You are on page 1of 21

“ASKEP PADA KLIEN (TN.

KG) DENGAN CEDERA KEPALA DI UGD RSPK

GMIM MANADO”

Diajukan untuk memenuhi laporan praktek klinik keperawatan terpadu (PKKT)

DISUSUN OLEH :

OLIEVIA EKA WIDIE HARDNATA (15011104018)

KELAS A1/KELOMPOK 1

SEMESTER VI/REGULER

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNSRAT

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

MANADO

2018

1|E M E R G E N C Y C A S E
LAPORAN PENDAHULUAN

“CEDERA KEPALA”

2.1 Konsep Teori dari Cedera Kepala

1. Definisi

Menurut nasional institude of neurological disorder and stroke, cedera

kepala atau yang sinonim dengan brain injuri/ head injuri/ traumatic brain injuri,

adalah cedera yang mengenai kepala atau otak (atau keduanya) yang terjadi

mendadak menyebabkan kerusakan pada otak. Menurut Brain Injury Association

of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat

kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan

fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana

menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois et al.

2006).

˗ Klasifikasi Cedera Kepala

 Berdasarkan patologisnya cedera kepala dapat dibedakan menjadi dua,

yaitu :

˗ Cedera kepala primer, merupakan akibat langsung cedera awal

yang menyebabkan gangguan jaringan. Pada cedera primer dapat

terjadi gegar kepala ringan, memar otak & laserasi.

˗ Cedera kepala sekunder, merupakan cedera yang menyebabkan

kerusakan otak lebih lanjut yang terjadi setelah trauma sehingga

meningkatkan TIK yang tak terkendali, meliputi respon fisiologis

cedera otak, termasuk edema serebral, perubahan biokimia, dan

2|E M E R G E N C Y C A S E
perubahan hemodinamika serebral, iskemia serebral, hipotensi

sistemik, dan infeksi lokal atau sistemik.

 Berdasarkan jenis cedera, dapat dibedakan menjadi :

˗ Cedera kepala terbuka dapat menyebabkan fraktur tulang

tengkorak dan laserasi duamater. Cedera ini menembus

tengkorak dan jaringan otak.

˗ Cedera kepala tertutup dapat disamakan pada klien dengan gegar

otak ringan dengan cedera serebral yang luas.

 Berdasarkan berat-ringannya;GCS (glasgown coma scale) :

˗ Cedera kepala ringan/minor :

 GCS 14-15

 Dapat terjadi kehilangan kesadaran, amnesia tetapi

kurang dari 30 menit

 Tidak ada fraktur tengkorak

 Tidak ada kontusio serebral, hematoma

˗ Cedera kepala sedang

 GCS 9-13

 Kehilangan kesadaran lebih dari 30 menit tetapi kurang

dari 24 jam

 Dapat mengalami fraktur tengkorak

 Diikuti contusio serebral, laserasi dan hematoma

intrakranial

˗ Cedera kepala berat

 GCS 3-8

3|E M E R G E N C Y C A S E
 Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari

24 jam

 Juga meliputi kontusio serebral, laserasi dan hematoma

intrakranial.

2. Etiologi

Rosjidi (2007), penyebab cedera kepala antara lain:

 Kecelakaan (kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, Kecelakaan

pada saat olah raga dan mobil) & jatuh.

 Cedera akibat kekerasan.

 Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana

dapat merobek otak.

 Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana

dapat merobek otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam.

Mekanisme cedera kepala meliputi :

 Cedera Akselerasi, terjadi jika objek bergerak menghantam kepala

yang tidak bergerak

 Cedera Deselerasi, terjadi jika kepala yang bergerak membentur objek

yang diam

 Cedera Akselerasi-Deselerasi sering terjadi dalam kasus kecelakaan

kendaraan bermotor dan episode kekerasan fisik.

 Cedera Coup-Countre Coup, terjadi jika kepala terbentur yang

menyebabkan otak bergerak dalam ruang kranial dan dengan kuat

mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan serta area kepala

yang pertama kali terbentur.

