You are on page 1of 8

A.

Manajemen Nyeri
1. Farmakologis (Analgesik)
Suatu zat yang digunakan dalam pengobatan untuk tujuan mengurangi atau menghilangkan
rasa nyeri tanpa menimbulkan efek sedasi maupun turunnya kesadaran
a. Opioid
Kelompok obat yang memiliki sifat seperti opium. Opium yang berasal dari getah Papaver
somniferum mengandung sekitar 20 jenis alkaloid diantaranya morfin, kodein, tebain, dan
papaverin. Analgesik opioid terutama digunakan untuk meredakan rasa nyeri, meskipun
juga memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain (Amir et al., 2007).
Ada tiga jenis utama reseptor opioid yaitu mu (μ), delta (δ), dan kappa (κ). Ketiga jenis
reseptor termasuk pada jenis reseptor yang berpasangan dengan protein G, dan memiliki
subtipe: mu1, mu2, delta1, delta2, kappa1, kappa2, dan kappa3. Karena suatu opioid
dapat berfungsi dengan potensi yang berbeda sebagai suatu agonis, agonis parsial, atau
antagonis pada lebih dari satu reseptor atau subtipe reseptor maka senyawa yang
tergolong opioid dapat memiliki efek farmakologik yang beragam (Amir et al., 2007).
Tabel 1. Kerja opioid pada reseptor opioid (Amir et al., 2007).
Reseptor
Obat
µ (mu) δ (delta) κ (Kappa)
Peptida Opioid
Enkefalin Agonis Agonis
β-endorfin Agonis Agonis
Dinorfin Agonis lemah
Agonis
Kodein Agonis lemah Agonis lemah
Morfin Agonis Agonis lemah Agonis lemah
Metadon Agonis
Meperidin Agonis
Fentanil Agonis
Agonis-Antagonis
Buprenofin Agonis parsial
Pentazosin Antagonis Agonis
Agonis parsial
Nalbufin Antagonis Agonis
Antagonis
Nalokson Antagonis Antagonis Antagonis

Reseptor μ memperantai efek analgesik mirip morfin, euphoria, depresi napas, miosis,
berkurangnya motilitas saluran cerna. Reseptor κ diduga memperantai analgesia seperti
yang ditimbulkan pentazosin, sedasi serta miosis dan depresi napas yang tak sekuat
agonis μ. Selain itu di susunan saraf pusat juga didapatkan reseptor δ yang selektif
terhadap enkefalin dan reseptor ε (epsilon) yang sangat selektif terhadap beta-endorfin
tetapi tidak mempunyai afinitas terhadap enkefalin. Terdapat bukti-bukti yang
menunjukkan bahwa reseptor δ memegang peranan dalam menimbulkan depresi
pernapasan yang ditimbulkan opioid. Dari penelitian pada tikus didapatkan bahwa
reseptor δ dihubungkan dengan berkurangnya frekuensi napas, sedangkan reseptor μ
dihubungkan dengan berkurangnya tidal volume. Reseptor μ ada dua jenis yaitu reseptor
μ1, yang hanya didapat di SSP dan dihubungkan dengan analgesia supraspinal,
pengelepasan prolaktin, hipotermia, dan katalepsi. Sedangkan reseptor μ2 dihubungkan
dengan penurunan tidal volume dan bradikardia. Analgesik yang berperan pada tingkat
spinal berinteraksi dengan reseptor δ dan κ (Amir et al., 2007).
Berdasarkan kerjanya pada reseptor, obat golongan opioid dibagi menjadi: (1) Agonis
penuh (kuat), (2) Agonis parsial (lemah sampai sedang), (3) Campuran agonis dan
antagonis, dan (4) Antagonis. Opioid golongan agonis kuat hanya mempunyai efek agonis,
sedangkan agonis parsial dapat menimbulkan efek agonis, atau sebagai antagonis dengan
menggeser agonis kuat dari ikatannya pada reseptor opioid dan mengurangi efeknya.
