Professional Documents
Culture Documents
LOGO
Oleh :
dr. Rayno Praditya E
dr. Wilson Nugraha Abdy
dr. Sandhy Hapsari A
dr. Siti Khoiriyah
dr. Optie Ardha Berliana
dr. Devi Nurjanatun Na’wa
Pendamping :
dr. Binastiti Sal Indira
PUSKESMAS SIMO
DINAS KESEHATAN KABUPATEN BOYOLALI
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi. Kerugian sosial yang terjadi antara lain karena
menimbulkan kepanikan dalam keluarga, kematian anggota keluarga dan berkurangnya usia harapan
hidup. Dampak ekonomi langsung yang dirasakan pada penderita DBD adalah biaya pengobatan,
sedangkan yang tidak langsung adalah kehilangan waktu kerja, waktu sekolah dan biaya lain yang
dikeluarkan selain untuk pengobatan seperti transportasi dan akomodasi selama perawatan penderita.
Sejak ditemukan pertama kali tahun 1968 di Surabaya dan Jakarta, jumlah kasus DBD maupun luas
daerah penyebarannya semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan
penduduk.
Penyakit Demam Berdarah banyak dikatakan sebagai risiko bagi negara berkembang maupun
negara maju sekalipun. Insiden wabah penyakit demam berdarah terus meningkat dan transmisi
hiperendemik telah terjadi dan melintasi wilayah geografis yang luas.
Patut disayangkan, pendekatan pemberantasan sarang nyamuk sering tidak berhasil. Hal ini terutama
karena strategi tersebut membutuhkan bangunan kesadaran yang kuat pada diri masyarakat untuk
menjaga lingkungannya serta membangun kebiasaan yang memberi efek positif bagi kesehatannya.
Akibat dari kelalaian terhadap pentingnya menjaga kebersihan lingkungan penyakit DBD atau
disebut juga Dengue Hemorrhagic Fever (DHF). Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue yang
ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus. Kedua jenis nyamuk ini
terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecuali daerah-daerah yang memiliki ketinggian lebih
dari seribu meter dari permukaan air laut. Hampir setiap tahunnya di Indonesia ada saja orang yang
terjangkit penyakit DBD. Hal ini membuktikan bahwa sebagian masyarakat masih kurang sadar
terhadap kebersihan lingkungan serta lambatnya pemerintah dalam mengantisipasi dan merespon
terhadap merebaknya kasus DBD ini. Masyarakat seringkali salah dalam mendiagnosis penyakit
DBD ini dengan penyakit lain seperti flu atau typhus. Hal ini disebabkan karena infeksi virus dengue
yang menyebabkan DBD bersifat asistomatik atau tidak jelas gejalanya.
Upaya pencegahan penyakit ini telah dilakukan antara lain dengan pemutusan rantai nyamuk
penularnya dengan cara penaburan larvasida, fogging focus serta pemberantasan sarang nyamuk
(PSN). PSN merupakan cara pemberantasan yang lebih aman, murah dan sederhana. Oleh sebab itu
kebijakan pemerintah dalam pengendalian vektor DBD lebih menitikberatkan pada program ini,
walaupun cara ini sangat tergantung pada peran serta masyarakat.
Dari data Puskesmas Simo pada tahun 2016 ditemukan sebanyak 22 kasus Demam Berdarah
Dengue, dengan insidensi paling banyak di Desa Wates yaitu 5 kasus. Berdasarkan uraian di atas,
maka penulis ingin mengulas lebih dalam tentang perilaku hidup bersih dan sehat di masyarakat dan
membangun kesadaran tentang kegiatan pemberantasan sarang nyamuk di Dukuh Jering Desa Wates
sehingga dapat mencegah dan menurunkan angka penyakit demam berdarah dan mewujudkan rumah
bebas jentik. Pada penelitian ini akan dilakukan pemantauan untuk mengetahui jumlah rumah bebas
jentik sebelum dan sesudah pemberian edukasi. Dengan berbagai permasalahan tersebut masyarakat
seharusnya sudah mengetahui tentang pentingnya menjaga lingkungan dari sarang nyamuk dan perlu
memberantas sarang nyamuk agar dapat terhindar dari penyakit yang diakibatkan oleh DBD.
