You are on page 1of 35

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN STROKE NON


HEMORAGIK (SNH)

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Definisi Stroke Non Hemoragik

Menurut WHO (2006), stroke adalah suatu tanda klinis yang


berkembang cepat akibat gangguan otak fokal (atau global) dengan gejala-
gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan
kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler. Termasuk
disini perdarahan subarachnoid, perdarahan intraserebral, dan infark serebral.

Stroke adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perubahan


neurologis yang disebabkan oleh gangguan suplai darah pada bagian otak
(Bowman dalam Black & Hawks, 2009).

Definisi Stroke non hemoragik (stroke iskemik)

Stroke iskemik atau “brain attack” adalah kehilangan fungsi yang tiba-
tiba sebagai akibat dari gangguan suplai darah ke bagian-bagian otak, akibat
sumbatan baik sebagian atau total pada arteri. Tipe stroke ini terjadi hampir
80% dari kejadian stroke (Goldszmidt & Caplan, 2011).

2. Epidemiologi

Stroke merupakan satu masalah kesehatan yang besar dalam kehidupan


modern saat ini. Di Indonesia, diperkirakan setiap tahun terjadi 500.000
penduduk terkena serangan stroke, sekitar 2,5 % atau 125.000 orang
meninggal, dan sisanya cacat ringan maupun berat. Jumlah penderita stroke
cenderung terus meningkat setiap tahun, bukan hanya menyerang penduduk
usia tua, tetapi juga dialami oleh mereka yang berusia muda dan produktif.
Stroke dapat menyerang setiap usia, namun yang sering terjadi pada usia di atas
40 tahun. Angka kejadian stroke meningkat dengan bertambahnya usia, makin
tinggi usia seseorang, makin tinggi kemungkinan terkena serangan stroke
(Yayasan Stroke Indonesia, 2006).

Di Indonesia, belum ada data epidemologis stroke yang lengkap, tetapi


proporsi penderita stroke dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Hal ini
terlihat dari laporan survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes RI di berbagai
rumah sakit di 27 provinsi di Indonesia. Hasil survei itu menunjukkan
terjadinya peningkatan antara 1984 sampai 1986, dari 0,72 per 100 penderita
pada1984 menjadi 0,89 per 100 penderita pada 1986. Di RSU Banyumas, pada
1997 pasien stroke yang rawat inap sebanyak 255 orang, pada 1998 sebnyak
298 orang, pada 1999 sebanyak 393 orang, dan pada 2000 sebanyak 459 orang
(Hariyono, 2006).

Stroke atau cerebrovascular accident, merupakan penyebab invaliditas yang


paling sering pada golongan umur diatas 45 tahun Di negara industri stroke
merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan keganasan
(Lumbantombing, 1984).

3. Etiologi Stroke Non Hemoragik

Beberapa keadaan dibawah ini dapat menyebabkan stroke non


hemoragik antara lain :

a. Thrombosis Cerebral

Thrombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi


sehingga menyebabkan iskemi jaringan otak yang dapa menimbulkan
oedema dan kongesti di sekitarnya.Thrombosis biasanya terjadi pada
orang tua yang sedang tidur atau bangun tidur. Hal ini dapat terjadi karena
penurunan aktivitas simpatis dan penurunan tekanan darah yang dapat
menyebabkan iskemi serebral.Tanda dan gejala neurologis seringkali
memburuk pada 48 jam sete;ah thrombosis.

Beberapa keadaan dibawah ini dapat menyebabkan thrombosis otak:


1) Atherosklerosis

Atherosklerosis adalah mengerasnya pembuluh darah serta


berkurangnya kelenturan atau elastisitas dinding pembuluh darah.
Manifestasi klinis atherosklerosis bermacam-macam. Kerusakan
dapat terjadi melalui mekanisme berikut :

a) Lumen arteri menyempit dan mengakibatkan berkurangnya


aliran darah.
b) Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadi
thrombosis.
c) Merupakan tempat terbentuknya thrombus, kemudian
melepaskan kepingan thrombus (embolus)
d) Dinding arteri menjadi lemah dan terjadi aneurisma
kemudian robek dan terjadi perdarahan.
2) Hypercoagulasi pada polysitemia

Darah bertambah kental , peningkatan viskositas /hematokrit


meningkat dapat melambatkan aliran darah serebral.

3) Arteritis ( radang pada arteri )


b. Emboli

Emboli serebral merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh


bekuan darah, lemak dan udara. Pada umumnya emboli berasal dari
thrombus di jantung yang terlepas dan menyumbat sistem arteri serebral.
Emboli tersebut berlangsung cepat dan gejala timbul kurang dari 10-30
detik. Beberapa keadaan dibawah ini dapat menimbulkan emboli :

1) Katup-katup jantung yang rusak akibat Rheumatik Heart


Desease.(RHD)
2) Myokard infark
3) Fibrilasi, Keadaan aritmia menyebabkan berbagai bentuk
pengosongan ventrikel sehingga darah terbentuk gumpalan kecil
dan sewaktu-waktu kosong sama sekali dengan mengeluarkan
embolus-embolus kecil.
4) Endokarditis oleh bakteri dan non bakteri, menyebabkan
terbentuknya gumpalan-gumpalan pada endocardium.
4. Faktor risiko stroke non hemoragik

Stroke non hemoragik merupakan proses yang multi kompleks dan


didasari oleh berbagai macam faktor risiko. Ada faktor yang tidak dapat
dimodifikasi, dapat dimodifikasi dan masih dalam penelitian yaitu:

a. Tidak dapat dirubah :


1) Usia
2) Jenis kelamin
3) Ras
4) Genetik
b. Dapat dirubah :
1) Hipertensi
2) Merokok
3) Diabetes
4) Fibrilasi atrium
5) Kelainan jantung
6) Hiperlipidemia
7) Terapi pengganti hormone
8) Anemia sel sabit
9) Nutrisi
10) Obesitas
11) Aktifitas fisik
5. Patofisiologi Stroke Non Hemoragik

Stroke non hemoragik disebabkan oleh trombosis akibat plak


aterosklerosis yang memberi vaskularisasi pada otak atau oleh emboli dari
pembuluh darah diluar otak yang tersangkut di arteri otak. Saat terbentuknya
plak fibrosis (ateroma) di lokasi yang terbatas seperti di tempat percabangan
arteri. Trombosit selanjutnya melekat pada permukaan plak bersama dengan
fibrin, perlekatan trombosit secara perlahan akan memperbesar ukuran plak
sehingga terbentuk trombus (Sudoyo, 2007).

