You are on page 1of 22

I.

PENDAHULUAN

Penurunan kesadaran pada anak merupakan kedaruratan yang dapat mengancam


jiwa sehingga membutuhkan diagnosis dan tatalaksana secara cepat dan tepat. Untuk
memberikan tata laksana yang adekuat dibutuhkan pengetahuan yang baik mengenai
manifestasi klinis, pemeriksaan fisis neurologis, dan kemungkinan penyebab.
Pemeriksaan penunjang membantu menegakkan diagnosis pasti penyebab penurunan
kesadaran sehingga dapat dilakukan tata laksana spesifik berdasarkan etiologi. Tujuan
utama tata laksana penurunan kesadaran adalah mencegah kerusakan otak lebih
lanjut.

Kesadaran ditentukan oleh kondisi pusat kesadaran yang berada di kedua hemisfer
serebri dan Ascending Reticular Activating System (ARAS). Jika terjadi kelainan pada
kedua sistem ini, baik yang melibatkan sistem anatomi maupun fungsional akan
mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran dengan berbagai tingkatan.
Ascending Reticular Activating System merupakan suatu rangkaian atau network
system yang dari kaudal berasal dari medulla spinalis menuju rostral yaitu diensefalon
melalui brain stem sehingga kelainan yang mengenai lintasan ARAS tersebut berada
diantara medulla, pons, mesencephalon menuju ke subthalamus, hipothalamus,
thalamus dan akan menimbulkan penurunan derajat kesadaran. Neurotransmiter yang
berperan pada ARAS antara lain neurotransmiter kolinergik, monoaminergik dan
gamma aminobutyric acid (GABA) .
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Kesadaran adalah keadaan sadar terhadap diri sendiri dan lingkungan.
Kesadaran terdiri dari dua aspek yaitu bangun (wakefulness) dan ketanggapan
(awareness). Kesadaran membutuhkan fungsi normal dari kedua hemisfer
serebri dan ascending reticular activating system (ARAS), yang meluas dari
midpons ke hipotalamus anterior. Proyeksi neuronal berlanjut dari ARAS ke
talamus, dimana mereka bersinaps dan diproyeksikan ke korteks. Pada
keadaan ini anak dapat melakukan aktivias kompleks yang sesuai dengan
usianya dan dapat berorientasi baik terhadap orang lain, tempat, waktu dan
situasi. Ketidaksadaran adalah keadaan tidak sadar terhadap diri sendiri dan
lingkungan dan dapat bersifat fisiologis (tidur) ataupun patologis (koma atau
keadaan vegetatif). Gangguan pada kesadaran biasanya dimulai dengan
ketidaktanggapan terhadap diri sendiri, diikuti ketidaktanggapan terhadap
lingkungan, dan akhirnya ketidakmampuan untuk bangun (Trihono PP, et al.
2012).
B. Etiologi

Tabel 2.1 penyebab penurunan kesadaran pada anak


Infeksi atau Inflamasi Stuktural Metabolik, Nutrisi,
Toksis
Infeksi Trauma Hipoksik-iskemik
Meningitis bakterialis Kontusio, Syok
Ensefalitis Perdarahan Gagal jantung/paru
Riketsia intracranial, diffuse Tenggelam
Protozoa axonal injury Keracunan CO, sianida
Infeksi cacing Neoplasma Strangulasi
Inflamasi Penyakit vascular Kelainan metabolik
Ensefalopati sepsis Infark otak Hipoglikemia,gangguan
Vaskulitis Peradarah otak elektrolit, kelainan
Demielitis Kelainan kongenital endokrin, asidosis,
Sclerosis multiple Trauma tulang hiperamonia, uremia,
belakang penyakit mitokondria
Infeksi fokal Nutrisi
Abses defisiensi thiamin,
Serebritis defisiensi piridoksin, asam
Hidrosefalus folat
Kejang Toksin eksogen
obat-obatan, alkohol
Ensefalopati hipertensif
Ensefalopati luka bakar

Sumber : Trihono PP et al. 2012. kegawatan pada bayi dan anak.

