Professional Documents
Culture Documents
TREATMENT
Externa stimuli
Incoming stimuli
stressor
CRF Corticotropin
releasing factor
ACTH
Adenocorticotrophin
hormone
corticosteroids Adrenal
cortex
Associated physiological
changes
Gambar 4. Interaksi Glucocorticoids dan Cytokines (diadaptasi dari Munck & Gyre,
1981 ).
Gambar 5. Interaksi antara Sitokon Inflamatori dan efek dari glukokortikoid dan
katekolamin (diadaptasi dari Chrousous, 1995).
Gambar 6. Interaksi antara Sistem stress dan Inflamasi yang dimediasi oleh imun
(diadaptasi dari Chrousous, 1995).
B. Panduan Terapi CLP
Terapi psikiatri dan manfaat konsultan psikiater saat ini berkaitan dengan
kesediaan pasien, keakutan pasien, faktor resiko, dan ketersediaan sumber daya
setempat. Psikiatri C-L biasanya menggunakan terapi biologis dan psikoterapetik
yang telah menunjukkan kemanjuran (Westphal J.R dan Freeman A.M, 2000).
1. Terapi Biologis
a. Prinsip dalam terapi.
Prinsip terapi dalam CLP adalah (Jachana, Lane, dan Gelenberg. 1996) :
1) ingat bahwa menghentikan pengobatan sering merupakan tindakan yang
menguntungkan.
2) Bila mungkin, perlu menghindari meresepkan "pengobatan bila perlu".
3) Jika ada kebutuhan memberikan dosis "pengobatan bila perlu”, pantau frekuensi
penggunaan untuk menentukan tingkat dosis yang tepat.
4) Penting untuk menggunakan dosis minimum dalam mempertahankan respons yang
diinginkan.
5) Mengganti satu obat hanya dalam satu waktu.
6) Bila mungkin, gunakan hanya satu obat untuk mengobati gangguan atau gejala
pada pasien.
7) Jaga campuran obat tetap sederhana.
8) Jangan memberikan pengobatan profilaksis kecuali ada alasan yang rasional.
9) Gunakan obat yang telah terbukti kemanjurannya.
10) ingat bahwa kadar obat dalam serum hanya salah satu indikator dari efek, bukan
merupakan bukti dari kemanjuran atau toksisitas.
11) Ketahui bahwa obat generik lebih murah, tetapi bioavailibilitasnya dapat rendah.
12) Pertimbangkan bahwa setiap pasien menampilkan suatu pengalaman baru.
Salah satu pengobatan psikofarmakologi yang paling bermanfaat yang dapat
diberikan seorang konsultan CLP adalah merekomendasikan penghentian pengobatan.
Penggunaan kombinasi psikotropik yang tidak sesuai dengan pengobatan yang lain
memberikan efek samping yang tidak diinginkan yang dapat memberikan efek
merugikan pada pasien secara fisik dan mental. Pasien yang secara medis sakit sangat
rentan pada efek samping ini dan sering menerima pengobatan yang saling
berinteraksi, jadi berpotensi menimbulkan efek samping (Jachana, Lane, .dan
Gelenberg, 1996).
Efek pengobatan jangka pendek dan panjang sering saling tercampur, seperti efek
jangka pendek sedatif dan jangka panjang antipsikotik dari pengobatan neuroleptik.
Jadi, untuk penilaian respons yang adekuat, sangat berguna untuk mengurangi jumlah
variasi obat pada situasi tertentu, seperti menghentikan atau menghindari penggunaan
neuroleptik pada pasien dengan demensia agitasi. Jika mungkin, dosis bila perlu
sebaiknya dihindari sehingga respon pasien dapat diatur, ,dosis harian dapat
ditetapkan. Kegagalan untuk melakukan ini dapat menghasilkan kebingungan dan
kekacauan siklus dosis Yang bila perlu dan yang tetap. Bila dibutuhkan dosis bila
perlu, frekuensi dosis sebaiknya dipantau untuk menentukan jumlah pengobatan
tambahan yang dibutuhkan (lachana, Lane, dan Gelenberg, 1996).
Manajemen pengobatan yang efektif juga menerapkan penggunaan dosis
minimum dari obat penting untuk mempertahankan respons yang diinginkan.
