You are on page 1of 29

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Batu kandung kemih (Vesikolitiasis) merupakan penyakit terbanyak

yang didierita oleh masyarakat serta menduduki peringkat nomor 3 setelah

penyakit infeksi saluran kemih dan penyakit kelenjar prostat. Vesikolitiasis

sering terjadi pada seseorang yang pekerjaannya kurang gerakan fisik, stress,

kegemukan dan sering menahan kencing. Gaya hidup seseorang yang kurang

sehat juga dapat mempengaruhi terjadinya Vesikolitiasis.


Vesikolitiasis adalah batu yang ada di vesika urinaria ketika terdapat

defisiensi substansi tertentu, seperti sitrat yang secara normal mencegah

terjadinya kristalisasi dalam urin (Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, 2002)


Vesikolitiasis yaitu penyakit dimana didapatkan batu di dalam saluran

kemih terutama vesika urinaria, yang dimulai dari kaliks sampai dengan uretra

anterior (Nursalam & Kurniawati, 2007)


Pernyataan lain menyebutkan bahwa vesikolitiasis adalah batu

kandung kemih yang merupakan keadaan tidak normal di kandung kemih,

batu ini mengandung komponen Kristal dan matriks organik (Sjabani dalam

Soeparman, 2007).
Dalam penatalaksanaan kasus vesikolitiasis ini dapat dilakukan

tindakan vesikolitotomi atau sectio alta untuk mengangkat batu kandung

kemih.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum

1
Untuk mengetahui dan mempelajari kasus urologi yang mememrlukan

tindakan bedah
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui dan mempelajari kasus urologi yang

memerlukan tindakan pembedahan vesikolitotomi


b. Untuk mengetahui dan mempelajari kasus urologi yang

memerlukan tindakan pembedahan prostatektomi


c. Untuk mengetahui dan mempelajari kasus urologi yang

memerlukan tindakan pembedahan vesikolitotomi


d. Untuk mengetahui dan mempelajari kasus urologi yang

memerlukan tindakan pembedahan uretrotomi

2
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Bedah urologi


Pembedahan atau operasi adalah tindak pengobatan yang

menggunakan cara invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh

yang akan ditangani. Pembukaan bagian tubuh ini umumnya dilakukan

dengan membuka sayatan.Setelah bagian yang ditangani ditampilkan,

dilakukan tindak perbaikan yang diakhiri dengan penutupan dan penjahitan

luka. Perawatan selanjutnya akan termasuk dalam perawatan pascabedah

(Sjamsuhidayat & Jong., 2004).


Urologi adalah ilmu kedokteran dengan ruang lingkup medis dan

bedah yang berfokus pada perawatan penyakit saluran kemih, baik pada

pria (juga sebagai organ reproduksi) maupun wanita. Urologi berhubungan

langsung dengan semua masalah yang terjadi pada beberapa organ ginjal,

ureter, kantung kemih, uretra, kelenjar adrenal, serta sistem reproduksi

pria meliputi testis, epididimis, prostat, penis, vas deferens, dan vesika

seminalis. Sebab, sistem kemih berkaitan erat dengan sistem reproduksi,

maka penyakit yang terjadi pada salah satu sistem tersebut akan

berdampak langsung pada keduanya. Hal ini disebut juga dengan kondisi

genitourinari.

3
Bedah urologi merupakan cabang ilmu kedokteran dengan tujuan

untuk mengatasi gangguan kesehatan pada saluran kemih dan genital manusia

dengan tindakan operasi. Tindakann operasi pada bedah urologi dimulai dari

yang tidak invasif sampai kepada tindakan sangat invasif. Urologi adalah

bedah khusus yang berfokus pada saluran kemih laki-laki dan perempuan, dan

pada sistemreproduksi laki-laki. Profesional medis yang mengkhususkan diri

di bidang urologi disebut urolog dan dilatih untuk mendiagnosa, mengobati,

dan mengelola pasien dengan gangguan urologis.


1. Striktur Uretra
a. Pengertian
Striktur uretra merupakan penyempitan atau penyumbatan lumen

uretra karena pembentukan jaringan fibrotik (parut) pada uretra

dan/atau daerah peri uretra, yang pada tingkat lanjut dapat

menyebabkan fibrosis pada korpus spongiosum.


b. Penyebab
Striktur uretra dapat terjadi karena infeksi, trauma pada uretra, dan

kelainan bawaan. Infeksi yang paling sering menjadi penyebabnya

adalah infeksi oleh kuman gonokokus yang telah menginfeksi uretra

beberapa tahun sebelumnya. Trauma yang menyebabkan striktur uretra

adalah trauma tumpul pada selangkangan (straddle injury), fraktur

tulang pelvis, dan instrumentasi/tindakan transuretra uretra yang

kurang hati-hati.