Tabel 2.2 Penyebab penurunan kesadaran menurut umur


Bayi Anak Remaja
Infeksi Toksin Toksin
Metabolik Infeksi Trauma
Kejang Kejang Psikiatrik
Trauma Intususepsi Kejang
Inborn eror Trauma
Sumber : Passat J. 2006. Pediatric Neurology and Neuroemergency in Daily Practice.

C. Patofisiologi
Kesadaran ditentukan oleh kondisi pusat kesadaran yang berada di kedua
hemisfer serebri dan Ascending Reticular Activating System (ARAS). Jika
terjadi kelainan pada kedua system ini, baik yang melibatkan system anatomi
maupun fungsional akan mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran
dengan berbagai tingkatan. ARAS merupakan suatu rangkaian atau network
system yang dari kaudal berasal dari medulla spinalis menuju rostal yaitu
diensefalon melalui brain stem sehingga kelainan yang mengenai lintasan
ARAS tersebut berada diantara medulla, pons, mesencepalon menuju ke
subthalamus, hypothalamus, thalamus dan akan menimbulkan penurunan
derajat kesadaran. Neurotransmitter yang berperan pada ARAS antara lain
neurotransmitter kolinergik, monoaminergik dan gamma aminobutyric acis
(GABA) (Lindsay, et al 2012).
Kesadaran ditentukan oleh interaksi kontinu antara fungsi korteks serebri
termasuk ingatan, bahasa dan kepintaran dengan ARAS yang terletak mulai
dari pertengahan bagian atas pons. ARAS menerima serabut-serabut saraf
kontralateral dari jaras-jaras sensoris melalui thalamic relay nuclei
dipancarkan secara difus ke kedua korteks serebri. ARAS bertindak sebagai
suatu off-on switch untuk menjaga korteks serebri tetap sadar (Passat J, 2006).
Kesadaran seseorang yakni ARAS yang merupakan bagian dari formasio
reticularis dan koterks serebri. Kontrol utama kesadaran terletak pada system
formasio retikularis yang memeiliki fungsi sebagai berikut:
1. Mengontrol derajat kewaspadaan
2. Kemampuan mengarahkan perhatian
3. Memfiltrasi informasi sensoris dan
4. Mengkoordinasi aktivitas-aktivitas otot

Mekanisme kesadaran dapat dijelaskan sebagai berikut, informasi sensoris


yang berasal dari tubuh ketika mencapai formasio retikularis akan diteruskan
ke korteks serebri melalui serat-serat ascendens yang menyusun system
ARAS. Adanya gangguan pada salah satu atau kedua stuktur tersebut, dapat
menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran (Passat J, 2006).

Gambar 2.1 Reticular Activating System (Sherwood L, 2010)


D. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Onset terjadinya penurunan kesadaran, akut biasanya mengarah pada
penyakit jantung atau neurovaskuler dan subakut biasanya lebih mengarah
kepada kelainan metabolik, Riwayat trauma, penyakit sebelumnya
pengguanaan obat-obatan. Riwayat kesehatan, gangguan neurologis
sebelumnya, riwayat tinja berdarah, muntah, demam yang menunjukan
kea rah penyakit infeksi. Gejala penyerta lain seperti kelemahan anggota
gerak, nyeri kepala mendadak, pusing, kejang, penglihatan ganda atau
kabur (Passat J, 2006).
2. Pemeriksaan fisik
Penentuan etiologi penyebab penurunan kesadaran pada anak juga
dapat diketahui melalui pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik haruslah
dilakukan secara sistematis dan menyeluruh (head to toe). Pemeriksaan
fisik awal dapat berupa pemeriksaan tanda-tanda vital, seperti suhu,
tekanan darah, nadi, dan laju napas (Setyabudhy, et al. 2013).
Adanya peningkatan suhu dapat mengindikasikan adanya infeksi atau
adanya gangguan pengaturan suhu central tubuh di hipothalamus. Adanya
demam yang disertai penurunan kesadaran dapat mengindikasikan
terjadinya sepsis, pneumonia, meningitis, ensefalitis, abses atau empiema
intrakranial. Terjadinya penurunan suhu (hipotermia) biasanya
mengindikasikan terjadinya intoksikasi obat-obatan. Takikardia biasanya
terjadi pada pasien dengan syok hipovolemia, demam, penumonia, asma
ataupun asidosis, sementara itu terjadinya bradikardia mengindikasikan
peningkatan tekanan intrakranial, atau terjadinya hipoksemia dalam
jangka waktu lama. Hipotensi dapat terjadi pada pasien dengan syok,
sepsis, intoksikasi obat-obatan atau adanya gangguan jantung, sementara
itu hipertensi dapat terjadi pada pasien dengan ensefalopati hipertensi
yang lama (Setyabudhy, et al. 2013).
Pemeriksaan fisik lain yang juga harus diperhatikan ialah kulit pasien,
apakah terdapat sianosis, ikterik, atau pucat. Cherry red skin atau kulit
yang berwarna merah seperti buah cherry biasanya ditemukan pada pasien
dengan keracunan karbon monoxida. Sefalhematoma, memar pada kulit
kepala, racoon eye biasanya ditemukan pada pasien dengan trauma kepala.
Bau mulut pasien juga mengindikasikan terjadinya sebuah gangguan
metabolik, seperti ketoasidosis, intoksikasi alkohol, atau koma hepatikum.
Dari pemeriksaan fisik secara menyeluruh, kita dapat menemukan
petunjuk yang biasanya mengarah kepada suatu penyakit, seperti dapat
dilihat pada tabel 2.3 (Setyabudhy, et al. 2013).
Tabel 2.3 etiologi berdasarkan hasil pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik Etiologi
Ikterik Ensefalopati hepatikum,
leptospirosis, malaria
Ruam Dengue, rickettsia, infeksivirus
Pallor Malaria cerebri, perdarahan
intracranial, sindroma hemolysis
uremia
Petechiae Demam berdarah
Hematoma pada kulit kepala Trauma
Dismorfik Kemungkinan terjadinya kejang
Bau nafas tidak normal Ketoasidosis diabetic, koma hepatik
Sumber: Sharma et al.2010. Approach to the Child with Coma

a. Penilaian Status Kesadaran


Derajat kesadaran seseorang dapat dinilai secara kualitatif maupun
kuantitatif. Tingkat kesadaran secara kualitatif dibagi atas (Avner JR, 2006) :
1. Sadar (composmentis) merupakan keadaan dimana seseorang tanggap
terhadap lingkungan sekitar dan dirinya sendiri baik dengan atau tanpa
rangsangan.
2. Obtundasi (apatis) yakni keadaan dimana anak mengalami kesulitan dalam
mempertahankan keadaan sadar (anak cenderung mengantuk) dan apabila
diberikan rangsangan, terjadi respons yang lambat terhadap rangsangan
tersebut tetapi anak masih dapat diajak untuk berkomunikasi sedikit-
sedikit.
3. Letargi (somnolen) merupakan keadaan dimana anak cenderung
mengantuk, tetapi dapat dibangunkan dengan stimulus selain nyeri, seperti
contohnya stimulus suara.
4. Stupor (sopor) dikenal sebagai keadaan kantuk yang dalam. Pada
penderita dengan tingkat kesadaran stuppor, mereka masih dapat
dibangunkan tetapi hanya dengan rangsang nyeri yang kuat.
5. Koma merupakan tingkat kesadaran yang ditandai dengan tidak adanya
gerakan spontan, dan tidak ada jawaban sama sekali terhadap rangsang
nyeri yang sangat kuat.
Tabel 2.4 Derajat penurunan kesadaran
Keadaan Definisi
Sadar Keadaan dimana seseorang tanggap terhadap
lingkungan sekitar dan dirinya sendiri baik
dengan atau tanpa rangsangan
Obtundasi (apatis) Keadaan dimana seseorang mengalami kesulitan
dalam mempertahankan keadaan sadar dan jika
diberi rangsangan, terjadi respon lambat.
Responsif terhadap stimulus lain selain nyeri.
Letargi (somnolen) Keadaan seseorang cenderung mengantuk tetapi
dapat dibangunkan dengan rangsang suara atau
nyeri.
Stupor (sopor) Gangguan kesadaran dengan mengantuk yang
dalam. Responsif terhdap rangsang nyeri.
Koma Gangguan kesadaran berat. Tidak responsif
terhadap rangsang nyeri.
Sumber : Avner JR. 2006. Altered States of Consciousness in Pediatrics in Review

