengan peningkatan mortalitas secara signifikan pada
kelompok 3196 orang lansia Amerika keturunan Jepang di Hawai (Takeshita et al,
2002; cit Brown et al., 2004).
Manifestasi fisik dari depresi berhubungan dengan penyakit kardiovaskular,
termasuk gagal jantung kronis/CHF, hipertensi, stroke, diabetes, dan lain-lain.
Gangguan yang banyak mendapat perhatian yang berhubungan dengan depresi adalah
sindroma metabolik yang meliputi: disregulasi insulin dan metabolisme glukosa,
obesitas abdominal, hiperlipidemia, dan hipertensi. Sindroma metabolik adalah faktor
risiko untuk perkembangan diabetes melitus tipe 2, dan penyakit kardiovaskular.
Meskipun penyebabnya multifaktorial termasuk diet dan gaya hidup sedentary,
abnormalitas aksis HPA telah dilaporkan pada pasien dengan sindroma metabolik
(Brunner et al., 2002; cit Brown et ai.,2004).
Penelitian psikiatri modern bahkan telah mengungkapkan bahwa banyak
gangguan medis umum yang erat kaitannya dengan gangguan psikologis, sekaligus
juga gangguan psikologis bisa memperberat sakit medisnya saat ini. Salah satu
contohnya kondisi depresi pada pasien diabetes melitus atau kencing manis. Depresi
busa membuat pasien kencing manis tidak mematuhi pengobatan, tidak menjalankan
diet dan enggan berolahraga. Penelitian terakhir bahkan menjelaskan bahwa pasien
dengan gangguan depresi lebih mudah mengalami kencing manis disebabkan karena
pengaruh sistem endokrin (Bogner et al., 2012)
Diabetes melitus dan hipertensi dan depresi mempunyai hubungan timbal balik,
demikian juga dengan disfungsi ereksi, disamping disebabkan oleh faktor organik,
dapat juga disebabkan atau diperberat oleh depresi dan disfungsi ereksi sendiri dapat
menyebabkan atau memperberat depresi serta memperberat penyakit medis yang
mendasarinya. Hubungan timbal balik ini seperti telur dan ayam, tidak diketahui yang
mana terjadi lebih dulu.
Ada hubungan timbal balik antara obese dan depresi. Individu obese mungkin
merasa lebih terisolasi dan sering mengalami stigma yang berhubungan dengan berat
badan, dan konsekuensinya mempunyai self esteem yang rendah, dan perasaan
bersalah. Obesitas berhubungan dengan ketidak beruntungan secara sosial ekonomi
dan aktivitas fisik yang rendah, keduanya merupakan prediktor yang kuat untuk
depresi. Demikian juga depresi sendiri dan obat antidepresan dapat disertai dengan
peningkatan selera makan dan peningkatan berat badan (Kivimaki et al., 2010).
Depresi pada stroke terjadi karena dua faktor. Faktor yang pertama adalah pada
penderita stroke terjadi sumbatan atau pecahnya pembuluh darah di otak yang
menyebabkan jalur komunikasi ke daerah otak menjadi terhambat. Selain adanya
bagian otak yang mengatur pusat perasaan yang terkena, depresi pada pasien stroke
juga disebabkan adanya ketidakmampuan pasien dalam melakukan sesuatu yang
biasanya dikerjakan sebelum terkena stroke. Hal ini terkadang menyebabkan pasien
menjadi merasa dirinya tidak berguna lagi karena banyaknya keterbatasan yang ada
dalam diri pasien akibat penyakitnya itu. Depresi lebih sering terjadi pada pasien non
fluent afasia dibanding yang fluent afasia. Walaupun secara sebab akibat tidak ada
hubungan antara depresi dan afasia. Adanya hubungan antara non fluent afasia dan
depresi pascastroke dapat dijelaskan dengan bukti adanya lesi otak yang
menyebabkan non fluent afasia juga mungkin menyebabkan depresi. Hal berbeda
disebutkan oleh kepustakaan lain bahwa pasien stroke dengan afasia ringan menderita
depresi lebih sering dibandingkan pasien stroke dengan afasia global. Hal ini
disebabkan pasien dengan afasia ringan mempunyai kesadaran yang tinggi terhadap
ketidak berdayaannya.