c. Patofisiologi
Proses radang akibat trauma atau infeksi pada uretra akan

menyebabkan terbentuknya jaringan sikatrik pada uretra. Jaringan


4
sikatrik pada lumen uretra menimbulkan hambatan aliran urine hingga

retensi urine. Aliran urine yang terhambat mencari jalan keluar di

tempat lain (di sebelah proksimal striktura) dan akhirnya mengumpul

di rongga periuretra. Jika terinfeksi menimbulkan abses periuretra

yang kemudian pecah membentuk fistula uretrokutan. Pada keadaan

tertentu dijumpai banyak sekali fistula sehingga disebut sebagai fistula

seruling. Sesuai dengan derajat penyempitan lumennya, striktur uretra

dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu:


1) Ringan : jika oklusi yang terjadi kurang dari sepertiga

diameter lumen uretra


2) Sedang : jika terdapat oklusi setengah sampai sepertiga

diameter lumen uretra


3) Berat : jika terdapat oklusi lebih besar darisetengah diameter

lumen uretra Pada penyempitan derajat berat, kadang kala teraba

jaringan keras di korpus spongiosum, yang dikenal dengan

spongiofibrosis.
d. Gejala
Keluhan yang muncul berupa sulit kencing (harus mengejan),

pancaran bercabang, menetes,sampai retensi urine. Selain itu, bisa juga

disertai pembengkakan/abses di daerah perineum dan skrotum, serta

bila terjadi infeksi sistematik juga timbul panas badan, menggigil, dan

kencing berwarna keruh.


e. Pemeriksaan Diagnostik
Adapun pemeriksaan fisis yang dilakukan untuk mengetahui adanya

striktur uretra adalah:

5
1) Anamnesis yang lengkap (uretritis, trauma dengan kerusakan

pada panggul, straddle injury, instrumentasi pada uretra,

penggunaan kateter uretra, kelainan sejak lahir)


2) Inspeksi: meatus eksternus sempit,pembengkakan serta fistula

di daerah penis,skrotum,perineum,suprapubik.
3) Palpasi: teraba jaringan parut sepanjang perjalanan uretra

anterior; pada bagian ventral penis, muara fistula bila dipijit

mengeluarkan getah/nanah
4) Rectal toucher (colok dubur) Untuk mengetahui pola pancaran

urine secara obyektif, dapat diukur dengan cara sederhana atau

dengan memakai alat uroflowmetri.

Kecepatan pancaran urine untuk pria normal adalah 20

ml/detik. Jika kecepatan pancaran kurang dari 10 ml/detik

menandakan adanya obstruksi. Untuk melihat letak penyempitan dan

besarnya penyempitan uretra dibuat foto uretrografi. Lebih lengkap

lagi dibuat foto bipolar sisto-uretrografi untuk mengetahui panjang

striktur, yaitu dengan memasukkan bahan kontras secara antegrad dari

buli-buli dan secara retrograd dari uretra. Selain itu, untuk melihat

pembuntuan uretra secara langsung dilakukan melalui uretroskopi,

yaitu melihat striktur uretra transuretra.

f. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan striktur uretra tergantung pada lokasinya,

panjang/pendeknya striktur, serta keadaan darurat (retensi urin,

6
sistostomi (trokar, terbuka), infiltrat urin, insisi multipel, dan drain).

Jika pasien datang karena retensi urine, secepatnya dilakukan

sistostomi suprapubik untuk mengeluarkan urine. Jika dijumpai abses

periuretra dilakukan insisi dan pemberian antibiotika.


Tindakan khusus yang dilakukan terhadap striktur uretra

adalah:
1) Businasi (dilatasi) dengan busi logam yang dilakukan secara

hati-hati. Tindakan yang kasar tambah akan merusak uretra

sehingga menimbulkan luka baru yang pada akhirnya

menimbulkan striktur lagi yang lebih berat. Tindakan ini dapat

menimbulkan salah jalan (false route).


2) Uretrotomi interna, yaitu memotong jaringan sikatriks uretra

dengan pisau Otis/Sachse. Otis dikerjakan bila belum terjadi

striktur uretra total, sedangkan pada striktur yang lebih berat,

pemotongan striktur dikerjakan secara visual dengan memakai

pisau Sachse.
3) Uretrotomi eksterna, adalah tindakan operasi terbuka berupa

pemotongan jaringan fibrosis, kemudian dilakukan anastomosis di

antara jaringan uretra yang masih sehat.

2. Batu Saluran Kemih (BSK)


a. Pengertian
Batu saluran kemih (BSK) merupakan suatu kondisi

didapatkannya batu di dalam saluran kemih (mulai dari kaliks sampai

dengan uretra anterior).


b. Etiologidan Patofisologi

7
Pembentukan BSK diduga ada hubungannya dengan gangguan

aliran urine, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi, dan

keadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik). Secara

epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya

batu saluran kemih pada seseorang. Faktor-faktor itu adalah faktor

intrinsik yaitu keadaan yang berasal dari tubuh seseorang dan faktor

ekstrinsik yaitu pengaruh yang berasal dari lingkungan di sekitarnya.


1) Faktor intrinsik, meliputi:
a) Herediter (keturunan)
b) Umur (paling sering didapatkan pada usia 30–50 tahun)
c) Jenis kelamin jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih

banyak dibandingkan dengan pasien perempuan.