4|E M E R G E N C Y C A S E
 Cedera Rotasional, terjadi jika pukulan/benturan menyebabkan otak

berputar dalam rongga tengkorak, yang mengakibatkan peregangan

atau robeknya neuron dalam substansia alba serta robeknya pembuluh

darah yang memfiksasi otak dengan bagian dalam rongga tengkorak.

3. Patofisiologi

Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera otak, yaitu

cedera otak primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak primer adalah cedera

yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan merupakan suatu

fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang

bisa kita lakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sedang

sakit bisa mengalami proses penyembuhan yang optimal. Cedera primer, yang

terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak,

laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi karena terjatuh, dipukul,

kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan

pada seluruh sistem dalam tubuh. Sedangkan cedera otak sekunder merupakan

hasil dari proses yang berkelanjutan sesudah atau berkaitan dengan cedera primer

dan lebih merupakan fenomena metabolik sebagai akibat, cedera sekunder dapat

terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area

cedera. Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantaranya, bila trauma ekstra

kranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya

bisa perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang

terjadi terus- menerus dapat menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan

volume darah pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi

arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya

peningkatan tekanan intrakranial (TIK), adapun, hipotensi (Soetomo, 2002).

5|E M E R G E N C Y C A S E
Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan robekan dan

terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intra kranial dapat mengakibatkan laserasi,

perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan

syaraf kranial tertama motorik yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam

mobilitas (Brain, 2009).

4. Manifestasi klinik

Kondisi cedera kepala yang dapat terjadi antara lain :

 Komosio serebri

 Kontusio serebri

 Laserasi serebri

 Epidural hematom (EDH)

 Subdural hematom (SDH)

 Subarachnoid hematom (SAH)

 Intracerebral hematom (ICH)

 Fraktur basis krani (fraktur dari dasar tengorak)

Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi cedera

otak, yakni :

 Cedera kepala ringan

˗ Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap

setelah cedera.

˗ Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan

cemas.

˗ Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah

tingkah laku

6|E M E R G E N C Y C A S E
Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa

minggu atau lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma

ringan.

 Cedera kepala sedang

˗ Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan

kebinggungan atau hahkan koma.

˗ Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit

neurologik, perubahan TTV, gangguan penglihatan dan

pendengaran, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo

dan gangguan pergerakan.

 Cedera kepala berat

˗ Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan

sesudah terjadinya penurunan kesehatan.

˗ Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya

cedera terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.

˗ Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.

Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada

area fraktur, fraktur pada dasar tengkorak dicurigai ketka CSS

keluar dari telinga dan hidung, & laserasi atau kontusio otak

ditunjukkan oleh CSS berdarah.

5. Pemeriksaan diagnostik

 Skull X ray, Membantu menentukan lokasi terjadinya trauma dan efek

yang terjadi (perdarahan atau ruptur atau fraktur).

7|E M E R G E N C Y C A S E
 CT Scan, Memeperlihatkan secara spesifik letak oedema, posisi

hematoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemia serta posisinya

secara pasti.

 MRI (magnetic imaging resonance), Dengan menggunakan gelombang

magnetik untuk menentukan posisi serta besar/ luas terjadinya perdarahan

otak.

 Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti

pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.

 Analisa Gas Darah: mendeteksi ventilasi atau masalah pernapasan

(oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.

6. Penatalakanaan

 Farmakologi :

˗ Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral,

dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.

˗ Pemberian analgetik.

˗ Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%,

˗ glukosa 40% atau gliserol.

˗ Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk

infeksi anaerob diberikan metronidazole.

˗ Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam

pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan

makanan lunak.

 Nonfarmakologi :

˗ Pembedahan.

˗ Stabilisasi kardiopulmoner mencakup prinsip-prinsip ABC

8|E M E R G E N C Y C A S E
˗ Semua cedera kepala berat memerlukan tindakan intubasi pada

kesempatan pertama

7. Komplikasi

 Fraktur tulang tengkorak

 Perdarahan

 Peningkatan CSS peningkatan TIK

Tekanan intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15

mmHg, dan herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan

darah yang mengalir dalam otak disebut sebagai tekan perfusi serebral.

Yang merupakan komplikasi serius dengan akibat herniasi dengan gagal

pernafasan dan gagal jantung serta kematian.