Tidak mudah mendiagnosis depresi pada penderita pascastroke, terutama jika
pasien tersebut mengalami afasia. Adanya ekspresi kesedihan akibat kelemahan otot
wajah, apatis yang disebabkan adanya gangguan pada otak bagian kanan, akan
menyesatkan diagnosis depresi pada stroke (Andri,2012).
Demikian juga halnya dengan penyakit kardiovaskular, terdapat hubungan dua
arah antara gangguan mood seperti depresi dan penyakit Kardiovaskuler, contoh gagal
jantung kronis/CHF. Pemahaman tentang hubungan antara stres psikososial penyebab
gangguan mood dan penyakit kardiovaskuler seperti gagal jantung dapat
mengembangkan terapi yang lebih baik dengan cara intervensi
psikososial/psikoterapi, memodifikasi kebiasaan dan gaya hidup berisiko tinggi,
disamping mengurangi faktor risiko yang telah diketahui dan terapi dengan obat-
obatan (Lawrence, 1998; cit Grippo et al., 2009).
Sayangnya, adanya gangguan jiwa pada kondisi medis umum seringkali tidak
terdeteksi dan luput dari pengamatan. Hal ini mungkin disebabkan karena dokter yang
merawat lebih fokus pada kondisi medis fisiknya dan melupakan kalau pasien juga
merupakan individu yang mempunyai sisi psikologis. Kondisi gangguan jiwa yang
tidak tertangani pada pasien medis umum akan menyebabkan biaya semakin besar.
Hal ini disebabkan selain karena memperpanjang masa rawat inap, kebutuhan akan
pelayanan medis pada pasien dengan gangguan kesehatan jiwa juga meningkat.
Kondisi ini semakin ditambah apabila kondisi itu tidak terdeteksi dengan segera dan
diobati secara efektif (Andri, 2011).
Skrinirig Depresi. Karena prevalensi depresi yang tinggi pada pasien-pasien
penyakit kronis seperti diabetes melitus dan CHF, serta hubungannya dengan outcome
yang buruk, dan menurunkan kualitas hidup, sehingga dianjurkan skrining depresi
diintegrasikan ke dalam perawatan pasien secara rutin. Skrining dapat dilakukan di
klinik rawat jalan atau maupun pada saat dirawat di rumah sakit. Skrining dapat
dilakukan dengan self report questionaires, yang dapat diselesaikan dalam beberapa
menit, misal: BDI (21 item). QIDS-SR (16 item); CESD (20 item); PHQ (9 item).

lNTERVENSI DAN PENATALAKSANAAN TERHADAP TN SU .


intervensi
Intervensi adalah suatu langkah antara diagnosis dan penerimaan pasien terhadap
pengobatan. Keterampilan komunikasi sangat penting dalam hubungan-antara
mengenali dan mendiagnosis suatu gangguan dan mengikutsertakan pasien dalam
usaha-usaha terstruktur untuk mengobati gangguan tersebut. Jadi intervensi adalah
mempersiapkan pasien untuk pengobatan psikiatri. Keterampilan komunikasi ini
dapat diringkas dengan akronim FRAMES, penting untuk intervensi singkat yang
efektif.
FRAMES, yaitu :
F : Feedback on the patient's risk or impairment
R : Responsibility for cha nge belongs to the patient
A : Advice to change should be specific and nonambiguous
M : Menu of alternative strategies
E : Empathetic rather than confrontational counseling style
S : Self-efficacy: a positive view of patient’s ability to change and the treatments
efficacy

PENATALAKSANAAN
Pada pasien ini, untuk diabetes melitus tipe 2, hipertensi, CHF, dan gangguan lain
yang mendasari atau komorbiditasnya, dari bagian penyakit dalam telah mendapat
terapi yang adekuat. Begitu juga untuk terapi post stroke, dari bagian neurologi telah
mendapat terapi yang adekuat. Namun pemberian apllprazolam, amlodipin, dan
ranitidin dapat memperberat depresi. Sehingga dapat dipertimbangkan kembali
pemberiannya (Public Citizen's Health Research Group, 2000-2003). Demikian juga
pemberian furosemid, captopril, dan ranitidin dapat memperberat disfungsi ereksi
(Lenning et al., 2011).
