You are on page 1of 40

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. TINJAUAN TEORI

1. Konsep penyakit kusta

a. Pengertian

Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh

kuman Mycrobacterium leprae (M. leprae) yang pertama kali

menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit,

mukosa (mulut), saluran pernafasan atas, sistem retikulo endotelial,

mata, otot, tulang dan testis (Harahap, 2013). Penyakit kusta

disebut juga penyakit Hansen yang disebabkan oleh bakteri,

pertama kali ditemukan di Norwegia pada tahun 1873 merupakan

bakteri bersifat basil tahan asam berbentuk batang dan memiliki

kemampuan yang unik untuk menyerang saraf, kulit dan membran

mukosa (Bajaj et al, 2010).

International Federation of Anti-Leprosy Association/ILEP

(2011) mendefinisikan kusta sebagai penyakit kronis yang dapat

didiagnosis dengan menggunakan alat diagnostik yang sederhana

atau dengan tanda-tanda klinis saja dan manusia sebagai reservoir

tunggal dari infeksi.


11

b. Penyebab

Menurut Harahap (2013) Mycrobacterium leprae adalah kuman

penyebab penyakit kusta yang ditemukan oleh sarjana Norwegia,

Gerhard Armaurer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat

tahan asam berbentuk batang dengan ukuran 1,8 mikron, lebar 0,3-

0,5 mikron, kuman ini hidup intraseluler dan mempunyai afinitas

yang besar pada sel syaraf (Schwan Cell) dan sel dari sistem

retikulo endotelial, biasanya ada yang berkelompok dan ada yang

tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu

dingin dan tidak dapat di kultur dalam media buatan, waktu

pembelahan kuman ini sangat lama yaitu 2-3 minggu.

Diluar tubuh manusia (dalam keadaan tropis) kuman kusta dan

sekret nasal dapat bertahan sampai 9 hari. Adanya distribusi lesi

yang secara klinik predominan pada kulit, mukosa hidung dan saraf

perifer superficial menunjukan pertumbuhan basil ini cenderung

menyukai temperatur kurang dari 37°C. Bagian tubuh yang dingin

seperti saluran pernafasan, testis, ruang anterior mata dan kulit

terutama cuping telinga dan jari merupakan tempat yang biasa di

serang. Saraf perifer yang terkena terutama yang superfisial dan

bagian kulit yang dingin cenderung paling banyak mengalami

anestesi. Bagian tubuh yang dingin merupakan tempat predileksi

tidak hanya karena pertumbuhan optimal M. leprae pada temperatur

rendah, tetapi juga oleh karena rendahnya temperatur dapat


12

mengurangi respon imunologis. Bakteri kusta dapat bertahan hidup

7-9 hari, sedangkan pada temperatur kamar dibuktikan dapat

bertahan hidup sampai 46 hari (Harahap, 2013)

c. Tanda dan gejala penyakit kusta

Menurut Harahap (2013) gejala klinik penyakit kusta biasanya

menunjukan gejala yang jelas pada stadium lanjut dan diagnosa

cukup ditegakkan dengan pemeriksaan fisik saja. Penderita kusta

adalah seseorang yang menunjukan gejala klinik kusta dengan atau

tanpa pemeriksaan bakteriologik dan memerlukan pengobatan,

gejala dan keluhan penyakit bergantung pada:

1) Multifikasi dan diseminasi kuman M. leprae

2) Respon imun penderita terhadap kuman M. leprae

3) Komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer

Menurut DEPKES RI (2006) Ada 3 tanda kardinal (cardinal

sign) untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta yaitu:

1) Lesi kulit yang anaestesi

2) Penebalan syaraf perifer

3) Ditemukannya M. leprae (bakteriologis positif) dalam kerokan

jaringan kulit

d. Cara penularan

Tidak semua orang dapat tertular penyakit kusta, hanya

sebagian kecil saja (kurang dari 5%) yang dapat tertular karena

kekebalan tubuh yang lemah. Penyakit ini menular melalui


13

pernafasan dan kontak erat yang lama dengan penderita yang

belum mendapat pengobatan. Rata-rata timbul gejala sejak pertama

terinfeksi (masa inkubasi) adalah 2-5 tahun (Kemenkes RI, 2011).

Manusia merupakan satu-satunya sumber penularan kuman

kusta saat ini, meskipun cara masuk M. leprae ke dalam tubuh

manusia belum diketahui pasti di perkirakan kuman dapat masuk

melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh bersuhu dingin dan

melalui mukosa nasal. Penularan terjadi apabila M. leprae yang

utuh keluar dari tubuh penderita dan masuk kedalam tubuh orang

lain. Secara teoritis penularan terjadi dengan cara kontak yang

lama dengan penderita. Penderita yang sudah minum obat sesuai

regimen WHO tidak menjadi sumber penularan kepada orang lain

(DEPKES RI, 2006).

e. Klasifikasi penyakit kusta

Menurut Guinto et al (2013) ada dua jenis klasifikasi kusta

yaitu klasifikasi kusta menurut Ridley-Jopling dan klasifikasi kusta

menurut WHO, dengan penjelasan sebagai berikut:

1) Klasifikasi menurut Ridley-Jopling ada 10 jenis kusta yaitu:

a) Penyakit kusta Indeterminate (I)

Lesi kulit kebanyakan terdiri dari suatu makula tunggal yang

datar, biasanya sedikit hipopigmentasi ataupun sedikit

erythematosa, sedikit oval ataupun bulat. Permukaannya rata

dan licin, tidak ditemui tanda-tanda atau perubahan tekstur


14

kulit. Batas yang terlihat kadang kala tegas tetapi umumnya

agak semu, hasil pemeriksaan Basil Tahan Asam (BTA) bisa

negatif ataupun positif.

b) Penyakit kusta Tipe Tuberculoid (TT)

Jenis lesi ini pada umumnya bersifat stabil, lesi pada

umumnya solitair (tunggal) ataupun hanya beberapa

berwarna kemerahan atau kecoklat-coklatan atau

hipopigmentasi berbentuk oval atau bulat berbatas tegas dari

kulit normal disekitarnya dan hasil pemeriksaan Basil Tahan

Asam (BTA) negatif.

c) Penyakit kusta Tipe Bodereline (B)

Kelompok kusta tipe ini sangat labil, terdiri dari tipe BT

(Bordeline Tuberculoid), BB ( Bordeline) dan BL (Bordeline

Lepromatouse). Lesi-lesi kulit umumnya sukkulent

(mengeras) dan menebal secara seragam (uniform) atau

dengan suatu daerah penyembuhan sentral.

d) Penyakit kusta Bordeline Tuberculoid (BT)

Lesi kulit ditemukan dari beberapa sampai banyak, berwarna

kemerah-merahan sampai kecoklatan (hypocromik). Batasnya

tegas apabila dibandingkan dengan kulit yang sehat

disekelilingnya.
15

e) Penyakit kusta Bordeline (BB)

Seluruh lesi mengalami infiltrasi dan terkadang melalui suatu

penyembuhan sentral (clearing central area). Hasil

pemeriksaan Basil Tahan Asam (BTA) umumnya positif.

f) Penyakit kusta Bordeline-Lepromatausa (BL)

Lesi kulit bentuknya beragam dan bervariasi dalam hal

ukuran, menebal dan mengalami infiltrasi berwarna

kemerahan atau kecoklatan sering banyak dan meluas. Hasil

pemeriksaan Basil Tahan Asam (BTA) positif.

g) Penyakit kusta Lepromatouse (LL)

Pada tipe penyakit kusta lepromatousa yang sub polar lesi

kulit sangat menyerupai lesi tipe Lepro-Lepromatousa yang

polar,namun demikian masih dapat ditemui sejumlah kecil

sisa lesi dari kusta bordeline yang asimetris.

h) Penyakit kusta tipe Bordeline Tuberculoid (BT)

Lesi berupa makula sulit terlihat batasannya pada keadaan

yang lebih lanjut lesi dapat berupa papula ataupun nodula.

i) Penyakit kusta tipe Histoid

Tipe penyakit ini merupakan suatu manifestasi khusus dari

penyakit kusta Lepro-lepromatousa yang ditandai dengan

terbentuknya papula ataupun nodula didalam kulit atau

jaringan subkutan. Sebagian besar akan berkembang sebagai

suatu manifestasi dari kekambuhan (relaps) dengan suatu


16

persentasi yang tinggi yang dihubungkan dengan resistensi

terhadap DDS, tetapi kadang kala dapat timbul tanda

penderita memperoleh kemoterapi.

j) Erythema Nodusum Leprosum (ENL)

Manifestasi kulit dari reaksi tipe 2 dari penyakit kusta, lesi

mengalami pustulasi dan ulserasi dan terlihat pada

permukaan kulit, lengan dan paha.

2) Klasifikasi menurut WHO

Menurut WHO klasifikasi penyakit kusta diklasifikasikan kedalam

2 tipe yaitu tipe Pausi Basiler (PB) dan tipe Multi Basiler (MB)

Dibawah ini adalah tabel untuk menentukan tipe penyakit kusta

Tabel 2.1
Pedoman utama menentukan klasifikasi/tipe penyakit kusta

Tanda utama PB MB
Jumlah tanda bercak 1-5 Bercak Lebih dari 5 bercak
pada kulit

Kerusakan saraf tepi Hanya 1 saraf Banyak saraf

BTA Negatif (-) Positif (+)


Sumber: DEPKES RI, 2006

Selain itu terdapat tanda lain yang dapat dipertimbangkan

dalam penentuan klasifikasi penyakit kusta yang dapat terlihat

dalam tabel dibawah ini :


17

Tabel 2.2
Pedoman lain untuk menentukan klasifikasi penyakit kusta

Kelainan kulit dan hasil PB MB


pemeriksaan

1. Bercak (makula)
mati rasa
a. Ukuran Kecil dan besar Kecil
b. Distribusi Unilateral atau Bilateral simetris
bilateralasimetris
c. Konsistensi Kering dan kasar Halus, berkilat
d. Batas Tegas Kurang tegas
e. Kehilangan rasa Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas jika
pada bercak ada terjadi pada yang sudah
lanjut
f. Kehilangan Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas jika
kemampuan ada terjadi pada yang sudah
berkeringat, lanjut
rambut rontok
pada bercak

2. Infiltrat
a. Kulit Tidak ada Ada, kadang-kadang tidak
b. Membran Tidak pernah ada ada
mukosa (hidung Ada, kadang-kadang tidak
tersumbat, ada
perdarahan di
hidung)

3. Ciri-ciri Central healing - Punched out lesion


(penyembuhan (lesi bentuk seperti
ditengah) donat)
- Madarosis
- Ginekomasti
- Hidung pelana
- Suara sengau

4. Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada

5. Deformitas Terjadi dini Biasanya simetris

Sumber: DEPKES RI, 2006


18

f. Reaksi dan kecacatan pada kusta

Menurut Kemenkes RI (2011) cacat kusta terjadi akibat

kerusakan fungsi saraf pada mata, tangan dan kaki. Penyebab utama

terjadinya gangguan dan kerusakan saraf pada penyakit kusta adalah

episode akut pada perjalanan penyakit kusta yang dikenal dengan

reaksi. Reaksi dapat terjadi pada saat sebelum, selama dan sesudah

pengobatan.

Reaksi adalah suatu gejala peradangan yang dapat timbul

mendadak pada pasien kusta, terjadi karena respon kekebalan tubuh

pasien terhadap kuman. Gejala reaksi timbul kelainan kulit secara

mendadak dan dapat disertai gangguan umum seperti demam,

kelainan kulit yang timbul dapat berupa bercak kemerahan yang

membengkak atau timbul benjolan seperti bisul yang terasa nyeri

(Kemenkes RI, 2011).

Bila reaksi ini tidak ditangani dengan baik akan timbul

kecacatan, reaksi dapat dicetuskan oleh banyak hal, antara lain:

1) Stress fisik atau mental

2) Pemberian imunisasi

3) Kehamilan, persalinan, menstruasi

4) Infeksi atau trauma

Departemen Kesehatan RI (2006) mengklasifikasikan reaksi

kusta menjadi 2 tipe yaitu reaksi tipe 1 dan reaksi tipe 2, berikut

penjelasan perbedaan kedua reaksi tersebut :


19

Tabel 2.3

Perbedaan reaksi tipe 1 dan 2

No Gejala/tanda Reaksi tipe 1 Reaksi tipe 2

1. Keadaan umum Umumnya baik, Ringan sampai berat


demam ringan disertai kelemahan
(subfebris) atau tanpa umum dan demam
demam tinggi

2. Peradangan kulit Bercak kulit lama Timbul nodul


menjadi lebih kemerahan, lunak
meradang (merah), dan nyeri tekan.
dapat timbul bercak Biasanya pada
baru lengan dan tungkai.
Nodul dapat pecah
(ulcerasi)
3. Saraf Sering terjadi, Dapat terjadi
umumnya berupa
nyeri tekan saraf dan
atau gangguan fungsi
saraf

4. Peradangan pada Hampir tidak ada Terjadi pada mata,


organ lain kelenjar getah
bening, sendi, ginjal,
testis dan lain-lain

5. Waktu timbulnya Biasanya segera Biasanya setelah


setelah pengobatan pengobatan yang
lama, umumnya
lebih dari 6 bulan

6. Tipe Kusta Dapat terjadi pada Hanya pada Kusta


kusta tipe PB tipe MB
maupun MB
Sumber: Depkes RI (2006)
20

Adapun penanganan reaksi menurut Bajaj et al (2010) yaitu:

1) Reaksi tipe I menggunakan Chloroquine dengan dosis 200-

300 mg/hari selama seminggu dan tablet aspirin atau obat

golongan Steroid yaitu prednison sesuai kebutuhan.

2) Reaksi tipe II diberikan Clofamizine dengan dosis 300-400

mg/hari dan Thalidomide. Pasien dianjurkan istirahat dan

boleh ditambahkan terapi Aspirin atau Prednison.

Masalah kecacatan pada penderita kusta ini terjadi akibat

peradangan yang menyerang saraf perifer. Terjadinya cacat

tergantung dari fungsi saraf mana yang rusak. Diduga kecacatan

akibat penyakit kusta dapat terjadi lewat 2 proses:

1) Infiltrasi langsung bakteri kusta ke susunan saraf tepi

2) Melalui reaksi kusta

Berikut adalah tabel yang memperlihatkan kecacatan karena

terganggunya fungsi saraf perifer pada penyakit kusta:

Tabel 2.4
Gangguan fungsi saraf yang menimbulkan kecacatan kusta

Saraf Fungsi motorik Fungsi sensorik Fungsi


otonom
Facialis Kelopak mata tidak
menutup

Ulnaris Jari manis dan Mati rasa Kekeringan


kelingking telapak tangan dan kulit retak
lemah/lumpuh/kiting bagian ibu jari, akibat
jari telunjuk dan kerusakan
jari tengah kelenjar
keringat,
minyak dan
aliran darah
21

Medianus Ibu jari, telunjuk & Mati rasa


jari tengah lemah, telapak tangan
lumpuh/kiting bagian ibu jari,
jari telunjuk dan
jari tengah

Radialis Tangan lunglai Mati rasa


telapak tangan
bagian jari
manis

Peroneus Kaki semper Mati rasa


Tibialis Jari kaki kiting telapak kaki
posterior
Sumber: DEPKES RI, 2006

Setiap penemuan kasus kusta baru harus dicatat tingkat

cacatnya karena menunjukan kondisi penderita pada saat diagnosis

ditegakkan. Tiap organ (mata, tangan dan kaki) diberi tingkat cacat

sendiri, tingkat cacat juga digunakan untuk menilai kualitas

penanganan pencegahan cacat yang dilakukan oleh petugas.

Berikut tingkat cacat akibat kusta yang berlaku di Indonesia:

Tabel 2.5
Tingkat cacat kusta yang berlaku di Indonesia

Tingkat Mata Telapak tangan/kaki

0 Tidak ada kelainan pada Tidak ada cacat akibat kusta


mata akibat kusta

1 Anestesi, kelemahan otot


(Tidak ada cacat atau
kerusakan yang kelihatan
akibat kusta)
22

2 Ada Lagophtalmos (kelopak Ada cacat/kerusakan yang


mata tidak bisa menutup) kelihatan akibat kusta,
misalnya ulkus, jari kiting,
kaki semper, hidung pelana,
madarosis.
Sumber: DEPKES RI, 2006

g. Pengobatan kusta

Tujuan utama program pemberantasan penyakit kusta adalah

memutuskan rantai penularan untuk menurunkan angka kejadian

penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita serta mencegah

timbulnya cacat. Untuk mencapai tujuan itu sampai sekarang

strategi pokok yang dilakukan masih didasarkan atas deteksi dini

dan pengobatan penderita, yang tampaknya masih tetap diperlukan

walaupun nanti vaksin kusta yang efektif telah tersedia. Sejak

Januari 1982 pengobatan kusta di Indonesia mengikuti keputusan

WHO Expert Commitee Meeting di Geneva pada Oktober 1981,

yaitu pengobatan kombinasi Dapsone (DDS), Lamprene dan

Rifampisin yang dikenal dengan nama Multidrug Therapy (MDT)

(Harahap, 2013).

1) Keuntungan Multi Drug Therapy (MDT)

a) Mencegah resistensi obat

b) Mengobati penderita yang resistensi Dapsone

c) Mengubah konsep dari terapi jangka panjang yang hanya

mencegah perluasan penyakit ke tarapi jangka pendek yang

menyembuhkan penyakit

d) Meningkatkan ketaatan berobat dari 50% ke 90%


23

e) Mencegah deformitas secara lebih efisien

f) Menurunkan jumlah kasus-kasus setiap tahunnya

g) Cepat membuat penderita menjadi tidak infeksius

h) Mengurangi biaya jangka panjang pada program kontrol

kusta (Harahap, 2013).

2) Jenis-jenis terapi Multidrug Therapy (MDT)

a) Multi Drug Therapy (MDT) untuk kusta MB (Multi Basiler)

dosis dewasa berupa paket blister untuk pengobatan bulanan

yang harus diawasi dengan minum obat didepan petugas

pada hari pertama berisi Klofamizin 300 mg, Rifamfpisin

600 mg dan Dapsone 100 mg. Selanjutnya pengobatan

harian tanpa pengawasan (hari ke-2 sampai hari ke-28)

berisi Klofamizin 50 mg dan Dapsone 100 mg dengan lama

pengobatan 12-18 bulan. Dosis MDT (MB) dosis anak usia

10-14 tahun pengobatan bulanan dibawah pengawasan

berisi Klofamizin 150 mg, Rifampisin 450 mg dan Dapsone

50 mg, selanjutnya pengobatan harian tanpa pengawasan

hari ke-2 sampai ke-28 berisi Klofamizin 50 mg dan

Dapsone 50 mg setiap hari selama 12-18 bulan.

b) Multi Drug Therapy (MDT) untuk kusta PB (Pausi Basiler)

dosis dewasa berupa paket blister untuk pengobatan bulanan

dibawah pengawasan (hari ke-1 diminum didepan petugas)

berisi Rifampisin 600 mg dan Dapsone 100 mg, selanjutnya


24

pengobatan harian tanpa pengawasan (hari ke-2 sampai hari

ke-28) hanya berisi Dapsone 100 mg yang diminum setiap

hari selama 6-9 bulan. Dosis MDT (PB) untuk anak usia 10-

14 tahun paket bulanan dibawah pengawasan (hari ke-1

diminum didepan petugas) berisi Rifampisin 450 mg dan

Dapsone 50 mg, sedangkan pengobatan harian (hari ke-2

sampai hari ke-28) hanya berisi Dapsone 50 mg dengan

lama pengobatan 6-9 bulan (McDougal dan Yuasa, 2015).

h. Pencegahan cacat dan perawatan diri penderita kusta

Kegiatan yang termasuk dalam upaya pencegahan cacat primer

adalah: diagnosis dini, pengobatan secara teratur dan adekuat,

diagnosis dini dan penatalaksanaan neuritis dan diagnosis dini dan

penatalaksanaan reaksi. Karena kecacatan kusta adalah akibat

gangguan saraf perifer, maka pemeriksaan saraf perifer harus

dilakukan secara teliti dan benar, namun cukup sederhana dan

murah. Pemeriksaan ini meliputi:

a) Pemeriksaan sensorik

Untuk fungsi ini perlu diperiksa fungsi saraf sensorik telapak

tangan pada daerah yang disarafi oleh Nervus ulnaris dan

Medianus. Pada telapak kaki adalah untuk daerah yang disarafi

oleh Nervus tibialis posterior.


25

b) Pemeriksaan fungsi motorik dengan menggunakan alat ukur

MMT (Manual Muscle Testing) dan VMT (Volume Muscle

Testing).

c) Pemeriksaan fungsi otonom dengan cara memeriksa kebasahan

telapak tangan maupun kaki dengan menggenggam tangan

penderita (fungsi kelenjar keringat), pada keadaan dini bila

berbagai gangguan cepat diketahui maka dengan terapi

Medikamentosa serta tindakan perlindungan saraf dari

kerusakan lebih lanjut akan memberikan hasil yang sangat baik

(DEPKES RI, 2006).

2) Pencegahan cacat dan perawatan diri

Menurut Kemenkes RI (2011) prinsip pencegahan

bertambahnya cacat pada dasarnya adalah 3 M, yaitu:

a) Melindungi mata, tangan dan kaki dari trauma fisik

b) Memeriksa mata, tangan dan kaki secara teratur

c) Melakukan perawatan diri dengan cara:

(1) Untuk mata yang tidak dapat ditutup rapat hindari

pekerjaan berdebu dan melindungi mata dari debu dan

angin dengan kacamata serta sesering mungkin

bercermin apakah ada kemerahan atau benda yang

masuk ke mata.

(2) Untuk tangan dan kaki yang mati rasa lindungilah

dengan selalu menggunakan alas kaki, sering memeriksa


26

tangan dan kaki apakah ada luka atau lecet, sekecil

apapun jika ada luka atau lecet rawat dan istirahatkan

bagian yang sakit.

(3) Untuk kulit tangan dan kaki yang kering atau menebal

merendam selama 20 menit setiap hari dalam air biasa,

gosok bagian yang menebal dengan batu gosok (batu

apung) kemudian langsung dioleskan minyak kelapa

untuk menjaga kelembaban kulit.

(4) Untuk jari tangan yang bengkok sesering mungkin

meluruskan sisi tangan yang lain, pegang ibu jari dengan

tangan lain dan gerakkan sendi supaya tidak kaku. Jika

ada kelemahan membuka jari, kuatkan dengan cara

regangkan dan rapatkan jari berulang-ulang diatas meja

atau paha. Selain itu bisa juga dengan cara ikat jari

tangan dengan 2-3 karet gelang, lalu pisahkan dan

rapatkan jari berulang-ulang.

(5) Untuk kaki yang semper selalu pakai sepatu supaya jari-

jari tidak terseret dan luka, angkat lutut lebih tinggi saat

berjalan, gunakan tali karet antara lutut dan sepatu guna

mengangkat kaki bagian depan waktu berjalan dan

gunakan plastik atau kertas dari betis sampai ke telapak

kaki agar kaki tidak lunglai (jatuh).


27

i. Masalah yang dihadapi oleh orang yang terdampak kusta

Menurut Kemenkes RI (2011) masalah-masalah yang

dihadapi seseorang yang menderita kusta adalah:

1) Tidak menerima diagnosa penyakit yang diderita dan

konsekuensinya.

2) Tidak mampu mengatasi masalah stigma dari lingkungan

maupun dari dalam diri sendiri.

3) Kesulitan untuk mengungkapkan penyakitnya kepada orang

lain.

4) Emosi yang berlebihan atau tidak terkontrol yang

mempengaruhi kehidupan sehari-hari.

5) Keyakinan dan ketakutan akan penyakit yang diderita.

6) Penyesuaian untuk mengubah gaya hidup sehubungan

dengan penyakit yang diderita.

7) Penyesuaian untuk perubahan pada keluarga, perkawinan

dan hubungan sosial.

2. Konsep kualitas hidup

a. Pengertian

Banyak ahli berpendapat bahwa lingkup dari konsep kualitas

hidup harus berpusat pada persepsi subyektif individu mengenai

kualitas hidupnya sendiri karena kualitas hidup subyektif memiliki

kekuatan prediktif yang lebih tinggi daripada kualitas hidup

obyektif. Kualitas hidup merupakan interaksi antara komponen


28

subyektif dan bobot kepentingan (komponen kepentingan) dari

aspek-aspek kehidupan tertentu, dengan beberapa faktor yang

dapat berpengaruh ataupun tidak akan sangat tergantung pada

persepsi individu sendiri mengenai kondisi kehidupan yang dijalani

(Car dan Higginson, 2001) dalam Nofitri (2009).

Kualitas hidup adalah mekanisme yang terdiri dari perspektif

psikologi yang positif, khususnya emosi positif dan kekuatan yang

berkontribusi terhadap kehidupan yang lebih bahagia, lebih sehat,

lebih sukses bahkan dalam menghadapi kesulitan. Bidang

kehidupan individu yang memberi kontribusi terhadap kualitas

hidup adalah kesehatan fisik dan mental yang baik, efisiensi fungsi

kognitif, dukungan sosial, mampu memenuhi persyaratan dari

kehidupan profesional, emosi positif, dan lain-lain (Efklides,

2013).

Definisi kualitas hidup menurut World Health Organization/

WHO (2012) kualitas hidup adalah persepsi individual terhadap

posisinya dalam kehidupan, dalam konteks budaya, sistem nilai

dimana individu tersebut berada dan hubungannya terhadap tujuan

hidup, harapan, standar dan hal-hal lainnya yang terkait. Masalah

yang meliputi kualitas hidup sangat luas dan kompleks termasuk

didalamnya yaitu: masalah kesehatan fisik, status psikologis,

tingkat kebebasan, hubungan sosial dan lingkungannya.


29

Definisi kualitas hidup berdasarkan WHO ini menekankan

adanya persepsi dari individu mengenai posisi kehidupan mereka

saat ini dan persepsi dari individu ini dapat dipengaruhi oleh

budaya dan sistem nilai dimana individu itu berada. Bila

dihubungkan dengan definisi yang dikemukakan oleh O’Connor

(1993) dalam Nofitri (2009), dalam mempersepsikan posisi

kehidupannya saat ini, individu melihat seberapa jauh perbedaan

antara kondisi kehidupannya saat ini dengan kondisi kehidupan

yang diinginkan.

Dapat disimpulkan oleh peneliti bahwa kualitas hidup

adalah pandangan diri sendiri terhadap tingkat kesejahteraan hidup

yang dijalani sesuai dengan yang diharapkan.

b. Dimensi kualitas hidup

Dimensi-dimensi kualitas hidup yang digunakan dalam

penelitian ini mengacu pada dimensi yang ada dalam World Health

Organization Quality Of Life (WHOQOL-BREF) dimana terdapat

empat dimensi kualitas hidup yaitu kesehatan fisik, kesejahteraan

psikologik, hubungan sosial dan hubungan dengan lingkungan.

Dimensi kualitas hidup dalam WHOQOL BREF merupakan

bentuk pendek dari WHOQOL 100 yang berisi enam dimensi yaitu

kesehatan fisik, kesejahteraan psikologis, tingkat kemandirian,

hubungan sosial, hubungan dengan lingkungan dan kondisi

spiritual.
30

Empat dimensi dalam WHOQOL BREF (WHO,2012) yaitu:

1) Dimensi kesehatan fisik

a) Aktifitas sehari-hari: menggambarkan kesulitan dan

kemudahan yang dirasakan individu ketika melakukan

kegiatan sehari-hari.

b) Mobilitas: Menggambarkan tingkat perpindahan yang

mampu dilakukan oleh individu dengan cepat.

c) Kapasitas kerja: menggambarkan kemampuan individu

dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.

d) Tidur dan istirahat: menggambarkan kualitas tidur dan

istirahat yang dimiliki oleh individu.

e) Energi dan kelelahan: menggambarkan tingkat kemampuan

individu dalam menjalankan aktifitas sehari-hari.

2) Dimensi kesejahteraan psikologis

a) Body image dan appearance: menggambarkan bagaimana

individu memandang keadaan tubuh serta penampilannya.

b) Perasaan negatif: menggambarkan adanya perasaan yang

tidak menyenangkan yang dimiliki individu.

c) Perasaan positif: menggambarkan perasaan yang

menyenangkan yang dimiliki oleh individu.

d) Self-esteem: melihat bagaimana individu menilai atau

menggambarkan dirinya sendiri.


31

e) Berfikir, belajar, memori dan konsentrasi: menggambarkan

keadaan kognitif individu yang memungkinkan untuk

berkonsentrasi, belajar dan menjalankan fungsi kognitif

lainnya.

3) Dimensi hubungan sosial

a) Relasi personal: menggambarkan hubungan individu

dengan orang lain.

b) Dukungan sosial: menggambarkan adanya bantuan yang

didapatkan oleh individu yang berasal dari lingkungan

sekitarnya.

c) Aktifitas seksual: menggambarkan kegiatan seksual yang

dilakukan oleh individu.

4) Dimensi hubungan dengan lingkungan

a) Sumber finansial: menggambarkan keadaan keuangan

individu.

b) Fredoom, physical safety dan security: menggambarkan

tingkat keamanan individu yang dapat mempengaruhi

kebebasan dirinya.

c) Perawatan kesehatan dan social care: menggambarkan

ketersediaan layanan kesehatan dan perlindungan sosial

yang dapat diperoleh individu.

d) Lingkungan rumah: menggambarkan keadaan tempat

tinggal individu.
32

e) Kesempatan untuk memperoleh berbagai informasi baru

dan keterampilan: menggambarkan ada tidaknya

kesempatan individu untuk memperoleh hal-hal baru yang

berguna bagi individu.

f) Partisipasi dan kesempatan untuk melakukan rekreasi atau

kegiatan yang menyenangkan: menggambarkan sejauh

mana individu memiliki kesempatan dan dapat bergabung

untuk rekreasi dan menikmati waktu luang.

g) Lingkungan fisik: menggambarkan keadaan lingkungan

sekitar tempat tinggal individu antara lain: keadaan air,

saluran udara, iklim, polusi udara dan lain-lain.

h) Transportasi: menggambarkan sarana kendaraan yang dapat

dijangkau oleh individu.

c. Aspek kualitas hidup

Aspek yang dapat dilihat dalam pengukuran kualitas hidup

adalah aspek subyektif, eksistential/kepentingan dan obyektif.

1) Aspek subyektif adalah bagaimana seseorang merasa seberapa

baik kehidupan yang dijalaninya sekarang. Setiap individu

menilai sendiri pandangan, perasaan dan pendapat atau gagasan

yang ada pada dirinya misalnya kepuasan terhadap kehidupan

terhadap kehidupan seperti kebahagiaan yang merupakan

refleksi subyektifitas dari kualitas hidupnya.


33

2) Aspek eksistensi atau kepentingan adalah bagaimana kehidupan

yang baik dari seseorang pada tingkatan yang dalam. Hal ini

dapat di asumsikan bahwa individu lahir dengan pembawaan

atau kodrat yang patut dihormati, sehingga setiap individu dapat

hidup dalam keharmonisan. Setiap orang berfikir bahwa setiap

kebutuhan biologis manusia harus dapat terpenuhi, oleh karena

itu faktor yang mendukung seperti kondisi yang ada harus

optimal atau setiap individu harus hidup dalam kehidupan yang

sesuai dengan idealisme kepercayaan dan keyakinan yang

diikutinya sebagaimana adanya.

3) Aspek obyektif berkaitan dengan data atau kondisi kehidupan

yang sebenarnya dari berbagai aspek kehidupan, hal ini

merupakan bagaimana kehidupan yang sebenarnya dari

berbagai aspek kehidupan dirasakan oleh dunia luar.

Pandangan ini dipengaruhi oleh budaya setempat dimana

individu tersebut berada. Para ahli berpendapat bahwa

pengukuran kualitas hidup harus berpusat pada perspektif

subyektif individu mengenai kualitas hidup dari kehidupannya

sendiri (Felce and Perry dalam King, 2005).

d. Pengukuran kualitas hidup

The World Health Organization Quality of Life-bref

(WHOQOL-BREF) dapat dipergunakan dalam berbagai

kepentingan diantaranya dalam praktik kedokteran, meningkatkan


34

hubungan antara pasien dengan dokter, mengevaluasi efektivitas

dari berbagai terapi yang berbeda, evaluasi pelayanan kesehatan,

dalam penelitian maupun pembuatan kebijakan.

Pengukuran kualitas hidup bersifat subyektif yang

menggambarkan keadaan perasaan seseorang terhadap dirinya,

baik dari orang yang menderita penyakit tertentu maupun orang

sehat dalam berbagai dimensi yang berbeda-beda dan jumlah item

yang juga berbeda (Muhaimin, 2009).

Instrumen untuk mengukur kualitas hidup yang dipakai

dalam penelitian ini diambil dari WHO (World Health

Organization’s Quality of Life bref/ WHOQOL-BREF) yang terdiri

dari 2 bagian yaitu kualitas hidup secara keseluruhan dan kualitas

hidup secara umum. WHOQOL-BREF terdiri dari 26 butir

pertanyaan meliputi 4 domain kesehatan yaitu kesehatan fisik,

kondisi psikologis, hubungan sosial dan kondisi lingkungan.

WHOQOL-BREF merupakan bentuk pendek dari WHOQOL-100

yang berisi 6 domain yaitu kesehatan fisik, kondisi psikologis,

hubungan sosial, kondisi lingkungan, aktifitas dan spriritualitas.

e. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup

Menurut Felce and Ferry dalam King (2005) faktor-faktor yang

mempengaruhi kualitas hidup manusia secara umum adalah:


35

1) Umur

Individu dewasa mengekspresikan kesejahteraan yang lebih

tinggi pada usia dewasa pertengahan.

2) Jenis kelamin

Terdapat perbedaan antara kualitas hidup laki-laki dan

perempuan, dimana kualitas hidup laki-laki cenderung lebih

baik dari kualitas hidup perempuan. Bertentangan dengan

penelitian Bain (2004) yang mengatakan bahwa kualitas hidup

perempuan cenderung lebih tinggi dari kualitas hidup laki-laki.

Secara umum kualitas hidup laki-laki tidak jauh berbeda

dengan kualitas hidup perempuan, namun perempuan lebih

banyak terkait dengan aspek hubungan positif sedangkan

kesejahteraan tinggi pada pria lebih terkait dengan aspek

pendidikan dan pekerjaan yang baik.

3) Pekerjaan

Kualitas hidup penduduk yang bekerja lebih baik dari kualitas

hidup penduduk yang tidak bekerja. Wahl (2004) menemukan

bahwa status pekerjaan berhubungan dengan kualitas hidup

baik pria maupun wanita.

4) Pendidikan

Kualitas hidup akan meningkat seiring dengan lebih tingginya

tingkat pendidikan yang didapatkan oleh individu. Terdapat

pengaruh positif dari pendidikan terhadap kualitas hidup.


36

5) Status pernikahan

Dapat dipahami bahwa secara umum orang yang sudah

menikah memiliki support sistem dan hubungan sosial lebih

baik sehingga dapat mempengaruhi kualitas hidupnya.

6) Hubungan dengan orang lain

Kebutuhan akan hubungan dengan orang lain terpenuhi, baik

melalui hubungan pertemanan maupun perkawinan yang saling

mendukung.

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Tsutsumi et al (2007)

terhadap penderita kusta di Banglades menyebutkan faktor-faktor

yang mempengaruhi kualitas hidup penderita kusta adalah:

1) Penghasilan

Penghasilan keluarga dalam setahun mempengaruhi hubungan

dengan penurunan kualitas hidup penderita kusta.

2) Pendidikan

Lama mengenyam pendidikan (dalam tahun) berpengaruh

terhadap kualitas hidup penderita kusta.

3) Stigma

Penelitian menunjukan adanya hubungan yang erat antara

stigma dari dalam diri penderita kusta dengan penurunan

kualitas hidup.
37

4) Cacat kusta

Cacat yang terlihat memiliki hubungan dengan penurunan

kualitas hidup penderita kusta.

f. Kualitas hidup penderita kusta

Dampak penyakit kusta terhadap kualitas hidup pasien penting

diketahui untuk menilai keparahan penyakit, evaluasi pengobatan

dan pengambilan keputusan dalam tata laksana penyakit kusta,

penderita kusta mengalami kondisi kompleks yang melibatkan

kesehatan fisik dan kualitas hidup pasien (Astriningrum et al,

2013).

Penelitian yang dilakukan terhadap penderita kusta di Brazil

menunjukan skor rata-rata kualitas hidup penderita kusta lebih

rendah dan dipengaruhi oleh keterbatasan aktifitas yang dimiliki

(Victor, 2015). Penilaian kualitas hidup penderita kusta di India

dengan menggunakan alat ukur kualitas hidup WHOQOL-BREF

oleh Joseph dan Rao (1999) dalam Astriningsih (2013)

menemukan bahwa keseluruhan ranah penilaian kualitas hidup

penderita kusta laki-laki maupun perempuan lebih rendah

dibandingkan dengan kelompok kontrol. Penderita kusta laki-laki

dengan cacat memiliki nilai kualitas hidup yang lebih rendah

dibandingkan dengan yang tidak cacat, berbeda dengan penderita

kusta perempuan dengan cacat walaupun memiliki nilai kualitas


38

hidup yang rendah namun tidak bermakna secara statistik. Hal ini

dikarenakan perempuan lebih siap menerima penyakitnya sejalan

dengan peranan perempuan di India yang dianggap nomor dua.

Penelitian kualitas hidup penderita kusta yang terbaru oleh

Mazziya et al (2016) berbasis Health Belief Model (HBM)

terhadap penderita kusta di Puskesmas Wilayah Surabaya Utara

menunjukan 83,3 % penderita kusta memiliki kualitas hidup baik,

persepsi individu kerentanan dan keseriusan menjadi faktor yang

mempengaruhi kualitas hidup penderita kusta.

3. Konsep Stigma kusta

a. Pengertian stigma

Stigma adalah tindakan memberi label sosial yang

bertujuan untuk memisahkan atau mendeskreditkan seseorang

atau sekelompok orang dengan cap atau pandangan buruk

(Kemenkes RI, 2012). Gofman (1963) dalam Wong (2004)

menyatakan stigma adalah tanda atau ciri yang menandakan

pemiliknya membawa sesuatu yang buruk dan oleh karena itu

dinilai lebih rendah.

Kusta merupakan penyakit yang erat kaitannya dengan

stigma. Ketakutan yang berlebihan, persepsi yang salah

(misbelief) dan gambaran yang menakutkan pada kecacatan

kusta merupakan penyebab utama stigma terhadap penyakit


39

ini. Semua ini menyebabkan orang yang terdampak kusta

dijauhi, dikucilkan, sulit menikah dan sulit mendapat

pekerjaan. Penderita kusta menjadi sangat tergantung secara

fisik dan ekonomi kepada orang lain yang pada akhirnya

berujung pada kemiskinan. Bagi program pengendalian kusta,

stigma juga dapat menyebabkan orang yang terdampak kusta

menyembunyikan diri sehingga tidak mendapat pengobatan

secara dini (Kemenkes, 2011).

b. Jenis-jenis stigma

International Federation of Anti-Leprosy Association /ILEP

(2011) mengklasifikasikan stigma menjadi dua jenis yaitu:

1) Anticipated stigma atau felt stigma yaitu stigma yang

berasal dari luar diri atau stigma yang dimiliki orang lain

berupa pemberian label/cap tertentu kepada seseorang,

pemutusan hubungan pekerjaan dan menjauhi seseorang

akibat sesuatu yang berbeda/dialami misalnya akibat

penyakit tertentu.

2) Self stigma atau Internalised stigma yaitu sikap negatif dan

prasangka dalam masyarakat yang dibenarkan oleh orang

yang terdampak penyakit tertentu atau disebut juga stigma

yang terinternalisasi atau disebut juga Perceived stigma.

Brakel (2003) menyatakan ada 2 jenis stigma yaitu:


40

1) Enacted Stigma atau stigma yang didapat dari luar diri

penderita adalah diskriminasi, penolakan, penghilangan

pekerjaan, pelecehan fisik dan perceraian paksa yang

didapatkan seseorang dari lingkungannya oleh karena sesuatu

yang diderita atau kondisi tertentu yang di alaminya. Enacted

stigma tidak hanya terjadi pada penderita kusta tetapi juga

terhadap keluarganya, terlebih keluarga penderita yang cacat.

Sebuah studi menyatakan bahwa keluarga penderita dengan

kecacatan akan mengalami problem sosial 10 kali lebih tinggi

daripada penderita tanpa kecacatan.

2) Self stigma atau Perceived stigma yang berasal dari dalam

diri penderita adalah ketakutan dan kekhawatiran akan

diskriminasi, penolakan, kehilangan pekerjaan, pelecehan

fisik dan perceraian paksa yang dirasakan seseorang oleh

karena sesuatu yang diderita atau kondisi yang dialaminya.

Self stigma merupakan fenomena yang dampaknya luas,

dimana dapat mengganggu kehidupan seseorang. Self stigma

dapat menyebabkan stress emosional, kecemasan, depresi,

usaha bunuh diri, isolasi, masalah pada hubungan keluarga

dan persahabatan.

c. Proses terjadinya stigma dan komponen stigma

Proses terjadinya stigma menurut ILEP (2011): orang-

orang yang dianggap berbeda sering diberi label, masyarakat


41

cenderung berprasangka dengan pandangan tertentu dengan apa

yang orang alami seperti sangat menular, mengutuk, berdosa,

berbahaya, tidak dapat diandalkan dan tidak mampu

mengambil keputusan dalam kasus mental. Masyarakat tidak

lagi melihat penderita yang sebenarnya tetapi hanya melihat

label saja, kemudian memisahkan diri dengan penderita dengan

menggunakan istilah “kita” dan “mereka” sehingga

menyebabkan penderita terstigmatisasi dan mengalami

diskriminasi.

Menurut Pfuhl (1998) dalam Simanjuntak (2005) proses

pemberian stigma yang dilakukan masyarakat terjadi melalui

tiga tahapan, yaitu:

1) Proses interpretasi: pelanggaran norma yang terjadi dalam

masyarakat tidak semuanya mendapatkan stigma dari

masyarakat, tetapi hanya pelanggaran norma yang

diinterpretasikan oleh masyarakat sebagai suatu

penyimpangan perilaku yang dapat menimbulkan stigma.

2) Proses pendefinisian: orang dianggap berperilaku

menyimpang, setelah pada tahap pertama dilakukan,

dimana terjadi interpretasi terhadap perilaku yang

menyimpang maka tahap selanjutnya adalah proses

pendefinisian orang yang dianggap berperilaku

menyimpang oleh masyarakat.


42

3) Perilaku diskriminasi: tahap selanjutnya setelah proses

kedua dilakukan, maka masyarakat memberikan perlakuan

yang bersifat membedakan (diskriminasi).

Berikut gambar yang menjelaskan proses terjadinya stigma

Label Stereotype

Memisahkan
Diskriminasi "kita" dari
"mereka"

Kehilangan
status

Gambar 2.1 Proses terjadinya stigma

Sumber: ILEP (2011)

d.. Komponen stigma

komponen-komponen stigma menurut Goffman (1963) dalam

Wong (2004) terdiri dari empat komponen yaitu:

1) Labelling adalah pembedaan dan pemberian label atau penamaan

berdasarkan perbedaan yang dimiliki oleh anggota masyarakat

tersebut. Sebagian besar perbedaan yang diberikan dapat menonjol


43

secara sosial, pemilihan karakteristik yang menonjol dan penciptaan

label bagi individu atau kelompok merupakan sebuah prestasi sosial

yang perlu dipahami sebagai komponen penting dari stigma.

2) Stereotype adalah komponen kognitif yang merupakan keyakinan

tentang atribut personal yang dimiliki oleh orang-orang dalam suatu

kelompok tertentu atau kategori sosial tertentu.

3) Separation adalah pemisahan “kita” sebagai pihak yang memiliki

stugma dan “mereka” kelompok yang mendapatkan stigma.

4) Diskriminasi adalah perilaku yang merendahkan orang lain karena

keanggotaannya dalam suatu kelompok.

Dapat disimpulkan oleh peneliti bahwa stigma dari dalam diri

penderita kusta adalah perasaan yang muncul dari dalam diri seseorang

akibat pandangan negatif dari orang lain berupa perasaan tidak

dihargai/dibedakan dengan orang lain.

e. Dampak stigma

Menurut Kemenkes RI (2011) dampak dari stigma terhadap

penderita kusta antara lain:

1) Dampak pada emosi

Perasaan takut, depresi, berduka, malu, rasa bersalah, cemas, rasa

percaya diri yang rendah, merasa tidak punya harapan dan marah,

atau ketidakmampuan untuk mengekspresikan perasaan tertentu.

Dampak pada emosi dapat terlihat secara langsung saat pasien


44

mengetahui kondisinya, ekspresi yang muncul antara lain:

menangis, marah, tak berespon dan menyangkal.

2) Dampak pada pemikiran

Perubahan emosi dan pemikiran akan mengakibatkan perubahan

perilaku pada pasien, misalnya perilaku menghindar, tidak percaya

diri dan mengisolasi diri sendiri. Kondisi ini menyebabkan

seseorang akan tetap tidak mencari pertolongan untuk mengatasi

masalah kesehatannya, yang selanjutnya akan menyebabkan

keterlambatan diagnosis dan pengobatan serta meningkatkan risiko

kecacatan.

3) Dampak pada hubungan dengan orang lain

Dalam kategori ini termasuk penolakan terhadap orang lain, isolasi

yang dipaksakan serta pembatasan partisipasi sosial di

lingkungannya. Hal ini akan mengakibatkan diskriminasi sosial

dan perilaku depensif serta lebih jauh lagi dapat menyebabkan

masalah yang lebih luas dampaknya, misalnya pemutusan

hubungan kerja.

Beberapa bidang kehidupan yang dapat dipengaruhi oleh stigma

menurut ICF-WHO atau International Classification of Functioning

Dissability (2003) adalah dalam bidang belajar dan mengaplikasikan

ilmu, mengerjakan tugas pokok dan kebutuhan, komunikasi, mobilitas,

mengurus diri sendiri, kehidupan dalam rumah tangga, hubungan dan


45

interaksi dengan orang lain, kebutuhan utama dan kehidupan umum

dan sosial (Brakel, 2003).

Menurut Linpakarnjanarat (2011) kusta merupakan penyakit

yang erat kaitannya dengan stigma dimana hal tersebut menimbulkan

dampak psikologis bagi penderita, keluarganya dan masyarakat,

bahkan pada orang yang pernah mengalami penyakit tersebut. Bagi

program penanggulangan kusta stigma akan menyebabkan pasien

menyembunyikan diri sehingga terlambat diobati dan akan menjadi

sumber penularan bagi orang lain. Pasien yang terlambat diobati juga

akan besar kemungkinan menderita cacat dan kondisi ini akan semakin

memperburuk gambaran masyarakat terhadap orang yang mengalami

kusta. Sedangkan bagi pasien, dampak psikologis itu akan

menyebabkan penderita menarik diri dari lingkungan sosialnya dan

pekerjaannya sehingga menjadi tidak produktif bagi keluarga dan

lingkungannya.

Diperlukan konseling bagi penderita kusta yang komprehensif

agar dampak psikologis yang disebabkan oleh stigma akan berkurang

sehingga penderita kusta dapat memiliki kualitas hidup yang baik.

Selain itu penderita kusta juga dilibatkan dalam kehidupan sosial dan

pembangunan, sehingga kesalahpahaman, prasangka dan mitos yang

salah di masyarakat dapat disingkirkan dan mendorong orang yang

pernah mengalami kusta agar pada akhirnya memiliki kepercayaan diri

dan harga diri yang lebih baik (Kemenkes RI, 2011).


46

B. KERANGKA TEORI

Masalah yang muncul


Penyakit kusta pada penderita kusta:
Stigma
1. Kecacatan
2. Masalah
Psikososial:
(diskriminasi,
penolakan,
kehilangan Dampak:
pekerjaan,
Mycrobacterium pelecehan 1. Emosi
leprae fisik dan 2. Pemikiran
perceraian
paksa) 3. Hubungan

dengan orang

lain

orang lain
Kualitas hidup

Gambar 2.2: Kerangka Teori

Sumber : Modifikasi dari Kemenkes RI (2011) dan Brakel (2003)


47

C. KERANGKA KONSEP

Variabel Bebas Variabel Terikat

Stigma
Kualitas hidup pasien kusta

Variabel pengganggu
- Umur
- Jenis Kelamin
- pekerjaan
- Pendidikan
- Status Pernikahan
- Hubungan dengan
orang lain
- Penghasilan
- Kecacatan

Gambar 2.3: Kerangka konsep


48

D. HIPOTESIS

Hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap

permasalahan peneliti sampai terbukti melalui data yang terkumpul

(Supardi dan Rustika, 2012).

- Ha: Ada hubungan stigma dengan kualitas hidup pasien kusta rawat

jalan di Puskesmas Wilayah Kabupaten Purbalingga.

- Ho: Tidak ada hubungan stigma dengan kualitas hidup pasien kusta

rawat jalan di Puskesmas Wilayah Kabupaten Purbalingga.

You might also like