Penilaian derajat kesadaran secara kuantitatif dapat diukur dengan menggunakan


skala Glasgow Coma (GCS) (table 2.5). Pada skala GCS, terdapat tiga aspek yang
dinilai, yakni membuka mata, repons motorik, dan respons verbal. Ketiga aspek
penilaian GCS tersebut memiliki rentang nilai masing-masing. Dalam
pemeriksaannya, nilai yang diambil ialah repons terbaik yang dapat dilakukan oleh
pasien.
Tabel 2.5 Skala Glasgow koma dan modifikasinya untuk anak

Sumber : Swaiman KF, et al. 2013. Swaiman’s Pediatric Neurology Principles and Practice

Keterangan : skala 15 kesadaran baik, skala 12-14 gangguan kesadaran ringan,


skala 9-11 gangguan kesadaran sedang, skala ≤8 koma.

b. Pola napas
Kontrol pernapasan manusia diatur oleh interaksi antara batang otak dan
korteks serebri, dimana batang otak mengatur keinginan untuk bernapas
(drive), sedangkan korteks serebri mengatur pola pernapasan. Pusat
pengaturan pernapasan pada batang otak terletak di pons dan medulla
oblongata. Gangguan seperti gangguan metabolik dan hipoksia yang sifatnya
akut, biasanya masih dapat dikompensasi dengan perubahan pola pernapasan,
sehingga pola pernapasan yang abnormal dapat mencerminkan gangguan
neurologis. Penentuan lokasi kelainan berdasarkan pola napas (Setyabudhy, et
al. 2013).
Terdapat lima tipe pola pernapasan yang dapat mencerminkan lokasi
kerusakan yang terjadi di otak, yakni : pola pernapasan Cheyne-Stokes
merupakan pola pernapasan yang ditandai dengan adanya dua fase, yakni fase
hiperpnea dan apnea yang secara teratur bergantian, dimana kecepatan napas
bertambah secara bertahap hingga mencapai puncaknya, kemudian berkurang
bertahap hingga apnea. Pola pernapasan ini biasanya terjadi apabila terdapat
kerusakan pada lobus frontal unilateral atau bilateral, gangguan diensefalon
berupa penyakit metabolik atau ancaman terjadinya herniasi, atau penyebab
sekunder akibat adanya gagal jantung atau pernapasan (Setyabudhy, et al.
2013).
Pola pernapasan hiperventilasi neurogen sentral merupakan pola
pernapasan hiperpnea dalam dan cepat. Pola pernapasan ini sering kali dikenal
dengan pola pernapasan kusmaul. Pola pernapasan seperti ini seringkali
disebabkan oleh adanya gangguan metabolik atau adanya lesi pada formasio
retikularis, tepatnya pada daerah midpons atau midbrain (Setyabudhy, et al.
2013).
Pola pernapasan apnea merupakan pola pernapasan dimana terhentinya
inspirasi dalam waktu yang lama atau istirahat pada saat inspirasi penuh. Pola
pernapasan apnea yang terjadi pada pasien dengan penurunan kesadaran
mengindikasikan adanya gangguan (infark) pada pons atau medula. Pola
pernapasan ini biasanya membutuhkan intubasi dan ventilasi mekanik dini,
dan prognosis pasien dengan pola napas apnea biasanya lebih buruk apabila
dibandingkan dengan pola pernapasan hiperventilasi neurogen sentral
(Setyabudhy, et al. 2013).
Pola pernapasan ataksik ialah pola pernapasan yang dangkal, cepat, dan
tidak teratur. Pola pernapasan seperti ini menunjukkan adanya gangguan pada
medula atau menjelang kematian. Pasien dengan pola pernapasan seperti ini
membutuhkan pertolongan sesegera mungkin, karena pola pernapasan seperti
ini memiliki prognosis paling buruk dibandingkan pasien dengan pola
pernapasan lainnya (Setyabudhy, et al. 2013).
Pola pernapasan cluster merupakan pola pernapasan yang berbentuk
kelompok, yang diselingi oleh masa istirahat yang tidak teratur. Pola
pernapasan ini menunjukkan adanya lesi pada pons bagian bawah atau bagian
atas dari medula oblongata. Pola pernapasan ini memiliki prognosis yang
lebih buruk jika dibandingkan dengan pola pernapasan apnea (Setyabudhy, et
al. 2013).

