Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Rongga mulut setiap harinya dibasahi oleh 1000 hingga 1500 ml saliva.
Kesehatan lapisan mukosa mulut dan faring serta fungsi penguyahan, deglutisi
(proses pencernaan makanan sejak masuk ke rongga mulut hingga mencapai
esophagus), bergantung pada cukupnya aliran saliva. Saliva berasal dari 3 pasang
glandula saliva mayor, yaitu glandula parotis, glandula sublingualis dan
glandula submandibularis dan sejumlah glandula saliva minor pada mukosa dan
submukosa bibir, palatum dan lidah (Gordon W. Pedersen).4
Glandula saliva minor terletak dalam jumlah besar pada submukosa atau
mukosa bibir, permukaan lidah bagian bawah, bagian posterior palatum durum
dan mukosa bukal (Gordon W. Pedersen). 4
Ranula jarang sekali terjadi. Dalam salah satu penelitian terhadap 1303 kista
pada glandula saliva, hanya ada 42 ranula yang terjadi. Perbandingan laki-laki
dan perempuan dalam hal terjadinya ranula adalah 1:1,3. Umumnya yang sering
terkena pada dekade kedua dan ketiga kehidupan, dengan rentang usia 3-61 tahun
(Ryan L Van De Graaff). 4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium hendakanya atas indiksi yang tepat
sesuai dengan dugaan penyakit yang dicurigai, banyak
fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji laboratorium
secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah
minor, misalnya pemeriksaan darah kecil (hemoglobin
(Hb), leukosit, masa perdarahan, masa pembekuan) dan
urinalisis. Usia pasien diatas usia 50 tahun ada anjuran
EKG dan foto thoraks.
Kebugaran untuk Anestesi
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu
untuk menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar,
sebaliknya pada operasi sito, penundaan yang tidak perlu
harus dihindari.
Klasifikasi Status Fisik
Klasifikasi yang digunakan untuk menilai kebugaran
fisik seseorang ialah berasal dari The American Society of
Anesthesiologists (ASA):
Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik,
biokimia
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau
sedang. Termasuk juga semua pasien yang
berusia >80 tahun.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat
sehingga aktivitas rutin terbatas.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tidak
dapat melakukan aktivitas rutin dan
penyakitnya merupakan ancaman kehidupan
setiap saat
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau
tanpa pembedahan, hidupnya tidak akan
lebih dari 24 jam.6
b. Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat sebelum induksi anestesi
(selama 1-2 jam) dengan tujuan untuk melancarkan induksi,
rumatan dan bangun dari anestesia, yaitu diantaranya
meredakan kecemasan dan ketakutan, memperlancar induksi
anestesi, mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus,
meminimalkan jumlah obat anestetik, mengurangi mual-
muntah pasca bedah, menciptakan amnesia, mengurangi isi
cairan lambung, mengurangi refleks yang membahayakan.7
Obat-obat yang diberikan untuk meredakan kecemasan
yaitu midazolam dan diazepam, untuk meredakan rasa sakit
yaitu petidin, morphin, dan fentanil, untuk mengurangi sekresi
air ludah yaitu sulfas atropin, sedangkan untuk mengurangi
mual muntah yaitu ondansentron, dan antagonis reseptor H2
histamin yaitu ranitidin.6
Obat-obat yang sering digunakan sebagai premedikasi
adalah :6
Obat Antikolinergik
Obat-obat ini menekan atau menghambat aktivitas
kolinergik atau parasimpatis. Tujuan utamanya dalam
premedikasi yaitu mengurangi saliva (saluran cerna dan
saluran nafas), mencegah spasme laring dan bronkus,
mencegah bradikardi, mengurangi motilitas usus, dan
melawan efek depresi narkotik terhadap pusat nafas. Obat
golongan ini merupakan preparat alkaloid belladona yang
turunannya adalah sulfas atropin dan skopolamin.
1. Mekanisme Kerja
Menghambat mekanisme kerja asetilkolin pada organ
yang di inervasi oleh serabut saraf otonom para
simpatis atau serabut saraf yang mempunyai
neurotransmiter asetil kolin. Manfaat sulfas atropin
lebih dominan pada otot jantung, usus dan bronkus,
sedangkan skopolamin lebih dominan pada iris, korpus
siliaris dan kelenjar.
2. Efek samping
Sulfas atropin tidak menimbulkan depresi susunan saraf
pusat sedangkan skopolamin mempunyai efek depresi
sehingga menimbulkan rasa ngantuk, euforia dan rasa
lelah. Pada sistem respirasi dapat menghambat sekresi
kelenjar dan menyebabkan mukosa jalan nafas kering
sehingga menyebabkan relaksasi otot polos bronkus dan
bronkhioli. Selain itu mempunyai efek samping seperti
menghambat aktivitas vagus pada jantung, sehingga
denyut jantung meningkat, pada hipotensi, pemberian
obat golongan ini akan meningkatkan tekanan darah.
3. Cara pemberian dan dosis
Intramuskuler dengan dosis 0,01 mg/kg BB, diberikan
selama 30-4 menit sebelum induksi, sedangkan
intravena diberikan diberikan dengan dosis 0,005
mg/kg BB, diberikan 5-10 menit sebelum induksI.