Mengetahui pola umum dari respons dan memantau gejala individual pasien
membantu untuk memastikan peresepan dosis yang sesuai untuk mempertahankan
respons yang lengkap. Keefektifan dari pengubahan pengobatan sering dapat
ditentukan dengan baik dengan mengubah satu obat dalam satu waktu. Idealnya,
dokter sebaiknya menggunakan satu macam obat untuk mengobati pasien dengan
gejala atau gangguan tertentu. Pada beberapa pasien, seperti dengan depresi berulang,
perlu merencanakan kombinasi obat dengan sangat hati-hati. Hampir tidak perlu
untuk menggunakan lebih dari satu obat dari golongan yang sama dalam satu waktu.
Disamping itu, jumlah obat efektif yang minimum seharusnya diberikan sehingga
obat tambahan tidak dibutuhkan untuk mengatur efek samping. Sebagai contoh,
menambahkan benzotropin untuk mencegah efek ekstrapiramidal dari neuroleptik
juga dapat menimbulkan toksisitas. Situasi tertentu perlu diwaspadai dalam pemberian
propilaksi (contoh, benzotropin) bila tidak ada gejala ekstrapiramidal; sebagai contoh,
untuk menghindari reaksi distonik yang menakutkan setelah pemberian awal
antipsikotik pada pasien yang gelisah yang mengalami episode awal dari skizoprenia.
Penggunaan kombinasi obat harus dihindari karena tidak dapat mengkontrol dosis
individual dari kandungan obat (jachana, Lane. dan Gelenberg, 1996).
Dalam memilih obat dari banyak yang tersedia, sering sangat membantu untuk
menggunakan apa yang sebelumnya telah terbukti berguna secara individu. Obat
generik dapat memberikan biaya yang minimal, bioavailibilitasnya dapat rendah.
Absorbsi yang bervariasi dari lithium lepas lambat dapat memberikan masalah pada
beberapa pasien. Sangat penting, informasi yang tersedia tentang respon khusus dari
semua pengobatan berdasarkan pada analisis statistik, bukan berdasarkan pengalaman
klinis pada pasien individu. Setiap pasien adalah pengalaman baru! (Jachana, Lane,
dan Gelenberg, 1996).
b. Prinsip dalam pemilihan obat.
Prinsip dalam pemilihan obat (Malt, 2006) adalah :
1) Efek pada masalah klinis
2) Efek pada penyakit yang mendasari.
3) implikasi gambaran efek samping
4) interaksi dengan obat "somatik".
5) Pengobatan oral atau parenteral.
6) Fungsi hati atau ginjal dan dosis.
7) Kesesuaian biologis?
2. Psikoterapi
Psikoterapi didefinisikan dengan istilah umum sebagai penggunaan bahasa verbal
untuk memberikan pengaruh yang menguntungkan pada status mental dan emosi
seseorang. Psikoterapi sendiri dalam psikiatri adalah proses dimana individu (pasien)
turut serta dalam pertemuan terstruktur dan berkesinambungan dengan seseorang
yang memiliki sertifikat, telah mengikuti pelatihan, mempunyai ijin, dan memiliki
organisasi etika serta berkualifikasi untuk mempengaruhi status mental orang lain.
Tidak ada perbedaan fundamental antara pasien dan terapis selain pelatihan yang
diterima terapis sesuai tugasnya. Poin disini adalah psikoterapis tidak lebih superior
dibandingkan pasiennya. Pasien dapat berpikiran seperti itu tetapi terapis harus
menghindarinya (Nash, 2000).
Bentuk utama psikoterapi (Nash, 2000) :
a. Psikoterapi dinamik.
b. Psikoterapi humanistik-eksperiental.
c. Psikoterapi kognitif-behavioral.
d. Psikoterapi eklitik atau integrasi.
Psikoterapi pada pasien yang menderita penyakit medis harus menyesuaikan
dengan kebutuhan pasien (psiko-edukasi, relaksasi, hipnosis, imaginasi, CBT, terapi
ekspresif-suportif), bila dibutuhkan kombinasikan teknik yang ada baik terapi
individu maupun terapi kelompok. Libatkan orang-orang yang sangat berpengaruh
bagi pasien (pasangannya atau keluarga) (Sollner, 2006).