B. Pernyataan Permasalahan
1. Tingginya insidensi DBD di Desa wates yaitu sebanyak 5 kasus.
2. Individu (masyarakat) yang masih kurang pengetahuan mengenai penyakit DBD dan cara
mencegahnya (4M+).
C. Tujuan
Untuk membangun kesadaran masyarakat dalam pencegahan DBD melalui kegiatan Pemberantasan
Sarang Nyamuk (PSN) serta memberi cost effectiveness pada pembiayaan penanggulangan penyakit
DBD agar angka kejadian DBD menjadi berkurang.
D. Manfaat
1. Manfaat Umum
Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan acuan ilmu pengetahuan bagi
penulis, tenaga kesehatan dan masyarakat umum.
2. Manfaat Khusus
Untuk memberikan informasi tentang hubungan antara tingkat pengetahuan dengan perilaku
pemberantasan sarang nyamuk (PSN) masyarakat dalam upaya pencegahan penyakit DBD.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Demam berdarah dengue adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan
manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam,
limfadenopati, trombositopenia, diathesis hemoragik dan perembesan plasma.Yang membedakan
demam berdarah dengue dengan demam dengue adalah ada tidaknya perembesan plasma yang
ditandai dengan hemokonsentrasi atau penumpukan cairan di rongga tubuh.
Demam dengue dan demam berdarah dengue sama-sama disebabkan oleh virus dengue yang
termasuk dalam genus Flavivirus, famili Flaviviridae dengan diameter sekitar 30 nanometer yang
terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4 x 10-6. Terdapat 4 serotipe virus,
yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4.Keempat serotipe virus tersebut semuanya telah ditemukan
di Indonesia dengan serotipe terbanyak adalah DEN-3.
Transmisi diperkirakan juga bisa tejadi secara vertikal (transovarial) yaitu dari nyamuk Ae.
aegypti betina gravid yang terinfeksi virus Dengue sebagai induk ke ovum (telur) dalam uterus
nyamuk itu. Beberapa kota di Indonesia seperti Yogyakarta, Salatiga dan Kotawaringin terbukti
adanya penularan virus dengue secara transovarial dengan indeks trasmisi bervariasi, artinya nyamuk
muda yang baru menetas telah infektiv virus dengue dan siap sebagai sumber penularan baru.
B. Epidemiologi
Demam Berdarah Dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis. Data dari seluruh
dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya.
Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO)
mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara. Di
Indonesia Demam Berdarah pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun 1968, dimana
sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal dunia (Angka Kematian (AK) :
41,3 %). Dan sejak saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia. Peningkatan kasus tiap
tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk
betina yaitu bejana berisi air (bak mandi, kaleng bekas, dan tempat penampungan air lainnya).
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi penularan virus dengue, yaitu:
(1) Vektor: perkembangbiakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di lingkungan,
transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain; (2) Pejamu: terdapatnya penderita di
lingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin; (3)
Lingkungan: curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk.
C. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis demam dengue timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus. Virus
akan berkembang di dalam peredaran darah dan akan ditangkap oleh makrofag. Segera terjadi viremia
selama 2 hari sebelum timbul gejala dan berakhir setelah 5 hari gejala demam mulai. Makrofag akan
segera bereaksi dengan menangkap virus dan memprosesnya sehingga makrofag menjadi APC
(Antigen Presenting Cell). Antigen yang menempel di makrofag akan mengaktifasi sel T-Helper dan
menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus. Sel T-helper akan mengaktifasi sel T-
sitotoksik yang akan melisis makrofag yang sudah memfagosit virus dan mengaktifkan sel B yang
akan melepas antibodi.
Ada 3 jenis antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemagglutinasi,
antibodi fiksasi komplemen. Proses di atas menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang
merangsang terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise, dan gejala lainnya.
