You are on page 1of 22

REFERAT

AZOOSPERMIA

Pembimbing:

Bagian Bedah

Fakultas Kedokteran / RSUP Dr Sardjito

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

2016

0
Lembar Pengesahan

Referat:

Azoospermia

Disusun dan dibacakan oleh:

Nickanor Wonatorey

Mengetahui,

Pembimbing

1
Daftar Isi

A. Definisi dan Etiologi..................................................................................... 3


B. Diagnosis..................................................................................................... 6
 Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan awal pada pria dengan
azoospermia............................................................................................... 6
 Semen Analisis............................................................................................ 8
 Azoospermia dengan penurunan volume semen...................................... 11
 Azoospermia dengan volume semen normal............................................ 12
 Kegagalan ejakulasi................................................................................... 13
 Pemeriksaan genetis untuk pria dengan Azoospermia............................. 13
C. Manajemen............................................................................................... 14
 Azoospermia dengan hypogonadotropic hypogonadism.......................... 15
 Ejakulasi retrograd.................................................................................... 16
 Azoospermia obstruktif............................................................................. 16
 Azoospermia non-obstruktif..................................................................... 18
 Kegagalan Ejakulasi................................................................................... 19

Daftar Pustaka...................................................................................................... 20

2
A. Definisi dan Etiologi

Secara garis besar infertilitas dapat dibagi dua (Jungwirth et. al, 2012):
1. Infertilitas primer: merupakan suatu keadaan dimana pria (suami) tidak pernah
menghamili wanita (istri) meskipun telah melakukan hubungan seksual secara
teratur selama >12 bulan secara teratur tanpa kontrasepsi.
2. Infertilitas sekunder: merupakan suatu keadaan dimana pria (suami) pernah
menghamili wanita (istri) tetapi kemudian tidak mampu menghamili lagi wanita
(istri) meskipun telah melakukan hubungan seksual secara teratur selama >12
bulan secara teratur tanpa kontrasepsi.(Jungwirth et. al, 2012)

Infetilitas menyerang 15% pasangan di dunia, dengan faktor pria manyumbang


kontribusi hampir 50% dari seluruh pasangan tersebut, dri para pria yang diajukan dalam
studi fertilitas, sekitar 20% didiagnosis dengan azoospermia, para pria ini dapat
dikatagorikan sebagai berikut(Jungwirth et. al, 2012):

1. Faktor pre testikular


Yaitu kondisi-kondisi di luar testis dan mempengaruhi proses spermatogenesis.
Kelainan endokrin (hormonal). Kurang lebih 2% dari infertilitas pria disebabkan
karena adanya kelainan endokrin antara lain berupa:
a. Kelainan hipotalamus: defisiensi gonadotropin (Sindrom Kallmann),
defisiensi LH, defisiensi FSH, sindrom hipogonadotropik kongenital.
Adanya kelainan pada hipotalamus menyebabkan tidak adanya sekresi
hormonal yang berperan penting dalam spermatogenesis sehingga
menginduksi keadaan infertil.
b. Kelainan hipofisis: insufisiensi hipofisis (tumor, proses infiltrat, operasi,
radiasi), hiperprolaktinemia, hormon eksogen (kelebihan estrogen-
androgen, kelebihan glukokortikoid, hipertirod dan hipotiroid) dan
defisiensi hormon pertumbuhan (growth hormone) menyebabkan
gangguan spermatogenesis.
2. Kegagalan tingkat testicular atau azoospermia non-obstruktif ( 49%-93% dari
keseluruhan pria dengan azoospermia) (Wosnitzer et al, 2014).

3
a. Kelainan kromosom. Sebagai contoh pada penderita sindroma
Klinefelter, terjadi penambahan kromosom X, testis tidak berfungsi
dengan baik, sehingga spermatogenesis tidak terjadi.
b. Varikokel, yaitu terjadinya dilatasi dari pleksus pampiriformis vena
skrotum yang mengakibatkan terjadinya gangguan vaskularisasi testis
yang akan mengganggu proses spermatogenesis.
c. Gonadotoksin (radiasi, obat)
d. Adanya trauma, torsi, peradangan
e. Penyakit sistemik ( gagal ginjal, gagal hati, dan anemia sel sabit) .
f. Tumor
g. Kriptorkismus. Hampir 9% infertilitas pria disebabkan karena
kriptorkismus (testis tidak turun pada skrotum).
h. Idiopatik. Hampir 25%-50% infertilitas pria tidak teridentifikasi
penyebabnya.
3. Azoospermia post testicular (7%-51% dari keseluruhan pria dengan azoospemia)
Merupakan kelainan pada jalur reproduksi termasuk epididimis, vas deferens, dan
duktus ejakulatorius. (Raheem, 2012).

a. Obstruksi traktus ejakulatorius: disebabkan karena adanya blokade


kongenital, ketiadaan vas deferens kongenital (CAVD), obstruksi
epididimis idiopatik, penyakit ginjal polikistik, blokade didapat
(vasektomi, infeksi), blokade fungsional (perlukaan saraf simpatis,
farmakologi).
b. Gangguan fungsi sperma atau motilitas: sindrom immotil silia, defek
maturasi, infertilitas imunologik, infeksi).Pada reaksi imunologi, dapat
ditemukan antibodi sperma pada semen pria fertil dan infertil.Imunologi
didiagnosis menyebabkan infertilitas pria saat 50% atau lebih
spermatozoa yang motil yang dilapisi oleh antibodi sperma. Antibodi
sperma ditemukan pada 3-7% pria infertil dan antibodi ini dapat merusak
fungsi sperma dan menyebabkan infertilitas pada beberapa pria .

c. Gangguan koitus: impotensi, hipospadia, waktu dan frekuensi koitus.


Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di negara-negara timur tengah,
prevalensi dari kelainan genetis pada pria dengan azoospermia non-obstruktif idiopatik

4
adalah sebesar 28.41% dari keseluruhan subjek pada penelitian tersebut, termasuk
didalamnya 184 orang pasien (20.91%) dengan kelainan kromosom, dan 66 pasien (7.5%)
dengan kelainan ada kromosom Y. Kelainan kromosom paling banyak ditemukan adalah
sindrom Klinefelter, yang menyerang 161 subyek atau (18.3%). (Alhalabi et al, 2013).

Kelainan genetis juga dapat menyebabkan infertilitas pada pria, beberapa


diantaranya disebabkan oleh kelaina pada kromosm X sebagai berikut:

Sindom Kallmann, pasien dengan sindrom kalman memiliki gejala hipogonadotropic


hiogonadisme, dan anosmia, dan juga beberapa gejala lain seperti wajah asimetris, bibir
sumbing, buta warna, tuli, testis yang gagal turun, dan aplasia renal unilateral. Sindrom
ini disebabkan oleh mutasi gen Kalig-1 pada kromosom X, atau gen autosom lain yang
masih harus diteliti. (Jungwirth et. al, 2016).

Sindrom insensitifitas androgen ringan, gen reseptor androgen terletak di tangan


panjang dari kromosom X, mutasi dari gen reseptor androgen dapat menyebabkan
insensitifitas adrogen dari tingkatan ringan hingga sama sekali tidak sensitif terhadap
hormon tersebut, pada pasien dengan insensitifitas androgen berat dapat ditemukan
genital eksternal wanita dan tidak adanya rambut pubis (sindrom Morris), pada pasien
dengan insensitifitas androgen parsial biasa ditemukan genitalia yang ambigu, atau
bahkan mikro-penis, hipospadia perineal, dan kriptoorkhidisme yang kemudian biasa di
sebut sebagai (sindrom Reifenstein). Pada pasien dengan insensitifitas androgen yang
parah maka tidak perlu adanya kekhawatiran untuk menurunkan pada anaknya,
dikarenakan pada kasus tersebut pasien tidak mungkin dapat memperoleh keturunan
biologis dengan teknologi yang ada saat ini. Pada pasien dengan insensitifitas androgen
ringan biasanya hanga ditemukan infertilitas sebagai satu-satunya gejala(Jungwirth et. al,
2016).

Kelainan kromosom X lainya, seperti yang sudah diketahui banyak gen spesifik yang
berhubungan dengan testis pria pada kromosom X, dan pada khususnya gen premeiotic
banyak di perlihatkan oleh kromosom X daripada oleh kromosom autosom,
bagaimanapun juga hingga saat ini hanya beberapa gen yang sudah di teliti dan hanya
sedikit dari mereka yang dapat menyebabkan infertilitas pada pria. (Jungwirth et. al,
2016).

5
Selain kromosom X didapatkan juga infertilitas pada pria yang disebabkan oleh
kromosom Y. Kelaina dari kromosom Y tersebut biasa disebut dengan AZFa, AZFb, dan
AZFc. Kehilangan sebagian atau keseluruhan gen tersebut dapet mengakibatkan
terjadinya oligospermia atau bahkan Azoospermia, karena pada gen AZF tersebut
terdapat beberapa kandidat gen untuk spermatogenesis, kehilangan gen tersebut terjadi
secara bersamaan atau per-blok, hingga saat ini masih belum diketahui fungsi dari gen
AZF tersebut secara soliter, dikarenakan seluruh bagian dari gen AZF tersebut diperlukan
dalam proses spermatogenesis sehingga fungsi dari gen AZF secara satuan pada
spermatogenesis masih belum diketahui. Hingga saat ini kehilangan gen tersebut secara
sebagian baru ditemukan pada gen AZFa pada abgian USP9Y, pada penelitian yang
dilakukan, gen USP9Y tersebut dikatakan bekerja sebagai pengatur atau penyempurna
dari proses produksi sperma.(Jungwirth et. al, 2016).

B. Diagnosis

Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan awal pada pria dengan


azoospermia

Setelah paling tidak terdapat dua kali analisa sperma dengan hasil azoospermia,
sang pria harus di anamnesis secara menyeluruh ( tabel 1), dan dilakukan pemeriksaan
fisik (tabel 2). Terkadang juga dibutuhkan pemeriksaan laboratorium dan radiologis (Jarvi
et.al, 2015).