Obat sedatif
Obat golongan ini berfungsi sebagai anti cemas dan
menimbulkan rasa ngantuk. Tujuan pemberian obat
golongan ini adalah untuk memberikan suasana nyaman
bagi pasien prabedah, bebas dari rasa cemas dan takut,
sehingga pasien menjadi tidak peduli dengan
lingkungannya.
Obat golongan sedatif yang sering digunakan yaitu :
1. Derivat Fenotiazin (Prometazin)
Obat ini menimbulkan depresi saraf pusat, bekerja pada
formasio retikularis dan hipotalamus menekan pusat
muntah dan mengatur suhu tubuh. Terhadap respirasi
akan menyebabkan dilatasi otot polos saluran nafas dan
menghambat sekresi kelenjar. Selain itu menyebabkan
vasodilatasi sehingga memperbaiki perfusi jaringan.
2. Derivat Benzodiazepin (diazepam, midazolam,
klordiazepoksid, nitrazepam dan oksazepam)
Obat ini mempunyai efek sedasi dan anti cemas yang
bekerja pada sistem limbik dan menimbulkan amnesia
anterograd. Selain itu berfungsi sebagai anti kejang
yang bekerja pada kornu anterior medula spinalis dan
hubungan saraf otot. Pada dosis kecil bersifat sedatif,
sedangkan dosis tinggi dapat sebagai hipnotik.
Pada dosis kecil, pengaruhnya kecil sekali pada
kontraksi maupun denyut jantung, akan tetapi pada
dosis besar menimbulkan hipotensi yang disebabkan
oleh efek dilatasi pembuluh darah. Dalam praktik
anestesi, obat ini digunakan sebagai premedikasi secara
IM dengan dosis 0,2 mg/kgBB atau peroral dengan
dosis 5-10 mg, serta untuk induksi pemberian IV
dengan dosis 0,2-0,6 mg/kg BB, pemberian sedasi pada
analgesi regional yang diberikan secara IV. Selain itu
obat ini digunakan untuk menghilangkan halusinasi
pada pemberian ketamin.
Jalur vena yang dipilih sebaiknya melalui vena-vena
besar untuk mencegah flebitis. Pemberian
intramuskular kurang disenangi oleh karena
menimbulkan rasa nyeri pada daerah suntikan.
3. Derivat Butirofenon (Dehidrobenperidol)
Obat ini digunakan untuk premedikasi yaitu diberikan
secara IM dengan dosis 0,1 mg/kgBB, sebagai sedasi
untuk tindakan endoskopi dan analgesia regional,
antihipertensi, anti muntah, dan suplemen anestesi.
Terhadap saraf pusat, kegunaannya yaitu sebagai
sedatif atau trankuilizer. Disamping itu mempunyai
kegunaan khusus yaitu sebagai anti muntah yang
bekerja pada pusat muntah di ”chemoreceptor trigger
zone”. Efek samping yang dapat terjadi yaitu timbulnya
rangsangan ekstrapiramidal sehingga menimbulkan
gerakan tak terkendali (parkinsonsm) yang bisa diatasi
dengan pemberian obat antiparkinson.
Terhadap respirasi dapat menimbulkan sumbatan jalan
nafas akibat dilatasi pembuluh darah rongga hidung dan
pembuluh darah paru. Selain itu dapat menimbulkan
vasodilatasi pembuluh darah perifer, sehingga sering
digunakan sebagai anti syok.
4. Derivat Barbiturat (Fenobarbital dan Sekobarbital)
Digunakan sebagai sedasi dan penenang prabedah,
terutama pada anak-anak. pada dosis lazim,
menimbulkan depresi ringan pada respirasi dan
sirkulasi.
5. Antihistamin
Obat sering digunakan sebagai premedikasi adalah
derivat defenhidramin. Kegunaannya yaitu sebagai
sedatif, antimuntah ringan dan antipiretik, sedangkan
efek sampingnya adalah hipotensi yang sifatnya ringan.
3. Anestesia neuroleptik
Pemakaian kombinasi obat neuroleptik dengan analgetik opiat secara
intravena. Komponen trias anastesia yang dipenuhinya adalah sedasi atau
hipnotik ringan dan analgesia ringan. Kombinasi lazim adalah
dehidrobenzperidol dengan fentanil. Jika tidak terdapat fentanil dapat
digantikan dengan petidin atau morfin.
Indikasi:
a. Tindakan diagnostik endoskopi seperti laringoskopi, bronkoskopi,
esofaguskopi, rektos-kopi
b. Sebagai suplemen tindakan anestesi lokal
Kontraindikasi :
a. Penderita parkinson, karena pada pemberian dehidrobenzperidol akan
menyebabkan peningkatan gejala parkinson
b. Penderita penyakit paru obstruktif
c. Bayi dan anak-anak sebagai kontraindikasi relatif.5,6
2. Ketamine
Ketamine (Ketalar or Ketaject) merupakan arylcyclohexylamine yang
memiliki struktur mirip dengan phencyclidine. Ketamin hidroklorida
adalah golongan fenil sikloheksilamin, merupakan “rapid acting non
barbiturate general anesthesia”.6
Ketamin kurang digemari untuk induksi anastesia, karena sering
menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca
anasthesi dapat menimbulkan muntah-muntah, pandangan kabur dan
mimpi buruk. Ketamin juga sering menebabkan terjadinya disorientasi,
ilusi sensoris dan persepsi dan mimpi gembira yang mengikuti anesthesia,
dan sering disebut dengan emergence phenomena.7
a. Mekanisme kerja
Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa blok terhadap reseptor
opiat dalam otak dan medulla spinalis yang memberikan efek analgesik,
sedangkan interaksi terhadap reseptor metilaspartat dapat menyebakan
anastesi umum dan juga efek analgesik.6
b. Farmakokinetik
1. Absorbsi
Pemberian ketamin dapat dilakukan secara intravena atau
intramuskular dengan puncak level plasma dalam 10-15 menit
setelah injeksi intramuskuler.6
2. Distribusi
Ketamin lebih larut dalam lemak sehingga dengan cepat akan
didistribusikan ke seluruh organ. Efek muncul dalam 30-60 detik
setelah pemberian secara intravena dengan dosis induksi, dan akan
kembali sadar setelah 15-20 menit. Jika diberikan secara
intramuskular maka efek baru akan muncul setelah 15 menit.
