You are on page 1of 33

1.

This house believe to use stocks or physical restrain to mental ill patient

RESTRAIN

1. Pengertian
Restrain adalah terapi dengan menggunakan alat-alat mekanik atau manual untuk
membatasi mobilitas fisik klien. Alat tersebut meliputi penggunaan manset untuk
pergelangan tangan atau kaki dan kain pengikat. Restrain harus dilakukan pada kondisi
khusus, hal ini merupakan intervensi yang terakhir jika perilaku klien sudah tidak dapat
diatasi atau dikontrol dengan strategi perilaku maupun modifikasi lingkungan.

2. Indikasi

Adapun dari indikasi tindakan restrain adalah sebagai berikut:


a. Perilaku kekerasan yang membahayakan diri sendiri dan lingkungannya.

b. Perilaku agitasi yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan.

c. Klien yang mengalami gangguan kesadaran.

d. Klien yang membutuhkan bantuan untuk mendapatkan rasa aman dan pengendalian
diri.

e. Ancaman terhadap integritas tubuh berhubungan dengan penolakan klien untuk


istirahat, makan dan minum.

3. Prinsip Tindakan

Prinsip dari tindakan restrain ini adalah melindungi klien dari cedera fisik dan
memberikan lingkungan yang nyaman. Restrain dapat menyebabkan klien merasa
tidak dihargai hak asasinya sebagai manusia, untuk mencegah perasaan tersebut
perawat harus mengidentifikasi faktor pencetus pakah sesuai dengan indikasi terapi,
dan terapi ini hanya untuk intervensi yang paling akhir apabila intervensi yang lain
gagal mengatasi perilaku agitasi klien. Kemungkinan mencederai klien dalam proses
restrain sangat besar, sehingga perlu disiapkan jumlah tenaga perawat yang cukup dan
harus terlatih untuk mengendalikan perilaku klien. Perlu juga dibuat perencanaan
pendekatan dengan klien, penggunaan restrain yang aman dan lingkungan restrain
harus bebas dari benda-benda berbahaya.

Referensi:

Riyadi, S dan Purwanto, T. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa.

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit


2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran
4. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 436/SK/VI/1993 tentang penerapan
Standar Pelayanan Rumah Sakit dan Standar Pelayanan Medis
5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1691/ MENKES/PER/VIII/2011 Tentang
Keselamatan Pasien Rumah Sakit
A. Pengertian
Pengertian dasar restraint: ‘membatasi gerak’ atau ‘membatasi kebebasan. Pengertian secara
internasional: restraint adalah suatu metode/ cara pembatasan/ restriksi yang disengaja terhadap
gerakan/ perilaku seseorang. Dalam hal ini, ‘perilaku’ yang dimaksudkan adalah tindakan yang
direncanakan, bukan suatu tindakan yang tidak disadari/tidak disengaja/sebagai suatu refleks.

Pengertian lainnya: restraint adalah suatu tindakan untuk menghambat/ mencegah seseorang
melakukan sesuatu yang diinginkan. Definisi restraint ini berlaku untuk semua penggunaan restraint
di unit dalam rumah sakit. Pada umumnya, jika pasien dapat melepaskan suatu alat yang dengan
mudah, maka alat tersebut tidak dianggap sebagai suatu restraint.

Isolasi/ pengasingan adalah suatu tindak pengasingan terhadap pasien di dalam suatu ruangan
dimana pasien tinggal sendiri dan dicegah secara fisik untuk meninggalkan ruangan tersebut. Isolasi
hanya digunakan untuk tujuan penanganan tindakan yang membahayakan diri sendiri dan atau
orang lain. Ruang isolasi ini harus dipastikan untuk selalu terkunci. Seorang pasien yang dipisahkan
sendirian dalam suatu ruangan yang tidak dikunci tidak tergolong sebagai isolasi. Pengasingan
pasien di suatu unit/ ruang rawat yang dikunci bersama-sama dengan pasien lainnya juga tidak
tergolong isolasi. Timeout tidak dianggap sebagai isolasi.

Timeout adalah suatu intervensi dimana pasien setuju untuk ditempatkan sendirian dalam suatu
area/ ruangan dalam kurun waktu tertentu dan pasien tidak dicegah secara fisik untuk meninggalkan
ruangan. Pasien dapat meninggalkan ruangan dengan bebas.

B. Jenis Restraint
1. Pembatasan Fisik
a. Melibatkan satu atau lebih staf untuk memegangi pasien, menggerakkan pasien, atau mencegah
pergerakan pasien.
b. Jika pasien dapat dengan mudah meloloskan diri/ melepaskan diri dari pegangan staf, maka hal
ini tidak dianggap sebagai suatu restraint
c. Pemegangan fisik: biasanya staf memegangi pasien dengan tujuan untuk melakukan suatu
pemeriksaan fisik/ tes rutin. Namun, pasien berhak untuk menolak prosedur ini.
1) Memegangi pasien dengan tujuan untuk membatasi pergerakan pasien dan berlawanan dengan
keinginan pasien termasuk suatu bentuk restraint.
2) Pemegangan pasien secara paksa saat melakukan prosedur pemberian obat (melawan keinginan
pasien) dianggap suatu restraint. Sebaiknya, kalaupunn terpaksa memberikan obat tanpa
persetujuan pasien, dipilih metode yang paling kurang bersifat restriktif/sesedikit mungkin
menggunakan pemaksaan.
3) Pada beberapa keadaan, dimana pasien setuju untuk menjalani prosedur/medikasi tetapi tidak
dapat berdiam diri/ tenang untuk disuntik / menjalani prosedur, staf boleh memegangi pasien
dengan tujuan prosedur / pemberian medikasi berjalan dengan lancar dan aman. Hal ini bukan
merupakan restraint.
4) Pemegangan pasien, biasanya anak / bayi, dengan tujuan untuk menenangkan memberi
kenyamanan kepada pasien tidak dianggap sebagai suatu restraint

2. Pembatasan Mekanis
a. Melibatkan penggunaan suatu alat.
1) Penggunaan sarung tangan khusus di ruang rawat intensif (Intensive Care Unit )
2) Peralatan sehari-hari: ikat pinggang / sabuk untuk mencegah pasien jatuh dari kursi, penggunaan
pembatas di sisi kiri dan kanan tempat tidur (bedrails) untuk mencegah pasien jatuh/ turun dari
tempat tidur.
3) Penggunaan side rails dianggap berisiko, terutama untuk pasien geriatri dan disorientasi. Pasien
geriatri yang rentan berisiko terjebak diantara kasur dan side rails.
4) Pasien disorientasi dapat menganggap side rails sebagai penghalang untuk dipanjati dan dapat
bergerak ke ujung tempat tidur untuk turun dari tempat tidur. Saat pasien berusaha turun dari tempat
tidur dengan menggunakan segala cara, pasien berisiko terjebak, tersangkut, atau jatuh dari tempat
tidur dengan kemungkinan mengalami cedera yang lebih berat dibandingkan tanpa menggunakan
side rails.
5) Penggunaan side rails harus mempunyai keuntungan yang melebihi risikonya.Namun, jika pasien
secara fisik tidak mampu turun dari tempat tidur penggunaan side rails bukan merupakan restraint
karena penggunaan side rails tidak berdampak pada kebebeasan bergerak pasien
6) Penggunaan restraint pada pasien yang memerlukan mobilisasi rutin (untuk melancarkan sirkulasi
dan mencegah ulkus dekubitus) merupakan suatu intervensi untuk melindungi pasien dari risiko
jatuh, dan hal ini tidak dianggap sebagai restraint.
7) Penggunaan side rails pada pasien kejang untuk mencegah pasien jatuh/ cedera tidak dianggap
sebagai restraint
8) Pengontrolan kebebasan gerak pasien: penggunaan kunci, penyekat, tombol pengatur, dan
sebagainya.

b. Alat dan metode yang tidak termasuk sebagai restraint sering digunakan pada perawatan medis
atau bedah, yaitu:
1) Penggunaan papan fiksasi infus di tangan pasien, bertujuan untuk stabilisasi jalur intravena (IV).
Namun, jika papan fiksasi ini diikat ke tempat tidur atau keseluruhan lengan pasien diimobilisasi
sehingga pasien tidak dapat mengakses bagian tubuhnya secara bebas, maka penggunaan papan
ini dianggap sebagai restraint
2) Penggunaan alat pendukung mekanis untuk memperoleh posisi tubuh tertentu pada pasien,
membantu keseimbangan / kesegarisan sehingga mempermudah mobilitas pasien. Misalnya:
penyangga kaki, leher, kepala, atau punggung
3) Alat untuk memposisikan atau mengamakan posisi pasien, membatasi pergerakan pasien, atau
secara temporer mengimobilisasi pasien selama menjalani prosedur medis, gigi, diagnostik, atau
bedah.
4) Pemulihan dari pengaruh anestesia yang terjadi saat pasien berada dalam perawatan ICU atau
ruang perawatan pasca anestesi dianggap sebagai bagian dari prosedur pembedahan sehingga
penggunaan alat seperti bedrails untuk kondisi pasien tidak dianggap bukan suatu restraint.
5) Beragam jenis sarung tangan untuk pasien tidak dianggap sebagai suatu restraint. Namun, jika
sarungt angan ini diikat / ditempelkan ke tempat tidur /menggunakan fiksator pergelangan tangan
bersamaan dengan sarung tangan dapat dianggap sebagai suatu restraint. Jika sarung tangan
tersebut dipakai dengan cukup ketat/ kencang hingga menyebabkan tangan / jari pasien tidak dapat
bergerak, hal ini dapat dianggap sebagai restraint. Penggunaan sarung tangan yang tabal / besar
juga dianggap sebagai restraint jika menghambat pasien dalam menggunakan tangannya.

3. Surveilans Teknologi
a. Teknologi yang digunakan dapat berupa: balut tekan (pressure pads), gelang pengenal, televisi
sirkuit tertutup, atau alarm pada pintu. Kesemuanya ini sering digunakan oleh staf untuk
meningkatkan kewaspadaan terhadap pasien yang mencoba untuk keluar/ kabur atau untuk
memantau pergerakan pasien.
b. Metode ini sering diterapkan dalam program perencanaan keperawatan pasien, yang disesuaikan
dengan kebijakan organisasi dan mempunyai asesmen risiko serta panduan yang jelas
4. Pembatasan Kimia
a. Melibatkan penggunaan obat-obatan untuk membatasi pasien.
b. Obat-obatan dianggap sebagai suatu restraint hanya jika penggunaan obatobatan tersebut tidak
sesuai dengan standar terapi pasien dan penggunaan obat-obatan ini hanya ditujukan untuk
mengontrol perilaku pasien / membatasi kebebasan bergerak pasien.
c. Obat-obatan ini dapat merupakan obat-obatan yang secara rutin diresepkan, termasuk obat yang
dijual bebas
d. Pemberian obat-obatan sebagai bagian dari tata laksana pasien tidak dianggap sebagai restraint.
Misalnya obat-obatan psikotik untuk pasien psikiatri, obat sedasi untuk pasien dengan insomnia,
obat anti-ansietas untuk pasien dengan gangguan cemas, atau analgesik untuk mengatasi nyeri.

e. Kriteria untuk menentukan suatu penggunaan obat dan kombinasinya tidak tergolong restraint
adalah:
1) Obat-obatan tersebut diberikan dalam dosis yang sesuai dan telah disetujui oleh Food and Drug
Administration (FDA) dan sesuai dengan indikasinya
2) Penggunaan obat mengikuti / sesuai dengan standar praktik kedokteran yang berlaku
3) Penggunaan obat untuk mengobati kondisi medis tertentu pasien didasarkan pada gejala pasien,
keadaan umum pasien, dan pengetahuan klinisi / dokter yang merawat pasien.
4) Penggunaan obat tersebut diharapkan dapat membantu pasien mencapai
5) kondisi fungsionalnya secara efektif dan efisien
6) Jika secara keseluruhan efek obat tersebut menurunkan kemampuan pasien
7) Untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya secara efektif, maka obat tersebut tidak
digunakan sebagai terapi standar untuk pasien.
8) Tidak diperbolehkan menggunakan ‘pembatasan kimia’ (obat sebagai restraint) untukf. Tidak
diperbolehkan menggunakan ‘pembatasan kimia’ (obat sebagai restraint) untuk tujuan kenyamanan
staf, untuk mendisiplinkan pasien, atau sebagai metode untuk pembalasan dendam.
9) Efek samping penggunaan obat haruslah dipantau secara rutin dan ketat
Contoh kasus: seorang pasien menjalani program detoksifikasi. Selama terapi ini, pasien menjadi
agresif dan agitatif. Staf meresepkan obat yang bersifat pro re nata (kalau perlu) untuk mengatasi
perilaku agitasi pasien. Penggunaan obat ini membantu pasien untuk berinteraksi dengan orang lain
dan berfungsi dengan lebih efektif. Obat untuk mengatasi perilaku agitasi pasien ini merupakan
standar terapi untuk menangani kondisi medis pasien (misalnya: gejala withdrawal akibat alkohol/
narkotika). Dalam kasus ini, penggunaan obat tidak dianggap sebagai restraint.