Tabel 2.6 pola pernapasan disertai penurunan fungsi SSP


Pola pernafasan Pengertian
Cheyne - stokes Pola napas apneu disertai hiperpnea secara
teratur dan bergantian (gangguan di serebral
bilateral atau ensefalon) metabolik atau
ancaman herniasi.
Hiperventilasi Pola napas hiperapne dalam dan cepat
(pernapasan kusmaul). Asidsos metabolik,
hipoksia atau keracunan (gangguan di
daerah midpons atau midbrain).
Apneuristik Berhentinya inspirasi dalam waktu yang
lama (gangguan di pons atau medula).
Ataksik Pola nafas tidak teratur, dangkal, cepat
(gangguan pada medula).
Hipoventilasi Alkohol, narkotik atau sedatif (gengguan di
ARAS).

Gambar 2.1 gambaran skematis pola napas


Sumber : Lumbantobing SM. 2014. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan
Mental.
c. Pemeriksaan saraf kranialis
- Ukuran dan reaktivitas pupil
Reaksi konstriksi dan dilatasi pupil diatur oleh sistem saraf simpatis
dan parasimpatis. Sistem saraf simpatis mengatur dilatasi pupil
(midriasis), sementara sistem saraf parasimpatis mengatur konstriksi pupil
(miosis). Serabut saraf simpatis berasal dari hipotalamus, sedangkan
serabut saraf parasimpatis berasal dari midbrain. Adanya gangguan atau
lesi yang terletak di daerah diensefalon akan menyebabkan konstriksi
pupil, tetapi tetap menimbulkan refleks terhadap cahaya langsung. Apabila
terdapat gangguan atau lesi di daerah midbrain akan menyebabkan pupil
terfiksasi di tegah dan menjadi tidak reaktif terhadap rangsangan cahaya,
karena lesi atau gangguan pada midbrain mempengaruhi jalannya serabut
simpatis dan parasimpatis. Apabila lesi atau gangguannya terletak pada
pontin, maka yang akan muncul pada pupil ialah pin point pupil (Pudjiadi
AH. et al. 2011).

Gambar 2.2 letak lesi disertai reaksi kedua pupil


Sumber : Setyabudhy, Mangunatmaja I, et al. 2013. Evaluasi Diagnosis dan
Tata Laksana Penurunan Kesadaran pada Anak.
Tabel 2.7 Gangguan refleks pupil pada penurunan kesadaran
Dilatasi Pupil
Satu sisi : tumor, ancaman herniasi, pasca kejang, lesi pada N III
Dua sisi : pasca kejang, hipotermia, hipoksia, kerusakan menetap,
ensefalitis, syok akibat perdarahan
Kontriksi Pupil
Menetap : kelainan pons, gangguan metabolik
Reaktif : kelainan medula oblongata, gangguan metabolik
Midsized Pupil
Menetap : herniasi sentral
- Pemeriksaan doll’s eye movement
Pemeriksaan doll’s eye movement berguna untuk mengetahui gerakan
bola mata pada pasien yang jatuh dalam kondisi yang tidak sadar. Gerakan
bola mata dikontrol oleh nervus kranialis II,III,IV. Normalnya, bola mata
seseorang akan menoleh ke arah yang berlawanan dengan arah gerak
kepala (doll’s eye movement positive). Hasil pemeriksaan doll’s eye yang
negatif pada pasien, dapat mengindikasikan bahwa kemungkinan besar
pasien menderita gangguan struktural pada batang otak pada tes kalori, air
es dialirkan pada membrane timpani yang intak, jika batak otak baik maka
mata akan bergerak kea rah telinga yang dirangsang (Passat J, 2006).