2) Beberapa faktor ekstrinsik diantaranya adalah:
a) Geografi pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian

batu saluran kemih yang lebih tinggi daripada daerah lain sehingga

dikenal sebagai daerah stone belt (sabuk batu)


b) Iklim dan temperature
c) Asupan air kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral

kalsium pada air yang dikonsumsi, dapat meningkatkan insiden

batu saluran kemih


d) Diet diet banyak purin, oksalat, dan kalsium mempermudah

terjadinya penyakit batu saluran kemih.


e) Pekerjaan sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya

banyak duduk atau kurang aktifitas (sedentary life).


c. Gejala
Tergantung pada posisi atau letak batu, besar batu, dan

penyulit/komplikasi yang telah terjadi. Penyakit BSK dapat

memberikan gejala klinis yang sangat bervariasi, dari yang tanpa


8
keluhan sampai dengan keluhan yang sangat berat. Keluhan yang

paling sering dirasakan adalah nyeri pinggang (kéméng) yang dapat

bersifat kolik ataupun bukan kolik. Nyeri tersebut terasa mulai dari

pinggang menjalar ke depan dan ke arah kemaluan disertai nausea dan

muntah, selain itu dapat juga berupa nyeri saat kencing. Hematuria

seringkali dikeluhkan akibat trauma pada mukosa saluran kencing,

yang terkadang didapatkan dari pemeriksaaan urinalisis berupa

hematuria mikroskopik. Jika didapatkan demam harus dicurigai suatu

urosepsis dan ini merupakan kedaruratan Urologi. Hal lain yang sering

dikeluhkan adalah terjadinya retensi urine jika didapatkan batu pada

uretra atau leher buli buli.


d. Pemerikasaan diagnostic
Pada pemeriksaan fisis mungkin didapatkan nyeri ketok pada

daerah kostovertebra, teraba ginjal pada sisi sakit (akibat

hidronefrosis), terlihat tanda-tanda gagal ginjal, retensi urine, dan jika

disertai infeksi didapatkan demam/menggigil. Pemeriksaan sedimen

urine menunjukkan adanya leukosituria, hematuria, dan dijumpai

kristal-kristal pembentuk batu.


Pemeriksaan kultur urine mungkin menunjukkan adanya

pertumbuhan kuman pemecah urea. Pemeriksaan faal ginjal bertujuan

untuk mencari kemungkinan terjadinya penurunan fungsi ginjal dan

untuk mempersiapkan pasien menjalani pemeriksaan foto PIV. Perlu

juga diperiksa kadar elektrolit yang diduga sebagai faktor penyebab

9
timbulnya batu saluran kemih, antara lain kadar dari kalsium, oksalat,

fosfat, maupun urat di dalam darah maupun urine.


Pembuatan foto polos abdomen bertujuan untuk melihat

kemungkinan adanya batu radio-opak di saluran kemih. Batu-batu

jenis kalsium oksalat dan kalsium fosfat bersifat radio-opak dan paling

sering dijumpai diantara batu jenis lain, sedangkan batu asam urat

bersifat non opak (radio-lusen).


Pemeriksaan Pielografi Intra Vena (PIV) ini bertujuan untuk

menilai keadaan anatomi dan fungsi ginjal. Selain itu PIV dapat

mendeteksi adanya batu semi-opak ataupun batu non opak yang tidak

dapat terlihat oleh foto polos perut. Jika PIV belum dapat menjelaskan

keadaan sistem saluran kemih akibat adanya penurunan fungsi ginjal,

sebagai penggantinya adalah pemeriksaan pielografi retrograd.


Pemeriksaan USG dikerjakan bila pasien tidak mungkin

menjalani pemeriksaan PIV, yaitu ketika pasien memiliki alergi

terhadap bahan kontras, faal ginjal yang menurun, dan pada wanita

yang sedang hamil. Pemeriksaan USG dapat menilai adanya batu di

ginjal atau di buli-buli (yang ditunjukkan sebagai echoic shadow),

hidronefrosis, pionefrosis, atau pengkerutan ginjal.


e. Penatalaksanaan
Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih

secepatnya harus dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyulit yang

