Professional Documents
Culture Documents
Disusun oleh:
dr. Nadya Zahra
Pembimbing:
dr. Wida Wildani
1
Peserta Program Intersip Dokter Indonesia Batch Januari 2018
2
Kepala Puskesmas Kelurahan Cilandak Timur
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya miniproject ini dapat selesai tepat waktu. Miniproject ini
dilaksanakan sebagai tugas akhir pelaksanaan Program Internsip Dokter Indonesia
di Puskesmas Kelurahan Cilandak Timur. Peneliti menyadari bahwa tanpa
bantuan dan bimbingan oleh semua pihak akan sulit untuk menyelesaikan
miniproject ini. Oleh karena itu peneliti mengucapkan terimakasih kepada:
1. dr. Wida Wildani selaku Kepala Puskesmas Kelurahan Cilandak Timur
dan pembimbing wahana internsip yang banyak menyediakan waktu dan
dukungannya dalam membantu kami menyelesaikan mini project ini.
2. Teman-teman sejawat dokter internsip yang turut membantu peneliti
menyelesaikan miniproject ini.
3. Ibu kader Posyandu Dahlia RW 04 Kelurahan Cilandak Timur.
4. Seluruh pihak yang turut membantu penelitian ini yang tak dapat peneliti
sebutkan satu persatu.
Akhir kata peneliti hanya dapat berharap Tuhan YME membalas segala
kebaikan dari semua pihak yang telah disebutkan diatas. Semoga miniproject ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak.
ii
DAFTAR ISI
Abstrak ................................................................................................................... i
Kata Pengantar ...................................................................................................... ii
Daftar Isi............................................................................................................... iii
Daftar Tabel .......................................................................................................... v
Daftar Gambar ...................................................................................................... vi
Daftar Lampiran .................................................................................................. vii
BAB I Pendahuluan ............................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Perumusan Masalah ..................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................................... 2
1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................................... 2
BAB II Tinjauan Pustaka ................................................................................... 4
2.1 Difteri ........................................................................................................... 4
2.1.1 Definisi ................................................................................................... 4
2.1.2 Etiologi ................................................................................................... 4
2.1.3 Epidemiologi .......................................................................................... 5
2.1.4 Patofisiologi ........................................................................................... 7
2.1.5 Manifestasi Klinis ................................................................................ 10
2.1.6 Pemeriksaan dan Diagnosis.................................................................. 14
2.1.7 Tatalaksana ........................................................................................... 16
2.1.8 Pencegahan ........................................................................................... 18
2.1.9 Surveilans ............................................................................................. 19
2.1.10 Komplikasi ......................................................................................... 20
2.1.11 Prognosis ............................................................................................ 21
2.2 Profil Puskesmas Kelurahan Cilandak Timur ............................................ 21
2.2.1 Visi dan Misi ........................................................................................ 21
2.2.2 Data Geografis ..................................................................................... 21
2.2.3 Data Demografis .................................................................................. 22
iii
BAB III Metode Penelitian ............................................................................... 25
3.1 Desain Penelitian ........................................................................................ 25
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................... 25
3.3 Populasi Penelitian ..................................................................................... 25
3.4 Sampel dan Cara Pemilihan Sampel .......................................................... 25
3.5 Penentuan Instrumen Pengumpulan Data .................................................. 26
3.6 Pengolahan dan Analisis Data .................................................................... 27
BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan ..................................................... 28
4.1 Persebaran Responden ............................................................................... 28
4.2 Gambaran Peningkatan Pengetahuan Responden Tentang Difteri ............ 32
BAB V Kesimpulan dan Saran ........................................................................ 34
5.1 Kesimpulan ................................................................................................ 34
5.2 Saran ........................................................................................................... 34
Daftar Pustaka ..................................................................................................... 36
Lampiran ............................................................................................................. 37
iv
DAFTAR TABEL
v
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vii
BAB I
PENDAHULUAN
1
digalakkan, jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman difteri menurun
dengan drastis.
Difteri termasuk penyakit menular yang jumlah kasusnya relatif rendah.
Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit. Sejak
diperkenalkan vaksin DPT (Difteri, Pertusis dan Tetanus), penyakit difteri mulai
jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak – anak untuk
meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut.
Anak – anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan terhadap
penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.
2
2. Manfaat Bagi Puskesmas
Penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi data tingkat pendidikan
orangtua balita di Posyandu Dahlia RW 04 Kelurahan Cilandak Timur
mengenai penyakit difteri sehingga dapat dilakukan evaluasi.
