You are on page 1of 86

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Anestesiologi ialah ilmu kedokteran yang pada awalnya berprofesi
menghilangkan nyeri dan rumatan pasien sebelum, selama, dan sesudah
pembedahan. Definisi anestesiologi berkembang terus sesuai dengan
perkembangan ilmu kedokteran.1
Istilah anestesi dimunculkan pertama kali oleh dokter Oliver Wendell Holmes
(1809-1894) berkebangsaan Amerika, diturunkan dari dua kata Yunani : An
berarti tidak, dan Aesthesis berarti rasa atau sensasi nyeri. Secara harfiah
berarti ketiadaan rasa atau sensasi nyeri. Dalam arti yang lebih luas, anestesi
berarti suatu keadaan hilangnya rasa terhadap suatu rangsangan. Pemberian
anestesi dilakukan untuk mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri baik
disertai atau tanpa disertai hilangnya kesadaran. Seringkali anestesi
dibutuhkan pada tindakan yang berkaitan dengan pembedahan.2
Anestesi terdiri dari dua jenis, yaitu anestesi umum dan anestesi regional.
Anestesi umum adalah suatu tindakan meniadakan rasa nyeri secara sentral
disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. Anestesi umum yang
sempurna menghasilkan ketidaksadaran, analgesia, relaksasi otot tanpa
menimbulkan risiko yang tidak diinginkan dari pasien. Anestesi regional
adalah suatu tindakan meniadakan rasa nyeri baik secara sentral maupun
regional yang bersifat reversible. Anestesi umum bekerja untuk menekan aksis
hipotalamus-pituitari adrenal, sementara anestesi regional berfungsi untuk
menekan transmisi impuls nyeri dan menekan saraf otonom eferen ke
adrenal.3

Rongga mulut setiap harinya dibasahi oleh 1000 hingga 1500 ml saliva.
Kesehatan lapisan mukosa mulut dan faring serta fungsi penguyahan, deglutisi
(proses pencernaan makanan sejak masuk ke rongga mulut hingga mencapai
esophagus), bergantung pada cukupnya aliran saliva. Saliva berasal dari 3 pasang
glandula saliva mayor, yaitu glandula parotis, glandula sublingualis dan
glandula submandibularis dan sejumlah glandula saliva minor pada mukosa dan
submukosa bibir, palatum dan lidah (Gordon W. Pedersen).4

Glandula parotis terletak pada bagian samping, di atas musculus masseter.


Ductus parotis, misalnya ductus stensen, dengan panjang 5 sampai 6 cm, bermula
dari aspek anterior glandula, melintasi masseter, menembus musculus
buccinators dan memasuki rongga mulut pada regio molar pertama atau molar
kedua rahang atas (Gordon W. Pedersen). 4

Glandula submandibularis terletak di bawah corpus mandibula dan


menempati segitiga yang dibentuk oleh venter posterior dan anterior musculi
digastrici. Ductus-nya keluar dari perluasan glandula submandibularis yang
melintasi batas posterior dari musculus mylohyoideus dan memasuki rongga atau
ruang sublingual. Ductus Wharton dengan panjang kurang lebih 6 cm, melintas di
bagian anterior dan berakhir dalam lubang saluran di dasar mulut, tepat di
samping frenulum lingualis (Gordon W. Pedersen). 4

Glandula sublingualis menempati rongga sublingual bagian anterior dan


karena itu hampir memenuhi dasar mulut. Aliran dari sublingualis memasuki
rongga mulut melalui sejumlah muara yang terdapat sepanjang plica sublingualis,
yaitu suatu lingir mukosa anteroposterior di dasar mulut yang menunjukkan alur
dari ductus submandibularis, atau melalui ductus utama (yaitu ductus Bartholin)
yang berhubungan dengan ductus submandibularis (Gordon W. Pedersen). 4

Glandula saliva minor terletak dalam jumlah besar pada submukosa atau
mukosa bibir, permukaan lidah bagian bawah, bagian posterior palatum durum
dan mukosa bukal (Gordon W. Pedersen). 4

Dalam keadaan normal glandula saliva ini terus menerus mengeluarkan


saliva melalui saluran yang bermuara di dalam rongga mulut sesuai dengan
kebutuhan. Bilamana karena suatu sebab, terjadi hambatan maupun penyumbatan
baik sebagian maupun total, maka akan terjadi bendungan atau stagnasi saliva
yang merupakan retensi saliva dan pada suatu saat akan berubah menjadi kista. 4
Mengingat kista ini terjadinya karena retensi saliva di dalam saluran saliva
yang abnormal, maka kista jenis ini digolongkan sebagai kista retensi. Bila terjadi
pada ductus glandula saliva mayor, kista ini disebut ranula. Ranula dapat terjadi
pada semua umur dan lebih sering terjadi pada wanita daripada pria (drg. Iskandar
Atmadja). 4

Ranula jarang sekali terjadi. Dalam salah satu penelitian terhadap 1303 kista
pada glandula saliva, hanya ada 42 ranula yang terjadi. Perbandingan laki-laki
dan perempuan dalam hal terjadinya ranula adalah 1:1,3. Umumnya yang sering
terkena pada dekade kedua dan ketiga kehidupan, dengan rentang usia 3-61 tahun
(Ryan L Van De Graaff). 4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anestesi Umum


2.1.1 Definisi Anestesi Umum
Anestesi umum suatu keadaan dimana terjadi kehilangan kesadaran
secara reversible yang disebabkan oleh obat anestesi, disertai oleh
hilangnya sensasi nyeri diseluruh tubuh. Trias anestesi umum yaitu
hilangnya kesadaran (sedatif), analgesia dan penekanan refleks
(supresi refleks).5
2.1.2 Tujuan Anestesi
Anestesi memiliki tujuan-tujuan yaitu sebagai hipnotik atau sedasi
(hilangnya kesadaran), analgesik (hilangnya respon terhadap nyeri,
dan relaksasi otot.6
2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Anestesi Umum6
1. Faktor Respirasi
Pada setiap inspirasi sejumlah zat anestesi akan masuk ke dalam
paru-paru (alveolus), dalam alveolus akan dicapai suatu tekanan
parsial tertentu, kemudian zat anestesi akan berdifusi melalui
membrane alveolus. Epitel alveolus bukan penghambat difusi zat
anestesi sehingga tekanan parsial dalam alveolus sama dengan
tekanan parsial dalam arteri pulmonalis.
Hal yang dapat mempengaruhi hal diatas yaitu konsentrasi zat
anestesi yang dihirup atau diinhalasi, makin tinggi konsentrasinya
maka makin cepat naik tekanan parsial zat anestesi dalam alveolus,
serta makin tinggi ventilasi alveolus maka makin cepat
meningginya tekanan parsial alveolus dan keadaan sebaliknya pada
hipoventilasi.
2. Faktor Sirkulasi
Terdiri dari sirkulasi arterial dan vena, faktor-faktor yang
mempengaruhi yaitu perubahan tekanan parsial zat anestesi yang
jenuh dalam alveolus dan darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat
anestesi diserap jaringan dan sebagian kembali melalui vena. Selain
itu aliran darah juga mempengaruhi yaitu aliran darah yang melalui
paru makin banyak zat anestesi makin banyak zat anestesi yang
diambil dari alveolus, konsentrasi alveolus turun sehingga induksi
lambat dan makin lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
tingkat anestesi yang adekuat.
3. Faktor Jaringan
Perbedaan tekanan parsial obat anestesi antara darah arteri dan
jaringan. Aliran darah terdapat empat kelompok jaringan yaitu,
jaringan yang kaya pembuluh darah (otak, jantung, hepar, ginjal),
organ-organ ini menerima 70-75% curah jantung hingga tekanan
parsial zat anestesi ini meninggi dengan cepat dalam organ-organ
ini. Kelompok intermediet (otot skelet dan kulit), jaringan sedikit
pembuluh darah, dan relatif tidak ada aliran darah (ligamen dan
tendon).
4. Faktor Zat Anestesi
Bermacam-macam zat anestesi mempunyai potensi yang
berbeda-beda. Untuk menentukan derajat potensi ini dikenal
adanya MAC (Minimal Alveolar Concentration atau konsentrasi
alveolar minimal) yaitu konsentrasi terendah zat anestesi dalam
udara alveolus yang mampu mencegah terjadinya respon terhadap
rangsangan rasa sakit. Makin rendah nilai MAC, maka makin
tinggi potensi zat anestesi tersebut.
2.1.4 Stadium Anestesi Umum
Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter dalam 4
stadium (stadium III dibagi menjadi 4 plana), yaitu6
a. Stadium I
Stadium I (analgesi) dimulai dari saat pemberian zat anestetik
sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat
mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit).
Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi
kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini.
b. Stadium II
Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya
kesadaran dan refleks bulu mata sampai pernapasan kembali teratur.
Pada stadium ini terlihat adanya eksitasi dan gerakan yang tidak
menurut kehendak, pasien tertawa, berteriak, menangis, menyanyi,
pernapasan tidak teratur, kadang-kadang apnea dan hiperapnea, tonus
otot rangka meningkat, inkontinensia urin, muntah, midriasis,
hipertensi serta takikardia. Stadium ini harus cepat dilewati karena
dapat menyebabkan kematian.
c. Stadium III
Stadium III (pembedahan) dimulai dengan teraturnya pernapasan
sampai pernapasan spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi 4
plana yaitu:
Plana 1: Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang,
terjadi gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak
pupil miosis, refleks cahaya ada, lakrimasi meningkat,
refleks faring dan muntah tidak ada dan belum tercapai
relaksasi otot lurik yang sempurna (tonus otot mulai
menurun).
Plana 2: Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak
menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak,
terfiksasi di tengah, pupil midriasis, refleks cahaya mulai
menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks laring hilang
sehingga dapat dikerjakan intubasi.
Plana 3: Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai
paralisis, lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral,
refleks laring dan peritoneum tidak ada, relaksasi otot lurik
hampir sempurna (tonus otot semakin menurun).
Plana 4: Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot interkostal
paralisis total, pupil sangat midriasis; refleks cahaya hilang,
refleks sfingter ani dan kelenjar air mata tidak ada, relaksasi
otot lurik sempurna (tonus otot sangat menurun).
d. Stadium lV
Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan
melemahnya pernapasan perut dibanding stadium III plana 4. Pada
stadium ini tekanan darah tak dapat diukur, denyut jantung berhenti,
dan akhimya terjadi kematian. Kelumpuhan pernapasan pada stadium
ini tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan.

2.1.5 Tahapan Tindakan Anestesi Umum


1. Penilaian dan persiapan pra-anestesi
Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor
penyumbang sebab-sebab terjadinya kecelakaan anestesia. Sebelum
pasien dibedah sebaiknya dilakukan kunjungan kepada pasien agar
dapat menyiapkan pasien, sehingga pada waktu pasien dibedah
dalam keadaan bugar. Tujuan utama kunjungan pra anestesi ialah
untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya
operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.6
a. Penilaian Pra bedah6
Identitas setiap pasien harus lengkap dan harus dicocokkan
dengan gelang identitas yang dikenakan pasien. Pasien ditanya
lagi mengenai hari dan jenis bagian tubuh yang akan dioperasi.
 Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat
anestesi sebelumnya sangat penting untuk mengetahui
apakah ada hal- hal yang perlu mendapat perhatian
khusus, misalnya alergi, muntah-muntah, nyeri otot, gatal-
gatal atau sesak napas pasca bedah, sehingga kita dapat
merancang anestesi berikutnya dengan baik. Peneliti
menganjurkan obat yang kiranya menimbulkan masalah
dimasa lampau sebaiknya jangan digunakan ulang,
misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam waktu
tiga bulan, begitu juga dengan suksinilkolin yang
menimbulkan apnea berkepanjangan jangan diulang.
Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari
sebelumnya untuk eliminasi nikotin yang mempengaruhi
sistem kardiosirkulasi, dihentikan beberapa hari untuk
mengaktifkan kerja silia jalan pernapasan dan 1-2 minggu
untuk mengurangi produksi sputum. Kebiasaan minum
alkohol juga harus dicurigai akan adanya penyakit hepar.
 Pemeriksaan Fisik
Yakni memeriksa status pasien saat ini yang meliputi
kesadaran, frekuensi nafas, tekanan darah, nadi, suhu
tubuh, berat dan tinggi badan untuk menilai status
gizi/BMI. Disamping itu juga dilakukan pemeriksaan fisik
umum yang meliputi pemeriksaan status psikis, saraf,
respirasi, hemodinamik, penyakit darah, gastrointestinal,
hepatobilier, urogenital dan saluran kencing, metabolik
dan endokrin, otot rangka, integument.
Pada anestesi juga diperlukan pemeriksaan skor
Mallampati yang digunakan untuk memprediksi
kemudahan intubasi. Hal ini dilakukan dengan melihat
anatomi cavum oral, terutama didasari terlihatnya dasar
uvula, arkus di depan dan belakang tonsil, dan palatum
mole. Skoring dilakukan saat pasien duduk dan pandangan
ke depan. Skor Mallampati yang tinggi (III atau IV)
berhubungan dengan intubasi yang lebih sulit sebanding
juga dengan insiden yang lebih tinggi untuk terjadi apneu.
Skoring Mallampati
Kelas I : Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole
secara keseluruhan
Kelas II : Terlihat palatum mole dan durum, bagian atas
tonsil dan uvula
Kelas III : Terlihat palatum mole dan durum, dan dasar
uvula
Kelas IV : Hanya terlihat palatum durum7

Gambar 1. Klasifikasi Mallampati

 Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium hendakanya atas indiksi yang tepat
sesuai dengan dugaan penyakit yang dicurigai, banyak
fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji laboratorium
secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk bedah
minor, misalnya pemeriksaan darah kecil (hemoglobin
(Hb), leukosit, masa perdarahan, masa pembekuan) dan
urinalisis. Usia pasien diatas usia 50 tahun ada anjuran
EKG dan foto thoraks.
 Kebugaran untuk Anestesi
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu
untuk menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar,
sebaliknya pada operasi sito, penundaan yang tidak perlu
harus dihindari.
 Klasifikasi Status Fisik
Klasifikasi yang digunakan untuk menilai kebugaran
fisik seseorang ialah berasal dari The American Society of
Anesthesiologists (ASA):
Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik,
biokimia
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau
sedang. Termasuk juga semua pasien yang
berusia >80 tahun.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat
sehingga aktivitas rutin terbatas.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tidak
dapat melakukan aktivitas rutin dan
penyakitnya merupakan ancaman kehidupan
setiap saat
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau
tanpa pembedahan, hidupnya tidak akan
lebih dari 24 jam.6

b. Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat sebelum induksi anestesi
(selama 1-2 jam) dengan tujuan untuk melancarkan induksi,
rumatan dan bangun dari anestesia, yaitu diantaranya
meredakan kecemasan dan ketakutan, memperlancar induksi
anestesi, mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus,
meminimalkan jumlah obat anestetik, mengurangi mual-
muntah pasca bedah, menciptakan amnesia, mengurangi isi
cairan lambung, mengurangi refleks yang membahayakan.7
Obat-obat yang diberikan untuk meredakan kecemasan
yaitu midazolam dan diazepam, untuk meredakan rasa sakit
yaitu petidin, morphin, dan fentanil, untuk mengurangi sekresi
air ludah yaitu sulfas atropin, sedangkan untuk mengurangi
mual muntah yaitu ondansentron, dan antagonis reseptor H2
histamin yaitu ranitidin.6
Obat-obat yang sering digunakan sebagai premedikasi
adalah :6
 Obat Antikolinergik
Obat-obat ini menekan atau menghambat aktivitas
kolinergik atau parasimpatis. Tujuan utamanya dalam
premedikasi yaitu mengurangi saliva (saluran cerna dan
saluran nafas), mencegah spasme laring dan bronkus,
mencegah bradikardi, mengurangi motilitas usus, dan
melawan efek depresi narkotik terhadap pusat nafas. Obat
golongan ini merupakan preparat alkaloid belladona yang
turunannya adalah sulfas atropin dan skopolamin.
1. Mekanisme Kerja
Menghambat mekanisme kerja asetilkolin pada organ
yang di inervasi oleh serabut saraf otonom para
simpatis atau serabut saraf yang mempunyai
neurotransmiter asetil kolin. Manfaat sulfas atropin
lebih dominan pada otot jantung, usus dan bronkus,
sedangkan skopolamin lebih dominan pada iris, korpus
siliaris dan kelenjar.
2. Efek samping
Sulfas atropin tidak menimbulkan depresi susunan saraf
pusat sedangkan skopolamin mempunyai efek depresi
sehingga menimbulkan rasa ngantuk, euforia dan rasa
lelah. Pada sistem respirasi dapat menghambat sekresi
kelenjar dan menyebabkan mukosa jalan nafas kering
sehingga menyebabkan relaksasi otot polos bronkus dan
bronkhioli. Selain itu mempunyai efek samping seperti
menghambat aktivitas vagus pada jantung, sehingga
denyut jantung meningkat, pada hipotensi, pemberian
obat golongan ini akan meningkatkan tekanan darah.
3. Cara pemberian dan dosis
Intramuskuler dengan dosis 0,01 mg/kg BB, diberikan
selama 30-4 menit sebelum induksi, sedangkan
intravena diberikan diberikan dengan dosis 0,005
mg/kg BB, diberikan 5-10 menit sebelum induksI.
 Obat sedatif
Obat golongan ini berfungsi sebagai anti cemas dan
menimbulkan rasa ngantuk. Tujuan pemberian obat
golongan ini adalah untuk memberikan suasana nyaman
bagi pasien prabedah, bebas dari rasa cemas dan takut,
sehingga pasien menjadi tidak peduli dengan
lingkungannya.
Obat golongan sedatif yang sering digunakan yaitu :
1. Derivat Fenotiazin (Prometazin)
Obat ini menimbulkan depresi saraf pusat, bekerja pada
formasio retikularis dan hipotalamus menekan pusat
muntah dan mengatur suhu tubuh. Terhadap respirasi
akan menyebabkan dilatasi otot polos saluran nafas dan
menghambat sekresi kelenjar. Selain itu menyebabkan
vasodilatasi sehingga memperbaiki perfusi jaringan.
2. Derivat Benzodiazepin (diazepam, midazolam,
klordiazepoksid, nitrazepam dan oksazepam)
Obat ini mempunyai efek sedasi dan anti cemas yang
bekerja pada sistem limbik dan menimbulkan amnesia
anterograd. Selain itu berfungsi sebagai anti kejang
yang bekerja pada kornu anterior medula spinalis dan
hubungan saraf otot. Pada dosis kecil bersifat sedatif,
sedangkan dosis tinggi dapat sebagai hipnotik.
Pada dosis kecil, pengaruhnya kecil sekali pada
kontraksi maupun denyut jantung, akan tetapi pada
dosis besar menimbulkan hipotensi yang disebabkan
oleh efek dilatasi pembuluh darah. Dalam praktik
anestesi, obat ini digunakan sebagai premedikasi secara
IM dengan dosis 0,2 mg/kgBB atau peroral dengan
dosis 5-10 mg, serta untuk induksi pemberian IV
dengan dosis 0,2-0,6 mg/kg BB, pemberian sedasi pada
analgesi regional yang diberikan secara IV. Selain itu
obat ini digunakan untuk menghilangkan halusinasi
pada pemberian ketamin.
Jalur vena yang dipilih sebaiknya melalui vena-vena
besar untuk mencegah flebitis. Pemberian
intramuskular kurang disenangi oleh karena
menimbulkan rasa nyeri pada daerah suntikan.
3. Derivat Butirofenon (Dehidrobenperidol)
Obat ini digunakan untuk premedikasi yaitu diberikan
secara IM dengan dosis 0,1 mg/kgBB, sebagai sedasi
untuk tindakan endoskopi dan analgesia regional,
antihipertensi, anti muntah, dan suplemen anestesi.
Terhadap saraf pusat, kegunaannya yaitu sebagai
sedatif atau trankuilizer. Disamping itu mempunyai
kegunaan khusus yaitu sebagai anti muntah yang
bekerja pada pusat muntah di ”chemoreceptor trigger
zone”. Efek samping yang dapat terjadi yaitu timbulnya
rangsangan ekstrapiramidal sehingga menimbulkan
gerakan tak terkendali (parkinsonsm) yang bisa diatasi
dengan pemberian obat antiparkinson.
Terhadap respirasi dapat menimbulkan sumbatan jalan
nafas akibat dilatasi pembuluh darah rongga hidung dan
pembuluh darah paru. Selain itu dapat menimbulkan
vasodilatasi pembuluh darah perifer, sehingga sering
digunakan sebagai anti syok.
4. Derivat Barbiturat (Fenobarbital dan Sekobarbital)
Digunakan sebagai sedasi dan penenang prabedah,
terutama pada anak-anak. pada dosis lazim,
menimbulkan depresi ringan pada respirasi dan
sirkulasi.
5. Antihistamin
Obat sering digunakan sebagai premedikasi adalah
derivat defenhidramin. Kegunaannya yaitu sebagai
sedatif, antimuntah ringan dan antipiretik, sedangkan
efek sampingnya adalah hipotensi yang sifatnya ringan.

 Obat analgetik narkotik atau opioid


Berdasarkan struktur kimia, analgetik narkotik atau opioid
dibedakan menjadi 3 kelompok :
1. Alkaloid opium (natural) yaitu morfin dan kodein
2. Derivat semisintetik yaitu diasetilmorfin (heroin),
hidromorfin, oksimorfon, hidrokodon dan oksikodon.
3. Derivat sintetik yaitu
 Fenilpiperidine misalnya petidin, fentanil,
sulfentanil dan alfentanil
 Benzmorfans yaitu pentasozin, fenazosin dan
siklasozin
 Morfinans yaitu lavorvanol
 Propionanilides misalnya petadon
 Tramadol
Golongan narkotik yang sering digunakan sebagai obat
premedikasi yaitu petidin dan morfin, sedangkan
fentanil digunakan sebagai suplemen anestesi. Sebagai
analgetik, obat ini bekerja pada talamus dan substansia
gelatinosa medula spinalis. Terhadap respirasi, obat ini
dapat mnyebabkan depresi pusat nafas terutama pada
bayi dan orang tua. Efek ini semakin berat pada
keadaan umum pasien yang buruk sehingga perlu
pertimbangan seksama dalam penggunaannya. Namun
demikian efek ini dapat dipulihkan dengan nalorpin
atau nalokson, sedangkan terhadap bronkus, petidin
dapat mnyebabkan dilatasi bronkus.

2.2 Induksi Anestesi7


Induksi anestesia adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar, sehingga dimungkinkan untuk memulai tindakan
anestesi dan pembedahan. Induksi anestesi dapat dikerjakan dengan cara
intravena, inhalasi, intramuskular atau rektal, setelah pasien tidur akibat
induksi anestesi langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi sampai
tindakan pembedahan selesai, sebelum memulai induksi anestesi
selakyaknya dipersiapkan peralatan dan obat-obatan yang diperlukan,
sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih cepat
dan lebih baik.

2.3 Rumatan Anestesi


Selama operasi berlangsung dilakukan pemantauan anestesi. Hai-hal
yang dipantau adalah fungsi vital pernapasan, tekanan darah, nadi, dan
kedalaman anestesi, misalnya adanya gerakan, batuk, mengedan, perubahan
pola napas, takikardia, hipertensi, keringat, air mata, midriasis.
Ventilasi pada anestesi umum dapat secara spontan, bantu, atau kendali
tergantung jenis, lama, dan posisi operasi. Cairan infus diberikan dengan
memperhitungkan kebutuhan puasa, rumatan, perdarahan, evaporasi, dll.
Jenis cairan vang diberikan dapat berupa kristaloid (ringer laktat, NaCl,
dekstrosa 5%), koloid (plasma expander, albumin 5%) atau tranfusi darah
bila perdarahan terjadi lebih dari 20%.
Selama pasien dalam anestesi dilakukan pemantauan frekuensi nadi dan
tekanan darah. Peningkatan tekanan darah dan frekuensi nadi terjadi bila
anestesi kurang dalam. Hal ini disebabkan karena terjadi sekresi adrenalin.
Diatasi dengan membuat anestesi lebih dalam, yaitu melalui meningkatan
konsentrasi halotan atau suntikan barbiturat. Penurunan tekanan darah dan
nadi halus sebagai tanda syok dapat disebabkan karena kehilangan banyak
darah. Hal ini diatasi dengan pemberian cairan pengganti plasma atau darah.
Penurunan tekanan darah dan frekuensi nadi dapat disebabkan karena
anestesi terlalu dalam atau terlalu ringan serta kehilangan banyak darah atau
cairan. Peningkatan tekanan darah dan tekanan nadi serta penurunan
frekuensi nadi disebabkan transfusi yang berlebihan diatasi dengan
penghentian transfusi.

2.4 Anestesi Umum Intravena


Anestesia intravena adalah teknik anestesia dimana obat-obat anestesia
diberikan melalui jalur intravena, baik obat yang berkhasiat hipnotik atau
analgetik maupun pelumpuh otot.7
Indikasi Anestesi Intravena :
1. Obat induksi anestesi umum
2. Obat tunggal untuk anestesi pembedahan singkat
3. Tambahan untuk obat inhalasi yang kurang kuat
4. Obat tambahan anestesi regional
5. Menghilangkan keadaan patologis akibat rangsangan SSP (SSP sedasi)
Beberapa variasi anestesia intravena :7
1. Anestesia intravena klasik
Pemakaian kombinasi obat ketamin hidroklorida dengan sedatif, contoh:
diazepam, midazolam atau dehidrobenzperidol. Komponen trias anestesi
yang dipenuhi dengan teknik ini adalah hipnotik dan anestesia.
Indikasi :
Pada operasi kecil dan sedang yang tidak memerlukan relaksasi lapangan
operasi yang optimal dan berlangsung singkat, dengan perkecualian
operasi didaerah jalan nafas dan intraokuler.
Kontraindikasi:
a. Pasien yang rentan terhadap obat-obat simpatomimetik, misalnya:
penderita diabetes melitus, hipertensi, tirotoksikosis dan paeokromo
sitoma
b. Pasien yang menderita hipertensi intrakranial
c. Pasien penderita glaukoma
d. Operasi intraokuler
2. Anestesi intravena total
Pemakaian kombinasi obat anestetika intravena yang berkhasiat hipnotik,
analgetik dan relaksasi otot secara berimbang. Komponen trias anestesia
yang dipenuhi adalah hipnotik, analgesia dan relaksasi otot.
Indikasi :
Operasi-operasi yang memerlukan relaksasi lapangan operasi optimal
Kontraindikasi :
Tidak ada kontra indikasi absolut. Pemilihan obat disesuaikan dengan
penyakit yang diderita pasien.

3. Anestesia neuroleptik
Pemakaian kombinasi obat neuroleptik dengan analgetik opiat secara
intravena. Komponen trias anastesia yang dipenuhinya adalah sedasi atau
hipnotik ringan dan analgesia ringan. Kombinasi lazim adalah
dehidrobenzperidol dengan fentanil. Jika tidak terdapat fentanil dapat
digantikan dengan petidin atau morfin.
Indikasi:
a. Tindakan diagnostik endoskopi seperti laringoskopi, bronkoskopi,
esofaguskopi, rektos-kopi
b. Sebagai suplemen tindakan anestesi lokal
Kontraindikasi :
a. Penderita parkinson, karena pada pemberian dehidrobenzperidol akan
menyebabkan peningkatan gejala parkinson
b. Penderita penyakit paru obstruktif
c. Bayi dan anak-anak sebagai kontraindikasi relatif.5,6

2.5 Jenis Obat Anestesi Intravena


1. Propofol (2,6 – diisopropylphenol)
Merupakan derivat fenol yang banyak digunakan sebagai anastesia
intravena dan lebih dikenal dengan nama dagang Diprivan. Propofol
digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam anastesia umum, pada
pasien dewasa dan pasien anak-anak usia lebih dari 3 tahun. Mengandung
lecitin, glycerol dan minyak soybean. Obat ini dikemas dalam cairan
emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1 %
(1 ml = 10 mg) dan pH 7-8 Obat ini juga kompatibel dengan D5W.
a. Mekanisme kerja
Mekanisme kerjanya sampai saat ini masih kurang diketahui ,tapi
diperkirakan efek primernya berlangsung di reseptor GABA–A
(Gamma Amino Butired Acid).3
b. Farmakokinetik
Digunakan secara intravena dan bersifat lipofilik dimana 98% terikat
protein plasma, eliminasi dari obat ini terjadi di hepar menjadi suatu
metabolit tidak aktif. Kelarutan lemak yang tinggi dari propofol
menyebabkan onset kerjanya yang cepat yang hampir sama cepatnya
dengan thiopental tersadar setelah pemberian dosis tunggal juga cepat
akibat paruh waktu distribusinya yang sangat cepat (2-8 menit). Dosis
induksi cepat menyebabkan sedasi (rata-rata 30-45 detik) dan kecepatan
untuk pulih juga relatif singkat. Satu ampul 20 ml mengandung
propofol 10 mg/ml. Propofol bersifat hipnotik murni tanpa disertai efek
analgetik ataupun relaksasi otot.5
c. Farmakodinamik
i. Pada sistem saraf pusat
Dosis induksi menyebabkan pasien tidak sadar, dimana dalam
dosis yang kecil dapat menimbulkan efek sedasi, tanpa disetai efek
analgetik, pada pemberian dosis induksi (2 mg/kgBB) pemulihan
kesadaran berlangsung cepat. Dapat menyebabkan perubahan mood
tapi tidak sehebat thiopental. Dapat menurunkan tekanan
intrakranial dan tekanan intraokular sebanyak 35%.5
ii. Pada sistem kardiovaskuler
Induksi bolus 2-2,5 mg/kg dapat menyebabkan depresi pada
jantung dan pembuluh darah dimana tekanan dapat turun sekali
disertai dengan peningkatan denyut nadi. Ini diakibatkan propofol
mempunyai efek mengurangi pembebasan katekolamin dan
menurunkan resistensi vaskularisasi sistemik sebanyak 30%.6
iii. Pada sistem pernafasan
Dapat menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal, dalam
beberapa kasus dapat menyebabkan henti nafas kebanyakan muncul
pada pemberian diprivan. Secara lebih detail konsentrasi yang
menimbulkan efek terhadap sistem pernafasan adalah seperti
berikut.6
d. Dosis dan penggunaan
1. Induksi : 1 sampai 2,5 mg/kg intravena
2. Sedasi : 25 to 75 µg/kg/min dengan intravena infus
3. Dosis pemeliharaan pada anastesi umum : 100-150 µg/kg/min
intravena (titrate to effect).
4. Turunkan dosis pada orangtua atau gangguan hemodinamik atau
apabila digabung penggunaanya dengan obat anastesi yang lain.
5. Dapat dilarutkan dengan dextrosa 5% untuk mendapatkan
konsentrasi yang minimal 0,2%.
6. Propofol mendukung perkembangan bakteri, sehingga harus berada
dalam lingkungan yang steril dan hindari profofol dalam kondisi
sudah terbuka lebih dari 6 jam untuk mencegah kontaminasi dari
bakteri.
e. Efek Samping
Dapat menyebabkan nyeri selama pemberian pada 50% sampai 75%.
Nyeri ini bisa muncul akibat iritasi pembuluh darah vena, nyeri pada
pemberian propofol dapat dihilangkan dengan menggunakan lidokain
(0,5 mg/kg) dan jika mungkin dapat diberikan 1 sampai 2 menit dengan
pemasangan torniquet pada bagian proksimal tempat suntikan, berikan
secara intravena melaui vena yang besar. Gejala mual dan muntah juga
sering sekali ditemui pada pasien setelah operasi menggunakan
propofol. Propofol merupakan emulsi lemak sehingga pemberiannya
harus hati-hati pada pasien dengan gangguan metabolisme lemak
seperti hiperlipidemia dan pankreatitis. Pada sesetengah kasus dapat
menyebabkan kejang mioklonik (thiopental < propofol < etomidate
atau methohexital). Phlebitis juga pernah dilaporkan terjadi setelah
pemberian induksi propofol tapi kasusnya sangat jarang. Terdapat juga
kasus terjadinya nekrosis jaringan pada ekstravasasi subkutan pada
anak-anak akibat pemberian propofol.7

2. Ketamine
Ketamine (Ketalar or Ketaject) merupakan arylcyclohexylamine yang
memiliki struktur mirip dengan phencyclidine. Ketamin hidroklorida
adalah golongan fenil sikloheksilamin, merupakan “rapid acting non
barbiturate general anesthesia”.6
Ketamin kurang digemari untuk induksi anastesia, karena sering
menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca
anasthesi dapat menimbulkan muntah-muntah, pandangan kabur dan
mimpi buruk. Ketamin juga sering menebabkan terjadinya disorientasi,
ilusi sensoris dan persepsi dan mimpi gembira yang mengikuti anesthesia,
dan sering disebut dengan emergence phenomena.7
a. Mekanisme kerja
Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa blok terhadap reseptor
opiat dalam otak dan medulla spinalis yang memberikan efek analgesik,
sedangkan interaksi terhadap reseptor metilaspartat dapat menyebakan
anastesi umum dan juga efek analgesik.6
b. Farmakokinetik
1. Absorbsi
Pemberian ketamin dapat dilakukan secara intravena atau
intramuskular dengan puncak level plasma dalam 10-15 menit
setelah injeksi intramuskuler.6
2. Distribusi
Ketamin lebih larut dalam lemak sehingga dengan cepat akan
didistribusikan ke seluruh organ. Efek muncul dalam 30-60 detik
setelah pemberian secara intravena dengan dosis induksi, dan akan
kembali sadar setelah 15-20 menit. Jika diberikan secara
intramuskular maka efek baru akan muncul setelah 15 menit.
3. Metabolisme
Ketamin mengalami biotransformasi oleh enzim mikrosomal hati
menjadi beberapa metabolit yang masih aktif.6
c. Ekskresi
Produk akhir dari biotransformasi ketamin diekskresikan melalui ginjal.
d. Farmakodinamik
i. Susunan saraf pusat
Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik pasien
akan mengalami perubahan tingkat kesadaran yang disertai tanda
khas pada mata berupa kelopak mata terbuka spontan dan nistagmus.
Selain itu kadang-kadang dijumpai gerakan yang tidak disadari
(cataleptic appearance), seperti gerakan mengunyah, menelan,
tremor dan kejang. Itu merupakan efek anestesi dissosiatif yang
merupakan tanda khas setelah pemberian ketamin. Apabila diberikan
secara intramuskular, efeknya akan tampak dalam 5-8 menit, sering
mengakibatkan mimpi buruk dan halusinasi pada periode pemulihan
sehingga pasien mengalami agitasi. Aliran darah ke otak meningkat,
menimbulkan peningkatan tekanan darah intrakranial. 3
Konsentrasi plasma yang diperlukan untuk hipnotik dan amnesia
ketika operasi kurang lebih antara 0,7 sampai 2,2 µg/ml (sampai 4,0
µg/ml buat anak-anak). Pasien dapat terbangun jika konsentrasi
plasma dibawah 0,5µg/ml.
Ketamin merupakan suatu reseptor antagonis N-Metil-D-aspartat
(NMDA) yang non kompetitif yang menyebabkan : 3
1. Penghambatan aktivasi reseptor NMDA oleh glutamat
2. Mengurangi pembebasan presinaps glutamat
3. Efek potensial Gamma-aminobutyric acid (GABA)
Pemberian Ketamin dapat menyebabkan efek psikologis yang
berupa:
1. Mimpi buruk
2. Perasaan ekstrakorporeal (merasa seperti melayang keluar dari
badan)
3. Salah persepsi, salah interpretasi dan ilusi
4. Euphoria, eksitasi, kebingungan dan ketakutan
5. 20%-30% terjadi pada orang dewasa
6. Dewasa > anak-anak
7. Perempuan > laki-laki
ii. Mata
Menimbulkan lakrimasi, nistagmus dan kelopak mata terbuka
spontan, terjadi peningkatan tekanan intraokuler akibat peningkatan
aliran darah pada pleksus koroidalis.

