You are on page 1of 17

BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA

A. PENDAHULUAN
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) / pembesaran prostat jinak
adalah suatu keadaan histologis yang dialami oleh kebanyakan pria
lanjut usia. Secara makroskopik ditandai dengan pembesaran kelenjar
prostat yang secara histologis disebabkan oleh hiperplasia stroma dan
kelenjar sel prostat yang progresif. BPH adalah proses patologik yang
berkontribusi terhadap timbulnya Lower Urinary Tract Symptoms
(LUTS) pada pria lanjut usia. Meskipun BPH tidak mengancam jiwa,
manifestasi klinis sebagai LUTS dapat menurunkan kualitas hidup
pasien. LUTS terdiri dari gejala-gejala yang mengganggu seperti,
dysuria, frekuensi (berkemih lebih sering dari normal), urgensi
(perasaan berkemih yang sulit ditahan), serta nokturia (terbangun
untuk berkemih beberapa kali pada malam hari), dan gejala-gejala
obstruksi berkemih seperti, aliran lambat, keragu-raguan (sulit untuk
memulai proses berkemih), intermitten, mengedan saat berkemih, rasa
tidak puas berkemih, dan menetesnya urine di akhir berkemih.
Masalah seperti LUTS dapat terjadi pada lebih dari 30% pria diatas 65
tahun.1,2
Dalam perkembangannya, BPH dapat berkembang menjadi benign
prostatic enlargement (BPE), benign prostatic obstruction (BPO), dan
lower urinary tract symptoms (LUTS).1

B. ANATOMI PROSTAT
Kelenjar prostat berukuran seperti kacang kenari dan mengelilingi
bagian leher vesika urinaria dan uretra (saluran yang membawa urine
dari vesika urinaria). Prostat terbentuk dari otot dan kelenjar, dengan
saluran yang terbuka menuju bagian prostat pada uretra. Prostat terdiri
dari 3 lobus, yaitu lobus tengah dan 2 lobus pada tiap sisinya.3

1
Kelenjar prostat normal memiliki volume sekitar 20 gram, panjang 3
cm, lebar 4 cm, dan kedalaman 2 cm. Semakin bertambahnya usia
pada pria, kelenjar prostat akan memiliki ukuran yang bervariasi, yang
dapat mengarah ke pembesaran prostat jinak (BPH). Kelenjar prostat
terletak pada posterior dari os symphisis pubis, superior dari membran
perineum, inferior dari vesika urinaria, dan anterior rectum.3
Menurut klassifikasi Lowsley; prostat terdiri dari lima lobus: anterior,
posterior, medial, lateral kanan dan lateral kiri. Sedangkan menurut Mc
Neal, prostat dibagi atas : zona perifer, zona sentral, zona transisional,
segmen anterior dan zona spingter preprostat. Prostat normal terdiri
dari 50 lobulus kelenjar. Duktus kelenjar-kelenjar prostat ini lebih
kurang 20 buah, secara terpisah bermuara pada uretra prostatika,
dibagian lateral verumontanum, kelenjar-kelenjar ini dilapisi oleh
selapis epitel torak dan bagian basal terdapat sel-sel kuboid.4,5
Prostat ditutupi oleh kapsul yang tersusun atas kolagen, elastin, dan
sbagian besar otot polos. Prostat diselimuti oleh 3 lapisan fascia yang
berbeda pada aspek anterior, lateral, dan posterior.3

Gambar 1. Anatomi Prostat

2
C. TERMINOLOGI
Benign Prostatic Hyperplasia paling sering dialami pada pria tua dan
paling banyak disebabkan oleh obstruksi aliran buli-buli. Kata “Benign
Prostatic Hypertrophy” adalah penamaan lama untuk kondisi seperti
ini, namun sejak ditemukan juga adanya peningkatan dari jumlah
epithelial dan sel stroma di dalam area periurethral prostat, bukan
merupakan suatu pembesaran dari sel, namun lebih kepada
penamaan “Hyperplasia”.6