3. Manfaat Bagi Masyarakat
Penelitian ini dapat menambah pengetahuan masyarakat terutama orangtua
balita di Posyandu Dahlia RW 04 Keluarahan Cilandak Timur mengenai
penyakit difteri, sehingga dapat melakukan pencegahan penularan difteri
dan menurunkan angka kematian yang disebabkan oleh penyakit difteri.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Difteri
2.1.1 Definisi
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang terjadi secara local pada
mukosa saluran pernafasan atau kulit, yang disebabkan oleh basil gram positif
Corynebacterium diphtheriae, ditandai oleh terbentuknya eksudat yang berbentuk
membrane pada tempat infeksi, dan dikuti oleh gejala – gejala umum yang
ditimbulkan oleh eksotoksin yang diproduksi oleh basil ini.1
2.1.2 Etiologi
Corynebacterium diphtheria merupakan kuman batang gram positif, tidak
bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada
pemanasan 60ºC, tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan pewarnaan,
kuman bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V, atau merupakan
kelompok dengan formasi mirip huruf Cina. Kuman tumbuh secara aerob, bisa
dalam media sederhana, tetapi lebih baik dalam media yang mengandung K-
tellurit atau media Loeffler. Pada membran mukosa manusia Corynebacterium
diphtheria dapat hidup bersama – sama dengan kuman diphtheroid saprofit yang
mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang – kadang
diperlukan pemeriksan khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa,
maltosa, dan sukrosa.1
Secara umum dikenal 3 tipe utama Corynebacterium diphtheria yaitu tipe
gravis, intermedius dan mitis, namun dipandang dari antigenisitas sebenarnya
basil ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe
serologik. Hal ini mungkin bisa menjelaskan mengapa pada seorang pasien bisa
terdapat kolonisasi lebih dari satu jenis Corynebacterium diphtheria.1
Ciri khas Corynebacterium diphtheria adalah kemampuannya
memproduksi eksotoksin baik in vivo maupun in vitro. Eksotoksin ini merupakan
suatu protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas / cahaya,
4
mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino – terminal) dan fragmen B
(karboksi – terminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk / memproduksi
toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag, toksin hanya bisa diproduksi oleh
Corynebacterium diphtheria yang terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung
toxigene.1
2.1.3 Epidemiologi
Penyakit difteri menyebar di seluruh dunia, yang penduduknya tinggal
pada tempat – tempat pemukiman yang rapat, hygiene dan sanitasi jelek dan
fasilitas kesehatan yang kurang.
Orang – orang yang berisiko tinggi terkena penyakit difteri adalah:1
1. Tidak mendapat imunisasi atau imunisasinya tidak lengkap.
2. Immunocompromised, seperti: Sosial ekonomi yang rendah, seperti:
Populasi anak jalanan, Penduduk asli (di Amerika Serikat, penduduk asli
berisiko tinggi dibandingkan warga kulit putih), Pemakaian obat
imunosupresif, penderita HIV, Diabetes Melitus, pecandu alcohol dan
narkotika.
3. Tinggal pada tempat – tempat yang padat, seperti: Rumah tahanan
(penjara), Tempat penampungan.
4. Sedang melakukan perjalanan ke daerah – daerah yang sebelumnya
merupakan daerah endemik difteri.
5
Di Amerika Serikat, sejak tahun 1970 sampai tahun 1975 ditemukan 248
kasus, biasanya epidemik terjadi pada musim gugur. Kemudian, insidens
berkurang setelah digunakannya vaksin difteri secara intensif dan luas. Pada tahun
1992, hanya dilaporkan 3 kasus. Di Swedia, pada tahun 1980 dilaporkan 17 kasus
difteri, yang penderitanya adalah penduduk asli Negara tersebut. Di Rusia, dalam
periode tahun 1990 – 1996 ditemukan lebih dari 100.000 kasus.
Sedangkan di Indonesia, RS. DR. M Djamil Padang melaporkan 48 kasus
difteri salaam periode 3 tahun (1990 – 1992), sedangkan di RS Dr Wahidin Ujung
Pandang didapatkan 39 kasus selama periode 3 tahun (1987 – 1989). Pada tahun
2005, di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung dirawat 1 kasus difteri. 1
Jumlah kasus difteri di Indonesia sedikit meningkat pada tahun 2016 jika
dibandingkan dengan tahun 2015 (529 kasus pada tahun 2015 dan 591 pada tahun
2016). Demikian pula jumlah Kabupaten / Kota yang terdampak pada tahun 2016
mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan jumlah Kabupaten / Kota pada
tahun 2015. Tahun 2015 sebanyak 89 Kabupaten / Kota pada tahun 2016 menjadi
100 Kabupaten / Kota.3
Sejak vaksin toxoid Difteri diperkenalkan pada tahun 1940an, maka secara
global pada periode tahun 1980 – 2000 total kasus difteri menurun lebih dari 90%.