Trombus dan emboli di dalam pembuluh darah akan terlepas dan


terbawa hingga terperangkap dalam pembuluh darah distal, lalu menyebabkan
pengurangan aliran darah yang menuju ke otak sehingga sel otak akan
mengalami kekurangan nurisi dan juga oksigen, sel otak yang mengalami
kekurangan oksigen dan glukosa akan menyebabkan asidosis lalu asidosis akan
mengakibatkan natrium, klorida, dan air masuk ke dalam sel otak dan kalium
meninggalkan sel otak sehingga terjadi edema setempat. Kemudian kalsium
akan masuk dan memicu serangkaian radikal bebas sehingga terjadi perusakan
membran sel lalu mengkerut dan tubuh mengalami defisit neurologis lalu mati
(Esther, 2010).
6. Pathway Stroke Non Hemoragik
Faktor yang tidak dapat dimodifikasi: Faktor yang dapat dimodifikasi:
1. Umur 1. Hipertensi
2. Ras 2. Hiperkolesterolemia
3. Jenis kelamin 3. Diabetes Millitus
4. Genetik 4. Riwayat penyakit jantung
5. Life style (obesitas, diet, stres)
Terbentuknya trombus arterial dan emboli

Penyumbatan pembuluh darah otak

Suplay O2 ke otak 

Iskemik jaringan pada otak Syok Metabolisme Penumpukan TIK 


neurologik anaerob  asam laktat
Hipoksia
Resiko Nyeri akut
ketidakefektifan
STROKE NON HEMORAGIK
perfusi jaringan otak

Iskemik pada arteri serebral anterior Iskemik pada arteri serebral medial

Gangguan premotor area


Gangguan Brocha’s Gangguan Refleks batuk 
motorspeech area gustatory area
Kerusakan neuromuskular
Terjadi
Disatria, Afasia, Disfagia penumpukan
Hemiplegia Hemiparesis Amourasis sputum
fulgaks
Resiko
Resiko Hambatan ketidakseimbangan Ketidakefektifan
kerusakan mobilitas Hambatan nutrisi kurang dari besihan jalan
integritas fisik komunikasi kebutuhan tubuh nafas
kulit verbal
7. Klasifikasi Stroke Non Hemoragik

Stroke non hemoragik atau stroke iskemik merupakan 88% dari seluruh
kasus stroke. Pada stroke iskemik terjadi iskemia akibat sumbatan atau
penurunan aliran darah otak.11 Berdasarkan perjalanan klinis, dikelompokkan
menjadi :

a. TIA (Transient Ischemic Attack)

Pada TIA gejala neurologis timbul dan menghilang kurang dari 24


jam. Disebabkan oleh gangguan akut fungsi fokal serebral, emboli
maupun trombosis.

b. RIND (Reversible Ischemic Neurologic Deficit)

Gejala neurologis pada RIND menghilang lebih dari 24 jam namun


kurang dari 21 hari.

c. Stroke in Evolution

Stroke yang sedang berjalan dan semakin parah dari waktu ke waktu.

d. Completed Stroke

Kelainan neurologisnya bersifat menetap dan tidak berkembang


lagi.

Stroke non hemoragik terjadi akibat penutupan aliran darah ke


sebagian otak tertentu, maka terjadi serangkaian proses patologik pada
daerah iskemik. Perubahan ini dimulai dari tingkat seluler berupa
perubahan fungsi dan bentuk sel yang diikuti dengan kerusakan fungsi
dan integritas susunan sel yang selanjutnya terjadi kematian neuron.

Stroke non hemoragik dibagi lagi berdasarkan lokasi


penggumpalan, yaitu:

a. Stroke Non Hemoragik Embolik


Pada tipe ini embolik tidak terjadi pada pembuluh darah otak,
melainkan di tempat lain seperti di jantung dan sistem vaskuler sistemik.
Embolisasi kardiogenik dapat terjadi pada penyakit jantung dengan shunt
yang menghubungkan bagian kanan dengan bagian kiri atrium atau
ventrikel. Penyakit jantung rheumatoid akut atau menahun yang
meninggalkan gangguan pada katup mitralis, fibrilasi atrium, infark kordis
akut dan embolus yang berasal dari vena pulmonalis. Kelainan pada
jantung ini menyebabkan curah jantung berkurang dan serangan biasanya
muncul disaat penderita tengah beraktivitas fisik seperti berolahraga.

b. Stroke Non Hemoragik Trombus

Terjadi karena adanya penggumpalan pembuluh darah ke otak.


Dapat dibagi menjadi stroke pembuluh darah besar (termasuk sistem arteri
karotis) merupakan 70% kasus stroke non hemoragik trombus dan stroke
pembuluh darah kecil (termasuk sirkulus Willisi dan sirkulus posterior).
Trombosis pembuluh darah kecil terjadi ketika aliran darah terhalang,
biasanya ini terkait dengan hipertensi dan merupakan indikator penyakit
atherosklerosis.