3. Metabolisme
Ketamin mengalami biotransformasi oleh enzim mikrosomal hati
menjadi beberapa metabolit yang masih aktif.6
c. Ekskresi
Produk akhir dari biotransformasi ketamin diekskresikan melalui ginjal.
d. Farmakodinamik
i. Susunan saraf pusat
Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik pasien
akan mengalami perubahan tingkat kesadaran yang disertai tanda
khas pada mata berupa kelopak mata terbuka spontan dan nistagmus.
Selain itu kadang-kadang dijumpai gerakan yang tidak disadari
(cataleptic appearance), seperti gerakan mengunyah, menelan,
tremor dan kejang. Itu merupakan efek anestesi dissosiatif yang
merupakan tanda khas setelah pemberian ketamin. Apabila diberikan
secara intramuskular, efeknya akan tampak dalam 5-8 menit, sering
mengakibatkan mimpi buruk dan halusinasi pada periode pemulihan
sehingga pasien mengalami agitasi. Aliran darah ke otak meningkat,
menimbulkan peningkatan tekanan darah intrakranial. 3
Konsentrasi plasma yang diperlukan untuk hipnotik dan amnesia
ketika operasi kurang lebih antara 0,7 sampai 2,2 µg/ml (sampai 4,0
µg/ml buat anak-anak). Pasien dapat terbangun jika konsentrasi
plasma dibawah 0,5µg/ml.
Ketamin merupakan suatu reseptor antagonis N-Metil-D-aspartat
(NMDA) yang non kompetitif yang menyebabkan : 3
1. Penghambatan aktivasi reseptor NMDA oleh glutamat
2. Mengurangi pembebasan presinaps glutamat
3. Efek potensial Gamma-aminobutyric acid (GABA)
Pemberian Ketamin dapat menyebabkan efek psikologis yang
berupa:
1. Mimpi buruk
2. Perasaan ekstrakorporeal (merasa seperti melayang keluar dari
badan)
3. Salah persepsi, salah interpretasi dan ilusi
4. Euphoria, eksitasi, kebingungan dan ketakutan
5. 20%-30% terjadi pada orang dewasa
6. Dewasa > anak-anak
7. Perempuan > laki-laki
ii. Mata
Menimbulkan lakrimasi, nistagmus dan kelopak mata terbuka
spontan, terjadi peningkatan tekanan intraokuler akibat peningkatan
aliran darah pada pleksus koroidalis.
g. Kontraindikasi
Mengingat efek farmakodinamiknya yang relatif kompleks seperti
yang telah disebutkan diatas, maka penggunaannya terbatas pada pasien
normal saja. Pada pasien yang menderita penyakit sistemik
penggunaanya harus dipertimbangkan seperti tekanan intrakranial yang
meningkat, misalnya pada trauma kepala, tumor otak dan operasi
intrakranial, tekanan intraokuler meningkat, misalnya pada penyakit
glaukoma dan pada operasi intraokuler. Pasien yang menderita penyakit
sistemik yang sensitif terhadap obat-obat simpatomimetik, seperti ;
hipertensi tirotoksikosis, diabetes mellitus, penyakit jantung koroner
dan lain-lain.7
3. Thiopental
Berupa bubuk berwarna putih kekuningan, bersifat higroskopos,
rasanya pahit, berbau seperti bawang putih. Thiopental dikemas dalam
ampul 500 mg atau 1000 mg. sebelum digunakan dilarutkan dalam
akuabides sampai kepekatan 2,5 % (1 ml = 25 mg).9
Thiopental hanya boleh digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7
mg/kgBB dan disuntikan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik.
Larutan ini sangat alkalis dengan pH 10-11, sehingga suntikan keluar vena
akan menimbulkan nyeri hebat apalagi masuk ke arteri dan menyebabkan
vasokonstriksi dan nekrosis jaringan sekitar. Kalau hal ini terjadi
dianjurkan memberikan suntikan infiltrasi lidokain.7
a. Mekanisme Kerja
Barbiturat menekan sistem aktivasi retikuler, suatu jaringan
polisinaptik kompleks dari saraf dan pusat regulasi, yang terletak di
batang otak yang mengontrol beberapa fungsi vital, termasuk
kesadaran. Pada konsentrasi klinis, barbiturat secara khusus lebih
berpengaruh pada sinaps saraf daripada akson. Barbiturat menekan
transmisi neurotransmiter eksitator (seperti asetilkolin) dan
meningkatkan transmisi neurotransmiter inhibitor (seperti asam γ-
aminobutirik (GABA).7
4. Opioid7
Obat anestesi golongan opioid atau dikenal sebagai narkotik. Biasanya
digunakan sebagai analgesia atau penghilang nyeri. Kelompok obat ini
dalam dosis yang tinggi dapat mengurangi kecemasan dan menyebabkan
penurunan kesadaran. Efek yang dihasilkan dari pemakaian obat golongan
opioid adalah analgesia, sedasi, dan depresi respirasi. Efek ini juga
berhubungan erat dengan besarnya dosis, yang berarti semakin banyak
konsentrasi obat yang diberikan, semakin besar pula efek yang didapatkan.