Imunisasi DPT di Indonesia dimulai sejak tahun 1976 dan diberikan 3 kali, yaitu
pada bayi usia 2, 3 dan 4 bulan. Selanjutnya imunisasi lanjutan DT dimasukkan ke
dalam program Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) pada tahun 1984. Untuk
semakin meningkatkan perlindungan terhadap penyakit difteri, imunisasi lanjutan
DPT – HB – HiB mulai dimasukkan ke dalam program imunisasi rutin pada usia
18 bulan sejak tahun 2014, dan imunisasi Td menggantikan imunisasi TT pada
anak sekolah dasar.3
Jenis kelamin yang banyak dikenai adalah wanita. Beberapa studi telah
membuktikan bahwa wanita berisiko lebih tinggi dari laki-laki terkena infeksi
difteri karena daya imunitas yang lebih rendah.3
Terjadinya epidemik di suatu daerah yang sudah lama bebas dari penyakit
ini, dapat ditimbulkan karena adanya pasien difteri atau carrier nya yang datang
dari luar, atau terjadinya mutasi dari jenis non virulen menjadi virulen. Carrier
6
merupakan sumber penularan yang berbahaya karena tidak dikenal dan bersifat
silent.3
2.1.4 Patofisiologi
Manusia merupakan satu – satunya reservoir dari infeksi difteri.1
Corynebacterium diphtheriae adalah mikroorganisme yang tidak invasif, hanya
menyerang bagian superfisial dari saluran pernafasan dan kulit yang dapat
menimbulkan reaksi peradangan lokal dan diikuti nekrosis jaringan. Penularan
penyakit terjadi apabila kontak langsung dengan pasien difteri atau dengan carrier
difteri.1 Masa inkubasi pada difteri pernafasan biasanya adalah 2 – 5 hari, namun
biasa juga dalam tentang 1 – 10 hari. Toksin difteri menyebabkan nekrosis
jaringan lokal yang menyebabkan peradangan, ulserasi, dan edema jaringan dan
terjadi pembentukan pseudomembran klasik. 4
7
Corynebacterium diphtheriae ditularkan dengan kontak langsung melalui
batuk, bersin atau berbicara, atau dengan kontak tidak langsung melalui debu,
baju, buku atau mainan yang terkontaminasi. Kontak tidak langsung ini bisa
terjadi karena basil ini cukup resisten terhadap udara panas, dingin dan kering,
dan tahan hidup pada debu dan muntah selama 6 bulan.1 Orang dengan difteri
pernafasan itu menular, bisa juga menular saat masa inkubasi (ketika tanpa gejala)
dan kadang selama masa penyembuhan (bisa belangsung berminggu-minggu).3
Corynebacterium diphtheriae masuk ke dalam hidung atau mulut,
kemudian bertumbuh / berkembang pada mukosa saluran napas bagian atas
terutama daerah tonsil, faring, laring, kadang – kadang di kulit, konjungtiva atau
genital. Basil ini kemudian akan memproduksi eksotoksin, yang diabsorpsi
melewati membran sel mukosa, yang menyebabkan terjadinya peradangan dan
destruksi sel epitel diikuti oleh nekrosis. Pada daerah nekrosis ini terbentuk fibrin,
kemudian diinfiltrasi oleh sel leukosit, keadaan ini akan mengakibatkan
terbentuknya patchy exudate yang pada permulaan masih bisa terkelupas.1
Pada keadaan lebih lanjut, toksin yang diproduksi basil ini semakin
meningkat, menyebabkan daerah nekrosis bertambah luas dan bertambah dalam,
sehingga menimbulkan terbentuknya fibrous exudate (membran palsu) yang
terdiri atas jaringan nekrotik, fibrin, sel epitel, sel leukosit dan eritrosit, berwarna
abu – abu sampai hitam. Membran ini sukar terkelupas, kalau dipaksa lepas akan
menimbulkan perdarahan.1
Membran palsu ini bisa terbentuk pada tonsil, faring, laring, dan pada
keadaan berat bisa meluas sampai ke trakea dan kadang – kadang ke bronkus,
kemudian diikuti edema soft tissue di bawah mukosanya. Keadaan ini dapat
menimbulkan obstruksi saluran pernapasan sehingga memerlukan tindakan
segera.1
Pada keadaan tertentu dapat menimbulkan pembesaran kelenjar getah
bening servikal dan edema pada muka. Kombinasi antara limfadenopati servikal
dan edema muka menimbulkan perubahan wajah yang disebut Bull’s neck
appearance. 1
8
Eksotoksin yang terbentuk selanjutnya diserap masuk kedalam sirkulasi
darah menyebar ke seluruh tubuh menimbulkan kerusakan jaringan di organ tubuh
berupa degenerasi, infiltrasi lemak dan nekrosis, terutama pada jantung, ginjal,
