Professional Documents
Culture Documents
Oleh :
Rahma Adilah B1A015074
Rizka Isnaeni B1A015108
Nurul Amalia B1B015014
Rombongan : I
Kelompok : 1
Asisten : Dayana Zulfadillah Intan
A. Latar Belakang
A. Tujuan
Tujuan praktikum kali ini yaitu untuk mengetahui cara pembuatan media
kultur.
II. TELAAH PUSTAKA
A. Materi
Alat yang digunakan dalam praktikum kali ini yaitu gelas ukur, hot plate &
stirrer, pH meter, beaker glass, labu Erlenmeyer, botol kultur, LAF, kompor gas,
mikropipet and tip dan panci.
Bahan yang digunakan dalam praktikum kali ini yaitu larutan stok A, larutan
stok B, larutan stok C, larutan stok D, larutan stok E, gula, akuades, agar, HCl, NaOH,
ZPT BAP dan IAA.
B. Metode
1. Siapkan alat dan bahan yang digunakan
2. Larutan stok A, B, C, D, E dicampurkan kemudian dihomogenkan dengan
magnetic stirrer
3. Gula ditambahkan dan dihomogenkan kembali
4. Setelah ditambahkan gula, ditambahkan agar sebagai pemadat
5. Aquades ditambahkan hingga volume nya 400 ml
6. Larutan media dibagi kedalam 4 beaker glass masing-masing 100 mL
7. Larutan media ditambahkan ZPT sesuai perlakuan dan ditambahkan akuades
sampai dengan 250 mL
8. pH diukur dengan pH meter jika <5,83 ditambahkan NaOH dan bila >5,83
ditambahkan HCl
9. Larutan media ditambahkan agar 2 gram.
10. Semua larutan yang sudah dicampur dimasak hingga mendidih, dipindahkan
ke botol kultur dan disterilisasi.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Gambar 4.1 Larutan stok A-E Gambar 4.2 Gula dimasukan sambil
dimasukan diaduk dengan magnetic stirer
Gambar 4.4 akuades dimasukan Gambar 4.5 larutan media dibagi kedalam
hingga volume 400 mL 4 beaker glass masing-masing 100 mL
Gambar 4.6 ZPT ditambahkan sesuai Gambar 4.7 pH diukur sampai 5,83
perlakuan yang dilakukan
Gambar 4.8 larutan media direbus hingga Gambar 4.9 larutan media yang sudah
mendidih direbus dipindahkan ke botol kultur
B. Pembahasan
Media merupakan suatu bahan yang penting untuk pertumbuhan kultur. Media
untuk pertumbuhan kultur dapat berupa media padat dan media cair. Media padat
biasanya digunakan untuk mengkulturkan kalus kemudian diinduksi menjadi tanaman
lengkap, sedangkan media cair biasanya digunakan untuk kultur sel. Komponen yang
penting dalam suatu media adalah senyawa anorganik, sumber karbon, vitamin, zat
pengatur tumbuh, dan suplemen organik (Yuwono, 2008). Media Dasar Murashige
Skoog (MS) yang digunakan pada praktikum ini termasuk media kultur yang
komposisi unsurnya lebih lengkap dibandingkan media dasar lainnya,walaupun
demikian perlu ditambah suplemen seperti air kelapa untuk mendorong pertumbuhan
jaringan, akan tetapi pada praktikum ini tidak dilakukan penambahan air kelapa.
Keistimewaan media MS adalah kandungan nitrat, kalium, dan amoniumnya yang
tinggi (Wetter & Constabel 1991).
Media murashige and skoog merupakan perbaikan komposisi media Skoog,
terutama kebutuhan garam anorganik yang mendukung pertumbuhan optimum pada
kultur jaringan. Media MS mengandung 40 mM N dalam bentuk NO3 dan 29 mM N
dalam bentuk NH4+. Kandungan N ini, lima kali lebih tinggi dari N total yang terdapat
pada media Miller, 15 kali lebih tinggi dari media tembakau Hildebrant, dan 19 kali
lebih tinggi dari media White. Kalium juga ditingkatkan sampai 20 mM, sedangkan P,
1.25 mM. Unsur makro lainnya konsentrasinya dinaikkan sedikit. Pertama kali unsur-
unsur makro dalam media MS dibuat untuk kultur kalus tembakau, tetapi komposisi
MS ini sudah umum digunakan untuk kultur jaringan jenis tanaman lain. Media MS
paling banyak digunakan untuk berbagai tujuan kultur (Hadioetomo, 1993). Media MS
mengandung hara makro dan mikro seperti NH4NO3, KNO3, CaCl3, 2H2O, MgSO4,
7H2O, KH2PO, FeSO4, NA2EDTA, MNSO4, CuSO4, CoCl2 dan CuSO4. Medium ini
umumnya menggunakan bahan bahan dengan tingkat kemurnian yang tinggi (pro-
analis) (Shintiavira et al., 2012).