Selain itu dapat terjadi manifetasi perdarahan karena terjadi aggregasi trombosit yang menyebabkan
trombositopenia, tetapi trombositopenia ini bersifat ringan.
Patogenesis kebocoran plasma pada Demam Berdarah Dengue belum sepenuhnya dapat
dipahami, namun terdapat dua perubahan patofisiologis yang mencolok, yaitu :
1. Meningkatnya permeabilitas kapiler yang mengakibatkan bocornya plasma, hipovolemia, dan
terjadinya syok. Pada Demam Berdarah Dengue terdapat kejadian unik yaitu terjadinya
kebocoran plasma ke dalam rongga pleura dan rongga peritoneal. Kebocoran plasma terjadi
singkat (24 - 48 jam).
2. Hemostasis abnormal yang disebabkan oleh vaskulopati, trombositopeni, dan koagulopati,
yang mendahului terjadinya manifestasi perdarahan.
Manifestasi simptomatik infeksi virus dengue adalah sebagai berikut :
1. Demam tidak terdiferensiasi
2. Demam dengue (dengan atau tanpa perdarahan): demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan
2 atau lebih manifestasi klinis (nyeri kepala, nyeri retroorbital, mialgia/atralgia, ruam kulit,
manifestasi perdarahan petekie atau uji bendung positif, leukopenia) dan pemeriksaan serologi
dengue positif atau ditemukan pasien yang sudah dikonfirmasi menderita demam dengue/ DBD
pada lokasi dan waktu yang sama.
3. DBD (dengan atau tanpa renjatan)
D. Diagnosis
Diagnosis demam berdarah dengue ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO yang
terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris.
Kriteria Klinis :
1. Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas selama 2-7 hari
2. Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan :
a. Uji bendung positif
b. Petekie, ekimosis
c. Epistaksis, perdarahan gusi
d. Hematemesis, melena
3. Pembesaran hati
4. Syok, ditandai nadi cepat dan lemah sampai tidak teraba, penyempitan tekanan nadi (≤ 20
mmHg), hipotensi sampai tidak terukur, kaki dan tangan dingin, capillary refill time
memanjang (> 2 detik), diuresis menurun sampai anuria, dan pasien tampak gelisah.
Kriteria Laboratorium :
1. Trombositopenia (100.000/µl atau kurang)
2. Adanya kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler, dengan manifestasi
sebagai berikut :
a. Peningkatan hematokrit
b. Penurunan hematokrit ≥ 20% setelah mendapat terapi cairan
c. Efusi pleura/perikardial, ascites, hipoproteinemia
E. Faktor Risiko
Salah satu faktor risiko penularan DBD adalah pertumbuhan penduduk
perkotaan yang cepat, mobilisasi penduduk karena membaiknya sarana dan prasarana transportasi dan
terganggu atau melemahnya pengendalian populasi sehingga memungkin terjadinya KLB.Faktor
risiko lainnya adalah kemiskinan yang mengakibatkan orang tidak mempunyai kemampuan untuk
menyediakan rumah yang layak dan sehat, pasokan air minum dan pembuangan sampah yang benar.
Tetapi di lain pihak, DBD juga bisa menyerang penduduk yang lebih makmur terutama yang biasa
bepergian.Dari penelitian di Pekanbaru Provinsi Riau, diketahui faktor yang berpengaruh terhadap
kejadian DBD adalah pendidikan dan pekerjaan masyarakat, jarak antar rumah, keberadaan tempat
penampungan air, keberadaan tanaman hias dan pekarangan serta mobilisai penduduk, sedangkan tata
letak rumah dan keberadaan jentik tidak menjadi faktor risiko.
F. Komplikasi
1. Perdarahan
2. Syok
3. Efusi pleura
4. Penurunan kesadaran
G. Prognosis
Prognosis DBD berdasarkan terapi dan penatalaksanaan yang dilakukan. Terapi yang tepat dan
cepat akan memberikan hasil yang optimal. Penatalaksanaan yang terlambat akan menyebabkan
komplikasi dan memperburuk keadaan.
Kematian karena demam dengue hampir tidak ada. Pada DBD/SSD mortalitasnya cukup tinggi.