Opioid yang merupakan campuran agonis dan antagonis adalah opioid yang memiliki efek
agonis pada satu subtype reseptor opioid dan sebagai suatu parsial agonis atau antagonis
pada subtype reseptor opioid lainnya. Berdasarkan rumus bangunnya obat golongan
opioid dibagi menjadi derivat fenantren, fenilheptilamin, fenilpiperidin, morfinan, dan
Benzomorfan (Amir et al., 2007).
Tabel 2. Klasifikasi obat golongan opioid (Amir et al., 2007)
Struktur dasar Agonis kuat Agonis lemah Campuran antagonis
– sedang agonis-
antagonis
Fenantren Morfin Kodein Nalbufin Nalorfin
Hidromorfon Oksidokon Buprenorfin Nalokson
Oksimorfon Hidrokodon Naltrekson
Fenilheptilamin Metadon Propoksifen
Fenilpiperidin Meperidin Difenoksilat
Fentanil
Morfinan Levorfanol Butorfanol
Benzomorfan Pentazosin

b. Non Opioid
Setelah pasien pulih dari nyeri pasca operasi yang berat adalah waktu yang tepat untuk
penggunaan analgesik non opioid untuk pengobatan nyeri yang berulang. Salisilat dan
obat serupa lainnya mempunyai kemampuan menekan tanda dan gejala peradangan.
Obat-obat ini juga mempunyai efek antipiretik dan analgesik, tetapi efek anti
inflamasinyalah yang membuat obat-obat ini paling bermanfaat dalam tatalaksana
kelainan disertai nyeri (Guy, 1997; Bertram, 2010).
Aktivitas anti-inflamasi NSAID diperantai inhibisi biosintesis prostaglandin. Berbagai
macam NSAID mempunyai kemungkinan mekanisme kerja tambahan, termasuk inhibisi
kemotaksis, penurunan produksi interleukin-1, penurunan produksi radikal bebas dan
superoksida, dan gangguan dengan kejadian intrasel yang diperantarai kalsium (Bertram,
2010).
Aspirin, acetaminophen (paracetamol), dan non steroidal anti inflammatory drugs
(NSAIDs) berguna untuk bermacam-macam pasien. Agenagen ini berbeda dengan opioid
karena ada efek ceiling, tidak menimbulkan toleransi ataupun ketergantungan fisik dan
psikologis, sebagai antipiretik, dan mekanisme primer kerjanya adalah menghambat
enzim cyclooxygenase yang berarti menghambat sintesis prostaglandin (Guy, 1997).
Aspirin adalah salah satu analgesik nonnarkotik tertua. Agen ini secara umum aman, akan
tetapi tidak berarti tanpa komplikasi. Gangguan gaster dan perdarahan adalah komplikasi
yang paling sering. Hipersensitivitas bias mempunyai dua gambaran klinis yang berbeda.
Gambaran yang pertama memberikan reaksi respirasi dengan rhinitis dan asma.
Gambaran lainnya menunjukkan adanya urtikaria, gejala angioedema, dan hipotensi
dalam beberapa menit setelah pemberian obat (Guy, 1997; Bertram, 2010).
Acetaminophen adalah agen non salisilat yang mirip dengan aspirin pada efek analgesik
dan antipiretiknya, tetapi tidak mempunyai efek antiplatelet dan relatif lebih rendah pada
efek antiinflamasi. Pada dosis terapi, acetaminophen ditoleransi dengan baik dan tidak
berefek pada mukosa gaster. Pada pasien dengan alkoholisme kronis dan penyakit hati
bisa memperparah toksisitas hepar, biasanya dengan ikterus. Banyak NSAID bisa
digunakan untuk klinis. Beberapa adalah sama dengan aspirin, akan tetapi beberapa lebih
baik daripada aspirin. Ketorolac adalah satu-satunya NSAID yang bisa digunakan secara
parenteral. Jika nyeri persisten tidak berespon pada suatu agen tertentu dengan dosis
terapi maksimal, NSAID alternatif seharusnya diberikan (Guy, 1997; Bertram, 2010).