Perlu dilakukan penyesuaian teknik psikoterapi pada pasien dengan penyakit
medis (Sollner, 2006), antara lain:
a. Lebih berpusat pada suportif bukan pada konflik, membangun hubungan terapeutik
yang memberikan rasa aman.
b. Memperkuat sumber daya yang telah ada pada pasien.
c. Memfasilitasi luapan emosi pasien.
d. Lebih terstruktur dalam membuat kerangka terapi yang aman.
e. Pusatkan pada jangka pendek (perspektif waktu yang pendek).
f. Perkuat dukungan sosial (yang menguntungkan)
g. Libatkan orang-orang yang berpengaruh besar pada pasien
h. Berikan dukungan pada terapi medisnya.
Dalam psikoterapi harus mempertimbangkan penyesuaian pasien terhadap
penyakitnya.
TINJAUAN PUSTAKA
WHO memproyeksikan menjelang tahun 2025 lebih dari 5% populasi dunia, yaitu
300 juta orang akan menderita diabetes. Pasien yang menderita diabetes tipe 2,
mempunyai risiko 2-4 kali lebih besar kematian yang disebabkan oleh penyakit
kardiovaskular dibanding pasien tanpa diabetes. Penyebab paling umum kematian
pada pasien diabetes adalah penyakit jantung. Sebagai tambahan, penyakit
komorbiditas yang umum pada pasien diabetes yaitu: penyakit vaskular perifer, ESRD
(end-stage renal disease), kebutaan dan amputasi (Grossman et al., 2008).
Hipertensi diidentifikasi sebagai faktor risiko major untuk perkembangan
diabetes. Pasien hipertensi mempunyai risiko 2-3 kali lebih tinggi berkembangnya
diabetes dibanding dengan pasien yang tekanan darahnya normal. Hipertensi sendiri,
merupakan faktor risiko yang potensial pada morbiditas dan mortalitas penyakit
kardiovaskular termasuk gagal jantung kronis/CHF (Grossman et al., 2008).
Hipertensi esensial dan diabetes melitus secara bersama-sama mempengaruhi
organ target major yang sama. Persamaan dari penyakit organ target
hipertensi/diabetes adalah vascular tree. Hipertropi ventrikel kiri dan penyakit arteri
koroner sangat umum pada pasien diabetic hypertensive dibanding dengan pasien-
pasien yang menderita hipertensi atau diabetes secara sendiri-sendiri. Kehadiran yang
bersamaan dari hipertensi dan diabetes secara bersamaan mempercepat penurunan
fungsi ginjal, dan perkembangan retinopati diabetes dan perkembangan penyakit
serebral (stroke) (Takahashi et al., 2001; Grossman et al., 2008).
Terapi. Menurunkan tekanan darah kurang dari 130/80 mmHg adalah tujuan
utama dalam penatalaksanaan pasien hypertensive diabetic. Beta-blockers dilaporkan
mempunyai pengaruh yang memperburuk profil seluruh faktor risiko pada pasien
diabetes. Sebaliknya, calcium antagonists, ACE inhibitors dan angiotensin receptor
blockers, dilaporkan bersifat netral atau menguntungkan yang berkenan dengan profil
faktor risiko metabolik secara keseluruhan. Terapi kombinasi biasanya diperlukan
untuk mencapai goal tekanan darah pada pasien diabetes. Penambahan aldosteron
antagonits dapat menguntungkan pasien dengan hipertensi resisten dan level serum
potasium yang rendah. Kontrol yang agresif tekanan darah, level glukosa dan
kolesterol diusahakan untuk mengurangi risiko kardiovaskular pada pasien diabetic
hypertensive (Grossman et al., 2008).
Kehadiran yang bersamaan dari hipertensi dan diabetes secara bersamaan
mempercepat perkembangan penyakit serebral (stroke). Pasien yang menderita stroke
dan mempunyai tekanan darah diastolik lebih besar dari 105 mmHg, pemberian
antihipertensi secara definitif membantu mencegah stroke yang kedua. Meskipun
demikian, karena autoregulasi aliran darah cerebral terganggu segera setelah stroke,
pengobatan antihipertensi seharusnya dimulai hanya selama fase penyembuhan.
Penurunan tekanan darah yang mendadak harus dihindari, sehingga obat yang
menyebabkan hipotensi postural seharusnya tidak digunakan.