Penelitian pada orang dewasa di Surabaya, Semarang, dan Jakarta menunjukkan bahwa prognosis dan
perjalanan penyakit umumnya lebih ringan pada orang dewasa dibandingkan pada anak-anak.
DBD derajat I dan II akan memberikan prognosis yang baik, penatalaksanaan yang cepat, tepat akan
menentukan prognosis. Umumnya DBD derajat I dan II tidak menyebabkan komplikasi sehingga
dapat sembuh sempurna.
DBD derajat III dan IV merupakan derajat sindrom syok dengue dimana pasien jatuh kedalam
keadaan syok dengan atau tanpa penurunan kesadaran. Prognosis dubia ad bonam jika
penatalaksanaan yang diberikan sesuai.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Proyek
1. Penyuluhan warga
2. Pelatihan kader sebagai jumantik
3. Pemberantasan sarang nyamuk
4. Pemantauan jentik
B. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan metode penelitian eksperimental.
F. Variabel
1. Variabel bebas : Peran serta masyarakat Dukuh Jering, Desa Wates dalam Pemberantasan
Sarang Nyamuk
2. Variabel terikat : Rumah bebas jentik di Dukuh Jering, Desa Wates
G. Intervensi
Dalam Mini Project ini terdapat intervensi yang diberikan kepada warga Dukuh Jering yaitu
adanya edukasi mengenai pentingnya pemberantasan sarang nyamuk dan upaya yang dapat
dilakukan untuk mencegah penularan penyakit demam berdarah. Edukasi diberikan secara door to
door pada saat pemantauan jentik yang pertama. Dan pada saat penyuluhan di Balai Desa Wates.
I. Jalannya Proyek
1. Penyuluhan warga
Penyuluhan warga dilaksanakan di balai desa Wates, pada tanggal 20 Mei 2017 yang dihadiri
oleh 100 orang, yang terdiri dari warga Dukuh Jering, perangkat desa Wates serta perwakilan
dari pihak Puskesmas. Dalam penyuluhan ini diberikan materi mengenai pengertian DBD dan
PSN, tanda dan gejala awal penyakit DBD, tindakan awal yang dapat dilakukan di rumah, cara
penularan penyakit, serta cara pencegahan penularan yang harus dilakukan berupa 4M+, yaitu
menguras, menimbun, menutup, dan memantau serta dapat dilakukan ikanisasi, tidak
menggantung pakaian, menggunakan obat anti nyamuk atau kelambu, dan membubuhkan
bubuk abate.
2. Pelatihan kader sebagai jumantik
Pelatihan kader dilakukan pada tanggal 04 Mei 2017, yang dihadiri oleh 24 orang, yakni 16
kader kesehatan, 1 dokter puskesmas, 1 bidan Desa Wates, ketua TPPKK, serta 6 dokter
internsip. Materi yang diberikan hampir sama dengan materi yang diberikan pada penyuluhan
warga. Namun materi ditekankan pada upaya 4M+ dan cara memantau jentik. Kader
dikenalkan pada alat-alat yang akan digunakan pada saat pemantauan, seperti stiker Bebas
Jentik sebagai bentuk award-punishment, form rekapitulasi pemantauan jentik, serta
pembagian tugas sebagai jumantik (coordinator tiap RT dan supervisor desa).
3. Pemberantasan sarang nyamuk
Pemberantasan sarang nyamuk dilakukan secara mandiri oleh warga Dukuh Jering, Desa
Wates. Dan dilakukan program Minggu bersih di tiap RT masing-masing dimana yang telah
disepakati saat penyuluhan di balai desa.
4. Pemantauan jentik
Pemantauan jentik dilakukan oleh kader kesehatan, dan tim dokter internship dengan door-to-door.