8. Manifestasi Klinis Stroke Non Hemoragik

Menurut (Smeltzer & Bare, 2010) stroke menyebabkan berbagai defisit


neurologis, tergantung pada lesi atau pembuluh darah mana yang tersumbat
dan ukuran area yang perfusinya tidak adekuat. Fungsi otak yang rusak tidak
dapat membaik sepenuhnya. Defisit neurologi pada stroke antara lain:

a. Defisit motoric
Disfungsi motorik paling umum adalah paralisis pada salah satu sisi
atau hemiplegia karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Diawal
tahapan stroke, gambaran klinis yang muncul adalah paralisis dan hilang
atau menurunnya refleks tendon dalam atau penurunan kekuatan otot
untuk melakukan pergerakkan, apabila refleks tendon dalam ini muncul
kembali biasanya dalam waktu 48 jam, peningkatan tonus disertai dengan
spastisitas atau peningkatan tonus otot abnormal pada ekstremitas yang
terkena dapat dilihat.
b. Defisit komunikasi
Difungsi bahasa dan komunikasi dapat dimanifestasikan oleh hal
berikut :
1) Kesulitan dalam membentuk kata (disartria), ditunjukkan
dengan bicara yang sulit dimengerti yang disebabkan oleh
paralisis otot yang bertanggung jawab untuk
menghasilkan bicara.
2) Bicara defektif atau kehilangan bicara (disfasia atau
afasia), yang terutama ekspresif atau reseptif
3) Ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang
dipelajari sebelumnya (apraksia) seperti terlihat ketika
penderita mengambil sisir dan berusaha untuk menyisir
rambutnya.
c. Defisit persepsi sensori
Gangguan persepsi sensori merupakan ketidakmampuan untuk
menginterpretasikan sensasi. Gangguan persepsi sensori pada stroke
meliputi:
1) Disfungsi persepsi visual, karena gangguan jaras sensori primer
diantara mata dan korteks visual. Kehilangan setengah lapang
pandang terjadi sementara atau permanen (homonimus
hemianopsia). Sisi visual yang terkena berkaitan dengan sisi tubuh
yang paralisis. Kepala penderita berpaling dari sisi tubuh yang sakit
dan cendrung mengabaikan bahwa tempat dan ruang pada sisi
tersebut yang disebut dengan amorfosintesis. Pada keadaan ini
penderita hanya mampu melihat makanan pada setengah nampan,
dan hanya setengah ruangan yang terlihat.
2) Gangguan hubungan visual-spasial yaitu mendapatkan hubungan
dua atau lebih objek dalam area spasial sering terlihat pada
penderita dengan hemiplegia kiri. Penderita tidak dapat memakai
pakaian tanpa bantuan karena ketidakmampuan untuk
mencocokkan pakaian ke bagian tubuh.
3) Kehilangan sensori, karena stroke dapat berupa kerusakan
sentuhan ringan atau berat dengan kehilangan propriosepsi yaitu
kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh
serta kesulitan dalam menginterpretasikan stimuli visual, taktil,
dan auditorius.
d. Defisit fungsi kognitif dan efek psikologi
Disfungsi ini ditunjukkan dalam lapang pandang terbatas, kesulitan
dalam pemahaman, lupa, dan kurang motivasi yang menyebabkan
penderita ini menghadapi masalah stress dalam program rehabilitasi.
e. Defisit kandung kemih
Kerusakan kontrol motorik dan postural menyebabkan penderita
pasca stroke mengalami ketidakmampuan menggunakan urinal,
mengalami inkontinensia urinarius sementara karena konfusi. Tonus otot
meningkat dan refleks tendon kembali, tonus kandung kemih meningkat,
dan spastisitas kandung kemih dapat terjadi.
9. Pemeriksaan Fisik pada Stroke Non Hemoragik

a. Pemeriksaan Fisik
Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi penyebab stroke
ekstrakranial, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang menyerupai
stroke, dan menentukan beratnya defisit neurologi yang dialami.
Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaaan kepala dan leher untuk
mencari tanda trauma, infeksi, dan iritasi menings. Pemeriksaan terhadap
faktor kardiovaskuler penyebab stroke membutuhkan pemeriksaan fundus
okuler (retinopati, emboli, perdarahan), jantung (ritmik ireguler, bising),
dan vaskuler perifer (palpasi arteri karotis, radial, dan femoralis). Pasien
dengan gangguan kesadaran harus dipastikan mampu untuk menjaga jalan
napasnya sendiri.
b. Pemeriksaan Neurologi
Tujuan pemeriksaan neurologi adalah untuk mengidentifikasi gejala
stroke, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang memiliki gejala
seperti stroke, dan menyediakan informasi neurologi untuk mengetahui
keberhasilan terapi. Komponen penting dalam pemeriksaan neurologi
mencakup pemeriksaan status mental dan tingkat kesadaran, pemeriksaan
nervus kranial, fungsi motorik dan sensorik, fungsi serebral, gait, dan
refleks tendon profunda. Tengkorak dan tulang belakang pun harus
diperiksa dan tanda-tanda meningimus pun harus dicari. Adanya
kelemahan otot wajah pada stroke harus dibedakan dengan Bell’s palsy di
mana pada Bell’s palsy biasanya ditemukan pasien yang tidak mampu
mengangkat alis atau mengerutkan dahinya.
10. Pemeriksaan Diagnostik Stroke Non Hemoragik
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan darah rutin diperlukan sebagai dasar pembelajaran
dan mungkin pula menunjukkan faktor resiko stroke seperti
polisitemia, trombositosis, trombositopenia, dan leukemia).
Pemeriksaan ini pun dapat menunjukkan kemungkinan penyakit
yang sedang diderita saat ini seperti anemia.
2) Pemeriksaan kimia darah dilakukan untuk mengeliminasi kelainan
yang memiliki gejalah seperti stoke (hipoglikemia, hiponatremia)
atau dapat pula menunjukka penyakit yang diderita pasien saat ini
(diabetes, gangguan ginjal).
3) Pemeriksaan koagulasi dapat menunjukkan kemungkinan
koagulopati pada pasien. Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna
jika digunakan terapi trombolitik dan antikoagulan.
4) Biomarker jantung juga penting karena eratnya hubungan antara
stroke dengan penyakit jantung koroner. Penelitian lain juga
mengindikasikan adanya hubungan anatara peningkatan enzim
jantung dengan hasil yang buruk dari stroke.
b. Pemeriksaan Radiologi
1) CT scan kepala non kontras

