You are on page 1of 7

SINDROM DOWN

Sindrom down atau trisonomi 21 merupakan kelainan kromosom yang timbul secara
spontan dan menyebabkan penampilan wajah yang khas, kelainan fisik yang nyata serta
reterdasi mental. Penyebab sindrom down meliputi:
 Usia orang tua yang sudah lanjut (ibu berusia 35 tahun atau lebih atau ayah berusia
42 tahun atau lebih)
 Efek kumulatif lingkungan, seperti radiasi dan virus
Hampir kasus sindrom down terjadi karena trisonomi 21 (ada tiga salinan kromosom 21).
Akibatnya adalah sebuah kariotipe dengan 47 buah kromosom dan bukan 46 buah
kromosom yang lasim terdapat. Pada 4% pasien, sindrom down terjadi karena translokasi
yang tidak seimbang atau penyusunan kembali kromosom yang tidak seimbang dan lengan
panjang kromosom 21 terputus dan melekat pada kromosom yang lain.
Tanda dan gejala klinis meliputi:
 Tampilan wajah yang khas (pangkal hidung letak rendah, lipatan epikantus pada
mata, lidah menjulur keluar serta daun telinga letak rendah), mulut kecil dan selalu
terbuka, dan lidah berukuran besar sehingga tidak proporsional dengan mulut
 Garis lipatan transversal yang tunggal pada telapak tangan (simian crease)
 Bintik-bintik putih kecil pada iris (brushfield’s spots)
 Reterdasi mental (perkiraan IQ 30-70)
 Keterlambatan perkembangan akibat hipotonia dan penurunan proses kognitif
 Penyakit jantung kongenital, terutama defek septum dan khususnya pada bantalan
endokardial
 Gangguan refleks akibat penurunan tonus otot pada ekstremitas
Penanganan sindrom down meliputi:
 Pembedahan untuk mengoreksi defek jantung dan kelainan kongenital lain yang
terkait
 Pemberian antibiotik untuk mengatasi infeksi yang kambuhan
 Pembedahan plastik untuk mengoreksi trial fasial yang khas (khususnya untuk
mengoreksi lidah yang menjulur keluar, kemungkinan memperbaiki wicara,
menurunkan kerentanan karies dentis, dan mengurangi frekuensi persoalan
ortodonsi)
 Program intervensi yang dini dan terapi suportif untuk memaksimalkan
kemampuan mental serta fisik
 Terapi pengganti hormon tiroid untuk mengatasi hipertiroidisme

1
SINDROM EDWARD

Sindrom edward atau trisonomi 18 merupakan sindrom malformasi multipel nomor 2


dalam urutannya sebagai kelainan kromosom yang sering ditemukan. Kebanyakan bayi
yang terkena memiliki trisomi 18 yang penuh dan ekstra salinan kromosom 18 (ketiga)
dalam setiap sel tubuhnya kendati tipe-tipe trisomi parsial (dengan penotif yang bervariasi)
dan translokasi juga pernah dilaporkan. Sebagian besar bayi yang menderita gangguan ini
ditemukan mengalami reterdasi intrauteri, defek jantung kongenital, mikrosefalus, dan
bentuk-bentuk malformasi lain.
Penyebab meliputi kelainan kromosom (risiko biasanya meningkat seiring dengan
peningkatan usia ibu, namun usia rata-rata untuk kelainan ini ada 32,5 tahun). sebagian
besar kasus trisonomi 18 karena nondisjungsi mitotik yang spontan sehingga timbul ekstra
salinan kromosom 18 dalam setiap sel tubuh.
Tanda dan gejala trisonomi 18 meliputi:
 Reterdasi pertumbuhan yang dimulai in utero dan tetap signifikan sesudah lahir
 Hipotonia inisial yang segera dapat menjadi hipertonia
 Mikrosefalus dan dolikosefalus
 Mikrognatia
 Hidung yang pesek dan sempit dengan lubang hidung mendongak ke atas
 Telinga yang ujungnya agak runcing dan terletak rendah
 Leher pendek
 Tangan mengepal dengan jari-jari seling bertumpuk (umumnya terlihat jelas pada
gambar USG)
 Kistik higroma
 Kista pleksus koroideus (yang juga terlihat pada beberapa bayi normal)
Penanganan bertujuan memberikan rasa nyaman pada bayi dan dukungan emosional bagi
orangtuanya. Karena bayi penderita sindrom trisonomi 18 memiliki refleks mengisap yang
buruk, nutrisinya dipertahankan dengan pemberian makan melalui sonde. Ajari orang tua
merawat bayi dengan sindrom ini di rumah dan teknik pemberian makan melalui sonde.