Tabel 1. informasi yang dihimpun pada saat anamnesis

Jenis informasi Informasi yang di gali


Riwayat infertilitas  Onset Infertilitas
 Apakah termasuk infertilitas
primer atau sekunder
 Apakah sudah pernah diobati
 Libido
 Fungsi seksual
 Aktifitas seksual
Keadaan umum dari pasien  Riwayat diabetes
 Riwayat Penyakit sistem
pernafasan
 Riwayat penyakit sebelumnya

6
Apakah ada infeksi sistem genito-urinari,  Infeksi penyakit menular seksual
inflamasi atau infeksi testis yang  Epididimo-orkhitis
dicurigai atau sudah terdiagnosa  Orkhitis
Riwayat operasi di traktus reproduksi  Kangker testis
 Testis gagal turun
 Hidrokelektomi
 Spermatokelektomi
 Varikokelektomi
 Vasektomi
Paparan obat atau zat yang dapat  Terapi hormon/ steroid
mempengaruhi spermatogenesis  Antibiotik (sulfasazine)
 Penyekat alpha
 Penyekat 5-alpha-reduktase
 Agen kemoterapi
 Radiasi
 Finasterid
 Narkotika
Paparan lingkungan  Pestisida
 Panas berlebih pada testis
Zat rekreasional  Ganja
 Alkohol
Riwayat penyakit genetik pada pasien atau keluarga pasien

Tabel 2. Jenis informasi yang dikumpulkan pada pemeriksaan fisik.


Jenis pemeriksaan Informasi yang diinginkan
Tingkatan virilisasi
Pemeriksaan skrotum  Ukuran dan konsistensi testis
 Keadaan dan tingkatan varikokel
(bila ada)
 Apakah vas deferens teraba atau
tidak
Pemeriksaan abdominal  Apakah ada jejas di daerah
inguinal yang melambangkan
riwayat tindakan operasi atau
terapi untuk testis gagal turun

Jika pria tersebut telah terpapar oleh zat gonadotoxic maka paparan tersebut
harus segera dihentikan dan harus dilakukan analisa sperma ulang setelah 3 sampai 6
bulan,. Jika pria tersebut memiliki riwayat penyakit yng cukup serius, atau memiliki
riwayat infeksi saluran reproduksi maka analisis semen ulang harus dilakukan setidaknya
3 bulan setelah sembuh dari penyakit tersebut. (Jarvi et.al, 2015).

7
Kelas Obat
Anti-androgen Spironolakton, cyproterone acetate,
cimetidine, flutamide, ketokonazol,
leuprolide
Esterogen dan hormon lain Agonis esterogen, hormon pertumbuhan,
steroid anabolik
Obat-obatan kardiovaskular Propanolol, methildopa, digoksin,
penyekat kanal kalsium, reserpin,
amiodaron, fenitoin
Obat-obatan pencernaan Penyekat asetilkolinesterase, sulfasalazine
Obat-obatan anti kangker Siklofosfamid, melphelan, chlorambucil,
nitrosourea, busulphan, methotreksat
Obat-obatan anti infeksi Nitrofurantoin, nirizadole
Obat-obatan psikoaktif Antidepresan golongan trisiklik,
amfetamin, narkotika, obat bius kat dan
lemah
Obat-obatan lainya kolkisin
Obat-obatan terlarang Steroid anabolik, alkohol, ganja, kokain,
nikotin

Semen Analisis

Analisa karakteristik semen dapat diklasifikasikan menjadi 2 kelompok (Jungwirth et. al,
2016):

1. Pemeriksaan makroskopik:
Terdapat lima hal yang diukur pada pemeriksaan makroskopik ini, yaitu pH,
koagulasi/pengenceran, warna, viskositas dan volume semen. Semen normal
manusia berwarna agak putih hingga kuning keabu-abuan. Bila terkontaminasi
dengan urin, maka semen berwarna kuning. Semen juga dapat berwarna merah
muda pada pasien dengan perdarahan uretra dan kekuning-kuningan pada pasien
jaundice. Keadaan fisik semen yang baru diejakulasi adalah kental. Tapi sekitar 20
menit kemudian akan mengalami pengenceran, disebut likuifaksi oleh fibrinolisin
enzim proteolitik yang disekresikan oleh prostat. Jika pengenceran tidak wajar
berarti ada ketidakberesan pada kelenjar itu. Pengukuran pH merupakan
komponen standar dalam analisis semen yang ditentukan oleh sekresi vesika
seminalis dan prostat. pH normal adalah sekitar 7,2 hingga 8,0. Karena sekresi
vesika seminalis bersifat alkali, pH asam mengindikasikan terdapat hipoplasia
vesika seminalis yang biasa ditemui pada pasien azoospermia.

8
2. Pemeriksaan Mikroskopik(Jungwirth et. al, 2012)
a. Aglutinasi sperma: Pemeriksaan ini dimulai dengan hapusan tebal dengan
meletakkan semen pada slide yang ditutup oleh cover slip dan diamati pada
pembesaran 1000x. Melalui metode ini, aglutinasi sperma, keberadaan
sperma dan motilitas subjektif sperma dapat diamati. Dalam keadaan normal
tidak ditemukan adanya aglutinasi dan jumlah leukosit ≤1 juta/mL serta tidak
ditemukan adanya immature germ cell. Adanya adhesi sperma ke elemen non
spema mengindikasikan adanya infeksi kelenjar aksesoris, adanya adhesi
sperma-sperma mengindikasikan adanya antibodi antisperma sekunder .
b. Jumlah dan konsentrasi: Pemeriksaan ini dilakukan setelah terjadi
pengenceran cairan semen. Jumlah sperma normal ≥20 juta sperma per mL.
Bila jumlahnya < 20 juta sperma/mL maka disebut sebagai oligospermia.
Azoospermiadapat disebabkan karena adanya gangguan saat
spermatogenesis, disfungsi ejakulasi ataupun karena adanya obstruksi.
Laboratorium WHO menetapkan batas toleransi jumlah sperma terendah
yang masih dikatakan normal adalah ≥20juta sperma/mL atau jumlah sperma
total ≥39 juta/ejakulasi.
c. Motilitas: Motilitas dikenali sebagai prediktor yang terpenting dalam aspek
fungsional spermatozoa. Motilitas sperma merupakan refleksi perkembangan
normal dan kematangan spermatozoa dalam epididimis. Menurut WHO
tahun 2010, motilitas spermatozoa dikelompokkan menjadi sebagai berikut:
 Progressive motility (PR): Spermatozoa bergerak bebas, baik lurus
maupun lingkaran besar, dalam kecepatan apapun.
 Non-progressive motility (NP): semua jenis spermatozoa yang tidak
memiliki kriteria progresif, seperti berenang dalam lingakran kecil, ekor/
flagel yang sulit menggerakkan kepala, atau hanya ekor saja yang
bergerak.
 Immotility (IM): tidak bergerak sama sekali.
Yang dikatakan memiliki nilai motilitas normal yaitu Progressive motility (PR)
≥32% atau PR + NP ≥40%. Disebut asthenospermia (motilitas yang tidak sesuai
dengan kriteria WHO) dapat disebabkan oleh antibodi antisperma (15%),
periode abstinensi yang panjang, infeksi traktus genitalia obstruksi duktus