Modalitas ini baik digunakan untuk membedakan stroke


hemoragik dan stroke non hemoragik secara tepat kerena pasien
stroke non hemoragik memerlukan pemberian trombolitik sesegera
mungkin. Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna untuk
menentukan distribusi anatomi dari stroke dan mengeliminasi
kemungkinan adanya kelainan lain yang gejalahnya mirip dengan
stroke (hematoma, neoplasma, abses). Adanya perubahan hasil CT
scan pada infark serebri akut harus dipahami. Setelah 6-12 jam
setelah stroke terbentuk daerah hipodense regional yang
menandakan terjadinya edema di otak. Jika setelah 3 jam terdapat
daerah hipodense yang luas di otak maka diperlukan pertimbangan
ulang mengenai waktu terjadinya stroke. Tanda lain terjadinya
stroke non hemoragik adalah adanya insular ribbon sign, hiperdense
MCA (oklusi MCA), asimetris sulkus, dan hilangnya perberdaan
gray-white matter.

2) CT perfusion

Modalitas ini merupakan modalitas baru yang berguna untuk


mengidentifikasi daerah awal terjadinya iskemik. Dengan
melanjutkan pemeriksaan scan setelah kontras, perfusi dari region
otak dapat diukur. Adanya hipoatenuasi menunjukkan terjadinya
iskemik di daerah tersebut.

3) CT angiografi (CTA)

Pemeriksaan CT scan non kontras dapat dilanjutkan dengan


CT angiografi (CTA). Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi defek
pengisian arteri serebral yang menunjukkan lesi spesifik dari
pembuluh darah penyebab stroke. Selain itu, CTA juga dapat
memperkirakan jumlah perfusi karena daerah yang mengalami
hipoperfusi memberikan gambaran hipodense.

4) MR angiografi (MRA)

MRA juga terbukti dapat mengidentifikasi lesi vaskuler dan


oklusi lebih awal pada stroke akut. Sayangnya, pemerikasaan ini dan
pemeriksaan MRI lainnya memerlukan biaya yang tidak sedikit serta
waktu pemeriksaan yang agak panjang. Protokol MRI memiliki
banyak kegunaan untuk pada stroke akut. MR T1 dan T2 standar
dapat dikombinasikan dengan protokol lain seperti diffusion-
weighted imaging (DWI) dan perfussion-weighted imaging (PWI)
untuk meningkatkan sensitivitas agar dapat mendeteksi stroke non
hemoragik akut. DWI dapat mendeteksi iskemik lebih cepat
daripada CT scan dan MRI. Selain itu, DWI juga dapat mendeteksi
iskemik pada daerah kecil. PWI dapat mengukur langsung perfusi
daerah di otak dengan cara yang serupa dengan CT perfusion.
Kontras dimasukkan dan beberapa gambar dinilai dari waktu ke
waktu serta dibandingkan.

5) USG, ECG, EKG, Chest X-Ray

Untuk evaluasi lebih lanjut dapat digunakan USG. Jika


dicurigai stenosis atau oklusi arteri karotis maka dapat dilakukan
pemeriksaan dupleks karotis. USG transkranial dopler berguna
untuk mengevaluasi anatomi vaskuler proksimal lebih lanjut
termasuk di antaranya MCA, arteri karotis intrakranial, dan arteri
vertebrobasiler. Pemeriksaan ECG (ekhokardiografi) dilakukan
pada semua pasien dengan stroke non hemoragik yang dicurigai
mengalami emboli kardiogenik. Transesofageal ECG diperlukan
untuk mendeteksi diseksi aorta thorasik. Selain itu, modalitas ini
juga lebih akurat untuk mengidentifikasi trombi pada atrium kiri.
Modalitas lain yang juga berguna untuk mendeteksi kelainan
jantung adalah EKG dan foto thoraks.

11. Penatalaksanaan Stroke Non Hemoragik


a. Terapi Trombolitik

Tissue plasminogen activator (recombinant t-PA) yang diberikan


secara intravena akan mengubah plasminogen menjadi plasmin yaitu
enzim proteolitik yang mampu menghidrolisa fibrin, fibrinogen dan
protein pembekuan lainnya. Pada penelitian NINDS (National Institute of
Neurological Disorders and Stroke) di Amerika Serikat, rt-PA diberikan
dalam waktu tidak lebih dari 3 jam setelah onset stroke, dalam dosis 0,9
mg/kg (maksimal 90 mg) dan 10% dari dosis tersebut diberikan secara
bolus IV sedang sisanya diberikan dalam tempo 1 jam. Tiga bulan setelah
pemberian rt-PA didapati pasien tidak mengalami cacat atau hanya
minimal. Efek samping dari rt-PA ini adalah perdarahan intraserebral,
yang diperkirakan sekitar 6%. Penggunaan rt-PA di Amerika Serikat telah
mendapat pengakuan FDA pada tahun 1996.

b. Antikoagulan

Warfarin dan heparin sering digunakan pada TIA dan stroke yang
mengancam. Suatu fakta yang jelas adalah antikoagulan tidak banyak
artinya bilamana stroke telah terjadi, baik apakah stroke itu berupa infark
lakuner atau infark massif dengan hemiplegia. Keadaan yang memerlukan
penggunaan heparin adalah trombosis arteri basilaris, trombosis arteri
karotis dan infark serebral akibat kardioemboli. Pada keadaan yang
terakhir ini perlu diwaspadai terjadinya perdarahan intraserebral karena
pemberian heparin tersebut.

1) Warfarin

Segera diabsorpsi dari gastrointestinal. Terkait dengan protein


plasma. Waktu paro plasma: 44 jam. Dimetabolisir di hati, ekskresi:
lewat urin. Dosis: 40 mg (loading dose), diikuti setelah 48 jam dengan
3-10 mg/hari, tergantung PT. Reaksi yang merugikan: hemoragi,
terutama ren dan gastrointestinal.

