You are on page 1of 11

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Nyeri
Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan
sebagai akibat dari kerusakan jaringan yang aktual dan potensial, yang menyakitkan tubuh
serta diungkapkan oleh individu yang mengalaminya. Ketika suatu jaringan mengalami
cedera, atau kerusakan mengakibatkan dilepasnya bahan – bahan yang dapat menstimulus
reseptor nyeri seperti serotonin, histamin, ion kalium, bradikinin, prostaglandin, dan
substansi P yang akan mengakibatkan respon nyeri (Kozier dkk, 2009).
Definisi keperawatan menyatakan bahwa nyeri adalah sesuatu yang menyakitkan
tubuh yang diungkapkan secara subjektif oleh individu yang mengalaminya . Nyeri
dianggap nyata meskipun tidak ada penyebab fisik atau sumber yang dapat diidentiftkasi.
Meskipun beberapa sensasi nyeri dihubungkan dengan status mental atau status psikologis,
pasien secara nyata merasakan sensasi nyeri dalam banyak hal dan tidak hanya
membayangkannya saja. Kebanyakan sensasi nyeri adalah akibat dari stimulasi fisik dan
mental atau stimuli emosional (Potter & Perry, 2005).
Nyeri dapat mengenai semua orang, tanpa memandang jenis kelamin, umur, ras,
status sosial, dan pekerjaan. Tipe nyeri yang digunakan secara luas adalah nosiseptif,
inflamasi, neuropatik, dan fungsional. Saat ini mulai jelas mekanisme neurobiologi yang
mendasari berbagai tipe nyeri tersebut. Tipe nyeri yang berbeda memiliki faktor etiologik
yang berbeda pula. Nyeri tidaklah selalu berhubungan dengan derajat kerusakan jaringan
yang dijumpai. Nyeri bersifat individual yang dipengaruhi oleh genetik, latar belakang
kultural, umur dan jenis kelamin. Anak belum bisa mengungkapkan nyeri sedangkan orang
dewasa mengungkapkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Jenis
kelamin tidak mempunyai perbedaan yang signifikan, namun penelitian yang dilakukan
oleh Burn mempelajari bahwa kebutuhan narkotik pascaoperasi pada wanita lebih banyak
dibandingkan dengan pria. Pengalaman masa lalu dengan nyeri juga memberikan pengaruh
terhadap nyeri. Individu yang lebih berpengalaman dengan nyeri yang dialaminya, makin
takut individu tersebut terhadap peristiwa yang akan diakibatkan (Potter & Perry, 2005).
Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa nyeri adalah suatu
pengalaman sensori yang tidak menyenangkan dan menyakitkan bagi tubuh sebagai respon
karena adanya kerusakan atau trauma jaringan maupun gejolak psikologis yang
diungkapkan secara subjektif oleh individu yang mengalaminya.

B. Faktor-Faktor yang mempengaruhi nyeri


Reaksi fisik seseorang terhadap nyeri meliputi perubahan neurologis yang spesifik
dan sering dapat diperkirakan. Reaksi pasien terhadap nyeri dibentuk oleh berbagai faktor
yang saling berinteraksi mencakup umur, sosial budaya, status emosional, pengalaman
nyeri masa lalu, sumber nyeri dan dasar pengetahuan pasien. Kemampuan untuk
mentoleransi nyeri dapat menurun dengan pengulangan episode nyeri, kelemahan, marah,
cemas dan gangguan tidur. Toleransi nyeri dapat ditingkatkan dengan obat-obatan, alkohol,
hipnotis, kehangatan, distraksi dan praktek spiritual (Le Mone & Burke,2008).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi reaksi nyeri tersebut antara lain:
1. Pengalaman Nyeri Masa Lalu
Semakin sering individu mengalami nyeri, makin takut pula individu tersebut
terhadap peristiwa menyakitkan yang akan diakibatkan oleh nyeri tersebut. Individu ini
mungkin akan lebih sedikit mentoleransi nyeri, akibatnya ia ingin nyerinya segera reda
dan sebelum nyeri tersebut menjadi lebih parah. Individu dengan pengalaman nyeri
berulang dapat mengetahui ketakutan peningkatan nyeri dan pengobatannva tidak
adekuat (Potter & Perry, 2005).