Pencegahan. Pencegahan primer terjadinya penyakit kardiovaskular dan stroke,
yang berhubungan dengan hipertensi dan diabetes melitus, yaitu: (1) menghentikan
kebiasaan merokok; (2) mengontrol tekanan darah; (3) dietary intake, yaitu dengan
pola makan yang sehat; (3) kosumsi aspirin dosis rendah pada pasien dengan risiko
tinggi penyakit jantung koroner, tidak diberikan pada pasien dengan faktor risiko
stroke dan perdarahan. gastrointestinal; (4) manajemen lemak darah; (5) melakukan
aktifitas fisik, paling sedikit 30 menit dengan intensitas moderat, 3-5 kali sehari; (6)
manajemen berat badan, yaitu pencapaian berat badan yang ideal; (7) manajemen
diabetes, yaitu: GDP < 110 mg/dl; HbA1c < 7% (Pearson et al., 2002).
Hubungan Depresi dan Penyakit Medis. Banyak studi mendukung bahwa depresi
mempunyai pengaruh pada kesehatan fisik. Laporan baru-baru ini menemukan bahwa
gejala depresi berhubungan dengan peningkatan mortalitas secara signifikan pada
kelompok 3196 orang lansia Amerika keturunan Jepang di Hawai (Takeshita et al,
2002; cit Brown et al., 2004).
Manifestasi fisik dari depresi berhubungan dengan penyakit kardiovaskular,
termasuk gagal jantung kronis/CHF, hipertensi, stroke, diabetes, dan lain-lain.
Gangguan yang banyak mendapat perhatian yang berhubungan dengan depresi adalah
sindroma metabolik yang meliputi: disregulasi insulin dan metabolisme glukosa,
obesitas abdominal, hiperlipidemia, dan hipertensi. Sindroma metabolik adalah faktor
risiko untuk perkembangan diabetes melitus tipe 2, dan penyakit kardiovaskular.
Meskipun penyebabnya multifaktorial termasuk diet dan gaya hidup sedentary,
abnormalitas aksis HPA telah dilaporkan pada pasien dengan sindroma metabolik
(Brunner et al., 2002; cit Brown et ai.,2004).
Penelitian psikiatri modern bahkan telah mengungkapkan bahwa banyak
gangguan medis umum yang erat kaitannya dengan gangguan psikologis, sekaligus
juga gangguan psikologis bisa memperberat sakit medisnya saat ini. Salah satu
contohnya kondisi depresi pada pasien diabetes melitus atau kencing manis. Depresi
busa membuat pasien kencing manis tidak mematuhi pengobatan, tidak menjalankan
diet dan enggan berolahraga. Penelitian terakhir bahkan menjelaskan bahwa pasien
dengan gangguan depresi lebih mudah mengalami kencing manis disebabkan karena
pengaruh sistem endokrin (Bogner et al., 2012)
Diabetes melitus dan hipertensi dan depresi mempunyai hubungan timbal balik,
demikian juga dengan disfungsi ereksi, disamping disebabkan oleh faktor organik,
dapat juga disebabkan atau diperberat oleh depresi dan disfungsi ereksi sendiri dapat
menyebabkan atau memperberat depresi serta memperberat penyakit medis yang
mendasarinya. Hubungan timbal balik ini seperti telur dan ayam, tidak diketahui yang
mana terjadi lebih dulu.
Ada hubungan timbal balik antara obese dan depresi. Individu obese mungkin
merasa lebih terisolasi dan sering mengalami stigma yang berhubungan dengan berat
badan, dan konsekuensinya mempunyai self esteem yang rendah, dan perasaan
bersalah. Obesitas berhubungan dengan ketidak beruntungan secara sosial ekonomi
dan aktivitas fisik yang rendah, keduanya merupakan prediktor yang kuat untuk
depresi. Demikian juga depresi sendiri dan obat antidepresan dapat disertai dengan
peningkatan selera makan dan peningkatan berat badan (Kivimaki et al., 2010).