hati, kelenjar adrenal dan jaringan saraf perifer. Apabila mengenai jantung
menimbulkan miokarditis, A-V disosiasi sampai blok total, dan payah jantung. 1
Kerusakan jaringan saraf perifer yang ditimbulkan adalah berupa
dimielinasi, yang dapat menimbulkan paralisis, terutama pada palatum mole, otot
mata dan ekstremitas inferior. 1
Akibat lain dari Corynebacterium diphtheriae adalah terjadinya
trombositopenia dan proteinuria. Kematian biasanya disebabkan oleh kegagalan
jantung atau asfiksia karena obstruksi saluran pernapasan. 1
Pada daerah tropis, Corynebacterium diphtheriae ini dapat menimbulkan
infeksi sekunder pada kulit (difteri kutan), yang dapat menimbulkan epidemi pada
populasi yang dilakukan imunisasi yang tidak sempurna, dan pada pasien
immunocompromise. Bentuk kelainan kulit adalah berupa ulkus yang tidak nyeri,
sukar sembuh dan ditutupi membran berwarna abu-abu. Difteri kutan ini sebagian
besar tidak menimbulkan keadaan toksik. 1
Beberapa jenis corynebacterium yang hidup pada saluran napas bagian
atas atau konjungtiva ada yang tidak menimbulkan penyakit, jenis ini disebut
difteroid, misalnya Corynebacterium pseudodiphtericum, Corynebacterium
cerosis, Corynebacterium haemolyticum. 1
Pemakaian obat imunosupresif dapat menyebabkan beberapa jenis kuman
ini menjadi invasif dan dapat menimbulkan kematian. 1
Menurut tingkat keparahannya, penyakit difteri dibagi atas 3 tingkat,
1
yaitu:
1) Infeksi ringan, apabila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa
hidung dengan gejala hanya pilek dan nyeri waktu menelan.
2) Infeksi sedang, apabila pseudomembran telah menyerang sampai faring
dan laring sehingga keadaan pasien terlihat lesu dan agak sesak.
9
3) Infeksi berat, apabila terjadi sumbatan napas yang berat dan adanya gejala-
gejala yang ditimbulkan oleh eksotoksin seperti miokarditis, paralisis dan
nefritis.
10
ii. Difteri Tonsil dan Faring
Ini merupakan daerah yang paling sering dikenai infeksi difteri. Jenis ini
biasanya disertai penyerapan toksin secara sistemik. Gejala pertama
berupa lesu, sakit menelan, anoreksia, demam yang tidak begitu tinggi tapi
pasien kelihatan toksik. Dalam waktu 2 – 3 hari terbentuk membran yang
berwarna putih kebiruan dan menyebar sampai ke daerah tonsil dan
menutupi hampir seluruh palatum mole. Membran melekat pada jaringan
dan berdarah kalau dilepaskan. Pembentukan membran secara ekstensif
dapat menimbulkan sumbatan pernafasan. Pada keadaan berat, pasien
kelihatan pucat, nadi cepat, stupor, dan bisa meninggal dalam waktu 6 – 10
hari. Pada keadaan berat juga dapat menimbulkan udema yang hebat pada
daerah submandibuler dan terjadinya limfadenopati kelenjar servikalis
anterior. Keadaan ini disebut Bull’s neck appearance.
11
iii. Difteri Laring
Pada jenis ini ditemukan perluasan pembentukan membran dari faring ke
daerah laring. Gejala yang ditemukan adalah suara parau, batuk – batuk
hebat dan membran bisa menimbulkan sumbatan aliran pernapasan dan
menimbulkan kematian.
Difteri kulit sering terjadi pada orang – orang yang tidak tinggal di rumah
(gelandangan) sehingga memudahkan terjadinya infeksi pada kulit. Lesi
pada kulit yang kronik ini memudahkan menempelnya Corynebacterium
diphtheriae. Umumnya jenis penyakit ini adalah nontoksigenik.
Bagian tubuh lain yang mungkin dikenai penyakit difteri adalah mukosa
membran dari konjungtiva, vulvovaginal dan kanalis aurikulus eksternal. 1
Pada pemeriksaan fisik ditemukan: keadaan umum terlihat agak toksik,
suhu 38⁰C, kesulitan bernapas, takikardia dan pucat. Pada pemeriksaan mukosa
saluran napas ditemukan adanya pseudomembran yang mempunyai karakteristik
sebagai berikut:1
12
• Mukosa membran edema, hiperemis, dengan epitel yang nekrosis
• Biasanya terbentuk berkelompok, tebal, fibrinous, dan berwarna
abu – abu kecoklatan, terdiri dari leukosit, eritrosit, sel epitel
saluran pernapasan yang mati, dan mudah berdarah kalau
terganggu atau dilepaskan dari dasarnya.
