You are on page 1of 9

Nama : Maylisa Santauli Manurung

Nim : I1011131087

1. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis pada pasien skizofrenia?

2. Jelaskan tentang kolinergik!


Sistem saraf otonom adalah bagian dari sistem saraf yang bertanggung jawab
terhadap homeostasis. Sistem saraf memiliki dua divisi utama, sistem saraf simpatis
dan sistem saraf parasimpatis. Saraf simpatis dan parasimpatis mensekresikan hanya
satu di antara substansi neurotransmiter, asetilkoline atau norepinefrine. Serat yang
mensekresikan asetilkoline disebut kolinergik dan serat yang mensekresikan
norepinefrine dikenal sebagai adrenergik. Semua preganglion adalah kolinergik baik
pada sistem saraf simpatis maupun parasimpatis. Sedangkan pada postganglion saraf
simpatik adalah adrenergik dan postganglion pada parasimpatis adalah kolinergik.
Kolinergika atau parasimpatomimetika adalah sekelompok zat yang dapat
menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi susunan parasimpatis, karena

1
melepaskan neurohormon asetilkolin (ACh) diujung-ujung neuronnya. Tugas utama
susunan parasimpatis adalah mengumpulkan energi dari makanan dan menghambat
penggunaannya, singkatnya berfungsi asimilasi. Bila neuron saraf parasimpatis
dirangsang, timbullah sejumlah efek yang menyerupai keadaan istirahat dan tidur. Efek
kolinergis faal yang terpenting seperti: stimulasi pencernaan dengan jalan memperkuat
peristaltik dan sekresi kelenjar ludah dan getah lambung (HCl), juga sekresi air mata,
dan lain-lain, memperkuat sirkulasi, antara lain dengan mengurangi kegiatan jantung,
vasodilatasi, dan penurunan tekanan darah, memperlambat pernafasan, antara lain
dengan vasokonstriksi bronkus, sedangkan sekresi dahak diperbesar, kontraksi otot
mata dengan efek penyempitan pupil (miosis) dan menurunnya tekanan intraokuler
akibat lancarnya pengeluaran air mata, kontraksi kantung kemih dan ureter dengan efek
memperlancar pengeluaran urin, dilatasi pembuluh dan kotraksi otot kerangka,
menekan SSP setelah pada permulaan menstimulasinya
Reseptor kolinergika terdapat dalam semua ganglia, sinaps, dan neuron
postganglioner dari saraf parasimpatik, juga pelat-pelat ujung motoris dan di bagian
Susunan Saraf Pusat yang disebut sistem ekstrapiramidal. Berdasarkan efeknya
terhadap perangsangan, reseptor ini dapat dibagi menjadi 2 bagian, yakni:
1. Reseptor muskarinik
Reseptor ini, selain ikatannya dengan asetilkolin, mengikat pula muskarin, yaitu
suatu alkaloid yang dikandung oleh jamur beracun tertentu. Sebaliknya, reseptor
muskarinik ini menunjukkan afinitas lemah terhadap nikotin. Dengan
menggunakan study ikatan dan panghambat tertentu, maka telah ditemukan
beberapa subklas reseptor muskarinik seperti M1, M2, M3, M4, M5. Reseptor
muskarinik dijumpai dalam ganglia sistem saraf tepi dan organ efektor otonom,
seperti jantung, otot polos, otak dan kelenjar eksokrin. Secara khusus walaupun
kelima subtipe reseptor muskarinik terdapat dalam neuron, namun reseptor M1
ditemukan pula dalam sel parietal lambung, dan reseptor M2 terdapat dalam otot
polos dan jantung, dan reseptor M3 dalam kelenjar eksokrin dan otot polos. Obat-
obat yang bekerja muskarinik lebih peka dalam memacu reseptor muskarinik dalam
jaringan tadi, tetapi dalam kadar tinggi mungkin memacu reseptor nikotinik pula.
2. Reseptor nikotinik
Reseptor ini selain mengikat asetilkolin, dapat pula mengenal nikotin, tetapi
afinitas lemah terhadap muskarin. Tahap awal nikotin memang memacu reseptor
nikotinik, namun setelah itu akan menyekat reseptor itu sendiri. Reseptor nikotinik