Depresi pada stroke terjadi karena dua faktor. Faktor yang pertama adalah pada
penderita stroke terjadi sumbatan atau pecahnya pembuluh darah di otak yang
menyebabkan jalur komunikasi ke daerah otak menjadi terhambat. Selain adanya
bagian otak yang mengatur pusat perasaan yang terkena, depresi pada pasien stroke
juga disebabkan adanya ketidakmampuan pasien dalam melakukan sesuatu yang
biasanya dikerjakan sebelum terkena stroke. Hal ini terkadang menyebabkan pasien
menjadi merasa dirinya tidak berguna lagi karena banyaknya keterbatasan yang ada
dalam diri pasien akibat penyakitnya itu. Depresi lebih sering terjadi pada pasien non
fluent afasia dibanding yang fluent afasia. Walaupun secara sebab akibat tidak ada
hubungan antara depresi dan afasia. Adanya hubungan antara non fluent afasia dan
depresi pascastroke dapat dijelaskan dengan bukti adanya lesi otak yang
menyebabkan non fluent afasia juga mungkin menyebabkan depresi. Hal berbeda
disebutkan oleh kepustakaan lain bahwa pasien stroke dengan afasia ringan menderita
depresi lebih sering dibandingkan pasien stroke dengan afasia global. Hal ini
disebabkan pasien dengan afasia ringan mempunyai kesadaran yang tinggi terhadap
ketidak berdayaannya.
Tidak mudah mendiagnosis depresi pada penderita pascastroke, terutama jika
pasien tersebut mengalami afasia. Adanya ekspresi kesedihan akibat kelemahan otot
wajah, apatis yang disebabkan adanya gangguan pada otak bagian kanan, akan
menyesatkan diagnosis depresi pada stroke (Andri,2012).
Demikian juga halnya dengan penyakit kardiovaskular, terdapat hubungan dua
arah antara gangguan mood seperti depresi dan penyakit Kardiovaskuler, contoh gagal
jantung kronis/CHF. Pemahaman tentang hubungan antara stres psikososial penyebab
gangguan mood dan penyakit kardiovaskuler seperti gagal jantung dapat
mengembangkan terapi yang lebih baik dengan cara intervensi
psikososial/psikoterapi, memodifikasi kebiasaan dan gaya hidup berisiko tinggi,
disamping mengurangi faktor risiko yang telah diketahui dan terapi dengan obat-
obatan (Lawrence, 1998; cit Grippo et al., 2009).
Sayangnya, adanya gangguan jiwa pada kondisi medis umum seringkali tidak
terdeteksi dan luput dari pengamatan. Hal ini mungkin disebabkan karena dokter yang
merawat lebih fokus pada kondisi medis fisiknya dan melupakan kalau pasien juga
merupakan individu yang mempunyai sisi psikologis. Kondisi gangguan jiwa yang
tidak tertangani pada pasien medis umum akan menyebabkan biaya semakin besar.
Hal ini disebabkan selain karena memperpanjang masa rawat inap, kebutuhan akan
pelayanan medis pada pasien dengan gangguan kesehatan jiwa juga meningkat.
Kondisi ini semakin ditambah apabila kondisi itu tidak terdeteksi dengan segera dan
diobati secara efektif (Andri, 2011).
Skrinirig Depresi. Karena prevalensi depresi yang tinggi pada pasien-pasien
penyakit kronis seperti diabetes melitus dan CHF, serta hubungannya dengan outcome
yang buruk, dan menurunkan kualitas hidup, sehingga dianjurkan skrining depresi
diintegrasikan ke dalam perawatan pasien secara rutin. Skrining dapat dilakukan di
klinik rawat jalan atau maupun pada saat dirawat di rumah sakit. Skrining dapat
dilakukan dengan self report questionaires, yang dapat diselesaikan dalam beberapa
menit, misal: BDI (21 item). QIDS-SR (16 item); CESD (20 item); PHQ (9 item).
PENATALAKSANAAN
Pada pasien ini, untuk diabetes melitus tipe 2, hipertensi, CHF, dan gangguan lain
yang mendasari atau komorbiditasnya, dari bagian penyakit dalam telah mendapat
terapi yang adekuat. Begitu juga untuk terapi post stroke, dari bagian neurologi telah
mendapat terapi yang adekuat. Namun pemberian apllprazolam, amlodipin, dan
ranitidin dapat memperberat depresi. Sehingga dapat dipertimbangkan kembali
pemberiannya (Public Citizen's Health Research Group, 2000-2003). Demikian juga
pemberian furosemid, captopril, dan ranitidin dapat memperberat disfungsi ereksi
(Lenning et al., 2011).