2
SINDROM KLINIFELTER

Sindrom klinifelter merupakan kelainan genetik yang sering ditemukan dan terjadi karena
terdapat kromosom X tambahan, yang menciptakan konstitusi kromosom seks XXY dan
hanya terjadi pada laki-laki. Biasanya sindrom ini tampak nyata pada usia pubertas ketika
ciri seks sekunder sudah berkembang. Testis gagal mencapai maturitas dan kemudian
mulai terjadi perubahan degeneratif pada testis, yang akhirnya akan menimbulkan
infertilitas yang irriversibel. Klinifelter umumnya menyebabkan ginekomastia dan juga
disertai kecenderungan ke arah ketidakmampuan belajar.
Penyebab dapat meliputi:
 Sel yang memiliki kromosom X tambahan akan menciptakan komplemen 47,XXY
dan bukan 46,XY
 Pada bentuk mosaik yang langka, hanya sebagian sel yang mengandung kromosom
X tambahan dan sebagian lain mengandung komplemen XY yang normal
 Kekurangan satu kromosom X sehingga terjadi susunan 45X
Gambaran khas sindrom klinifelter meliputi:
 Penis dan kelenjar prostat kecil
 Testis kecil
 Distribusi rambut pubis tipe wanita (berbentuk segi tiga)
 Disfungsi seksual (impotensi, kurang libido)
 Genikomastia pada kurang dari 50% pasien
 Keterlambatan perubahan patologik yang mengakibatkan infertilitas pada bentuk
mosaik
 Bentuk tubuh abnormal (tungkai panjang sementara badan pendek dan obese)
 Tubuh jangkung
 Pada sebagian individu, persoalan perilaku muncul pada usia remaja
 Peningkatan insidensi penyakit paru dan vena varikosa
Penanganan bergantung pada berat gejala, dapat meliputi:
 Mastektomi pada pasien dengan ginekomastia persisten
 Suplementasi testoteron untuk menimbulkan ciri seks sekunder
 Konseling psikologis untuk mengatasi masalah citra tubuh atau gangguan
pengaturan emosi akibat disfungsi seksual

3
SINDROM MARFAN

Sindrom marfan merupakan penyakit generatif menyeluruh pada jaringan ikat dan jarang
ditemukan. Sindrom ini terjadi karena defek pada jaringan elastin dan kolagen dan
menimbulkan anomali pada mata, skelet (rangka) dan sistem kardiovaskuler. Penyebab
penyakit ini dapat meliputi:
 Mutasi autosom dominan
 Kemungkinan terjadi pada orang tua yang sudah lanjut, pada pasien dengan riwayat
keluarga yang negatif (15% pasien)
Sindrom marfan disebabkan oleh mutasi pada alel tunggal sebuah gen yang terletak pada
kromosom 15, yaitu kode gen untuk fibrilin – komponen glikoprotein dalam jaringan ikat.
Serabut halus ini berlimpah dalam pembuluh darah besar dan ligamentum suspensorium
lensa okuli. Efek yang ditimbulkan pada jaringan ikat beragam dan meliputi pertumbuhan
tulang berlebihan, gangguan okuler serta defek jantung.
Tanda dan gejala meliputi:
 Tinggi badan bertambah, ekstremitas panjang dan araknodaktili (jari-jari tangan
mirip kaki laba-laba yang panjang) akibat efek sindrom ini pada tulang panjang
serta persendian dan pertumbuhan tulang yang berlebihan
 Defek pada sternum (misalnya dada tong/funnel chest atau dada burung/pigioen
chest), dada tidak simetris, skoliosis, dan kifosis
 Rabun jauh akibat pemanjangan bola mata
 Dislokasi (pergeseran) lensa akibat perubahan jaringan ikat (tanda okuler yang
menunjukkan sindrom marfan)
 Kelainan katup (lipatan katup yang berlebihan, peregangan korda tandinea dan
dilatasi katup anus)
 Prolapsus katup mitral akibat kelemahan jaringan ikat
 Insufisiensi aorta akibat dilatasi radiks aorta dan aorta asenden
Penanganan sindrom marfan pada dasarnya bertujuan meredakan gejala, meliputi:
 Koreksi aneurima dengan pembedahan untuk mencegah ruptur
 Koreksi deformitas okuler dengan pembedahan untuk memperbaiki penglihatan
 Terapi steroid dan hormon seks untuk menginduksi penutupan lempeng epifisis
secara dini dan membatasi tinggi badan pasien dewasa
 Pemberian beta-bloker untuk memperlambat atau mencegah dilatasi aorta
 Penggantian katup aorta dan katup mitral dengan pembedahan untuk mengatasi
dilatasi yang ekstrim
 Pemasangan bidai mekanis dan fisioterapi bagi skoliosis ringan jika kurvutura
vertebra lebih dari 30 derajat
 Pembedahan untuk mengoreksi skoliosis jika kurvutura tersebut lebih dari 45
derajat