D. EPIDEMIOLOGI
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)/ pembesaran prostat jinak
merupakan penyakit pada laki-laki usia diatas 50 tahun yang sering
dijumpai. Karena letak anatominya yang mengelilingi uretra,
pembesaran dari prostat akan menekan lumen uretra yang
menyebabkan sumbatan dari aliran kandung kemih. Signifikan
meningkat dengan meningkatnya usia. Pada pria berusia 50 tahun
angka kejadiannya sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun sekitar 80%.
Sekitar 50% dari angka tersebut diatas akan menyebabkan gejala dan
tanda klinik.4
Di Indonesia BPH merupakan urutan kedua setelah batu saluran
kemih dan diperkirakan ditemukan pada 50% pria berusia diatas 50
tahun dengan angka harapan hidup rata-rata di Indonesia yang sudah
mencapai 65 tahun dan diperkirakan bahwa lebih kurang 5% pria
Indonesia sudah berumur 60 tahun atau lebih. Kalau dihitung dari
seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah 200 juta lebih, kira-kira
100 juta terdiri dari pria, dan yang berumur 60 tahun atau lebih kira-kira
5 juta, sehingga diperkirakan ada 2,5 juta laki-laki Indonesia yang
menderita BPH.4

3
E. ETIOLOGI
Penyebab BPH masih belum diketahui. Tidak ada informasi pasti
tentang keterlibatan faktor resiko. Selama berabad-abad, telah
diketahui bahwa BPH terjadi terutama pada pria tua dan BPH tidak
terjadi pada pria yang testisnya telah diangkat sebelum pubertas.
Berdasarkan alasan ini, para peneliti memahami bahwa penuaan dan
perkembangan testis merupakan faktor yang berhubungan dengan
terjadinya BPH. Diduga adanya ketidak seimbangan hormonal oleh
karena proses penuaan. Salah satu teori adalah teori Testosteron (T)
yaitu T bebas yang dirubah menjadi Dehydrotestosteron (DHT) oleh
enzim 5 a reduktase (5AR) yang merupakan bentuk testosteron yang
aktif yang dapat ditangkap oleh reseptor DHT di dalam sitoplasma sel
prostat yang kemudian bergabung dengan reseptor inti sehingga dapat
masuk kedalam inti untuk mengadakan inskripsi pada RNA sehingga
akan merangsang sintesis protein growth factor yang memacu
pertumbuhan kelenjar prostat . Pada berbagai penelitian, aktivitas
enzim 5 α – reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak
pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat menjadi lebih sensitif
terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan
dengan prostat normal.4,5,7

Gambar 2. Etiologi dan patofisiologi BPH

4
Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron, interaksi stroma-
epitel, berkurangnya kematian sel prostat serta teori sel stem juga
dianggap sebagai pemicu terjadinya pembesaran prostat jinak. 2,5

F. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi BPH sangat kompleks (Gambar 2). Hiperplasia prostat
meningkatkan resistensi uretra, sehingga menyebabkan perubahan
kompensasi pada fungsi vesika urinaria. Keadaan ini menyebabkan
peningkatan tekanan intravesikal. Meskipun, peningkatan tekanan
detrusor dibutuhkan untuk mengatur aliran urine, sebagai kompensasi
terhadap peningktan resistensi aliran urine yang terjadi akibat
perubahan fungsi penyimpanan vesika urinaria. Obstruksi menginduksi
perubahan pada fungsi detrusor, serta proses degenerasi dan
gangguan fungsi sistem saraf juga dapat menyebabkan gangguan
pada vesika urinaria , yang menimbulkan gangguan fekuensi, urgensi,
dan nokturia, yang menjadi keluhan utama pada BPH. Oleh karena itu,
untuk mengetahui patofisiologi BPH membutuhkan penjabaran bahwa
obstruksi dapat menginduksi disfungsi vesika urinaria.2,5

Gambar 3. Patofisiologi BPH mencakup interaksi yang kompleks antara


obstruksi uretra dan fungsi detrusor, dan produksi urin.