Unsur hara di dalam media kultur tersusun atas beberapa komponen, sebagai
berikut
1. Hara makro dan hara mikro yang digunakan pada semua formulasi media kultur.
Media MS mengandung hara makro dan mikro seperti NH4NO3, KNO3, CaCl3,
2H2O, MgSO4, 7H2O, KH2PO, FeSO4, NA2EDTA, MNSO4, CuSO4, CoCl2 dan
CuSO4. Medium ini umumnya menggunakan bahan bahan dengan tingkat
kemurnian yang tinggi (pro-analis) (Shintiavira et al., 2012).
2. Vitamin-vitamin dan asam-asam amino serta N organik, umumnya ditambahkan
dalam jumlah yang bervariasi. Vitamin, asam amino dan bahan organic lain seperti
myo inositol merupakan komponen media yang berpengaruh baik terhadap
pertumbuhan kultur. Kelompok vitamin yang sering digunakan dalah dari
golongan vitamin B yaitu Thiamin-HCL (B1), Pyrodoxin-HCL (B6), ASAN
Nikotinat dan Riboflavin (B2) (Nugroho & Sugianto, 1997).
3. Sumber energi dan karbon berupa gula, merupakan keharusan, kecuali untuk
tujuan yang sangat khusus. Konsentrasi optimum sukrosa tergantung dari jenis
jaringan yang dikultur. Pada kultur kalus dan pucuk, konsentrasi sukrosa yang
digunakan adalah antara 2-4 % yang merupakan konsentrasi optimum. Namun
dalam kultur embrio, konsentrasi gula dapat mencapai 12 %.
Sumber karbon sangat penting untuk sel, jaringan, atau kultur organ untuk
regenerasi in vitro. Sukrosa hampir secara universal digunakan untuk tujuan
propagasi mikro, karena mudah digunakan (Gaurav et al., 2016).
4. Zat Pengatur Tumbuh (ZPT): ada beberapa jenis, antara lain: auxin, sitokinin,
geberelin, asam absisat, etilin dan sebagainya. ZPT merupakan komponen penting
dalam media kultur jaringan. Jenis dan konsentrasi ZPT yang digunakan sangat
tergantung pada jenis taman dan tujuan dari kultur tersebut (Nugroho & Sugianto,
1997).
5. Buffer (chelating agent). Penambahan asam amino seringkali juga bersifat sebagai
buffer organik. Penambahan KH2PO4 sendiri tidak efektif sebagai buffer. Banyak
peneliti terdahulu seperti Tausson dan Kordan (George & Sherringtone, 1984)
menyarankan untuk menambahkan Fe SO4 dan Na-EDTA dalam media untuk
bertindak sebagai buffer (Nugroho & Sugianto, 1997).
6. Bahan Pemadat. Bahan ini digunakan untuk membuat media padat, yang biasa
digunakan adalah agar. Keuntungan dari pemakain agar adalah Agar membeku
pada temperatur ≤ 45o C dan mencair pada temperature 100o C, sehingga dalam
kisaran temperatur kultur, agar akan berada dalam keadaan beku yang stabil. R
Tidak dicerna oleh enzim yang dihasilkan oleh jaringan tanaman. R Tidak
bereaksi dengan persenyawaan-persenyawaan penyusun media (Nugroho &
Sugianto, 1997).
7. Faktor penting lain adalah pH yang harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak
mengganggu fungsi membran sel dan pH dari sitoplasma (Nugroho & Sugianto,
1997).
Auksin umumnya berpengaruh terhadap pemanjangan sel, pembentukan kalus
dan akar adventif serta menghambat pembentukan tunas aksilar. Dalam konsentrasi
rendah auksin akan memacu pembentukan akar adventif, sedangkan dalam konsentrasi
tinggi mendorong pembentukan kalus (Pierik, 1997). Beberapa faktor yang perlu
diperhatikan dalam penggunaan zat pengatur tumbuh, antara lain : (1) jenis ZPT yang
akan digunakan, (2) konsentrasi ZPT, (3) urutan penggunaan, (4) periode masa induksi
dalam kultur tertentu, (5) kelemahan aktifitasnya (Lestari, 2008). Contoh auksin yang
sering dipakai dalam kultur jaringan adalah IAA (Indole Acetic Acid). Umumnya
auksin meningkatkan pemanjangan sel, pembelahan sel, dan pembentukan akar
adventif, dalam medium kultur auksin dibutuhkan untuk meningkatkan embryogenesis
somatic pada kultur suspense sel. Konsentrasi auksin yang tinggi akan merangsang
pembentukan kalus dan menekan morfogenesis (George dan Sherrington, 1984).