Membran ini bisa ditemukan pada palatum, faring, epiglotis, laring, trakea,
sampai kepada daerah trakeobronkus (tergantung jenis penyakit). 1
Pada pemeriksaan daerah leher ditemukan edema pada daerah
submandibular, dan leher bagian depan, ditandai dengan suara parau, stridor, dan
bisa ditemukan pembesaran kelenjar getah baning servikalis anterior (Bull’s neck
appearance). 1
Pada pemeriksaan sistem kardiovaskular ditemukan takikardia, suara
jantung lemah, irama mendua (presistolik gallops), aritmia (fibrilasi atrium). 1
Pada pemeriksaan elektrokardiografi ditemukan tanda – tanda miokarditis
berupa low voltage, depresi segmen ST, gelombang T terbalik, dan tanda – tanda
blok dimulai dari pemanjangan PR interval sampai blok AV total. Toksisitas
sistem kardiovaskular biasanya terjadi 1 – 2 minggu setelah terkena penyakit, dan
bisa terjadi pada 65% dari penderita difteri, dan 10 – 25% diantaranya mengalami
disfungsi miokard. Penyembuhan miokarditis sampai sempurna memerlukan
waktu 3 bulan. 1
Pada pemeriksaan neurologis ditemukan gerakan palatum berkurang,
paralisis otot-otot mata yang menimbulkan penglihatan kembar, kesukaran
akomodasi, dan strabismus internal, paralisis nervus frenikus akan menimbulkan
paralisis diafragma. Selanjutnya bisa terjadi paralisis ekstremitas inferior disertai
kehilangan refleks tendon, dan peningkatan kadar protein cairan serebrospinal,
sehingga secara klinis kadang-kadang sukar dibedakan dengan sindrom Guillian
Barre.1
Kelainan sistem saraf bisa terjadi pada 75% dari penderita difteri yang
berat. Saat timbulnya kelainan ini bervariasi tergantung pada jumlah toksin yang
diproduksi, dan cepat / lambatnya pemberian antitoksin. Biasanya terjadi paralisis
13
secara bilateral, motorik lebih dominan dari sensirik. Daerah yang pertama kali
terkena adalah palatum, umumnya terjadi pada minggu ke – 2 sampai dengan ke –
8 setelah terjadi infeksi, ditandai dengan gejala – gejala suara hidung (sengau),
kesukaran menelan, dan regurgitasi cairan ke rongga hidung sewaktu menelan.1
Organ – organ tubuh lain yang mungkin dikenai adalah:1
• Membran mukosa saluran urogenital, saluran pencernaan dan
konjungtiva. Juga bisa terjadi perdarahan pada konjungtiva dan
disolusi kornea.
• Nekrosis pada ginjal, hati dan kelenjar adrenal.
• Pada kasus – kasus berat yang terjadi secara sporadik, bisa timbul
artritis, osteomyelitis, abses limpa, yang tidak jarang menimbulkan
bakteremia dan sepsis.
14
Gambar 2.5 Corynebacterium diphtheriae dalam biakan agar darah2
15
Cara Melakukan Shick Test
Sebanyak 0,1 ml toksin difteri disuntikkan intrakutan pada lengan
tersangka, pada lengan yang lain disuntikkan toksin yang sudah
dipanaskan (kontrol). Reaksi dibaca pada hari ke 4 – 5, hasilnya positif
bila terjadi indurasi eritema yang diameternya 10 mm atau lebih pada
tempat suntikan. Hasil positif berarti adanya antitoksin difteri dalam
serumnya (menderita difteri).
Perlu diperhatikan bahwa hasil positif ini bisa juga ditimbulkan
oleh reaksi alergi terhadap toksin, tapi hal ini dapat dibedakan yaitu reaksi
eritema dan indurasinya menghilang dalam waktu 48 – 72 jam, sedangkan
yang positif karena adanya antitoksin akan menetap selama beberapa hari.
- Penghitungan sel darah tepi, ditemukan leukositosis moderat,
trombositopenis.
- Pemeriksaan enzim kardiak untuk mendeteksi adanya miokarditis.
- Kelainan EKG dan ECG ditemukan bila sudah ada komplikasi
miokarditis.
- Pemeriksaan radiografi thorax ditemukan hiperinflasi.
2.1.7 Tatalaksana
Perawatan umum. Pasien dirawat di ruangan Isolasi intuk menghindari
kontak dengan orang sehat. Istirahat di tempat tidur, minimal 2 – 3 minggu.