9
parsial, dan varikokel. Hal ini dapat menurunkan motilitas sperma dalam
penetrasi ke mukosa servikal.
d. Morfologi, Morfologi sperma menunjukkan persentasi bentuk abnormal yang
ditemukan dalam semen. Terdapat dua klasifikasi yang digunakan untuk
menentukan morfologi sperma yaitu berdasarkan kriteria WHO, dan kriteria
Kruger’s strict. Teratozoospermia (<15% morfologi normal sperma) dapat
terjadi pada keadaan demam, varikokel, dan stres.
e. Viabilitas, standar nilai viabilitas normal adalah ≥58% Bila sperma yang motil
ditemukan kurang dari 58% sperma yang viabel, maka kemungkinan motilitas
sperma akan menurun karena terdapat sperma yang mati (nekrospermia).
Perlu dilakukan pemeriksaan viabilitas pada analisa sperma ini.
f. Sel non sperma: sel germinal yang immatur, sel epitel dan leukosit. Leukosit
merupakan elemen sel non sperma yang sangat signifikan dan sering dijumpai
pada pasien dengan infertilitas. WHO menyatakan bahwa bila level leukosit
diatas 1 x 106 WBC/mL maka disebut dengan leukositospermia. Nilai
normalnya adalah ≤1juta/ml.

Parameter Ambang batas


Volume semen (mL) 1.5(1.4-1.7)
Total jumlah sperma (106/ejakulat) 39(33-46)
Konsentrasi sperma (106/mL) 15(12-16)
Motilitas total (PR+NP) 40(38-42)
Motilitas progresif (PR,%) 32(31-34)
Vitalitas (persentase sperma hidup, %) 58(55-63)
Morfologi sperma (sperma normal, %) 4(3.0-4.0)
Batasan lainya
pH >7.2
Leukosit positif peroksidase <1.0
Data tambahan
Tes MAR (sperma motil dengan partikel menempel, %) <50
Tes immunobead ( sperma motil dengan manik-manik <50
menempel, %)
Kadar Zink pada cairan seminal (umol/ejakulat) ≥2.4
Kadar fruktosa cairan seminal (umol/ejakulat) ≥13
Kadar glukosidase netral pada cairan seminal ≤20
(mU/ejakulat)

10
Azoospermia dengan penurunan volume semen

Jika volume semen berkurang (<1.5ml) dan tercatat dengan pemeriksaan


berulang, maka harus dilakukan anamnesa secara hati-hati mengenai apakah hal ini
dikarenakan terjadi gangguan ( keluar dari kontainer, kesulitan mengeuarkan spesimen)
atau memang terdapat volume semen yang rendah. (Jungwirth et. al, 2016).

Dikarenakan hampir seluruh semen berasal dari glandula seminalis dan prostat
(>90%) maka rendahnya volume semen dapat mengindikasikan.

1. Terdapat abnormalitas glandula seminalis, atau terjadi obstruksi.


2. Terdapat obstruksi di saluran ejakulatorial.
3. Terjadi disfungsi ejakulasi (terjadi kegagalan pengeluaran atau ejakulasi
retrograd).

Pemeriksaan fisik dapat membantu menentukan apakah terdapat vas deferens pada
skrotum atau tidak, tidak adanya vas deferens dapat diasosiasikan dengan tidak adanya
glandula seminalis yang menyebabkan rendahnya volume semen atau azoospermia.

Pemeriksaan laboratorium awal untuk menentukan apakah terjadi ejakulasi


retrograd adalah dengan memeriksa spesimen urin post ejakulasi dan melihat apakah
terdapat sperma pada urin post ejakulasi pada pria dengan azoospermia, dapat digunakan
sebagai alat diagnosis untuk ejakulasi retrograd, dikarenakan ejakulasi retrograd dapat
disebabkan oleh kegagalan leher vesika urinari untuk menutup pada saat terjadi orgasme,
dengan memberikan alpha agonis (pseudoephedrine atau agonis alpha lainya) sebelum
ejakulasi dapat membantu menutup leher vesica urinari dan mengubah ejakulasi
retrograd menjadi ejakulasi anterograd, pria dengan diabetes biasanya memiliki resiko
terjadinya ejakulasi retrograd atau kegagalan pengeluaran sperma.(Jarvi et al, 2015).