Semua NSAID menyebabkan efek samping pada tiga sisi; hematologis, gastrointestinal,
dan ginjal, yang mana bisa membatasi kegunaan mereka. Semua NSAID menghambat
agregasi platelet dengan menghambat sintesis prostaglandin secara reversibel.
Berkebalikan dengan aspirin, penghambatan ini hanya terjadi ketika konsentrasi obat
pada serum efektif. Penghambatan biasanya terjadi setelah lima kali waktu paruh
terlampaui. NSAID bisa berinteraksi dengan antikoagulan oral untuk memperpanjang
waktu prothrombin dan menyebabkan perdarahan (Guy, 1997; Bertram, 2010).
Komplikasi gastrointestinal minor seperti dispepsia, bisa terlihat pada awal terapi.
Kejadian serius, seperti ulkus gaster, perdarahan, dan perforasi bisa terjadi dengan atau
tanpa gejala peringatan. Pasien yang menerima dosis terapi steroid dan ulkus gaster yang
sebelumnya sudah ada, penyakit yang memperberat, dan usia lanjut adalah faktor resiko
komplikasi tersering yang ada. Maka pada pasien-pasien tadi digunakan dosis terendah
yang bisa memberikan analgesik adekuat. Penambahan ranitidine atau misoprostol akan
memberikan perlindungan parsial pada pembentukan ulkus. NSAID bisa menyebabkan
insufisiensi ginjal. Agen ini menurunkan sintesis prostaglandin pada ginjal. Level
prostaglandin yang adekuat penting untuk memelihara aliran darah yang tinggi pada
bagian ini. Peningkatan resiko yang bisa diderita adalah gagal ginjal, gagal jantung, atau
deplesi volume intravaskular. Pasien yang menerima ketorolac harus dimonitor dengan
hati-hati pada kerusakan ginjalnya (Guy, 1997; Bertram, 2010).
NSAID berguna sebagai analgesik pada nyeri pasca operatif yang ditambah dengan
adanya inflamasi. Kecuali ada kontraindikasi spesifik, NSAID bisa rutin diberikan pada
pasien pasca operasi.
Tabel 3. Klasifikasi dan mekanisme analgesik non opioid (Smith, 2013)
Tempat kerja Obat Mekanisme Akut Kronis
Perifer Paracetamol Multipel Ya Ya
NSAID Inhibisi mediator Ya Ya
local
COX-2 inhibitor Inhibisi mediator ya Ya
local
Capsaicin analog Desensitisasi Ya
lokal
Spinal Gabapentin Stabilisasi Ya
membrane
Ketamin NMDA Ya
Pregabalin Stabilisasi Ya
membran
Clonidine A-2 Ya Ya
adrenoreceptor
Pusat Carbamazepine Kanal natrium Ya
Cannabinoid Modulasi Ya
transmisi pusat
Tapentadol 5-HT dan Ya Ya
noradrenalin

Tabel 4. Dosis pemakaian analgesic non opioid pada nyeri akut (Guy, 1997)
Agen Dosis dewasa (mg Interval (jam) Dosis maksimum
PO) per hari (mg)
Salisilat
Aspirin 500-1000 4-6 6000
Diflunisal 1000 awal, 500 8-12 1500
berikutnya
Choline magnesium 1000-1500 12 4000
trisalycylate
(Trisilate)
Acetaminophen 500-1000 4-6 4000
(Paracetamol)
NSAID
Ibuprofen 200-400 12 1250
Naproxen 500 awal, 250 6-8 3000
berikutnya
Fenoprofen 300-600 8-12 150
Indomethacin 25 12 400
Sulindac 150-200 6 1000
Asam mefenamat 500 awal, 250 6 400
berikutnya
Meclofenamate 50 8 2000
Tolmetin 400 12 30
Piroxicam 10 6-8 300
Ketoprofen 50 6-12 200
Diclofenac 50-100 6 150
Ketorolac 30-60 24 20
Tenoxicam 20

c. Anastesi local
Anestesia lokal merupakan obat yang paling sering digunakan pada pemberian analgesia
secara regional dan lokal. Anesthesia lokal memiliki mekanisme kerja dengan memblok
kanal natrium sehingga menghambat eksitasi dan konduksi saraf (PP IDSAI, 2009).