Makanan lunak atau cair, bergantung pada keadaan penderita. Kebersihan jalan
napas dan penghisapan lendir.1
Kontrol EKG secara serial 2 – 3 kali seminggu selama 4 – 6 minggu untuk
mendeteksi miokarditis secara dini. Bila terjadi miokarditis harus istirahat total di
tempat tidur selama 1 minggu. Mobilisasi secara gradual baru boleh dilakukan
bila tanda-tanda miokarditis secara klinis dan EKG menghilang. 1
Bila terjadi paralisis dilakukan fisioterapi pasif dan diikuti fisioterapi aktif
bila keadaan membaik. Paralisis palatum dan faring dapat menimbulkan aspirasi,
maka dianjurkan pemberian makanan cair melalui slang lambung. 1
16
Pasien difteri dalam keadaan berat, dianjurkan dirawat di ruang rawat
intensif. Bila terjadi obstruksi laring, secepat mungkin dilakukan trakeostomi. 1
Pengobatan khusus. Tujuan: 1. Membunuh basil difteri, 2. Menetralisasi
toksin yang dihasilkan basil difteri. 1
Membunuh basil difteri. Corynebacterium diphtheriae ini masih peka
terhadap sebagian besar antibiotika seperti penisilin ampisilin, eritromisin,
trimetrofim, kuinolon, clindamisin dan sefalosporin.
Pemberian antibiotik. a). Penisilin prokain 1.200.000 unit/hari, secara IM,
2x sehari, selama 14 hari. b). Eritromisin 40mg/kg/hari, maks 2gr/hari,
secara PO, 4x sehari, selama 14 hari. c). preparat lain yang bisa diberikan
adalah ampisilin, rifampisin, kuinolon atau clindamisin. Clindamisin jusa
segara diberikan pada carrier yang sudah teridentifikasi, dan kemudian
dilakukan pengawasan yang ketat, apabila memperlihatkan gejala difteri,
segera diberikan antitoksin.
Pemberian antitoksin. Diberikan sedini mungkin begitu diagnosis secara
klinis ditegakkan, tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan bakteriologis.
Antitoksin yang diberikan tidak mampu menetralisir toksin yang sudah
berikatan dengan jaringan, hanya bisa menetralisir toksin yang masih
beredar pada sirkulasi darah, sehingga keterlambatan pemberian antitoksin
akan meningkatkan angka kematian.
Dosis antitoksin yang diberikan tergantung kepada jenis difterinya, dan
tidak dipengaruhi oleh umur pasien, yaitu :
• Difteri nasal atau fausial yang ringan diberikan 20.000 – 40.000 U,
secara IV dalam waktu 60 menit
• Difteri fausial sedang diberikan 40.000 – 60.000 U, secara IV
• Difteri berat (bullneck dyphtheria) diberikan 80.000 – 120.000 U,
secara IV.
Pemberian antitoksin harus didahului dengan uji sensitivitas, karena
antitoksin dibuat dari serum kuda. Apabila uji sensitivitas positif, maka
diberikan secara desensitisasi dengan interval 20 menit, dosisnya sebagai
berikut : 1
17
0,1 ml larutan 1:20, subkutan (dalam cairan NaCl 0,9%)
0,1 ml larutan 1:10, subkutan
0,1 ml tanpa dilarutkan, subkutan
0,3 ml tanpa dilarutkan, intramuskular
0,5 ml tanpa dilarutkan, intramuskular
0,1 ml tanpa dilarutkan, intravena.
2.1.8 Pencegahan
Cara yang paling baik untuk pencegahan penyakit difteri adalah pemberian
imunisasi aktif pada masa kanak – kanak secara komplit.1
Antigen difteri secara tunggal belum ada, biasanya pemberian vaksin
difteri bersamaan dengan vaksin pertusis dan tetanus, seperti diphtheria – tetanus
– acellular pertusis vaccine (DTaP) untuk anak dan tetanus – diphtheria vaccine
(Td) untuk dewasa.1
Pemberian vaksin DTaP pada masa anak – anak adalah pada umur 2 bulan,
4 bulan, 6 bulan, 15 – 16 bulan, kemudian dilanjutkan dengan booster setiap 10
tahun.1
18
2.1.9 Surveilans
Surveilans difteri adalah kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus
menerus berdasarkan data dan informasi tentang kejadian penyakit difteri serta
kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan serta penularan penyakit
difteri untuk memperoleh dan memberikan informasi guna mengarahkan tindakan
pengendalian dan penanggulangan difteri secara efektif dan efisien.3
Definisi operasional kasus surveilans difteri: 3
1. Suspek difteri adalah orang dengan gejala faringintis, tonsilitis, laringitis,
trakeitis, atau kombinasinya disertai demam tidak tinggi dan adanya
pseudomembran putih keabu – abuan yang sulit lepas, mudah berdarah
apabila dilepas atau dilakukan manipulasi.
2. Probable difteri adalah orang dengan suspek difteri ditambah dengan salah
satu gejala berikut:
a. Pernah kontak dengan kasus (<2 minggu).
b. Imunisasi tidak lengkap, termasuk belum dilakukan booster.
c. Berada di daerah endemis difteri.
d. Stridor, Bullneck.
e. Pendarahan submukosa atau ptechiae pada kulit.
f. Gagal jantung toxic, gagal ginjal akut.
g. Miokarditis.
h. Meninggal.