2) Heparin

Heparin mempunyai efek vasodilatasi ringan. Heparin melepas


lipoprotein lipase. Dimetabolisir di hati, ekskresi lewat urin. Waktu
paro plasma: 50-150 menit. Diberikan tiap 4-6 jam atau infus kontinu.
Dosis biasa: 500 mg (50.000 unit) per hari. Bolus initial 50 mg diikuti
infus 250 mg dalam 1 liter garam fisiologis atau glukose. Dosis
disesuaikan dengan Whole Blood Clotting Time. Nilai normal: 5-7
menit, dan level terapetik heparin: memanjang sampai 15 menit.
Reaksi yang merugikan: hemoragi, alopesia, osteoporosis dan diare.

f. Hemoreologi

Pada stroke iskemik terjadi perubahan hemoreologi yaitu


peningkatan hematokrit, berkurangnya fleksibilitas eritrosit, aktivitas
trombosit, peningkatan kadar fibrinogen dan aggregasi abnormal eritrosit,
keadaan ini menimbulkan gangguan pada aliran darah. Pentoxyfilline
merupakan obat yang mempengaruhi hemoreologi yaitu memperbaiki
mikrosirkulasi dan oksigenasi jaringan dengan cara: meningkatkan
fleksibilitas eritrosit, menghambat aggregasi trombosit dan menurunkan
kadar fibrinogen plasma. Dengan demikian eritrosit akan mengurangi
viskositas darah.Pentoxyfilline diberikan dalam dosis 16/kg/hari,
maksimum 1200 mg/hari dalam jendela waktu 12 jam sesudah onset.

g. Antiplatelet (Antiaggregasi Trombosit)


1) Aspirin

Obat ini menghambat sklooksigenase, dengan cara


menurunkan sintesis atau mengurangi lepasnya senyawa yang
mendorong adhesi seperti thromboxane A2. Aspirin merupakan obat
pilihan untuk pencegahan stroke. Dosis yang dipakai bermacam-
macam, mulai dari 50 mg/hari, 80 mg/hari samapi 1.300 mg/hari.
Dosis lain yang diakui efektif ialah: 625 mg 2 kali sehari. Aspirin
harus diminum terus, kecuali bila terjadi reaksi yang merugikan.
Konsentrasi puncak tercapai 2 jam sesudah diminum. Cepat
diabsorpsi, konsentrasi di otak rendah. Hidrolise ke asam salisilat
terjadi cepat, tetapi tetap aktif. Ikatan protein plasma: 50-80 persen.
Waktu paro (half time) plasma: 4 jam. Metabolisme secara konjugasi
(dengan glucuronic acid dan glycine). Ekskresi lewat urine,
tergantung pH. Sekitar 85 persen dari obat yang diberikan dibuang
lewat urin pada suasana alkalis. Reaksi yang merugikan: nyeri
epigastrik, muntah, perdarahan, hipoprotrombinemia dan diduga:
sindrom Reye.

2) Tiklopidin (ticlopidine) dan klopidogrel (clopidogrel)

Pasien yang tidak tahan aspirin atau gagal dengan terapi


aspirin, dapat menggunakan tiklopidin atau clopidogrel. Obat ini
bereaksi dengan mencegah aktivasi platelet, agregasi, dan
melepaskan granul platelet, mengganggu fungsi membran platelet
dengan penghambatan ikatan fibrinogen-platelet yang diperantarai
oleh ADP dan antraksi platelet-platelet. Efek samping tiklopidin
adalah diare (12,5 persen) dan netropenia (2,4 persen). Bila obat
dihentikan akan reversibel. Pantau jumlah sel darah putih tiap 15
hari selama 3 bulan. Komplikas yang lebih serius, teyapi jarang,
adalah pur-pura trombositopenia trombotik dan anemia aplastik.

h. Pembedahan

Indikasi pembedahan pada completed stroke sangat dibatasi. Jika


kondisi pasien semakin buruk akibat penekanan batang otak yang diikuti
infark serebral maka pemindahan dari jaringan yang mengalami infark
harus dilakukan.

1) Karotis Endarterektomi
Prosedur ini mencakup pemindahan trombus dari arteri karotis
interna yang mengalami stenosis. Pada pasien yang mengalami
stroke di daerah sirkulasi anterior atau yang mengalami stenosis
arteri karotis interna yang sedang hingga berat. Karotis
Endarterektomi adalah prosedur bedah untuk membersihkan plak
dan membuka arteri karotis yang menyempit di leher.
Endarterektomi dan aspirin lebih baik digunakan daripada
penggunaan aspirin saja untuk mencegah stroke. Endarterektomi
tidak dapat digunakan untuk stroke di daerah vertebrobasiler atau
oklusi karotis lengkap. Angka mortalitas akibat Stroke (Surgery)

2) Angioplasti dan Sten Intraluminal

Pemasangan angioplasti transluminal pada arteri karotis dan


vertebral serta pemasangan sten metal tubuler untuk menjaga patensi
lumen pada stenosis arteri serebri masih dalam penelitian. Suatu
penelitian menyebutkan bahwa angioplasti lebih aman dilaksanakan
dibandingkan endarterektomi namun juga memiliki resiko untuk
terjadi restenosis lebih besar. Carotid angioplasty dan stenting
(CAS) digunakan sebagai alternative dari carotid endarterectoomi
untuk beberapa pasien. CAS berdasarkan pada prinsip yang sama
seperti angioplasty untuk penyakit jantung.

a) Sebuah kateter tube yang sangat kecil di insersikan ke


dalam arteri di lipatan paha
b) Melalui system sirkulasi sampai mencapai area yang
tersumbat di arteri karotis
c) Dapat juga mengahancurkan bekuan dengan
mengembangkan balon kecil didalam dindng pembuluh
darah (angioplasty)
d) Setelah menggembungkan balon sementara waktu, dokter
biasanya meninggalkan kawat berbentuk sirkular(stent) ke
dalam pembuluh darah untuk menjaga agar pembuluh darah
tetap terbuka (Simon, Harvey. Stroke – Surgery).
12. Komplikasi Stroke Non Hemoragik