2. Kecemasan
Ditinjau dari aspek fisiologis, kecemasan yang berhubungan dengan nyeri dapat
meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri. Secara klinik, kecemasan pasien
menyebabkan menurunnya kadar serotonin. Serotonin merupakan neurotransmitter
yang memiliki andil dalam memodulasi nyeri pada susunan saraf pusat. Hal inilah yang
mengakibatkan peningkatan sensasi nyeri (Le Mone & Burke, 2008).
3. Umur
Umumnya para lansia menganggap nyeri sebagai komponen alamiah dari proses
penuaan dan dapat diabaikan atau tidak ditangani oleh petugas kesehatan. Di lain pihak,
normalnya kondisi nyeri hebat pada dewasa muda dapat dirasakan sebagai keluhan
ringan pada dewasa tua. Orang dewasa tua mengalami perubahan neurofisiologi dan
mungkin mengalami penurunan persepsi sensori stimulus serta peningkatan ambang
nyeri. Selain itu, proses penyakit kronis yang lebih umum terjadi pada dewasa tua
seperti penyakit gangguan, kardiovaskuler atau diabetes mellitus dapat mengganggu
transmisi impuls saraf normal (Le Mone & Burke, 2008).
Cara lansia bereaksi terhadap nyeri dapat berbeda dengan cara bereaksi orang yang
lebih muda. Karena individu lansia mempunyai metabolisme yang lebih lambat dan
rasio lemak tubuh terhadap massa otot lebih besar dibanding individu berusia lebih
muda, oleh karenanya analgesik dosis kecil mungkin cukup untuk menghilangkan nyeri
pada lansia. Persepsi nyeri pada lansia mungkin berkurang sebagai akibat dari
perubahan patologis berkaitan dengan beberapa penyakitnya (misalnya diabetes), akan
tetapi pada individu lansia yang sehat persepsi nyeri mungkin tidak berubah (Le Mone
& Burke, 2008).
Diperkirakan lebih dari 85% dewasa tua mempunyai sedikitnya satu masalah
kesehatan kronis yang dapat menyebabkan nyeri. Lansia cenderung mengabaikan lama
sebelum melaporkannya atau mencari perawatan kesehatan karena sebagian dari
mereka menganggap nyeri menjadi bagian dari penuaan normal. Sebagian lansia
lainnya tidak mencari perawatan kesehatan karena mereka takut nyeri tersebut
menandakan penyakit yang serius. Penilaian tentang nyeri dan ketepatan pengobatan
harus didasarkan pada laporan nyeri pasien dan pereda ketimbang didasarkan pada usia
(Potter & Perry, 2005).
4. Jenis Kelamin
Karakteristik jenis kelamin dan hubungannya dengan sifat keterpaparan dan tingkat
kerentanan memegang peranan tersendiri. Berbagai penyakit tertentu ternyata erat
hubungannya dengan jenis kelatnin, dengan berbagai sifat tertentu. Penyakit yang
hanya dijumpai pada jenis kelamin tertentu, terutama yang berhubungan erat dengan
alat reproduksi atau yang secara genetik berperan dalam perbedaan jenis kelamin (Le
Mone & Burke , 2008).
Di beberapa kebudayaan menyebutkan bahwa anak laki-laki harus berani dan tidak
boleh menangis, sedangkan seorang anak perempuan boleh menangis dalam situasi
yang sama. Toleransi nyeri dipengaruhi oleh faktor-faktor biokimia dan merupakan hal
yang unik pada setiap individu tanpa memperhatikan jenis kelamin. Meskipun
penelitian tidak menemukan perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam
mengekspresikan nyerinya, pengobatan ditemukan lebih sedikit pada perempuan.