Seluruh tampungan air baik di luar maupun di dalam rumah dipantau, untuk melihat ada tidaknya
jentik. Hasil pemantauan kemudian dicatat pada form rekapitulasi pemantauan jentik. Selain itu,
hasil pemantauan juga dituliskan pada stiker Bebas Jentik yang ditempelkan di depan rumah warga
dengan ketentuan penulisan tanda centang (√) menggunakan spidol bagi rumah bebas jentik dan
tanda silang (X) menggunakan spidol bagi rumah dengan jentik. Rekapitulasi hasil pemantauan
jentik tercantum pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pemantauan Jentik di Dukuh Pendem, Desa Tegalsari, Kecamatan Karanggede
Waktu Pelaksanaan Pemantauan Jentik
No. Nama
Pjb 1 Pjb 2 Pemberian
Abate
Ada Tidak Ada Tidak
1. tn.x
2. tn.x
Jumlah (rumah)
Persentase (%)
J. Analisa Data
Berdasarkan kegiatan pemantauan jentik di Dukuh Jering, Desa Wates diperoleh data pada
pemantauan jentik pertama sebanyak -- rumah (--%) terdapat jentik nyamuk, -- rumah (=%) bebas
jentik nyamuk.
Pada pemantauan jentik kedua didapatkan sebanyak -- rumah (--%) terdapat jentik nyamuk, --
rumah (--%) bebas jentik nyamuk, dan -- rumah (--%) tidak dapat dievaluasi.
BAB IV
HASIL
Keadaan alam dan lingkungan kecamatan simo merupakan daerah perbukitan. Kecamatan simo
terletak pada ketinggian 100 – 400 m dari permukaan air laut dan beriklim sedang suhu berkisar 24 C°
dengan curah hujan mencapai 2256 Mm dengan hari hujan 110 Hp pada tahun 2015.
Pusat kegiatan masyarakat Simo terpusat di pasar Simo yang ditandai dengan tugu patung macan
di persimpangan jalan.
B. Data Geografis
Desa/kelurahan
1. pentur 8.Gunung
2. Walen 9. Talak broto
3. Simo 10. Pelem
4. Kedung lengkong 11. Teter
5. Bendungan 12. Temon
6. Blagung 13. Wates
7. Sumber
C. Data Demografik
Dari data kecamatan Simo tahun --- didapatkan jumlah penduduk total 51.306 orang dengan
perbandingan laki-laki sebanyak 25.273 dan perempuan 26.033. dengan demikian didapatkan rata-
rata jiwa. Berikut rincian penduduk berdasarkan usia :
JUMLAH PENDUDUK
KELOMPOK
N
UMUR
O LAKI-LAKI+
(TAHUN) LAKI-LAKI PEREMPUAN
PEREMPUAN
11
1 0-4 513 527
,040
33
2 5-9 1515 1561
,076
33
3 10 - 14 1767 1822
,589
33
4 15 - 19 1586 1614
,200
22
5 20 - 24 1212 1249
,461
33
6 25 - 29 1843 1900
,743
33
7 30 - 34 1944 2004
,948
33
8 35 - 39 1717 1770
,487
33
9 40 - 44 1565 1614
,179
44
10 45 - 49 1994 2056
,050
44
11 50 - 54 2297 2369
,666
22
12 55 - 59 1388 1431
,819
33
13 60 - 64 1641 1692
,333
33
14 65 - 69 1843 1900
,743
22
15 70 - 74 1161 1197
,358
22
16 75+ 1287 1327
,614
55
JUMLAH 25,273 26,033
1,306
Secara geoekonomis proses peng-kota-an di Simo terpusat di desa Simo hal ini terjadi karena posisi
daerah tersebut dekat dengan jalan utama atau jalan kabupaten dan berdekatan dengan pasar
tradisional Simo. Perputaran kapital di wilayah ini cukup besar jika dibandingkan dengan desa-desa
lain dan bahkan lebih besar jika dibandingkan dengan kecamatan-kecamatan lain di Boyolali, seperti
Kecamatan Klego dan Kecamatan Wonosegoro. Hal ini dapat dilihat dari munculnya ratusan
pengusaha menengah kebawah yang eksis di wilayah ini. Selain itu, gaya hidup masyarakat sudah
tidak lagi tradisional. Di luar desa Simo masih merupakan desa yang bergantung pada pertanian dan
beberapa masyarakat merantau ke kota untuk menjadi buruh industry.