5. Pembatasan Psikologis
a. Dapat meliputi: pemberitahuan secara konstan / terus-menerus kepada pasien mengenai hal-hal
yang tidak boleh dilakukan atau memberitahukan bahwa pasien tidak diperbolehkan melakukan hal-
hal yang mereka inginkan karena tindakan tersebut berbahaya.
b. Pembatasan ini dapat juga berupa pembatasan pilihan gaya hidup pasien, seperti
memberitahukan kepada pasien mengenai waktu tidur dan waktu bangunnya. Contoh lainnya:
pembatasan benda-benda / peralatan milik pasien, seperti: mengambil alat bantu jalan pasien,
kacamata, pakaian sehari-hari, atau mewajibkan pasien menggunakan seragam rumah sakit dengan
tujuan mencegah pasien untuk kabur / keluar.
c. Jika suatu tindakan memenuhi definisi restraint, hal ini tidak secara otomatis dianggap salah /
tidak dapat diterima.
d. Penggunaan restraint secara berlebihan dapat terjadi, tetapi pengambilan keputusan untuk
mengaplikasikan restraint bukanlah suatu hal yang mudah. Suatu diskusi yang mendalam mengenai
aspek etik, hukum, praktik, dan profesionalisme dilakukan untuk membantu tenaga kesehatan
(misalnya perawat) memahami perbedaan antara penggunaan restraint yang salah/ tidak dapat
ditolerir dengan kondisi yang memang memerlukan tindakan restraint.
e. Tidaklah memungkinkan untuk membuat suatu daftar mengenai jenis restraint apa saja yang
dapat diterapkan kepada pasien dikarenakan pengaplikasiannya bergantung pada kondisi pasien
saat itu.
f. Suatu pembatasan fisik/ mekanis/ kimia dapat diterapkan pada suatu kondisi tertentu, tetapi tidak
pada kondisi lainnya

C. Indikasi Restrain
1. Pasien menunjukkan perilaku yang berisiko membahayakan dirinya sendiri dan atau orang lain
2. Tahanan pemerintah (yang legal / sah secara hukum) yang dirawat di rumah sakit
3. Pasien yang membutuhkan tata laksana emergensi (segera) yang berhubungan dengan
kelangsungan hidup pasien
4. Pasien yang memerlukan pengawasan dan penjagaan ketat di ruangan yang aman
5. Restraint atau isolasi digunakan jika intervensi lainnya yang lebih tidak restriktif tidak berhasil
/tidak efektif untuk melindungi pasien, staf, atau orang lain dari ancaman bahaya.

Indikasi ini diaplikasikan untuk:


1. Semua rumah sakit: rumah sakit layanan akut (acute care), layanan jangka panjang, rumah sakit
jiwa, rumah sakit anak dan bunda, dan rumah sakit kanker
2. Semua lokasi di dalam rumah sakit: semua jenis perawatan, termasuk ruang rawat inap biasa,
unit bedah/medis, ICU, IGD, forensik, ruang rawat psikiatri, ruang rawat anak, dan sebagainya
3. Semua pasien di rumah sakit, tanpa melihat usia, yang memenuhi indikasi.

Indikasi ini tidak spesifik terhadap prosedur medis tertentu, namun disesuaikan dengan setiap
perilaku individu dimana terdapat pertimbangan mengenai perlunya menggunakan restraint atau
tidak. Keputusan penggunaan restraint ini tidak didasarkan pada diagnosis, tetapi melalui asesmen
pada setiap individu secara komprehensif. Asesmen ini digunakan untuk menentukan apakah
penggunaan metode yang kurang restriktif memiliki risiko yang lebih besar daripada risiko akibat
penggunaan restraint. Asesmen komprehensif ini harus meliputi pemeriksaan fisik untuk
mengidentifikasi masalah medis yang dapat menyebabkan timbulnya perubahan perilaku pada
pasien. Misalnya: peningkatan suhu tubuh, hipoksia, hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit,
interaksi obat, dan efek samping obat dapat menimbulkan kondisi delirium, agitasi, dan perilaku
yang agresif. Penanganan masalah medis ini dapat mengeliminasi atau meminimalisasi kebutuhan
akan restraint/ isolasi.
menggunakan restraint atau tidak. Keputusan penggunaan restraint ini tidak didasarkan pada
diagnosis, tetapi melalui asesmen pada setiap individu secara komprehensif. Asesmen ini digunakan
untuk menentukan apakah penggunaan metode yang kurang restriktif memiliki risiko yang lebih
besar daripada risiko akibat penggunaan restraint. Asesmen komprehensif ini harus meliputi
pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi masalah medis yang dapat menyebabkan timbulnya
perubahan perilaku pada pasien. Misalnya: peningkatan suhu tubuh, hipoksia, hipoglikemia,
ketidakseimbangan elektrolit, interaksi obat, dan efek samping obat dapat menimbulkan kondisi
delirium, agitasi, dan perilaku yang agresif. Penanganan masalah medis ini dapat mengeliminasi
atau meminimalisasi kebutuhan akan restraint/ isolasi.
Dalam banyak kasus, restraint dapat dihindari dengan melakukan perubahan yang positif terhadap
pemberian/ penyediaan pelayanan kesehatan dan menyediakan dukungan pada pasien baik secara
fisik maupun psikologis. Perlu dicatat bahwa pasien yang berkapasitas mental baik dapat meminta
sesuatu, seperti penggunaan sabuk / ikat pengaman atau bedrails untuk meningkatkan rasa aman
mereka. Meskipun hal ini mungkin tidak sejalan dengan rekomendasi perawat, pilihan pasien
haruslah dihormati dan diikutsertakan dalam penyusunan / pembuatan rencana keperawatan pasien
dan asesmen risiko.
Jika pasien tidak dapat memberikan persetujuan (consent), perawat seyogianya selalu menjelaskan
tindakan yang akan dilakukan, berikut membantu pasien untuk memahami dan menyetujui tindakan
tersebut. Suatu studi menyarankan bahwa penggunaan restraint pasien yang delirium sekalipun,
pasien tersebut akan sangat menghargai dan mengingat penjelasan perawat mengenai kondisi
pasien dan alasan pasien dilakukan restraint, terutama untuk meyakinkan bahwa tindakan tersebut
ditujukan untuk keselamatan pasien.

Salah satu cara untuk membantu tenaga kesehatan menghindari penggunaan restraint adalah
dengan menyediakan lingkungan perawatan yang berkesan positif. Berikut adalah beberapa cara
untuk menyediakan lingkungan yang positif:
1. Perawatan yang berpusat pada pasien, terutama yang mempunyai kebutuhan dukungan
psikologis
2. Tingkat kebebasan dan risiko perawatan di rumah
3. Pencegahan kekerasan dan agresi
4. Pencegahan ide / tindakan bunuh diri dan melukai diri sendi
5. Pengalaman pasien di ruang rawat intensif (ICU)
6. Pemenuhan kebutuhan pasien demensia di ruang rawat RS
7. Pencegahan dan penanganan delirium
8. Menjaga harga diri dan martabat pasien selama asuhan keperawatan
9. Pencegahan risiko jatuh

D. Dampak Negatif Penggunaan Restraint


1. Dampak fisik
a. Atrofi otot
b. Hilangnya / berkurangnya densitas tulang
c. Ulkus decubitus
d. Infeksi nosocomial
e. Strangulasi
f. Penurunan fungsional tubuh
g. Stress kardiak
h. Inkontinensia

2. Dampak psikologis
a. Depresi
b. Penurunan fungsi kognitif
c. Isolasi emosional
d. Kebingungan (confusion) dan agitasi

BAB III
PELAKSANAAN RESTRAINT
A. Aspek Etis
Setiap pasien berhak menerima pelayanan dalam kondisi lingkungan yang aman. Keselamatan
pasien, staf, atau orang lain merupakan dasar dalam menginisiasi dan menghentikan penggunaan
restraint atau isolasi. Semua pasien mempunyai hak kebebasan bergerak dan terbebas dari
kekerasan fisik emosional. Semua pasien berhak untuk bebas dari pengekangan (restraint) atau
isolasi yang dipaksakan dalam bentuk apapun, seperti pemaksaan, disiplin, atau sebagai wujud
pembalasan dendam oleh staf. Pembatasan (restraint) atau isolasi hanya boleh diterapkan untuk
menjamin keamanan fisik pasien, anggota staf, atau orang lain dan harus diberhentikan sesegera
mungkin jika kondisi telah memadai yang didasarkan pada asesmen per-individu dan re-evaluasi.

Dalam memenuhi kebutuhan setiap staf akan pentingnya minimalisasi penggunaan restraint, saat ini
telah dikembangkan suatu strategi etika komprehensif. Strategi ini mengharuskan tenaga kesehatan
untuk memikirkan juga aspek etika dalam pengambilan keputusan penggunaan restraint, dan bahwa
aspek etika ini diaplikasikan dalam semua aspek asuhan keperawatan di setiap fasilitas kesehatan.

Konsep etika dasar yang mendasari praktik keperawatan meliputi:


1. Kewajiban dan tugas: identifikasi kewajiban moral tenaga kesehatan terhadap orang lain dapat
membantu dalam menentukan tindakan terbaik apa yang seharusnya dilakukan dalam situasi
tersebut.
2. Hindari bahaya: merupakan salah satu konsep etika yang paling penting dan menjadi dasar
dalam mencapai praktik yang baik (ideal)
3. Asesmen terhadap konsekuensi tindakan: suatu tindakan yang diterima secara etis dapat
ditentukan dengan melakukan kalkulasi terhadap keuntungan dan kerugiannya.
4. Otonomi dan hak pasien: menghargai hak pasien untuk membuat keputusan sendiri dan
menghargai hak orang lain
5. Kepentingan yang terbaik: identifikasi dan bertindak yang terbaik sesuai dengan kepentingan
orang lain merupakan suatu tindakan atau keputusan yang etis
6. Nilai moral dan kepercayaan: dari kedua hal ini dapat diformulasikan/ disusun suatu prinsip etik

Penyelesaian masalah etika dapat merupakan suatu hal yang sulit dan menantang. Dalam
pembuatan keputusan untuk melakukan ‘pembatasan fisik’ (physical restraint), seringkali sulit untuk
mengindari ‘bahaya’ (harm) karena baik dilakukan restraint atau tidak, hal ini dapat membahayakan
pasien. Perawat memiliki tanggungjawab terhadap
seluruh pasien yang berada dalam asuhan keperawatan mereka, dan jika ternyata pemberian izin
kebebasan bertindak kepada satu pasien dapat menyebabkan kerugian / membahayakan orang
lain, maka pengambil keputusan harus mempertimbangkan konsekuensi terhadap pengaplikasian
restraint atau tidak mengaplikasikan restraint.
Penggunaan restraint sebagai respons lini pertama tidaklah kondusif untuk lingkungan sosial yang
positif. Jika seseorang merasa mampu untuk melakukan sesuatu dan mereka tidak dibatasi /
dicegah untuk melakukan hal-hal yang mereka inginkan, maka mereka akan berada dalam kondisi
emosional yang lebih baik dalam jangka waktu yang cukup lama. Pembuatan keputusan mengenai
pilihan tindakan terbaik kepada pasien dapat menyulitkan tenaga kesehatan. Sebagai bagian dari
pelatihan dan pengembangan profesionalitas berkesinambungan, perawat perlu mendiskusikan
mengenai dilema yang terjadi antara teoritis dan praktiknya. Kecuali dalam situasi emergensi,
keputusan pengaplikasian restraint dan kebijakan/ panduannya harus didiskusikan dengan tim
multidisiplin dan melibatkan pasien serta keluarganya, jika memungkinkan.
B. Aspek Hukum
Situasi dimana restraint diperbolehkan adalah jika pasien telah diberikan informasi yang cukup
mengenai kondisinya dan perlunya penggunaan restraint serta telah menyetujui dilakukannya
tindakan tersebut sebagai bagian dari program rencana asuhan keperawatan pasien. Pada kasus
lainnya, perawat mempunyai kewajiban profesi keperawatan untuk membatasi pasien dengan tujuan
melindungi pasien dari terjadinya risiko yang lebih membahayakan atau untuk menghindari potensi
risiko bahaya terhadap orang lain. Dalam situasi dimana perawat atau orang lain diserang / berisiko
mengalami bahaya fisik, diperbolehkan menggunakan restraint sebagai suatu wujud pertahanan diri.