Anestesia lokal dibagi dalam dua golongan menurut jenis ikatan karbon yang
menghubungkan bagian yang larut dalam lemak dengan yang larut dalam air, yaitu
golongan ester dan golongan amida yang menentukan penggunaannya dalam klinik.
Perbedaan ini menentukan bagaimana metabolism tubuh terhadap anestesia lokal
tertentu dan bagaimana kemungkinan terjadinya efek samping berupa alergi di antara
kedua golongan tersebut (PP IDSAI, 2009).
Golongan ester relatif tidak stabil dalam larutan dan cepat dihidrolisa oleh enzim
kolinesterase plasma dan menghasilkan para-amino benzoate (PABA) yang berhubungan
dengan kejadian alergi dan reaksi hipersensivitas. Sebaliknya, golongan amida relatif
stabil dalam larutan dan lebih lambat dimetabolisme dengan reaksi hipersentivitas yang
sangat jarang. Perbedaan penting secara klinik ini membuat golongan amida lebih umum
digunakan dibandng golongan ester (PP IDSAI, 2009).
Tabel 5. Golongan anastesi local (PP IDSAI, 2009)
Golongan Aimda Golongan Ester
Lidocaine Procaine
Bupivacaine Chlorprocaine
Ropivacaine Cocaine
Mepivacaine Tetracaine
Etidocaine Benzocaine
Prilocaine
Dibucaine

Anestesia lokal dapat diberikan secara topical, infiltrasi, blok saraf perifer, dan secara
neuroaksial seperti intratekal dan epidural. Menurut durasi kerjanya pada penggunaan
klinik dapat dibagi atas anestesia lokal dengan durasi kerja singkat sperti lidocaine dan
durasi kerja lama seperti bupivacaine, ropivacaine, dan levobupivacaine (PP IDSAI, 2009).
2. Non Farmakologis
Walaupun obat-obatan analgesic sangat mudah diberikan, namun banyak pasien dan dokter
kurang puas dengan pemberian jangka panjang untuk nyeri yang tidak terkait dengan
keganasan. Situasi ini mendorong dikembangkannya sejumlah metode nonfarmakologik
untuk mengatasi nyeri. Metode nonfarmakologik untuk mengendalikan nyeri dapat dibagi
menjadi dua kelompok yaitu terapi dan modalitas fisik serta strategi kognitif perilaku.
Sebagian dari modalitas ini mungkin berguna walaupun digunakkan secara tersendiri atau
digunakan sebagai adjuvant dalam penatalaksanaan nyeri (Price, 2013).
a. Terapi dan modalitas fisik
Terapi fisik untuk meredakan nyeri mencakup beragam bentuk stimulus kulit (pijat,
stimulus saraf dengan listrik transkutis, angkupuntur, aplikasi panas atau dingin,
olahraga). Dasar dari stimulasi kulit adalah teori pengendalian gerbang pada transmisi
nyeri. Stimulasi kulit akan merangsang serat-serat non-nosiseptif yang berdiameter besar
untuk “menutup gerbang” bagi serat-serat berdiameter kecil yang menghantarkan nyeri
sehingga nyeri dapat dikurangi. Dihipotesiskan bahwa stimulasi kulita juga dapat
menyebabkan tubuh mengeluarkan endorphin dan neurotransmitter lain yang
menghambat nyeri (Price, 2013).