lebih berat. Indikasi untuk melakukan tindakan/terapi pada batu

saluran kemih adalah jika batu telah telah menimbulkan obstruksi,

10
infeksi, atau harus diambil karena sesuatu indikasi sosial. Batu dapat

dikeluarkan dengan cara medikamentosa, dipecahkan dengan ESWL,

melalui tindakan endourologi, bedah laparoskopi, atau pembedahan

terbuka.
Medikamentosa Terapi medikamentosa ditujukan untuk batu

yang ukurannya kurang dari 5 mm, karena diharapkan batu dapat

keluar spontan. Terapi yang diberikan bertujuan untuk mengurangi

nyeri, memperlancar aliran urine dengan pemberian diuretikum, dan

minum banyak supaya dapat mendorong batu keluar dari saluran

kemih.
ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy) pemecah batu

yang digunakan untuk memecah batu ginjal, batu ureter proksimal,

atau batu buli-buli tanpa melalui tindakan invasif dan tanpa

pembiusan. Batu dipecah menjadi fragmen kecil sehingga mudah

dikeluarkan melalui saluran kemih. Tidak jarang pecahan batu yang

sedang keluar menimbulkan perasaan nyeri kolik dan menyebabkan

hematuria.
Endourologi Tindakan endourologi adalah tindakan invasif

minimal untuk mengeluarkan batu saluran kemih, yaitu berupa

tindakan memecah batu dan mengeluarkannya dari saluran kemih

melalui alat yang dimasukkan langsung ke dalam saluran kemih. Alat

itu dimasukkan melalui uretra atau melalui insisi kecil pada kulit

(perkutan). Proses pemecahanan batu dapat dilakukan secara mekanik,

11
dengan memakai energi hidrolik, energi gelombang suara, atau dengan

energi laser.
Beberapa tindakan endourologi itu adalah:
1) PNL (Percutaneous Nephro Litholapaxy) yaitu mengeluarkan

batu yang berada dalam saluran ginjal, dengan cara memasukkan

alat endoskopi ke sistem kalises melalui insisi pada kulit. Batu

kemudian dikeluarkan atau dipecah terlebih dahulu menjadi

fragmenfragmen kecil.
2) Litotripsi yaitu memecah batu buli-buli atau batu uretra dengan

memasukkan alat pemecah batu (litotriptor) ke dalam buli-buli.

Pecahan batu dikeluarkan dengan evakuator Ellik


3) Ureteroskopi atau uretero-renoskopi yaitu memasukkan alat

ureteroskopi per-uretram guna melihat keadaan ureter atau sistem

pielo-kaliks ginjal. Dengan memakai energi tertentu, batu yang

berada di dalam ureter maupun sistem pelvikalises dapat dipecah

melalui tuntunan ureteroskopi/ureterorenoskopi ini.


4) Ekstraksi Dormia yaitu mengeluarkan batu ureter dengan

menjaringnya melalui alat keranjang Dormia Bedah Laparoskopi

Pembedahan laparoskopi untuk mengambil batu saluran kemih

saat ini sedang berkembang. Cara ini banyak dipakai untuk

mengambil batu ureter. Bedah terbuka Di klinik atau rumah sakit

yang belum mempunyai fasilitas yang memadai untuk tindakan

endourologi, laparoskopi, maupun ESWL, maka pengambilan batu

masih dilakukan melalui pembedahan terbuka.

12
Pembedahan terbuka itu antara lain adalah:

1) Pielolitotomi atau Nefrolitotom


2) Ureterolithotomi
3) Vesicolithotomi
4) Nefrektomi

3. Vesikolithiasis
a. Pengertian
Vesikolitiasis adalah batu yang ada di vesika urinaria ketika

terdapat defisiensi substansi tertentu, seperti sitrat yang secara normal

mencegah terjadinya kristalisasi dalam urin (Smeltzer, 2006).


b. Etiologi
Vesikolitiasis diperkirakan akan terjadi karena kurangnya

higienis pada saluran kemih dan gizi. Selain itu vesikolitiasis juga

dipastikan adanya : faktor infeksi defisiensi vitamin A, diet yang salah,

kekurang minum, faktor lingkungan dari sumber air minum dan tirah

baring yang lama.


Terbentuknya batu di saluran kemih ada hubungannya dengan

aliran urine. Gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi dan

keadaan-keadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik).


Kandung kemih merupakan fungsi untuk pengumpulan air

kemih dan mengeluarkan air kemih menurut kehendak. Otototot

dinding kandung kemih dapat berdilatasi sesuai dengan banyaknya air

kemih sehingga tekan didalam kandung kemih dapat diatur. Apabila

tekanan sudah cukup tinggi (kemih telah mencapai 300 cc pada orang

dewasa) maka terjadilah rangsang untuk berkemih, rangsang ini

13
dipengaruhi kehendak, dan pengeluaran air kemih selanjutnya diatur

oleh otot-otot sphineter (Himawan, 2006).


c. Patofisiologi
Obstruksi saluran kemih bisa terjadi di seluruh traktur urinalis.

Obstruksi salah satu bagian sistem perkemihan akan menyebabkan

tekanan yang dapat mengakibatkan kerusakan fungsi dan anatominya.

Bila ada obstruksi maka urine akan terkumpul di belakang sumbatan

yang menimbulkan pelebaran pada struktur otot. Otot daerah eperen

berkontraksi untuk mendorong urine 29 dari temppat yang tersumbat.