D. Sumber Daya Kesehatan yang Ada
Kecamatan simo memiliki 1 UPTD Puskesmas dengan 1 dokter umum, 1 dokter gigi, 1 bidan
koordinator, 15 bidan puskesmas, 3 perawat, 1 perawat gigi, 1 fisioterapis, 1 petugas farmasi, 1
kesehatan masyarakat.
E. Sarana Pelayanan Kesehatan yang Ada
Kecamatan Simo memiliki 1 RSUD Simo, 1 Puskesmas dengan 16 PKD dan posyandu baik
posyandu balita, ibu hamil, dan lansia. Selain itu Simo memiliki beberapa klinik dokter umum dan
dokter gigi, dan beberapa klinik bidan.
F. Data Kesehatan Masyarakat Primer
1. Prevalensi Masalah Kesehatan Masyarakat Sebelum dan Sesudah Intervensi
a. Tingginya insidensi paling banyak di Desa Wates yaitu 5 kasus Demam Berdarah
Dengue.
c. Letak Geografis Dukuh Jering yang berada di dataran tinggi dengan minimnya
sarana penyaluran air bersih.
Jumlah - -
Persentase (%) - -
BAB V
DISKUSI
Dari data Puskesmas Simo pada tahun 2016 ditemukan sebanyak 22 kasus Demam
Berdarah Dengue (DBD), dengan insidensi paling banyak di Desa Wates yaitu 5 kasus Demam
Berdarah Dengue.
Berdasarkan penyelidikan epidemiologi yang dilakukan sebelum intervensi, penulis menjumpai
beberapa perilaku warga yang menimbulkan peningkatan jumlah sarang nyamuk Aedes Aegypti.
Perilaku tersebut diantaranya adalah kebiasaan warga menampung air hujan, jarang menguras bak
mandi maupun tempat tampungan air lain.
Dari hasil survey dan wawancara beberapa warga, Dukuh Jering adalah salah satu dukuh yang
kesulitan mendapatkan air bersih. Hal ini disebabkan letak pemukiman warga Dukuh Jering yang
berada di dataran lebih tinggi dari mata air dan belum terdapat sistem pengaliran air yang baik.
Kondisi ini menyebabkan warga memiliki kebiasaan untuk menampung air dalam waktu lama
tanpa menguras secara berkala. Selain itu, warga juga berupaya memperoleh air dengan
menampung air hujan menggunakan ember atau bak yang dibiarkan tanpa tutup. Oleh karena itu,
pada penelitian ini edukasi yang diberikan terfokus pada perbaikan cara penampungan air dan
upaya pemutusan rantai penyebaran penyakit DBD lainnya.
Pada pemantauan jentik pertama penulis jumpai kebiasaan warga menampung air, membiarkan
genangan, jarang menguras kamar mandi, keadaan rumah yang gelap, dan banyak gantungan baju.
Data yang diperoleh pada pemantauan jentik pertama adalah sebanyak -- rumah (-----%) terdapat
jentik nyamuk dan --- rumah (----%) bebas jentik nyamuk.
Pada pemantauan jentik kedua didapatkan sebanyak ------ rumah (-----%) terdapat jentik nyamuk,
dan --- rumah (--%) bebas jentik nyamuk.
Presentase rumah bebas jentik menurun dari awalnya ------% menjadi -----% diperkirakan karena
terjadinya peningkatan curah hujan sehingga tampungan air hujan bertambah, baik di dalam
maupun di luar rumah.
Selain digambarkan dengan peningkatan presentase bebas jentik, penulis menilai bahwa terjadi
perubahan perilaku warga terhadap rumah dan lingkungan sekitar, perubahan perilaku tersebut
antara lain jumlah tampungan air hujan mulai berkurang, ember tampungan air sudah diberi tutup
.Penulis juga mendapati kondisi kamar mandi yang sudah bersih dan tampak dikuras secara
berkala, dan pemberian ikan pada kolam-kolam yang sulit dikuras.