Namun dosis harus tetap di batasi sesuai kebutuhan untuk tetap menjaga
pasien tidak mengalami efek yang berlebihan.
Keuntungan dari pemakaian obat golongan opioid dalam anestesi adalah
obat golongan opioid tidak secara langsung memberikan efek depresi pada
fungsi jantung. Dengan demikian, obat golongan opioid sangat berguna
untuk anestesi pada pasien dengan kelainan jantung
Efek samping dari obat golongan opioid adalah mual dan muntah,
kekakuan dinding dada, seizure dan supresi dari motilitas gastrointestinal.
Pada pasien dengan hipovolemia, narkotik dapat memberikan manfaat
dengan menimbulkan efek vasodilatasi (pada penggunaan morfin).
Narkotik juga dapat menyebabkan bradikardi melalui stimulasi vagal
secara langsung. Pada pasien yang normal, bradikardi ini tidak berefek
menurunkan tekanan darah karena terjadi peningkatan stroke volume dari
jantung.
Mekanisme kerja dari opioid adalah interaksi dengan reseptor opioid
dalam otak dan medula spinalis. Beberapa tipe reseptor yang berbeda
sudah dapat diidentifikasi. Reseptor Mu melayani efek analgesia, depresi
respirasi, euphoria dan ketergantungan fisik. Reseptor Kappa melayani
efek analgesia pada level medula spinalis, sedasi dan miosis. Reseptor
yang lain bertanggung jawab untuk efek minor dan efek negatif dari
opioid.
Contoh dari kelompok obat ini adalah morfin, meperidine (demerol),
fentanyl (efek 1000 kali lebih kuat dari petidin), sufentanil, alfentanil dan
remifentanil. Kesemuanya ini berbeda dalam potensi, durasi kerja.
2.6 Anestesi pada Anak8
2.6.1 Pernafasan
Frekuensi pernafasan pada bayi dan anak lebih cepat dibanding
orang dewasa. Pada neonatus dan bayi antara 30 - 40 x semenit. Tipe
pernafasan pada neonatus dan bayi adalah pernafasan abdominal dan
pernapasan nasal, sehingga gangguan pada kedua bagian ini
memudahkan timbulnya kegawatan pernafasan. Paru-paru lebih
mudah rusak karena tekanan ventilasi yang berlebihan, sehingga
menyebabkan pneumotoraks, atau pneumomediastinum. Laju
metabolisme yang tinggi menyebabkan cadangan oksigen yang jauh
lebih kecil, sehingga kurangnya kadar oksigen yang tersedia pada
udara inspirasi, dapat menyebabkan terjadinya bahaya hipoksia yang
lebih cepat dibandingkan pada orang dewasa. Neonatus tampaknya
lebih dapat bertahan terbadap gangguan hipoksia daripada anak yang
besar dan orang dewasa, tetapi hal ini bukan alasan untuk
mengabaikan hipoksia pada neonatus.
Ada 5 perbedaan mendasar anatomi dari airway pada anak-anak dan
dewasa.
1. Pada anak-anak, kepala lebih besar, dan lidah juga lebih besar
2. Laring yang letaknya lebih anterior
3. Epiglotis yang lebih panjang
4. Leher dan trache yang lebih pendek daripada dewasa
5. Cartilago tiroid yang terletak berdekatan dengan airway
2.6.2 Kardiosirkulasi
Frekuensi nadi bayi dan anak berkisar antara 100-120 x/per
menit. Hipoksia menimbulkan bradikardia, karena parasimpatis yang
lebih dominan. Kadar hemoglobin pada neonatus tinggi (16-20 gr%),
tetapi kemudian menurun sampai usia 6 bulan (10-12 gr%), karena
pergantian dari HbF (fetal) menjadi HbA (adult). Jumlah darah bayi
secara absoluts sedikit, walaupun untuk perhitungan mengandung 90
miligram berat badan. Karena itu perdarahan dapat menimbulkan
gangguan sistem kardiosirkulasi. Dan juga duktus arteriosus dan
foramina pada septa interatrium dan interventrikel belum menutup
selama beberapa hari setelah lahir.
Umur Heart Rate Tekanan Sistolik Tekanan Diastolik
Preterm 1000g 130-150 45 25
Baru lahir 110-150 60-75 27
6 bulan 80-150 95 45
2 tahun 85-125 95 50
4 tahun 75-115 98 57
≥8 tahun 60-110 112 60
2.7.6 Puasa
Merupakan hal yang tidak menyenangkan bagi pasien anak. Dulu
pentingnya puasa tidak begitu diapresiasi dengan baik. Namun setelah
ada laporan bahwa regurgitasi dan refluks gaster yang sering terjadi
pada anak yang tidak dipuasakan, akhinya puasa menjadi suatu
persiapan pre operasi yang mulai banyak digunakan.