Mental Capacity Act 2005 berlaku untuk setiap orang dengan usia enam belas tahun ke atas.
Undang undang ini menyediakan suatu kerangka hukum untuk memperkuat dan melindungi
masyarakat yang tidak dapat membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Sebagai contohnya: pada
orang dengan demensia, memiliki gangguan dalam belajar, masalah kesehatan jiwa, stroke, atau
cedera kepala. Dalam Mental Capacity Act 2005, terdapat 5 (lima) prinsip yang berkaitan dengan
proteksi kapasitas dan kelima-limanya harus dihormati untuk menyediakan pelayanan kesehatan
yang berkualitas. Berikut adalah kelima prinsip dasar tersebut:
1. Seseorang harus dianggap memiliki kapasitas mental yang baik kecuali telah terbuki bahwa orang
tersebut tidak memiliki kapasitas.
2. Seseorang tidak boleh diperlakukan seakan-akan ia tidak dapat/ tidak mampu membuat
keputusan kecuali semua langkah praktis untuk membantunya membuat keputusan telah dilakukan
dan tidak berhasil.
3. Seseorang tidak boleh diperlakukan seakan-akan tidak dapat/ tidak mampu membuat keputusan
hanya karena sebelumnya ia membuat keputusan yang tidak bijaksana/ kurang tepat
4. Suatu keputusan yang dibuat di bawah naungan perundang-undangan dan diperuntukkan kepada
seseorang yang tidak mampu membuat keputusan haruslah berdasarkan kepentingan yang menjadi
pilihan terbaiknya.
5. Sebelum suatu keputusan dibuat, pertimbangkan juga mengenai apakah tujuan tersebut dapat
dicapai secara efektif dengan cara yang lebih tidak membatasi hak dan kebebasan seseorang.

Mental Capacity Act 2005 menetapkan definisi yang legal/ sah mengenai status individu yang
mempunyai keterbatasan kapasitas. Seseorang dianggap tidak mampu membuat keputusan untuk
dirinya sendiri jika seseorang tersebut tidak mampu:
1. Memahami informasi yang relevan dengan keputusan tersebut
2. Mengingat informasi tersebut
3. Menggunakan informasi tersebut sebagai bagian dari proses pembuatan keputusan
4. Mengkomunikasikan keputusannya, baik dengan berbicara, menggunakan bahasa tubuh,
ataupun dengan cara lainnya

Fakta bahwa seseorang hanya mampu mengingat informasi yang relevan dengan pembuatan
keputusan dalam periode waktu yang singkat tidaklah mencegah mereka untuk dianggap kompeten
dan mampu membuat keputusan. Dalam situasi dimana terdapat pertimbangan menggunakan
restraint pada individu yang tidak kompeten, Mental Capacity Act 2005 memperbolehkan dilakukan
tata laksana sepanjang hal ini merupakan tindakan yang terbaik untuk kepentingan pasien.
Perundang undangan ini mengharuskan bahwa faktor-faktor di bawah ini harus dipertimbangkan
sebelum dilakukan pengambilan tindakan terhadap individu yang tidak kompeten:

1. Keinginan/ harapan dan perasaan pasien dahulu dan saat ini (dan terutama
pernyataan tertulis apapun yang relevan dengan kondisinya dan dibuat saat
pasien kompeten)
2. Kepercayaan dan nilai/ norma yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan pasien (jika
seandainya pasien masih kompeten)
3. Faktor lainnya yang mungkin akan dipertimbangkan oleh pasien seandainya pasien kompeten

Mental Capacity Act 2005 menetapkan kondisi dimana undang-undang ini dapat diterapkan dan
menyangkut penggunaan restraint terhadap individu yang tidak kompeten. Menurut undang-undang
ini, restraint didefinisikan sebagai suatu tindakan yang mengharuskan atau memaksa pasien untuk
melakukan suatu hal yang tidak
mereka inginkan, atau membatasi kebebasan bergerak pasien tanpa memperdulikan persetujuan
pasien.

Kewenangan hukum untuk membatasi seseorang hanya diperbolehkan jika ketiga kondisi di bawah
ini terpenuhi, yaitu:
1. Individu kurang / tidak kompeten dalam membuat keputusan
2. Perawat yakin dan memiliki alasan yang kuat akan perlunya penggunaan restraint
untukmencegah hal yang lebih buruk pada pasien
3. Tindakan ini merupakan respons yang sebanding / sepadan dengan potensi risiko bahaya yang
dapat dialami oleh individu dan beratnya bahaya tersebut.

Undang-undang mengenai HAM (1998) menetapkan panduan mengenai hak/ kebebasan individu.
Penggunaan restraint harus dijustifikasi dengan menggunakan alasan yang rasional dan jelas.
Alasan ini harus menjelaskan mengapa pertimbangan ini diyakini dapat/ boleh membatasi hak/
kebebeasan individu. Hukum perdata menyatakan bahwa jika perawat membatasi pasien tanpa
adanya dasar/ alasan yang profesional dan sah secara hukum, maka individu dapat membuat klaim/
gugatan kepada pengadilan dan menyatakan permohonan kompensasi terhadap kerugian yang
dialami oleh individu tersebut akibat adanya pembatasan. Kerugian ini dapat berbentuk fisik atau
psikologis yang secara langsung disebabkan oleh tindakan pembatasan (restraint).

Pengadilan akan menilai standar profesional saat itu untuk melihat apakah pembatasan ini
beralasan. Jika tindakan perawat berada di bawah standar, terdapat kemungkinan bahwa klaim/
gugatan individu akan menang. Fakta-fakta dari setiap kasus akan menjadi penting dan suatu
peninjauan ulang akan diselenggarakan dalam kurun waktu tertentu dimana restraint tersebut
digunakan. Kedua faktor ini akan dijustifikasi untuk melihat apakah faktor ini dapat diterima secara
profesional dan mengandung alasan yang kuat. Penting diingat bahwa penggunaan restraint
haruslah diantisipasi dan langkah-langkah diambil untuk menuliskannya di rekam medis.

Hukum pidana menyatakan bahwa membatasi tindakan/ gerakan seseorang tanpa persetujuan
merekadapat merupakan suatu bentuk tindak kriminal. Perawat yang melakukan pembatasan yang
tidak beralasan dapat dituntut secara hukum dan dapat mengarah pada penahanan, bergantung
pada beratnya jenis pembatasan (restraint) tersebut. Penting diketahui bahwa kapanpun restraint
digunakan oleh perawat, haruslah sesuai dengan standar profesional yang telah terjustifikasi dalam
kondisi tertentu. Setiap tuntutan yang diatur dalam hukum pidana akan mempertimbangkan apakah
tindakan pembatasan (restraint) tergolong suatu tindak kriminal berdasarkan Undang-undang
Parlemen, dalam hal ini dapat meliputi penyerangan/ kekerasan, penahanan yang tidak sah,
penanganan yang buruk, atau kelalaian yang disengaja.

Kontrak kerja sering membatasi lingkup praktik perawat dan mengharuskan perawat untuk mengikuti
kebijakan setempat yang berlaku, prosedur, ataupun protokol yang berkaitan dengan restraint. Hal
ini dapat berupa penjelasan terperinci mengenai bagaimana suatu keputusan untuk melakukan
pembatasan dibuat dalam kondisi yang berbeda-beda, siapa yang bertanggungjawab, dan
persyaratan lainnya seperti: mengikuti pelatihan berbasis kompetensi dan pelaksanaan asesmen
risiko untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kerugian / bahaya yang tidak diinginkan sebelum
menggunakan restraint.

C. Persetujuan (Informed Consent)


Persetujuan merupakan salah satu alat hukum yang legal dimana seseorang memberikan
kekuasaan yang sah terhadap tata laksana atau keperawatan. Hal ini dapat mencakup memberikan
persetujuan terhadap suatu bentuk restraint. Dasar persetujuan yang sah identik dengan
persyaratan profesional bahwa suatu persetujuan diperlukan sebelum melakukan suatu tindakan/
prosedur. Terdapat 3 (tiga) persyaratan yang harus dipenuhi sebelum penyataan persetujuan oleh
individu dapat diterima secara sah, yaitu:
1. Persetujuan harus diberikan oleh seseorang yang kompeten dalam segi mental/ kejiwaan
2. Individu yang membuat persetujuan harus memperoleh informasi yang memadai
mengenaikondisinya, risiko dan implikasi penggunaan restraint
3. Persetujuan ini harus dibuat tanpa adanya paksaan

D. Kendali/ Kontrol Jalan Keluar Dari Dan Ke Dalam Gedung


Unit atau rumah yang menyediakan layanan perawatan kepada pasien dewasa dapat mempunyai
beragam cara dalam mengontrol alur masuk dan keluar orang-orang dari gedung perawatan.
Beberapa cara tersebut adalah:
1. Gedung dikunci secara terus-menerus. Jalan keluar jika ada kebakaran dapat dibuka/dilalui tetapi
terpasang alarm.
2. Gedung yang memiliki resepsionis yang memegang kendali/ mengontrol setiap orang yang
keluar-masuk gedung.
3. Pintu yang terpasang kode nomor/ kata kunci (password) dan mengharuskan orang untuk
memasukkan kata kunci yang benar untuk dapat memperoleh akses masuk/ keluar.
4. Pintu dengan sistem pegangan yang rumit/ kompleks sehingga menyulitkan seseorang dengan
gangguan kognitif untuk dapat membukanya
5. Pintu yang dicat dengan warna dan pola yang menyerupai rak/ lemari buku, yang bertujuan untuk
mendistraksi seseorang agar tidak mengenali dan menggunakan pintu tersebut
6. Perubahan pola dan garis pada lantai yang terletak dekat dengan pintu, yang ditujukan untuk
menjauhkan orang-orang dari area ini
7. Sistem penggunaan tanda/ sensor pengenal yang akan membuat alarm berbunyi jika orang
dengan sensor pengenal tersebut mendekati pintu
8. Desain gedung yang melingkar sehingga membuat seseorang cenderung untuk berjalan dalam
lingkaran dan tidak mampu menemukan pintu utama/ keluar.
9. Pemasangan CCTV untuk mengobservasi semua jalan keluar.

Pemilik gedung/penyedia gedung yang berbasis layanan keperawatan bertanggungjawab untuk


menjaga keselamatan setiap orang yang berkunjung, tinggal/ menetap, atau bekerja di dalamnya,
termasuk mengamankan gedung dari penyusup/ orang asing. Namun, diperlukan juga suatu
asesmen untuk mencegah lansia (yang merupakan pasien/ penghuni) meninggalkan gedung, yang
bertujuan untuk melindungi mereka dan meningkatkan kualita hidupnya. Pencegahan ini haruslah
dilakukan dengan cara yang paling bermartabat dan sopan. Bahkan perubahan desain/ dekorasi/
pintu yang tidak kentara sekalipun dapat mendistraksi seseorang untuk tidak pergi. Perawat
diharapkan untuk berpartisipasi dalam desain gedung dan keamanan dan memastikan bahwa
digunakan suatu metode desain berbasis penelitian dalam menentukan hal tersebut.