Curah hujan mempunyai kontribusi utama terhadap tersedianya habitat nyamuk Aedes aegypti dan
Ae. albopictus, peningkatan habitat perkembangan vektor diakibatkan oleh meningkatnya
frekuensi hari hujan sehingga menambah breeding pleaces didukung kombinasi antara hujan,
temperatur, sistem penyediaan air minum belum baik, kondisi lingkungan pemukiman perkotaan
yang padat serta tingginya tingkat mobilitas penduduk yang mendukung.
Gafik diatas menunjukkan hubungan antara curah hujan dengan kejadian DBD, namun pada tahun
2009 hal ini tidak menunjukkan hubungan yang nyata, hal ini dapat terjadi karena:
1.) Nyamuk Ae. Aegypti resisten terhadap fogging
Fogging seringkali menjadi pilihan utama masyarakat di Indonesia saat terjadi kasus DBD.
Padahal fogging hanya membunuh nyamuk vektor DHF yang dewasa saja sementara telur, jentik
nyamuk masih ada dan sesuai siklus hidup nyamuk, maka mereka akan menjadi nyamuk dewasa.
Hal ini yang mengakibatkan nyamuk resisten terhadap fogging yang diberikan terus menerus
karena pada dasarnya nyamuk beradaptasi dengan mutasi gen ke arah yang lebih baik. Tidak hanya
gen yang bermutasi, virus DHF pun menjadi lebih baik. Akibat resistensi ini memberikan dampak
lain yang lebih mengkhawatirkan yaitu munculnya varian baru yang dikenal sebagai “X-
musquitoes” atau “muxxxquitoes” yang ditengarai merupakan varian terganas dari nyamuk DBD
yang bertanggung jawab terhadap munculnya Dengue Shock Syndrome (DSS) dan kematian.
Kemungkinan besar hal tersebut terkait dengan ketidak patuhan petugas melaksanakan standar
operating prosedur fogging atau efek migrasi nyamuk di luar daerah fogging focus (meliputi area
200-300 m2 saja) sehingga ada kemungkinan nyamuk DBD yang punya jelajah terbang sampai
100 m memang tidak terpapar dosis insektisida secara adekuat. Hal ini yang mengakibatkan kasus
DHF tidak pernah menurun.
8.) Kualitas perumahan, jarak antar rumah, pencahayaan, bentuk rumah, bahan bangunan akan
mempengaruhi penularan. Bila di suatu rumah ada nyamuk penularnya maka akan menularkan
penyakit di orang yang tinggal di rumah tersebut, di rumah sekitarnya yang berada dalam jarak
terbang nyamuk dan orang-orang yang berkunjung kerumah itu.
Perlu diketahui bahwa upaya pemberantasan sarang nyamuk untuk memutus rantai penularan DBD
tidak selamanya bergantung pada angka bebas jentik (ABJ).
Dari grafik Angka Bebas Jentik dan Kasus DBD tahun 2009 maka dapat disimpulkan bahwa kasus DBD
tidak hanya dipengaruhi oleh angka bebas jentik. Hal ini dapat terlihat bahwa pada bulan Juli dengan
angka bebas jentik sebesar 83,89 dan kasus DBD mengalami peningkatan sebesar 166 kasus
dibandingkan dengan bulan sebelumnya yaitu bulan Mei, padahal bulan Mei dan bulan Juli memiliki
ABJ yang sama namun jumlah kasus DBD nya berbeda. Hal tersebut dapat terjadi karena masih
terdapatnya breeding place bagi nyamuk vektor DBD. Perlu diingat bahwa bebas jentik tersebut hanya
berdasarkan kondisi di dalam rumah/khususnya bak mandi padahal nyamuk vektor DBD tidak hanya
berkembang di kontainer/bak mandi melainkan juga di :
a. Tempat penampungan air yang bersifat tetap (TPA)
Penampungan ini biasanya dipakai untuk keperluan rumah tangga sehari-hari, pada umumnya
keadaan airnya adalah jernih, tenang dan tidak mengalir seperti bak mandi, bak WC, drum
penyimpanan air dan lain-lain.
b. Bukan tempat penampungan air (non TPA).