3. Kasus konfirmasi laboratorium adalah kasus suspek difteri dengan hasil
kultur positif Corynebacterium diphtheriae strain toxigenic atau PCR
(Polymerase Chain Reaction) positif Corynebacterium diphtheriae yang
telah dikonfirmasi dengan Elek test.
4. Kasus konfirmasi hubungan epidemiologi adalah kasus yang memenuhi
kriteria suspek difteri dan mempunyai hubungan epidemiologi dengan
kasus konfirmasi laboratorium.
5. Kasus kompatibel klinis adalah kasus yang memenuhi kriteria suspek
difteri namun tidak mempunyai hubungan epidemiologi dengan kasus
konfirmasi laboratorium (butir 1 di atas) maupun kasus konfirmasi
19
hubungan epidemiologi (butir 2 di atas).
6. Kasus kontak adalah orang serumah, teman bermain, teman sekolah,
termasuk guru dan teman kerja yang kontak erat dengan kasus.
7. Kasus carrier adalah orang yang tidak menunjukkan gejala klinis, tetapi
hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan positif Corynebacterium
diphteriae.
2.1.10 Komplikasi
Timbulnya komplikasi pada pasien dipengaruhi oleh keadaan-keadaan
sebagai berikut: 1
1). Virulensi basil difteri,
2). Luas membran yang terbentuk,
3). Jumlah toksin yang diproduksi oleh basil difteri,
4). Waktu antara mulai timbulnya penyakit sampai pemberian antitoksin.
20
2.1.11 Prognosis
Difteri pseudomembran fatal biasanya terjadi pada pasien dengan titer
antibodi nonprotektif dan pasien yang tidak diimunisasi. Ukuran pseudomembran
sebenarnya dapat meningkat dari waktu pertama kali dicatat.8
Faktor risiko yang dapat menyebabkan kematian seperti: difteri bull’s
neck, miokarditis dengan ventrikel takikardi, atrial fibrilasi, complete heart block,
usia> 60 tahun atau <6 bulan, alkoholisme, pseudomembran yang meluas ke
laring, trakea, atau bronkial. Prediktor penting lain dari hasil fatal adalah interval
antara onset penyakit lokal dan pemberian antitoksin. Difteri kulit memiliki
tingkat kematian yang rendah dan jarang dikaitkan dengan miokarditis atau
neuropati perifer.8
21
2.2.2.2 Wilayah Kerja
Meliputi seluruh wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Cilandak Timur,
yang terdiri dari 7 RW dan 72 RT.
22
2.2.3.2 Sarana Pendidikan
23
2.2.3.3 Posyandu
24
BAB III
METODE PENELITIAN
25
1. Ibu yang menolak menjadi pasrtisipan.
2. Pengasuh yang mengantar anak ke Posyandu.
26
3.6 Pengolahan dan Analisis Data
Pengolohan dan analisis data pada penelitian ini menggunakan software
pengolahan data, yaitu Microsoft Word dan Microsoft Excel. Analisis data yang
sudah didapat menggunakan analisia univariat. Perhitungan data yang diperoleh
berdasarkan perbandingan hasil pre-test dan post-test.
27
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1 15 - 49 25 100 %
2 > 49 0 0%
JUMLAH 25 100 %
28
4.1.2 Persebaran Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
1 TIDAK/BLM SEKOLAH 0 0%
2 SD 1 4,00 %
3 SMP 3 12,00 %
4 SMA 14 56,00 %
JUMLAH 25 100 %
29
4.1.3 Persebaran Responden Berdasarkan Pekerjaan
JUMLAH 25 100 %
1 1–2 20 80,00 %
2 >2 5 20,00 %
JUMLAH 25 100 %
30
4.1.5 Persebaran Responden Berdasarkan Jenis KB yang Digunakan
2 PIL 4 16,00 %
3 SUNTIK 4 16,00 %
4 IMPLAN 3 12,00 %
5 IUD 6 24,00 %
6 STERIL 1 4,00 %
JUMLAH 25 100 %
31
4.2 Gambaran Peningkatan Pengetahuan Responden Tentang Difteri
Berikut gambaran pengetahuan responden di Posyandu Dahlia RW 04
tentang difteri sebelum dan sesudah dilakukan penyuluhan.
32
Berdasarkan Tabel 4.6 di atas, dapat diketahui bahwa sebanyak 6 orang
(24%) belum mengalami peningkatan pengetahuan tentang difteri, serta
didapatkan sebanyak 19 orang (76%) lainnya sudah mengalami peningkatan
pengetahuan tentang difteri. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar
responden sudah mendapatkan informasi mengenai penyakit difteri dari
penyuluhan yang telah dilakukan dengan baik dengan angka keberhasilan 76%.