2
ini terdapat di dalam sistem saraf pusat, medula adrenalis, ganglia otonom, dan
sambungan neuromuskular. Obat-obat yang bekerja nikotinik akan memacu
reseptor nikotinik yang terdapat di jaringan tadi. Reseptor nikotinik pada ganglia
otonom berbeda dengan reseptor yang terdapat pada sambungan neuromuskulular.
Sebagai contoh, reseptor ganglionik secara selektif dihambat oleh heksametonium,
sedangkan reseptor pada sambungan neuromuskular secara spesifik dihambat oleh
turbokurarin. Stimulasi reseptor ini oleh kolinergika menimbulkan efek yang
menyerupai efek adrenergika, jadi bersifat berlawanan sama sekali. Misalnya
vasokonstriksi dengan naiknya tensi ringan, penguatan kegiatan jantung, juga
stimulasi SSP ringan. Pada dosis rendah, timbul kontraksi otot lurik, sedangkan
pada dosis tinggi terjadi depolarisasi dan blokade neuromuskuler.
Antikolinergik atau parasimpatikolitik bekerja dengan melawan efek asetilkolin
dengan jalan menghambat reseptor-reseptor muskarinik yang terdapat di SSP dan organ
perifer. Zat-zat ini tidak bekerja pada reseptor nikotinik, kecuali zat ammonium
kwartener yang berdaya ringan terhadapnya. Obat ini berikatan secara blokade
kompetitif dengan asetilkolin dan mencegah aktivas reseptor. Efek selular dari
asetilkolin yang diperantarai melalui second messenger seperti cyclic guanosine
monophosphate (cGMP) dicegah. Reseptor jaringan bervariasi sensitivitasnya
terhadap blokade. Faktanya: reseptor muskarinik tidak homogen dan subgroup reseptor
telah dapat diidentifikasikan: reseptor neuronal (M1),cardiak (M2) dan kelenjar (M3).
Dalam dosis klinis, hanya reseptor muskarinik yang dihambat oleh obat antikolinergik.
Kelebihan efek antikolinergik tergantung dari derajat dasar tonus vagal.
Blokade reseptor muskarinik pada SA node berakibat takikardi. Efek ini secara
khusus mengatasi bradikardi karena reflek vagal (reflek baroreseptor,stimulasi
peritoneal atau reflek okulokardia). Perlambatan transien denyut jantung karena
antikolinergk dosis rendah telah dilaporkan.
Antikolinergik menghambat sekresi mukosa saluran pernafasan,dari hidung
sampai bronkus. Efek kering ini penting sebelum pemberian agen inhalasi yang kurang
iritasi. Relaksasi dari otot polos bronkus akan mengurangi resistensi jalan nafas dan
meningkatkan ruang rugi anatomi. Efek ini penting pada pasien dengan penyakit paru
obstruksi kronis atau asma.
Antikolinergik dapat mempengaruhi sistem saraf pusat mulai dari
stimulasi sampai depresi, tergantung pemilihan obat dan dosis. Stimulasi seperti
eksitasi, lemah atau halusinasi. Depresi dapat menyebabkan sedasi dan amnesia.

3
Physostigmin, penghambat kolinesterase dapat menembus sawar darah otak,dapat
mengatasi efek ini
Selain itu, sekresi air liur berkurang oleh obat antikolinergik. Sekresi gastrik
juga berkurang, tapi dosis besar diperlukan. Motilitas dan peristaltik intestinal
berkurang dan waktu pengosongan lambung memanjang. Tekanan spingter
esofagus bagian bawah berkurang. Obat antikolinergik juga mempunyai efek
midriasis (dilatasi pupil) dan siklopegi (tidak dapat akomodasi penglihatan dekat);
glaukoma akut sudut tertutup diikuti pemberian secara sistemik dari obat antikolinergik.
Pada sistem kemih, obat antikolinergik dapat menurunkan tonus ureter dan blader
sebagai hasil dari relaksasi otot polos dan retensi urin, khususnya pada pasien usia
klanjut dengan pembesaran prostat.

3. Jelaskan farmakodinamik dan farmakokinetik penggunaan obat tablet dan sirup!


a. Farmakokinetik
Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian
umumnya mengalami absorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai di tempat
kerja dan menimbulkan efek. Kemudian, dengan atau tanpa biotransformasi, obat
diekskresi dari dalam tubuh. Seluruh proses ini disebut proses farmakokinetik dan
berjalan serentak seperti yang terlihat pada gambar di bawah.