5
Obstruksi yang diakibatkan oleh hiperplasia prostat benigna tidak
hanya disebabkan oleh adanya massa prostat yang menyumbat uretra
posterior, tetapi juga disebabkan oleh tonus otot polos yang ada pada
stroma prostat, kapsul prostat, dan otot polos pada leher vesika
urinaria. Otot polos itu dipersarafi oleh serabut simpatis yang berasal
dari nervus pudendus.8

G. GAMBARAN KLINIS
Ukuran prostat tidak selalu menggambarkan beratnya obstruksi
atau gejala yang akan timbul. Beberapa orang dengan pembesaran
kelenjar yang besar memiliki obstruksi yang kecil dan beberapa gejala
saja, sedangkan orang dengan pembesaran kelenjar yang kecil
memiliki lebih besar blokade dan permasalahan yang kompleks.
Pembesaran kelenjar prostat dapat terjadi asimtomatik baru terjadi
kalau neoplasma telah menekan lumen urethra prostatika, urethra
menjadi panjang (elongasil), sedangkan kelenjar prostat makin
bertambah besar.1,4,7
Sebagian besar gejala BPH yang berasal dari obstruksi uretra dan
penurunan fungsi vesika urinaria, yang berefek pada pengosongan
vesika urinaria tidak sempurna. Gejala BPH sangat bervariasi, gejala
yang timbul dapat disebabkan karena dua hal yaitu obstruksi dan
iritasi. Gejala yang paling sering adalah masalah yang berhubungan
dengan proses berkemih, seperti :
 Hesitansi, interupsi, pancaran urine lemah
 Urgensi dan menetes setelah berkemih
 Peningkatan frekuensi berkemih, terutama saat malam (nokturi)7
Gejala-gejala klinik ini dapat berupa (Brown, 1982; Blandy, 1983 ;
Burkit, 1990; Forrest,1990; Weinerth,1992 :
 Gejala pertama dan yang paling sering dijumpai adalah
penurunan kekuatan pancaran dan kaliber aliran urine, oleh
karena lumen urethra mengecil dan tahanan di dalam urethra

6
mengecil dan tahanan di dalam urethra meningkat, sehingga
kandung kemih harus memberikan tekanan yang lebih besar
untuk dapat mengeluarkan urine.
 Sulit memulai kencing (hesitancy) menunjukan adanya
pemanjangan periode laten, sebelum kandung kemih dapat
menghasilkan tekanan intra-vesika yang cukup tinggi.
 Diperlukan waktu yang lebih lama untuk mengosongkan
kandung kemih, jika kandung kemih tidak dapat
mempertahankan tekanan yang tinggi selama berkemih, aliran
urine dapat berhenti dan dribbling (urin menetes setelah
berkemih) bisa terjadi. Untuk meningkatkan usaha berkemih
pasien biasanya melakukan valsava manouver sewaktu
berkemih.
 Otot-otot kandung kemih menjadi lemah dan kandung kemih
gagal mengosongkan urine secara sempurna, sejumlah urine
tertahan dalam kandung kemih sehingga menimbulkan sering
berkemih (frequency) dan sering berkemih malam hari
(nocturia).
 Infeksi yang menyertai residual urine akan memperberat gejala,
karena akan menambah obstruksi akibat inflamasi sekunder dan
oedem. Residual urine juga dapat sebagai predisposisi
terbentuknya batu kandung kemih.
 Hematuria sering terjadi oleh karena pembesaran prostat
menyebabkan pembuluh darahnya menjadi rapuh.
 Bladder outlet obstruction ataupun overdistensi kandung kemih
juga dapat menyebabkan refluk vesikoureter dan sumbatan
saluran kemih bagian atas yang akhirnya menimbulkan
hydroureteronephrosis.
 Bila obstruksi cukup berat, dapat menimbulkan gagal ginjal
(renal failure) dan gejala-gejala uremia berupa mual, muntah.4

7
Tingkat keparahan penderita BPH dapat diukur dengan skor IPSS
(Internasional Prostate Symptom Score) diklasifikasi dengan skor 0-7
penderita ringan, 8-19 penderita sedang dan 20-35 penderita berat.
Sistem skoring IPPS terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan
dengan keluhan miksi (LUTS) dan satu pertanyaan yang berhubungan
dengan kualitas hidup pasien. Setipa pertanyaan yang berhubungan
dengan keluhan miksi diberi nilai dari 0 sampai dengan 5, sedangkan
keluhan yang menyangkut kualitas hidup pasien diberi nilai dari 1
sampai dengan 7.4,5
Ada juga yang membagi berdasarkan derajat penderita hiperplasi
prostat berdasarkan gambaran klinis: (Sjamsuhidajat,1997)
- Derajat I : Colok dubur ; penonjolan prostat, batas atas mudah
diraba, dan sisa volume urin <50 ml
- Derajat II : Colok dubur: penonjolan prostat jelas,batas atas
dapat dicapai, sisa volume urin 50-100 ml
- Derajat III : Colok dubur; batas atas prostat tidak dapat diraba,
sisa volume urin>100 ml
- Derajat IV : Terjadi retensi urin total.
Keluhan lain dapat berupa gejala obstruksi antara lain, nyeri
pinggang, benjolan di pinggang (hidronefrosis) dan demam (infeksi,
urosepsis). Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh
adanya hernia inguinalis atau hemoroid, yang timbul karena sering
mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan
tekanan intraabdominal.5