iii. Sistem kardiovaskuler


Ketamin adalah obat anestesia yang bersifat simpatomimetik,
sehingga bisa meningkatkan tekanan darah dan jantung. Peningkatan
tekanan darah akibat efek inotropik positif dan vasokonstriksi
pembuluh darah perifer.
iv. Sistem pernafasan
Pada dosis biasa, tidak mempunyai pengaruh terhadap sistem
respirasi. dapat menimbulkan dilatasi bronkus karena sifat
simpatomimetiknya, sehingga merupakan obat pilihan pada pasien
asma.
e. Dosis dan pemberian
Ketamin merupakan obat yang dapat diberikan secara intramuskular
apabila akses pembuluh darah sulit didapat contohnya pada anak-anak.
Ketamin bersifat larut air sehingga dapat diberikan secara intravena
atau intramuskular. Dosis induksi adalah 1-2 mg/kgBB intravena atau
5-10 mg/kgbb intramuskular, untuk dosis sedatif lebih rendah yaitu 0,2
mg/kgBB dan harus dititrasi untuk mendapatkan efek yang diinginkan.
Untuk pemeliharaan dapat diberikan secara intermitten atau
kontinyu. Pemberian secara intermitten diulang setiap 10-15 menit
dengan dosis setengah dari dosis awal sampai operasi selesai. Dosis
obat untuk menimbulkan efek sedasi atau analgesik adalah 0,2-0,8
mg/kg intravena atau 2-4 mg/kg intramuskular atau 5-10 µg/kg/min
intravena drip infus.
f. Efek samping
Dapat menyebabkan efek samping berupa peningkatan sekresi air
liur pada mulut,selain itu dapat menimbulkan agitasi dan perasaan lelah,
halusinasi dan mimpi buruk juga terjadi pasca operasi, pada otot dapat
menimbulkan efek mioklonus pada otot rangka selain itu ketamin juga
dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Pada mata dapat
menyebabkan terjadinya nistagmus dan diplopia.

g. Kontraindikasi
Mengingat efek farmakodinamiknya yang relatif kompleks seperti
yang telah disebutkan diatas, maka penggunaannya terbatas pada pasien
normal saja. Pada pasien yang menderita penyakit sistemik
penggunaanya harus dipertimbangkan seperti tekanan intrakranial yang
meningkat, misalnya pada trauma kepala, tumor otak dan operasi
intrakranial, tekanan intraokuler meningkat, misalnya pada penyakit
glaukoma dan pada operasi intraokuler. Pasien yang menderita penyakit
sistemik yang sensitif terhadap obat-obat simpatomimetik, seperti ;
hipertensi tirotoksikosis, diabetes mellitus, penyakit jantung koroner
dan lain-lain.7

3. Thiopental
Berupa bubuk berwarna putih kekuningan, bersifat higroskopos,
rasanya pahit, berbau seperti bawang putih. Thiopental dikemas dalam
ampul 500 mg atau 1000 mg. sebelum digunakan dilarutkan dalam
akuabides sampai kepekatan 2,5 % (1 ml = 25 mg).9
Thiopental hanya boleh digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7
mg/kgBB dan disuntikan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik.
Larutan ini sangat alkalis dengan pH 10-11, sehingga suntikan keluar vena
akan menimbulkan nyeri hebat apalagi masuk ke arteri dan menyebabkan
vasokonstriksi dan nekrosis jaringan sekitar. Kalau hal ini terjadi
dianjurkan memberikan suntikan infiltrasi lidokain.7
a. Mekanisme Kerja
Barbiturat menekan sistem aktivasi retikuler, suatu jaringan
polisinaptik kompleks dari saraf dan pusat regulasi, yang terletak di
batang otak yang mengontrol beberapa fungsi vital, termasuk
kesadaran. Pada konsentrasi klinis, barbiturat secara khusus lebih
berpengaruh pada sinaps saraf daripada akson. Barbiturat menekan
transmisi neurotransmiter eksitator (seperti asetilkolin) dan
meningkatkan transmisi neurotransmiter inhibitor (seperti asam γ-
aminobutirik (GABA).7

4. Opioid7
Obat anestesi golongan opioid atau dikenal sebagai narkotik. Biasanya
digunakan sebagai analgesia atau penghilang nyeri. Kelompok obat ini
dalam dosis yang tinggi dapat mengurangi kecemasan dan menyebabkan
penurunan kesadaran. Efek yang dihasilkan dari pemakaian obat golongan
opioid adalah analgesia, sedasi, dan depresi respirasi. Efek ini juga
berhubungan erat dengan besarnya dosis, yang berarti semakin banyak
konsentrasi obat yang diberikan, semakin besar pula efek yang didapatkan.
Namun dosis harus tetap di batasi sesuai kebutuhan untuk tetap menjaga
pasien tidak mengalami efek yang berlebihan.
Keuntungan dari pemakaian obat golongan opioid dalam anestesi adalah
obat golongan opioid tidak secara langsung memberikan efek depresi pada
fungsi jantung. Dengan demikian, obat golongan opioid sangat berguna
untuk anestesi pada pasien dengan kelainan jantung
Efek samping dari obat golongan opioid adalah mual dan muntah,
kekakuan dinding dada, seizure dan supresi dari motilitas gastrointestinal.
Pada pasien dengan hipovolemia, narkotik dapat memberikan manfaat
dengan menimbulkan efek vasodilatasi (pada penggunaan morfin).
Narkotik juga dapat menyebabkan bradikardi melalui stimulasi vagal
secara langsung. Pada pasien yang normal, bradikardi ini tidak berefek
menurunkan tekanan darah karena terjadi peningkatan stroke volume dari
jantung.
Mekanisme kerja dari opioid adalah interaksi dengan reseptor opioid
dalam otak dan medula spinalis. Beberapa tipe reseptor yang berbeda
sudah dapat diidentifikasi. Reseptor Mu melayani efek analgesia, depresi
respirasi, euphoria dan ketergantungan fisik. Reseptor Kappa melayani
efek analgesia pada level medula spinalis, sedasi dan miosis. Reseptor
yang lain bertanggung jawab untuk efek minor dan efek negatif dari
opioid.
Contoh dari kelompok obat ini adalah morfin, meperidine (demerol),
fentanyl (efek 1000 kali lebih kuat dari petidin), sufentanil, alfentanil dan
remifentanil. Kesemuanya ini berbeda dalam potensi, durasi kerja.
2.6 Anestesi pada Anak8
2.6.1 Pernafasan
Frekuensi pernafasan pada bayi dan anak lebih cepat dibanding
orang dewasa. Pada neonatus dan bayi antara 30 - 40 x semenit. Tipe
pernafasan pada neonatus dan bayi adalah pernafasan abdominal dan
pernapasan nasal, sehingga gangguan pada kedua bagian ini
memudahkan timbulnya kegawatan pernafasan. Paru-paru lebih
mudah rusak karena tekanan ventilasi yang berlebihan, sehingga
menyebabkan pneumotoraks, atau pneumomediastinum. Laju
metabolisme yang tinggi menyebabkan cadangan oksigen yang jauh
lebih kecil, sehingga kurangnya kadar oksigen yang tersedia pada
udara inspirasi, dapat menyebabkan terjadinya bahaya hipoksia yang
lebih cepat dibandingkan pada orang dewasa. Neonatus tampaknya
lebih dapat bertahan terbadap gangguan hipoksia daripada anak yang
besar dan orang dewasa, tetapi hal ini bukan alasan untuk
mengabaikan hipoksia pada neonatus.
Ada 5 perbedaan mendasar anatomi dari airway pada anak-anak dan
dewasa.
1. Pada anak-anak, kepala lebih besar, dan lidah juga lebih besar
2. Laring yang letaknya lebih anterior
3. Epiglotis yang lebih panjang
4. Leher dan trache yang lebih pendek daripada dewasa
5. Cartilago tiroid yang terletak berdekatan dengan airway

Variable Anak-anak Dewasa


Frekuensi pernafasan 30-50 12-16
Tidal Volume ml/kg 6-8 7
Dead space ml/kg 2-2.5 2.2
Alveolar ventilation 100-150 60
FRC 27-30 30
Konsumsi Oksigen 6-8 3

Tabel 1. Perbedaan fisiologi pernafasan pada anak dan dewasa

2.6.2 Kardiosirkulasi
Frekuensi nadi bayi dan anak berkisar antara 100-120 x/per
menit. Hipoksia menimbulkan bradikardia, karena parasimpatis yang
lebih dominan. Kadar hemoglobin pada neonatus tinggi (16-20 gr%),
tetapi kemudian menurun sampai usia 6 bulan (10-12 gr%), karena
pergantian dari HbF (fetal) menjadi HbA (adult). Jumlah darah bayi
secara absoluts sedikit, walaupun untuk perhitungan mengandung 90
miligram berat badan. Karena itu perdarahan dapat menimbulkan
gangguan sistem kardiosirkulasi. Dan juga duktus arteriosus dan
foramina pada septa interatrium dan interventrikel belum menutup
selama beberapa hari setelah lahir.
Umur Heart Rate Tekanan Sistolik Tekanan Diastolik
Preterm 1000g 130-150 45 25
Baru lahir 110-150 60-75 27
6 bulan 80-150 95 45
2 tahun 85-125 95 50
4 tahun 75-115 98 57
≥8 tahun 60-110 112 60

Tabel 2. Perbedaan heart rate, dan tekanan darah pada pediatrik


berdasarkan umur
Bayi bersifat poikilotennik, karena luas permukaan tubuhnya
relatif lebih luas dibanding orang dewasa. Hal ini dapat menimbulkan
bahaya hipotermia pada lingkungan yang dingin, dan hipertermia pada
lingkungan yang panas. Disamping itu pusat pengaturan suhu di
hipotalamus belum berkembang dengan baik.

2.6.3 Cairan Tubuh


Bayi lahir cukup bulan mengandung relatif banyak air yaitu dari
berat badan 75%, setelah berusia 1 tahun turun menjadi 65% dan
setelah dewasa menjadi 55-60%. Cairan ekstrasel neonatus adalah 40%
dari berat badan, sedangkan pada dewasa ialah 20%. Pada Tabel 4.
dapat dilihat perbedaan EBV (Estimated Blood Volume) pada pediatric
berdasarkan umur.
Umur EBV
Premature 90-100cc/kg
Baru lahir 80-90 cc/kg
3 bulan-1 tahun 70-80 cc/kg
>1tahun 70 cc/kg
Dewasa 55-60 cc/kg

Tabel 3. Estimate Blood Volume Berdasarkan Umur

2.7 Penerapan Anestesi Pada Pediatri 8


2.7.1 Tahap Pra Bedah
Kunjungan pra-anestesia dilakukan sekurang-kurangnya dalam
waktu 24 jam sebelum tindakan anestesia. Perkenalan dengan orang
tua penderita sangat penting untuk memberi penjelasan mengenai
masalah pembedahan dan anestesia yang akan dilakukan. Pada
kunjungan tersebut kita mengadakan penilaian tentang keadaan.
umum, keadaan fisik dan mental penderita.
2.7.2 Premedikasi Pada Anak
Anak-anak dan orang tuanya sering merasa cemas saat-saat pre
operasi. Kecemasan saat pre-operasi dapat bervariasi dengan berbagai
macam cara. Sesuai dengan umurnya, bentuk-bentuk kecemasan ini
dapat berupa verbal atau tingkah laku. Menangis, agitasi, retensi urin,
nafas dalam, tak mau bicara, pernafasan dalam, merupakan bentuk dari
anak yang cemas. Kecemasan ini dapat mencapai puncaknya saat
induksi anestesi. Ada berbagai cara untuk menekan kecemasan pre-
operatif ini.
Tujuan dan definisi dari premedikasi ini bervariasi pada tiap tenaga
medis, dan pasien dan orangtuanya memiliki persepsi sendiri terhadap
arti premedikasi.19,7 Bagi tenaga medis, premedikasi berfungsi untuk
pendekatan psikologis memberikan penjelasan pada pasien dan
keluarganya, tentang apa yang akan dilakukan sebelum dan sesudah
operasi beserta yang akan terjadi kemudian. Dan juga untuk
memisahkan sang pasien dari orangtuanya dengan tenang pada saat
akan dilakukan operasi, dan juga penggunaan obat-obatan analgesi dan
hipnotik yang bertujuan untuk membuat amnesia ataupun mengurangi
nyeri post operasi. Tujuan lainnnya dapat berupa menekan biaya obat
yang akan digunakan, anti emesis, memudahkan saat induksi, dan hal-
hal lain yang tak diinginkan.
2.7.3 Indikasi, Keuntungan dan Kerugian pada Premedikasi
Pasien anak-anak yang memerlukan premedikasi dan sedasi untuk
membuat mereka menjadi kooperatif, adalah yang termasuk di bawah
ini:
 Anak-anak yang memiliki riwayat operasi sebelumnya sehingga
menjadi terlalu takut akan ketidaknyamanan akan perawatan di
rumah sakit dan operasi berikutnya.
 Anak-anak di bawah usia sekolah yang tidak dapat dipisahkan dari
orang tuanya secara mudah, dimana ahli anestesi merasa kehadiran
orang tuanya pada saat induksi tidak akan menguntungkan.
 Anak-anak yang terbatas komunikasinya yang disebabkan karena
keterbelakangan mental (misalnya autisme) dan orang tua berperan
sebagai perantara untuk berkomunikasi dengan sang anak saat
induksi
 Keadaan-keadaan dimana induksi harus dilakukan tanpa ada usaha
perlawanan dari ataupun sikap tidak kooperatif, atau menangis dari
sang anak.
 Remaja yang menunjukkan tingkat kecemasan yang tinggi. Remaja
sering merasa ketakutan akan kehilangan penampilan tubuhnya,
kematian.
Tidak ada kesepakatan yang pasti akan keuntungan dari premedikasi
pada anak-anak. Terutama pada bayi. Namun seorang anak yang
kooperatif dan tersedasi, dapat mengurangi level kecemasan pada orang
tuanya sendiri yang mungkin dapat berpengaruh terhadap persiapan
pre-operasi atau bahkan terhadap sikap anaknya sendiri. Anak-anak dan
orang tuanya mendapatkan keuntungan yang berbeda dari premedikasi:
amnesia, analgesia, mengurangi cemas (baik terhadap pasien sendiri
ataupun orang tuanya), dan sikap kooperatif.
Para pekerja medis, baik ahli anestesiologi dan perawat pre-operasi,
mengetahui keuntungan dan resiko dari pengurangan cemas pre-
operasi. Keamanan obat, onset obat, reaksi disforik, mual, muntah harus
di pertimbangkan sebelum melakukan premedikasi. Premedikasi ideal
untuk anak-anak adalah dengan administrasi yang baik, onset dan
panjang durasi yang dapat diramalkan, dan komplikasi yang minimal.
Seringkali tujuan dari premedikasi adalah menciptakan seorang pasien
anak-anak yang tenang, kooperatif, dan mudah dipisahkan dari orang
tuanya dan menuruti instruksi dari sang ahli anestesi. Namun kebutuhan
dan metode dari premedikasi akan berbeda berdasarkan kebutuhan
pasien, orang tua pasien, prosedur bedah, dan juga temperamen sang
ahli anestesi.
Meskipun premedikasi merupakan hal yang penting dalam
menurunkan kecemasan, namun bukan berarti premedikasi adalah satu-
satunya komponen. Sebagai contoh, seorang anak mungkin memiliki
pikiran yang bercampur aduk tentang premedikasi, dan permintaan
mereka mungkin bahwa mereka ingin ditangani oleh pekerja medis
yang telah mereka kenal. Pada kasus ini, tidak diperlukan obat-obatan
sedatif atau pengurang rasa cemas, sehingga tidak ada efek samping
atau pun komplikasi-komplikasi yang akan dihadapi atau
dikhawatirkan.
Bedah emergency, lambung yang penuh, trauma kepala dan trauma
abdomen merupakan kelemahan, atau batasan dari indikasi
premedikasi. Pada anak normal dan sehat, resiko tentu saja minimal,
dan bila komplikasi terjadi, biasanya karena over dosis atau suatu
proses patologi yang tak diketahui.
2.7.4 Anak-anak yang cenderung mengalami komplikasi
Ada beberapa kelompok anak-anak yang memiliki kecenderungan
lebih untuk mengalami komplikasi, dan perhatian lebih tentu harus
diberikan sebelum premedikasi dilakukan.
Riwayat spesifik seperti obstruksi saluran pernafasan atas, aspirasi,
control refleks yang buruk, batuk dan muntah yang tak terkoordinasi,
harus diperhatikan sebelum pemberian premedikasi. Riwayat apnea,
obstruksi, merupakan kontraindikasi yang absolut. Anak-anak yang
memiliki kelainan seperti di bawah ini harus diperlakukan secara
berhati-hati dalam pemberian premedikasi:
1. Hipertropi Adenoid
Seorang anak dengan hipertropi adenoid memiliki resiko lebih besar
untuk mengalami obstruksi jalan nafas dari tingkat sedang sampai
parah. Komplikasi yang sama juga dapat dialami oleh anak-anak
yang memiliki hipertropi tonsil.
2. Macroglossia Fungsional
Baik karena sindrom hipertropi lidah ataupun syndrome
hipomandibularisme relatif, obstruksi jalan nafas merupakan
komplikasi potensial pada pasien-pasien ini.
3. Pasien dengan Kelainan Neurologi
Respon dari anak yang mengalami kelainan neurologi berbeda-beda.
Dapat terjadi aspirasi, diskoordinasi menelan, batuk, yang membuat
kelompok anak-anak yang memiliki kelainan ini sulit diramalkan
sewaktu diberikan sedasi, bahkan dengan dosis yang telah dikurangi.
4. Distrofi muscular
Pasien pada kelompok ini, bila mereka menggunakan kursi roda,
dokter harus lebih berhati-hati, terutama terhadap efek depresi
respiratorik.
5. Bayi dengan berat badan kurang dari 10 kg
Bayi dengan berat badan kurang dari 10 kg tidak memerlukan sedasi
pre operasi, karena mereka dapat dipisahkan dengan mudah dari
orang tuanya dengan tingkat kecemasan yang rendah, onset, durasi,
efek samping obat-obatan terhadap anak-anak ini tak dapat
diramalkan.