Komplikasi stroke meliputi Hipoksia Serebral, penurunan aliran darah


serebral, dan luasnya area cedera.

a. Hipoksia serebral diminimalkan dengan pemberian


oksigenasi darah adekuat ke otak.

b. Aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah, curah


jantung, dan integritas pembuluh darah serebral. Hidrasi
adekuat (pemberian intarvena) harus menjamin penurunn
viskositas darah dan memperbaiki aliran darah serebral.

c. Embolisme serebral dapat terjadi setelah infark miokard


atau fibrilasi atrium atau dapat berasal dari katup jantung
prostetik. (Smeltzer & Bare, 2002)
B. Konsep Asuhan Keperawatan Stroke Non Hemoragik
1. Pengkajian
a Identitas klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam
MRS, nomor register, diagnose medis.2.
b Keluhan utama
Biasanya didapatkan kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara
pelo, dan tidak dapat berkomunikasi.
c Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke seringkali berlangsung sangat mendadak, pada saat
klien sedang melakukanaktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual,
muntah bahkan kejang sampai tidak sadar, disamping gejala
kelumpuhan separoh badan atau gangguan fungsi otak yang lain.
d Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, diabetes militus, penyakit jantung, anemia,
riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat-
obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obatadiktif, kegemukan.
e Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi ataupun
diabetes militus.

Pengkajian Fokus :

a. Aktivitas/istirahat
Klien akan mengalami kesulitan aktivitas akibat kelemahan, hilangnya
rasa, paralisis,hemiplegi, mudah lelah, dan susah tidur
b. Sirkulasi
Adanya riwayat penyakit jantung, katup jantung, disritmia, CHF,
polisitemia. Dan hipertensiarterial.
c. Integritas Ego
Emosi labil, respon yang tak tepat, mudah marah, kesulitan untuk
mengekspresikan diri.
d. Eliminasi
Perubahan kebiasaan Bab. dan Bak. Misalnya inkoontinentia urine,
anuria, distensi kandungkemih, distensi abdomen, suara usus
menghilang.
e. Makanan/caitan
Nausea, vomiting, daya sensori hilang, di lidah, pipi, tenggorokan,
dysphagia
f. Neuro Sensori
Pusing, sinkope, sakit kepala, perdarahan sub arachnoid, dan
intracranial,
kelemahan,dengan berbagai tingkatan, gangguan penglihatan, kabur, d
yspalopia, lapang pandang menyempit.Hilangnya daya sensori pada
bagian yang berlawanan dibagian ekstremitas dan kadang-kadang pada
sisi yang sama di muka.
g. Nyaman/nyeri
Sakit kepala, perubahan tingkah laku kelemahan, tegang pada
otak/muka
h. Respirasi
Ketidakmampuan menelan, batuk, melindungi jalan nafas. Suara nafas,
whezing, ronchi.
i. Keamanan
Sensorik motorik menurun atau hilang mudah terjadi injury. Perubahan
persepsi dan orientasi. Tidak mampu menelan sampai ketidakmampuan
mengatur kebutuhan nutrisi. Tidak mampumengambil keputusan.
j. Interaksi social
Gangguan dalam bicara, Ketidakmampuan berkomunikasi.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan besihan jalan nafas b.d Obstruksi jalan nafas
b. Nyeri akut b.d agen cidera biologis (penyumbatan pembuluh darah
otak)
c. Hambatan komunikasi verbal b.d penurunan sikulasi ke otak
d. Hambatan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan otot
e. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak
f. Resiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
g. Resiko kerusakan integritas kulit

3. Intervensi
N Diagnosa NOC NIC
o Kepeawatan
1 Ketidakefektifa 1. Respiratory status 1. Auskultasi suara nafas
n besihan jalan : Ventilation dan catat adanya suara
nafas b.d 2. Respiatory status : nafas tambahan
Obstruksi jalan Airway patency 2. Lakukan fisioterapi
nafas Kriteria Hasil : dada
1. Mendemostrasika 3. Keluarkan sekret
n batuk efektif dan dengan batuk atau
suara nafas yang suction
bersih, tidak ada 4. Atur posisi pasien
sianosis dan untuk
dyspnea (mampu memaksimalkan
mengeluarkan ventilasi
sputum, mampu 5. Ajarkan teknik batuk
bernafas dengan efektif
mudah, dan tidak
ada pursed lips)
2. Menunjukan jalan
nafas yang paten
(klien tidak
merasa tecekik,
irama nafas,
frekuensi
pernafasan dalam
rentang normal
dan tidak ada suaa
nafas abnormal)
3. Mampu dan
mengidentifikasi
dan mencegah
faktor yang yang
dapat
menghambat jalan
nafas
2 Nyeri akut b.d 1. Pain level 1. Kaji nyei secaa
agen cidera 2. Pain control komprehensif
biologis 3. Comfort level termasuk lokasi,
(penyumbatan Kriteria Hasil : kaakteristik, duasi,
pembuluh darah 1. Mampu fekuensi, kualitas, dan
otak) mengontrol nyeri fakto presipitasi
(tahu penyebab 2. Kurangi faktor
nyeri, mampu presipitasi nyeri
menggunakan 3. Ajakan tekhnik non
tehnik farmakologi
farmakologi 4. Kolaboasi dengan
untuk dokter jika ada
mengurangi keluhan dan tindakan
nyeri, mencari nyeri tidak berhasil
bantuan)
2. Melaporkan
bahwa nyeri
berkurang
dengan
menggunakan
manajemen nyeri
3. Mampu
mengenali nyeri
(skala, intensitas,
frekuensi dan
tanda nyeri)
4. Menyatakan rasa
nyaman setelah
nyei bekurang
3 Hambatan 1. Anxiety self 1. Gunakan
komunikasi control penerjemah , jika
verbal b.d 2. Coping diperlukan
penurunan 3. Sensory 2. Beri satu kalimat
sikulasi ke otak function: hearing simple setiap
& vision bertemu, jika
4. Fear sef control diperlukan
Kriteria Hasil : 3. Dorong pasien
1. Komunikasi: untuk
penerimaan, berkomunikasi
intrepretasi dan secara perlahan
ekspresi pesan dan untuk
lisan, tulisan, mengulangi
permintaan
dan non verbal 4. Dengarkan
meningkat dengan penuh
2. Komunikasi perhatian
ekspresif 5. diperlukan
(kesulitan 6. Berikan pujian
berbicara) : positive jika
ekspresi pesan diperlukan
verbal dan atau 7. Ajarkan bicara
non verbal yang dari esophagus,
bermakna jika
3. Komunikasi 8. Konsultasikan
reseptif dengan dokter
(kesutitan kebutuhan terapi
mendengar) : bicara
penerimaan
komunikasi dan
intrepretasi
pesan verbal
dan/atau non
verbal
4. Gerakan
Terkoordinasi :
mampu
mengkoordinasi
gerakan dalam
menggunakan
isyarat
5. Pengolahan
informasi : klien
mampu untuk
memperoleh,
mengatur, dan
menggunakan
informasi
6. Mampu
mengontrol
respon
ketakutan dan
kecemasan
terhadap
ketidakmampua
n berbicara
7. Mampu
memanajemen
kemampuan
fisik yang di
miliki
8. Mampu
mengkomunikas
ikan kebutuhan
dengan
lingkungan
sosial