H. DIAGNOSIS
Evaluasi awal pada semua pasien dengan gejala protatism harus
mencakup riwayat berkemih, pemeriksaan fisis, urinalisis, pengukuran
serum kreatinin, dan pada banyak kasus, serum tes prostate-spesific
antigen (PSA) untuk skrining kanker prostat. Pemeriksaan lain yang
disesuaikan dengan kebutuhan meliputi diagnosis pencitraan

8
(imaging), cystoscopy, uroflowmetry, pengukuran urine sisa post-
berkemih, digital rectal examination (DRE) dan aliran tekanan.1,7
- Anamnesis
Dokter harus menanyakan gejala obstruksi dan iritatif berkemih.
Biasanya pasien mengeluhkan menetesnya urin diakhir berkemih,
pancaran urin lemah, dan nokturia. Pasien sering mengeluhkan
peningkatan frekuensi berkemih, urgensi, perasaan tidak puas
setelah berkemih, mengejan saat berkemih, dan intermitten sebagai
perlangsungan proses obstruksi. Informasi tambahan yang
dibutuhkan termasuk episode inkontinensia urine, retensi urin,
disuria, hematuria, infeksi saluran kemih, batu kerikil yang keluar
bersama urine, dan disfungsi erektil.
Riwayat pengobatan pasien juga penting, banyaknya resep
pengobatan, serta pengobatan tanpa resep mengandung anti
kolinergik (contohnya; tricyclic antidepressan) atau sympatomimetik
(contohnya; phenylephrine yang terdapat pada obat flu) yang
memiliki efek samping.1
- Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan abdomen meliputi palpasi dan perkusi, jika vesika
urinaria teraba menunjukkan kemungkinan adanya retensi urin.
Stenosis meatus dan massa uretra kadang-kadang ditemukan pada
pemeriksaan genital. Pemeriksaan colok dubur/ DRE dapat
menggambarkan ukuran, bentuk, simetris, dan konsostensi
prostat.1
- Direct Rectal Examination (DRE)/ Colok Dubur
Pemeriksaan ini biasanya dilakukan pertama kali. Dokter
memasukkan jarinya ke dalam rectum dan meraba prostat serta
rectum. Pemeriksaan ini memberikan gambaran kepada dokter
mengenai ukuran ,keadaan, dan konsistensi kelenjar prostat.7
- Prostate Spesific Antigen (PSA)
Skrining tes untuk menyingkarkan dugaan karsinoma prostat.1,7

9
- Pencitraan
Pencitraan prostat dilakukan untuk menilai; ukuran prostat, bentuk
prostat, karsinoma, dan karakterisasi jaringan.
Pilihan modalitas pencitraan prostat dapat menggunakan
a. Foto Polos Abdomen
Foto polos abdomen berguna untuk mencari adanya batu opak
di saluran kemih, batu/kalkulosa prostat atau menunjukkan
bayangan buli-buli yang penuh terisi urin, yang merupakan
tanda retensi urin.5
b. Intravenous Pielogram
Intravenous pyelogram (IVP) adalah pemeriksaan x-ray ginjal,
ureter dan kantung kemih yang menggunakan material kontras
iodine yang diinjeksi ke dalam vena.(18) Pembesaran signifikan
dari kelenjar prostat dapat menyebabkan dasar vesika urinaria
elevasi dengan gambaran “J-ing” atau “Fish hooking” pada
ureter distal.8,9

Gambar 4. Gambaran vesika Gambar 5. Tampak gambaran


urinairia yang mengalami “J-ing” atau “fish hooking” pada
peradangan (cystitis) akibat ureter distal dan elevasi pada
retensi urin pada penderita BPH
vesika urinaria

10
c. Transabdominal Ultrasound
 Area inhomogen dari echodenicity tinggi dan rendah pada
bagian tengah prostat
 Accoustic shadow mengindikasikan kalsifikasi
 Visualisasi terbatas pada anatomi zona prostat
 Penonjolan dari pembesaran kelenjar prostat pada bagian
bawah vesika urinaria.8

d.