Penyumbatan sebagian menyebabkan dilatasi yang lamban kepada

struktur yang ada di depan penyumbatan, tanpa gangguan fungsional,

tetapi bila obstruksi meningkat akan menimbulkan peleberan pelis

(hidronetrosis). Tekanan yang meningkat pada pelvis berdampak

kerusakan, pada jaringan ginjal dan menimbulkan kegagalan ginjal,

dengan adanya obstruksi aliran urine akan menurun sehingga akan

terjadi stagnasi urine yang merupakan media yang baik untuk

pertumbuhan mikroorganisme yang akan mengakibatkan terjadinya

infeksi.
Distersi vesika urinaria yang berlangsung lama menyebabkan

serabut-serabut otot menjadi hipertropi dan divertikal. Karena

dipertikulan menahan urine yang stagnasi infeksi sering timbul dan

terjadi pembentukan batu. Adanya batu akan menghalangi aliran

kemih akibat penutupan leher kandung kemih, maka aliran yang lancar

14
tiba-tiba akan berhenti dan menetes disertai nyeri bila terjadi pada

arah-arah akan menarik-narik penisnya. Bila terjadi infeksi sekunder

selain nyeri sewaktu miksi juga akan terdapat nyeri menetap pada

supra pubik, miksi tidak lampias, urgency hesistency, vesica urinaria

penuh (Rumoharbo, 2006).


d. Manifestasi Klinis
Batu pada kaliks ginjal memberikan rada nyeri ringan sampai

berat karena distensi dari kapsul ginjal. Begitu juga baru pada pelvis

renalis, dapat bermanifestasi tanpa gejala sampai dengan gejala berat.

Umumnya gejala batu kandung kemih merupakan akibat obstruksi

aliran kemih dan infeksi


Keluhan yang disampaikan oleh pasien tergantung pada posisi

atau letak batu, bersar batu, dan penyulit yang telah terjadi. Keluhan

yang paling dirasakan oleh pasien adalah nyeri pada pinggang. Nyeri

ini mungkin bisa merupakan nyeri kolik ataupun bukan kolik. Nyeri

kolik terjadi karena aktivitas peristaltik otot polos sistem kalises

ataaupun ureter menigkat dalam usaha untuk mengeluarjan batu dari

saluran kemih. Peningkatan peristaltik itu menyebabkan tekanan

intraluminalnya meningkat sehingga terjadi peregangan dari terminal

saraf yang memberikan sensari nyeri. Nyeri ini disebabkan oleh karena

adanya batu yang menyumbat kandung kemih, biasanya pada

pertemuan pelvis ren dengan ureter (ureteropelvic junction), dan

ureter. Nyeri bersifat tajam dan episodik di daerah pinggang (flank)

15
yang sering menjalar ke perut, atau lipat paha, bahkan pada batu ureter

distal sering ke kemaluan. Mual dan muntah sering menyertai keadaan

ini.
Batu yang terjebak di kandung kemih biasanya menyebabkan

iritasi dan berhubungan dengan infeksi traktus urinarius dan

hematuria, jika terjadi obstruksi pada leher kandung kemih

menyebabkan retensi urin atau bisa menyebabkan sepsis, kondisi ini

lebih serius yang dapat mengancam kehidupan pasien, dapat pula kita

lihat tanda 32 seperti mual, muntah, gelisah, nyeri dan perut kembung

(Smeltzer, 2007).
Jika sudah terjadi komplikasi seperti hidronefrosis maka

gejalanya tergantung pada penyebab penyumbatan. Jika penyumbatan,

lokasi, dan lamanya penyumbatan. Jika penyumbatan timbul dengan

cepat (hidronefrosis akut) biasanya akan menyebabkan koliks ginjal

(nyeri yang luar biasa di daerah antara rusak dan tulang punggung)

pada sisi ginjal yang terkena. Jika penyumbatan berkembang secara

perlahan (Hidronefrosis kronis), biasanya tidak menimbulkan gejala

atau nyeri tumpul di daerah antara tulang rusuk dan tulang punggung.
e. Penatalaksanaan
1) Pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder.
2) Pemberian antiseptik.
3) Tindakan operatif: operasi vasikolitotomi atau Sectio Alta

merupakan bentuk tindakan bedah di daerah abdomen hingga

mengenai vesika urinaria. Biasanya dilakukan untuk mengangkat

batu kandung kemih (vesikolitiasis)


16
4. BPH (Benign Prostate Hiperplasia)
a. Pengertian
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang

disebabkan oleh penuaan (Sabiston, David C,2004).


Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesanan prostat

yang jinak bervariasi berupa hiperplasia kelenjar atauhiperplasia

fibromuskular. Namun orang sering menyebutnya dengan hipertropi

prostat namun secarahistologi yang dominan adalah hyperplasia

(Price&Wilson, 2005).
b. Etiologi
Penyebab secara pasti belum diketahui, namun terdapat faktor

resiko umur dan hormon androgen. Pada umur diatas 50 tahun, pada

orang laki-laki akan timbul mikronodule dari kelenjar prostatnya. Ada

beberapa faktor kemungkinan penyebab antara lain :


1) Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen

menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami

hiperplasi .
2) Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon

estrogen dan penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi

stroma.
3) Interaksi stroma – epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth

factor dan penurunan transforming growth factor beta menyebabkan

hiperplasi stroma dan epitel.