E. Pemberian Dukungan Dari Organisasi/ Pemilik


Organisasi, berikut semua staf yang tercakup di dalamnya, mempunyai kewajiban pelayanan. Untuk
membantu memastikan tidak terjadinya penggunaan restraint yang tidak perlu dan perawat/ staf
lainnya berkontribusi dalam membuat keputusan yang tepat mengenai penggunaan restraint,
pemilik/ pemegang kekuasaan sebaiknya menyediakan:
1. Suatu kebijakan/ panduan untuk staf mengenai penggunaan restraint
2. Suatu pendekatan multidisiplin terhadap perencanaan asuhan keperawatan masing-masing
individu, termasuk tinjauan ulang rencana keperawatan pasien secara rutin
3. Suatu sistem pelaporan insidens dimana pasien/ staf mengalami bahaya/ menderita kerugian atau
berpotensi bahaya, dan belajar dari pengalaman tersebut, alur yang jelas mengenai tindak lanjut etis
terhadap penggunaan restraint yang tidak pada tempatnya
4. Akses pengacara independen untuk pasien
5. Prosedur asesmen risiko sehingga risiko yang dapat timbul akibat penggunaan restraint dapat
diantisipasi dan dikurangi
6. Edukasi yang sesuai, termasuk supervisi klinis, praktik, pembelajaran dari contoh praktik yang
baik, dan pelatihan berbasis kompetensi
7. Audit rutin yang berkaitan dengan restraint, termasuk studi banding dengan fasilitas layana
kesehatan lainnya
8. Pelatihan perawatan untuk demensia dan meningkatkan kewaspadaan staf di semua tingkat
layanan kesehatan

Pemilik / pemegang kekuasaan juga sebaiknya memastikan bahwa:


1. Mahasiswa keperawatan atau asisten layanan kesehatan tidak diikutsertakan dalam membuat
keputusan mengenai penggunaan restraint karena kurang kompeten Perawat tidak dipaksa untuk
mengikuti keinginan dari keluarga pasien untuk melakukan restraint terhadap pasien jika hal tersebut
bukanlah hal yang terbaik untuk pasien Menilai dan memantau penggunaan restraint / isolasi di
dalam fasilitas mereka
2. Memastikan bahwa kebijakan rumah sakit telah memenuhi persyaratan dalam standar minimal
nasional yang ditetapkan oleh pemerintah mengenai penggunaan restraint.

Restraint tidak boleh digunakan semata-mata untuk mengurangi beban kerja. Pemilik / pemegang
kekuasaan tidak boleh menempatkan perawat dalam posisi dimana mereka terpaksa melakukan
restraint karena kurangnya staf yang bertugas atau kurangnya sumber daya untuk menyediakan
perawatan yang aman dan berkualitas Pemilik/ pemegang kekuasaan di situasi yang berbeda dapat
mempunyai tanggung jawab spesifik, misalnya standar minimal nasional untuk rumah keperawatan
(panti jompo) adalah adanya orang yang berwenang untuk memastikan bahwa restraint hanya
digunakan jika hal ini merupakan cara/ metode praktikal satu-satunya dalam memastikan
kesejahteraan pasien/ penghuni dan bahwa penggunaan restraint terdokumentasi dengan baik.

F. Tanggung Jawab Individu


Dengan bantuan dari pemegang kekuasaan, kolega, dan manajer, dan saran serta sumber daya
dalam panduan ini, staf perawat harus memastikan bahwa mereka:
1. Memahami pengertian restraint
2. Menyediakan pelayanan yang terpusat kepada pasien sehingga meminimalisasi kebutuhan akan
restraint
3. Memahami kerangka etik dan hukum yang berkaitan dengan restraint
4. Mengetahui tindakan apa yang dilakukan jika terdapat kecurigaan adanya penggunaan restraint
yang tidak pada tempatnya/ salah
5. Memahami kondisi/ situasi dimana restraint diperbolehkan secara legal/ etis
6. Memahami cara untuk meminimalisasi risiko yang dapat timbul jika restraint digunakan

Penggunaan restraint selalu merupakan masalah emosional, yang menantang dan memberikan
keputusan yang sulit dalam melakukan perawatan pasien. Perawat sebaiknya mendiskusikan dan
memperdebatkan masalah ini, serta bekerja dengan koleganya untuk meningkatkan pelayanan dan
memperoleh solusi praktis yang sesuai dengan masing-masing individu pasien.

BAB IV
PANDUAN

1. Yang berwenang untuk membuat keputusan mengenai penggunaan restraint adalah dokter penanggung
jawab pasien.
a. Jika rumah sakit menggunakan protokol yang mencakup juga mengenai penggunaan restraint/ isolasi,
instruksi spesifik dari dokter penanggungjawab pasien tetap diperlukan setiap kali hendak mengaplikasikan
restraint/ isolasi.
b. Jika dokter penanggungjawab pasien tidak hadir saat dibutuhkan instruksi, maka tanggung jawab ini harus
didelegasikan kepada dokter lainnya. Dokter yang menerima delegasi nantinya akan mengkonsultasikan pasien
kepada dokter penangung jawab via telepon.

2. Restraint/ isolasi merupakan suatu hal yang tidak terjadi setiap waktu, bukanlah hal yang rutin terhadap
kondisi / perilaku tertentu pasien.

3. Setiap pasien harus dinilai dan intervensi yang diberikan haruslah sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan
pasien

4. Restraint/ isolasi ini berperan sebagai cara/ alternatif terakhir jika metode yang kurang restriktif lainnya
tidak berhasil/ tidak efektif untuk memastikan keselamatan pasien, staf, atau orang lain. Oleh karena itu,
restraint ini tidak boleh dianggap sebagai prosedur/ respon standar dalam penanganan pasien

5. Instruksi mengenai penggunaan restraint/ isolasi ini tidak boleh diberlakukan sebagai instruksi pro re nata
(jika perlu).
a. Setiap episode penggunaan restraint / isolasi harus dinilai dan dievaluasi serta berdasarkan instruksi dokter
b. Akhir-akhir ini baru terbebas dari penggunaan restraint / isolasi dan kemudian menunjukkan perilaku yang
membahayakan dan hanya dapat diatasi oleh re-aplikasi restraint / isolasi, diperlukan instruksi baru untuk
melakukan re-aplikasi.
c. Staf tidak boleh memberhentikan penggunaan restraint isolasi dan kemudian mereaplikasikannya kembali di
bawah instruksi yang sama (sebelumnya).

6. Pengecualian
a. Penggunaan side rails yang diindikasikan di rekam medis pasien. Jika status pasien memerlukan penggunaan
keempat side rails selama pasien di tempat tidur, tidak diperlukan instruksi pro re nata. Tidak diperlukan
instruksi baru setiap kali pasien keluar / kembali ke tempat tidurnya.
b. Perilaku membahayakan diri sendiri. Jika pasien mengalami kondisi medis dan psikiatri kronis, seperti
Sindrom Lesch-Nyham, dimana pasien menunjukkan perilaku membahayakan diri sendiri, suatu instruksi
penggunaan restraint tidak perlu diperbaharui setiap kalinya. Tujuan penggunaan restraint ini adalah untuk
mencegah cedera/bahaya pada diri sendiri.
7. Tidak terdapat kriteria mengenai perilaku apa saja yang dianggap membahayakan. Keputusan mengenai
perilaku berbahaya ini dibuat berdasarkan penilaian oleh dokter (clinical judgement).

8. Instruksi penggunaan restraint/ isolasi yang bertujuan untuk manajemen perilaku destruktif/ membahayakan
harus dievaluasi dalam kurun waktu tertentu, seperti
tercantum di bawah ini:
a. 4 jam untuk dewasa ≥ 18 tahun ke atas
b. 2 jam untuk anak dan remaja usia 9-17 tahun
c. 1 jam untuk anak < 9 tahun

9. Perlu diketahui: batas waktu evaluasi seperti yang disebutkan di atas tidak berlaku pada kasus penggunaan
restraint dengan tujuan manajemen perilaku non-destruktif. Staf harus menilai dan memantau kondisi pasien
secara berkala untuk memastikan bahwa :
a. pasien dapat dibebaskan dari restraint/ isolasi pada waktu yang sedini mungkin.
b. restraint atau isolasi hanya boleh dilanjutkan selama kondisi membahayakan tersebut masih berlangsung
c. jika kondisi membahayakan tersebut telah teratasi, penggunaan restraint atau isolasi harus segera dihentikan.

10. Keputusan untuk menghentikan restraint harus berdasarkan pada pertimbangan bahwa restraint/ isolasi
tidak lagi dibutuhkan atau bahwa kebutuhan pasien dapat dipenuhi dengan metode yang kurang restriktif.

11. Suatu kondisi pembebasan restraint sementara yang diawasi secara langsung oleh staf dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan pasien (seperti pergi ke kamar mandi, makan, atau latihan gerak tubuh) tidak dianggap
sebagai pemberhentian restraint. Selama pasien berada dalam pengawasan langsung oleh staf, tidaklah
dianggap sebagai pemberhentian restraint karena pengawasan staf secara langsung dianggap memiliki tujuan
serupa dengan penggunaan restraint.

12. Pimpinan rumah sakit bertanggungjawab dalam menciptakan suatu budaya yang mendukung hak pasien
untuk terbebas dari restraint/ isolasi. Pimpinan harus memastikan sistem berjalan dengan baik,
diimplementasikan, dan dievaluasi secara rutin. Sistem ini membantumenetapkan standar pelayanan pasien
sehingga jika secara tidak langsung dapat meminimalisasi penggunaan restraint yang tidak tepat.

13. Penggunaan restraint disesuaikan dengan kebutuhan pasien, kondisi medis, riwayat penyakit, faktor
lingkungan, dan preferensi pasien.

14. Dalam mengaplikasikan restraint, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu:
a. Pengunaan restraint harus mempunyai batas waktu pemberlakuannya (maksimal 24 jam).
b. Pasien harus dievaluasi mengenai kondisi dan perlunya penggunaan restraint ini untuk dilanjutkan atau
tidak. Batas waktu berlakunya restraint ini ditetapkan oleh rumah sakit.

15. Jika batas waktu berlakunya instruksi restraint hampir berakhir, perawat yang bertugas harus menghubungi
dokter untuk melaporkan mengenai keadaan/ kondisi kinis serta hasil asesmen dan evaluasi terkini pasien,
sekaligus menanyakan apakah instruksi restraint ini akan dilanjutkan atau tidak (diperbaharui).

16. Untuk kasus aplikasi restraint pada pasien dengan perilaku destruktif:
a. Pasien harus ditemui dan dievaluasi secara langsung dalam waktu 1 jam setelah diberlakukannya instruksi
restraint oleh:
− Dokter yang bertugas
− asisten dokter yang terlatih
b. Dokter yang bertanggungjawab terhadap pasien harus menemui pasien secara langsung dan melakukan
asesmen dan evaluasi terhadap pasien sebelum menulis instruksi baru mengenai penggunaan restraint/ isolasi
(dalam 24 jam). Evaluasi ini berupa:
− kondisi umum pasien saat itu
− anamnesis: riwayat penyakit pasien, riwayat obat-obatan
− pemeriksaan fisik
− hasil pemeriksaan penunjang
− reaksi/ respon pasien terhadap restrant / isolasi
− kondisi medis dan perilaku pasien
− perlu atau tidaknya untuk menghentikan/ melanjutkan tindakan restraint /
− isolasi

c. Evaluasi ini dilakukan untuk menentukan apakah restraint perlu dilanjutkan atau tidak, faktor-faktor apa saja
yang berkontribusi terhadap perilaku destruktif pasien (misalnya interaksi obat, ketidakseimbangan elektrolit,
hipoksia, sepsis), dan apakah aplikasi restraint ini telah sesuai dengan indikasi.

d. Jika dalam suatu kondisi tidak tersedia dokter, makan evaluasi ini dapat dilakukan oleh perawat/ asisten
dokter yang terlatih. Setelah evaluasi dilakukan, perawat/ asistendokter harus segera menghubungi dokter yang
bertanggungjawab terhadap pasien. Pelaporan ini harus meliputi (minimal):
− hasil evaluasi pasien
− temuan-temuan terbaru mengenai kondisi pasien
− diskusi mengenai perlu atau tidaknya untuk melanjutkan aplikasi restraint /isolasi
− diskusi mengenai perlunya intervensi/ tata laksana lainnya

17. Kesemuanya ini harus dicatat dalam rekam medis pasien, termasuk hasil asesmen dan evaluasi pasien dan
alasan penggunaan restraint/isolasi.