Apabila tidak ditemukan bukti adanya ejakulasi retrograd, maka perlu dilakukan
pemeriksaan radiologis pada traktus reproduksi untuk mencari apakah ada kelainan atau
obstruksi pada traktus reproduksi, dengan menggunakan ultrasonografi trans-rectal
dapat dilihat apakah glandula seminalis dan vas deferens di sekitar prostat normal atau
tidak. (Jarvi et al, 2015).

Vasografi tidak perlu dilakukan pada pria dengan obstruksiduktus ejakulatorius,


(level of evidence 3, tingkat rekomendasi C), apabila terdapat obstruksi duktus

11
ejakulatorius, maka pria tersebut memiliki kemungkinan kelainan gen sebanyak 25% yang
diasosiasikan dengan kistik fibrosis, maka dari itu tes untuk mendiagnosa kistik fibrosis
harus dilakukan kepada semua ria dengan kista pada ductus ejakulatori. (Jarvi et al, 2015).

Azoospermia
dengan penurunan
volume semen

Pemeriksaan fisik Ejakulasi antegrad


+/- TRUS dengan induksi

Tidak ditemukan
Kista duktus Ejakulasi tidak
vas deferens +/- Ejakulasi antegrad
ejakulator antegrad
vesika seminalis

Skrining kistik Skrining kistik Sperma pada urin


fibrosis fibrosis pasca ejakulasi

Ejakulasi retrograd

Azoospermia dengan volume semen normal

Seperti dijelaskan di atas azoospermia dapat di bagi menjadi:

1. Azoospermia pre-testikuler.
2. Azoospermia dengan kegagalan testikuler atau azoospermia tanpa obstruksi, dan
3. Azoospermia dengan obstruksi post testikuler.

Pembagian azoospermia daat juga ditentukan melalui kadar leutenizing hormone (LH),
dan folicular stimulating hormone (FSH) tanpa harus melalui biopsi testis. Diagnosis
azoospermia pre testikuler lebih mudah dilakukan, karena apabila kadar FSH dan LH
rendah maka kadar testosteron juga akan rendah atau bisa juga normal, pria dengan kadar
FSH dan LH yang meningkat dan memiliki testis yang lebih kecil dari normal biaanya
mengalami azoospermia tanpa obstruksi.(Jungwirth et al, 2012).

Bagaimanapun juga paria dengan kadar FSh dan LH yang normal dapat terkena
azoospermia tanpa obstruksi ataupun dengan obstruksi, dan sayangnya tidak ada metode

12
lain selain biopsi testis untuk mendiagnosis apakah seseorang mengidap azoospermia non
obstruktif atau obstruktif.

Azoospermia
dengan volume
semen normal

Kadar FSH/LH Kadar FSH/LH Kadar FSH/LH


rendah (2%) normal (60%) tinggi (40%)

Kegagalan
Pre-testikuler Biopsi testis
testis

Kegagalan Azoospermia
testis obstruktif

Kegagalan ejakulasi

Pada pria dengan masalah neurologis yang jelas (cidera medula spinalis, operasi
limfonodi retroperitoneal) tidak perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan sebelum dilakukan
pengobatan. Namun demikian pada pria dengan kegagalan ejakulasi yang idiopatik harus
disarankan untuk berkonsultasi dengan sex therapist.

Pemeriksaan genetis untuk pria dengan Azoospermia

Semua pria pengidap hypogonadotropic hypogonadism harus di konsulkan


kepada ahli dibidangnya (genetic counseling), karena hampir semua kelianan yang terjadi
pada hipotalamus biasanya disebabkan oleh kelainan genetis.

Pria yang tida memiliki vas deferens atau mengalami obsruksi pada epididimis
atau ductus ejakulator memiliki kemungkinan yang cukup tinggi disebabkan oleh kistik
fibrosis, kami menyarankan tidak hanya sang pria akan tetapi pasangan wanitanya juga di
tes untuk mendiagnosis apakah benar menderita kistik fibrosis atau tidak. (Jarvi et al,
2015).

13
Semua pria dengan kegagalan testis (spermatogenesis) disarankan untuk tes
karyotype dan Y-micro-deletion testing, lalu dirujuk ke genetic counseling apabila
ditemukan kelainan (level of evidence 1, grade of recommendation A), pada pria dengan
Azoospermia tanpa obstruksi tidak diperlukan pengujian terhadap kistik fibrosis (Jarvi et
al, 2015).

Tabel 3. Kelainan genetis yang biasa ditemukan pada beberapa kasus Azoosermia
Kistik Karyotipe Mikrodelesi
fibrosis kromosom -Y
Obstruksi atau tidak ditemukanya vas
deferens
Obtruksi atau tidak ditemukanya 25-80%
epididimis
Obstruksi atau tidak ditemukanya
traktus ejakulator
Kegagalan testis 14% 1-30%

C. Manajemen

Untuk mengerti tentang manajemen dari azoospermia kita harus mengerti tentang
assisted reproductive technologies (ARTs) (contoh, fertilisasi in-vitro) sebagai manajemen
dari azoospermia. Sejak tahun 1970-an, penemuan-penemuan dalam hal ART telah
membantu kita memberikan manajemen kepada hingga 98% pasangan dengan faktor pria
terdiagnosis azoopermia.(Jarvi et al, 2015).