Salah satu strategi stimulasi kulit tertua dan paling sering digunakkan adalah pemijatan
atau penggosokan. Pijat dapat dilakukan dengan jumlah tekanan dan stimulasi yang
bervariasi terhadap berbagai titik-titik pemico miofasial di tubuh. Untuk mengurangi
gesekan digunakkan minyak atau lotion. Piajt akan melemaskan ketegangan otot dan
meningkatkan sirkulasi local. Pijat punggung memiliki efek relaksasi yang kuat dan juga
apabila dilakukan oleh individu yang penuh perhatian, akan menghasilkan efek emosional
yang positif (Price, 2013).
Stimulasi saraf dengan listrik melalui kulit (TENS atau TNS) terdiri dari suatu alat yang
digerakkan oleh baterai yang mengirim impuls listrik lemah melalui elektroda yang
diletakkan di tubuh. Elektroda umumnya diletakkan di atas atau dekat dengan bagian
tubuh yang nyeri. TENS digunakkan untuk penatalaksanaan nyeri akut atau kronis, nyeri
paska operasi, nyeri punggung bawah, phantom limb pain, neuralgia perifer, dan artritis
rheumatoid. TENS didasarkan pada teori pengendalian gerbang (Price, 2013).
Akupungtur adalah teknik kuno dari Cina berupa insersi jarum halus ke dalam berbagai
“titik akupungtur” di seluruh tubuh untuk meredakan nyeri. Metode noninvansif lain
utnuk merangsang titik-titik pemicu adalah pemberian tekanan dengan ibu jari, suatu
teknik yang disebut akupresor. Akupungtur digunakkan secara luas di Cina dan pernah
digunakkan untuk melakukkan bedah mayor tanpa pemakaian anestetik. Pemakaian
akupungtur atau akupresur memerlukan pelatihan khusus dan mulai popular di Barat.
Efektivitas teori ini mungkin dapat dijelaskan dengan teori control gerbang dan teori
bahwa akupungtur merangsang pelepasan opioid endogen (Price, 2013).
Range-of-motion (ROM) exercise (pasif, dibantu, atau aktif) dapat digunakan untuk
melemaskan otot, memperbaiki sirkulasi, dan mencegah nyeri yang berkaitan dengan
kekakuan dan imobilitas (Price, 2013).
Aplikasi panas adalah tindakan sederhana yang telah lama diketahui sebagai metode yang
efektif untuk mengurangi nyeri atau tegang otot. Panas dapat disalurkan melalui konduksi
(botol air panas, bantalan pemanas listrik, lampu, kompres basah panas), konveksi
(whirlpool, sitz bath, berendam air panas, konversi (ultrasonografi, diatermi). Nyeri akibat
memar, spasem otot, dan artritis berespon baik terhadap panas karena melebarkan
pembuluh darah dan meningkatkan sirkulasi local, panas jangan digunakan setelah cedera
traumatic saat masih ada edema dan peradangan, karena meningkatkan aliran darah,
panas mungkin meredakan nyeri dengan menyingkirkan produk-produk inflamasi, seperti
bradikinin, histamine, dan prostaglandin yang menimbulkan nyeri local. Panas juga
mungkin merangsang serat saraf yang menutup gerbang sehingga transmisi impuls nyeri
ke medulla spinalis dan otak dapat dihambat (Price, 2013).
Berbeda dengan terapi panas, yang efektif untuk nyeri kronik, aplikasi dingin lebih efektif
untuk nyeri akut (misalnya trauma akibat luka bakar, tersayat, terkilir). Dingin dapat
disalurkan dalam bentuk berendam atau kompres air dingin, kantung es, aquamatic K
pads, dan pijat es. Aplikasi dingin mengurangi aliran darah ke suatu bagian dan
mengurangi perdarahan serta edema. Diperkirakan bahwa terapi dingin menimbulkan
efek analgetik dengan memperlambat kecepatan hantaran saraf sehingga impuls nyeri
yang sampai ke otak lebih sedikit. Mekanisme lain yang mungkin bekerja adalah bahwa
persepsi dingin menjadi dominan dan mengurangi persepsi nyeri (Price, 2013).
b. Strategi kognitif-perilaku
Strategi kognitif-perilaku bermanfaat dalam mengubah persepsi pasien terhadap nyeri,
mengubah perilaku nyeri, dan memberi pasien perasaan yang lebih mampu untuk
mengendalikan nyeri. Strategi-strategi ini mencakup relaksisai, penciptaan khayalan atau
imagery, hypnosis, dan biofeedback. Walaupun sebagian besar metode kognitif-perilaku
menekankan salah satu relaksasi atau pengalihan, pada praktiknya keduanya tidak dapat
dipisahkan (Price, 2013).
Pada metode-metode yang menekankan relaksasi otot, fasilitator meminta pasien untuk
memfokuskan diri ke kelompok otot yang berbeda dan secara voluntary mengontraksikan
dan melemaskan otot-otot tersebut secara beruruitan. Cara lain untuk menginduksi
relaksasi adalah olahraga bernafas dalam, meditasi, dan mendengarkan music-musik yang
menenangkan. Teknik-teknik relaksasi akan mengurangi rasa cemas, ketegangan otot,
dan stres emosi sehingga memutuskan siklus nyeri-stres-nyeri, saat nyeri dan stress aling
memperkuat (Price, 2013).
Teknik-teknik pengalihan mengurangi nyeri dengan memfokuskan perhatian pasien pada
stimulus lain dan menjauhi nyeri. Menonton tv, membaca buku, mendengarkan music,
dan melakukan percakapan adalah contoh-contoh umum pengalihan. Penciptaan
khayalan dengan tuntunan adalah suatu bentuk pengalihan fasilitator yng mendorong
pasien untuk memvisualisasikan atau memikirkan pemandangan atau sensasi yang
menyenangkan untuk mengalihkan perhatian menjauhi nyeri. Teknik ini sering
dikombinasikan dengan relaksasi. Hypnosis adalah suatu metode kognitif yang
bergantung pada bagaimana memfokuskan perhatian pasien menjauhi nyeri; metode ini
juga bergantung pada kemampuan baying-bayang yang paling konstruktif. Intervensi
pengalihan paling efektif apabila digunakan untuk nyeri akut tetapi juga dapat efektif
pada nyeri kronik. Kemampuan intervensi pengalihan untuk meredakan nyeri didasarkan
pada teori bahwa apabila terdapat dua rangsangan yang terpisah, focus pada salah satu
akan mengilangkan focus pada yang lain, namun semakin besar rasa nyeri, semakin
kompleks rangsangan pengalihan yang harus diberikan (Price, 2013).
Umpan-umpan hayati adalah suatu teknik yang bergantung pada kemampuan untuk
memberikan ukuran-ukuran terhadap parameter fisiologik tertentu kepada pasien
sehingga pasien dapat belajar mengendalikan parameter tersebut termasuk suhu kulit,
ketegangan otot, kecepatan denyut jantung, tekanan darah, dan gelombang otak. Alat
umpan balik hayati mengubah parameter-parameter fisiologik menjadi sinyal visual yang
dilihat oleh pasien. Pasien mula-mula dikenalkan kepada respon yang berkaitan dengan
stress seperti meningkatkan ketegangan otot, denyut jantung, atau tekanan darah dan
kemudia diajari bagaimana mengendalikan respon-respon ini melalui citra visual,
bernafas dalam, atau olahraga relaksasi. Biasanya diperlukan beberapa sesi sebelum
pasien dapat belajar mengendalikan respon mereka. Walaupun umpan balik hayati telah
digunakan untuk mengatasi berbagai masalah nyeri kronik, namun pemakaian metode ini
paling sering adalah untuk mengobati nyeri kepala. Tidak jelas bagaimana umpan balik
hayati mengurangi nyeri. Factor-faktor yang mungkin berperan memberi efek
menguntungkan adalah relaksasi otot, berkurangnya rasa cemas, pengalihan, dan adanya
perasaan peningkatan kemampuan mengendalikan gejala (Price, 2013).

You might also like