Namun demikian perlu dipertimbangkan antara efek terapi dan efek yang
merugikan. Untuk itu komunikasi dengan bagian penyakit dalam dan neurologi akan
dilakukan, apakah ada alternatif obat lain yang mempunyai efek terapi yang sama dan
tidak/sedikit memiliki efek samping depresi atau disfungsi ereksi serta terfangkau
oleh pasien, seperti obat-obat yang tertera pada lampiran pada akhir laporan kasus ini.
Terapi Psikofarmaka. Pada pasien ini, diberikan SSRI, yaitu fluoxetine 1 x 10
mg. Observasi klinis mengindikasikan bahwa SSRls, berhubungan dengan risiko yang
lebih rendah pada kardiovaskuler dibanding obat bukan SSRI. SSRl dapat
memperburuk disfungsi ereksi, tapi efek samping ini bersifat individual, dan jika
memperburuk dapat diswitching dengan SSRI yang lain (escitalopram, paroxetine)
atau diganti dengan antidepresan yang mempunyai efek samping yang lebih rendah
menyebabkan disfungsi ereksi, seperti bupropion (Pozuelo et al., 2099). Studi RCT,
menunjukkan bahwa depresi poststroke berespon terhadap pengobatan antidepresan
dan pengobatan dengan antidepresan memperbaiki pemulihan fungsionai dan kognitif.
Lagipula, pengobatan anti depresan yang lebih awal mencegah kejadian depresi onset
lama atau memodifikasi korelasi patolisiologinya untuk memberikan outcome yang
lebih baik (Jorge et al., 2003). Penggunaan antidepresan, terutama SSRI - paroxetine
dan trisiklik-amitriptilin, dengan dosis harian moderat sampai tinggi untuk waktu
lebih 2 tahun berhubungan dengan peningkatan risiko diabetes. Penggunaan
antidepresan untuk durasi yang lebih pendek, dengan dosis harian yang lebih rendah,
tidak berhubungan dengan peningkatan risiko diabetes.
Terapi Nonfarmakologis. Pertama-tama diberikan psikoedukasi baik pada pasien
maupun keluarga yaitu memberikan penjelasan/informasi tentang penyakit pasien dan
gejala-gejala psikiatrik yang menyertainya. Juga menjelaskan tentang pentingnya
ketaatan minum obat, memperhatikan efek obat dan efek samping yang terjadi dan
kontrol secara teratur. Disamping itu memberikan penjelasan bagaimana memperbaiki
keterampilan komunikasi dalam keluarga baik verbal maupun non verbal.
Psikoedukasi juga menjelaskan kepada pasien bagaimana cara manajemen gejala.
Pasien dan keluarganya mungkin saja kurang dalam pemahaman terhadap
diagnosa depresi, mekanisme psikososial yang mendasarinya serta hubungan di antara
depresi dan penyakit pasien. Oleh karena itu penting bagi pasien dan keluarganya
memahami penyebab terjadinya depresi yang umum pada pasien dengan penyakit
seperti yang dialami pasien. Pasien dan keluarganya juga membutuhkan edukasi
tentang pilihan terapi depresi, efek samping, lamanya pengobatan yang memberikan
efek pengurangan gejala depresi dan perbaikan kualitas hidup yang menyertai
perbaikan depresi.
Disamping dukungan sosial yang diberikan oleh keluarga, terapis juga berperan
mengkomunikasikan dengan perawat maupun dokter dalam tim untuk memberikan
dukungan sosial pada pasien, ini akan membantu menurunkan gejala depresi dan
memperbaiki kualitas hidup pasien. Untuk mendapatkan dukungan sosial yang cukup
pasien dapat juga disertakan dalam kelompok dukungan yang menderita penyakit
serupa.
Telah banyak bukti bahwa intervensi psikososial/psikoterapi efektif dalam
mengurangi distres psikologis yang pada akhirnya memperbaiki hasil terapi pada
pasien penyakit kronis termasuk diabetes, penyakit kardivaskuler, yaitu perbaikan
kualitas hidup, penurunan angka kekambuhan (hospitalisasi) dan penurunan angka
kematian. Pada pasien ini akan diberikan psikoterapi eklektik.