Penemuan signifikan tersebut tidak membantu menaika kualitas sperma, akan tetapi
menggunakan ART untuk “mengobati” infertilitas pada pria. Program tersebut
menggunakan teknik untuk menaikan jumlah telur yang masak yang di produksi oleh
wanita dengan memanipulasi kadar hormon pada wanita, menggunakan hormon eksogen
(induksi ovulasi) lalu dilakukan.(Jarvi et al, 2015).

1. Inseminasi buatan yang terkontrol waktunya, dengan menggunakan hubungan


intim, atau menggunakan teknik inseminsasi intra-uterin dengan menggunakan
sperma yang sudah di Pilah dari sang pria.
2. Fertilisasi in-vitro, oosit diambil dari ovarium lalu di inkubasi bersama sperma di
cawan petry, atau

14
3. Injeksi sperma intra sitoplasmik, dengan menyuntikan sel sperma langsung ke
dalam sitoplasma dari oosit atau sel telur.

Semua teknik di atas digunakan untuk mengobati pasangan dengan faktor infertilitas
pria, di amerika serikat pada 2012, lebih dari 165000 fertilisasi in vitro atau injeksi sperma
intra sitoplasmik dilakukan. Diseluruh dunia angka tersebut lebih tinggi lagi, ada 2013
International Committe for Monitoring Assisted Reproductive technologies melaporkan
bahwa pada tahun 2004 diseluruh dunia dilakukan 954743 fertilisasi in vitro atau ijeksi
sel intra sitoplasmik, dengan angka kelahiran bayi sebanyak 237809 bayi . (Jarvi et al,
2015).

Dengan menggunakan teknik injeksi sperma intra sitoplasmik saat ini dapat
membantu terjadinya kehamilan, dengan menggunakan sperma yang hidup (motil
ataupun tidak), yang didapatkan dari semen ataupun dari traktus reproduksi pria bagian
mana saja, bahkan pada pria dengan azoospermia dapat dilakukan pengambilan sperma
dengan teknik injeksi intra sitoplasmik. Para pria tersebutyang sebelumnya memiliki
kemungkinan sangat rendah untuk memiliki anak biologis sendiri, terdapat hingga 50%
angka kehamilan tiap siklus injeksi spermal intra sitoplasmik ( pada wanita dibawah usia
35 tahun), denga angka kemungkinan kehamilan bervariasi tergantung tempat
pengambilan sperma. (Jarvi et al, 2015).

manajemen dan pengobatan yang akan dijelaskan hanya diberikan kepada pasangan
yang menginginkan keturunan yang memiliki hubungan biologis dengan ayah dan ibunya.

Azoospermia dengan hypogonadotropic hypogonadism

Pada pria dengan diagnosis Azoospermia dengan hypogonadotropic


hypogonadism dapat diterapi dengan menggunakan hormon FSH/LH atau analog
gonadotropin-releasing hormone (GnRH) untuk men-stimulasi spermatogenesis. Pada
90% kasus, spermatogenesis dapat ter-stimulasi dan pasien dapat kembali mengeluarkan
sperma, wlaupun demikian terapi ini memerlukan waktu yang cukup lama yaitu sekitar 6
bulan agar efektif.

15
Ejakulasi retrograd

Pada kasus ini terapi yang dapat diberikan adalah dengan menggunakan
pseudoephedrine sebanyak 60 mg sebelum ejakulasi, atau bisa juga menggunakan agonis
alpha yang lain untuk mengubah ejakulasi retrograd menjadi anterograd, namun apabila
terapi ini tidak berhasil, maka bisa dilakukan pengambilan sperma dari kandung kemih,
dengan menggunakan teknik urin kateter atau pengeluaran urin post-ejakulasi,
berikutnya sperma tersebut dapat digunakan untuk assisted reproductive technologies
(ARTs).

Azoospermia obstruktif

Keadaan ini dapat diterapi dengan salah satu pilihan berikut.(Sharlip, 2001)

1. Sperma diambil dari traktus reproduksi lalu digunakan untuk program injeksi
sperma intra sitoplasma. Teknik pengambilan sperma tersebut dapt melalui
teknik perkutan atau dengan melakukan aspirasi sperma terbuka langsung ke
epididimis, atau bisa juga diambil dari testis dengan teknik perkutan atau biops
terbuka.
2. Dilakukan bypass/repair onbstruksi pada area traktus reproduksi yang terkena.
Terpi ini adalah yang paling realistis pada pria denga azoospermia obstruktif, area
yang sering terjadi obstruksi adalah epididimis, dengan teknik prosedur oprasi
mikroskopis yang ada saat ini, center yang memiliki ahlinya dapat melakukan
vaso-epididymostomi dengan patensi anastomosis yang dilaporkan sebesar 85%,
dengan angka kehamilan spontan sebanyak 50%. Bagaimanapun juga prosedur ini
memerlukan ahli yang sudah memiliki pengalaman dan sebaiknya dilakukan di
center yang memadi untuk prosedur tersebut, para pria tersebut juga dianjurkan
untuk menyimpan dahu sperma di bank sperma sebagai antisipasi apabila
tindakan operasi tersebut tidak berhasil (level of evidence 3, grade of
recommendation C).
3. Transurthral resection (TUR) pada duktus ejakulatorius. Pria dengan obstruksi
duktus ejakulatorius bisa menjadi kandidat untuk dilakukan TUR duktus
ejakulatori. Prosedur ini baiknya dilakukan dengan bimbingan TRUS agar TUR
tersebut dapat scecara tepat mebuka kista pada duktus ejakulatori. Penting untuk

16
memberitau pasiententang semua komplikasi yang mungkin terjadi pada
tindakan TUR duktus ejakulatori.