2.7.5 Cara Pemberian Obat


Banyak cara pemberian obat dalam premedikasi. Oral dan rektal
merupakan cara yang sering dipilih. Meskipn begitu, bukan berarti
kedua cara di atas merupakan cara yang paling aman, dimana tidak
dapat diramalkan karena fluktuasi dari bioavalabilitas dan substansi
“first past effect”.
1. Cara Oral
Biasanya merupakan cara yang paling dapat diterima. Hal-hal yang
perlu diperhatikan berupa jumlah obat, onset, durasi, tingkah laku
selama penyembuhan, interaksi dengan obat lain dan efek samping.
Kadang kala anak membuang kembali obat yang telah ditelan.
Biasanya ini terjadi karena kurang kooperatifnya anak ataupun
kurang lembutnya sikap sang premedikator.
 Midazolam
Obat makan yang sering digunakan. Dosis yang dianjurkan
adalah 0,5 mg/kgBB sampai 20 mg/kgBB. Dosis ini hamper
selalu efektif dan mempunyai batas aman yang luas. Efek sedasi
dan hilangnya cemas dapat timbul 10 menit setelah pemberian.
Midazolam oral dan diazepam-droperidol sampai trimeprazine,
dan mendapatkan hasil yang lebih baik pada pre-operatif dan
post-operatif pada midazolam dalam menghilangkan kecemasan
dan menimbulkan efek sedasi.
 Fentanyl
Telah banyak berhasil digunakan. Memiliki efikasi yang sama
dengan obat oral cair meperidine, diazepam dan atropine.
Namun efek samping yang tak dapat diramalkan berupa depresi
pernafasan, pruritus dan mual muntah merupakan kerugian
sehingga tidak diterima secara universal.
 Ketamin
Bentuk oral merupakan alternatif yang popular. Gutstein dan
koleganya membandingkan efek placebo dari 3 sampai 6
mg/kgBB dari ketamin oral. Ketamin tidak berefek terhadap
depresi pernafasan, dan takikardi. Ketamin juga dapat diberikan
bersamaan dengan permen pada dosis 5-6mg/kgBB tanpa
hambatan.
 Barbiturat
Telah digunakan selama bertahun-tahun sebagai obat
premedikasi. Memiliki onset of action yang lambat, dan durasi
yang lama. Pentobarbital 3 mg/kgBB sampai 30 mg/kgBB
memiliki onset satu jam dan durasi samapai 6 jam.18
Kerugiannya adalah efek sedasi yang panjang dan tidak cocok
untuk pembedahan yang singkat atau emergensi yang
memerlukan persiapan yang cepat.
2. Cara Nasal
Premedikasi Intranasal dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
tetes dan inhalasi. Dosis yang tepat tentu diperlukan dan onset
yang berulang dapat dicapai jika cara nasal digunakan. Namun,
pasien biasanya akan merasakan rasa yang tidak nyaman,
meskipun hanya sebentar. Sewaktu midazolam 100µg/kgBB
intranasal dibandingkan dengan 10µg/kgBB afentanyil intranasal,
efek sedasi yang didapatkan sama, namun tidak ditemukan rasa
hidung terbakar pada anak-anak yang menerima alfentanil, dimana
70% dari anak-anak yang mengunakan midazolam merasakan rasa
hidung terbakar.
3. Cara Rektal
Cara ini kadangkala bergantung pada ahli anestesi sendiri. Telah
dilaporkan bahwa cara rektal merupakan cara yang popular di
Eropa, sedangkan di Negara-negara lain tidak.19 Cara rektal telah
dibandingkan dengan midazolam oral bahwa keduanya sama
efektif,5 namun cara rektal lebih di toleransi. Pada anak dewasa,
cara rektal tidak begitu dianjurkan karena alasan estetika dan
volume yang dibutuhkan untuk menghantarkan dosis yang
adekuat.

4. Cara Intramuskular dan Subkutan


Cara ini tidak begitu dianjurkan mengingat anak-anak sangat takut
denga jarum dan bahkan dapat membuat rasa ketakutan yang
berlebih pada tindakan tindakan selanjutnya. Keuntungan cara ini
adalah tidak dibutuhkannya sikap kooperatif dari pasien dan tanpa
harus mengkhawatirkan pasien tersebut memuntahkan kembali
obat yang telah diberi secara oral.
5. Cara Sublingual
Meskipun cara ini memiliki keuntungan, yaitu onset yang lebih
cepat, namun tidak begitu popular karena sulit memberikannya
pada anak yang tidak kooperatif

Nama Obat Agen Cara Dosis Onset Efek


Pemberian (menit)
Benzodiazepin Midazolam Oral 0,3- 15-30 Depresi system
Diazepam Nasal 0,7mg/kgBB 5-10 pernafasan,
0,1- eksitasi
0,2mg/kgBB postoperative
eksitasi
Dissosiatif Ketamin Oral 3-8mg/kgBB 10-15 Eksitasi
IM 2-5mg/kgBB 2-5 Meningkatkan
TD, tekanan
intra cranial
meningkat
Opioids Morfin IM 0,1-0,2 15-30 Depresi system
Meperidin IM mg/kgBB 15-30 pernafasan
Fentanil Oral 0,5-1 5-15 Depresi system
mg/kgBB pernafasan
10-15 Depresi sitem
µg/kgBB pernafasan

Barbiturat Pentobarbital Oral 3mg/kgBB 60 Eksitasi


Tiopental Rectal 30mg/kgBB 5-10 postoperative
yang
memanjang
Depresi system
pernafasan,
Eksitasi
postoperative
yang
memanjang
Antikolinergik Atropin Oral 20µg/kgBB 15-30 Flushing
Scopolamin IM 20µg/kgBB 5-15 Mulut kering
IV 10- 30 Rasa gembira
IM 20µg/kgBB 15-30 halusinasi
20µg/kgBB
H2 Antagonis Cimetidine Oral 7,5mg/kgBB 60
Ranitidine Oral 2 mg/kgBB 60

Tabel 4. Nama obat-obat premedikasi, dosis, cara pemberian dan efeknya

2.7.6 Puasa
Merupakan hal yang tidak menyenangkan bagi pasien anak. Dulu
pentingnya puasa tidak begitu diapresiasi dengan baik. Namun setelah
ada laporan bahwa regurgitasi dan refluks gaster yang sering terjadi
pada anak yang tidak dipuasakan, akhinya puasa menjadi suatu
persiapan pre operasi yang mulai banyak digunakan.

Tipe makanan Rekomendasi lama puasa


Cairan Minimum 2 jam
 Pasien sehat Minimum 4 jam
 Pasien sakit Penganganan tersendiri (pasang NGT,
 Operasi emergensi dll)
Susu Minimum 4 jam
 ASI Minimum 6 jam
T
 Susu non ASI
aPadat 1 hari sebelum operasi
 Operasi elektif Penanganan tersendiri
 BOperasi emergensi
Tabel 5. Rekomendasi waktu puasa pada tahap pra-bedah
Lamanya puasa yang dibutuhkan tergantung dari banyak faktor,
seperti jenis operasi, waktu makan terakhir sampa terjadinya cidera
(pada operasi emergensi), tipe makanan dan pengobatan yang diberikan
pada pasien sebelum operasi.
2.7.7 Induksi Pada Pediatri
Cara induksi pada pasien pediatri tergantung pada umur, status
fisik, dan tipe operasi yang akan dilakukan. Ahli anestesi tentu
memiliki cara dalam menginduksi pasien pediatri, namun juga harus
memiliki rencana kedua jika rencana pertama gagal dilakukan yang
mungkin disebabkan oleh situasi klinik tertentu.
Namun, apapun jenis situasi klinik yang dialami, tujuan dari induksi
adalah sama, yaitu:
 Memisahkan sang pasien dari orangtuanya sebisa mungkin
 Pasien bersikap kooperatif saat dilakukan induksi
 Induksi yang berjalan mulus tanpa komplikasi apapun
 Pencapaian dan pemantauan sistem respirasi, kardiovaskular, dan
cairan yang stabil selama induksi
 Tercapainya efek hipnotik, sedatif dan relaksasi
1. Persiapan induksi
Ahli anestesi harus memiliki informasi yang adekuat dari pasien
yang akan diinduksi, minimal umur dan berat badan pasien, jenis
pembedahan, apakah emergensi atau elektif, status fisik dan mental
(kooperatif/tidak) pasien.
Dari informasi ini, tentu dapat dipersiapkan keperluan-keperluan
seperti pipa ETT, pemanjangan anestesi, manajemen nyeri post
operatif, ventilasi, dan perawatan intensif yang memadai. Jika hal-
hal ini telah terpenuhi, tentu intubasi akah berjalan dengan lancar
dan dengan komplikasi yang minimal.
Persiapan-persiapan yang harus dilakukan tersebut meliputi19:
 Persiapan kamar operasi
 Rencana untuk mendapatkan sikap kooperatif dari pasien
 Penggunaan klinik dari agen-agen induksi
 Obat adjuvant untuk induksi anestesi
 Monitoring pasien
 Rencana-rencana tambahan dalam menghadapi berbagai macam
situasi klinik yang tak terduga.
2. Persiapan Kamar Operasi
Persiapan kamar operasi merupakan hal yang esensial dan
tergantung pada ukuran tubuh dan status fisik pasien, metode
induksi, dan rencana airway manajemen. Mesin anestesi harus
diperiksa terlebih dahulu dan ventilator diatur sesuai tubuh pasien,
ukuran face mask yang sesuai, dan juga oral airway.
Laringoskop harus di cek apakah berfungsi dengan baik, dan
ukuran blade yang sesuai harus dipersiapkan. Obat obatan, trachea
tube, stylet yang sesuai juga merupakan hal yang esensial dalam
persiapan. Peralatan untuk resusitasi, obat-obat emergensi juga harus
dipersiapkan. Karena permukaan tubuh anak lebih besar daripada
dewasa, yang cenderung untuk terjadinya hipotermi, suhu di ruangan
operasi tentu harus disesuaikan juga, dan alat pemanas dapat
disediakan untuk dapat menjaga suhu pasien.
3. Keberadaan Orang Tua Pasien
Salah satu tujuan dari anestesi pediatri adalah menyediakan tahap
pre-operatif sebaik dan semulus mungkin. Keberadaan orang tua di
sisi pasien, merupakan salah satu cara untuk menghilangkan
kecemasan pada pasien, selain dengan menggunakan obat-obatan.
Anak yang berusia lebih dari 4 tahun dengan orang tua yang
memiliki tingkat kecemasan lebih rendah mendapatkan keuntungan
untuk mengurangi kecemasan pada sang pasien sendiri. Namun jika
orang tua pasien memiliki kecemasan yang berlebih tentu hal ini tak
akan membantu, atau bahkan menjadi lebih sulit.
Jika pasien telah tersedatif, keberadaan orang tua tak lagi diperlukan,
dimana hal ini tidak akan berpengaruh terhadap kecemasan pasien.
Keberadaan orang tua saat induksi sangat tergantung dari tipe orang
tua tersebut, instruksi yang diberikan, pasien dan sang ahli anestesi
sendiri.