Di tubuh manusia, obat harus menembus sawar (barrier), sel di berbagai


jaringan. Pada umurnnya obat melintasi lapisan sel ini dengan menembusnya,

4
bukan dengan melewati celah antarsel, kecuali pada endotel kapiler. Karena itu
peristiwa terpenting dalam proses larmakokinetik ialah transport lintas membran.
Membran sel terdiri dari dua lapis lemak yang membentuk fase hidrofilik
di kedua sisi membran dan lase hidrofobik di antaranya. Molekul-molekul protein
yang tertanam di kedua sisi membran atau menembus membran berupa mozaik
pada membran. Molekul-molekul protein ini membentuk kanal hidrolilik untuk
transport air dan molekul kecil lainnya yang larut dalam air. Cara-cara transport
obat lintas membran yang terpenting ialah difusi pasif dan transport aktif;
yang terakhir melibatkan komponen-komponen membran sel dan
membutuhkan energi. Sifat fisiko-kimia obat yang menentukan cara
transport ialah bentuk dan ukuran molekul, kelarutan dalam air, derajat
ionisasi, dan kelarutan dalam lemak. Keadaan fisik obat seperti ukuran
partikel, bentuk bubuk/cair/kristal, tablet, dan lain-lain menentukan
kecepatan disintegrasi dan disolusi obat. Kecepatan absorpsi obat bentuk
padat ditentukan oleh kecepatan disintegrasi dan disolusinya sehingga tablet
yang dibuat oleh pabrik yang berbeda dapat berbeda pula
bioavailabilitasnya. Ada kalanya sengaja dibuat sediaan yang waktu
disolusinya lebih lama untuk memperpanjang masa absorpsi sehingga obat
dapat diberikan dengan interval lebih lama.
Umumnya absorpsi dan distribusi obat terjadi secara difusi pasif. Mula-
mula obat harus berada dalam larutan air pada permukaan membran sel, kemudian
molekul obat akan melintasi membran dengan melarut dalam lemak membran.
Pada proses ini, obat bergerak dari sisi yang kadarnya lebih tinggi ke sisi lain.
Setelah taraf mantap (steady state) dicapai, kadar obat bentuk non-ion di kedua sisi
membran akan sama.
b. Farmakodinamik
Farmakodinamika obat ialah salah satu subdisiplin farmakologi yang
mempelajari tentang efek biokimiawi dan fisiologi obat, serta mekanisme kerjanya.
Farmakodinamika obat juga mempelajari cara kerja obat, efek obat terhadap fungsi
berbagai organ, dan pengaruh obat terhadap reaksi biokimia dan struktur kimia
obat.
1. Mekanisme kerja obat
Mekanisme kerja obat pada umumnya melalui interaksi dengan
reseptor pada sel organisme. Reseptor obat merupakan suatu makromolekul

5
fungsional, yang pada umumnya juga bekerja sebagai suatu reseptor fisiologis
bagi ligan-ligan endogen (semisal: hormon dan neurtransmiter). Interaksi obat
dengan reseptor pada tubuh dapat mengubah kecepatan kegiatan fisiologis,
namun tidak dapat menimbulkan fungsi faali yang baru. Terdapat bermacam-
macam reseptor dalam tubuh kita, misalnya reseptor hormon, faktor
pertumbuhan, faktor transkripsi, neurotransmitter, enzim metabolik dan
regulator (seperti dihidrofolat reduktase, asetilkolinesterase). Namun
demikian, reseptor untuk obat pada umumnya merupakan reseptor yang
berfungsi bagi ligan endogen (hormon dan neurotransmitter). Reseptor ligan
endogen seperti ini pada umumnya sangat spesifik (hanya mengenali satu
struktur tertentu sebagai ligan). Obat-obatan yang berinteraksi dengan reseptor
fisiologis dan melakukan efek regulator seperti sinyal endogen ini
dinamakan agonis. Ada obat yang juga berikatan dengan reseptor fisioloigs
namun tanpa menghasilkan efek regulator dan menghambat kerja agonis
(terjadi persaingan untuk menduduki situs agonis) disebut dengan
istilah antagonis, atau disebut juga dengan bloker. Obat yang berikatan
dengan reseptor dan hanya menimbulkan efek agonis sebagian tanpa
memedulikan jumlah dan konsentrasi substrat disebut agonis parsial. Obat
agonis-parsial bermanfaat untuk mengurangi efek maksimal agonis penuh,
oleh karena itu disebut pula dengan istilah antagonis parsial. Sebaliknya, obat
yang menempel dengan reseptor fisiologik dan justru menghasilkan efek
berlawanan dengan agonis disebut agonis negatif.
2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Respons Tubuh terhadap Obat
Tubuh setiap orang berbeda-beda dalam hal menghasilkan respons
untuk pemberian obat dengan dosis tertentu. Pemberian obat biasanya telah
disepakati secara bersama oleh farmakolog dalam dosis biasa (dosis rata-rata)
yang cocok untuk sebagian besar pasien. Dosis rata-rata ini dapat
menimbulkan efek toksik untuk beberapa orang. Sebaliknya dosis rata-rata
juga dapat menimbulkan efek yang tidak teraupetik. Kepatuhan pasien
menentukan jumlah obat yang diminum. Pemberian obat per oral yang diserap
dengan bioavailabilitas obat itu. Sementara itu bioavailabilitas ditentukan oleh
mutu obat. Faktor farmakokinetik menentukan berapa dari jumlah obat yang
diminum dapat mencapai tempat kerja obat untuk bereaksi dengan reseptor.