Ranula berasal dari kata latin : Rana, yang berarti katak. Dinamakan
ranula, karena ranula tersebut menonjol mirip perut katak. Bila kista tersebut
menjadi sangat besar pada dasar mulut, suara penderita dapat menjadi
“croacking” seperti suara katak (Aswin Rahardja).
B. Klasifikasi Ranula
Ranula diklasifikasikan menjadi 2 tipe, yaitu :
Tampak sebagai suatu pembengkakan lunak, dapat ditekan, timbul dari dasar
mulut. Kista ini dindingnya dilapisi epitel dan terjadi karena obstruksi ductus
glandula saliva (Robert P. Langlais & Craig S. Miller).
Gambar Simple Ranula
Ranula telah dikenal sejak berabad-abad yang lalu. Banyak teori yang
diajukan untuk mengetahui asalnya. Hippocrates dan Celcius mengatakan
bahwa kista berasal dari proses inflamasi yang sederhana. Pare mensugestikan
berasal dari glandula pituitary yang menurun dari otak ke lidah. Ada juga
yang mensugestikan bahwa kista tersebut berasal dari degenerasi myxomatous
glandula saliva. Teori yang terakhir mengatakan bahwa kista terjadi karena
Obstruksi ductus saliva dengan pembentukan kista atau ekstravasasi
(kebocoran) saliva pada jaringan yang disebabkan karena trauma. Obstruksi
ductus tersebut dapat disebabkan karena calculus atau infeksi (Aswin
Rahardja).
Walau terjadinya ranula yang ditulis dalam literature hingga saat ini
masih simpang siur, namun diperkirakan karena :
E. Diagnosis Ranula
Langkah-langkah yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis ranula:
Gejala klinis yang khas adalah rasa sakit yang hebat pada saat
makan, menelan dan disertai adanya pembengkakan glandula saliva
dan sangat peka jika di palpasi. (Dona Sari Nasution).
Gambar Sialolith
b. Kista Dermoid
Terjadi akibat pembengkakan jaringan lunak yang berasal dari
degenerasi kistik dari epitel yang terjebak selama perkembangan
embrionik. Kista dermoid dapat dijumpai di mana saja di kulit, tetapi
mempuyai kecenderungan timbul di dasar mulut. Secara klasik tampak
seperti kubah, tidak sakit, muncul di dasar mulut. Mukosa di atasnya
merah muda, lidah sedikit terangkat dan palpasi memberi konsistensi
seperti adonan. Pasien mengeluh sukar makan dan bicara (Robert P.
Langlais & Craig S. Miller).
c. Hemangioma
Hemangioma adalah tumor jinak vaskuler yang sering terjadi
pada rongga mulut. Etiologinya diduga berhubungan dengan
abnormalitas proliferasi dari sel-sel endotelium (Steven Brett Sloan).
a. Laryngocele
Laryngocele adalah penonjolan selaput lendir laring (kotak
suara). Terjadi karena tekanan intralaringeal meningkat. Laryngocele
yang menonjol ke arah luar (Laryngocele eksterna) menyebabkan
benjolan di leher. Penderita juga bisa mengalami disfagia (gangguan
menelan), batuk atau merasakan adanya sesuatu di tenggorokannya.
Pada CT scan, Laryngocele tampak licin dan berbentuk seperti telur.
(Raden Fahmi).
Gambar Laryngocele
b. Sialadenitis
Terjadi karena peradangan dari glandula saliva dengan
gambaran klinis :
Malnutrition
Mulut terasa kering
Rasa sakit pada mulut atau wajah, terutama ketika makan
Kulit kemerahan di samping wajah atau leher
Pembengkakan pada wajah terutama di depan telinga, di bawah
rahang, atau di bawah lidah.
(damayanti,dkk)
Gambar Sialadenitis
c. Abses leher
Abses leher merupakan kumpulan nanah dari infeksi di ruang
antara struktur leher. Terjadi karena infeksi bakteri atau virus dikepala
atau leher.
a. Demam
b. Merah, bengkak tenggorokan, sakit, kadang-kadang hanya satu
sisi.
H. Penatalaksanaan Ranula
Dalam kasus ranula, ahli bedah mulut dapat merekomendasikan
marsupialisasi atau eksisi, dimana ranula diincisi untuk membuat outlet pada
kista retensi kelenjar liur sehingga cairan dapat dikeluarkan (S. E. Smith).
1. Tehnik Operasi :
a. Menjelang operasi
Penjelasan kepada penderita dan keluarganya mengenai tindakan
operasi yang akan dijalani serta resiko komplikasi disertai dengan
tandatangan persetujuan dan permohonan dari penderita untuk
dilakukan operasi. (Informed consent).
Memeriksa dan melengkapi persiapan alat dan kelengkapan operasi.
Penderita puasa minimal 6 jam sebelum operasi.
Antibiotika profilaksis, Cefazolin atau Clindamycin kombinasi
dengan Garamycin, dosis menyesuaikan untuk profilaksis.
b. Tahapan operasi
Dilakukan dalam kamar operasi, penderita dalam narkose umum
dengan intubasi nasotrakheal kontralateral dari lesi, atau kalau
kesulitan bisa orotrakeal yang diletakkan pada sudut mulut
serta fiksasi-nya kesisi kontralateral, sehingga lapangan operasi bisa
bebas.