4. Penggunaan klinik dari agen-agen induksi


Induksi anestesia pada bayi dan anak sebaiknya ada yang
membantu. Induksi diusahakan agar berjalan mulus dengan trauma
yang sekecil mungkin. Induksi dapat dikerjakan secara inhalasi atau
secara intravena.
A. Induksi Inhalasi
Dikerjakan pada bayi dan anak yang sulit dicari venanya atau
pada yang takut disuntik. Diberikan halotan dengan oksigen atau
campuran N20 dalam oksigen 50%. Konsentrasi halotan mula-
mula rendah 1 vol % kemudian dinaikkan setiap beberapa kali
bernafas 0,5 vol % sampai tidur. Sungkup muka mula-mula
jaraknya beberapa sentimeter dari mulut dan hidung, kalau
sudah tidur baru dirapatkan ke muka penderita.
B. Induksi intravena.
Dikerjakan pada anak yang tidak takut pada suntikan atau pada
mereka yang sudah terpasang infus. Induksi intravena biasanya
dengan tiopenton (pentotal) 2~4 mg/kg pada neonatus dan 4-7
mg/kg pada anak. Induksi dapat juga dengan ketamin (ketalar) 1-
2mg/kg.LV. Kadang-kadang ketalar diberikan secara intra
muskular.17 Banyak ahli anestesi pediatri, yang terampil dalam
menangani vena yang kecil, lebih suka induksi intravena (tiopen-
ton 3-5 mg/kg). Yang lain lebih suka menggunakan induksi
inhalasi disertai dengan campuran kaya oksigen disertai atau tan-
pa nitrogen oksida. Entluran efektif tetapi kurang kuat dan harus
menggunakan kadar yang lebih tinggi. Siklopropan 50% dalam
oksigen masih sering dipakai dibeberapa tempat, tetapi dapat
menimbulkan ledakan, sehingga seringkali tidak disediakan.
Banyak ahli anestesi pediatri, yang terampil dalam menangani
vena yang kecil, lebih suka induksi intra vena (tiopenton 3-5
mg/kg). Yang lain lebih suka menggunakan induksi inhalasi
disertai dengan campuran kaya oksigen disertai atau tanpa
nitrogen oksida. Entluran efektif tetapi kurang kuat dan harus
menggunakan kadar yang lebih tinggi. Siklopropan 50% dalam
oksigen masih sering dipakai dibeberapa tempat, tetapi dapat
menimbulkan ledakan, sehingga seringkali tidak disediakan.17
5. Intubasi.
Anestesi sebelum intubasi tidak penting bagi anak-anak dengan
berat badan kurang dari 5 kg dan dapat berbahaya. Risiko stridor
meningkat karena pembengkakan mukosa pada saluran pernapasan
kecil akibat ititasi laring oleh pipa, peralatan atau uap. Pipa tak
bertutup yang cukup kecil untuk pengeluaran gas dapat dipakai.
Suatu bungkus tenggorokan akan menghentikan cairan melalui pipa
yang masuk ke paru-paru. Bayi kecil yang berat badannya kurang
dari 5 kg tidak dapat mempertahankan pemapasan spontan dengan
pipa trakea yang sempit, sehingga hams diberikan ventilasi.
Para ahli anestesi harus memutuskan antara penggunaan masker
anestesi dan intubasi. Penggunaan intubasi dapat dicapai dengan
atau tanpa bantuan relaksan otot. Pada anak yang kecil, atau jika
terdapat kelainan saluran pemapasan, paling aman untuk
memperdalam anestesi sampai pipa dapat disisipkan sementara
pernapasan spontan berlangsung. Jika terdapat keraguan tentang
kemampuan saluran pernapasan untuk dilalui pipa, seorang ahli
anestesi dapat memberikan ventilasi pada paru menggunakan
kantong, dan masker sebelum membuat penderita menjadi lumpuh
dengan relaksan otot.
Laringoskopi pada bayi dan anak tidak membutuhkan bantal
kepala. Kepala bayi terutama neonatus oksiputnya menonjol.
Dengan adanya perbedaan anatomis padajalan nafas bagian atas,
lebih mudah menggunakan laringoskop dengan bilah lurus pada
bayi.
Blade laringkoskop yang lebib kecil digunakan untuk anak,
jenisnya tergantung pada pilihan ahli anestesi dan adanya gangguan
saluran pernapasan. Pipa trakea dipilih berdasarkan prinsip bahwa
pipa yang dapat dibengkokkan tidak digunakan di bawah nomor 7,
dan dua nomor lebih rendah harus disiapkan bila diperlukan. Daerah
aliran udara paling sempit pada anak kecil adalah di bawah pita
suara. Intubasi dalam keadaan sadar dikerjakan pada keadaan gawat
atau diperkirakan akan menjumpai kesulitan. Hati-hati terhadap
hipertensi dan meningginya tekanan intrakranial yang mungkin
dapat menyebabkan perdarahan dalam otak akibat laringoskopi dan
intubasi. Lebih digemari intubasi sesudah tidur dengan atau tanpa
pelumpuh otot. Kalau tidak menggunakan pelumpuh otot, bayi atau
anak ditidurkan sampai dalam lalu diberikan analgesia topikal
kemudian intubasi dikerjakan. Dengan pelumpuh otot digunakan
suksinil-kolin dosis 2 mg/kgBB secara intravena setelah bayi/anak
tidur.
Pipa trakea pada bayi dan anak dipakai yang tembus pandang
tanpa cuff. Untuk usia diatas 5-6 tahun boleh dengan cuff pada
kasus-kasus laparotomi atau jika ditakutkan akan terjadi aspirasi.
Secara kasar ukuran besarnya pipa trakea .sama dengan besarnya
jari kelingking atau besarnya lubang hidung.
Bayi prematur menggunakan pipa bergaris tengah 2.0-3.0 mm,
bayi cukup bulan 2.5-3.0 mm. Sampai 6 bulan 4.0 mm dan sam
pail tahun 4.5 mm. Untuk usia diatas 1 tahun digunakan minus
sebagai berikut: Garis tengah bagian dalam pipa trakea ialah :
umur dalam tahun /4+ 4. 5 mm. Pilihlah pipa trakea yang paling
besar yang dapat masuk dengan sedikit longgar dan pada tekanan
inspirasi 20-25 em H20 terjadi sedikit kebocoran. Dianjurkan
menggunakan pipa mulut faring untuk fiksasi pipa trakea supaya
tidak terlipat. Intubasi hidung tidak dianjurkan, karena dapat
menyebabkan trauma, perdarahan adenoid dan infeksi.
Peralatan dengan ruang rugi minimal, dan resistensi rendah
seperti model T-Jackson Rees harus digunakan. Neonatus harus
dijaga agar tetap hangat, karena daerah permukaan kulit yang luas
dibandingkan massa tubuhnya, perkembangan system pengaturan
suhu yang belum berkembang dan lemaknya masih merupakan
penyekat tubuh yang buruk. Suhu ruang bedah sekurang-kurangnya
22°C (75°F), selimut, dan kasur hangat digunakan.
2.7.8 Tahap Intra Bedah
A. Pemeliharaan anestesia.
Anestesia neonatus sangat dianjurkan dengan intubasi dan nafas
kendali. Penggunaan sungkup muka dengan nafas spontan pacta
bayi hanya untuk tindakan ringan yang tidak lama.
Gas anestetika yang umum digunakan adalah N20 dic;ampur
dengan 02 perbandingan (0-65%) dan (35-100%). Walapun N20
mempunyai sifat analgesia kuat, tetapi sifat anestetikanya sangat
lemah. Karena itu sering dicampur dengan halotan, enfluran atau
isofluran. Narkotika hanya diberikan untuk usia diatas 1 tahun
atau pacta berat diatas 10 kg .Morfin dengan dosis 0,1 mg/kg
atau per dosis 1-2 mg/kg. Pelumpuh otot non depolarisasi sangat
sensitif, karena itu haus diencerkan dan diberikan secara sedikit
demi sedikit.
1. Infus
Banyaknya cairan yang harus diberikan per infus disesuaikan
dengan banyaknya cairan yang hilang. Untuk bedah kecil,
ringan sebentar dengan perdarahan yang sangat minimal tidak
diperlukan terapi cairan. Apalagi segera setelah pembedahan
diperbolehkan mmum. Walaupun demikian diperlukan jalur
vena terbuka untuk memasukkan obat-obatan pasca waktu
anestesia atau kalau diperlukan infus segera dapat diberikan.
Biasanya dipasang semprit berisi NaCI fisiologis dengan jarum
sayap. Terapi cairan dimaksudkan untuk mengganti cairan yang
hilang pada waktu puasa, pada waktu pembedahan (translokasi),
adanya perdarahan dan oleh sebab-sebab lain misalnya adanya
cairan lambung, cairan fistula dan lain-lainnya. Besamya cairan
yang hilang akibat trauma bedah/anestesia yang harus diganti
menurut Lockhart
Cairan yang seharusnya masuk, karena puasa harus diganti.
Misalnya puasa 6 jam harus diganti 25% dari kebutuhan
dasar 2-4 jam.
Cara menggantinya sebagai berikut:
 Pada jam I diberikan 50% nya
 Pada jam II diberikan 25% nya
 Pada jam III diberikan 25% nya
Cairan hilang akibat perdarahan yang kurang dari 10 % diganti
dengan cairan kristaloid dalam dekstrosa, misalnya cairan
dekstrosa 5% dalam Ringer-Laktat.
2. Banyaknya perdarahan dapat diperkirakan dengan:
 Mengukur darah dalam botol penyedot, menimbang kain
kasa sebelum dan sesudah kena darah dengan bantuan
kolorimeter. Jumlahkan keduanya kemudian tambahkan
25% untuk darah yang sulit dihitung misalnya yang
menempel di tangan pembedah, yang melengket di kain
penutup dan lain-lain.
 Mengukur hematokrit secara serial. Perdarahan melebihi
10% pada neonatus harus diganti dengan darah.

2.7.9 Tahap Pasca Bedah


A. Pengakhiran anestesia.
Setelah pembedahan selesai, obat anestetika dihentikan
pemberiannya. Berikan zat asam murni 5-15 menit. Bersihkan
rongga hidung dan mulut dari lendir kalau perlu. Kalau
menggunakan pelumpuh otot, netralkan dengan prostigmin (0,04
mg/kg) dan atropin (0,02 mg/kg). Depresi nafas oleh narkotika-
analgetika netralkan dengan naloksin 0,2-0,4mg secara titrasi.
Ekstubasi pada bayi dikerjakan kalau bayi sudah sadar benar,
anggota badan. bergerak-gerak, mata terbuka, nafas spontan
adekuat. Ekstubasi dalam keadaan anestesia ringan, akan
menyebab kan batuk-batuk, spasme laring atau bronkus. Ekstubasi
dalam keadaan anestesia dalam digemari karena kurang traumatis.
Dikerjakan kalau nafas spontannya adekuat, keadaan umumnya
baik dan diperkirakan tidak akan menimbulkan kesulitan pasca
intubasi
B. Perawatan di Ruang Pulih.
Setelah operasi selesai pasien dibawa ke ruang pemulihan (recovery
room) atau ke ruang perawatan intensif (bila ada indikasi). Secara
umum, ekstubasi terbaik dilakukan pada saat pasien dalam anestesi
ringan atau sadar. Di ruang pemulihan dilakukan pemantauan
keadaan umum, kesadaran, tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu,
sensibilitas nyeri, pendarahan dari drain, dan lain-lain.
Pemeriksaan tekanan darah, frekuensi nadi, dan frekuensi
pernapasan dilakukan paling tidak setiap 5 menit dalam 15 menit
pertama atau hingga stabil, setelah itu dilakukan setiap 15 menit.
Pulse oximetry dimonitor hingga pasien sadar kembali.
Pemeriksaan suhu juga dilakukan.
Seluruh pasien yang sedang dalam pemulihan dari anestesi umum
harus mendapat oksigen 30-40% selama pemulihan karena dapat
terjadi hipoksemia sementara. Pasien yang memiliki risiko tinggi
hipoksia adalah pasien yang mempunyai kelainan paru sebelumnya
atau yang dilakukan tindakan operasi di daerah abdomen atas atau
daerah dada. Pemeriksaan analisis gas darah dapat dilakukan untuk
mengkonfirmasi penilaian oksimetri yang abnormal. Terapi oksigen
benar-benar diperhatikan pada pasien dengan riwayat penyakit paru
obstruksi kronis atau dengan riwayat retensi CO2 sebelumnya. Bila
keadaan umum dan tanda vital pasien normal dan stabil, maka
pasien dapat dipindahkan ke ruangan dengan pemberian intruksi
pascaoperasi.
Seluruh tindakan anestesi dicatat dalam lembaran khusus berisi
tindakan yang dilakukan, obat yang diberikan, status fisis pasien
sebelum, selama, dan setelah anestesi dilakukan sesuai urutan
waktu.
C. Komplikasi
Semua pasien, terutama yang di intubasi, lebih memiliki resiko
untuk mengalami komplikasi pada anestesi pediatri. Mual dan
munatah adalah hal yang paling sering terjadi, terutama pada pasien
berumur 2 tahun ke atas. Terjadi karena pipa ETT dipasang terlalu
erat, sehingga mukosa trachea menjadi bengkak. Laringospasme
adalah salah satu komplikasi yang mungkin terjadi. Biasanya
terjadi pada anestesi stadium II. Jika terjadi, suksinilkolin dapat
digunakan, bersama dengan atropine untuk mencegah brakikardi.
2.2 Ranula4
A. Definisi
Ranula adalah bentuk kista akibat obstruksi glandula saliva mayor
yang terdapat pada dasar mulut. Dan akan berakibat pembengkakan di bawah
lidah yang berwarna kebiru-biruan (drg. Sugito, MH).

Ranula merupakan fenomena retensi duktus pada glandula


sublingualis (yang kadang-kadang menunjukkan adanya lapisan epitel),
dengan gambaran khas pada dasar mulut. Mukosa di atasnya terlihat tipis,
meregang dan hampir transparan. Pembesaran yang disebabkan oleh cairan ini
kadang menyebabkan terangkatnya lidah khususnya pada anak-anak (Gordon
W. Pedersen).

Ranula berasal dari kata latin : Rana, yang berarti katak. Dinamakan
ranula, karena ranula tersebut menonjol mirip perut katak. Bila kista tersebut
menjadi sangat besar pada dasar mulut, suara penderita dapat menjadi
“croacking” seperti suara katak (Aswin Rahardja).

Istilah ranula digunakan untuk menggambarkan mucocele yang timbul


pada dasar mulut. Biasanya unilateral dan menyebabkan pembengkakan biru
translusens yang mirip dengan perut katak (Mervyn Shear).

B. Klasifikasi Ranula
Ranula diklasifikasikan menjadi 2 tipe, yaitu :

1. Ranula superficial atau simple ranula


Merupakan kista retensi yang sesungguhnya. Besarnya terbatas pada dataran oral
musculus mylohyoideus (Aswin Rahardja).

Tampak sebagai suatu pembengkakan lunak, dapat ditekan, timbul dari dasar
mulut. Kista ini dindingnya dilapisi epitel dan terjadi karena obstruksi ductus
glandula saliva (Robert P. Langlais & Craig S. Miller).
Gambar Simple Ranula

2. Ranula dissecting atau plunging ranula atau ranula profunda

Merupakan pseudokista, terjadinya karena ekstravasasi (kebocoran) saliva pada


jaringan, pada sepanjang otot dan lapisan fasia dasar mulut dan leher.
Ekstravasasi (kebocoran) tersebut disebabkan karena trauma yang kecil, dimana
tidak pernah diingat oleh penderita (Aswin Rahardja).

Kista ini menerobos di bawah musculus mylohyoideus dan menimbulkan


pembengkakan submental. Kista jenis ini dindingnya tidak dilapisi epitel (Robert
P. Langlais & Craig S. Miller).

Gambar Plunging ranula

C. Etiologi dan Patofisiologi Ranula

Ranula telah dikenal sejak berabad-abad yang lalu. Banyak teori yang
diajukan untuk mengetahui asalnya. Hippocrates dan Celcius mengatakan
bahwa kista berasal dari proses inflamasi yang sederhana. Pare mensugestikan
berasal dari glandula pituitary yang menurun dari otak ke lidah. Ada juga
yang mensugestikan bahwa kista tersebut berasal dari degenerasi myxomatous
glandula saliva. Teori yang terakhir mengatakan bahwa kista terjadi karena
Obstruksi ductus saliva dengan pembentukan kista atau ekstravasasi
(kebocoran) saliva pada jaringan yang disebabkan karena trauma. Obstruksi
ductus tersebut dapat disebabkan karena calculus atau infeksi (Aswin
Rahardja).

Pada tahun 1973 Roediger dan rekannya dapat membuktikan bahwa


terjadinya ranula oleh adanya penyumbatan ductus glandula saliva sehingga
terjadi penekanan sepanjang dinding saluran. Bila ada daerah yang lemah akan
pecah dan terjadi lagunar (bulatan-bulatan kecil), yang merupakan retensi
saliva yang lambat laun menjadi kista ekstravasasi (kebocoran) pada ductus
glandula sublingualis atau submandibularis, yang kadang-kadang dapat
ramifikasi (percabangan) secara difus ke leher (Mervyn shear).

Menurut Robert P. Langlais & Craig S. Miller, Ranula terbentuk


sebagai akibat terhalangnya ductus saliva yang normal melalui ductus
ekskretorius mayor yang membesar atau terputus dari glandula sublingualis
(ductus Bartholin) atau glandula submandibularis (ductus Wharton), sehingga
melalui rupture ini saliva keluar menempati jarigan disekitar ductus tersebut.

Walau terjadinya ranula yang ditulis dalam literature hingga saat ini
masih simpang siur, namun diperkirakan karena :

1. Adanya penyumbatan sebagian atau total sehingga terjadi retensi saliva


sublingualis atau submandibularis
2. Karena suatu trauma
3. Adanya peradangan atau myxomatous degenerasi ductus glandula
sublingualis
(drg. Iskandar Atmadja).
D. Gambaran Klinis Ranula
Tanda dan Gambaran Klinis ranula adalah sebagai berikut :

 Adanya benjolan simple pada dasar mulut, mendorong lidah ke atas.

Gambar Ranula besar yang mengangkat lidah

 Umumnya unilateral, jarang bilateral.


 Benjolan berdinding tipis transparan, berwarna biru kemerah-merahan.
 Benjolan tumbuh lambat, gambaran seperti perut katak.

Gambar Ranula seperti mata katak

 Pembengkakan selain intra oral dapat juga extra oral.


 Tidak ada rasa sakit kecuali meradang atau infeksi.
 Bila benjolan membesar dapat mengganggu bicara, makan maupun
menelan.
 Benjolan oleh karena suatu sebab dapat pecah sendiri, cairan keluar,
mengempes kemudian timbul atau kambuh kembali.
 Pada simple ranula benjolan terletak superficial sedangkan plunging
ranula benjolan terletak lebih dalam, bisa menyebar ke dasar otot
mylohyoid, daerah submandibular, ke leher bahkan ke mediastinum
(drg. Iskandar Atmadja).

E. Diagnosis Ranula
Langkah-langkah yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis ranula:

1. Melakukan anamnesa lengkap dan cermat


 Secara visual
 Bimanual palpasi intra dan extra oral
 Punksi dan aspirasi
2. Melakukan pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan radiologis dengan kontras media, tanpa kontras media
tidak berguna
 Pemeriksaan mikroskopis, pemeriksaan biopsi
(drg. Iskandar Atmadja)

Simple Ranula gambaran kliniknya relatif lebih khas sehingga


diagnosa mudah ditegakkan. Tampak sebagai suatu tonjolan berdinding tipis,
licin, kebiruan dan transparan. Pada palpasi terasa lunak dan fluktuasi. Kista
ini terletak dibawah lidah, pada bagian depan mulut (Aswin Rahardja).

Plunging ranula lebih sulit menegakkan diagnosanya, karena


gambarannya mirip dengan banyak struktur kistik atau pembengkakan
glandula yang lain pada leher. Tidak ada tes diagnostik khusus untuk
membedakan lesi-lesi tersebut. Maka diagnosa plunging ranula hanya
tergantung pada adanya hubungan anatomi kista dengan glandula saliva dan
gambaran histopatologis dinding kista sesudah eksisi (Quick & Lowell, 1977).

Gambaran histopatologis simple ranula yaitu dinding kista dilapisi


epitel, sedangkan plunging ranula dinding kista tanpa dilapisi epitel (Aswin
Rahardja).

F. Differential Diagnosis Ranula


1. Differential Diagnosis Ranula superficial atau simple ranula

a. Batu kelenjar liur (Sialolith)


Pembentukan batu terjadi karena pengerasan kompleks kalsium
di dalam glandula saliva yang dapat menyumbat ductus saliva
sehingga menyebabkan pembengkakan di dasar mulut. Penyumbatan
aliran saliva oleh batu akan mengakibatkan pembengkakan dasar
mulut yang keras, nyeri dan sakit (Robert P. Langlais & Craig S.
Miller).

Gejala klinis yang khas adalah rasa sakit yang hebat pada saat
makan, menelan dan disertai adanya pembengkakan glandula saliva
dan sangat peka jika di palpasi. (Dona Sari Nasution).
Gambar Sialolith

b. Kista Dermoid
Terjadi akibat pembengkakan jaringan lunak yang berasal dari
degenerasi kistik dari epitel yang terjebak selama perkembangan
embrionik. Kista dermoid dapat dijumpai di mana saja di kulit, tetapi
mempuyai kecenderungan timbul di dasar mulut. Secara klasik tampak
seperti kubah, tidak sakit, muncul di dasar mulut. Mukosa di atasnya
merah muda, lidah sedikit terangkat dan palpasi memberi konsistensi
seperti adonan. Pasien mengeluh sukar makan dan bicara (Robert P.
Langlais & Craig S. Miller).

Gambar Kista dermoid

c. Hemangioma
Hemangioma adalah tumor jinak vaskuler yang sering terjadi
pada rongga mulut. Etiologinya diduga berhubungan dengan
abnormalitas proliferasi dari sel-sel endotelium (Steven Brett Sloan).