Sitokinin pada umumnya berperan dalam pengaturan pembelahan sel dan
morfogenesis. Aktivitas utama sitokinin adalah mendorong pembelahan sel,
menginduksi pembentukan tunas adventif dan dalam konsentrasi tinggi menghambat
inisiasi akar (Pierik, 1997). Sitokinin juga menghambat perombakan protein dan
klorofil dan menghambat penuaan (senescence) (Wattimena, 1988). Sitokinin terbagi
menjadi 2, yaitu sitokinin alami dan sintetik. Sitokinin alami di antaranya adalah
zeatin. Beberapa sitokinin sintetik yang umum digunakan dalam kegiatan kultur in
vitro adalah kinetin, BAP, Thidiazuron, PBA, 2CI-4PU dan 2,6 CI-4PU. Sitokinin
yang sering dipakai dalam kultur jaringan adalah BAP dan kinetin. Benzil Aminopurin
merupakan sitokinin sintetik turunan adenin yang sangat aktif dalam mendorong
pertumbuhan kalus tembakau. Bentuk isomer 1-bensil adenine mempunyai aktivitas
kimia yang rendah, sehingga untuk dapat aktif harus diubah menjadi 6-bensil adenine.
Sitokinin BAP berperan penting dalam menginduksi respon fisiologi seperti regulasi
pembelahan sel, diferensiasi jaringan dan organ serta biosintesis klorofil
(Nurmaningrum et al., 2017).
Hasil media yang telah dituang ke dalam tabung atau botol kultur selanjutnya
disterilkan dengan menggunakan autoklaf selama 20 menit dengan suhu 1210c
tekanan 15 psi hal ini bertujuan untuk bekerja secara aseptik dan media tidak
terkontaminasi selama proses pembuatannya. Sterilisasi sendiri dapat dilakukan
dengan beberapa cara yang umum digunakan adalah dengan autoklaf, pemanasan
kering dalam oven, penyaringan, dan sterilisasi dengan bahan kimia. Pemilihan cara
sterilisasi dipertimbangkan dari sifat bahan yang akan disetrilisasi. Media MS yang
telah disterilkan kemudian didingikan, setelah itu disimpan dalam kulkas dengan suhu
40c agar komposisi bahan dalam media tidak rusak. Media MS yang telah dibuat
diperoleh dalam keadaan steril artinya tidak terkontaminasi, dan digunakan dalam
praktikum selanjutnya.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Saran yang diberikan yaitu lebih diperhatikan lagi dalam masalah waktu agar
praktikum bisa dikerjakan sampai selesai oleh praktikan.
DAFTAR REFERENSI
Gaurav, N., Kumar, A., Singh, A. P & Grover, A. 2016. Effect of Supplementing
Mixture of Benzene Aminopurine (BAP) and Kinetin (KN) along with
Auxin 2,4 D on Growth of Callus in Murashine and Skoog Medium
Derived from Embryonic Cotyledon Explants of Withania somnifera.
Journal for Reseacrh, 1(12): 7-11.
George, E.F. & P.D. Sherrington. 1984. Plant Propagation By Tissue Culture.
Handbook And Directory Of Commercial Laboratories. England: Exegetics
Ltd.
Gunawan, L.W. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tanaman. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Lestari, E. 2008. Kultur Jaringan. Bogor: Penerbit Akademia.
Nugroho, A dan H. Sugianto. 1997. Pedoman Pelaksanaan Teknik Kultur Jaringan.
Jakarta: Penebar Swadaya.
Nurmaningrum, D., Nurchayati, Y & Setiari, N. 2017. Mikropropagasi Tunas Alfafa
(Medicago sativa L.) pada kombinasi Benzil amino purin (BAP) dan
Thidiazuron (TDZ). Buletin Anatomi dan Fisiologi, 2(2): 212-217.
Pierik, R. L. M. 1997. In Vitro Culture of Higher Plants. Netherands: Kluwer
Academic Publishers.
Sinthiavira, H., Soedarjo, M., Suryawati & Winarto, B. 2012. Studi Pengaruh
Substitusi Hara Makro Dan Mikro Media Ms Dengan Pupuk Majemuk Dalam
Kultur In Vitro Krisan. J Hort, 21(4): 334-341.
Trigiano, RN and Gray DJ. 2000. Plant Tissue Culture Concepts and Laboratory
Exercises. Boca Raton: CRC Press.
Wattimena, G.A. 1988. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Bogor: Pusat Antar
Universitas Institut Pertanian Bogor
Wattimena, G.A. 1992. Bioteknologi Tanaman. Bogor: IPB.
Wetter, L. R & Constabel F. 1991. Metode Kultur Jaringan Tanaman. Diterjemahkan
oleh Widianto MB. Bandung: ITB Press.
Yusnita. 2003. Kultur Jaringan Cara Memperbanyak Tanaman secara Efisien.
Bogor: Agromedia Pustaka.
Yuwono, T.P. 2008. Bioteknologi Pertanian. Yogyakarta : UGM Press.