Posisi penderita telentang sedikit “head-up” (20-25 0 ) dan kepala
menoleh kearah kontralateral, ekstensi (perubahan posisi kepala
setelah didesinfeksi).
Desinfeksi intraoral dengan Hibicet setelah dipasang tampon steril di
orofaring.
Desinfeksi lapangan operasi luar dengan Hibitane-alkohol
70% 1:1000
Mulut dibuka dengan menggunakan spreader (alat pembuka) mulut,
untuk memudahkan mengeluarkan lidah maka bisa dipasang teugel
(alat penyangga) untuk pada lidah dengan benang sutera 0/1.
Lakukan eksisi bentuk elips pada mukosa dasar mulut dan pilih
yang paling sedikit vaskularisasi-nya, kemudian rawat perdarahan
yang terjadi, lakukan sondase atau palpasi, sebab kadang ada
sialolithiasis, atau sebab lain sehingga menimbulkan sumbatan
pada saluran kelenjar liur sublingual. Tepi eksisi dijahit dengan
Dexon 0/3 agar tidak menutup lagi.
Apabila masih teraba kista maka bisa dilakukan memecahkan septa
yang ada sehingga isinya bisa ter-drainase. Pada kista yang cukup
besar setelah dievaluasi tidak ada kista lagi maka bisa dipasang
tampon pita sampai keujungnya dipertahankan sampai 5 hari sebagai
tuntunan epitelialisasi pada permukaan kista tadi dan tidak obliterasi
lagi.
Apabila didapat sebagian ranula dibawah musculus mylohyoid, maka
memerlukan pendekatan yang lebih bagus dari ekstra oral. Dan yang
perlu diperhatikan adalah nervus hipoglossus, nervus lingualis.
Evaluasi ulang untuk perdarahan yang terjadi.
Lapangan operasi dicuci dengan kasa-PZ steril, luka operasi yang
diluar ditutup dengan kasa steril dan di hipafiks (perekat).
Tampon orofaring diambil, sebelum ekstubasi.
(Anonim, http://bedahunmuh.wordpress.com)
1. Konsentrasi Hb aktual
2. Adanya komorbiditas penyakit kardiopulmonar
3. Penampakan keadaan anemia secara fisik
4. Dinamika perdarahan
LAPORAN KASUS
a. Kepala
- Mata : Conjungtiva Anemis (-/-) ; Sklera Ikterik (-/-)
Sekret (-/-), pupil isokor 3 mm dextra = sinistra
- Mulut : Oral Candidiasis (-) ; Malampati kelas I
b. Leher : Pembesaran KGB (-/-), peningkatan vena
jugularis (-)
c. Toraks
- Paru
Inspeksi : Datar, simetris, ikut gerak napas,
- Jantung
Inspeksi : Iktus Cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus Cordis tidak teraba
Perkusi : Pekak
Batas jantung kanan di SIC 4 linea
parasternalis dextra
Batas jantung kiri di SIC 5 linea midclavicula
sinistra
Pinggang jantung di SIC 2 linea parasternalis
sinistra
Auskultasi : BJ I=II reguler, murmur (-), S3 gallop (-)
- Abdomen
Inspeksi : Datar, Jejas (-)
Palpasi : Supel, Nyeri tekan regio abdomen (-)
Hepar/Lien : (tidak teraba membesar)
Perkusi : Tympani
Auskultasi : Bising usus (+)
- Ekstremitas : Akral hangat, capillary refill time <3 detik
Edema : (-)
Status Lokalis :
Intra Oral : tampak massa ukuran diameter 3 cm, didasar mulut kanan dan
kiri, warna kebiruan, permukaan licin,
konsistensi lunak, nyeri (-), tampak massa
mendorong lidah keatas.
Diagnosa Kerja
Plungging Ranula
Planning
Cek Lab (Hb, Leukosit, Trombosit, apTT-PTT, Ur-Cre, SGOT-SGPT, GDS,
HbsAg)
Rontgen Thorax PA
CT-Scan mandibula
Konsul bagian Anak dan Anestesi
PRO Eksisi dengan GA
3.4 Pemeriksaan Penunjang
Hasil laboratorium tanggal 17 Oktober 2017
Konsultasi Terkait
Infomed consent
Puasa mulai dari jam 24.00 WIT
Jam 06.00 :
Medikasi :
- dexametason 5 mg - Recofol 20 mg
- Fentanil 25 mg - Ondancentron 2 mg
- Recofol 40 mg - Ranitidin 25 mg
- Recofol 30 mg
Umur : 10 tahun
Nomor DM : 43 33 81
Laporan Operasi:
1. SIO diisi
2. Skin test ceftriaxone (+)
3. Profilaksis antiobiotik dengan Ceftriaxone 200 mg (iv)
4. Antiseptik daerah intraoral, fasial, colli dengan betadin
5. Pasanng duk steril
6. Gambar desain insisi submandibula 0,5 cm dari margin submandibula dengan
metylen blue
7. Insisi kulit dengan pisau, luka dibuka lapis demi lapis sampai mencapai lesi
didataran muskulus myoloid
8. Membebaskan massa kistik dari jaringan sekitar, pada setengah ukuran lesi, lesi
pecah keluar cairan musin jernih kekuningan, kental dan lengket.