4
HEMOFILIA

Hemofilia merupakan gangguan perdarahan yang resesif terkait kromosom X (X-linked);


berat dan prognosis perdarahan bervariasi menurut derajat defisiensi atau nonfungsi dan
lokasi perdarahan. Penyebab dapat meliputi:
 Defek gen yang spesifik pada kromosom X; gen ini menghasilkan kode untuk
sintesis faktor VIII (hemofilia A)
 Lebih dari 300 substitusi pasangan dasar yang berbeda dan melibatkan gen faktor
IX pada kromosom X (hemofilia B)
Faktor VIII dan faktor IX adalah komponen lintasan intrinsik pembekuan; faktor IX
merupakan faktor yang esensial, sedangkan faktor VIII merupakan kofaktor yang
menentukan. Faktor VIII mempercepat pengaktifan faktor X sebesar beberapa ribu kali
lipat. Perdarahan berlebihan akan terjadi ketika faktor pembekuan ini berkurang lebih dari
75%. Defisiensi atau nonfungsi faktor VIII akan menyebabkan hemofilia A, dan defisiensi
atau nonfungsi faktor IX menyebabkan hemofilia B.
Intensitas hemofilia bisa berat, sedang atau ringan menurut derajat pengaktifan faktor
pembekuan. Pasien yang menderita penyakit berat tidak memiliki aktivitas faktor VIII atau
IX yang bisa terdeteksi atau aktivitas kedua faktor tersebut kurang dari 1% aktivitas
normalnya. Pesian dengan intensitas penyakit sedang memiliki aktivitas pembekuan
normal sebesar 1-4%, sementara intensitas penyakit ringan sebesar 5-25%.
Penderita hemofilia dapat membentuk sumbatan trombosit pada tempat perdarahan, tetapi
defisiensi faktor pembekuan akan mengganggu kemampuannya untuk membantu bekuan
fibrin yang stabil. Perdarahan yang timbul kemudian lebih sering dijumpai daripada
perdarahan yang segera terjadi.
Tanda dan gejala meliputi:
 Perdarahan spontan pada hemofilia berat
 Hematoma subkutan (memar) atau perdarahan berlebihan dan berkelanjutan
sesudah mengalami trauma ringan
 Nyeri, pembengkakan dan nyeri tekan yang disebabkan oleh perdarahan ke dalam
sendi
 Perdarahan internal yang sering bermanifestasi sebagai nyeri abdomen, nyeri dada,
atau nyeri pinggang
 Hematuria akibat perdarahan ke dalam ginjal
 Hematemesis atau feses seperti ter akibat perdarahan saluran cerna
Hemofilia memang tidak dapat disembuhkan, tetapi penanganan hemofilia yang baik dapat
mencegah deformitas yang menimbulkan disabiliti dan juga dapat memperpanjang usia
pasien. Adapun penenganan hemofilia meliputi:
 Pemberian kriopresipitat (hemofilia A) atau lyophilized factor VIII atau IX untuk
meningkatkan kadar faktor pembekuan.
 Pemberian konsentrat faktor IX saat terjadi perdarahan (hemofilia B)
 Pemberian asam aminokaproat (Amicer) per oral untuk perdarahan
 Terapi profilaksis dengan desmopresin sebelum menjalani prosedur dental atau
bedah minor