Operasi bedah mikro dengan menggunakan teknik vasovasotomy dan


vasoepididymotomy telah dibuktikan lebih efisien dan lebih murah dibandingkan teknik
pengambilan sperma yang selanjutnya digunakan untuk injeksi sperma intra sitoplasmik,
dan lebih mudah dilakukan karena hanya perlu melakukan terapi ke salah satu pasangan
saja yaitu sang pria dan pada wanitanya tidak perlu dilakukan terapi apa-apa, sehingga
dapat disimpulkan bahwa prosedur bedah mikro untuk mengembalikan patensi traktus
reproduksi adalah terapi yang terbaik untuk pasien dengan azoospermia obstruktif.
(Liguori, 2012).

Walaupun begitu faktor waktu juga harus diperhatikan, apabila onset terjadinya
obstruksi sudah lama maka prosedur aspirasi sperma lalu dilanjutkan dengan injeksi
sperma intra sitoplasmik atau fertilisasi in vitro lebih dipilih sebagai terapi dikarenakan
angka keberhasilan kehamilan pada prosedur ini lebih tinggi yaitu sekitar 30% sampai 40%
pada pasien dengan obstruksi yng berlangsung lebih dari 15 tahun lamanya. (Liguori,
2012).

Vasovasotomy sendiri adalah tindakan perbaikan patensi traktus reproduksi yang


paling mudah dilakukan, anastomosis dapat dibuat dengan menggunakan teknik
anastomosis 1 lapis yang dimodifikasi dengan membuat enam sampai delapan jahitan
yang diletakan melingkari setiap ujung dari vas deferens dengan menggunakan nylon 9-0,
dilanjutkan dengan menambahkan jahitan pada lapisan otot yang lebih superficial jahitan
ditempatkan diantara jahitan-jahitan sebelumnya dan menggunakan benang yang sama
yaitu nylon 9-0, selain itu teknik anastomosis dua lapis juga bisa dilakukan dengan
meletakan jahitan sebanyak enam sampai delapan jahitan terpisah dengan menggunakan
benang nylon 10-0menembus mukosa pada tiap ujung vas deferens, dilanjutkan dengan
penjahitan delapan jahitan terpisah menembus lapisan otot luar dari vas deferens
menggunakan benang nylon 9-0. teknik anastomosis satu lapis dilakukan pada pasien
apabila ditemukan sedikit perbedaan ukuran ujung vas deferens proksimal dan distal,
sedangkan teknik anastomosis dua lapis dilakukan pada pasien yang memiliki perbedaan
ukuran vas deerns proksimal dan distal yang cukup besar. (Castiglioni, 2012).

17
Azoospermia non-obstruktif

Pada kasus ini dapat dilakukan ekstraksi sperma dari testis yang kemudian
dilakukan analisa dan lalu juga digunakan untuk prosedur injeksi sperma intra sitoplasmik,
saat ini cara yang paling optimal untuk mengidentifikasi kantung sperma, adalah dengan
melakukan diseksi ekstensif pada tubulus seminiferus (ekstraksi sperma pada testis)(level
of evidence 2, grade of Recommendation B). Sebagian besar tubulus seminiferus di periksa
menggunakan mikroskop, tubulus yang memiliki ukuran lebih besar memiliki
kemungkinan lebih besar terdapat spermatogenesis dibandingkan tubulus dengan ukuran
yang lebih kecil. (chiba et al, 2016).

Kelebihan dari teknik ini adalah dapat mengidentifikasi bagian mana dari testis
yang memiliki sperma lebih banyak, sebelum bagian tersebut dikeluarkan dari testis,
dengan demikian kemungkinan mendapatkan sperma lebih tinggi dibandingkan dengan
teknik biopsi acak biasa (pada satu studi 63% berbanding 45%) walaupun prosedur ini
memerlukan waktu yang lama (lebih dari 3 jam) kerusakan yang terjadi pada testis lebih
minimal dikarenakan jumlah jaringan yang di angkat dari testis lebih sedikit. Rasio
kehamilan dengan menggunakan prosedur injeksi intra sitoplasma menggunakan sperma
yang di ambil dengan teknik ini adalah sekitar 19% sampai 50%. Prosedur ini sebaiknya
dilakukan oleh ahli yang sudah berpngalamn dan dilakukan di center yang sudah biasa
menangani tindakan ekstraksi sperma dan injeksi intra sitoplasma. (chiba et al, 2016).