9. Kapsul lesi dikeluarkan
10. Perdarahan 20 cc, perservasi duktus submandibula dan arteri vena lingualis
11. Luka dicuci, jahit lapis demi lapis dengan benang vycril 4,0, kulit dengan Nylon 5,0
12. Dressing dengan tulle, luka ditutup dengan verban
13. Operasi selesai
B. Diagram Observasi
Nadi
140
120
100
80
60 Nadi
40
20
0
9:10
9:20
9:30
9:40
9:50
11:40
10:00
10:10
10:20
10:30
10:40
10:50
11:00
11:10
11:20
11:30
11:50
12:00
12:10
12:20
12:30
12:40
12:50
13:00
3 tpm makro
INSTRUKSI POST OPERASI
- IVFD D5 ½ NS 300 CC/ 24 jam
- Inj. Ceftriaxone 100 mg/12 jam
- Inj. Antrain 250 mg/ 8 jam (diencerkan)
- Inj. Ranitidin 12,5 mg/12 jam
- Bila pasien sudah sadar, minum sedikit-sedikit pukul 16.00 wit, bila tidak
muntah makan pukul 17.00 wit
- Monitor vital sign dan perdarahan
PROGNOSIS
Vitam : dubia ad bonam
Functionam : dubia ad bonam
Sanationam : dubia ad bonam
FOLLOW UP POST OPERASI
A : S. Plunging Ranula
Sabtu, 11 November 2017
A : S. Plunging Ranula
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien seorang anak perempuan umur 3 tahun, datang dengan keluhan
terdapat benjolan didasar mulut kanan dan kiri sejak 3 bulan yang lalu. Benjolan
tampak mendorong lidah pasien keatas, tidak mudah berdarah dan nyeri termasuk
saat pasien makan dan minum. Demam (-), bengkak pada leher (-). Awalnya
muncul berupa benjolan kecil didasar mulut sebelah kanan, benjolan nampak
bening dan berisi air, yang lama kelamaan semakin membesar hingga memenuhi
dasar mulut kanan dan kiri, disertai leher yang bengkak. Bengkak pada leher sejak
1 hari sejak dilakukan penedotan cairan pada benjolan dibulan oktober. Keluar
cairan berwarna kuning tua, kental dan lengket. Saat ini tampak leher pasien
sudah tidak bengkak namun benjolan didasar mulut masih ada.
Pada anemnesa tersebut diatas sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa
Ranula adalah bentuk kista akibat obstruksi glandula saliva mayor yang
merupakan sebuah fenomena retensi ductus pada galndula sublingualis yang
terdapat pada dasar mulut sehingga mengakibatkan terjadinya pembengkakan
dibawah lidah yang berwarna kebiru-biruan.
Dari pemeriksaan fisik pada pasien, didapatkan pada sublingual tampak
massa dengan diameter 3 cm didasar mulut kanan dan kiri, warna kebiruan,
permukaan licin, konsistensi lunak, nyeri (-), tampak massa mendorong lidah
keatas.
Pada pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien ini adalah
pemeriksaan radiologis dan CT-Scan Mandibula dinyatakan dalam batas normal.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb: 9,9 g/dl, MCV:61,6 fl, MCH:19,1
pg dan WBC:14,63x103/uL. Maka dapat dikatakan pasien anemia ringan.
Berdasarkan anemnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
pasien tergolong PS ASA II sesuai dengan klasifikasipenilaian status fisik
menurut The American Society of Anesthesiologist. Pasien dengan kelainan
sistemik ringan sampai sednag baik karena penyakit bedah maupun penyakit lain
(anemia ringan).
Jenis anestesi yang digunakan adalah general anestesi(anestesi umum)
karena jenis ini sesuai dengan pemberdahan yang luas, berlangsung lama dan
operasi tertentu yang memerlukan pengandalian pernafasan. Jenis pembedahan
pada pasien tergolong dalam operasi sedang memiliki pembedahan didaerah
eksisi pada submandibula dengan panjang ±0,5 cm namun membutuhkan waktu
yang panjang (3 jam), dan dalam pelaksanaanya pasien harus diposisikan supine
yang memerlukan pengendalian pernafasan.
Pre OP cairan yang masuk pada pasien D5 ½ NS 300 cc dan tidak
terpasang kateter. Premedikasi dilakukan sebelum induksi anestesi dinatranya
meredahkan kecemasan dan ketakutan, memperlancar induksi anetesia,
mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan jumlah obat
anestesi, mengurangi mual muntah pasca bedah, menciptakan amnesia,
mengurangi isi cairan lambung, mengurangi refleks yang membahayakan. Pasien
diberikan sedacum 2,5 mg, ventanil 25 mg, petidin 25 mg sebagai premedikasi.
Midazolam merupakan golongan benzodiazepine memiliki efek yang berguna
untuk pre medikasi meredamkan ansietas, sedasi dan amnesia. Amnesia yang
ditimbulkan akan mengurangi memori buruk yang dialami pasien akibat suatu
tindakan. Benzodiazepin dapat menimbulkan depresi pernafasan yang berat.
Midazolam larut air, sering dapakai dan lebih disukai daripada diazepam
intravena. Efek samping yaitu hipotensi, perubahan denyut jantung,
bronkospasme, depresi saluran nafas (terutama pada pemberian dosis tinggi atau
pada injeksi cepat). Dosis injeksi secara perlahan 200 mcg-300mcg/KgBB, pada
pasien ini midazolam (sedacum) yangdiberikan 2,5 mg. Pasien tampak tersedasi
beberapa detik setelah pemberian intravena sedacum. Saat pemberian sedacum
perlu pengawasan yang ketat terhadap pernafasan, mengingat efek samping
pemberian obat ini adalah depresi pernafasan.