 Edema pulmonal

Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi

mungkin berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress

pernafasan dewasa. Edema paru terjadi akibat refleks

cushing/perlindungan yang berusaha mempertahankan tekanan perfusi

dalam keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial meningkat tekanan

darah sistematik meningkat untuk mencoba mempertahankan aliran darah

keotak, bila keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun bradikardi dan

bahkan frekuensi respirasi berkurang, tekanan darah semakin meningkat.

Hipotensi akan memburuk keadan, harus dipertahankan tekanan perfusi

paling sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan tekanan sistol 100-110

mmHg, pada penderita kepala. Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara

umum menyebabkan lebih banyak darah dialirkan ke paru, perubahan

permiabilitas pembulu darah paru berperan pada proses berpindahnya

9|E M E R G E N C Y C A S E
cairan ke alveolus. Kerusakan difusi oksigen akan karbondioksida dari

darah akan menimbulkan peningkatan TIK lebih lanjut.

 Kejang

Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase

akut.

 Infeksi

2.2 Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Cedera Kepala

1) Pengkajian Fokus

 Identitas klien

 Riwayat penyakit sekarang

 Waktu kejadian

 Penyebab trauma

 Posisi saat kejadian

 Status kesadaran saat kejadian

 Pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian

 Riwayat penyakit dahulu

 Riwayat penyakit keluarga

 Pemeriksaan fisik

Beberapa hal yang perlu di observasi, adalah:

 Fungsi vital (TD, S, N, R)

Tekanan darah yang meninggi disertai dengan bradikardi dan

pernapasan yang tidak teratur (trias Cushing) menandakan adanya

tekanan tinggi intrakranial. Nadi yang cepat disertai hipotensi dan

pernapasan yang ireguler mungkin disebabkan gangguan fungsi

batang otak misalnya pada fracture oksipital.

10 | E M E R G E N C Y C A S E
 Mata

Perlu diperiksa besar dan reaksi dari pupil. Perdarahan retina sering

terlihat pada perdarahan subarakhnoid atau perdarahan subdural

 Kepala

Diperiksa apakah terdapat luka, hematoma, fracture. Bila terdapat

nyeri atau kekakuan pada leher atau perdarahan subarakhnoid

 Telinga dan hidung

Diperiksa apakah terdapat perdarahan atau keluar cairan

serebrospinal dari hidung/telinga. Perdarahan telinga disertai

akimosis di daerah mastoid (Battle’s sign) mungkin akibat fracture

basis kranil.

 Abdomen

Abdomen juga harus diperiksa terhadap kemungkinan adanya

perdarahan intra abdominal.

 Pemeriksaan neurologis

 Glasgow coma scale (GCS)

Sistem GCS ini dibuat untuk mengurangi keragaman hasil

pemeriksaan, untuk membedakan berat ringannya keadaan pasien dan

mengevaluasi penatalaksanaan, serta berguna untuk memperkirakan

prognosis pasien (Jennet, 1976). Salah satu peranan GCS yang sangat

penting dan sering tidak disadari adalah untuk berkomunikasi, karena

skala ini memiliki nilai objektivitas yang baik dan pemeriksaannya

sederhana. Pemeriksaan GCS tersebut mencakup tiga komponen yaitu

reaksi membuka mata, reaksi motorik, dan reaksi verbal, masing-

masing diberi nilai sebagai berikut:

11 | E M E R G E N C Y C A S E
˗ Cedera kepala ringan : GCS 14-15

˗ Cedera kepala sedang : GCS 9-13

˗ Cedera kepala berat : GCS 3-8

12 | E M E R G E N C Y C A S E
2) Penyimpangan KDM

Head Injury

Ekstra Tulang Intra


Kranial kranial kranial
Terputusnya Terputusnya Jaringan
Resiko kontinuitas
kontinuitas otak rusak
perdarahan jaringan
jar kulit, otot, (kontusia
dan vaskuler tulang laserasi )
perubahan
autoregulasi
& edema
Perdarahan, serebral
Ggn suplai Resiko Nyeri akut
hematoma kejang
darah infeksi