Namun demikian perlu dipertimbangkan antara efek terapi dan efek yang
merugikan. Untuk itu komunikasi dengan bagian penyakit dalam dan neurologi akan
dilakukan, apakah ada alternatif obat lain yang mempunyai efek terapi yang sama dan
tidak/sedikit memiliki efek samping depresi atau disfungsi ereksi serta terfangkau
oleh pasien, seperti obat-obat yang tertera pada lampiran pada akhir laporan kasus ini.
Terapi Psikofarmaka. Pada pasien ini, diberikan SSRI, yaitu fluoxetine 1 x 10
mg. Observasi klinis mengindikasikan bahwa SSRls, berhubungan dengan risiko yang
lebih rendah pada kardiovaskuler dibanding obat bukan SSRI. SSRl dapat
memperburuk disfungsi ereksi, tapi efek samping ini bersifat individual, dan jika
memperburuk dapat diswitching dengan SSRI yang lain (escitalopram, paroxetine)
atau diganti dengan antidepresan yang mempunyai efek samping yang lebih rendah
menyebabkan disfungsi ereksi, seperti bupropion (Pozuelo et al., 2099). Studi RCT,
menunjukkan bahwa depresi poststroke berespon terhadap pengobatan antidepresan
dan pengobatan dengan antidepresan memperbaiki pemulihan fungsionai dan kognitif.
Lagipula, pengobatan anti depresan yang lebih awal mencegah kejadian depresi onset
lama atau memodifikasi korelasi patolisiologinya untuk memberikan outcome yang
lebih baik (Jorge et al., 2003). Penggunaan antidepresan, terutama SSRI - paroxetine
dan trisiklik-amitriptilin, dengan dosis harian moderat sampai tinggi untuk waktu
lebih 2 tahun berhubungan dengan peningkatan risiko diabetes. Penggunaan
antidepresan untuk durasi yang lebih pendek, dengan dosis harian yang lebih rendah,
tidak berhubungan dengan peningkatan risiko diabetes.
Terapi Nonfarmakologis. Pertama-tama diberikan psikoedukasi baik pada pasien
maupun keluarga yaitu memberikan penjelasan/informasi tentang penyakit pasien dan
gejala-gejala psikiatrik yang menyertainya. Juga menjelaskan tentang pentingnya
ketaatan minum obat, memperhatikan efek obat dan efek samping yang terjadi dan
kontrol secara teratur. Disamping itu memberikan penjelasan bagaimana memperbaiki
keterampilan komunikasi dalam keluarga baik verbal maupun non verbal.
Psikoedukasi juga menjelaskan kepada pasien bagaimana cara manajemen gejala.
Pasien dan keluarganya mungkin saja kurang dalam pemahaman terhadap
diagnosa depresi, mekanisme psikososial yang mendasarinya serta hubungan di antara
depresi dan penyakit pasien. Oleh karena itu penting bagi pasien dan keluarganya
memahami penyebab terjadinya depresi yang umum pada pasien dengan penyakit
seperti yang dialami pasien. Pasien dan keluarganya juga membutuhkan edukasi
tentang pilihan terapi depresi, efek samping, lamanya pengobatan yang memberikan
efek pengurangan gejala depresi dan perbaikan kualitas hidup yang menyertai
perbaikan depresi.
Disamping dukungan sosial yang diberikan oleh keluarga, terapis juga berperan
mengkomunikasikan dengan perawat maupun dokter dalam tim untuk memberikan
dukungan sosial pada pasien, ini akan membantu menurunkan gejala depresi dan
memperbaiki kualitas hidup pasien. Untuk mendapatkan dukungan sosial yang cukup
pasien dapat juga disertakan dalam kelompok dukungan yang menderita penyakit
serupa.