Terapi hormon dipercaya tidak terlalu efisien pada pasien dengan azoospermia
non obstruktif diakarenakan tingginya kadar hormon gonadotropin, bagaimanapun juga
beberapa penelitian menjelaskan bahwa stimulasi spermatogenensis dengan
menggunakan inhibitor aromatase anti-esterogens dan hormon gonadotropin sebelum
pengambilan sperma secara langsung di testis dapat membantu memperbaiki kualitas
sperma yang di ambil, hasil penelitian tersebut hingga saat ini masih kontroversial. Salah
satu cara meningkatkan angka spermatogenesis adalah dengan menaikan jumlah
testosteron yang ada di lama testis (intratesticular testosteron, ITT), ITT sendiri dapat di
naikan dengan pemberian terapi hormon berbasis hCG, hal ini dimungkinakan karena
pada pria dengan azoospermia non obstruktif basanya disertai dengan rendahnya tingkat
hormon ITT, reseptor androgen yang berada di sel sertoli memiliki andil yang sangat besar
pada spermatogenesis, faktor hormonal dan non-hormonal lain juga dapat

18
mempengaruhi hasil tersebut. Sebuah penelitian menjelaskan bahwa pada pria dengan
sindrom Klinefelter yang memiliki ambang bawah testosteron yang rendah dan merespon
terapi hormon, berhasil menaikan kadar testosteron hingga lebih dari 250ng/dl dan
memiliki hasil yang lebih baik pada pengambilan sperma yaitu sekitar 77% dibandingkan
dengan yang tiidak merespon terhadap terapi hormon yaitu sekitar 55%.(Shirashi et al,
2014).

Salah satu anti-esterogen yang dapat digunakan adalah Clomiphene citrate dan
tamoxifen, yaang keduanya adalah obat2 an anti-esterogen non-steroid yang aman
digunakan, sedangkan untuk obat-obat an penyekat aromatase yang aman digunakan ada
2 macam yaitu yang memiliki sifat steroidal (testolactone) dan yang non-steroidal
(anastrozole, letrozole), pada pria dengan azoospermia tanpa obstruksi, reseptor hormon
gonadotropin biasanya mengalami penekanan diakarenakan tingginya tingkat hormon
gonadotropin endogen. (Shirashi et al, 2014).

Kegagalan Ejakulasi

Pada pria dengan kegagalan ejakulasi yang disebabkan oleh gangguan neurologis,
dapat diberikan terapi vibro-stimulation atau electro-ejaculation, kedua prosedur
tersebut dapat menyebabkan disrefleksia atonom pada pria dengan cidera medula
spinalis letaak tinggi, setelahnya semen tersebut dapat digunakan untuk prosedur ARTs,
untuk mengoptimalkan kualitas sperma biasanya perlu dilakukan prosedur lebih dari
sekali (2 sampai 3 kali) dengan jeda beberapa minggu, biasanya pasien tersebut juga
memiliki obstruksi pada epididmis, sehingga kadang diperlukan aspirasi sperma.

19
Daftar Pustaka

1. Jarvi, K., Lo, K.,Grober, E.,Mak,V., Fischer, A.,Grantmyre, J., Zini, A., Chan, P., Patry,
G., Chow, V., Domes, T. CUA Guideline: The workup and management of
azoospermic males. cua guideline. 230-236 (2015)
2. Jungwirth, A., Diemer, T., Dohle, G,R., Giwercman, A., Kopa, Z., Krausz, C.,
Tournaye, H. Guidelines on Male Infertility. European Association of Urology.
(2015)
3. Alhalabi, M., Kenj, M., Monem, F., Mahayri, Z., Alchamat, G, A., Madania, A. High
prevalence of genetic abnormalities in Middle Eastern patients with idiopathic
non-obstructive azoospermia. Springer Science Business Media. New York. 799-
805 (2013)
4. Shirashi, K., Hormonal therapy for non-obstructive azoospermia: basic and clinical
perspectives. Japan Society for Reproductive Medicine. Japan. 65-72 (2014)
5. Jungwirth, A., Giwercman, A., Tournaye, H., Diemer, T., Kopa, Z., Dohle, G., Krausz,
C. European Association of Urology Guidelines on Male Infertility: The 2012
Update. European Association of Urology. 324-332 (2012)
6. Raheem, A, A., Ralph, D., Minhas, S. Male infertility. British Journal of Medical and
Surgical Urology. 5. Elsevier 254-268 (2012)
7. Koji Chiba, K., Enatsu, N., Fujisawa, M. Management of non-obstructive
Azoospermia. Japan Society for Reproductive Medicine. Japan. 165-173 (2016)
8. Pastore, A, L., Palleschi, G.,Silvestri, L.,Leto, A., Carbone A. Obstructive and Non-
Obstructive Azoospermia. Sapienza University of Rome, Faculty of Pharmacy and
Medicine, Department of Medico-Surgical Sciences and Biotechnologies, Urology
Unit, S. Maria Goretti Hospital Latina 2Uroresearch Association. Italy
9. Wosnitzer, M, S.,Goldstein, M. Review of Azoospermia, Spermatogenesis. (2014)
10. Kolettis, P, N. The Evaluation and Management Review of the Azoospermic
Patient. Journal of Andrology, Vol. 23 (2002)
11. Sharlip et.al. Report on Management of Obstructive Azoospermia. American
Urological Association. Cleveland. (2001)
12. Liguori, G., Trombetta, C., Zordani, A., Napoli, R., Ollandini, G., Mazzon, G., de
Concilio, B., Belgrano, E.The Infertile Male-4: Management of Obstructive
Azoospermia. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. 241-248 (2012)

20
13. Castiglioni, M., Colpi, E, M., Scroppo, F, I., Colpi, G, M. The Infertile Male-5:
Management of Non-Obstructive Azoospermia. Springer-Verlag Berlin
Heidelberg. 249-259 (2012)
14. Jungwirth, A., Diemer, T., Dohle, G, R., Kopa, Z., Krausz, C., Tournaye, H. EAU
Guidelines on Male Infertility. European Association of Urology. (2016)

21

You might also like