Gambaran Hemangioma menyerupai kista ranula yang


menunjukkan adanya pembuluh darah (Gordon W. Pedersen).
Gambar Hemangioma

2. Differential Diagnosis Ranula dissecting atau plunging ranula atau ranula


profunda

a. Laryngocele
Laryngocele adalah penonjolan selaput lendir laring (kotak
suara). Terjadi karena tekanan intralaringeal meningkat. Laryngocele
yang menonjol ke arah luar (Laryngocele eksterna) menyebabkan
benjolan di leher. Penderita juga bisa mengalami disfagia (gangguan
menelan), batuk atau merasakan adanya sesuatu di tenggorokannya.
Pada CT scan, Laryngocele tampak licin dan berbentuk seperti telur.
(Raden Fahmi).

Gambar Laryngocele
b. Sialadenitis
Terjadi karena peradangan dari glandula saliva dengan
gambaran klinis :

 Malnutrition
 Mulut terasa kering
 Rasa sakit pada mulut atau wajah, terutama ketika makan
 Kulit kemerahan di samping wajah atau leher
 Pembengkakan pada wajah terutama di depan telinga, di bawah
rahang, atau di bawah lidah.

(damayanti,dkk)

Gambar Sialadenitis

c. Abses leher
Abses leher merupakan kumpulan nanah dari infeksi di ruang
antara struktur leher. Terjadi karena infeksi bakteri atau virus dikepala
atau leher.

Gejala yang ditimbulkan yaitu :

a. Demam
b. Merah, bengkak tenggorokan, sakit, kadang-kadang hanya satu
sisi.

c. Tonjolan di bagian belakang tenggorokan


d. Nyeri leher
e. Sakit telinga
f. Tubuh sakit
g. Panas dingin
h. Kesulitan menelan, berbicara atau bernapas
(Anonim, http://www.chp.edu)

Gambar Abses leher

d. Kista Kelenjar Paratiroid atau Tiroid


Kista ini berisi cairan bening atau darah dan biasanya
bermanifestasi sebagai massa leher tanpa gejala. Epitel kista ini
berbentuk kubus atau kolumnar (Sachin Wani & Ziyun Hao).

Gambar Kista Tiroid

H. Penatalaksanaan Ranula
Dalam kasus ranula, ahli bedah mulut dapat merekomendasikan
marsupialisasi atau eksisi, dimana ranula diincisi untuk membuat outlet pada
kista retensi kelenjar liur sehingga cairan dapat dikeluarkan (S. E. Smith).

Berikut ini penjelasan tentang prosedur marsupialisasi serta


komplikasi yang ditimbulkan.

1. Tehnik Operasi :
a. Menjelang operasi
 Penjelasan kepada penderita dan keluarganya mengenai tindakan
operasi yang akan dijalani serta resiko komplikasi disertai dengan
tandatangan persetujuan dan permohonan dari penderita untuk
dilakukan operasi. (Informed consent).
 Memeriksa dan melengkapi persiapan alat dan kelengkapan operasi.
 Penderita puasa minimal 6 jam sebelum operasi.
 Antibiotika profilaksis, Cefazolin atau Clindamycin kombinasi
dengan Garamycin, dosis menyesuaikan untuk profilaksis.

b. Tahapan operasi
 Dilakukan dalam kamar operasi, penderita dalam narkose umum
dengan intubasi nasotrakheal kontralateral dari lesi, atau kalau
kesulitan bisa orotrakeal yang diletakkan pada sudut mulut
serta fiksasi-nya kesisi kontralateral, sehingga lapangan operasi bisa
bebas.
 Posisi penderita telentang sedikit “head-up” (20-25 0 ) dan kepala
menoleh kearah kontralateral, ekstensi (perubahan posisi kepala
setelah didesinfeksi).
 Desinfeksi intraoral dengan Hibicet setelah dipasang tampon steril di
orofaring.
 Desinfeksi lapangan operasi luar dengan Hibitane-alkohol
70% 1:1000
 Mulut dibuka dengan menggunakan spreader (alat pembuka) mulut,
untuk memudahkan mengeluarkan lidah maka bisa dipasang teugel
(alat penyangga) untuk pada lidah dengan benang sutera 0/1.
 Lakukan eksisi bentuk elips pada mukosa dasar mulut dan pilih
yang paling sedikit vaskularisasi-nya, kemudian rawat perdarahan
yang terjadi, lakukan sondase atau palpasi, sebab kadang ada
sialolithiasis, atau sebab lain sehingga menimbulkan sumbatan
pada saluran kelenjar liur sublingual. Tepi eksisi dijahit dengan
Dexon 0/3 agar tidak menutup lagi.
 Apabila masih teraba kista maka bisa dilakukan memecahkan septa
yang ada sehingga isinya bisa ter-drainase. Pada kista yang cukup
besar setelah dievaluasi tidak ada kista lagi maka bisa dipasang
tampon pita sampai keujungnya dipertahankan sampai 5 hari sebagai
tuntunan epitelialisasi pada permukaan kista tadi dan tidak obliterasi
lagi.
 Apabila didapat sebagian ranula dibawah musculus mylohyoid, maka
memerlukan pendekatan yang lebih bagus dari ekstra oral. Dan yang
perlu diperhatikan adalah nervus hipoglossus, nervus lingualis.
Evaluasi ulang untuk perdarahan yang terjadi.
 Lapangan operasi dicuci dengan kasa-PZ steril, luka operasi yang
diluar ditutup dengan kasa steril dan di hipafiks (perekat).
 Tampon orofaring diambil, sebelum ekstubasi.
(Anonim, http://bedahunmuh.wordpress.com)

2. Komplikasi operasi yang dapat terjadi, yaitu :


a. Perdarahan
b. Kerusakan nervus hipoglosus atau nervus lingualis
c. Infeksi
d. Fistel orokutan pada operasi yang pendekatannya intra dan extra oral
e. Residif
Residif ketika kelenjar saliva yang terlibat tidak terpotong mecapai
50%. Angka ini menurun jika kelenjar saliva tersebut dipotong.

(Ryan L Van De Graaff; Anonim, http://bedahunmuh.wordpress.com)

Pada pasien langka yang tidak dapat mentoleransi pembedahan, terapi


radiasi adalah terapi alternatif. (Ryan L Van De Graaff).

2.2 Co. Morbid 9


Co. morbid pada kasus ini adalah pada pemeriksaan penunjang didapatkan
kadar hemoglobin adalah 11,2 g/dL. Dari hasil pemeriksaan darah tersebut
menunjukkan bahwa pasien mengalami anemia ringan.
Anemia adalah istilah yang menunjukkan rendahnya hitung sel darah
merah dan kadar hemoglobin dan hematokrit di bawah normal. Anemia
bukan merupakan penyakit, melainkan merupakan pencerminan keadaan
suatu penyakit atau gangguan fungsi tubuh. Secara fisiologis, anemia terjadi
apabila terdapat kekurangan jumlah hemoglobin untuk mengangkut okesigen
ke jaringan.
Penyebab anemia pada dewasa terbagi menjadi dua, yakni :
1. Kehilangan sel darah merah
a. Perdarahan
Perdarahan dapat diakibatkan berbagai penyebab diantaranya
adalah trauma, ulkus, keganasan, hemoroid, perdarahan pervaginam,
dan lain-lain.
b. Hemolisis yang berlebihan
Penghancuran sel darah merah dalam sirkulasi dikenal sebagai
hemolisis, terjadi jika gangguan pada sel darah merah itu sendiri
memperpendek siklus hidupnya (kelainan intrinsik) atau perubahan
lingkungan yang menyebabkan penghancuran sel darah merah (kelainan
ekstrinsik). Sel darah merah mengalami kelainan pada keadaan :
- Hemoglobinopati atau hemoglobin abnormal yang diwariskan,
contohnya adalah pada penderita penyakit sel sabit (sickle cell anemia)
- Gangguan sintesis globin, contohnya pada penderita thalasemia
- Kelainan membrane sel darah merah, contohnya pada sferositosis
herediter dan eliptositosis
- Difisiensi enzim, seperti defisiensi glukosa 6-fosfat dehidrogenase
(G6PD) dan defisiensi piruvat kinase
2. Kekurangan zat gizi seperti Fe, asam folat, dan vitamin B12
Kriteria anemia menurut WHO adalah :
1. Laki-laki dewasa : Hb < 13 g/dl
2. Wanita dewasa tidak hamil : Hb < 12 g/dl
3. Wanita hamil : Hb < 11 g/dl
4. Anak umur 6-14 tahun : Hb < 12 g/dl
5. Anak umur 6 bulan – 6 tahun : Hb < 11 g/dl

Derajat anemia berdasarkan kadar hemoglobin menurut WHO adalah :


1. Ringan sekali : Hb 10 g/dl-batas normal
2. Ringan : Hb 8 g/dl-9,9 g/dl
3. Sedang : Hb 6 g/dl-7,9 g/dl
4. Berat : Hb < 6 g/dl

Anemia dapat mengakibatkan transport oksigen oleh haemoglobin akan


berkurang. Hal ini berarti untuk mencukupi kebutuhan oksigen jaringan,
jantung harus memompa darah lebih banyak sehingga timbul takikardi,
murmur, dan kadang timbul gagal jantung pada pasien dengan anemia.Peran
anestesi adalah memastikan bahwa organ vital menerima oksigen yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme, selama prosedur bedah
berlangsung.
Oksigenasi jaringan yang adekuat tidak tergantung pada kadar
haemoglobin normal saja. Perdarahan intraoperative utamanya digantikan
dengan cairan bebas eritrosit seperti cairan kristaloid atau koloid (Ringer
Laktat, Dextran, Hydroxyethyl Starch, gelatine). Selama keadaan
normovolemia tercapai, keadaan anemia dilusi dan penurunan kadar oksigen
arterial (CaO2) akan terkompensasi tanpa timbulnya risiko hipoksia jaringan,
melalui peningkatan cardiac output.
Pada keadaan hemodilusi yang ekstrim (ketika sudah melewati DO2 crit),
jumlah oksigen yang sudah dihantarkan ke jaringan menjadi tidak sesuai
dengan permintaan oksigen dari jaringan, sebagai konsekuensinya, VO2
mulai turun. Penurunan VO2 harus diinterpretasikan sebagai tanda indirek
dari manifestasi hipoksia jaringan. Tanpa penanganan, keadaan DO2 crit akan
menyebabkan kematian dalam waktu kurang dari 3 jam.
Apabila didapatkan perdarahan masif, dapat dilakukan transfusi
perioperatif. Transfusi sel darah merah perioperatif jarang diindikasikan pada
pasien dengan Hb > 10 g/dl, namun hampir selalu diindikasikan pada pasien
dengan Hb < 6 g/dl.Pada pasien dengan risiko kardiovaskular, konsentrasi Hb
perioperatif harus dijaga antara 8 – 10 g/dl.
Setiap keputusan transfusi harus berdasarkan:

1. Konsentrasi Hb aktual
2. Adanya komorbiditas penyakit kardiopulmonar
3. Penampakan keadaan anemia secara fisik
4. Dinamika perdarahan

Penanganan preoperatif yang perlu diperhatikan pada pasien dengan


anemia adalah :
1. Dari anamnesis perlu digali adanya riwayat perdarahan atau penyakit
yang menyebabkan anemia atau yang dapat memperburuk keadaan
saat operasi.
2. Penyakit yang akan di operasi apakah berkaitan dengan anemia atau
dapat memperburuk anemia sehingga perlu dipersiapkan transfusi
darah pre atau post operasi.
3. Keadaan klinis pasien.
4. Kadar Hb pasien.
5. Adanya perdarahan
Monitoring perioperatif yang perlu diperhatikan pada pasien anemia:
1. Monitoring kardiovaskular
2. Monitoring respirasi
3. Monitoring blokade neuromuskuler dan sistem saraf
Stimulasi saraf dapat dilakukan untuk mengetahui apakah relaksasi
otot sudah cukup baik saat operasi, dan apakah tonus otot kembali
normal setelah selesai anestesia.
4. Monitoring suhu
Monitoring suhu penting dilakukan untuk operasi lama atau pada
bayi dan anak kecil.
5. Monitoring ginjal
Produksi urine normal minimal 0,5 – 1,0 ml/kgBB/jam dimonitor
pada bedah lama dan sangat bermanfaat untuk menghindari retensi
urin atau distensi vesica urinaria.
BAB III

LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien


Nama : An. Enggeneta Danyau
Umur : 3 Tahun
Alamat : sarmi/Kotaraja dalam
BB : 10 Kg
TB : 85 cm
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : -
Suku Bangsa : Sarmi
Ruangan : UGD Transit
Tanggal masuk rumah Sakit : 07 November 2017
Tanggal operasi : 09 November 2017
Nomor Rekam Medik : 43 33 81
3.2 Anamnesa
Keluhan Utama :
Benjolan didasar mulut
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien diantar oleh kedua orang tuanya ke Poli Gigi & Mulut di RSUD Dok
2 dengan keluhan terdapat benjolan didasar mulut kanan dan kiri sejak 3
bulan yang lalu. Benjolan tampak mendorong lidah pasien keatas, tidak
mudah berdarah dan nyeri termasuk saat pasien makan dan minum. Demam
(-), bengkak pada leher (-). Awalnya muncul berupa benjolan kecil didasar
mulut sebelah kanan, benjolan nampak bening dan berisi air, yang lama
kelamaan semakin membesar hingga memenuhi dasar mulut kanan dan kiri,
disertai leher yang bengkak. Bengkak pada leher sejak 1 hari sejak
dilakukan penedotan cairan pada benjolan dibulan oktober. Keluar cairan
berwarna kuning tua, kental dan lengket. Saat ini tampak lehr pasien sudah
tidak bengkak namun benjolan didasar mulut masih ada.
1. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat hipertensi : Disangkal
- Riwayat diabetes melitus : Disangkal
- Riwayat Penyakit kardiovaskular : Disangkal
- Riwayat Penyakit Pernapasan : Disangkal
(Asma, TBC)
- Riwayat operasi sebelumnya : Disangkal
- Riwayat Anestesi : Disangkal
2. Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat diabetes mellitus : Disangkal
- Riwayat asma : Disangkal
- Riwayat jantung : Disangkal
- Riwyata hipertensi : Disangkal
3. Riwayat Alergi
- Riwayat alergi makanan : Disangkal
- Riwayat alergi minuman : Disangkal
- Riwayat alergi obat : Disangkal

3.3 Pemeriksaan Fisik


Tanda Vital :

Keadaan Umum : Tampak Sakit Ringan


Kesadaran : Compos Mentis
Tanda-tanda vital
 Nadi : 86 x/m
 Respirasi : 24 x/m
 Suhu badan : 37,0 0C
Status Generalis

a. Kepala
- Mata : Conjungtiva Anemis (-/-) ; Sklera Ikterik (-/-)
Sekret (-/-), pupil isokor 3 mm dextra = sinistra
- Mulut : Oral Candidiasis (-) ; Malampati kelas I
b. Leher : Pembesaran KGB (-/-), peningkatan vena
jugularis (-)

c. Toraks
- Paru
Inspeksi : Datar, simetris, ikut gerak napas,

Retraksi interkostalis (-)

Palpasi : Vocal fremitus (Dextra = Sinistra) ;

Perkusi : Sonor di kedua lapang paru

Auskultasi : Suara napas Vesikuler (+/+) Rhonki (-/-) ;


Wheezing (-/-)

- Jantung
Inspeksi : Iktus Cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus Cordis tidak teraba
Perkusi : Pekak
Batas jantung kanan di SIC 4 linea
parasternalis dextra
Batas jantung kiri di SIC 5 linea midclavicula
sinistra
Pinggang jantung di SIC 2 linea parasternalis
sinistra
Auskultasi : BJ I=II reguler, murmur (-), S3 gallop (-)

- Abdomen
Inspeksi : Datar, Jejas (-)
Palpasi : Supel, Nyeri tekan regio abdomen (-)
Hepar/Lien : (tidak teraba membesar)
Perkusi : Tympani
Auskultasi : Bising usus (+)
- Ekstremitas : Akral hangat, capillary refill time <3 detik

Edema : (-)

Status Lokalis :

Ekstra Oral : Bibir kering (-), leher bengkak (-)

Intra Oral : tampak massa ukuran diameter 3 cm, didasar mulut kanan dan
kiri, warna kebiruan, permukaan licin,
konsistensi lunak, nyeri (-), tampak massa
mendorong lidah keatas.