Telah banyak bukti bahwa intervensi psikososial/psikoterapi efektif dalam
mengurangi distres psikologis yang pada akhirnya memperbaiki hasil terapi pada
pasien penyakit kronis termasuk diabetes, penyakit kardivaskuler, yaitu perbaikan
kualitas hidup, penurunan angka kekambuhan (hospitalisasi) dan penurunan angka
kematian. Pada pasien ini akan diberikan psikoterapi eklektik.

F. Penatalaksanaan Depresi Post Stroke


Latar Belakang
Pada neuropsikiatri umumnya depresi Pasca stroke (DPS) dianggap paling sering
dan penting akibat dari stroke. Menurut data yang diperoleh dari penelitian terhadap
pasien rawat di rumah sakit dengan stroke akut atau terapi rehabilitasi yang
melibatkan lebih dari 2700 pasien, 21,6% memenuhi kriteria Diagnostik dan Statistik
Manual of Mental Disorders (DSM-IV) untuk gangguan suasana hati karena kondisi
medis umum (misalnya, stroke) dengan gangguan episode depresi mayor.
Prevalensi bervariasi dari waktu ke waktu dengan puncak 3 sampai 6 bulan
setelah stroke, tetapi tingkat prevalensi rata-rata stabil pada sekitar 30% sampai 35%
selama dua tahun pertama setelah stroke. Studi longitudinal menunjukkan bahwa
sekita 40% pasien pasca-stroke yang tidak depresi selama perawatan stroke akut akan
mengembangkan depresi pada beberapa waktu selama 2 tahun pertama setelah stroke.
Dengan demikian, depresi pasca stroke dapat hadir setiap saat selama beberapa tahun
pertama setelah stroke (Roninson RG, 2006).
Sejumlah faktor risiko untuk depresi setelah stroke telah diidentifikasi, termasuk
lesi di frontal kiri atau lesi ganglia basal kiri, jenis kelamin perempuan, riwayat
keluarga dengan gangguan mood, penurunan yang lebih besar dalam aktivitas hidup
sehari-hari, miskin dukungan sosial. Morris et al. menunjukkan bahwa faktor-faktor
risiko bersifat kumulatif, sehingga pasien dengan akut lesi frontal kiri, ada riwayat
depresi, gangguan berat aktivitas hidup sehari-hari (ADL), dan miskin dukungan
sosial memiliki resiko sangat tinggi untuk depresi pasca stroke
(Moris,Robinsonetal,1992). Dari enam penelitian yang meneliti efek dari depresi
pasca stroke pada pemulihan ADL, lima ditemukan bahwa pasien dengan DPS dalam
tiga bulan pertama setelah stroke memiliki pemulihan ADL lebih buruk hinga dua
tahun setelah stroke dibandingkan dengan pasien serupa tanpa DPS. Selain itu, DPS
telah terbukti mengakibatkan kerusakan kognitif lebih besar, rawat inap, kunjungan
rawat jalan yang lebih lama setelah troke, stres tinggi pada pengasuh dan meningkat
risiko bunuh diri juga telah dicatat. Secara signifikan DPS memiliki resiko lebih
tinggi berjangka pendek (dua belas dan dua puluh empat bulan) dan jangka panjang
(enam dan sepuluh tahun) kematian (Astron, Adolfson et al, 2000).
Diagnosa
Pedoman praktek untuk perawatan pasien pasca stroke bahwa semua pasien harus
dinilai untuk adanya depresi. Namun, beberapa faktor dapat mempersulit diagnosis
depresi setelah stroke: pertama, gangguan bahasa karena tingkat penurunan kesadaran
atau lancar berbahasa, afasia dengan defisit pemahaman. Pasien dengan ganguan
penurunan sedang dalam pemahaman tidak dapat diandalkan didiagnosis dengan
depresi. Terlepas dari fakta bahwa beberapa gejala depresi mungkin karena penyakit
fisik, penggunaan standar DSM-IV untuk gejala depresi mayor dan minor ditemukan
memiliki 100% sensitivitas dan spesifisitas 97% selama tahun pertama pasca stroke.