4 Hambatan 1. Joint Movement 1. Monitoring vital sign


mobilitas fisik : Active sebelum/sesudah
b.d penurunan 2. Mobility level latihan dan lihat
kekuatan otot 3. Self care : ADLs respon pasien saat
4. Transfer latihan
performance
Kriteria Hasil:
1. Klien meningkat 2. Kaji kemampuan
dalam aktivitas pasien dalam
fisik mobilisasi
2. Mengerti tujuan 3. Latih pasien dalam
dan peningkatan pemenuhan kebutuhan
mobilitas ADLs secara mandiri
3. Memverbalisasik sesuai kemampuan
an perasaan 4. Dampingi dan Bantu
dalam pasien saat mobilisasi
meningkatkan dan bantu penuhi
kekuatan dan kebutuhan ADLs
kemampuan pasien.
berpindah 5. Berikan alat bantu jika
4. Memperagakan klien memerlukan.
penggunaan alat 6. Ajarkan pasien
5. Bantu untuk bagaimana merubah
mobilisasi posisi dan berikan
(walker) bantuan jika
diperlukan
7. Konsultasikan dengan
terapi fisik tentang
rencana ambulasi
sesuai dengan
kebutuhan

5 Resiko 1. Circulation status 1. Monitor adanya


ketidakefektifa 2. Tissue Perfusion daerah tertentu yang
n perfusi : cerebral hanya peka terhadap
jaringan otak Kriteria Hasil : panas/dingin/tajam/tu
1. Mendemonstrasik mpul
an status sirkulasi
yang ditandai 2. Monitor adanya
dengan : tromboplebitis
a. Tekanan
systole dan 3. Monitor adanya
diastole dalam paretese
rentang yang 4. lnstruksikan keluarga
diharapkan untuk mengobservasi
b. Tidak ada kulit jika ada isi atau
ortostatik laserasi
hipertensi 5. Gunakan sarung
c. Tidak ada tangan untuk proteksi
tanda tanda 6. Batasi gerakan pada
peningkatan kepala, leher dan
tekanan punggung
intrakranial 7. Diskusikan menganai
(tidak lebih penyebab perubahan
dari 15 sensasi
mmHg) 8. Kolaborasi
2. Mendemonstrasik pemberian analgetik
an, kemampuan
kognitif yang
ditandai dengan :
a. Berkomunikas
i dengan jelas
dan sesuai
dengan
kemampuan
b. Menunjukkan
perhatian,
konsentrasi
dan orientasi
c. Memproses
informasi
d. Membuat
keputusan
dengan benar
3. Menunjukkan
fungsi sensori
motori cranial
yang utuh :
tingkat kesadaran
membaik tidak
ada gerakan
gerakan
involunter

6 Resiko 1. Nutritional Status 1. Kaji adanya alergi


ketidakseimban : makanan
gan nutrisi 2. Nutritional Status 2. Monitor kekeringan,
kurang dari : food and Fluid rambut kusam, dan
kebutuhan Intake mudah patah
tubuh 3. Nutritional 3. Monitor kalori dan
Status: nutrient intake nutrisi
Intake 4. Berikan makanan
4. Weight control yang terpilih (sudah
Kriteria Hasil : dikonsultasikan
1. Adanya dengan ahli gizi)
peningkatan 5. Ajarkan pasien
berat badan bagaimana membuat
sesuai dengan catatan makanan
tujuan harian.
2. Berat badan ideal 6. Berikan informasi
sesuai dengan tentang kebutuhan
tinggi badan nutrisi
3. Mampu 7. Kolaborasi dengan
mengidentifikasi ahli gizi untuk
kebutuhan nutrisi menentukan jumlah
4. Tidak ada tanda- kalori dan nutrisi
tanda malnutrisi yang dibutuhkan
5. Menunjukkan pasien.
peningkatan
fungsi
pengecapan dan
menelan
6. Tidak terjadi
penurunan berat
badan yang
berarti