Perempuan lebih suka mengkomunikasikan rasa sakitnya, sedangkan laki-laki
menerima analgesik opioid lebih sering sebagai pengobatan untuk nyeri (Potter &
Perry, 2005).
5. Sosial Budaya
Mengenali nilai-nilai kebudayaan yang dimiliki seseorang dan memahami mengapa
nilai-nilai ini berbeda dari nilai-nilai kebudayaan lainnya dapat membantu untuk
menghindari mengevaluasi perilaku pasien berdasarkan pada harapan dan nilai budaya
seseorang. Mengetahui perbedaan budaya akan mempunyai pemahaman yang lebih
besar tentang nyeri dan akan lebih akurat dalam rnengkaji nyeri dan reaksi perilaku
terhadap nyeri juga efektif dalarn menghilangkan nyeri (Potter & Perry, 2005).
6. Nilai Agama
Pada beberapa agama, individu menganggap nyeri dan penderitaan sebagai cara
untuk membersihkan dosa. Pemahaman ini membantu individu menghadapi nyeri dan
menjadikan sebagai sumber kekuatan. Pasien dengan kepercayaan ini mungkin
menolak analgetik dan metode penyembuhan lainnya; karena akan mengurangi
persembahan mereka (Potter & Perry, 2005).
7. Lingkungan dan Dukungan Orang Terdekat
Lingkungan dan kehadiran dukungan keluarga juga dapat mempengaruhi nyeri
seseorang. Pada beberapa pasien yang mengalami nyeri seringkali bergantung pada
anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan,
perlindungan. Walaupun nyeri tetap terasa, tetapi kehadiran orang yang dicintainya
akan dapat meminimalkan rasa kecemasan dan ketakutan. Apabila keluarga atau teman
tidak ada seringkali membuat nyeri pasien tersebut semakin tertekan. Pada anak-anak
yang mengalami nyeri kehadiran orang tua sangat penting (Potter & Perry, 2005).

C. Klasifikasi Nyeri
Berdasarkan jenisnya nyeri juga dapat diklasifikasikan menjadi (Latief 2001,
Ballantyne 2008):
1. Nyeri nosiseptif
Karena kerusakan jaringan baik somatik maupun viseral. Stimulasi nosiseptor baik
secara langsung maupun tidak langsung akan mengakibatkan pengeluaran mediator
inflamasi dari jaringan, sel imun dan ujung saraf sensoris dan simpatik.
2. Nyeri neurogenik
Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer pada sistem
saraf perifer. Hal ini disebabkan oleh cedera pada jalur serat saraf perifer, infiltrasi sel
kanker pada serabut saraf, dan terpotongnya saraf perifer. Sensasi yang dirasakan
adalah rasa panas dan seperti ditusuk-tusuk dan kadang disertai hilangnya rasa atau
adanya rasa tidak enak pada perabaan. Nyeri neurogenik dapat menyebakan terjadinya
allodynia. Hal ini mungkin terjadi secara mekanik atau peningkatan sensitivitas dari
noradrenalin yang kemudian menghasilkan sympathetically maintained pain (SMP).
SMP merupakan komponen pada nyeri kronik. Nyeri tipe ini sering menunjukkan
respon yang buruk pada pemberian analgetik konvensional.
3. Nyeri psikogenik
Nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya cemas dan depresi.