Gambar 6. (Kiri) Longitudinal, (Kanan) Transversal. Gambaran


ultrasound dari buli-buli yang memperlihatkan pembesaran prostat
jinak lobules moderat dengan kalsifikasi.

d. Transrectal ultrasound (TRUS)


TRUS dapat menilai anatomi prostat, zona anatomy, dan
perubahan internal. Volume prostat dapat dengan mudah dinilai
menggunakan TRUS. Secara umum, TRUS tidak diindikasikan
untuk pemeriksaan awal BPH. Pencitraan menggunakan TRUS
direkomendasikan pada beberapa pasien. Menyingkirkan
kanker prostat pada pasien dengan peningkatan PSA (>4
ng/mL) merupakan indikasi pencitraan dengan TRUS untuk
menentukan tindakan biopsi.10,11

11
Gambar 7. Gambar
transrectal ultrasound
prostat bidang axial, pada
pasien berumur 64 tahun.
Pada kelenjar sentral,
nampak dua nodul besar
hyperplasia prostat (panah
putih).

Gambar 8. Gambar
transrectal ultrasound
prostat bidang transversal
menunjukkan kelenjar
prostat membesar
menciptakan tonjolan di
kandung kemih dasar
(panah merah) yang
mewakili pembesaran
prostat

e. CT Scan
Dengan CT, BPH nampak seperti area homogen yang luas
dengan batas tegas. CT tidak memiliki peran penting dalam
mengevaluasi BPH, sebab resolusi jaringan interprostat rendah,
yang berakibat tidak dapat mengevaluasi rasio glandular ke
jaringan stroma di dalam prostat. Volume prostat dapat diukur
dengan modalitas pencitraan ini.10
Gambaran BPH pada CT yaitu;
- Zona anatomi tidak Nampak
- Pembesaran keseluruhan kelenjar prostat
- Lobus medial menonjol hingga ke dasar vesika urinaria

12
- Tidak dapat dibedakan dengan kanker prostat10

Gambar 9. Bidang axial CT


setelah kontras intravena
memperlihatkan area
homogen pada nodul
pembesaranGambar
prostat jinak
pada kelenjar sentral
prostat (panah putih).

f. MRI (Magnetic Resonance Imaging)


- Zona anatomi tergambar jelas pada gambar T2
- Pembesaran Zona Transisional terlihat jelas
- Biasanya inhomogen dengan intensitas tinggi serta rendah
- Penampakan halus zona peripheral.10,11

Gambar 10. Gambar panggul setelah pemberian kontras, dalam


fase ekskresi menunjukkan massa kandung kemih tidak jelas di
kandung kemih dasar. Berikut ekskresi kontras ke kandung kemih,
massa baik dilihat karena digariskan oleh kontras terekskresi (M).
Massa ini terlihat muncul dari kelenjar prostat (P).

13
Gambar 11. Serial T2-W MRI. Visualisasi zona anatomi prostat baik.
Zona transisional ditandai dengan pembesaran dan penonjolan ke
bagian dasar vesika urinaria.

I. DIAGNOSIS BANDING
Gejala saluran kemih bagian bawah (LUTS) yang terdapat pada
BPH kemungkinan berasal dari striktur uretra, kontraktur leher vesika
urinaria (primer atau sekunder untuk operasi prostat), meatal stenosis,
karsinoma prostat lanjutan, batu vesika urinaria, dan karsinoma vesika
urinaria. Frekuensi dan urgensi kemungkinan berasal dari infeksi
saluran kemih, diabetes, execessive caffeine, obat-obat diuretik, atau
konsumsi alkohol.1

J. PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi :
 Memperbaiki keluhan miksi
 Meningkatkan kualitas hidup
 Mengurangi obstruksi infravesika
 Mengembalikan fungsi ginjal
 Mengurangi volume residu urin setelah miksi
 Mencegah progressivitas penyakit5