1) Status Anestesi Pre Operasi


B1 Airway : bebas, leher bergerak bebas, malampati score: I
Breathing: thorax simetris, ikut gerak napas, RR:24 x/m, palpasi: Vocal
Fremitus D=S, perkusi: sonor, suara napas vesikuler +/+, ronkhi-/-, wheezing -
/-,
B2 Perfusi: hangat, kering, merah. Capilary Refill Time < 3 detik, BJ: I-II murni
regular, murmur (-) gallop (-) Nadi : 86 x/m
B3 Kesadaran Compos Mentis, GCS: (E4V5M6), riwayat kejang (-), riwayat pingsan
(-), Pupil bulat isokor, refleks cahaya +/+
B4 Tidak terpasang, produksi urin (+)warna kuning jernih.
Ureum: - , Kreatinin: -
Status Lokalis :

B5 Simetris, Supel, Cembung, Bu (+); Hepar/Lien/Renal: Tidak Teraba Besar;


Nyeri Ketok (-), Nyeri Tekan (-); ALT: - ; AST: - ; BAB : (+) lancar,
konsistensi padat
GDS : -
B6 Akral hangat (+), edema (-), fraktur (-), deformitas (-)

Diagnosa Kerja
Plungging Ranula
Planning
Cek Lab (Hb, Leukosit, Trombosit, apTT-PTT, Ur-Cre, SGOT-SGPT, GDS,
HbsAg)
Rontgen Thorax PA
CT-Scan mandibula
Konsul bagian Anak dan Anestesi
PRO Eksisi dengan GA
3.4 Pemeriksaan Penunjang
Hasil laboratorium tanggal 17 Oktober 2017

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


L : 12,3 – 16,6 g/dl
Hb 9,9 g/d
P : 11,0 – 14,7g/dl
RBC 6
5,18x10 /uL 3,69 – 5,46 x 106/uL
HCT 31,9 % 35,0 – 50,0%
MCV 61,6 fl 80,0 – 97,0 fl
MCH 19,1 pg 26,5 – 33,5 pg
MCHC 31,0 g/dL 31,5 – 35,0g/dL

WBC 14,63x103/uL 3,5 – 10,0X103/uL

PLT 355x103/uL 150 – 500x103/uL


PTT 10,9” 11,8”
aPTT 30,6” 27,6”
Golongan darah O
Prognosis
a. Quo ad Vitam : Bonam
b. Quo ad Fungtionam : Bonam
c. Quo ad Sanationam : Bonam

Konsultasi Terkait

Jawaban Konsul dr. Diah Widyanti, Sp.An.KIC (01 November 2017)

Infomed consent
Puasa mulai dari jam 24.00 WIT

Jam 06.00 :

 Pasang infus D5 ½ NS 13 tpm makro


 Pemberian antibiotik ceftriaxone 100mg (iv)
3.6 PENENTUAN PS ASA
Phisican Status American Society of Anesthesiology 2 yaitu seorang pasien
dengan penyakit ringan sampai sedang atau dalam kondisi spesial pada
pediatri.
DAFTAR MASALAH
Problem
Actual Potensial Planning
List
B1 Airway: Bebas  Hipoksia Penggunaan
 Spasme laring tampon, ETT,
Breathing: napas dikontrol, O2 nasal atau
thoraks simetris, perkusi: masker sesuai
sonor, suara napas vesikuler saturasi O2, chin
+/+, rhonki -/-, wheezing -/- lift, suction bila
perlu.
B2 Perfusi hangat, kering, merah, Hipovolemik, Overload, Resusitasi tepat,
Capilary Refill Time < 2 detik, Bradikardia, hipotensi, Monitoring vital
BJ I-II murni, regular, perdarahan sign,
konjungtiva anemis (-/-). SA dan efedrin
kalau perlu,
penggunaan
pehacain (efek
vasokonstriksi
epinefrin)
B3 Pasien tidak sadar dibawah  Hipoksia  Pemberian O2
pengaruh obat anestesi  Hiperkarbia nasal atau
masker sesuai
saturasi O2
 Ventilasi
B4 Produksi urine dipantau Oliguria Rehidrasi,
melalui kateter atau pampers observasi
produksi urin
B5 Abdomen datar, supel, Risiko refluks Pemberian
peristaltik usus (+), hepar/lien gastroesofageal Ranitidin dan
tidak teraba, BAB (+), mual (- Ondansentron
), muntah (-).
B6 Edema (-) Posisikan pasien
dengan tepat
3.5 Durante Operasi
A. Status Anestesi
 Informed consent, surat ijin operasi
 puasa 9 jam pre operasi
 pasang infus D5 ½ NS 13 tpm makro
 pemberian Antibiotik ceftriaxone 100 mg (iv)
PS ASA : II
Hari/Tanggal : Kamis,09-November-2017
Ahli Anestesiologi : dr. DW, Sp. An,KIC
Ahli Bedah : drg. MP, Sp.BM
Diagnosa Pra Bedah : Submandibular Plunging Ranula
Diagnosa Pasca Bedah : Submandibular Plunging Ranula

Keadaan Pra Bedah


Keadaaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Makan Terakhir : 9 jam yang lalu
BB : 10 kg
TTV : N: 127 x/m; T : 36,7 0C

B1 : airway bebas, malampati score : I, retraksi (-),


gerak dada simetris, suara nafas vesikuler +/+,
rhonki -/-, wheezing -/-, RR : 22 x/m
B2 : Perfusi : hangat, kering, merah. Capillary
Refill Time < 3 detik, BJ : I-II regular,
konjungtiva anemis -/-, nadi :127 x/m.
B3 : Kesadaran composmentis, GCS E4V5M6 ,
refleks cahaya +/+, refleks kornea +/+
B4 : Terpasang DC (-), produksi (+) kuning jernih
B5 : Perut datar, mual (-), muntah (-), bising usus
(+), nyeri tekan (-)
B6 : Akral hangat (+), edema (-), fraktur (-)
Medikasi pra bedah :-
Jenis Pembedahan : Eksisi
Lama Operasi : 10.04 – 12.54 WIT
Jenis Anestesi : General Anestesi
Anestesi dengan : sevofluran + O2 + Recofol
Teknik Anestesi : pasien tidur terlentang, induksi i.v, ekstensi
kepala, intubasi apnoe degan ett 4,5,
mengembangkan cuff, fiksasi, anesthesia (+)
Pernafasan : dengan Ventilator
Posisi : terlentang
Infus : Tangan kiri, IV line abocath 24 G,
Cairan D5 ½ NS
Penyulit Pembedahan :-
TTV Pada Akhir : N:125x/m; RR : 20x/m
Pembedahan
Premedikasi : - Sedakum : 25 mg
- Ventanil : 25 mg
- Recofol : 30 mg

Medikasi :

- Paracetamol 100 mg - Recofol 30 mg

- dexametason 5 mg - Recofol 20 mg

- Fentanil 25 mg - Ondancentron 2 mg

- Recofol 40 mg - Ranitidin 25 mg

- Recofol 30 mg - Antrain 250 mg

- Recofol 30 mg

Nama Pasien : An. E.D

Umur : 10 tahun
Nomor DM : 43 33 81

Nama Ahli Bedah : drg. MP,Sp.BM

Nama Asisten : Zr. Bata

Nama Ahli Anastesi : dr. D. S, Sp.An KIC

Nama Perawat Anastesi : zr. Asti


Jenis Anastesi : General Anestesi

Diagnosis Pre Operatif : S. Plunging Ranula

Diagnosis Post Operatif : Sesuai

Jaringan yang di Eksisi/Insisi : Eksisi Plunging Ranula


Tanggal Operasi / Jam mulai : Kamis, 09 November 2017/2 jam 50 menit
(10.04 – 12.54)

Laporan Operasi:
1. SIO diisi
2. Skin test ceftriaxone (+)
3. Profilaksis antiobiotik dengan Ceftriaxone 200 mg (iv)
4. Antiseptik daerah intraoral, fasial, colli dengan betadin
5. Pasanng duk steril
6. Gambar desain insisi submandibula 0,5 cm dari margin submandibula dengan
metylen blue
7. Insisi kulit dengan pisau, luka dibuka lapis demi lapis sampai mencapai lesi
didataran muskulus myoloid
8. Membebaskan massa kistik dari jaringan sekitar, pada setengah ukuran lesi, lesi
pecah keluar cairan musin jernih kekuningan, kental dan lengket.
9. Kapsul lesi dikeluarkan
10. Perdarahan 20 cc, perservasi duktus submandibula dan arteri vena lingualis
11. Luka dicuci, jahit lapis demi lapis dengan benang vycril 4,0, kulit dengan Nylon 5,0
12. Dressing dengan tulle, luka ditutup dengan verban
13. Operasi selesai

B. Diagram Observasi
Nadi
140
120
100
80
60 Nadi
40
20
0
9:10
9:20
9:30
9:40
9:50

11:40
10:00
10:10
10:20
10:30
10:40
10:50
11:00
11:10
11:20
11:30

11:50
12:00
12:10
12:20
12:30
12:40
12:50
13:00

Gambar. Diagram Observasi Nadi


3.6 Pre-Operative
Cairan yang dibutuhkan Aktual
PRE OPERASI PRE OPERASI
1. Maintenance = Holiday segar Input : D5 ½ NS 300 cc
BB: 10 kg  10 x 100 = 1000 Output : Urine : -
1.000 cc / 24 jam = 41 cc / jam
2. Replacement
Pengganti puasa 9 jam :
9 jam x kebutuhan cairan/jam=
9 x 74 cc = 369 cc
3. Perdarahan = tidak ada
DURANTE OPERASI DURANTE OPERASI
Kebutuhan cairan selama operasi 3 jam
1. Maintenance Input :
10 kg x 1-2 cc/kgbb/jam = 10 – 20 cc/jam RL 400 cc
Untuk 3 jam = 3 x 10 – 20 cc/jam = 30 – 60 cc Output :
2. Replacement Tidak terpasang DC,
Perdarahan ± 20 cc Suction : -
EBV = 65 cc x BB = 65 cc x 10 kg = 650 cc
EBL = 20 CC/650X100% = 3%, dapat diganti Total Perdarahan = 20 cc
dengan cairan kristaloid Kasa = 4 x 5cc
2 - 4 x jumlah perdarahan = 40 - 80 cc = 20 cc
3. kebutuhan dasar selama operasi + kebutuhan operasi
sedang
= (2 cc x 10 kg x 3 jam) + (6 cc x 10 kg x 3 jam)
= 60 cc – 180 cc
Total kebutuhan cairan durante operasi :
= (30 - 60 cc) + (40 - 80 cc) + (60 cc -180 cc)
= 130 cc – 320 cc

POST OPERASI POST OPERASI


Maintenance = holiday segar
BB 10 kg  10 x 100 = 1.000 cc Input :

1.000 cc/24 jam = 41 cc/jam RR  RL 3 tpm makro

3 tpm makro
INSTRUKSI POST OPERASI
- IVFD D5 ½ NS 300 CC/ 24 jam
- Inj. Ceftriaxone 100 mg/12 jam
- Inj. Antrain 250 mg/ 8 jam (diencerkan)
- Inj. Ranitidin 12,5 mg/12 jam
- Bila pasien sudah sadar, minum sedikit-sedikit pukul 16.00 wit, bila tidak
muntah makan pukul 17.00 wit
- Monitor vital sign dan perdarahan

PROGNOSIS
Vitam : dubia ad bonam
Functionam : dubia ad bonam
Sanationam : dubia ad bonam
FOLLOW UP POST OPERASI

Jumat, 10 Noveber 2017

S : Nyeri di daerah bekas operasi Planning


O : - IVFD D5 ½ NS
Keadaan Umum = Tampak sakit sedang, 300 CC/ 24 jam
Kesadaran = pupil bulat isokor, Ɵ 3 mm.
- Inj. Ceftriaxone
Nadi = 88x/m
Respirasi = 20 x/m 100 mg/12 jam
Suhu Badan = 36,5oC - Inj. Antrain 250
B1 : Bebas, gerak leher bebas, simetris +/+, suara
mg/ 8 jam
napas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-, RR:
20 x/ . (diencerkan)
- Inj. Ranitidin 12,5
B2 : Perfusi: hangat, kering, merah. Capilari Refill
mg/12 jam
Time <3 detik, Nadi 88x/m, regular, kuat
angkat, isi penuh. BJ: I-II murni regular,
murmur (-), galop (-).

B3 : pupil bulat isokor, Ɵ 3 mm,riwayat pingsan (-),


riwayat kejang (-).

B4 : DC (-), B K (+) , w rna kuning jernih.

B5 : Abdomen datar, distance, nyeri tekan (+),


timpani, BU (+) meningkat

B6 : Fraktur (-), edema (-), motorik aktif

A : S. Plunging Ranula
Sabtu, 11 November 2017

S : Nyeri di daerah bekas operasi (↓) Planning


- IVFD D5 ½ NS
O :
Keadaan Umum = Tampak sakit sedang, 300 CC/ 24 jam
Kesadaran = pupil bulat isokor, Ɵ 3 mm. - Inj. Ceftriaxone
Nadi = 92 x/m 100 mg/12 jam
Respirasi = 22 x/m
- Inj. Antrain 250
Suhu Badan = 36,6oC
B1 : Bebas, gerak leher bebas, simetris +/+, suara mg/ 8 jam
napas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-, RR: (diencerkan)
20 x/ .
- Inj. Ranitidin 12,5
B2 : Perfusi: hangat, kering, merah. Capilari Refill mg/12 jam
Time <3 detik, Nadi 92x/m, regular, kuat
angkat, isi penuh. BJ: I-II murni regular,
murmur (-), galop (-).

B3 : pupil bulat isokor, Ɵ 3 mm,riwayat pingsan (-),


riwayat kejang (-).

B4 : DC (-), B K (+) , w rna kuning jernih.

B5 : Abdomen datar, distance, nyeri tekan (+),


timpani, BU (+) meningkat

B6 : Fraktur (-), edema (-), motorik aktif

A : S. Plunging Ranula
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien seorang anak perempuan umur 3 tahun, datang dengan keluhan
terdapat benjolan didasar mulut kanan dan kiri sejak 3 bulan yang lalu. Benjolan
tampak mendorong lidah pasien keatas, tidak mudah berdarah dan nyeri termasuk
saat pasien makan dan minum. Demam (-), bengkak pada leher (-). Awalnya
muncul berupa benjolan kecil didasar mulut sebelah kanan, benjolan nampak
bening dan berisi air, yang lama kelamaan semakin membesar hingga memenuhi
dasar mulut kanan dan kiri, disertai leher yang bengkak. Bengkak pada leher sejak
1 hari sejak dilakukan penedotan cairan pada benjolan dibulan oktober. Keluar
cairan berwarna kuning tua, kental dan lengket. Saat ini tampak leher pasien
sudah tidak bengkak namun benjolan didasar mulut masih ada.
Pada anemnesa tersebut diatas sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa
Ranula adalah bentuk kista akibat obstruksi glandula saliva mayor yang
merupakan sebuah fenomena retensi ductus pada galndula sublingualis yang
terdapat pada dasar mulut sehingga mengakibatkan terjadinya pembengkakan
dibawah lidah yang berwarna kebiru-biruan.
Dari pemeriksaan fisik pada pasien, didapatkan pada sublingual tampak
massa dengan diameter 3 cm didasar mulut kanan dan kiri, warna kebiruan,
permukaan licin, konsistensi lunak, nyeri (-), tampak massa mendorong lidah
keatas.
Pada pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien ini adalah
pemeriksaan radiologis dan CT-Scan Mandibula dinyatakan dalam batas normal.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb: 9,9 g/dl, MCV:61,6 fl, MCH:19,1
pg dan WBC:14,63x103/uL. Maka dapat dikatakan pasien anemia ringan.
Berdasarkan anemnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
pasien tergolong PS ASA II sesuai dengan klasifikasipenilaian status fisik
menurut The American Society of Anesthesiologist. Pasien dengan kelainan
sistemik ringan sampai sednag baik karena penyakit bedah maupun penyakit lain
(anemia ringan).
Jenis anestesi yang digunakan adalah general anestesi(anestesi umum)
karena jenis ini sesuai dengan pemberdahan yang luas, berlangsung lama dan
operasi tertentu yang memerlukan pengandalian pernafasan. Jenis pembedahan
pada pasien tergolong dalam operasi sedang memiliki pembedahan didaerah
eksisi pada submandibula dengan panjang ±0,5 cm namun membutuhkan waktu
yang panjang (3 jam), dan dalam pelaksanaanya pasien harus diposisikan supine
yang memerlukan pengendalian pernafasan.
Pre OP cairan yang masuk pada pasien D5 ½ NS 300 cc dan tidak
terpasang kateter. Premedikasi dilakukan sebelum induksi anestesi dinatranya
meredahkan kecemasan dan ketakutan, memperlancar induksi anetesia,
mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan jumlah obat
anestesi, mengurangi mual muntah pasca bedah, menciptakan amnesia,
mengurangi isi cairan lambung, mengurangi refleks yang membahayakan. Pasien
diberikan sedacum 2,5 mg, ventanil 25 mg, petidin 25 mg sebagai premedikasi.
Midazolam merupakan golongan benzodiazepine memiliki efek yang berguna
untuk pre medikasi meredamkan ansietas, sedasi dan amnesia. Amnesia yang
ditimbulkan akan mengurangi memori buruk yang dialami pasien akibat suatu
tindakan. Benzodiazepin dapat menimbulkan depresi pernafasan yang berat.
Midazolam larut air, sering dapakai dan lebih disukai daripada diazepam
intravena. Efek samping yaitu hipotensi, perubahan denyut jantung,
bronkospasme, depresi saluran nafas (terutama pada pemberian dosis tinggi atau
pada injeksi cepat). Dosis injeksi secara perlahan 200 mcg-300mcg/KgBB, pada
pasien ini midazolam (sedacum) yangdiberikan 2,5 mg. Pasien tampak tersedasi
beberapa detik setelah pemberian intravena sedacum. Saat pemberian sedacum
perlu pengawasan yang ketat terhadap pernafasan, mengingat efek samping
pemberian obat ini adalah depresi pernafasan.