18. Aplikasi restraint/ isolasi harus sejalan/ sesuai dengan modifikasi tertulis dalam rencana asuhan
keperawatan pasien.
a. Penggunaan restraint/ isolasi (termasuk obat dan alat) harus didokumentasikan dalam rencana perawatan /
tata laksana pasien
b. Keputusan untuk menggunakan restraint/ isolasi haruslah dicatat berikut alasan yang mendasarinya.
Pengambilan keputusan ini didasarkan pada asesmen dan evaluasi pasien.
c. Rencana perawatan pasien harus ditinjau ulang dan diperbaharui dalam rekam medis sesuai dengan tanggal
spesifik diberlakukannya suatu restraint / isolasi. 6,7

19. Penggunaan restraint/ isolasi harus diimplementasikan dengan teknik yang benar dan aman.

20. Penggunaan restraint/ isolasi ini tidak boleh menjadi penghalang/ penghambat dalam pemberian
penanganan / intervensi lai yang juga diperlukan oleh pasien.

21. Penggunaan restraint/ isolasi harus sesuai dengan instruksi dari dokter yang bertanggungjawab terhadap
pasien emergensi dimana penggunaan restraint diperlukan segera sehingga akan terlalu lama jika menunggu
instruksi/izin dari dokter terlebih dahulu, instruksi tersebut harus diperoleh segera (dalam hitungan menit)
selama/ setelah restraint diaplikasikan. Sebaiknya dipilih metode yang paling tidak restriktif dalam
pengaplikasikan restraint, tetapi harus tetap menjamin keselamatan pasien, staf, dan orang lain dari ancaman
bahaya.

22. Penggunaan restraint untuk mengontrol perilaku pasien tidak boleh dianggap sebagai bagian dari pelayanan
yang bersifat rutin

23. Penggunaan restraint untuk pencegahan jatuh tidak boleh dianggap sebagai bagian yang rutin dalam
program pencegahan jatuh.

24. Tidak ada bukti bahwa penggunaan ‘mechanical restraint’ (termasuk bedrails) akan mencegah atau
mengurangi jatuh. Bahkan, kejadian jatuh yang terjadi pada pasien yangdilakukan pembatasan mekanis sering
menimbulkan cedera yang lebih berat.

Faktanya, dibeberapa instansi, pengurangan dalam penggunaan ‘pembatasan mekanis’ dapat mengurangi risiko
jatuh.
a. Contoh: pasien sindrom Sundowner, dimana gejala demensia pasien menjadi lebih jelas dan nyata di sore
hari daripada di pagi hari. Pasien tidak berperilaku agresif atau berbahaya, namun pasien mengalami gangguan
gaya berjalan yang tidak stabil dan terus-menerus berusaha untuk turun dari tempat tidur bahkan setelah staf
menggunakan beberapa alternatif untuk menjaga pasien tetap berada di tempat tidurnya. Tidak ada ‘bahaya’
signifikan yang dihasilkan dari perilaku berkeliaran pasien. Staf meminta dokter untuk meresepkan sedatif
dosis tinggi untuk ‘menidurkan pasien dan menjaganya tetap di tempat tidur. Pasien tidak mempunyai gejala /
kondisi medis yang mengindikasikan perlunya menggunakan sedatif. Selain itu, pada tempat tidur pasien juga
dipasang bedrails.
b. Penggunaan sedatif pada kasus ini tergolong suatu restraint untuk pasien
c. Pemberian obat sedasi (sebagai restraint) dengan alasan bahwa pasien ‘dapat’ jatuh akibat perilaku
berkeliarannya ini bukanlah suatu indikasi yang kuat. Sebenarnya, pada kasus ini, sedasi yang diberikan
(restraint) bertujuan untuk ‘kenyamanan’ staf rumah sakit. Oleh karena itu, pemberian sedasi ini dianggap
kurang tepat.
d. Saat menilai risiko jatuh pada pasien dan merencanakan asuhan keperawatan, staf harus mempertimbangkan
apakah pasien mempunyai kondisi medis yang mengindikasikan kebutuhan akan intervensi protektif untuk
mencegah pasien berkeliaran atau turun dari tempat tidur. Riwayat jatuh tanpa adanya penyakit medis yang
mendasari tidak cukup kuat untuk mengindikasikan kebutuhan akan restraint.
e. Penting diingat bahwa unsur ‘kenyamanan’ bukanlah alasan yang dapat diterima untuk melakukan restraint
terhadap pasien.

25. Restraint tidak boleh dianggap sebagai pengganti pemantauan pasien

26. Untuk menentukan perlu atau tidaknya menggunakan restraint, diperlukan suatu sesmen pada setiap
individu secara komprehensif untuk menentukan kebutuhan akan restraint berikut jenis yang dipilih. Asesmen
ini harus meliputi pertanyaan di bawah ini (minimal):
a. Apakah terdapat intervensi / tindakan pencegahan yang aman (selain restraint) yang dapat dilakukan untuk
mengurangi risiko pasien mengalami cedera / berada dalam kondisi yang ‘membahayakan (misalnya terpeleset,
tersandung, atau jatuh jika pasien turun dari tempat tidur) ?
b. Apakah terdapat cara yang memungkinkan pasien untuk dapat bergerak dengan aman?
c. Apakah terdapat alat bantu yang dapat mengingkatkan kemampuan pasien untuk mandiri?
d. Apakah terdapat kondisi / obat-obatan pada pasien yang menyebabkan ketidakseimbangan berjalan?
e. Apakah pasien bersedia untuk berjalan sambil dipapah / ditemani oleh staf?
f. Dapatkah pasien ditempatkan di kamar yang lebih dekat dengan pos perawat dimana pasien tersebut dapat
diobservasi dengan lebih baik?

27. Jika dalam asesmen terdapat suatu kondisi medis yang mengindikasikan perlunya intervensi,untuk
melindungi pasien dari ancaman bahaya, sebaiknya menggunakan metode yang paling tidak restriktif tetapi
efektif.
28. Penggunaan restraint harus sesuai dengan prinsip etis seperti di bawah ini:
a. Beneficence: bertujuan untuk kepentingan pasien (bersifat menguntungkan pasien)
b. Non-maleficence: tidak membahayakan pasien / merugikan pasien
c. Justice: memperlakukan semua pasien dengan setara dan adil
d. Autonomy: menghargai hak pasien dalam mengambil keputusan terhadap dirinya sendiri

29. Dalam menggunakan restraint, harus dipertimbangkan antara risiko yang dapat timbul akibat penggunaan
restraint dengan risiko yang dapat timbul akibat perilaku pasien.

30. Permintaan keluarga/ pasien untuk menggunakan restraint (yang dianggap menguntungkan) bukanlah suatu
hal yang dapat mendasari diaplikasikannya restraint. Permintaan iniharuslah mempertimbangkan kondisi
pasien dan asesmen pasien.

31. Jika telah diputuskan bahwa restraint diperlukan, dokter harus menentukan jenis restraint apa yang akan
dipilih dan dapat memenuhi kebutuhan pasien dengan risiko yang paling kecil dan pilihan yang paling
menguntungkan untuk pasien.

32. Staf harus mencatat di rekam medis pasien mengenai keputusan penggunaan restraint dan jenisnya.
Dituliskan juga bahwa restraint yang digunakan merupakan intervensi yang paling tidak restriktif namun
efektif untuk melindungi pasien dan penggunaan restraint diputuskan berdasarkan asesmen per-individu.

33. Selama penggunaan restraint, pasien harus dipastikan memperoleh asesmen, pemantauan, tatalaksana, dan
perawatan yang sesuai dengan kebutuhan pasien.

34. Prosedur yang harus diobservasi sebelum dan setelah aplikasi restraint:
a. Inspeksi tempat tidur, tempat duduk, restraint, dan peralatan lainnya yang akan digunakan selama proses
restraint mengenai keamanan penggunaannya
b. Jelaskan kepada pasien mengenai alasan penggunaan restraint
c. Semua objek/ benda yang berpotensi membahayakan (seperti sepatu, perhiasan, selendang, ikat pinggang,
tali sepatu, korek api) harus disingkirkan sebelum restraint diaplikasikan
d. Setelah aplikasi restraint, pasien diobservasi oleh staf
e. Kebutuhan pasien, seperti makan, minum, mandi, dan penggunaan toilet akan tetap dipenuhi
f. Secara berkala, perawat akan menilai tanda vital pasien, posisi tubuh pasien, keamanan restraint, dan
kenyamanan pasien.
g. Dokter harus diberitahu jika terdapat perubahan signifikan mengenai perilaku pasien

35. Aplikasi restraint dan isolasi secara bersamaan:


a. Hanya diperbolehkan jika pasien dipantau secara terus-menerus oleh:
− Staf bertugas yang berpengalaman dan terlatih
− Staf terlatih dan digunakan pemantauan dengan video dan audio atau observasi secara langsung. Alat pantau
ini harus berjarak dekat dengan pasien.
b. Harus ada dokumentasi tertulis yang jelas mengenai alasan penggunaannya.
36. Dokumentasi meliputi:
a. Deskripsi kondisi pasien
b. Deskripsi perilaku pasien
c. Deskripsi alasan dan jenis penggunaan restraint / isolasi
d. Evaluasi perilaku dan kondisi medis pasien setelah pengaplikasian restraint / isolasi
e. Intervensi alternatif / yang bersifat kurang restriktif yang telah dilakukan
f. Respons pasien terhadap intervensi yang digunakan, termasuk rasionalisasi
g. penggunaan restraint/ isolasi

37. Penggunaan borgol, atau alat restriktif lainnya yang dilakukan oleh petugas keamanan pemerintah (non-
rumah sakit) untuk tujuan penahanan, detensi, dan alasan keamanan publik dianggap sebagai alat pertahanan/
penegakan hukum dan tidak dianggap sebagai suatu intervensi restraint dalam layanan kesehatan yang
digunakan oleh staf ruamh sakit untuk mengekang pasien.
a. Petugas keamanan pemerintah yang bertugas mengawasi secara langsung tahanan yang dirawat di rumah
sakit bertanggungjawab dalam penggunaan, aplikasi, dan pemantauan alat restriksi ini, disesuaikan juga
dengan hukum setempat yang berlaku.
b. Namun, rumah sakit juga tetap bertanggungjawab terhadap asesmen pasien yang adekuat dan tetap
memperhatikan keselamatan pasien serta menjaga pemberian tata sesuai standar.

38. Rumah sakit sebaiknya mewajibkan staf yang terlibat (staf yang mengaplikasikan restraint/isolasi, staf
yang bertugas memantau, menilai, atau memberikan pelayanan kepada pasien) memiliki pengetahuan dan
memperoleh pelatihan mengenai :
a. teknik untuk mengidentifikasi perilaku pasien, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi, dan kejadian –
kejadian yang membutuhkan restraint / isolasi.
b. Cara untuk memilih intervensi apa yang paling tidak bersifat restriktif tapi efektif, berdasarkan pada
asesmen kondisi medis / perilaku pasien
c. Cara mengaplikasikan restraint dengan aman
d. Cara mengidentifikasi perubahan perilaku spesifik yang mengindikasikan bahwa restraint / isolasi tidak lagi
diperlukan
e. Pemantauan kondisi fisik dan psikologis pasien yang mengalami restraint/ diisolasi,termasuk status respirasi
dan sirkulasi, integritas kulit, dan tanda vital
f. Teknik melakukan resusitasi jantung paru

39. Rumah sakit harus melaporkan kasus kematian yang berkaitan dengan penggunaan restraint/ isolasi kepada
pusat layanan kesehatan setempat. Pelaporan tersebut berupa:
a. Laporan kasus kematian yang terjadi saat pasien dilakukan restraint / isolasi
b. Laporan kasus kematian yang terjadi dalam 24 jam setelah pasien dibebaskan dari restraint / isolasi.
c. Setiap kematian yang terjadi dalam waktu 1 minggu setelah pengaplikasian restraint/ isolasi dimana terdapat
pertimbangan bahwa restraint/ isolasi ini berkontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap
kematian pasien.