7 Resiko 1. Tissue Integrity : 1. Anjurkan pasien


kerusakan Skin and Mucous untuk menggunakan
integritas kulit Membranes pakaian yang
2. Hemodyalis longgar
akses 2. Hindari kerutan pada
Kriteria Hasil : tempat tidur
1. Integritas kulit 3. Jaga kebersihan kulit
yang baik bisa agar tetap bersih dan
dipertahankan kering
(sensasi, 4. Mobilisasi pasien
elastisitas, (ubah posisi pasien)
temperatur, setiap dua jam sekali
hidrasi, 5. Monitor kulit akan
pigmentasi) adanya kemerahan
2. Tidak ada 6. Oleskan lotion atau
luka/lesi pada minyak/baby oil
kulit pada daerah yang
3. Perfusi jaringan tertekan
baik 7. Monitor aktivitas
4. Menunjukkan dan mobilisasi
pemahaman pasien
dalam proses 8. Monitor status
perbaikan kulit nutrisi pasien
dan mencegah 9. Memandikan pasien
terjadinya cedera dengan sabun dan air
berulang hangat
5. Mampu
melindungi kulit
dan
mempertahanka
n kelembaban
kulit dan
perawatan alami

4. Implementasi
Implementasi dilakukan sesuai dengan intervensi
5. Evaluasi
a. Dx 1
S :-
O :
- Px mampu mendemostrasikan batuk efektif dan suara nafas
yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspnea (mampu
mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah,
dan tidak ada pursed lips)
- Px menunjukan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa
tecekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang
normal dan tidak ada suaa nafas abnormal)
- Mampu dan mengidentifikasi dan mencegah faktor yang
yang dapat menghambat jalan nafas

A : Masalah teratasi

P : Petahankan kondisi

b. Dx 2
S :
- Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan
manajemen nyeri
- Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan
tanda nyeri)
- Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan
manajemen nyeri
O :
- Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu
menggunakan tehnik farmakologi untuk mengurangi nyeri,
mencari bantuan)

A : Masalah teratasi

P : Petahankan kondisi

c. Dx 3
S :-
O :
- Komunikasi: penerimaan, intrepretasi dan ekspresi pesan
lisan, tulisan, dan non verbal meningkat
- Komunikasi ekspresif (kesulitan berbicara) : ekspresi pesan
verbal dan atau non verbal yang bermakna
- Komunikasi reseptif (kesutitan mendengar) : penerimaan
komunikasi dan intrepretasi pesan verbal dan/atau non
verbal
- Gerakan Terkoordinasi : mampu mengkoordinasi gerakan
dalam menggunakan isyarat
- Pengolahan informasi : klien mampu untuk memperoleh,
mengatur, dan menggunakan informasi
- Mampu mengontrol respon ketakutan dan kecemasan
terhadap ketidakmampuan berbicara
- Mampu memanajemen kemampuan fisik yang di miliki
- Mampu mengkomunikasikan kebutuhan dengan
lingkungan sosial
A : Masalah teratasi
P : Petahankan kondisi
d. Dx 4
S :-
O :
- Klien meningkat dalam aktivitas fisik
- Mengerti tujuan dan peningkatan mobilitas
- Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan
kekuatan dan kemampuan berpindah
- Memperagakan penggunaan alat
- Bantu untuk mobilisasi (walker)
A : Masalah teratasi
P : Pertahankan kondisi
e. Dx 5
S :-
O :
- Mendemonstrasikan status sirkulasi yang ditandai dengan :
o Tekanan systole dan diastole dalam rentang yang
diharapkan
o Tidak ada ortostatik hipertensi
o Tidak ada tanda tanda peningkatan tekanan intrakranial
(tidak lebih dari 15 mmHg)
- Mendemonstrasikan, kemampuan kognitif yang ditandai
dengan :
o Berkomunikasi dengan jelas dan sesuai dengan
kemampuan
o Menunjukkan perhatian, konsentrasi dan orientasi
o Memproses informasi
o Membuat keputusan dengan benar
- Menunjukkan fungsi sensori motori cranial yang utuh :
tingkat kesadaran membaik tidak ada gerakan gerakan
involunter
A : Masalah teratasi
P : Pertahankan kondisi
f. Dx 6
S :-
O :
- Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan
- Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan
- Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
- Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
- Menunjukkan peningkatan fungsi pengecapan dan menelan
- Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti
A : Masalah teratasi
P : Pertahankan kondisi
g. Dx 7
S :-
O :
- Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi,
elastisitas, temperatur, hidrasi, pigmentasi)
- Tidak ada luka/lesi pada kulit
- Perfusi jaringan baik
- Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit
dan mencegah terjadinya cedera berulang
- Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban
kulit dan perawatan alami
A : Masalah teratasi
P : pertahankan kondisi
DAFTAR PUSTAKA

Nurarif .A.H. dan Kusuma. H. (2015). APLIKASI Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC.
Jogjakarta: MediAction.

Bowman, Lisa. (2009). Management Of Client With Acute Stroke. In: Black, Joice
M. & Jane Hokanson Hawks, Medical Surgical Nursing: Clinical Management For
Positive Outcome (8th ed., pp 1843-1871). Philadelpia: WB. Saunders Company

Goldszmidt, Adrian J & Caplan, Louis R. (2011). Esensial Stroke. Jakarta: EGC

Go, Alan S., Mozaffarin, D., Roger, Veronique L., Benjamin, Emelia J., Berry,
Jarett D., Borden, William D. (2013). Heart Disease and Stroke Statistics—
2013 Update: A Report From the American Heart Association. 127, e132-
e139.

Price, Sylvia Anderson. (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-


ProsesPenyakit. Jakarta: EGC

Smelzer, Suzanne C dan Brenda Bare. (2003). Brunner & Suddarth’s Textbook of
Medical Surgical Nursing 10th ed. Philadelpia: Lippincot Williams & Wilkins

Smeltzer, Suzanne C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Jakarta: EGC

World Health Organization. (2006). Neurologica Disorders : Public Health

Challenges. pp 151-162. Switzerland: WHO Press

Zomorodi, Meg. (2011). Nursing Management Stroke. In: Lewis, Sharon L et al,

Medical Surgical Nursing: Assessment And Management Of Clinical Problem (8th


ed., pp. 1459-1484). United States of America: Elsevier Mosby

You might also like