Adalah kontainer atau wadah yang bisa menampung air, tetapi bukan untuk keperluan sehari-hari
seperti tempat minum hewan piaraan, barang bekas (ban, kaleng, botol, pecahan piring/gelas), vas
atau pot bunga dan lain-lain.
c. Tempat perindukan alami.
Bukan tempat penampungan air tetapi secara alami dapat menjadi tempat penampungan air
misalnya potongan bambu, lubang pagar, pelepah daun yang berisi air dan bekas tempurung kelapa
yang berisi air.
Selain itu curah hujan juga memiliki hubungan terhadap kasus DBD didukung kombinasi antara
hujan, temperatur, sistem penyediaan air minum belum baik, kondisi lingkungan pemukiman yang
padat serta tingginya tingkat mobilitas penduduk yang mendukung.
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Peningkatan penyakit DBD dipengaruhi oleh berbagi faktor yaitu, cuaca, global warming,
curah hujan yang tinggi, pengelolaan sampah yang tidak baik, ketersediaan air bersih yang
kurang, kepadatan penduduk, mobilitas, dan jenis pemukiman (bentuk rumah dan
pencahayaan).
2. Belum terwujudnya perilaku hidup bersih dan sehat karena keterbatasan air bersih dan
curah hujan yang tinggi di kecamatan Simo khususnya dukuh Jering desa Wates.
3. Tempat umum seperti musholla dan daerah sekitar mata air tidak diperhatikan
kebersihannya.
4. Pemberian intervensi berupa edukasi kepada warga memberikan hasil yang positif, hal
tersebut terlihat dari peningkatan presentase rumah bebas jentik, perubahan perilaku warga
terhadap rumah dan lingkungan sekitar, perubahan perilaku tersebut antara lain jumlah
tampungan air hujan mulai berkurang, ember tampungan air/ gentong sudah diberi tutup
.Penulis juga mendapati kondisi kamar mandi yang sudah bersih dan tampak dikuras secara
berkala, dan pemberian ikan pada kolam-kolam yang sulit dikuras.
B. Saran
1. Diperlukan kerjasama lintas sektor untuk mengatasi permasalahan pokok di Dukuh Jering
yaitu dengan pengadaan sistem aliran air bersih yang baik.
2. Dilaksanakannya kerja bakti secara berkala untuk membersihkan sarana umum di Dukuh
Jering terutama pengelolaan sampah dan genangan air dengan baik.
3. Pemantauan jentik dilaksanakan secara mandiri oleh warga Dukuh Jering dan dapat
berkesinambungan.
4. Kegiatan pemberantasan sarang nyamuk dan pemantauan jentik dilakukan di dukuh/desa
lain di Kecamatan Simo yang terdapat insidensi DBD.
DAFTAR PUTAKA
Candra, Aryu, 2010. Demam Berdarah Dengue : Epidemiologi, Patogenesis, dan Faktor Risiko
Penularan. Aspirator Vol. 2 No. 2 Tahun 2010 : 110 - 119
Departemen kesehatan R.I., 2002. Pedoman Survey Entomologi DBD. Jakarta : Dirjen P2M dan
PL
Departemen Kesehatan R.I., 2004. Petunjuk Pelaksanaan Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam
Berdarah Dengeu (PSN DBD) oleh Juru Pemantau Jentik (Jumantik), Dirjen P2M dan PL. Jakarta
: Departemen Kesehatan RI
Hayani A., Ahmad Erlan, Yunus W., Samarang,2006. Pengaruh pelatihan guru UKS terhadap
efektivitas pemberantasan sarang nyamuk Demam Berdarah Dengue di Tingkat Sekolah Dasar,
Kota Palu, Sulawesi Tengah. Jurnal Ekologi Kesehatan 5(1): 376-379
Suhendro, Nainggolan, Chen, Pohan, 2006. “Demam Berdarah Dengue”. Disunting oleh Sudoyo,
Setyohadi, Alwi, Simadibrata, dan Setiati.Buku Ajar Ilmu Penyakit DalamJilid III. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia