You are on page 1of 22

BAB II

TINJAUAN TEORI

2. 1 Konsep Lansia

2.1.1 Pengertian Lansia

Masa lansia adalah periode perkembangan

yang mulai masuk pada usia 60 tahun dan berakhir

dengan kematian. Masa ini adalah masa

menurunnya kekuatan dan kesehatan sehingga

harus mulai menyesuaikan diri (Santrock, 2006).

Lanjut usia merupakan kejadian yang sudah pasti

akan dilalui oleh semua orang yang dikarunia usia

panjang (Murwani, 2011). Tahap lansia adalah tahap

siklus akhir hidup manusia dan merupakan bagian

dari proses kehidupan yang tak dapat dihindari dan

akan dialami oleh siapapun.

Masuk pada tahap ini seseorang akan

mengalami banyak perubahan baik secara fisik

maupun mental, khususnya kemunduran dalam

berbagai fungsi serta kemampuan yang pernah

dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagian

dari proses penuaan yang normal, seperti rambut

yang mulai memutih, muncul kerutan di wajah,

10
11

berkurangnya kemampuan melihat, serta

kemunduran daya tahan tubuh, merupakan acaman

bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka

harus berhadapan dengan kehilangannya peran diri,

kedudukan sosial, serta perpisahan dengan orang-

orang yang dicintai. Semua perubahan tersebut

membutuhkan kemampuan beradaptasi yang cukup

besar agar dapat menyikapi secara bijak (Soejono,

dkk., 2007).

Terdapat beberapa pembagian lansia, antara

lain:

2.1.1.1 Departemen Kesehatan RI membagi

lansiasebagai berikut: kelompok dengan

usia lanjut (45 - 54 tahun) sebagai masa

virilitas, kelompok usia lanjut (55 - 64 tahun)

sebagai presenium, dan kelompok usia

lanjut (kurang dari 65 tahun) sebagai

senium.

2.1.1.2 WHO, usia lanjut dibagi menjadi empat

kriteria berikut: usia pertengahan (middle

age) ialah kelompok usia 45 - 59 tahun,

usialanjut(elderly) antara 60 - 74 tahun, usia


12

tua old antara 75 - 90 tahun, usia sangat tua

(very old) di atas 90 tahun.

2.1.1.3 Menurut pasal 1 Undang-undang No. 4

Tahun 1965: “Seseorang dinyatakan

sebagai orang jompo atau usia lanjut

setelah yang bersangkutan telah mencapai

usia 55 tahun, tidak mempunyai

kemampuan atau tidak berdaya mencari

nafkah sendiri untuk memenuhi keperluan

hidupnya sehari-hari, dan menerima nafkah

dari orang lain” (Mubarak, 2009).

Berdasarkan pengertian yang tertera diatas

maka dapat disimpulkan bahwa lansia merupakan

seseorang yang telah berusia 60 tahun ke atas baik itu

seorang pria maupun wanita, yang masih sanggup

beraktifitas dan bekerja ataupun mereka yang tidak

berdaya untuk mencari nafkah sendiri sehingga lansia

terpaksa bergantung kepada orang lain untuk

menghidupi dirinya (Ineko, 2012).

2.1.2 Batasan-batasan Lansia

Lanjut usia memiliki patokan umur yang

berbeda-beda, umumnya berkisar antara 60 - 65


13

tahun. Menurut WHO terdapat empat tahap batasan

umur yaitu masuk usia pertengahan (middle age)

antara 45 - 59 tahun, usia lanjut (elderly) antara 60 -

74 tahun, dan usia lanjut usia (old) antara 75 - 90

tahun, serta usia sangat tua (very old) diatas 90

tahun (Nugroho, 2008).

Menurut pendapat berbagai ahli dalam Efendi

(2009) batasan-batasan umur yang mencakup

batasan umur lansia adalah sebagai berikut:

1. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun

1998 dalam Bab 1 Pasal 1 ayat 2 yang berbunyi

“Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai

usia 60 (enam puluh) tahun ke atas”.

2. (WHO), usia lanjut dibagi menjadi empat kriteria

berikut: usia pertengahan (middle age) ialah 45 -

59 tahun, lanjut usia (elderly) ialah 60 - 74 tahun,

lanjut usia tua (old) ialah 75 - 90 tahun, usia

sangat tua (very old) ialah di atas 90 tahun.

3. Menurut Dra. Jos Masdani (Psikolog UI),

terdapat empat fase yaitu : pertama (fase

inventus) ialah 25 - 40 tahun, kedua (fase virilities)

ialah 40 - 55 tahun, ketiga (fase presenium) ialah


14

55 - 65 tahun, keempat (fase senium) ialah 65

hingga tutup usia.

4. Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoro

masa lanjut usia (geriatric age): > 65 tahun atau

70 tahun. Masa lanjut usia (getiatric age) itu

sendiri dibagi menjadi tiga batasan umur, yaitu

young old (70 - 75 tahun), old (75 - 80 tahun), dan

very old ( > 80 tahun) (Efendi, 2009).

2.1.3Perubahan-perubahan Fisik Pada Lansia

Seiring bertambahnya usia seseorang akan

menimbulkan perubahan-perubahan pada struktur

dan fisiologis dari berbagai sel/jaringan/organ dan

sistem yang ada pada tubuh manusia sehingga

menyebabkan sebagian besar lansia mengalami

kemunduran atau perubahan pada fisik, psikologis,

dan sosial (Mubarak dkk., 2010; Putri dkk., 2008).

Salah satu perubahan fisik yang terjadi pada

lansia yaitu perubahan dalam memasuki usia tua,

dimana lansia akan mengalami kemunduran,

misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit

yang mengendur, rambut memutih, gigi mulai

ompong, pendengaran kurang jelas, pengelihatan

semakin memburuk, gerakan lambat, dan kurang


15

lincah (Maryam dkk., 2008). Adapun kemunduran

fisik lainnya seperti kehilangan salah satu anggota

tubuh yang mengakibatkan penurunan kemampuan

mempertahankan keseimbangan postural atau

keseimbangan tubuh lansia. Berikut perubahan fisik

yang terjadi pada lansia meliputi:

1. Sel

Sel menjadi lebih sedikit jumlahnya, lebih

besar ukurannya, berkurangnya jumlah cairan

tubuh dan berkurangnya cairan intraseluler,

menurunnya proporsi protein di otak, otot, ginjal,

darah, dan hati, jumlah sel otak menurun,

terganggunya mekanisme perbaikan sel, serta

otak menjadi atrofi, beratnya berkurang 5-10%

(Nugroho, 2008).

2. Sistem persarafan

Terjadi penurunan berat otak sebesar 10

hingga 20%, cepatnya menurun hubungan

persarafan, lambat dalam respon dan waktu untuk

bereaksi khususnya stres, mengecilnya saraf

panca indra, serta kurang sensitifnya terhadap

sentuhan. Pada sistem pendengaran terjadi

presbiakusis (gangguan dalam pendengaran)


16

hilangnya kemampuan pendengaran pada telinga

dalam terutama terhadap bunyi-bunyi atau nada-

nada yang tinggi, suara tidak jelas, sulit mengerti

kata-kata, otosklerosis, atrofi membran timpani,

serta biasanya pendengaran bertambah menurun

pada lanjut usia yang mengalami ketegangan

jiwa/stres (Nugroho, 2008).

3. Sistem penglihatan

Timbul sklerosis dan hilangnya respon

terhadap sinar, kornea lebih terbentuk sferis

(bola), kekeruhan pada lensa menyebabkan

katarak, meningkatnya ambang, pengamatan

sinar, daya adaptasi terhadap kegelapan lebih

lambat dan susah melihat dalam cahaya gelap,

hilangnya daya akomodasi, menurunnya lapangan

pandang, serta menurunnya daya membedakan

warna biru atau hijau (Nugroho, 2008).

4. Sistem kardiovaskular

Terjadi penurunan elastisitas aorta, katup

jantung menebal dan menjadi kaku, kemampuan

jantung memompa darah menurun, kurangnya

elastisitas pembuluh darah, kurangnya efektivitas

pembuluh darah perifer untuk oksigenasi,


17

perubahan posisi dari tidur ke duduk atau dari

duduk ke berdiri bisa menyebabkan tekanan

darah menurun, mengakibatkan pusing

mendadak, serta meningginya tekanan darah

akibat meningkatnya resistensi pembuluh darah

perifer (Nugroho, 2008).

5. Sistem pengaturan

Temperatur tubuh terjadi hipotermi secara

fisiologis akibat metabolisme yang menurun,

keterbatasan refleks menggigil dan tidak dapat

memproduksi panas akibatnya aktivitas otot

menurun (Nugroho, 2008).

6. Sistem respirasi

Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan

dan menjadi kaku, paru-paru kehilangan

elastisitas, menarik nafas lebih berat, kapasitas

pernafasan maksimum menurun, dan kedalaman

bernafas menurun, ukuran alveoli melebar dari

biasa dan jumlahnya berkurang, kemampuan

untuk batuk berkurang, serta kemampuan

kekuatan otot pernafasan menurun (Nugroho,

2008).
18

7. Sistem gastrointestinal

Terjadi kehilangan gigi akibat periodontal

disease, kesehatan gigi memburuk dan gizi yang

buruk, indra pengecap menurun, berkurangnya

sensitivitas saraf pengecap di lidah terhadap rasa

manis, asin, asam, atau pahit, esofagus melebar,

rasa lapar menurun, asam lambung menurun,

peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi,

serta melemahnya daya absorbsi (Nugroho,

2008).

8. Sistem reproduksi

Terjadi penciutan ovari dan uterus,

penurunan lendir vagina, serta atrofin payudara,

sedangkan pada laki-laki, testis masih dapat

memproduksi spermatozoa meskipun adanya

penurunan secara berangsur-angsur, kehidupan

seksual dapat diupayakan sampai masa lanjut

usia asal kondisi kesehatan baik (Nugroho, 2008).

9. Sistem perkemihan

Terjadi atrofi nefron dan aliran darah ke ginjal

menurun sampai 50%, otot-otot vesika urinaria

menjadi lemah, frekuensi buang air kecil


19

meningkat danterkadang menyebabkan retensi

urin pada pria (Nugroho, 2008).

10. Sistem endokrin

Terjadi penurunan produksi hormon,

meliputipenurunan aktivitas tiroid, daya pertukaran

zat, produksi aldosteron, progesteron, estrogen,

dan testosteron (Nugroho, 2008).

11. Sistem integumen

Kulit mengerut atau keriput akibat kehilangan

jaringan lemak, permukaan kulit kasar dan

bersisik kerana kehilangan proses keratinisasi,

serta perubahan ukuran dan bentuk-bentuk sel

epidermis, rambut menipis berwarna kelabu,

rambut dalam hidung dan telinga menebal,

berkurangnya elastisitas akibat menurunya cairan

dan vaskularisasi, pertumbuhan kuku lebih

lambat, kuku jari menjadi keras dan rapuh, pudar

dan kurang bercahaya, serta kelenjar keringat

yang berkurang jumlah dan fungsinya (Nugroho,

2008).

12. Sistem muskuloskeletal

Tulang kehilangan density (cairan) dan makin

rapuh, kifosis, pergerakan pinggang, lutut, dan


20

jari-jari terbatas, persendian membesar dan

menjadi kaku, tendon mengerut dan mengalami

sclerosis, serta atrofi serabut otot (Nugroho,

2008).

Dari perubahan fungsi tubuh diatas didapatkan

beberapa masalah fisiologis yang terjadi pada lansia

diantaranya seperti risiko jatuh, risiko cedera hingga

kematian.

2. 2 Konsep Jatuh

2.2.1 Pengertian Jatuh

Jatuh merupakan suatu kejadian yang

dialami oleh penderita atau saksi mata, yang melihat

kejadian dan mengakibatkan seseorang mendadak

dalam keadaan terbaring/terduduk di lantai/tempat

yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan

kesadaran atau luka (Darmojo & Martono, 2008).

Jatuh merupakan suatu kejadian yang

menyebabkan seseorang yang sadar menjadi berada

di permukaan tanah tanpa disengaja, sedangkan

jatuh akibat pukulan keras, kehilangan kesadaran,

atau kejangtidak termasuk. Kejadian jatuh tersebut

merupakan penyebab yang spesifik dan

memilikikonsekuensinya berbeda dari mereka yang


21

dalam keadaan sadar mengalami jatuh (Stanley,

2006).

2.2.2 Faktor- faktor risikoJatuh Pada Lansia

Untuk lebih dapat memahami faktor risiko

jatuh maka harus dimengerti bahwa stabilitas itu di

tentukan atau dibentuk oleh :

1. Sistem sensorik

Pada sistem ini yang berperan di dalamnya

adalah pendengaran dan penglihatan (visus). Semua

gangguan atau perubahan yang terjadi pada mata

akan mengakibatkanterjadinya gangguan

penglihatan. Begitu pula semua penyakit pada

telinga akan menimbulkan gangguan pada

pendengaran. Vertigo tipe perifer pada lansia sering

terjadi diduga hal inidikarenakan adanya perubahan

pada fungsi vestibuler akibat terjadinya proses

menua. Neuropati perifer dan penyakit degeneratif

akan mengganggu fungsi proprioseptif. Gangguan

sensorik tersebut hampir menyebabkan sepertiga

penderita lansia mengalami sensasi abnormal pada

saat dilakukan uji klinik.


22

2. Sistem syaraf pusat (SSP)

Penyakit SSP seperti stroke dan parkinson

hidrosefalus tekanan normal, sering diderita oleh

lanjut usia dan menyebabkan gangguan fungsi SSP

sehingga berespon tidak baik terhadap input

sensorik.

3. Kognitif

Pada beberapa penelitian yang ada,

demensia diasosiasikan sebagai meningkatnya

risikojatuh. Dengan adanya penurunan pada

kemampuan kognitif,maka kewaspadaan yang terjadi

status mental, dan emosional akan menurun,

sehingga akan mempengaruhi kesadaran, penilaian,

gaya berjalan, keseimbangan, dan proses informasi

yang diperlukan untuk bisa berpindah atau mobilisasi

secara aman.

4. Muskuloskeletal

Faktor ini benar-benar berperan besar

terjadinya jatuh terhadap lanjut usia (faktor milik usia

lanjut) gangguan muskuloskeletal menyebabkan

gangguan gaya berjalan dan ini berhubungan

dengan proses menua yang fisiologis, antara lain:

a. Kekakuan jaringan penghubung


23

Kekakuan jaringan penghubung merupakan

penyebab turunnya fleksibilitas pada lansia

sehingga menimbulkan dampak berupa nyeri,

penurunan kemampuan untuk meningkatkn

kekuatan otot, kesulitan bergerak dari duduk

sampai berdiri, jongkok dan berjalan, dan

hambatan dalam melakukan aktifitas sehari-hari.

Upaya fisioterapi untuk mengurangi dampak

tersebut adalah dengan memberikan latihan untuk

menjaga mobilitas.

b. Berkurangnya massa otot

Berkurangnya massa otot mengakibatkan jumlah

cairan tubuh yang berkurang, sehingga kulit

kelihatan mengerut dan kering, wajah keriput serta

muncul garis-garis menetap. Oleh karena itu pada

lansia seringkali terlihat kurus.

d. Penurunan visus/lapang pandang

Perubahan yang terjadi antara lain timbul sklerosis

dan hilangnya respon terhadap sinar, kornea lebih

berbentuk sferis (bola), kekeruhan pada lensa

menyebabkan katarak, meningkatnya ambang,

pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap

kegelapan lebih lambat dan susah melihat dalam


24

cahaya gelap, hilangnya daya akomodasi,

menurunnya lapangan pandang, berkurang luas

pandangannya, menurunnya daya membedakan

warna biru atau hijau.

Hal tersebut menyebabkan :

a. Penurunan range of motion (ROM) sendi

b. Penurunan kekuatan otot menyebabkan

kelemahan ekstremitas bawah

c. Perpanjangan waktu reaksi

d. Peningkatan postural sway (goyangan

badan)

Semua perubahan tersebut mengakibatkan

kelambanan pada gerak seseorang, langkah yang

pendek, penurunan irama dan pelebaran bantuan basal.

Kaki tidak lagi dapat menapak dengan kuat dan lebih

cenderung gampang goyah. Perlambatan reaksi

mengakibatkan seorang lansia susah atau terlambat

mengantisipasi bila terjadi gangguan seperti terpeleset,

tersandung, kejadian tiba-tiba sehingga memudahkan

jatuh.

Berikut beberapa teori yang dikemukakan mengenai

faktor-faktor yang mengakibatkan risiko jatuh terjadi

pada lansia.
25

a. Faktor Intrinsik

Faktor instrinsik adalah variabel-variabel

yang menentukan mengapa seseorang dapat

jatuh pada waktu tertentu dan orang lain dalam

kondisi yang sama mungkin tidak jatuh (Stanley,

2006). Faktor intrinsik tersebut antara lain adalah

gangguan muskuloskeletal misalnya

menyebabkan gangguan gaya berjalan,

kelemahan ekstremitas bawah, kekakuan sendi.

b. Faktor Ekstrinsik

Faktor-faktor ekstrinsik tersebut antara lain

lingkungan yang tidak mendukung meliputi

cahaya ruangan yang kurang terang, lantai yang

licin, tempat berpegangan yang tidak kuat, tidak

stabil, atau tergeletak di bawah, tempat tidur

atau yang rendah atau jongkok, obat-obatan

yang diminum dan alat-alat bantu berjalan

(Darmojo dan Martono, 2008).

Secara singkat faktor risiko jatuh pada lansia di bagi

dalam dua golongan besar menurut Kane dalam

Nugroho, (2008) yaitu:

1). Faktor intrinsik (faktor dari dalam)

2). Faktor ekstrinsik (faktor dari luar)


26

Faktor Intrinsik Faktor Ekstrinsik

Kondisi Fisik dan Obat-obat yang


Neuropsikiatrik diminum

Penurunan Visus FALL Alat-alat bantu


dan Pendengaran (JATUH) berjalan

Perubahan neuro
muskuler gaya Lingkungan yang tidak
berjalan dan reflek mendukung
postural karena (berbahaya)
proses menua

Gambar 2.2 Faktor risiko yang menyebabkan jatuh

2. 3 Pengertian Peran Perawat

Peran biasa dimaknai sebagai satu pola tingkah

laku, kepercayaan, nilai, dan sikap yang diharapkan oleh

masyarakat hal ini menandai seseorang sesuai

kedudukannya dalam kehidupan sosial (Sudarma, 2008).

Peran perawat terdiri dari peran sebagai pemberi asuhan

keperawatan, advokat pasien, pendidik, koordinator,

kolaborator, konsultan dan peneliti (Hidayat, 2007). Adapun

peran-peran perawat menurut Mubarak & Chayati, (2009)

sebagai berikut:
27

1. Pemberi perawatan (Care Giver)

Pada peran ini perawat diharapkan mampu untuk :

a. Memberikan pelayanan keperawatan kepada

kelompok, keluarga, individu, dan masyarakat

sesuai dengan diagnosis permasalah yang terjadi,

mulai dari masalah yang bersifat sederhanadan

mudah ditangani, sampai masalah yang tergolong

kompleks;

b. Memperhatikan individu dalam konteks sesuai

kehidupan yang klien alami. Perawat harus

memerhatikan klien berdasarkan kebutuhan

signifikannya;

c. Ketika mengidentifikasi diagnosis keperawatan

dapat menggunakan proses keperawatan, mulai

dari masalah fisik hingga psikologis.

2. Konselor (Counsellor)

Konseling adalah proses untuk membantu klien agar

klien dapat menyadari dan mengatasi tekanan masalah

sosial ataupupsikologis, untuk membangun hubungan

interpersonal yang baik, serta untuk meningkatkan

perkembangan seseorang di dalamnya diberikan

dukungan emosional dan intelektual. Pada peran ini

perawat diharapkan mampu untuk:


28

a. Mengidentifikasi perubahan pola interaksi klien

terhadap keadaan sehat sakitnya;

b. Perubahan pola interaksi adalah dasar dalam

merencanakan metode guna meningkatkan

kemampuan adaptasinya;

c. Memberikan bimbingan atau konseling penyuluhan

kepada individu atau keluarga dalam

mengintegrasikan pengalaman kesehatan sekarang

dengan pengalaman yang lalu;

d. Pemecahan masalah akan difokuskan pada

masalah keperawatan;

e. Mengubah perilaku hidup sehat (perubahan pola

interaksi).

3. Advokat (Advocate)

Peran ini dilakukan perawat dalam membantu klien

dan keluarganya dalam memahami dan mengerti

berbagai informasi dari pemberi pelayanan atau

informasi lain khususnya dalam pengambilan keputusan

serta persetujuan atas tindakan keperawatan yang

diberikan kepada klien. Selain itu juga dapat berperan

dalam mempertahankan serta membantu melindungi

hak-hak klien, yang meliputi hak atas pelayanan yang

sebaik-baiknya, hak atas informasi mengenai


29

penyakitnya, hak atas privasi klien, hak untuk

menentukan nasibnya sendiri, dan hak untuk menerima

ganti rugi akibat kelalaian tindakan dari tenaga medis

maupun institusi rumah sakit.

4. Edukator (Educator)

Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam

meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatannya,

gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan,

sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien setelah

dilakukan pemberian pendidikan kesehatan.

5. Koordinator (Coordinator)

Peran ini terlaksana karena adanya pelayanan

kesehatan dari tim kesehatan yang mengarahkan,

merencanakan, serta mengorganisasi, sehingga

pemberian pelayanan kesehatan terarah, serta sesuai

dengan kebutuhan klien.

6. Kolaborator (Collaborator)

Peran ini dilakukan karena perawat bekerja melalui

tim kesehatan yang terdiri atas dokter, fisioterapis, ahli

gizi, radiologi, laboraboratium, dan lain-lain dengan

berupaya mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang

diperlukan, termasuk diskusi atau tukarpendapat


30

dengan tenaga kesehatan lain dalam penentuan bentuk

pelayanan selanjutnya.

7. Konsultan (Consultant)

Peran perawat sebagai konsultan yaitu sebagai

tempat konsultasi mengenai masalah atau tindakan

keperawatan yang tepat untuk diberikan. Peran ini

dilakukan atas permintaan klien terhadap informasi

menenai tujuan pelayanan keperawatan yang diberikan.

8. Pembaharu

Peran sebagai pembaharu dapat dilakukan dengan

mengadakan perencanaan,perubahan yang

sistematis,kerja sama dan terarah sesuai dengan

metode pemberian pelayanan keperawatan.


31

2. 5 Kerangka Konseptual

Jenis-Jenis Peran Perawat :

1. Pemberi perawatan (Care Giver)


2. Konselor (Counsellor)
3. Advokat (Advocate)
4. Edukator (Educator)
5. Koordinator (Coordinator)
6. Kolaborator (Collaborator)
7. Konsultan (Consultant)
8. Pembaharu
Masalah Fisiologis
Lansia:

Perubahan Fisik 1. Risiko Jatuh


Objek Garapan
Perawat : 2. Risiko Cedera
3. Risiko kematian
1. Neonatus Perubahan Mental
2. Bayi
3. Anak
4. Remaja Perubahan Psikososial
5. Dewasa
6. Lansia

Perubahan Spiritual

Perubahan Minat

2.5Gambar Kerangka Konseptual

Keterangan:

: Tidak diteliti : Yang Diteliti

You might also like