33
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan
bahwa penelitian mengenai gambaran peningkatan pengetahuan difteri
pada ibu dengan anak balita di Posyandu Dahlia RW 04 Kelurahan
Cilandak Timur cukup berhasil dengan angka keberhasilan sebesar 76%
setelah diberikan intervensi berupa penyuluhan serta diberikan media
promosi kesehatan berupa leaflet yang bersumber dari Ikatan Dokter Anak
Indonesia (IDAI) dan Kementrian Kesehatan (Kemenkes).
5.2. Saran
5.2.1. Bagi Peneliti Selanjutnya
a. Adakan penelitian dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih spesifik
b. Lakukan penelitian menggunakan metode lain seperti meneliti hubungan
fakor risiko dengan angka kejadian dengan jumlah responden yang lebih
banyak dan kriteria yang lebih spesifik lagi
c. Lakukan juga penelitian terhadap masyarakat yang berjenis kelamin laki-
laki.
34
5.2.3. Bagi Warga Posyandu Dahlia RW 04 Kelurahan Cilandak Timur dan
Masyarakat Pada Umumnya
a. Lakukan imunisasi lengkap sesuai jadwal yang tertera di buku KMS
b. Lebih kritis lagi dalam mencari informasi mengenai penyakit difteri dan
konsultasikan langsung ilmu yang dimiliki kepada dokter umum maupun
dokter spesialis.
35
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo, Aru W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V.
Jakarta: InternaPublishing. 2009.
2. Text Book of Bacteriology. (Online),
(http://textbookofbacteriology.net/diphtheria.html, diakses Maret 2018)
3. Kementerian Kesehatan RI. Pencegahan dan Pengendalian. Buku Pedoman
Pencegahan dan Pengendalian Difteri. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
2017.
4. Cohen, dkk. Diphtheria: NICD Recommendations for Diagnosis,
Management and Public Health Response. NHLS Microbiology. 2016
5. Lange Text Books. Page 474. (Online),
(http://www.langetextbooks.com/0071604022/quizzes/references/Ryan_C
H26_p473-474.pdf diakses Maret 2018).
6. Mustafa M, dkk. Diphtheria: Clinical Manifestations, Diagnosis and Role
of Immunization In Prevention. Volume 15, Issue 8 Ver, III (August,
2016), PP 71-76. IOSR-JDMS.
7. CDC. Diphtheria. Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable
Diseases, 13th Edition. Page 107-118. April, 2015.
8. Bishai, William R. Murphy, John R. Diphtheria and other Corynebacterial
Infections. Harrison's Principles of Internal Medicine. 19th ed. McGraw-
Hill Education. 2015; h. 978.
36
LAMPIRAN
Lampiran 1
37
1. Menurut Ibu, apa penyebab penyakit 7. Menurut Ibu, pada usia berapa
difteri? sebaiknya imunisasi difteri diberikan?
a. Virus a. 2,3, dan 4 bulan, pengulangan di
b. Bakteri usia 1-5 tahun, imunisasi saat BIAS
c. Tidak tahu usia SD, pengulangan saat dewasa
2. Menurut Ibu, apakah difteri menular? setiap 10 tahun.
a. Ya b. Tidak perlu
b. Tidak c. Tidak tahu
c. Tidak tahu 8. Menurut Ibu, berapa kali imunisasi
3. Menurut ibu, bagaimana difteri difteri diberikan saat program ORI
menular? (Outbreak Response Immunization)
a. Pernapasan: batuk, bersin. a. 1 kali
b. Bepergian ke tempat penyakit b. 3 kali
difteri. c. Tidak tahu
c. Tidak tahu 9. Apakah ibu mengetahui efek samping
4. Menurut Ibu, apakah difteri bisa imunisasi difteri?
dicegah? a. demam, nyeri di lokasi penyuntikan,
a. Bisa bengkak di lokasi penyuntikan.
b. Tidak bisa b. Gatal, sulit tidur, tidak nafsu makan.
c. Tidak tahu c. tidak tahu.
5. Menurut Ibu, bagaimana mencegah
difteri? STATUS IMUNISASI DIFTERI
a. Imunisasi 1. Apakah anak ibu sudah mendapatkan
b. Mengkonsumsi obat imunisasi difteri?
c. Tidak tahu a. Ya
6. Apakah Ibu mengetahui gejala dan tanda b. Tidak
penyakit difteri?
a. tidak tahu 2. Menurut Ibu, apakan imunisasi pada
b. Demam, nyeri tenggorokan, sesak balita diperlukan? Berikan alasan.
nafas, leher membengkak, sulit ……………………………………………
menelan, dan pseudomembran di ……………………………………………
tenggorokan. ……………………………………………
c. demam, nyeri tenggorokan, sulit ……………………………………………
menelan. ……………………………………………
38
an 2
3
4
Lampiran 3
41
Lampiran 4
42