Selain dengan sedacum, pasien ini dilakukan pre medikasi dengan petidin
dengan dosis 25 mg dan Ventanil 25 mg. Hal ini sesuai dengan teori yang
menyatakan bahwa petidin merupakan analgesik opioid, dimana indikasi petidin
sebagai analgesik perioperatif, premedikasi. Petidin bersifat seperti atropin
menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan dan juga takikardi. Dosis
yang besar menimbulkan depresi napas dan hipotensi.
Selain dengan sedacum, pasien ini dilakukan pre medikasi dengan petidin
dengan dosis 50 mg dan fentanil 50 mg. Hal ini sesuai dengan teori yang
menyatakan bahwa petidin merupakan analgesik opioid, dimana indikasi petidin
sebagai analgesik perioperatif, premedikasi. Petidin bersifat seperti atropin
menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan dan juga takikardi. Dosis
yang besar menimbulkan depresi napas dan hipotensi.
Setelah induksi dan dimasukkan muscle relaxant dan diberi bantuan nafas
dengan ventilasi mekanik. Pasien dipastikan sudah berada dalam kondisi tidak
sadar dan stabil untuk dilakukan intubasi ETT kemudian dilakukan ventilasi
dengan oksigenasi, dilakukan intubasi ETT nomor 4,5, Cuff dikembangkan, lalu
cek suara nafas pada semua lapang paru dan lambung dengan stetoskop,
dipastikan suara nafas dan dada mengembang ETT difiksasi agar tidak lepas dan
disambungkan dengan secara simetris kemudian pasien diposisikan ke dalam
posisi pronasi. Ventilator, Maintenance dengan inhalasi oksigen 2-3 lpm, dan
sevofluran MAC 1,5-2%. Monitor tanda-tanda vital pasien , saturasi oksigen,
tanda-tanda komplikasi (pendarahan, alergi obat, obstruksi jalan nafas, nyeri).
Planning : Oksigenasi
B4 Aktual : Terpasang DC
Mual, muntah
Potensial :
Pemberian ondancentron, ranitidin
Planning :
Pre Operatif
Kebutuhan cairan per jam x waktu puasa selama 9 jam adalah 369 cc. Selama pre
operatif tidak didapatkan perdarahan. Kebutuhan cairan tidak terpenuhi dimana
sejak pasien mulai puasa dan habis setelah di OK 300 cc, yang belum terpenuhi
69 cc.
Durante Operasi :
Jadi, total kebutuhan cairan durante operasi adalah kebutuhan cairan maintenance
+ Replacement + (kebutuhan dasar operasi + kebutuhan operasi sedang) = (30
cc – 60 cc) + (40 cc – 80 cc) + (60 cc – 180 cc) = 130 cc - 320 cc. Pada saat
operasi cairan yang masuk adalah Ringer Laktat 400 cc, sehingga kebutuhan
cairan durante operasi terpenuhi.
Post Operatif
Pada pemberian cairan post operasi diberikan kebutuhan cairan pasien dihitung
menggunakan rumus Holiday segar 1000 cc/24 jam, saat operasi 09.00 wit s/d
13.00 wit. Jadi perhitungan jam 14.00 wit s/d 09.00 wit (20 jam), sehingga
kebutuhan cairan pasien diruangan menjadi ± 1000 cc habis dalam 20 jam
Pasca operasi pasien dievaluasi di ruang RR, untuk dinilai kesadaran pasien. Bila
keadaan pasien mulai membaik pasien dapat dikembalikan ke ruangan perawatan.
Bila keadaan umum pasien mulai stabil tidak ada keluhan mual muntah, pasien
dapat dianjurkan untuk minum sedikit-sedikit dan pada jam 17.00 WIT pasien
disarankan untuk makan.
Pasca operasi pasien dibawa ke ruang pulih untuk diawasi secara lengkap dan
baik. Hingga kondisi pasien stabil dan tidak terdapat kendala-kendala yang
berarti. Penentuan kapan pasien dapat dipindahkan keruangan digunakan skor
Aldrette. Pada pasien An. E.D 3 th didapatkan pasien dapat mengangkat keempat
ekstremitas (skor 2), dapat bernapas dalam dan batuk (skor 2), kesadaran Compos
Mentis, saturasi 100%, warna kulit merah muda (skor 2). Skor Aldrette 8, pasien
dapat dipindahkan ke ruang perawatan.
Terapi post operasi pada pasien ini adalah IVFD D5 ½ NS 300 cc/24 jam,
inj. Ceftriaxone 100 mg/ 12 jam, Inj. Antrain 250 mg/ 8 jam (diencerkan), inj.
Ranitidin 12,5 mg/ 12 jam, monitor vital sign dan perdarahan.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
Dari:http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55198/BAB
%20II%20Tinjan%20Pustaka.pdf?sequence=5
3. Anesthesia.[Diunduh19/09/2017].Dari:http://repository.usu.ac.id/bitstrea
m/123456789/29717/5/Chapter%20I.pdf.
4. Ranula..[Diunduh29/01/2018]Dari:https://www.scribd.com/doc/256771
308