Di sisi lain, jika pasien tidak dapat secara verbal diperiksa, atau jika penurunan
kesadaran dan mereka tidak dapat menjalani pemeriksaan mental seperti biasa untuk
menentukan diagnosis, Anda dapat membuat pendugaan berdasarkan observasi
keperawatan, laporan keperawatan, dan informasi anggota keluarga. Pasien sering
diberikan uji coba antidepresan, bahkan tanpa diagnosis yang kuat dari depresi. untuk
melihat apakah perilaku atau afek mereka akan berubah. Jika pemahaman pasien
adalah utuh, wawancara psikiatri dengan kriteria DSM, diperkuat oleh sumber luar
berfungsi sebagai dasar untuk menetapkan diagnosis (Paradiso, Ohkubo et al, 2001)
Pengambilan keputusan klinis dan pengobatan depresi pasca stroke
Meskipun patogenesis DPS tetap tidak diketahui, pendekatan biopsikososial
terhadap pengobatan mungkin yang paling tepat. Penting untuk diingat,
bagaimanapun, bahwa banyak pasien dengan DPS tidak menerima pengobatan yang
efektif untuk gangguan mood mereka. Hal ini mungkin berhubungan dengan
kegagalan dokter yang merawat untuk memeriksa depresi atau ketidakmampuan
pasien dan keluarganya untuk mengenali gejala depresi (Erikson, Asplund et al,
2004). Sebuah protokol penilaian dan pengobatan ditampilkan pada Tabel 12.2.
Tabel 12.2 Protokol Penilaian dan pengobatan untuk depresi pasca stroke
1) Menilai pasien untuk gejala depresi dan gangguan lain menggunakan
diagnosa diferensial.
2) Tentukan pengobatan yang paling tepat berdasarkan diagnosis,
kontraindikasi, dan data empiris.
3) Depresi dengan atau tanpa kecemasan umum - citalopram 20 mg atau
escitalopram 10 mg jika tidak ada respon, nortriptyline dengan dosis kecil
untuk 75-100 mg, jika tidak ada respon, ECT .
4) Depresi dengan gangguan menangis citalopram 20 mg atau 10 mg
escitalopram atau sertraline 50 mg. Jika tidak ada respon, nortriptyline dengan
dosis kecil untuk 75-100 mg.
5) Depresi dengan sikap apatis citalopram 20 mg atau 10 mg escitalopram.
Jika tidak ada, methylphenidate dengan dosis kecil sampai 30 mg.
6) Menilai efek samping obat dan ditoleransi dalam 1 minggu.
7) Meningkatkan dosis perlahan-lahan dalam interval 1-2-minggu dan tidak
menganggap kegagalan pengobatan sampai setelah 8 -12 minggu dosis terapi.
8) Lanjutkan pengobatan selama 12 bulan atau lebih. Jika obat dihentikan,
bersiaplah untuk kambuh.
9) Jika pasien yang tidak depresi, pertimbangkan intervensi pencegahan untuk
depresi dengan escitalopram 10 mg (5 mg usia lebih 65) atau problem solving
terapi.
Perawatan fisik
Antidepresan
Di antara tujuh studi yang melaporkan bahwa pengobatan antidepresan lebih
unggul dibandingkan plasebo, dua mencatat bahwa nortriptyline menghasilkan tingkat
respon sebesar 100% dan 77% dibandingkan dengan plasebo sebesar 33% dan 31%,
efek citalopram selama 6 minggu berdasarkan tingkat respons 62% dibandingkan
dengan plasebo 31%. Data pada fluoxetine, tingkat respons 61% dibandingkan dengan
plasebo 33% (Wiart, Petit et al, 2000).
Pemusatan tingkat respon dalam kelompok aktif (selective serotonin reuptake
inhibitor [SSRI], tricyclics, atau antidepresan lain) jauh lebih tinggi daripada di
kelompok plasebo (yaitu, 65.2% dan 44,496). Selain durasi, lebih lama pengobatan
berkorelasi positif dengan tingkat perbaikan gejala depresi. Dengan demikian, ada
bukti empiris yang mendukung efektivitas dan keamanan antidepresan antara pasien
dengan PSD. Di antara SSRI, bukti terbaik mendukung penggunaan citalopram 20 mg
dan 10 mg bagi mereka lebih dari usia 65 tahun. Diantara trisiklik, yang terbaik data
tersedia untuk nortriptyline 75 sampai 100 mg untuk mengobati DPS.,
methylphenidate 30 mg dapat digunakan sebagai pengobatan alternatif bagi mereka
yang pengobatan dengan antidepresan lainnya gagal, atau bagi mereka yang
mengalami retardasi psikomotor yang parah atau apatis.