4) Berkurangnya sel yang mati

17
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama

hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat


5) Teori sel stem
Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel

transit
6) Patofisiologi
BPH diderita oleh lelaki berusia di atas 50 tahun. Penyebabnya

belum diketahui secara pasti, diduga antara lain karena perubahan

hormonal dan ketidakseimbangan faktor pertumbuhan.


7) Tanda Gejala
Berupa Lower Urinary Tract Symptom (LUTS), yaitu:
1) gangguan pengeluaran, berupa kelemahan pancaran urine,

hesitansi, proses kencing berlangsung lebih lama, rasa tidak puas

pada akhir kencing.


2) Gangguan penyimpanan, berupa frekuensi, urgensi, nokturia,

dan disuria.
3) Residu urine makin banyak dan terjadi retensi urine. Untuk

menentukan berat ringannya keluhan tersebut, maka digunakan

penghitungan dengan IPPS (International Prostate Symptom

Score)
8) Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan fisis
1) Inspeksi buli-buli: ada/tidak penonjolan perut di daerah

suprapubik (buli-buli penuh/kosong)


2) Palpasi Buli-buli: tekanan di daerah suprapubik menimbulkan

rangsangan ingin kencing bila buli-buli berisi/penuh


3) Perkusi: buli-buli penuh berisi urine memberi suara redup
4) Colok dubur

18
5) Laboratorium – darah lengkap, urine lengkap, biakan urine,

serum kreatinin, BUN, PSA (prostate spesific antigen) 4. Radiologi

– USG – IVP atas indikasi


6) Uroflowmetri
9) Penatalaksanaan
Rencana pengobatan tergantung pada penyebab, keparahan

obstruksi, dan kondisi pasien. Jika pasien masuk RS dengan kondisi

darurat karena ia tidak dapat berkemih maka kateterisasi segera

dilakukan. Pada kasus yang berat mungkin digunakan kateter logam

dengan tonjolan kurva prostatik. Kadang suatu insisi dibuat ke dalam

kandung kemih (sitostomi supra pubik) untuk drainase yang adekuat.


Jenis pengobatan pada BPH antara lain:
1) Observasi (watchfull waiting)
Biasa dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Nasehat

yang diberikan adalah mengurangi minum setelah makan malam untuk

mengurangi nokturia, menghindari obat-obat dekongestan,

mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar

tidak terlalu sering miksi. Setiap 3 bulan dilakukan kontrol keluhan,

sisa kencing, dan pemeriksaan colok dubur.


2) Terapi medikamentosa
a) Penghambat adrenergik (prazosin, tetrazosin) : menghambat

reseptor pada otot polos di leher vesika, prostat sehingga terjadi

relaksasi. Hal ini akan menurunkan tekanan pada uretra pars

prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-gejala

berkurang.

19
b) Penghambat enzim 5--reduktase, menghambat pembentukan

DHT sehingga prostat yang membesar akan mengecil.


3) Terapi bedah
Tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi

absolut untuk terapi bedah yaitu :


a) Retensi urin berulang
b) Hematuri
c) Tanda penurunan fungsi ginjal
d) Infeksi saluran kemih berulang
e) Tanda obstruksi berat seperti hidrokel
f) Ada batu saluran kemih.

5. Varikokel
a. Pengertian
Varikokel adalah dilatasi abnormal dari vena pada pleksus

pampiniformis akibat gangguan aliran darah balik vena spermatika

interna.
b. Patogenesis
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab

varikokel, tetapi dari pengamatan membuktikan bahwa varikokel

sebelah kiri lebih sering dijumpai daripada sebelah kanan. Jika

terdapat varikokel di sebelah kanan atau varikokel bilateral patut

dicurigai adanya: kelainan pada rongga retroperitoneal (terdapat

obstruksi vena karena tumor), muara vena spermatika kanan pada vena

renails kanan, atau adanya situs inversus. Varikokel dapat

menimbulkan gangguan proses spermatogenesis melalui beberapa

cara, antara lain:

20
1) Terjadi stagnasi darah balik pada sirkulasi testis sehingga testis

mengalami hipoksia karena kekurangan oksigen.


2) Refluks hasil metabolit ginjal dan adrenal (antara lain

katekolamin dan prostaglandin) melalui vena spermatika interna ke

testis.
3) Peningkatan suhu testis.
4) Adanya anastomosis antara pleksus pampiniformis kiri dan

kanan, memungkinkan zat-zat hasil metabolit tadi dapat dialirkan

dari testis kiri ke testis kanan sehingga menyebabkan gangguan

spermatogenesis testis kanan dan pada akhirnya terjadi infertilitas.


c. Gejala
Keluhan yang sering muncul adalah belum mempunyai anak

setelah beberapa tahun menikah, adanya benjolan di atas testis, dan

nyeri pada testis.


d. Penatalaksanaan
Pemeriksaan dilakukan dalam posisi berdiri, dengan

memperhatikan keadaan skrotum kemudian dilakukan palpasi. Secara

klinis varikokel dibedakan dalam 3 tingkatan/derajat:


1) Derajat kecil adalah varikokel yang dapat dipalpasi setelah

pasien melakukan manuver valsava


2) Derajat sedang adalah varikokel yang dapat dipalpasi tanpa

melakukan manuver valsava


3) Derajat besar adalah varikokel yang sudah dapat dilihat

bentuknya tanpa melakukan manuver valsava. Untuk menilai

seberapa jauh varikokel telah menyebabkan kerusakan pada tubuli

seminiferi dilakukan pemeriksaan analisis semen.

21
Sumber:(SMF Urologi RSU Dr. Saiful Anwar Fakultas Kedokteran

Universitas Brawijaya, 2010)


B. Tindakan Bedah Urologi
1. Vesikulolitotomi
a. Pengertian
Vesikolithotomi merupakan tindakan operasi terbuka untuk mengambil

batu buli
b. Tujuan
Melaksanakan pelayanan medis operasi vesicolithotomi secara

terstandar.
c. Prosedur
1) Letakkan pasien pada posisi supine dengan general anastesi

atau regional anastesi. Jika operator tidak kidal maka operator

berdiri di sisi kiri pasien


2) Lakukan desinfeksi dengan povidone iodine 10% pada

lapangan operasi dimulai dari paha atas, genetalia eksterna dan

processus xypoideus.
3) Persempit lapangan operasi dengan memasang doek sterille.
4) Insisi kulit pada midline mulai dua jari dibawah umbilikus ke

arah simfisis, dapat pula dilakukan insisi pfannenstiel yaitu insisi

supra pubik transvesal sesuai dengan garis lipatan perut

(semilunar) dengan panjang 10 cm dengan pisau no 15, lapis demi

lapis sampai pada fasia muskulus rektus abdominis,


5) Lapangan operasi diperlebar dengan dua langenback atau

spreader. muskulus rektus abdominis dipisahkan secara tumpul

pada linea alba.


6) Sisihkan lemak peri vesika ke arah kranial
7) Identifikasi buli (bewarna kebiruan, banyak terdapat pembuluh

darah dan dari pungsi keluar urine).


22
8) Teugel buli dengan chromic catgut 1-0 pada sisi kanan-kiri
9) Insisi buli dengan pisau dan perlebar secara tajam dengan pisau

atau gunting
10) Raba batu dengan jari, kemudian keluarkan batu dengan stain

tang (perhatikan jumlah, ukuran dan warna)


11) Setelah batu keluar spoelling buli dengan PZ (3x), kemudian

evaluasi mukosa buli (tumor, divertikel), muara ureter kanan-kiri

(batu dan ureteric jet), evaluasi ukuran bladder neck,


12) Lakukan biopsi buli bila ukuran batu lebih dari 3 cm
13) Pasang kateter F 16 sampai tampak ujung kateter di bulibuli

kemudian spoelling dengan PZ.


14) Jahit buli-buli 2 lapis, mukosa muskularis dengan plain catgut

3-0 atraumatik jarum round secara jelujur, tunika serosa dengan

Polyglactin 3-0 satu persatu.


15) Test buli-buli untuk evaluasi kebocoran dengan memasukkan

PZ 250 cc lewat kateter, bila tidak ada kebocoran isi kateter

dengan air steril 10 cc.


16) Cuci lapangan operasi dengan PZ. 17. Pasang redon drain

paravesikal dan fiksasi pada kulit


17) Tutup lapangan operasi lapis demi lapis, muskulus rektus

abdominis dengan Polyglactin 1-0, fascia anterior muskulus rektus

abdominis dengan Polyglactin 1-0, subkutan dengan plain catgut

3-0, kulit dengan Silk 3-0 atau benang monofilament.


18) Tutup luka dengan tulle dan kassa steril.

2. Open Prostatektomi
a. Pengertian
Open Prostatektomi Millin's Procedure merupakan tindakan

operasi terbuka untuk mengambil kelenjar prostat pada kasus BPH.


23
b. Tujuan
Melaksanakan pelayanan medis operasi Open Prostatektomi

Millin's Procedure secara terstandar.


c. Prosedur
1) Setelah dilakukan anestesi baik regional ataupun general,

penderita diletakkan dalam posisi supinasi (telentang). Jika

operator tidak kidal maka operator berdiri di sisi kiri pasien


2) Dilakukan desinfeksi dengan larutan povidone iodine 10% dari

bawah os xyphoid sampai pertengahan kedua paha dan skrotum di

sangga dengan doek steril kecil


3) Lapangan operasi di persempit dengan doek steril (lapangan

operasi di mid line antara umbilikus dan os pubis).


4) Insisi dua jari dibawah umbilikus ke arah simfisis sepanjang

kurang lebig 10 cm (midline) lapis demi lapis


5) Muskulus rektus abdominis dipisahkan ke lateral secara tumpul

(pada linea alba) sambil merawat perdarahan


6) Lemak perivesikal disisihkan ke kranial, identifikasi buli-buli

dan prostat selanjutnya dipasang spreader.