Gambar 2.3 Refleks bola mata pada kesadaran menurun


Sumber : Passat J. 2006. Pediatric Neurology and Neuroemergency in Daily
Practice.
- Pemeriksaan motorik
Fungsi motorik dapat memberikan informasi tentang lokasi lesi.
Hemiparesis yang disertai refleks otot yang abnormal memperlihatkan
lokasi lesi kontralateral jaras kortikospinal. Feomena kortikal akibat
kerusakan pada atau di atas nucleus tertentu pada batang otak dapat
menyebabkan (Setyabudhy, et al. 2013). :
 Dekortikasi atau posisi fleksi (lengan fleksi dan tertarik ke atas
dada) disebabkan oleh kerusakan serebral hemisfer bilateral
(kortikal atau subkortikal) atau depresi toksik-metabolik fungsi
otak dengan fungsi batak otak yang masih baik
 Deserebrasi atau posisi ekstensi (lengan ekstensi dan rotasi
interna) menunjukan lesi destruktif otak tengah dan pons bagian
atas. Ditemukan pula pada kelainan metabolic berat seperti
ensefalopati hepatic dan ensefalopati hipoksik anoksik.
Tabel 2.8 Manifestasi klinis pemeriksaan neurologis berdasarkan tingkat
kerusakan pada otak
E. Diagnosis Banding Penurunan Kesadaran karena Metabolik dan
Stuktural
Menentukan kelainan neurologi perlu untuk evaluasi dan manajemen
penderita. Pada penderita dengan penurunan kesadaran, dapat ditentukan
apakah akibat kelainan struktur, toksik atau metabolik. Pada koma akibat
gangguan stuktur mempengaruhi fungsi ARAS langsung atau tidak langsung.
ARAS merupakan kumpulan neuron polisinaptik yang terletak pada pusat
medulla, pons dan mesensefalon. sedangkan penurunan kesadaran karena
metabolik terjadi karena mempengaruhi energy neuronal atau terputusnya
aktivitas memberan neuronal atau multifaktor. Diagnosis banding dapat
ditentukan melalui pemeriksaan pernafasan, pergerakan spontan, evaluasi
saraf kranial dan respons motorik terhadap stimuli (Setyabudhy, et al. 2013).
 Pola pernafasan
Mengetahui pola pernafasan akan membantu lesi dan kadang
menentukan jenis gangguan.
1. Respirasi cheyne stoke
Pernafasan ini dapat merupakan gejala pertama herniasi
transtentorial, selain itu pola nafas ini juga dapat disebabkan
gangguan metabolik dan gangguan jantung.
2. Respirasi hiperventilasi neurogen sentral
Biasanya didapatkan pada infark mesensefalon, anoksia atau
hipoglikemia yang melibatkan daerah ini kompresi
mesensefalon karena herniasi transtentorial.
3. Respirasi apneustik
4. Respirasi kluster
5. Respirasi ireguler
 Pergerakan spontan
Pergerakan abnormal seperti twitching, mioklonus, tremor merupakan
petunjuk gangguan toksik/metabolik. Apabila tampak pergerakan
spontan dengan asimetrik (tungkai bawah keluar menunjukan defisit
fokal motorik.
 Pemeriksaan saraf kranial
Jika pemeriksaan saraf kranial tampak asimetrik dicurigai lesi
stuktural. Umumnya pasien koma dengan reflek brain stem normal
maka menunjukan kegagalan kortikal difus dengan penyebab
metabolik. Obat-obatan seperti barbiturate, diazepam, antidepresan
trisiklik dan intoksikasi etanol dapat menekan reflex ocular tetap,
reflex pupil tetap baik. Impending herniasi ditantai dengan pola nafas
tidak teratur, pupil miosis, dan reflex pupil menurun.
 Respon motorik terhadap stimuli
Defisit fokal motorik biasanya menunjukan kerusakan stuktur,
sedangkan dekortikasi/deserebrasi dapat terjadi pada kelainan
metabolik toksik atau kerusakan stuktural, gerakan abnormal seperti
tremor dan mioklonus sering terjadi pada gangguan metabolik toksik.
F. Pemeriksaan Penunjang
Setiap pasien yang datang dengan penurunan kesadaran, harus di cek kadar
gula dalam darahnya dengan menggunakan dextrostick, karena hal pertama
yang harus disingkirkan pada pasien dengan penurunan kesadaran ialah
keadaan hipoglikemia. Sampel darah juga harus diambil dari pasien guna
pemeriksaan yang lain, seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit, tes
fungsi hati, ureum, kreatinin, dan kadar gula darah juga harus diperiksa
kembali di laboratorium guna konfirmasi. Selain sampel darah, sampel urin
pasien juga harus diambil guna pemeriksaan toxicologi. Pemeriksaan lain
yang dapat dilakukan apabila memungkinkan ialah CT Scan dengan atau
tanpa kontras yang dapat dilakukan pada pasien dengan riwayat trauma,
pasien dengan tanda-tanda peningkatan TIK. Pemeriksaan lain yang juga
dapat dilakukan ialah Lumbar Puncture yang dapat dilakukan pada pasien
dengan kecurigaan adanya infeksi sususan saraf pusat. Dapat juga dilakukan
pemeriksaan EEG pada pasien dengan riwayat kejang berulang atau epilepsy
(Passat J, 2006).
G. Tatalaksana
Tatalaksana awal penurunan kesadaran bertujuan untuk mencegah
terjadinya perburukan pada pasien. Hal pertama kali yang harus dilakukan
pada pasien yang datang dengan penurunan kesadaran ialah stabilisasi A
(airway / jalan napas), B (breathing, laju napas), dan C (circulation / sirkulasi
darah) (Passat J, 2006).
Anak yang datang dengan penurunan kesadaran tanpa sebab yang jelas,
harus segera dilakukan pemeriksaan gula darah atau langsung diberikan cairan
dextrosa 25% sebanyak 1 – 4 mL/kgBB, setelah itu dievaluasi responsnya.
Respons yang membaik ditandai dengan perbaikan kesadaraan perlahan-
lahan, setelah terjadi perbaikan kesadaran, cairan dextrosa dapat diturunkan
menjadi dextrosa 10%. Pada kesadaran yang tidak membaik setelah diberikan
larutan dextrosa, hipoglikemia dapat disingkirkan sebagai penyebab
penurunan kesaaran, dan penyebab lainnya harus segera dipikirkan (Sharma S,
et al. 2010)
CT scan kepala juga harus dilakukan pada setiap anak yang datang dengan
penurunan kesadaran akibat trauma kepala. Monitor adanya tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial juga harus selalu dilakukan. Pemberian
manitol 20% sebanyak 0,5 – 1,0 gr.kgBB selama 30 menit setiap 6 sampai 8
jam dapat diberikan apabila terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial yang jelas, seperti muntah proyektil, papiledem, adanya defisit
neurologis fokal. Pemberian naloxon sebagai antidotum juga dapat
dipertimbangkan apabila dicurigai adanya overdosis narkotika. Pemberian
kortikosteroid seperti dexametason mungkin bermanfaat apabila terdapat
edema perifokal (tumor). Dexametason dapat diberikan dengan dosis 1-2
mg/kgBB (Sharma S, et al. 2010).
Kejang dan status epileptikus harus segera diatasi. Tenaga kesehatan harus
segera mengantisipasi adanya kejang. Adanya kejang walaupun tidak selalu
bermanifestasi secara klinis (status epileptikus non-konvulsif subklinis) harus
selalu dipertimbangkan. Ketersediaan EEG dalam fasilitas kesehatan juga
berguna dalam memantau pasien dengan penurunan kesadaran. Pungsi lumbal
dapat dipertimbangkan untuk dilakukan apabila adanya kecurigaan terjadinya
infeksi susunan saraf pusat, sehingga pemberian antibiotik yang sesuai dapat
segera diberikan (Sharma S, et al. 2010).
Gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit juga perlu dikoreksi
sedini mungkin. Tidak menutup kemungkinan kalau penurunan kesadaran
yang terjadi merupakan akibat dari ketidakseimbangan elektrolit, seperti
hipokalsemia, hipernatremia, hiponatremia, atau hipomagnesemia. Adanya
asidosis atau alkalosis juga harus segera dikoreksi secepat mungkin, agar
metabolisme tubuh dapat berlangsung normal kembali (Sharma S, et al.
2010).
Koreksi suhu tubuh harus selalu dilakukan. Pemberian antipiretik yang
sesuai harus diberikan guna menurunkan demam dan pencegahan terjadinya
asidosis. Pemberian sedatif bagi pasien yang sedang agitasi dapat
dipertimbangkan, karena agitasi dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan
menyulitkan bantuan ventilasi mekanik. Namun, pemberian obat-obatan yang
bersifat sedatif harus selalu dimonitor, karena obat-obatan sedatif dapat
menyulitkan para tenaga kesehatan ketika mengevaluasi status neurologis
pasien (Sharma S, et al. 2010).
Gambar 2.4 Algoritma penatalaksanaan anak dengan penurunan kesadaran
Gambar 2.5 Algoritma penatalaksanaan anak dengan penurunan kesadaran

H. Komplikasi
- Edema otak
- Syok septik
- Kelainan asam basa
- Hipoksia
- Herniasi tentorial
- Sepsis
I. Prognosis
Prognosis dari penurunan kesadaran tergantung pada etiologi, lamanya
penurunan kesadaran, dan tanda-tanda klinis. Penurunan kesadaran akibat
hipoksik-iskemik memberikan prognosis yang sangat buruk, tetapi pada anak-
anak dengan ensefalopati infeksius mempunyai prognosis yang baik.
III. KESIMPULAN

1. Penurunan kesadaran pada anak merupakan suatu kedaruratan medik yang


membutuhkan intervensi cepat dan terencana.
2. Penurunan kesadaran akibat peningkatan tekanan intrakranial disebabkan
adanya iskemia otak.
3. Prinsip pendekatan diagnostik penurunan kesadaran pada anak dimulai
dengan evaluasi diagnosis tingkat gangguan kesadaran berdasarkan: respon
motorik, besar dan reaksi pupil, gerak bola mata dan pola pernapasan.
4. Tata laksana awal pada penurunan kesadaran adalah menjaga oksigenisasi
jaringan otak. Evaluasi riwayat penyakit, pemeriksaan fisis, pemeriksaan
penunjang khusus merupakan langkah selanjutnya dalam menentukan tata
laksana khusus berdasarkan etiologinya. Pemantauan berkala tingkat
gangguan kesadaran dan tata laksana yang tepat akan menentukan prognosis
pasien selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Avner JR. 2006. Altered States of Consciousness in Pediatrics in Review. 27 : 331 –


337.

Harris, S. 2010. Penatalaksanaan Pada Kesadaran Menurun dalam Updates in


Neuroemergencies. FKUI. Jakarta. Hal.1-7

Lindsay, KW dan Bone I. 2012. Coma and Impaired Conscious Level dalam
Neurology and Neurosurgery Illustrated. Churchhill Livingstone.UK.

Lumbantobing SM. 2014. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta :
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; h. 13.

Passat J. 2006. Pediatric Neurology and Neuroemergency in Daily Practice. Jakarta :


Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Pudjiadi AH, Hegar B , et l. 2011. Penurunan Kesadaran dalam Pedoman Pelayanan
Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jilid II. Jakarta : Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia; h. 205 – 210.

Setyabudhy, Mangunatmaja I, et al. 2013. Evaluasi Diagnosis dan Tata Laksana


Penurunan Kesadaran pada Anak. Dalam Buku Ajar Pediatri Gawat
Darurat. Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.hal. 19 – 29.

Sharma S, Kochar GS, Sankhyan N, et al. 2010. Approach to the Child with Coma .
In Indian J. Pediatr. 77 : 1279 – 1287.

Sherwood L.2010. Human Physiology From Cells to System. 7th ed. Canada : Brooks/cole
Cengage Learning, hal: 167 – 169.
Swaiman KF, Ashwal S, et al. 2013. Swaiman’s Pediatric Neurology Principles and
Practice. 5th ed. Vol.1. USA : Elsevier Saunders; p. 1064-1070.

The Management of a Child (aged 0 – 18 years) with a Decreased Conscious Level.


United Kingdom : The Paediatric Accident and Emergency Research Group.
[review date January 2008, cited 2018 Jan 20]. Available from :
http://www.nottingham.ac.uk/paediatric-
guideline/Guideline%20algorithm.pdf.

Trihono PP, Windiastuti E et al. 2012. Kegawatan pada Bayi dan Anak. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-
RSCM : Jakarta.

You might also like