Electroconvulsive Therapi
Terapi electroconvulsive (ECT) ditemukan berguna dalam dua tabel tinjauan
retrospektif Currier dkk. menemukan bahwa 19 dari 20 pasien tua dengan DPS yang
nyata. Tidak ada pasien mengembangkan eksaserbasi defisit neurologis stroke baru.
Komplikasi utama, yang kebingungan postictal berkepanjangan dan amnesia terjadi
pada 15% pasien (Murray, 1999). Dengan demikian, ECT tampaknya aman dan
mungkin lebih efektif daripada intervensi farmakologis untuk pengobatan pasca-
stroke depresi, namun uji klinis yang ketat diperlukan untuk mengkonfirmasi temuan
ini.
Hasil Efek antidepresan Pemulihan dalam aktivitas hidup sehari hari. Studi lain
menemukan bahwa pasien yang diobati dengan antidepresan dalam bulan pertama
setelah Stroke memiliki pemulihan secara signifikan lebih baik dalam ADL setelah
dua tahun pascastroke. Pemulihan fungsi kognitif. Sebagai contoh, Studi pasien
dengan nortriptyline 75 dan 100 mg versus pasien dengan placebo dan citalopram, 10
mg selama 1 tahun, menyebabkan pemulihan kognitif secara signifikan lebih besar
yang diukur oleh Baterai Repeatable untuk penilaian Status Neuropsikologi (RBANS)
dibandingkan dengan plasebo (Jorge, Roninson et al, 2010).
Kematian
Sebagaimana ditunjukkan dalam bagian latar belakang, bahwa pasien dengan
depresi post stroke mengalami peningkatan kematian dibandingkan dengan pasien
post stroke non-depresi. bagaimanapun, penggunaan antidepresan setelah stroke
menurunkan angka kematian sejak satu tahun dan selama sembilan tahun setelah
stroke. Sebuah studi sebelumnya oleh Jorge et al. melaporkan bahwa 67,9% dari 53
pasien yang diberi fluoxetine atau nortriptyline dalam studi double-blind masih hidup
pada sembilan tahun follow up dibandingkan dengan hanya 35,7% dari 28 pasien
yang diberi plasebo, menunjukkan bahwa penggunaan antidepresan setelah stroke
merupakan faktor independen mempromosikan kelangsungan hidup.
Dengan demikian, data yang ada mendukung kesimpulan bahwa pemberian
antidepresan setelah stroke tidak hanya akan menurunkan gejala depresi, namun dapat
manfaat pemulihan dalam ADL, fungsi, kognitif, dan kelangsungan hidup dengan
risiko yang relatif kecil terhadap pasien terutama dengan stroke akut.
lntervensi Psikososial
Hanya dua penelitian telah menggunakan terapi kognitif-perilaku (CBT) untuk
mengobati PSD termasuk 23 pasien yang diberi sepuluh sesi CBT selama tiga bulan
dan tidak menemukan perbedaan dalam depresi antara kelompok-perlakuan dan
plasebo.
Studi lain meneliti dampak dari program latihan fisik penderita stroke
(Fitzgerald, 2006). Fisik latihan selama fase pemulihan sub-akut stroke memiliki efek
menguntungkan pada gejala depresi. Namun, hasil penelitian ini adalah dibatasi oleh
kurangnya wawancara psikiatrik formal.
Pencegahan intervensi. Karena DPS telah dikaitkan dengan pemulihan gangguan
dan peningkatan mortalitas, pertimbangan intervensi preventif di kalangan pasien
non-depresi harus didiskusikan dengan pasien, keluarga, dan dokter yang merawat.