14
Watchful waiting
Pilihan tanpa terapi ini untuk pasien BPH dengan skor IPSS<7, yaitu
keluhan ringan yang tidak menganggu aktivitas sehari-hari. Pasien
hanya diberikan edukasi mengenai hal-hal yang dapat memperburuk
keluhan :
 Jangan mengkonsumsi kopi atau alcohol
 Kurangi makanan dan minuman yang mengiritasi vesika urinaria
(kopi, coklat)
 Kurangi makanan pedas atau asin
 Jangan menahan kencing terlalu lama1,5

Medikamentosa diberikan dengan tujuan :


 Mengurangi resistensi otot polos prostat dengan adrenergik α
blocker
 Mengurangi volume prostat dengan menurunkan kadar hormon
testosteron melalui penghambat 5α-reduktase.
 Selain itu, masih ada terapi fitofarmaka yang masih belum jelas
mekanisme kerjanya.5

Operasi Pasien BPH yang mempunyai indikasi pembedahan :


 Tidak menunjukkan pebaikan setelah terapi medikamentosa
 Mengalami retensi urin
 Infeksi Saluran Kemih berulang
 Hematuri
 Gagal ginjal
 Timbulnya batu saluran kemih atau penyulit lain akibat obstruksi
saluran kemih bagian bawah5

Jenis pembedahan yang dapat dilakukan :


- Pembedahan terbuka (prostatektomi terbuka) Paling invasif dan
dianjurkan untuk prostat yang sangat besar (±100 gram).

15
- Pembedahan endourologi Operasi terhadap prostat dapat berupa
reseksi (Trans Urethral Resection of the Prostat/TURP), Insisi
(Trans Urethral Incision of the Prostate/TUIP) atau evaporasi.
Selain tindakan invasif tersebut diatas, sekarang dikembangkan
tindakan invasif minimal, terutama yang mempunya resiko tinggi
terhadap pembedahan. Tindakan tersebut antara lain: termoterapi,
Trans Urethral Needle Ablation of the Prostat/TUNA, pemasangan
stent, High Intensity Focused Ultrasound/HIFU serta dilatasi
dengan balon (Transuethral Ballon Dilatation/TUBD).1,5,12

K. PROGNOSIS

DAFTAR PUSTAKA

1. Paterson,R.F., Goldenberg,S.L., 2000. Benign Prostatic


Hyperplasia. In: Teichmen, M.H., 20 Common Problems in Urology.
New York: McGraww-Hill Companies.

16
2. Roehborn,C,G., Mc.Connel,J,D. 2007. Benign Prostatic
Hyperplasia; Etiology, Pathophysiology, Epidemiology, and Natural
History. In: Wein, A.J., Kavousii, L.R., Novick, A.C., Partin, A.W.,
Peters, C.A., editors. Campbell-Walsh Urology 9th ed. Philadelphia:
Sounders Elsevier.
3. Muruve,N.A.,. Prostate Anatomy. In; Gest,T.R.,editors. Available
From http://emedicine.medscape.com Reviewed September
23,2015.
4. Furqan. Evaluasi Biakan Urin Pada Penderita BPH Setelah
Pemasangan Kateter Menetap Pertama Kali dan Berulang. USU
Digital Library. 2003; hal. 10-3
5. Purnomo, B. 2012. Dasar-Dasar Urologi. Jakarta: Sagung Seto.
6. Morgan,M., Gaillard, F., et al. Benign Prostatic Hyperplasia.
Available From httpp://radiopaedia.org Reviewed September 23,
2015.
7. National Kidney and Urologic Diseases Information Clearinghouse.
Prostate Enlargement; Benign Prostatic Hyperplasia. NIH
Publications (07-3012);2006
8. Hamm,B., Asbach, P., Beyersdoff, D., Hein, P., Lemke, U., 2008.
Direct Diagnosis in Radiologi: Urogenital Imaging. New York:
Thieme Publishing Groups.
9. RSNA Committee. Intravenous Pyelogram (IVP). Available From
http://www.radiologyinfo.org Reviewed September 23, 2015
10. Baert, L. A. 2008. Encyclopedia of Diagnostic Imaging. New York:
Springer.
11. Benign Prostatic Hypertrophy. Available From http://www.med-
ed.virginia.edu Reviewed September 23, 2015
12. Sjamjuhidayat, De Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta:
EGC.

17

You might also like