Berdasarkan Klasifikasi yang dikembangkan oleh IASP didasarkan pada lima aksis yaitu:
Aksis I : regio atau lokasi anatomi nyeri
Aksis II : sistem organ primer di tubuh yang berhubungan dengan
timbulnya nyeri
Aksis III : karakteristik nyeri atau pola timbulnya nyeri (tunggal, reguler,
kontinyu)
Aksis IV : waktu mula/onset terjadinya nyeri
Aksis V : etiologi nyeri
Berdasarkan timbulnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi (Latief 2001):
1. Nyeri akut
Nyeri yang timbul mendadak dan berlangsung sementara. Nyeri ini ditandai dengan
adanya aktivitas saraf otonom seperti : takikardi, hipertensi, hiperhidrosis, pucat,
midriasis dan perubahan wajah seperti menyeringai atau menangis. Bentuk nyeri akut
dapat berupa:
a. Nyeri somatik luar : nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa
b. Nyeri somatik dalam : nyeri tumpul pada otot rangka, sendi dan jaringan ikat
c. Nyeri viseral : nyeri akibat disfungsi organ viseral
2. Nyeri kronik
Nyeri berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa tanda-tanda aktivitas otonom
kecuali serangan akut. Nyeri tersebut dapat berupa nyeri yang tetap bertahan sesudah
penyembuhan luka (penyakit atau operasi) atau awalnya berupa nyeri akut lalu menetap
sampai melebihi 3 bulan. Nyeri ini disebabkan oleh :
a. Kanker akibat tekanan atau rusaknya serabut saraf
b. Non kanker akibat trauma, proses degenerasi dll
Berdasakan derajat nyeri dikelompokan menjadi:
1. Nyeri ringan adalah nyeri hilang timbul, terutama saat beraktivitas sehari hari dan
menjelang tidur.
2. Nyeri sedang nyeri terus menerus, aktivitas terganggu yang hanya hilang bila penderita
tidur.
3. Nyeri berat adalah nyeri terus menerus sepanjang hari, penderita tidak dapat tidur dan
sering terjaga akibat nyeri.

D. Fisiologi Nyeri
Deskripsi mekanisme dasar terjadinya nyeri secara klasik dijelaskan dengan empat
proses yaitu transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi. Transduksi adalah proses
konversi energi dari rangsangan noksius (suhu, mekanik, kimia) menjadi energi listrik
(impuls saraf) oleh reseptor sensorik untuk nyeri (nosiseptor). Sedangkan transmisi adalah
proses penyampaian impuls saraf yang terjadi akibat adanya rangsangan di perifer ke pusat.
Modulasi adalah proses pengaturan impuls yang dihantarkan yang dapat terjadi di setiap
tingkat, namun biasanya diartikan sebagai pengaturan yang dilakukan oleh otak terhadap
proses di kornu dorsalis medula spinalis. Persepsi merupakan proses apresiasi atau
pemahaman dari impuls saraf yang sampai ke sistem saraf pusat sebagai rasa nyeri (Miller,
2010).
Rangkaian proses yang menyertai antara kerusakan jaringan sampai dirasakan nyeri
adalah suatu proses elektrofisiologis yang disebut nosisepsi. Ada 4 proses yang mengikuti
suatu proses nosisepsi yaitu (Stoelting, 2006; Morgan dkk, 2006) :
1. Tranduksi
Perubahan rangsang nyeri (noxious stimuli) menjadi aktifitas listrik pada ujung-ujung
saraf sensoris. Zat-zat algesik seperti prostaglandin, serotonin, bradikinin, leukotrin,
substansi P, kalium, histamin, asam laktat, dan lain-lain akan mengaktifkan atau
mensensitisasi reseptor-reseptor nyeri. Reseptor nyeri merupakan anyaman ujung-
ujung bebas serat-serat aferen A delta dan C. Reseptor-reseptor ini banyak dijumpai
dijaringan kulit, periosteum, di dalam pulpa gigi dan jaringan tubuh yang lain. Serat
saraf aferen A delta dan C adalah serat-serat saraf sensorik yang mempunyai fungsi
meneruskan sensorik nyeri dari perifir ke sentral ke susunan saraf pusat. Interaksi
antara zat algesik dengan reseptor nyeri menyebabkan terbentuknya impuls nyeri.