Satu studi baru-baru ini menunjukkan kegunaan pencegahan untuk PSD dengan
problem solving therapy. Dalam waktu tiga bulan stroke, 59 pasien secara acak
ditugaskan untuk citalopram 10 mg usia 65 tahun atau lebih muda, 5 mg usia 66 tahun
atau lebih) selama 12 bulan, 59 ditugaskan untuk Problem solving therapi (PST ), dan
58 ditugaskan untuk plasebo. depresi terjadi 22,4% pasien pada kelompok plasebo,
8,5% pada kelompok escitalopram, dan 11,9% pada kelompok PST. Pasien dalam
kelompok plasebo 4,5 kali lebih mungkin terkena depresi dibandingkan mereka dalam
escitalopram dan kelompok PST, manfaat potensi dari intervensi pencegahan harus
dipertimbangkan.(Robinson, Jorge et al, 2008).
Case finding atau skrining merupakan langkah awal dalam proses liaison
psikiatri. Para dokter perlu pelatihan dan pendidikan praktis dalam diagnosis dan
pengobatan klinis gangguan jiwa, terutama dalam lingkungan medis dan bedah.
Edukasi dokter non psikiater dan tenaga kesehatan yang berkaitan mengenai masalah
medis dan psikiatri yang berhubungan dengan penyakit pasien merupakan hal penting
dalam proses case finding (Spitzer et al, 1994).
Dalam kasus ini case findingnya adalah adanya konsulan dari bagian neurologi,
dan berdasarkan data-data dari pasien seperti pemeriksaan nervus l-Xll dan CT scan,
pada pasien ini didiagnosa stroke non haemoragic berulang, kira-kira 2 tahun tahun
yang lalu pasien pernah sakit yang sama, menurut teori diatas sekitar 30% sampai
35% setelah stroke pasien mengembangkan depresi pada beberapa waktuselama 2
tahun pertama setelah stroke (1).
Dalam CLP diagnostik dapat ditegakkan setelah terlebih dahulu didapatkan
penemuan kasus. Pola yang sama dan umum melalui anamnesis dan aloanamnesis
atau melalui suatu penjaringan dengan menggunakan instrumen khusus sehingga
dapat dilakukan oleh orang lain digaris depan, paramedis lain. Instrumen penjaringan
dapat berupa berupa daftar isian yang menyangkut latar belakang sosiodemografik,
keluhan somatis, perubahan emosional, riwayat penyakit dahulu, penggunaan obat
dan zat psikostimulansia, serta penemuan laboratorium dan pemeriksaan penunjang
lainnya. Sumber lain yang penting adalah keterangan dari keluarga dekat dan
pendamping pasien, catatan medis, dokter atau suster yang merawat. Kemampuan
untuk penemuan kasus tersebut memerlukan pemeriksaan penunjang yang sesuai, baik
penunjang fisik (MRI, CT-Scan, EEG) maupun kimiawi (kadar hormon tiroid, ureum,
kreatinin, dll) serta psikometri (MMPI, MMSE,wawancara terstruktur) merupakan
kemampuan dasar yang harus dimiliki dalam CLP, sehingga diagnosis yang tepat
serta intervensi yang efektif dapat dirancang yang berakibat dapat menekan biaya
serta prosedur yang tidak perlu (Smith & Clarke et al., 2000).
Dalam kasus ini pemeriksaan penunjang yaitu CT-Scan telah menegakkan
diagnosis di bidang ilmu saraf, yang akhirnya juga menimbulkan adanya perubahan
perilaku, sehingga diagnosis aksis satu didapatkan F06.32 Gangguan depresif
Organik, dengan aksis III nya _ adalah Stroke non Hemoragik berulang.
Langkah selanjutnya dalam CLP setelah case finding, dan diagnostik, adalah
intervensi.
Intervensi adalah suatu langkah antara diagnosis dan penerimaan pasien terhadap
pengobatan. Pasien membutuhkan beberapa diskusi sebelum mereka mampu
menerima diagnosis dan ikut serta dalam pengobatan. Dokter sebagai komunikator
yang efektif mengharapkan untuk mendiskusikan ketergantungan zat dan pengobatan
psikiatris berkali-kali sebelum pasien mengambil tindakan. Dokter yang mencari
informasi tambahan dari keluarga dan orang lain yang signifikan dalam fase diagnosis
biasanya lebih efektif dalam fase interVensi. Anggota keluarga lebih mungkin
mendukung intervensi dokter jika mereka merasa bahwa dokter telah
mempertimbangkan perhatian dan infomasi mereka. Ketrampilan ini penting untuk
intervensi singkat yang efektif dapat diringkas bleh Suatu akronim FRAMES.