7) Pasang bantalan pada kiri dan kanan prostat (dengan kasa)

dengan tujuan : agar prostat lebih menonjol dan identifikasi prostat

lebih mudah
8) Jahit (hemostasis) kapsul prostat pada 4 tempat dengan

chromic catgut no. 3 yaitu lateral kanan dan kiri (arah oblique)

tengah atas dan bawah kira-kira 1 cm dan 2 cm dari leher bulibuli.


9) Insisi kapsul prostat arahnya horisontal (diantara ke empat

jahitan tersebut) sampai nampak adenoma prostat.


10) Adenoma prostat dipisahkan dari kapsulnya dengan gunting

metzeubaum secara tajam dan tumpul.


24
11) Setelah ada ruang antara kapsul dengan adenoma prostat

enukleasi secara tumpul menggunakan jari telunjuk sampai keluar

semua adenomanya. Bekas enukleasi di tekan dengan kassa

sebanyak 4-5 lembar selama ± 5 menit untuk menghentikan

perdarahan.Mapping jumlah dan ukuran adenoma prostat yang

sudah dikeluarkan
12) Kasa diambil, sumber perdarahan dijahit dengan polyglactin

No. 2-0 pada jam 5 dan 7 secara figure of eight, rawat perdarahan
13) Kemudian pasang kateter three way 22F atau 24F sampai ke

buli-buli (balon dikembangkan 30-40 cc)


14) Kapsul prostat dijahit dengan polyglactin No. 2-0 secara

simpul bedah sampai tidak ada kebocoran (water tight).


15) Isi buli-buli dengan PZ untuk melihat kebocoran buli.
Sumber: (RSU Dr. Saiful Anwar Malang, 2012)

25
BAB III
STUDI KASUS
A. Kasus
Seorang pasien laki-laki berusia 57 tahun databng kerumah sakit

dengan keluhan nyeri hebat pada bagian pinggang sebelah kiri dan nyeri

menetap pada bagian suprapubik. Keadaan umum pasien jelek, tekanan darah

140/90 mmHg, pasien tampak pucat. Pasien mengeluh nyeri saat berkemih

dan jumlah urine yang dikeluarkan sedikit.


Hasil pemeriksaan USG dan Foto polos abdomen didapatkan adanya

batu sepanjang 3 cm pada vesika urinaria. Pasien direncakan dilakukan

tindakan vesikulolitotomi. Hasil pemeriksaan penunjang pascaoperasi

didapatkan hasil batu sudah terangkat sepenuhnya. Penatalaksaan postoperasi

pasien diberikan antibiotic untuk pencegahan infeksi sekunder pascaoperasi

dan perawatan luka.


B. Pembahasan
Dari kasus diatas dapat diketahui bahwa pasien didiagnosis menderita

vesikulolitotomi, dan dari hasil pemeriksaan penunjang tampak bahwa

terdapat batu sebesar 3 cm di vesika urinaria. Indikasi dilakukan

vesikolitotomi adalah apabila besar batu lebih dari 2,5 cm. Hasil yang

diharapkan postoperasi adalah batu terangkat sepenuhnya dan tidak adanya

infeksi sekunder. Pendidikan kesehatan diberikan kepada pasien mengenai

nutrisi untuk mencegah terbentuk kembali batu dan mempercepat

penyembuhan luka.

26
Selama praktik perioperatif, kelompok memperhatikan pada pasien

dengan indikasi tindakan vesikolitotomi yaitu pemeriksaan penunjang selalu

ditampilkan seperti foto polos abdomen untuk mencegah terjadinya kesalahan

lokasi operasi. Selain itu pemeriksaan penunjang berfungsi untuk mengetahui

besar massa yang akan diangkat, letak dan menentukan lokasi insisi. Selama

pembedahan jumlah batu yang diangkat selalu dihitung untuk memastikan

jumlahnya sesuai dengan yang terlihat di foto polos abdomen.

27
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari kasus diatas dapat disimpulkan bahwa indikasi

dilakukan tindakan vesikulolitotomi apabila besar batu yang terdapat pada

vesika urinaria lebih dar 2,5 cm pada orang dewasa. Persiapan yang dilakukan

pada tindakan vesikulolitotomi salah satunya adanya pemeriksaan penunjang

berupa USG dan foto polos Abdomen.

B. Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan mahasiswa lebih mengerti

tentang bedah urologi khusunya vesikulolitotomi, persiapan yang harus

dilakukan dan hasil apa yang seharusnya didapatkan pasca operasi.

28
DAFTAR PUSTAKA

Nursalam, & Kurniawati, N. D. (2007). Asuhan Keperawatan Pada Pasien


HIV/AIDS. Jakarta: Salemba Medika.

RSU Dr. Saiful Anwar Malang. (2012). SOP Bedah Urologi.

Sjamsuhidayat, R., & Jong., W. de. (2004). Buku Ajar Ilmu Bedah (2nd ed.). Jakarta:
EGC.

Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, B. G. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal


Bedah Brunner dan Suddarth (Vol. 1). Jakarta: EGC.

SMF Urologi RSU Dr. Saiful Anwar Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.
(2010). Pedoman Diagnosis & Terapi SMF Urologi Laboratorium Ilmu Bedah.

29

You might also like