BAB V
EVALUASI PANDUAN / KEBIJAKAN

1. Evaluasi kebijakan restraint/ isolasi ini dilakukan untuk melihat apakah setidaknya halhal di bawah ini
terlaksana dengan baik:
a. Siapa yang berwenang untuk menghentikan penggunaan restraint/ isolasi
b. Kondisi-kondisi dimana restraint/ isolasi harus dihentikan
2. Peninjauan terhadap rekam medis pasien yang menjalani restraint dengan tujuan untuk mengontrol perilaku
yang membahayakan diri sendiri atau orang lain mencakup hal-hal berikut ini:
a. Pasien yang pernah atau saat ini menggunakan restraint selama dirawat di rumah sakit
b. Alasan-alasan sehingga penggunaan restraint disepakati, dan pertimbangan apa yang ada untuk memutuskan
bahwa cara/ metode lain yang lebih tidak restriktif kurang efektif dibandingkan restraint
c. Wawancara staf yang terlibat secara langsung dengan pasien untuk mengetahui sejauh apa yang mereka
ketahui dan pahami mengenai kebijakan restraint dan isolasi. Jika terdapat pasien yang saat itu menggunakan
restraint, pastikan bahwa telah sesuai dengan indikasi. Tanyakan juga mengenai kapan pasien dimonitor dan
diperiksa terakhir kali.
d. Apakah selama ini penggunaan restraint/ isolasi telah sejalan dengan kebijakan dan prosedur restraint yang
berlaku di rumah sakit serta sesuai dengan kebijakan pemerintah setempat?
e. Evaluasi mengenai laporan insidens yang terjadi di rumah sakit untuk menentukan apakah cedera yang
dialami oleh pasien terjadi sebelum atau selama restraint digunakan. Apakah insidens tersebut terjadi lebih
sering pada pasien yang dilakukan restraint?
f. Jika suatu tinjauan ulang terhadap rekam medis mengindikasikan bahwa pasien yang menerima restraint
mengalami cedera, tentukan apa yang telah dilakukan oleh rumah sakit untuk mencegah terjadinya cedera
berulang/ berikutnya.

Tentukan apakah rumah sakit telah melakukan modifikasi terhadap kebijakan restraint/ isolasi.
3. Kumpulkan data mengenai penggunaan restraint dan isolasi dalam kurun waktu yang spesifik (misalnya 3
bulan) untuk melihat pola penggunaan restraint di unit-unit tertentu, setiap pergantian jaga, serta pola tiap
minggunya.

4. Perhatikan pula apakah jumlah pasien yang menggunakan restraint/ diisolasi meningkat di akhir pekan, saat
hari libur, saat malam hari, saat jam pergantian jaga tertentu, saat digunakan jasa perawat honorer, memiliki
kecenderungan di satu unit tertentu daripada unit lainnya.

5. Pola seperti ini dapat membantu untuk melihat adanya penggunaan restraint yang tidak sesuai dengan
kepentingan/ kebutuhan pasien, tetapi lebih kepada aspek ‘kenyamanan’, kurangnya staf, atau kurangnya staf
yang berpengalaman/ terlatih.

6. Peroleh pula jadwal piket perawat selama bekerja di rumah sakit untuk melihat apakah terdapat pengaruh
meningkatnya penggunaan restraint di tingkat staf

7. Lakukan juga wawancara secara acak dengan pasien yang menjalani restraint. Apakah alasan digunakannya
restraint ini dijelaskan kepada pasien dengan kata-kata yang dapat dimengerti?
inShare

Should nurses restrain violent and aggressive patients?


7 MARCH, 2011


 3 COMMENTS

Despite guidelines recommending less coercive methods, physical restraint is still commonly used in
many UK mental health settings.
In this article…

 The use of physical restraint in mental health settings;


 The effect of physical restraint on the nurse-patient therapeutic relationship;
 Using medication to manage violent and aggressive behavior;
 Using less coercive methods, such as advanced directives, to manage violent behavior in mental
health settings

Authors Joy Duxbury is reader in mental health; Karen Wright is divisional leader for mental health;
both at the School of Health, University of Central Lancashire
Abstract
Duxbury J, Wright K. (2011) Should nurses restrain violent and aggressive patients? Nursing Times;
107: 9, early on-line publication.
Violent and aggressive behaviour towards nurses is common in healthcare, especially mental health
settings. This article explores the value and safety of existing approaches to dealing with violence
and aggression, including physical restraint and the use of medication. It highlights the need for
greater preventative and participatory measures, and the use of less reactive strategies, such as
advance directives.
Keywords: Physical restraint, Violence, Aggression, Mental health
This article has been double-blind peer reviewed

5 key points
1. A national audit of violence in mental health units found 73-86% of nurses have experienced
violent and aggressive behavior
2. Physical restraint is still common in UK mental health settings despite a growing body of
evidence recommending less coercive measures to manage violent and aggressive patients
3. Physical intervention can cause injuries to patients and staff, and can be highly distressing for
patients, who often associate it with psychological trauma and loss of dignity
4. Restraint incidents are often followed by additional containment measures, such as psychotropic
medication, which patients may see as controlling and coercive
5. Nurses should use advanced directives where possible to negotiate intervention strategies with
patients to manage violent behaviour

Patient aggression in healthcare settings continues to be of concern, raising questions over the
safety of both patients and staff. In 2005, the then Healthcare Commission published a national audit
of violence based on 265 mental health and learning disability units in the UK. The audit found that
violence against nursing staff was “consistently high” with up to 86% of nurses affected (Healthcare
Commission, 2005). The National Institute for Mental Health in England (2004) and the National
Institute for Health and Clinical Excellence (2005) have published guidelines on the prevention and
management of violence in healthcare, highlighting safety priorities in mental health.
The guidance emphasises the importance of using preventative measures to manage violent
behaviour, as well as employing strict guidelines to govern the use of physical restraint, which
remains common in UK inpatient mental health settings (Richter and Whittington, 2006).

Violence and aggression


Violent and aggressive behaviour in patients can be influenced by environmental and contextual
factors (Duxbury, 2002). Unclear policy and guidelines, overcrowding, poor ward design,
inexperienced staff, poor staff retention, and poor information sharing all contribute to violent or
aggressive behaviour (NICE, 2005; HCC, 2005)Studies have also shown a link between staff
characteristics and the development of aggression and violence in mental health patients. These
include negative interactional styles, provocative and authoritarian behaviour, and poor
communication skills (Duxbury and Whittington, 2005; Glover, 2005). Reservations about using
physical restraint to manage violent and aggressive behaviour are backed by a growing body of
evidence suggesting restraint is associated with a number of adverse events, including death (Evans
et al, 2002).
National guidance also identifies a number of factors that contribute to the use of physical restraint,
including a lack of agreed standards, variations in practice, and a lack of staff knowledge and skills
to prevent its use or identify alternatives (NICE, 2005)

Physical intervention
NICE (2005) defines physical intervention as a “hands-on method of restraint involving trained
designated healthcare professionals [aiming] to prevent individuals from harming themselves,
endangering others or seriously compromising the therapeutic environment”. Physical restraint
should only be used as a “last resort” to manage unwanted or harmful behaviours (NICE, 2005) but
is used frequently in mental health services to manage aggression, damage to property or self-harm
(Richter and Whittington, 2006). Physical intervention can cause injuries to patients and staff, and
can be highly distressing for service users who often associate it with psychological trauma and loss
of dignity (Chien and Lee, 2005). In extreme cases it has resulted in fatalities (see case study).
Case study
The inquiry into the death of David ‘Rocky’ Bennett highlighted the use of physical restraint. The 38-
year-old African-Caribbean man died in 1998 after being restrained for 25 minutes by staff while an
inpatient in a medium secure unit in Norfolk (Blofeld, 2004).
David, who had schizophrenia, had received care and treatment for 18 years at the time of his death.
After repeatedly experiencing racial abuse and being involved in an aggressive incident he was
moved to a different ward. While on this second ward he hit a nurse and was subsequently
restrained; he was held in the prone position, face down on the floor and continued to struggle until
he collapse and died, still in the restraint position. An inquiry was held and revealed that he had been
given “heavy doses” of antipsychotic drugs to contain him.
The inquiry into his death led to 22 separate recommendations for practice, including calls for further
research and a suggestion that some patients might benefit from a “drug-free holiday” in hospital.
One of the most significant recommendations was a reduction in the time that any patient should be
held in a prone position, that this is always dangerous and that if it is ever required then it should not
exceed five minutes. Furthermore, staff should receive specialist training in control and restraint and
a resuscitation trolley should be available. The use of a second opinion-approved doctor (SOAD), to
review prescriptions was also recommended as good practice.
A Cochrane review found little evidence to support the efficacy of physical restraint as a containment
strategy (Sailas and Fenton, 2000), and there is also evidence indicating that it can exacerbate the
behaviour it is designed to control, worsening the therapeutic relationship between staff and patients
(Duxbury, 2002).
Although nursing staff may endorse the use of restraint under certain conditions, many see it as an
ethically problematic practice that has an untoward effect on patients (Paterson and Duxbury, 2007;
Duxbury and Whittington, 2005). Huckshorn (2005) set out to eliminate physical restraint in American
mental health settings using the Six Core Strategies framework (Box 1). This reduced the use of
seclusion and restraint by 60-70% (LeBel and Goldstein, 2005); both the NIMH (2004) and NICE
(2005) have identified restraint as one of four priorities requiring immediate national attention.
Box 1. Reducing restraint
The six core strategies framework for reducing physical restraint:

 Leadership toward organisational change;


 Using data to inform practice;
 Workforce development;
 Using prevention tools;
 Service user involvement;
 Post-incident debriefing and review.
Source: Huckshorn, 2005

Preserving the therapeutic relationship


Balancing the protection of staff and patients with the preservation of the therapeutic relationship can
be a dilemma for nurses. Arguments for the continued use of restraint are based on concerns about
safety and order, yet patients often enter services in acute distress and previous experience of
restraint can make them fearful of admission (Bonner et al, 2002). The decision to restrain a patient
is a difficult one for nurses, who have to consider risk management, cultural imbalances and the
safety of all involved (Duxbury and Paterson, 2005).
Attitudes to the use of restraint vary; although research examining patients’ and nurses’ views is
relatively scarce, research has shown that nurses have mixed feelings about using restrictive
interventions (Duxbury and Whittington, 2005). It is not uncommon for patients to perceive these
strategies as distressing or even punishment (Moran et al, 2009).
Duxbury (2000) argues that coercive interventions such as restraint can be used to deal with patients
perceived as “difficult” in an untherapeutic way. However, there is increasing evidence of the
effectiveness of preventing or de-escalating situations involving acutely aggressive or distressed
patients without the need to use restraint or rapid tranquilisation (Busch, 2005). LeBel and Goldstein
(2005) demonstrated that restraint can be substantially reduced without a corresponding increase in
alternative methods of control, and without jeopardising the safety of staff or patients.

Chemical restraint
Restraint incidents are often followed by additional containment measures, such as seclusion or
drug-induced sedation, commonly known as chemical restraint (Stewart et al, 2009). It has been
argued that administering medication to control aggressive or harmful behaviour is in the patient’s
best interests (Olsen, 2001), and seclusion and physical restraint can be avoided (Lind et al, 2004).
However, there are concerns about the potential physical dangers associated with forced medication
use, which can also be seen as controlling and coercive by patients. Nurses who use psychotropic
medication for its sedative effect risk disabling and deskilling their patients, impairing their ability to
find a personal resolution to conflict (Thapa et al, 2003).
The most common methods of medication administration are “as required” (prn) or rapid
tranquillisation.

Rapid tranquilisation
The NICE guideline on the short-term management of aggression and violence (2005) defines rapid
tranquilisation (RT) as: “The use of medication to calm/lightly sedate the service user, reduce the risk
to self and/or others and achieve an optimal reduction in agitation and aggression, thereby allowing
a thorough psychiatric evaluation to take place, and allowing comprehension and response to
spoken messages throughout the intervention.”
The guideline says RT should only be used to manage high risk of imminent violence that has not
responded to interpersonal interventions, and recommends using less coercive methods, such as
verbal de-escalation, as a first line strategy (NICE, 2005).
Medications used for RT should be fast-acting with few side-effects, and oral preparations should be
offered first, followed by parental preparations, which are usually given by intramuscular injection
(NICE, 2005). There is no absolute agreement about which medications or doses should be used
from the available benzodiazepines and antipsychotic drugs, but lorazepine is usually the drug of
choice because it has a shorter half-life than diazepam. This limits accumulation of the drug, which
can lead to over-sedation. Antipsychotics are also used, either alone or in combination with
benzodiazepines, as the newer atypical antipsychotic formulas are known to cause fewer extra-
pyramidal side-effects such as tremor, slurred speech, anxiety and distress.