Untuk FRAMES pada kasus ini adalah: Ny.,S saya kira kebiasaan anda yang
sudah 6 bulan ini tidak minum obat dan menggantikan dengan herbal adalah penyebab
sakit darah tinggi anda kambuh (feedback), dan anda perlu untuk merubah kebiasaan
anda yang tidak baik ini dengan rajin kontrol berobat agar penyakit anda dapat
dikendalikan (advice) Saya akan meresapkan suatu obat anti depresi atau anda dapat
pergi ke rumah sakit jiwa atau ke psikiater lokal kami (menu). Ini adalah pilihan anda
(reponsibility). Ini kesempatan yang baik dimana anda akan merasa lebih baik ( self
efficacy), jika anda depresi dan meneruskan pengobatan, saya senang anda merasa
lebih baik(empathy).
Manajemen pengobatan yang efektif juga menerapkan penggunaan dosis
minimum dari obat penting untuk mempertahankan respons yang diinginkan.
ldealnya, dokter sebaiknya menggunakan satu macam obat untuk mengobati pasien
dengan gejala atau gangguan tertentu. Hampir tidak perlu untuk menggunakan lebih
dari satu obat dari golongan yang sama dalam satu waktu. Disamping itu, jumlah obat
efektif yang minimum seharusnya diberikan sehingga obat tambahan tidak dibutuhkan
untuk mengatur efek samping.Penggunaan kombinasi obat harus dihindari karena
tidak dapat mengkontrol dosis individual dari kandungan obat (Jachana, Lane, dan
Gelenberg, 1996).
Dalam kasus ini pasien stroke telah mendapat, obat CPG 1x75, dimana untuk
obat anti depresi diberikan obat yang mempunyai sifat aman untuk usia lanjut,
gangguan jantung atau berat badan berlebih dalam Kaplan Saddock edisi 2009, obat
yang aman adalah golongan SSRI. Dalam keadaan ini yang lebih dipentingkan adalah
mencegah kambuhnya stroke tersebut.
Dalam kita menghadapi setiap kasus CLP, harus diingat prinsip terapinya
dimana Psikiatri C-L biasanya menggunakan terapi biologis dan psikoterapetik yang
telah menunjukkan kemanjuran (westphal J. R dan Freeman A.M. 2000).
Pada kasus ini karena keadaan pasien stroke melemahkan anggota gerak kanan
pasien sehingga pasien tidak bisa melakukan aktifitas seperti biasa, menyebabkan
pasien menjadi sedih, Sering menangis dan tidak bisa tidur, maka psikoterapi yang
cocok kemungkinan adalah suportif, latihan fisik dan PST Robinson, Jorge, 2008).
Sedangkan untuk keluarga pasien, diberikan psikoedukasi untuk “mengaktifkan"
penderita stroke dan keluarga mereka untuk memahami dan menerima diagnosis
depresi dan perlu pengobatan, bisa membantu pasien untuk teratur minum obat
sehingga penyakitnya tidak mudah kambuh.
Langkah terakhir dalam penanganan pasien dengan CLP adalah komunikasi,
dimana yang terbanyak dalam bentuk konsulan, dan komunikasi konsultan yang
efektif yang terpenting adalah diskusi yang intens antara dokter yang mengirim dan
menerima rujukan mengenai penyakit pasien yang dikomunikasikan. Pada pasien
pada kasus ini telah terdapat suatu komunikasi yang cukup bagus, dimana dokter yang
mengirim sudah mengetahui adanya tanda-tanda depresi pada pasien ini kemudian
merujuk kebagian psikiatri. Setelah dikonsulkan dan terjadi komunikasi dengan
dokter yang mengirim tentang pemberian psikofarmako berupa fluoxetin dan
psikoterapi.

You might also like