Perubahan Ggn
Iskemia Kerusak Bersihan
sirkulasi CSS neurologis
an jalan napas,
vokal
memori obstruksi
Hipoksi
Resiko Defisit jalan napas,
Peningkatan a
ketidakefekti neurologis dispnea,
TIK
fan perfusi henti nafas,
Ggn
jar otak &
persepsi
Gilus  Mual muntah perupahan
sensori
medialis  Papilodema Resiko pola nafas
lobus  Pandangan kekurangan
kabur Ketidakefektif
temporalis volume
tergeser  Penurunan cairan;
an bersihan
Herniasi fungsi jalan napas
Resiko syok
unkus Pendengara
n
 Nyeri kepala
Mesenfalon Tonsil Kompresi
tertekan serebrum medula
bergeser oblongata

Ggn Resiko
kesadaran cedera
Hambatan
Imobilitas
mobilitas
fisik
Ansietas
13 | E M E R G E N C Y C A S E
3) Diagnosa keperawatan

Berdasarkan penyimpangan kebutuhan dasar manusia (KDM) yang

telah dipaparkan sebelumnya, kami dapat mengangkat diagnosa :

˗ Diagnosa Prioritas

˗ Dx1 : Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak b.d penurunan

ruangan untuk perfusi serebral, sumbatan aliran darah serebral

˗ Dx2 : Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d obstruksi jalan

napas

˗ Dx3 : Nyeri akut b.d cidera biologis kontraktur (terputusnya

jaringan tulang)

˗ Diagnosa lain yang bisa diangkat :

˗ Dx : Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan persepsi/kognitif

˗ Dx : Kerusakan memori b.d hipoksia, gangguan neurologis

˗ Dx :Resiko kekurangan volume cairan b.d perubahan kadar

elektrolit serum (muntah)

˗ Dx : Resiko infeksi b.d adanya lesi

˗ Dx : Ansietas b.d stress, ancaman kematian

˗ Dx :Gangguan persepsi sensori b.d penurunan

kesadaran,peningkatan tekanan intrakranial

4) Intervensi

Pada tahap ini kita akan membuat perencanaan tindakan keperawatan

berdasarkan pada diagnosa yang ada.

˗ Dx1 : Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak b.d penurunan

ruangan untuk perfusi serebral, sumbatan aliran darah serebral

14 | E M E R G E N C Y C A S E
Tujuan Intervensi

Perfusi jaringan menjadi adekuat  Pain management

Kriteria hasil : - Monitor TTV

- Mampu mengontrol nyeri - Lakukan pengkajian nyeri

( tahu penyebab nyeri, secara komperhensif

mampu menggunakan termasuk lokasi,

teknik nonfarmakologi karakteristik, durasi,

untuk mengurangi nyeri, frekuensi, kualitas dan

mencari bantuan) faktor presipitasi

- Mampu mengenali nyeri - Observasi reaksi

(skala, intensitas, nonverbal dari

frekuensi dan tanda nyeri) ketidaknyaman

- Menyatakan rasa nyaman - Gunakan teknik

setelah nyeri berkurang komunikasi terapeutik

untuk mengetahui

pengalaman nyeri pasien

- Pilih dan lakukan

penanganan nyeri

(farmakologi, non

farmakologi dan inter

personal)