As required medication
The use of as required or “prn” regimens of psychotropic medication for disturbed behaviour, distress
or agitation is widespread in psychiatric units (Chakrabarti et al, 2010). According to Donat (2005),
nurses are unnecessarily reliant on the use of prn medication regimens for behaviour management.
McLaren et al (1990) found 23% of psychiatric inpatients received at least one prn dose of
psychotropic medication during their stay, rising to 50% among those in secure psychiatric care.
Additionally, Curtis and Capp (2003) found that almost 80% of patients received prn psychotropic
medication over one month. The main reason for administration was agitation and most of the
medication administration was initiated by nurses.
This method of prescribing allows nurses to administer medication rapidly in acute situations or at
the patient’s request, but it can allow the administration of high or above recommended doses. It can
also be seen as punitive or disempowering by patients, who already feel subservient to nursing and
medical staff (Duxbury et al, 2010). This method of administration can cause staff to rely too heavily
on pharmacological treatments, although this may also be due to the lack of techniques and
strategies available for managing aggression (Thomas et al, 2006).

Advance directives
NICE (2005) identified advanced directives as a key priority for the management of aggression. An
advanced directive is a statement of a patient’s treatment preferences should he or she lose the
capacity to make treatment decisions in the future (Papageorgiou et al, 2002). Intervention strategies
for the management of disturbed or violent behaviour should be negotiated with service users on
admission to inpatient facilities, or as soon as possible thereafter. These strategies must be
documented in the service users care plan and healthcare records.
Benefits of the successful implementation of advance directives include a positive therapeutic
alliance, greater communication between staff and patients, continuity of care, and enhanced care
planning (Papageorgiou et al, 2002). However, staff may be reluctant to use advance directives,
patients may not understand them, and they may need to be overridden in some circumstances. It
may also be inappropriate to use advance directives with some patients, and breaking the contract
could harm the therapeutic relationship between the nurse and the patient. Additionally, a lack of
evidence for the use and efficacy of advance directives can make their implementation difficult
(NICE, 2005).

Post-incident reviews
The aim of a post-incident review is to learn lessons, support staff and encourage the therapeutic
relationship between staff and patients. NICE (2005) recommends conducting a review within 72
hours of the incident ending. The review should address what happened, including any trigger
factors and each person’s role in the incident, and what can be done about it. Mental health service
providers should have systems in place to ensure a range of post-incident support and review
options are available, and that the review takes place within a culture of learning with appropriately
trained staff.

Conclusion
Dealing with violence and aggression can be stressful for nurses, particularly if they feel
inadequately trained to deal with it. The importance of understanding and addressing contextual and
interpersonal factors that may contribute to aggressive behaviour cannot be underestimated, and
most trusts now have policies and protocols in place to help staff deal with violent behaviour. With
regard to the prevention and management of patients who are or may become aggressive, there is
clearly a dichotomy of care; practitioners are required to balance the safety of staff and patients with
a therapeutic philosophy of care.
In the light of the growing evidence base, a number of international organisations now consider
physical restraint to be ethically unacceptable in all but the most extreme circumstances. The use of
physical interventions to reactively manage aggression continues to come under scrutiny, but it
seems we still have a lot to learn if we are to embrace the stance of least restrictiveness and only
use physical restraint as a last resort.
sn’t a medical scene more dramatic when you get to restrain someone? However, to ensure your
scene is medically accurate, an understanding of the law and the limitations on using restraints is
important. Of course, evil characters can do away with the law. That’s your latitude as a writer. Just
remember the reader needs to know that you know this medical person is doing something improper.
I’m pleased to host Patti Shene as she shares her expertise from working as a psychiatric nurse.
You can learn more about Patti by visiting her website.
Welcome, Patti!

For a long time, restraint was used as a means to control


the unpredictable and sometimes violent behavior of mentally ill patients. However, over time, the
courts have recognized that these persons have an inherent right to freedom from inappropriate use
of physical or chemical restraint.
The Supreme Court acknowledged, in the 1982 case of Youngberg vs Romeo, that the use of
restraint severely inhibits personal liberty. They concluded the use of restraint should reflect “the
exercise of professional judgment.” However, this statement encompassed a broad range of views
that resulted in a nebulous interpretation.
Over the past decade, it has become clear that restraint and seclusion can legally be used only as a
method of last resort when the patient is an imminent danger to himself or others.
Suppose you have a character who meets this criteria for “imminent danger to himself or others”.
First, this information pertains to leather restraints.
Physical restraint consists of four leather cuffs placed around the wrists and ankles of the patient.
The cuff has adjustable sizes and is fastened with a leather belt that passes through a metal loop on
the cuff. The belt is then secured to the frame of the bed and locked in place. The belt can only be
released, or opened, with a key.
The use of restraint should be considered a psychiatric emergency, and not used for convenience of
staff or as a form of “punishment” for inappropriate or unacceptable behavior. There are many safety
issues to consider when a patient is placed into physical restraints.
A nurse must always be present to assess the need for restraints. A patient can be physically
contained by staff members prior to the arrival of the nurse, but only if there is an imminent danger to
the patient or others.
Physical restraint without the use of an external device should adhere to strict guidelines. Cornell is
one such method, a procedure that incorporates three staff members and greatly reduces the risk of
injury.
The patient should always be physically contained face up to prevent asphyxiation or choking.
No cloth, clothing, or other restrictive material should ever be placed over the face during a restraint
procedure.
Once the patient is placed into physical restraint, is imperative that circulation be maintained. If the
caregiver’s finger does not fit comfortably between the cuff and the patient’s skin, the cuff is too tight.
A caregiver must check the patient at a maximum of fifteen (15) minute intervals.
The emotional needs of the patient must be met at all times.
Hydration and toileting needs must be met every two (2) hours.
A patient should never be left alone in a room with a door open after restraints have been applied.
This would expose the patient to possible assault or injury by another patient.
The nurse must notify the physician and obtain a telephone order for restraint not later than one hour
after the restraint has been initiated.
The dignity and privacy of the patient must be maintained at all times during the restraint procedure.
Never is the patient to be teased, taunted, screamed at, intimidated, or in any way physically or
verbally abused during the application or confinement of restraints.
If a personal issue exists between the patient and a particular staff member that could result in the
violation of these basic rights, that staff member should immediately be removed from the situation.
In the case of child restraint in a residential child care facility, the parent/guardian must be notified as
soon as possible that the intervention has taken place and the behaviors that led up to it.
Reevaluation of the patient in restraints, according to the Joint Commission on Accreditation of
Healthcare Organizations (JCAHO) is 4 hours for adults ages 18 and older, 2 hours for children ages
9-17, and 1 hour for children under age 9.
The patient must be released from restraint as soon as he/she is calm, cooperative, and able to
maintain control. He/she must be able to commit to display safe behavior toward himself and others.
Several incidents across the country in recent years resulting in serous physical or psychological
injury or even death have brought national attention to the issue of physical restraint. Do your
mentally ill character justice by knowing the legality of how they should be treated when restraint is
warranted.
Source material found at here and here.
***This is a repost from 12/3/2010***
*******************************************************************************

Patti is a 1969 graduate of a state nursing school in Long Island, New York. Her exposure to
state hospital surroundings led her to choose a career in psychiatric nursing. She is a Veterans
Administration Hospital retiree and also worked at Colorado Boys Ranch, a psychiatric residential
treatment center for several years. Retirement allows her to pursue her interest in writing. She
currently fills the position of Executive Editor for Starsongs Magazine, a publication of Written World
Communications for kids by kids.

Mental health trusts in England are restraining patients on average every 10 minutes, figures have revealed.

They show the number of incidents of restraint has increased each year since 2013.

Former health minister Norman Lamb said use of force was "endemic" in many units.

The Department of Health said it was working with the Care Quality Commission (CQC) to ensure the use of
restraint is minimised.

Six restraints an hour

Figures from 40 mental health trusts in England revealed patients were restrained 59,808 times in 2016-17,
equivalent to between six and seven incidents an hour.

This compares with 46,499 times in 2013-14.

The figures, released to the Liberal Democrats under the Freedom of Information Act, also showed an increase
in injuries to patients and staff

However, use of the most extreme restraints, where patients are forced to the ground, fell 9% across 33 trusts.

Mental health trusts say they have improved their reporting of their use of restraint, which may have
contributed to some of the rise.

Physical restraint is classed as "any direct physical contact where the intention is to prevent, restrict, or subdue
movement of the body (or part of the body) of another person".
The Department of Health says there must be "a real possibility of harm to the person or to staff, the public
or others" for restraint to be used.

'Treated like an animal'


Image captionLiz Rotherham believes it was unnecessary to restrain her

Liz Rotherham suffers from psychotic episodes and said she has been restrained in hospital on three occasions.

She claimed it happened at the The Linden Centre in Chelmsford and The Lakes in Colchester. The most
recent was in 2013.

"I don't know why they felt the need to it," said the 46-year-old from Essex. "I wasn't throwing things around, I
wasn't being abusive or anything like that.

"They actually hurt me, which wasn't very nice. I had six people holding me down on a crash mat. They pulled
down the side of my knickers and injected me."

She said that a female police officer attending the unit once told her "don't be a wuss".

"I will never, ever forget that. I felt like I was being treated like an animal."

Ms Rotherham said she believed someone could have sat down and talked to her without the need for restraint.

The Essex Partnership University NHS Foundation Trust, which runs the hospitals, said it could not comment
on an individual patient's case.

'Concerning rise'

Dr Sridevi Kalidindi of the Royal College of Psychiatrists said the data showed some trusts were making
progress but consistent improvements were not being seen across the board.

"The increase in the number of restraints recorded is concerning," she said. "Cuts to bed numbers and
community care programmes mean you now have to be more ill to be admitted to a mental health unit."

Dr Kalidindi said increasing use of agency staff meant fewer permanent staff trained to de-escalate situations
were available.
Mental health: 10 charts on the scale of the problem
Mental health staff on stress leave up 22%

'Humiliating, terrifying'

Lib Dem health spokesman Norman Lamb said: "Many inspiring units have demonstrated how you can very
significantly reduce the use of force, training staff in de-escalation.

"This can avoid situations which lead to stress and conflict. This needs to be given much greater priority by the
Government."

Vicki Nash of mental health charity Mind, said: "Physical restraint can be humiliating, terrifying, dangerous
and even life-threatening.

"There is currently a Private Members' Bill going through parliament which, if it becomes law, has the
opportunity to increase transparency and accountability around the use of force in mental health settings."

A Department of Health spokeswoman said: "Physical restraint should only be used as a last resort and our
guidance to the NHS is clear on this.

"We want patients to be treated and cared for in a safe environment and we are actively working with the
regulator, the Care Quality Commission, to ensure the use of restraint is minimised."

2. This house would consider suggest from DPR to make new regulation in hospital
according to client’s gender

Patient Gender Preferences In Healthcare


Modern medicine is assumed to be gender neutral, that is providers, nurses and assistants are
equally able to offer their services to all comers no matter the genders involved. It is a tenet of
our training. This had little relevance in the past when nearly all physicians were men and
nearly all nurses were women. Times have changed. Nowadays medical students are nearly 50%
women. Although the percentage of male nurses is also increasing, it is still low, likely over 10%.
However the increase in male nurses may be due mostly to the recession and the loss of
traditional male jobs rather than to any perceived need for more male nurses.

Changing practices in medicine can be exemplified by male urinary catheterization. Thirty plus
years ago this was always done by physicians or male orderlies; nowadays it is usually done by
female nurses. The reason for these changes is mostly financial as hospitals got rid of orderlies
in favor of less expensive ‘transport aides.’ As all physicians were male, they of course treated
all patients. Women providers of today have the same expectations of being able to treat
everyone.