2. Transmisi
Proses perambatan impuls nyeri melalui A-delta dan C serabut yang menyusul proses
tranduksi. Oleh serat aferen A-delta dan C impuls nyeri diteruskan ke sentral, yaitu ke
medula spinalis, ke sel neuron di kornu dorsalis. Serat aferen A-delta dan C yang
berfungsi meneruskan impuls nyeri mempunyai perbedaan ukuran diameter. Serat A-
delta mempunyai diameter lebih besar dibanding dengan serat C. Serat A-delta
menghantarkan impuls lebih cepat (12-30 m/detik) dibandingkan dengan serat C (0.5-
5 m/dtk). Sel-sel neuron di medula spinalis kornu dorsalis yang berfungsi dalam
fisiologi nyeri ini disebut sel-sel neuron nosisepsi. Pada nyeri akut, sebagian dari
impuls nyeri tadi oleh serat aferen A-delta dan C diteruskan langsung ke sel-sel neuron
yang berada di kornu antero-lateral dan sebagian lagi ke sel-sel neuron yang berada di
kornu anterior medula spinalis. Aktifasi sel-sel neuron di kornu antero-lateral akan
menimbulkan peningkatan tonus sistem saraf otonom simpatis dengan segala efek yang
dapat ditimbulkannya. Sedangkan aktifasi sel-sel neuron di kornu anterior medulla
spinalis akan menimbulkan peningkatan tonus otot skelet di daerah cedera dengan
segala akibatnya.
3. Modulasi
Merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin, NA, 5HT) dengan
input nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri yang diteruskan oleh serat-
serat A-delta dan C ke sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis medulla spinalis tidak
semuanya diteruskan ke sentral lewat traktus spinotalamikus. Didaerah ini akan terjadi
interaksi antara impuls yang masuk dengan sistem inhibisi, baik sistem inhibisi
endogen maupun sistem inhibisi eksogen. Tergantung mana yang lebih dominan. Bila
impuls yang masuk lebih dominan, maka penderita akan merasakan sensibel nyeri.
Sedangkan bila efek sistem inhibisi yang lebih kuat, maka penderita tidak akan
merasakan sensibel nyeri.
4. Persepsi
Impuls yang diteruskan ke kortex sensorik akan mengalami proses yang sangat
kompleks, termasuk proses interpretasi dan persepsi yang akhirnya menghasilkan
sensibel nyeri.
Nyeri diawali sebagai pesan yang diterima oleh saraf-saraf perifer. Zat kimia
(substansi P, bradikinin, prostaglandin) dilepaskan, kemudian menstimulasi saraf perifer,
membantu mengantarkan pesan nyeri dari daerah yang terluka ke otak. Sinyal nyeri dari
daerah yang terluka berjalan sebagai impuls elektrokimia di sepanjang nervus ke bagian
dorsal spinal cord (daerah pada spinal yang menerima sinyal dari seluruh tubuh). Pesan
kemudian dihantarkan ke thalamus, pusat sensoris di otak di mana sensasi seperti panas,
dingin, nyeri, dan sentuhan pertama kali dipersepsikan. Pesan lalu dihantarkan ke cortex,
di mana intensitas dan lokasi nyeri dipersepsikan. Penyembuhan nyeri dimulai sebagai
tanda dari otak kemudian turun ke spinal cord. Di bagian dorsal, zat kimia seperti
endorphin dilepaskan untuk mcngurangi nyeri di daerah yang terluka (Potter & Perry,
2005).
Di dalam spinal cord, ada gerbang yang dapat terbuka atau tertutup. Saat gerbang
terbuka, impuls nyeri lewat dan dikirim ke otak. Gerbang juga bisa ditutup. Stimulasi saraf
sensoris dengan cara menggaruk atau mengelus secara lembut di dekat daerah nyeri dapat
menutup gerbang sehingga rnencegah transmisi impuls nyeri. Impuls dari pusat juga dapat
menutup gerbang, misalnya motivasi dari individu yang bersemangat ingin sembuh dapat
mengurangi dampak atau beratnya nyeri yang dirasakan (Potter & Perry, 2005).