- Ajarkan tentang teknik

non farmakologi

- Berikan analgetik untuk

mengurangi nyeri

15 | E M E R G E N C Y C A S E
- Evaluasi keefektifan

kontrol nyeri

- Tingkatkan istirahat

- Kolaborasikan dengan

dokter jika ada keluhan

dan tindakan nyeri tidak

berhasil

˗ Dx2 : Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d obstruksi jalan

napas

Tujuan Intervensi

Jalan nafas menjadi efektif Airway suction

dengan KH : - Pastikan kebutuhan

- Mendominasikan batuk oral/tracheal suctioning

efektif dan suara nafas - Auskultasi suara nafas

yang bersih, tidak ada sebelum dan sesudah

sianosis dan dispneu suctioning

(mampu mengeluarkan - Minta klien nafas dalam

sputum, mampu bernafas sebelum suction di

dengan mudah, tidak ada lakukan

pursed lips) - Berikan O2 dengan

- Menunjukkan jalan nafas menggunakan nasal untuk

yang paten (klien tidak memfasilitasi suksion

merasa tercekik, irama nasotrakeal

16 | E M E R G E N C Y C A S E
nafas, frekuensi - Gunakan alat yang steril

pernafasan dalam rentang setiap melakukan tindakan

normal, tidak ada suara - Anjurkan pasien untuk

nafas abnormal) istirahat dan nafas dalam

- Mampu mengidentifikasi setelah kateter dikeluarkan

dan mencegah factor yang dari nasotrakeal

dapat menghambat jalan - Monitor status oksigen

nafas pasien

- Ajarkan keluarga

bagaimana cara

melakukan suksion

- Hentikan suction dan

berikan oksigen apabila

pasien menunjukkan

bradikardi

˗ Dx3 : Nyeri akut b.d cidera biologis kontraktur (terputusnya

jaringan tulang)

Tujuan Intervensi

Nyeri dapat diatasi dengan KH :  Pain management

- Mampu mengontrol nyeri - Lakukan pengkajian nyeri

( tahu penyebab nyeri, secara komperhensif

mampu menggunakan termasuk lokasi,

teknik nonfarmakologi karakteristik, durasi,

untuk mengurangi nyeri, frekuensi, kualitas dan

17 | E M E R G E N C Y C A S E
mencari bantuan) faktor presipitasi

- Melaporkan bahwa nyeri - Observasi reaksi

berkurang dengan nonverbal dari

menggunakan manajemen ketidaknyaman

nyeri - Gunakan teknik

- Mampu mengenali nyeri komunikasi terapeutik

(skala, intensitas, untuk mengetahui

frekuensi dan tanda nyeri) pengalaman nyeri pasien

- Menyatakan rasa nyaman - Kaji kultur yang

setelah nyeri berkurang mempengaruhi respon

nyeri

- Evaluasi pengalaman nyeri

masa lampau

- Evaluasi bersama pasien

dan tim kesehatan lain

tentang ketidakeektifan

kontrol nyeri masa lampau

- Bantu pasien dan keluarga

untuk mencari dan

menemukan dukungan

- Kontrol lingkungan yang

dapat mempengaruhi nyeri

seperti suhu ruangan,

pencahayaan dan

kebisingan

18 | E M E R G E N C Y C A S E
- Kurangi faktor presipitasi

nyeri

- Pilih dan lakukan

penanganan nyeri

(farmakologi, non

farmakologi dan inter

personal)

- Kaji tipe dan sumber nyeri

untuk menentukan

intervensi

- Ajarkan tentang teknik

non farmakologi

- Berikan analgetik untuk

mengurangi nyeri

- Evaluasi keefektifan

kontrol nyeri

- Tingkatkan istirahat

- Kolaborasikan dengan

dokter jika ada keluhan

dan tindakan nyeri tidak

berhasil

- Monitor penerimaan

pasien tentang manajemen

nyeri

19 | E M E R G E N C Y C A S E
 Analgesic adminis tration

- Tentukan lokasi,

karakteristik, kualitas, dan

derajat nyeri sebelum

pemberian obat

- Cek instruksi dokter

tentang jenis obat, dosis,

dan frekuensi

- Cek riwayat alergi

- Pilih analgesik yang di

perlukan atau kombinasi

dari analgesik ketika

pemberian lebih dari satu

- Tentukan pilihan analgesik

tergantung tipe dan

beratnya nyeri

- Tentukan analgesik

pilihan, rute pemberian,

dan dosis optimal

- Pilih rute pemberian

secara IV, IM untuk

pengobatan nyeri secara

teratur

- Monitor vital sign sebelum

dan sesudah pemberian

20 | E M E R G E N C Y C A S E
analgesik pertama kali

- Berikan analgesik tepat

waktu terutama saat nyeri

hebat

- Evaluasi efektivitas

analgesik, tanda dan gejala

5) Implementasi

Pada tahap ini pengolahan dan perwujudan dari rencana keperawatan

yang telah disusun sebelumnya dengan tujuan untuk memenuhi/menyelesaikan

masalah keperawatan secara optimal.

6) Evaluasi

Pada tahap ini menilai apakah tujuan dalam rencana tindakan

keperawatan tercapai atau tidak atau bahkan timbul masalah baru, serta untuk

melakukan pengkajian ulang.

21 | E M E R G E N C Y C A S E

You might also like