Yet no one has ever asked patients how they feel about this. Are patients gender neutral in their
preferences? The answer is clearly no. The factors are complex and need analysis. The clearest
division is with intimate care. Women have strongly gravitated to female Ob-Gyns. Ninety
percent of Ob-Gyns in training are women and men are discouraged from entering the field.
The younger the woman, the clearer is the preference for female providers. The results vary
somewhat from study to study likely based on how the study was conducted. Older women are
used to using male gynecologists and some are reluctant to admit they prefer women because
those concerns were made light of in prior years. Yet in nearly all studies, at least 50% of
women prefer female OB-Gyn care with no more than 10-15% preferring male care. References
include: Obstetrics Gynecology Apr 2005, Vol 105, #4, p 747-750, Obstet Gynecol 99: #6, 2002,
1031-1035, and Plunkett, Beth et al. Amer J Obstet Gynecol, 186: #3, 2002, 926-928. An
Australian study put the number at 70%. I haven’t seen a study which looked just at
adolescents, but clearly the percentage is even higher, approaching 90%. Women are not gender
neutral in their preferences for intimate care.
Not surprisingly the preferences that men have are not as striking, but still present. A similar
study asking men their gender preferences for a urologist has not been done to my knowledge.
Yet 90% or urologists are men and many of the few practicing female urologists specialize in
women’s problems. The percentage of female urologists is increasing, but nowhere near as
dramatically as the number of female Ob-Gyns. Men are not demanding more female urologists
to take care of them. In terms of routine male genital exams, men still show a preferences even
though the exam is brief and generally done as part of a full physical. In one study50% of men
preferred a male physician whereas the rest had no preference. Other studies have said up to
70% of men have no preferences, but once again it is critical how these studies are performed.
An anonymous questionnaire will give different results than a series of questions asked by a
nurse. Most men are loathe to admit that they are embarrassed by receiving care from women.
They are frequently made to feel humiliated if they do. Women can have this same problem but
it is far more acceptable for a woman to be modest than it is for a man. A man is likely to
accused of sexism or suspected of homoerotic tendencies if he refuses opposite gender care
whereas a woman will just be considered modest. It is much easier for a man just to avoid
receiving any medical care which men do in far higher numbers than women who are forced
into entering the healthcare system early in their lives for contraception and obstetrical care.

There are other factors besides gender in determining how likely it is that a patient will prefer
same gender care. As noted, age is the most important of these. Adolescents are far more likely
to be embarrassed by intimate care. A choice should be offered them. This often happens
nowadays for girls but rarely for boys. This may become less of a problem for boys in the future
as many are used to care by female pediatricians. But as they move into adolescence, this should
never be assumed. Conversely elderly patients routinely have less concern. Religion also plays a
role especially with Muslims and other orthodox sects. A history of sexual assaults or
homophobia may also account for preferences.

Up to now we have only considered gender preferences for providers, but of course this can also
be extended to nurses, technicians and assistants. Patients do not look at these healthcare
workers like they do physicians. Clearly women are far more likely to accept male physicians
than male nurses or technicians. Men who wouldn’t see a female physician routinely accept
female nurses. Of course they usually have no choice. But beyond that there is still a common
prejudice against male nurses in that they may be considered not as nurturing as women or they
may be considered gay. I don’t think that either of these prejudices have much basis in fact, but
they keep many men from going into nursing. This is changing, but slowly. Men are clearly at a
disadvantage here. Many men who need urinary catheterization would request a male to do it,
but they are rarely offered a choice. It is difficult to insist on it as the man may be embarrassed
by asking and the need may be urgent. Female nurses almost never offer a man a choice; the
only common exception is when the nurse feels the patient will harass her and asks a male nurse
to do it instead. In short when men are offered male nurses for procedures, it’s usually done for
the nurse’s comfort, not the patient’s. Although there are male nurses who catheterize women,
it is far less common and many male nurses will routinely ask a female nurse to do it. Intimate
care in hospitals nowadays is usually done by CNAs, who are 98% women. This includes giving
baths and showers. The only option a man has is to refuse the care; no male CNA will likely be
found.
In summary, American medicine claims to be gender neutral but patients are not. This is
essentially a fact we’re not supposed to know. Hospitals routinely publish a patient’s bill of
rights, but I’ve never seen one which included gender choice. At best it may be implied by
statements that the hospital will respect the patient’s values. Of course gender is a protected
class under federal laws so hospitals are in a bind. Federal law does make exceptions (BFOQ)
where matters of bodily privacy are involved so it is legal to request a specific gender for care.
However hospitals cannot base employment on that in general with rare exceptions. Still and all,
hospital employment policies are never based on giving patients a choice of gender; their major
consideration is cost and availability.

Will this ever change? It’s not likely to change in the foreseeable future unless a lot more
patients speak up about their preferences. Hospitals are only likely to make the change if they
see it as in their financial interest. For example, if men routinely asked for a male technician for
testicular ultrasound, hospitals would soon provide them just as they provide an all female staff
for mammography. Ultimately you as a patient must make your preferences known.

Please add your comments. Further discussion can be found on my companion blog. This
slightly modified article has also been picked for publication on Kevin.MD, a widely read
medical blog.

Tenaga Medis dan Pasien Sama-sama Rentan


Menjadi Korban Pelecehan Seksual di Rumah Sakit
26 Januari 2018 17:10 Diperbarui: 28 Januari 2018 15:40 1385 6 2
Ilustrasi dari Shutterstock
Saya mengutuk tindakan pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang oknum perawat di National Hospital
Surabaya terhadap seorang pasien perempuan yang masih dalam pengaruh obat bius setelah menjalani operasi.
Sebagai sesama tenaga medis, saya merasa keluhuran profesi tenaga medis telah dicoreng oleh oknum ini. Semoga
masyarakat bijak menyikapi permasalahan ini dengan tidak menggeneralisasi semua tenaga kesehatan berkelakuan
seperti oknum tersebut. Pelaku harus ditindak tegas bahkan mendapat hukuman yang lebih berat daripada orang bia
karena dia memiliki tanggung jawab moril yang lebih besar daripada orang biasa.

Di luar tindak kriminal yang dilakukannya, bila kita zoom out kondisi pelayanan medis di Indonesia, kita bisa melih
bahwa rumah sakit, klinik, puskesmas bahkan ruang praktek dokter sebenarnya adalah tempat rentan terjadi peleceh
seksual.

Di dalam ruang praktek dokter misalnya, tidak jarang dokter berada seruangan dengan pasien lawan jenis. Bisa jadi
pasien perlu diperiksa dalam kondisi berbaring, bahkan perlu membuka pakaiannya demi pemeriksaan yang lebih
akurat. Meskipun secara SOP (Standar Operasional Prosedur) idealnya ada pihak ketiga yang menemani dokter
melakukan pemeriksaan (misal: perawat) tetapi dalam kenyataannya banyak hal bisa merintangi pelaksanaan SOP i
misal: kekurangan tenaga perawat dan pasien datang sendirian. Tentunya situasi pemeriksaan seperti ini bisa
menimbulkan ketidaknyamaannya bagi pasien maupun bagi dokter.

Saya sebagai dokter perempuan selalu merasa waswas bila harus memeriksa pasien laki-laki tanpa ada perawat yang
menemani karena tidak tertutup kemungkinan saya mendapat pelecehan ketika sedang memeriksa pasien. Pasien
perempuan pun sedikit banyak ada yang merasa tidak nyaman bila harus diperiksa oleh dokter laki-laki sendirian.

Kondisi di poliklinik RS tentunya tidak berbeda. Banyak divisi yang mengharuskan pasien membuka pakaiannya
untuk diperiksa, misalnya: bedah, obsgyn, penyakit dalam, jantung, paru, orthopedi, dll. Meskipun situasi di RS leb
kondusif, dengan jumlah perawat yang cukup, ruang pemeriksaan yang mungkin lebih terang tetapi tetap saja sering
tidak bisa mengurangi ketidaknyamanan pasien saat harus membuka pakaian, bahkan menunjukkan area-area vital d
depan orang asing terutama lawan jenis.

Sebaliknya, pelecehan oleh pasien terhadap tenaga medis juga bukan tidak mungkin terjadi. Saat saya masih koas, a
sejawat senior perempuan pernah diintip saat buang air kecil di toilet oleh seorang pasien poliklinik RS. Atau peraw
UGD yang dipegang bokongnya oleh pasien pria saat sedang dirawat lukanya. Atau asisten apoteker yang mendapa
pelecehan seksual secara verbal saat sedang menjelaskan cara penggunaan salep antijamur.

Contoh situasi lainnya: di ruang rawat inap, hanya pasien kelas 1 ke atas saja yang bisa memiliki privasi penuh. Pas
kelas 2 dan kelas 3 harus berbagi ruangan termasuk kamar mandi dengan pasien lain beserta keluarganya. Kurangny
privasi ini juga membuat ruang bangsal rentan pelecehan. Bila pasien sedang dibersihkan tubuhnya oleh perawat ata
diperiksa harian oleh dokter, hanya ditutupi dengan tirai penyekat. Di bangsal khusus pasien pria kadang keluarga
yang menunggu adalah perempuan dan sebaliknya.

Dapat pula terjadi pelecehan terhadap petugas medis yang dilakukan oleh rekan kerjanya
Kondisi rentan pelecehan ini tidak hanya antara pasien-pasien dan tenaga medis-pasien tetapi juga antara tenaga
medis-tenaga medis. Dokter laki-laki harus jaga malam bersama perawat perempuan atau sebaliknya. Dokter laki-la
jaga malam dengan dokter perempuan. Dan seperti diketahui, pasukan jaga malam jumlahnya lebih sedikit daripada
pagi hari dan suasana juga lebih sepi. Tentunya kondisi ini meningkatkan probabilitas terjadinya pelecehan.

Saat saya masih koas, ada beberapa divisi yang hanya memiliki 1 ruangan istirahat untuk koas. Bila kebetulan saya
jaga dengan koas laki-laki, kita harus bisa menyiasati ketidaknyamanannya, misalnya dengan bergantian istirahat.
Tetapi ini pun tidak menjamin 100% kenyamanan karena ada kalanya kita perlu ke toilet yang hanya ada di ruangan
itu atau mengambil barang keperluan kita dari dalam tas yang kita simpan di ruangan itu jadi situasi 2 orang beda je
kelamin dalam 1 ruangan sesekali tetap tidak bisa terhindarkan.

Situasi seperti saya gambarkan di atas memang terdengar tidak menguntungkan bagi perempuan, baik sebagai pasie
maupun tenaga medis, seperti pada kasus National Hospital di mana pelaku adalah laki-laki dan korban adalah
perempuan. Tetapi sebenarnya semua pihak bisa jadi korban dan semua pihak bisa jadi pelaku. Tenaga medis bisa
melecehkan pasien, pasien bisa melecehkan tenaga medis, tenaga medis bisa melecehkan tenaga medis lain dan pas
bisa melecehkan pasien lain.

Tetapi dari sekian banyak aktivitas medis di seluruh Indonesia setiap tahunnya, kasus pelecehan oleh tenaga medis
terhadap pasien jarang terjadi atau mungkin jarang dilaporkan dan diberitakan, karena ada landasan kemanusiaan
berdasarkan sumpah profesi yang menaungi seluruh kegiatan medis. Selama masa pendidikan, kami diajarkan untuk
menghormati manusia dan tubuhnya.

Saat praktek anatomi dengan cadaver (jenazah), kami wajib memulai kegiatan praktek kami dengan berdoa dan
berterima kasih kepada cadaver tersebut, memperlakukan setiap organ yang kami sentuh dan kami potong dengan
hormat, menghormati cadaver tersebut seperti guru kami, dilarang bercanda dan tertawa selama jam praktek. Bila
demikian kami harus menghormati cadaver yang adalah jasad orang yang sudah meninggal, apalagi menghormati
orang yang masih hidup, pasien-pasien kami yang datang meminta pertolongan dan mempercayakan kesehatannya
pada kami.

Oleh karenanya, khusus bagi tenaga medis, tindakan melanggar etika profesi apalagi melanggar hukum harus
mendapat hukuman berat dan selanjutnya tidak boleh lagi mengemban tanggung jawab sebagai tenaga medis. Ada
keluhuran profesi dan kepercayaan masyarakat yang dikhianati dan itu adalah harga mati.
Tetapi untuk kerentanan pelecehan seksual antar tenaga medis, antar pasien, dan pasien terhadap tenaga medis,
pemerintah-RS-organisasi perlindungan tenaga medis (seperti: IDI, PPNI, IBI, dll) harus lebih meningkatkan
pengawasan dan menyusun aturan yang bisa melindungi semua pihak.

3. This house would pay attention to movies and reality shows whose depictions of
nurses are inappropriate and considered harassing

4. This house would pay attention to suicidal patients who attempt suicide when Friday
prayers, because of there is only a few of nurses and no one oversee
5. This house believe that mayor of langsa city is inappropriate for went berserk and
did verbally violence to nurse

You might also like