Kozier, dkk. (2009) mengatakan bahwa nyeri akan menyebabkan respon tubuh
meliputi aspek pisiologis dan psikologis, merangsang respon otonom (simpatis dan
parasimpatis respon simpatis akibat nyeri seperti peningkatan tekanan darah, peningkatan
denyut nadi, peningkatan pernapasan, meningkatkan tegangan otot, dilatasi pupil, wajah
pucat, diaphoresis, sedangkan respon parasimpatis seperti nyeri dalam, berat , berakibat
tekanan darah turun nadi turun, mual dan muntah, kelemahan, kelelahan, dan pucat .
Pada kasus nyeri yang parah dan serangan yang mendadak merupakan ancaman
yang mempengaruhi manusia sebagai sistem terbuka untuk beradaptasi dari stressor yang
mengancam dan menganggap keseimbangan. Hipotalamus merespon terhadap stimulus
nyeri dari reseptor perifer atau korteks cerebral melalui sistem hipotalamus pituitary dan
adrenal dengan mekanisme medula adrenal hipofise untuk menekan fungsi yang tidak
penting bagi kehidupan sehingga menyebabkan hilangnya situasi menegangkan dan
mekanisme kortek adrenal hopfise untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan
elektrolit dan menyediakan energi kondisi emergency untuk mempercepat penyembuhan.
Apabila mekanisme ini tidak berhasil mengatasi stressor (nyeri) dapat menimbulkan respon
stress seperti turunnya sistem imun pada peradangan dan menghambat penyembuhan dan
kalau makin parah dapat terjadi syok ataupun perilaku yang meladaptif (Potter & Perry,
2005).

E. Instrumen Penilaian Nyeri


Menurut JCAHO (Joint Commision on Accreditation of Healthcare Organizations)
pada tahun 2001, penilaian nyeri merupakan tanda vital yang kelima yang harus kita nilai
pada setiap pasien. Penilaian nyeri yang teratur dan berulang harus dilakukan untuk menilai
keadekuatan terapi analgesia yang sedang berjalan. Frekuensi penilaian nyeri tergantung
dari durasi dan beratnya nyeri, kebutuhan serta respon pasien serta jenis obat dan intervensi
yang digunakan. Penilaian rasa nyeri pada pasien pascaoperasi harus meliputi penilaian
pada kondisi statik (saat istirahat, tidak bergerak) dan pada kondisi dinamis (saat bergerak,
duduk, batuk). Secara garis besar, penilaian nyeri dibagi menjadi dua, yaitu penilaian
unidimensional dan penilaian multidimensional (Cousin, 2010).
Penilaian unidimensional merupakan skala untuk menilai intensitas nyeri ataupun
tingkat berkurangnya nyeri setelah suatu intervensi obat analgesia. Dalam menilai respon
terhadap suatu terapi biasanya dipakai skala penurunan nyeri dan bukan intensitas nyerinya
(Cousin, 2010). Skala kategori menggunakan kata-kata untuk mendeskripsikan intensitas
nyeri atau derajat penurunan nyeri. Verbal descriptive scale (VDS) biasanya menggunakan
kata tidak nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang, nyeri berat atau sangat nyeri. VDS pertama
kali disampaikan oleh Keele pada tahun 1948. VDS lebih sulit digunakan pada pasien
pascaoperasi dibandingkan dengan skala numerikal dan kurang sensitif untuk menilai hasil
terapi analgesia dibandingkan dengan Visual analog scale (VAS) (Ballantyne, 2008). Skala
kategori mempunyai keuntungan karena sederhana, mudah, dan cepat dilakukan, dan
berguna pada pasien-pasien tua atau pasien dengan gangguan penglihatan. Akan tetapi
terbatasnya pilihan kategori dibandingkan dengan numerical pain scales (NPS) membuat
skala kategori lebih sulit untuk mengetahui adanya perbedaan terhadap hasil terapi
analgesia yang diberikan (Cousin, 2010; Deloach dkk., 1998).
Skala numerikal terdapat dalam bentuk sebagai kalimat verbal ataupun tertulis.
Skala numerikal dalam kalimat verbal dikenal sebagai numerical rating scale (NRS),
disampaikan oleh Downie pada tahun 1978, dimana pasien diminta untuk menyatakan
tingkat nyerinya dalam skala numerikal, biasanya antara 0-10 dimana 0 sebagai tidak nyeri,
dan 10 sebagai sangat nyeri. NRS merupakan salah satu instrumen pengukur nyeri yang
sering digunakan dalam penelitian. Skala numerikal dalam bentuk tertulis dikenal sebagai
VAS dan saat ini merupakan pengukur nyeri yang paling luas digunakan dalam praktek
klinis maupun dalam penelitian. VAS berupa suatu garis lurus horizontal dengan panjang
100 mm, pada ujung kiri ditandai dengan tidak ada nyeri sedangkan pada ujung kanan
ditandai dengan sangat nyeri, kemudian pasien diminta untuk memberi tanda pada garis
tersebut yang kemudian akan diukur jaraknya dari sebelah kiri. Jarak tersebut dihitung
dalam satuan milimeter (mm) dan mencerminkan tingkat nyeri yang dialami pasien. Selain
dalam posisi horizontal, VAS juga dapat diposisikan vertikal dan hasilnya tetap valid.
Interpretasi nilai VAS sangat bervariasi tergantung dari definisi yang digunakan, akan
tetapi interpretasi nilai VAS yang paling banyak digunakan yaitu nilai <40 mm sebagai
nyeri ringan, 41-70 mm sebagai nyeri sedang, dan >71 mm sebagai nyeri berat. Hasil dari
penilaian VAS ini dapat digunakan sebagai salah satu pedoman dalam menyesuaikan dosis
obat analgetik yang diberikan (Aubrun dkk., 2003; Bodian dkk., 2001).
Skala ini mempunyai keuntungan oleh karena sederhana, mudah dan cepat
menggunakannya, memungkinkan pasien menentukan sendiri tingkat nyerinya dalam
rentang yang cukup lebar. Akan tetapi dalam menentukan skala ini diperlukan konsentrasi
dan koordinasi yang cukup baik sehingga tidak dapat dipergunakan pada anak-anak
(Cousin, 2010). Perubahan nilai VAS juga mempengaruhi tingkat kepuasan pasien.
Penurunan nilai VAS kira-kira 10 mm atau 15% dikatakan sebagai nyeri sedikit menurun,
penurunan nilai 20-30 mm atau 33% dianggap sebagai penurunan nyeri yang bermakna
dari sudut pasien dan penurunan VAS hingga 66% dianggap sebagai menghilangnya nyeri
yang substansial.
Penilaian multidimensional tidak hanya menilai intensitas nyeri, tapi juga
menghasilkan informasi tentang karakteristik nyeri dan dampaknya terhadap individu
pasien. Salah satu penilaian multidimensional yang sering dipakai adalah the McGill Pain
Questionaire (MPQ). MPQ dikembangkan oleh Melzack pada tahun 1987 untuk
memperoleh penilaian kualitatif dan kuantitatif dari nyeri yang dirasakan oleh pasien. MPQ
menghasilkan dua nilai global, yaitu pain rating index dan intensitas nyeri terkini. MPQ
terbukti sebagai penilaian nyeri yang valid dan dapat dipercaya. Pain rating index diperoleh
dari jumlah nilai dari 20 pertanyaan yang dijawab oleh pasien yang mendeskripsikan segi
sensoris, afektif, dan dimensi nyeri. Intensitas nyeri terkini berupa skala nyeri dari 0-5,
dimana 0 = tidak nyeri, 1 = nyeri ringan, 2 = merasa tidak nyaman, 3 = terganggu oleh
nyeri, 4 = sangat terganggu oleh nyeri, 5 = sangat tersiksa oleh nyeri.

You might also like