5
ANEMIA SEL SABIT

Anemia sel sabit (sickle cell anemia) merupakan anemia hemolitik kongenital yang terjadi
karena defek pada molekul hemoglobin. Anemia sel sabit terjadi karena penggantian asam
glutamat dengan asam amino valin dalam gen hemoglibin S yang mengkode rantai beta
hemoglobin. Hemoglobin S yang abnormal dan ditemukan dalam sel darah merah pasien
akan bersifat insolubel (tidak melarut) pada keadaan hipoksia. Sebagai akibatnya, sel-sel
ini menjadi kaku, kasar dan memanjang sehingga bentuknya menjadi seperti bulan sabit.
Perubahan menjadi sel sabit menyebabkan hemolisis. Sel-sel darah yang berubah akan
bertumpuk dalam kapiler dan pembuluh darah kecil sehingga darah menjadi semakin
kental. Sirkulasi normal akan terganggu sehingga timbul rasa nyeri, infark jaringan, dan
pembengkakan.
Setiap pasien anemia sel sabit memiliki ambang hipoksia yang berbeda dan faktor berbeda
akan memicu krisis sel sabit. Sakit, pajanan hawa dingin, stress, keadaan asidosis atau
proses patofisiologi yang menarik air keluar dari sel sabit akan memicu krisis pada
sebagian besar pasien. Sumbatan tersebut kemudian menyebabkan perubahan anoksik
yang selanjutnya menimbulkan perubahan menjadi sel sabit dan obstruksi.
Tanda dan gejala dapat berupa:
 Takikardia, kardiomegali, rasa lelah yang kronis, dispnea, hepatomegali,
pembengkakan sendi, tulang-tulang yang terasa pegal atau nyeri dada.
 Nyeri hebat pada abdomen, toraks, otot-otot atau tulang (menandai krisis yang
nyeri)
 Ikterus, urine berwarna gelap dan panas yang ringan akibat obstruksi pembuluh
darah oleh sel sabit yang kaku dan saling membelit (sehingga terjadi anoksia
jaringan dan mungkin pula nekrosis jaringan)
 Sepsis streptococcus pneumonia akibat autoplenektomi (kerusakan limpa dan
pembentukan sikatriks dalam organ tersebut pada pasien yang penyakitnya sudah
berjalan lama)
Penanganan yang mungkin dilakukan meliputi:
 Transfusi dengan packed red cells untuk mengoreksi hipovolemia (jika nila
hemoglobin menurun)
 Pemberian preparat sedativa dan analgetik seperti meperidin (Demerol) atau morfin
sulfat untuk mengurangi rasa nyeri
 Pemberian oksigen untuk mengoreksi hipoksia
 Pemberian cairan dalam jumlah besar peroral atau IV untuk mengoreksi
hipovolemia dan mencegah dehidrasi serta oklusi vaskuler
 Terapi profilaktik penisilin sebelum bayi berusia 4 bulan untuk mencegah infeksi
 Pemberian hidroksiurea untuk mengurangi episode nyeri dengan cara meningkatkan
hemoglobin fetal (HbF) yang tampak dapat meringankan keluhan
 Pemberian suplemen zat besi dan asam folat untuk mencegah anemia

6
LABIO-PALATOSKIZIS

Labioskizis (celah bibir) dan palatoskizis (celah palatum) dapat terjadi secara tersendiri
atau dalam bentuk kombinasi. Kemungkinan penyebab meliputi:
 Sindrom kromosom atau sindrom mendelian (celah bibir dikaitkan dengan lebih
dari 300 sindrom)
 Pajanan teratogen selama perkembangan janin
 Kombinasi faktor genetik dan lingkungan
Selama bulan kedua kehamilan, terjadi perkembangan bagian depan dan samping wajah
serta bidang palatinum (palatine shelves). Karena kelainan kromosom, pajanan teratogen,
kelainan genetik, atau faktor lingkungan menyebabkan bibir atau palatum tidak menyatu
dengan sempurna.
Deformitas berkisar dari lekukan kecil biasa hingga celah bibir yang kompleks.
Palatoskizis bisa terjadi parsial atau total. Labioskizis total atau lengkap meliputi daerah
palatum mole, os maksila, dan alveolus pada satu atau kedua sisi premaksila..
Celah bibir ganda merupakan bentuk deformitas yang paling parah. Celahnya terbentuk
dari palatumm mole ke depan ke salah satu sisi hidung. Celah bibir ganda ini memisahkan
daerah maksila dan premaksila menjadi segmen yang bergerak bebas. Lidah dan otot-otot
yang lain dapat menggeser segmen tersebut sehingga memperlebar celah bibir.
Tanda dan gejala meliputi:
 Labio atau palatoskizis yang tampak jelas
 Kesulitan dalam pemberian makan karena fusi palatum yang tidak lengkap
Koreksi labio atau palatoskizis dapat melibatkan:
 Pembedahan untuk mengoreksi labioskizis ketika bayi baru berusia beberapa hari;
tindakan ini memungkinkan bayi untuk mengisap. Pembedahan juga dapat
dilakukan setelah bari berusia 8-10 minggu untuk membiarkan bayi tumbuh dan
mencapai maturitas terlebih dahulu. Penundaan operasi ini dilakukan untuk
mengurangi risiko pembedahan serta pembiusan, untuk menyingkirkan
kemungkinan anomali yang menyertai.
 Pemasangan prostesis ortodontik untuk memperbaiki kemampuan bayi mengisap
 Pembedahan untuk mengoreksi palatoskizis dilakukan ketika bayi berusia 12-18
bulan, sudah mengalami kenaikan berat badan dan bebas dari infeksi.
 Terapi wicara untuk mengoreksi pola bicara
 Penggunaan speech bulb dalam bentuk khusus yang dipasang di bagian posterior
prostesis ortodontik untuk menutup nasofaring jika terdapat celah lebar berbentuk
tapal kuda yang membuat pembedahan tidak mungkin dilakukan (untuk membantu
anak mengembangkan pola bicara yang dapat dipahami).
 Nutrisi yang adekuat bagi tumbuh kembang yang normal
 Penggunaan dot yang lunak dan berukuran besar dengan lubang lebih dari satu
seperti puting susu domba untuk memperbaiki pola menyusu dan meningkatkan
status gizi.

You might also like