Selain dengan sedacum, pasien ini dilakukan pre medikasi dengan petidin
dengan dosis 25 mg dan Ventanil 25 mg. Hal ini sesuai dengan teori yang
menyatakan bahwa petidin merupakan analgesik opioid, dimana indikasi petidin
sebagai analgesik perioperatif, premedikasi. Petidin bersifat seperti atropin
menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan dan juga takikardi. Dosis
yang besar menimbulkan depresi napas dan hipotensi.
Selain dengan sedacum, pasien ini dilakukan pre medikasi dengan petidin
dengan dosis 50 mg dan fentanil 50 mg. Hal ini sesuai dengan teori yang
menyatakan bahwa petidin merupakan analgesik opioid, dimana indikasi petidin
sebagai analgesik perioperatif, premedikasi. Petidin bersifat seperti atropin
menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan dan juga takikardi. Dosis
yang besar menimbulkan depresi napas dan hipotensi.

Premedikasi dilanjutkan dengan induksi. Induksi anestesi pada pasien ini


adalah dengan pemberian propofol 180 mg. Propofol merupakan anestetik
intravena golongan non barbiturat yang efektif dengan onset cepat dan durasi
yang singkat.Pemulihan kesadaran yang lebih cepat dengan efek minimal
terhadap susunan saraf pusat merupakan salah satu keuntungan penggunaan
propofol dibandingkan obat anestesi intravena lainnya. Propofol merupakan
anestetik intravena dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu
bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1 ml=10 mg). Dosis bolus untuk induksi
2-2,5mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi intravena total 4-12 mg/kg/jam dan
dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/kg. Induksi dengan propofol selalu
berhubungan dengan menurunnya tekanan darah arteri khususnya pada pasien
yang berusia tua, akan tetapi penurunan tekanan darah ini tidak begitu signifikan
pada pasien yang berusia muda dan sehat. Penyebab pasti mekanisme penurunan
tekanan darah ini belum diketahui. Banyak penelitian menyatakan hal ini terjadi
dikarenakan penurunan tekanan perifer pembuluh darah yang dapat dicegah
dengan pemberian loading cairan yang efektif, tetapi dikatakan juga penurunan
tekanan darah ini tidak dapat diperkecil dengan pemberian cairan preload sebelum
pembiusan. Beberapa penelitian menyatakan efek penurunan tekanan darah ini
berhubungan dengan inhibisi dari simpatetik nervus sistem dan kerusakan
mekanisme baroreflex dan juga ada dilaporkan dikarenakan berkurangnya kadar
norepinephrine di plasma setelah pemberian propofol.

Hipotensi bila berlangsung lama dan tidak diterapi akan menyebabkan


hipoksia jaringan dan organ. Bila keadaan ini berlanjut terus akan mengakibatkan
keadaan syok hingga kematian. Sejauh ini banyak cara dilakukan untuk mencegah
terjadinya hipotensi setelah pemberian propofol, misalnya dengan pemberian
preloading cairan baik itu kristaloid ataupun koloid dan juga pemberian suatu
vasopressor seperti efedrin, dopamin, dan metaraminol. Pemberian
simpatomimetik untuk mencegah dan mengatasi hipotensi dengan meningkatkan
tahanan perifer pembuluh darah serta kontraktilitas jantung mempunyai
keuntungan berupa biaya yang lebih murah akan tetapi mempunyai kelemahan
dengan dapat terjadinya takikardi dan meningkatkan resiko untuk terjadinya
arritmia. Preloading dengan cairan untuk mencegah hipotensi dengan maksud
meningkatkan venous return dan tekanan pengisian kembali atrium kanan serta
ventrikel kiri untuk mempengaruhi cardiac output bisa saja dilakukan, akan tetapi
mempunyai banyak kelemahan yaitu akan memakan waktu selama pemberian
cairan tersebut, biaya, resiko hemodilusi, overload cairan,dan reaksi anafilaktik.
Preloading cairan juga dilakukan pada pasien ini pada saat pre operatif yaitu
dengan pemberian Ringer Laktat 250 cc.

Setelah induksi dan dimasukkan muscle relaxant dan diberi bantuan nafas
dengan ventilasi mekanik. Pasien dipastikan sudah berada dalam kondisi tidak
sadar dan stabil untuk dilakukan intubasi ETT kemudian dilakukan ventilasi
dengan oksigenasi, dilakukan intubasi ETT nomor 4,5, Cuff dikembangkan, lalu
cek suara nafas pada semua lapang paru dan lambung dengan stetoskop,
dipastikan suara nafas dan dada mengembang ETT difiksasi agar tidak lepas dan
disambungkan dengan secara simetris kemudian pasien diposisikan ke dalam
posisi pronasi. Ventilator, Maintenance dengan inhalasi oksigen 2-3 lpm, dan
sevofluran MAC 1,5-2%. Monitor tanda-tanda vital pasien , saturasi oksigen,
tanda-tanda komplikasi (pendarahan, alergi obat, obstruksi jalan nafas, nyeri).

Rumatan anestesi pada pasien ini dipilih rumatan inhalasi menggunakan


sevofluran 2-4 vol% dan O2 dikombinasikan dengan propofol dan fentanyl.
Rumatan anestesia ini mengacu pada trias anestesia yaitu tidur ringan (hipnosis)
sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak
menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup. Digunakan sovoflurane
karena memiliki efek anestesi yang lebih cepat pulih sadar dibandingkan agen
volatile yang lain. Walaupun dapat menyebabkan hipotensi, tetapi efeknya tidak
sekuat jika digunakan Halotan atau enfluran.

B1 Aktual : Airway bebas, terpasang O2 nasal 2-3 lpm.


thorax simetris, ikut gerak napas, RR: 22 x/m,
SpO2 100%, suara napas vesikuler+/+,

ronkhi-/-, wheezing -/-, malapati score: I

Sumbatan jalan nafas, Hipoksia


Potensial : Bebaskan jalan nafas chin lift/jaw trush

Planning : Oksigenasi

B2 Aktual : Perfusi: hangat, kering, merah. Capilari Refill


Time < 2 detik, TD : 120/84 mmHg,
N : 82x/menit, BJ: I-II murni regular,
konjungtiva anemis -/-

Syok hipovolemik, perdarahan


Potensial : Posisi syok, pemberian oksigen, resusitasi
Planning : cairan, observasi tensi dan nadi, transfusi darah

B3 Aktual : Kesadaran Compos Mentis, GCS: 15(E4V5M6),


pupil bulat isokor, Ø DS 3mm, fraktur femur

Penurunan kesadaran, ↑ TTIK,↑ nyeri.


Potensial :
Observasi GCS,TTIK dan observasi nyeri
Planning :

B4 Aktual : Terpasang DC

Potensial : Oliguria, AKI

Planning : Rehidrasi, monitoring produksi urin, balance


cairan.

B5 Aktual : Supel, palpasi : nyeri tekan (-), perkusi:


tympani, BU (+) normal

Mual, muntah
Potensial :
Pemberian ondancentron, ranitidin
Planning :

B6 Aktual : Akral hangat (+), edema (+), fraktur (+)

Potensial : Infeksi, sepsis

Planning : Rawat luka, pemberian antibiotik, operasi

Pasien ini diberikan pula obat-obatan seperti dexamethason, ranitidin,


ondansentron saat durante operatif. Pemberian dexamethason adalah sebagai
antiinflamasi dan anti edema yang kuat dengan tujuan mengatasi edema laring
pasca intubasi, dosis 0,2 mg/kg dan pada kasus ini diberikan 5 mg.

Pemberian ranitidin dan ondansentron adalah untuk mencegah mual-


muntah akibat anestesi umum terutama pada penggunaan opioid, bedah intra-
abdomen dan hipotensi. Dosis ondansentron adalah 0,05-0,1 mg/kg secara
intravena, pada pasien ini diberikan dosis 4 mg. Ranitidin diberikan untuk
mengurangi sekresi asam lambung yang berlebihan dan pada pasien ini diberikan
50 mg.

Selama perioperatif cairan kristaloid yang dierikan pada pasien adalah


Ringer Laktat yang merupakan larutan isotonik natrium klorida, kalium klorida,
kalsium klorida dan natrium laktat yang komposisinya serupa dengan cairan
ekstraseluler, mengandung ion-ion yang terdistribusi kedalam cairan intravaskuler
sehingga bermanfaat untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit.
Cairan yang dibutuhkan Aktual
PRE OPERASI PRE OPERASI
4. Maintenance = Holiday segar Input : D5 ½ NS 300 cc
BB: 10 kg  10 x 100 = 1000 Output : Urine : -
1.000 cc / 24 jam = 41 cc / jam = 13 tpm makro
5. Replacement
Pengganti puasa 9 jam :
9 jam x kebutuhan cairan/jam=
9 x 74 cc = 369 cc
6. Perdarahan = tidak ada
DURANTE OPERASI DURANTE OPERASI
Kebutuhan cairan selama operasi 3 jam
2. Maintenance Input :
10 kg x 1-2 cc/kgbb/jam = 10 – 20 cc/jam RL 400 cc
Untuk 3 jam = 3 x 10 – 20 cc/jam = 30 – 60 cc Output :
2. Replacement Tidak terpasang DC,
Perdarahan ± 20 cc Suction : -
EBV = 65 cc x BB = 65 cc x 10 kg = 650 cc
EBL = 20 CC/650X100% = 3%, dapat diganti Total Perdarahan = 10 cc
dengan cairan kristaloid Kasa = 4 x 5cc
2 - 4 x jumlah perdarahan = 40 - 80 cc = 20 cc
3. kebutuhan dasar selama operasi + kebutuhan operasi
sedang
= (2 cc x 10 kg x 3 jam) + (6 cc x 10 kg x 3 jam)
= 60 cc – 180 cc
Total kebutuhan cairan durante operasi :
= (30 - 60 cc) + (40 - 80 cc) + (60 cc -120 cc)
= 130 cc – 320 cc

POST OPERASI POST OPERASI


09 November 2017 jam 13.00 s/d besok pagi
Input :
09.00 (20 jam)
D5 ½ NS 300 CC/24 jam
Maintenance = holiday segar
BB 10 kg  10 x 100 = 1.000 cc
1.000 cc/24 jam  15 tpm makro

Terapi cairan perioperarif pada pasien ini adalah sebagai berikut :


Kebutuhan Cairan perjam
Kebutuhan cairan pasien dihitung menggunakan rumus Holiday segar,
didapatkan 41 cc/jam. Pasien puasa selama 9 jam sehingga kebutuhan rumatan
pasien harus dipenuhi sebelum operasi ialah :

Pre Operatif

Kebutuhan cairan per jam x waktu puasa selama 9 jam adalah 369 cc. Selama pre
operatif tidak didapatkan perdarahan. Kebutuhan cairan tidak terpenuhi dimana
sejak pasien mulai puasa dan habis setelah di OK 300 cc, yang belum terpenuhi
69 cc.

Durante Operasi :

kebutuha cairan maintenance pada durante operasi selama 3 jam adalah 30 – 60


cc.

Estimate Blood Volume (EBV) pasien ini adalah : 65 cc x BB = 65 x 10 = 650 cc

Didapatkan perdarahan pada 4 buah kassa, sehingga perdarahan total ± 20 cc


Peradarahan yang terjadi selama operasi sebanyak 20 cc sehingga EBV pasien ini
adalah 20/650x100% = 3%. Pada pasien ini perdarahan yang terjadi digantikan
dengan cairan kritaloid sebanyak 2 – 4 x dari julah perdarahan yaitu : (2 x 20 cc =
40 cc ) – (4 x 20 cc = 80 cc)

Kebutuhan dasar selama operasi + kebutuhan operasi sedang : (2 cc x 10 kg x3


jam = 60 cc) + (6 cc x 10 kg x 3 jam = 180 cc)

Jadi, total kebutuhan cairan durante operasi adalah kebutuhan cairan maintenance
+ Replacement + (kebutuhan dasar operasi + kebutuhan operasi sedang) = (30
cc – 60 cc) + (40 cc – 80 cc) + (60 cc – 180 cc) = 130 cc - 320 cc. Pada saat
operasi cairan yang masuk adalah Ringer Laktat 400 cc, sehingga kebutuhan
cairan durante operasi terpenuhi.
Post Operatif

Pada pemberian cairan post operasi diberikan kebutuhan cairan pasien dihitung
menggunakan rumus Holiday segar 1000 cc/24 jam, saat operasi 09.00 wit s/d
13.00 wit. Jadi perhitungan jam 14.00 wit s/d 09.00 wit (20 jam), sehingga
kebutuhan cairan pasien diruangan menjadi ± 1000 cc habis dalam 20 jam

Pasca operasi pasien dievaluasi di ruang RR, untuk dinilai kesadaran pasien. Bila
keadaan pasien mulai membaik pasien dapat dikembalikan ke ruangan perawatan.
Bila keadaan umum pasien mulai stabil tidak ada keluhan mual muntah, pasien
dapat dianjurkan untuk minum sedikit-sedikit dan pada jam 17.00 WIT pasien
disarankan untuk makan.

Untuk penilaian kesadaran pasien post operasi dengan anestesi umum


dapat dinilai menggunakan Skor Aldrette:
Yang dinilai Nilai
Pergerakan
 Gerak bertujuan 2
 Gerak tak bertujuan 1
 Diam 0
Pernapasan
 Teratur, batuk, menangis 2
 Depresi 1
 Perlu dibantu 0
Warna
 Merah muda 2
 Pucat 1
 Sianosis 0
Tekanan Darah
 Berubah sekitar 20 % 2
 Berubah 20 %– 30 % 1
 Berubah lebuh dari 30% 0
Kesadaran
 Benar benar sadar 2
 Bereaksi 1
 Tidak bereaksi 0

Pasca operasi pasien dibawa ke ruang pulih untuk diawasi secara lengkap dan
baik. Hingga kondisi pasien stabil dan tidak terdapat kendala-kendala yang
berarti. Penentuan kapan pasien dapat dipindahkan keruangan digunakan skor
Aldrette. Pada pasien An. E.D 3 th didapatkan pasien dapat mengangkat keempat
ekstremitas (skor 2), dapat bernapas dalam dan batuk (skor 2), kesadaran Compos
Mentis, saturasi 100%, warna kulit merah muda (skor 2). Skor Aldrette 8, pasien
dapat dipindahkan ke ruang perawatan.
Terapi post operasi pada pasien ini adalah IVFD D5 ½ NS 300 cc/24 jam,
inj. Ceftriaxone 100 mg/ 12 jam, Inj. Antrain 250 mg/ 8 jam (diencerkan), inj.
Ranitidin 12,5 mg/ 12 jam, monitor vital sign dan perdarahan.
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan anemnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


penunjang pasien didiagnosis Submandibular Plungging Ranula. Klasifikasi
status penderita digolongkan dalam PS AS II dimana seoorang pasien
dengan penyakit ringan sampai sedang atau dalam kondisi spesial pada
pediatri.

Dilakukan pembedahan Eksisi Plungging Ranula dan jenis anestesi


yang digunakan adalah General Anestesi(anestesi umum), karena jenis ini
sesuai dengan pemberdahan yang luas, berlangsung lama dan operasi
tertentu yang memerlukan pengandalian pernafasan. Jenis pembedahan
pada pasien tergolong dalam operasi sedang memiliki pembedahan
didaerah eksisi pada submandibula dengan panjang ±0,5 cm namun
membutuhkan waktu yang panjang (3 jam), dan dalam pelaksanaanya
pasien harus diposisikan supine yang memerlukan pengendalian
pernafasan. Selama dilakukan tindakan pembedahan tidak didapatkan
penyulit selama pembedahan.

Terapi cairan pre operasi mengunakan rumus holiday segar, pada


pasien ini belum terpenuhi diruangan perawatan 1000 cc/24 jam sedangkan
terapi cairan durante operasi terpenuhi. Pemberian cairan post operasi pada
pasien ini diruangan perawatan menggunakan rumus holiday segar yang
habis dalam 20 jam, yaitu 1000 cc/20 jam  15 tpm makro.

5.2 Saran

Penatalaksanaan anestesi perlu diperlukan dengan baik mulai dari


persiapan pre anestesi, tindakan anestesi hingga observasi post operasi,
terutam menyangkut resusitasi cairan yang akan sangat mempengaruhi
kestabilan hemodinamik perioperatiive.

Diperlukan pemberian cairan pre operatif yang cukup sesuai dengan


kebutuhan pasien untuk mengganti kebutuhan cairan selama puasa.
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Bagian

Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. Jakarta, 2010

2. Anonim. Anestesi umum. [serial online] 2010 [Diunduh 19/09/2017].

Dari:http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/55198/BAB

%20II%20Tinjan%20Pustaka.pdf?sequence=5

3. Anesthesia.[Diunduh19/09/2017].Dari:http://repository.usu.ac.id/bitstrea

m/123456789/29717/5/Chapter%20I.pdf.

4. Ranula..[Diunduh29/01/2018]Dari:https://www.scribd.com/doc/256771

308

5. Latief S A, Suryadi K A, Dachlan M R. Petunjuk praktis anestesiologi.


Edisi kedua. Bagian anestesiologi FK UI. Jakarta. 2002.
6. Lalenoh H J. Handout kuliah. Dasar-dasar anestesi I.
7. Sarasanti J. Referat anestesi umum intravena. Diunduh (online) pada
tanggal 19 Januari 2018 dari
http://id.scribd.com/doc/179761298/154252652-Referat-Anestesi-
Umum-Intravena-Doc.
8. Perdanakusuma D. Surgical Management Of Contracture In Head And
Neck. Plastic Surgery Departement, Airlangga University School of
Medicine – Dr. Soetomo General Hospital. 2009. Symposium on
Pediatric Anesthesia & Critical care. Surabaya.
9. Price, S. A., & Wilson, L. M. (2005). Patofisiologi : konsep klinis
proses-proses penyakit (6 ed., Vol. II). (H. Hartanto, Ed., & B. U.
Pendit, Trans.) Jakarta: EGC.

You might also like