6
Sementara faktor farmakodinamik menentukan intensitas efek farmakologis
yang ditimbulkan oleh kadar obat.
3. Kondisi Fisiologis
Kondisi fisiologik ditentukan oleh usia, berat badan, laus permukaan
tubuh, atau kombinasi faktor-faktor ini. Usia dapat menyebabkan perubahan
efek farmakologik ekstrem dibandingkan dengan golongan usia lain. Semisal,
pada neonatus dan bayi prematur fungsi farmakokinetik tubuh belum
berlangsung dengan baik (misalnya b iotransfrmasi hati, eksrekgi ginjal, ikatan
protein plasma, dan sawar darah-otak dan sawar kulit). Hal ini menyebabkan
peningkatan kadar obat dalam darah dan jaringan. Pemberian obat
heksaklorofen topikal pada neonatus, misalnya, menyebabkan respons
neourotoksisitas akibat belum terbentuknya sawar kulit secara sempurna.
Kloramfenikol dapat menyebabkan sindrom bayi abu-abu akibat metabolism
obat oleh hepar masih rendah (glukuronidasi) serta filtrasi obat oleh
glomerulus ginjal belum berlangsung dengan sempurna. Pada usia lanjut efek
ini juga terjadi. Fungsi ginjal yang melemah merupakan penyebab perubahan
farmakokinetik yang terbesar. Peningkatan sensitivitas reseptor (terutama di
otak) juga menjadi andil dalam konteks ini. Contohnya adalah penggunaan
isoniazid yang dapat menyebabkan hepatotoksisitas akibat melemahnya
metabolism oleh hepar. Demikian juga penggunaan antikolinergik dapat
menimbulkan respons konstipasi akibat melemahnya kontraktilitas otot polos.
4. Kondisi Patologik
Terjadinya kondisi patologik terutama pada organ-organ yang banyak
melakukan efek farmakokinetik terhadap obat, misalnya penyakit saluran
cerna, hepar, ren, dan kardiovaskuler, mengubah respons tubuh terhadap obat.
Penyakit saluran cerna dapat mengurangi kecepatan absorbsi obat, khususnya
pada pemberian per oral. Penyakit kardiovaskular mengurangi distribusi obat
dan aliran darah ke hepar dan ginjal yang akan mengeliminasi obat. Penyakit
hepar melemahkan metabolime obat di hati. Gangguan ginjal mengurangi
eksreksi obat aktif maujpun metabolitnya melalui ginjal. Contohnya, diare atau
gastroenteritis menurunkan respons tubuh terhadap obat digoksin, kontrasepsi
oral, fenitoin, dan sediaan salut enterik. Ini diakbiatkan waktu transit dalam
saluran cerna yang memendek akibat terjadinya motilitas tinggi (akibat diare),
sehingga jumlah obat yang diabsorbsi menjadi berkurang.

7
5. Faktor Genetik
Efek farmakologis yang berbeda-beda, yang diakibatkan oleh adanya
kaitan faktor genetik dipelajari secara khusus melalui farmakogenetik.
Farmakogenetik adalah studi tentang variasi respons obat akibat faktor
genetik. Farmakogenetik perlu dibedakan dari overdosis, reaksi alergi,
dan inborn error of metabolism. Inborn error of metabolism adalah kelainan
genetik yang mengakibatnya kelainan pengolahan zat tertentu sehingga terjadi
akumulasi dalam sel. Sementara itu, farmakogenetik mempelajari tentang
adanya perbedaan respons individu terhadap suatu obat. Dari aspek
farmakokinetik, farmakogenetik banyak memengaruhi sisi biotransformasi
(metabolisme) obat. Selain biotransformasi (metabolisme), farmakokinetik
juga melibatkan proses absorpsi, distribusi, dan ekskresi. Metabolisme obat
terutama terjadi di sel-sel hati (mikrosom = retikulum endoplasma hati), serta
di sitosol. Selain hati, dinding usus, ginjal, paru, darah, otak, dan kulit juga
menjadi tempat biotransformasi obat.
6. Faktor Toleransi
Toleransi merupakan penurunan efek farmakologik akibat pemberian
yang berulang. Toleransi ini terbagi menjadi toleransi farmakokinetik, yang
terjadi akibat obat meningkatkan metabolismenya sendiri (dikarenakan obat
merupakan self inducer bagi proses metabolism dirinya sendiri); dan toleransi
farmakodinamik, akibat terjadi adaptasi sel dan reseptor terhadap ligan (obat)
yang terus menerus berada di sekitar sel tersebut berada. Sensitifitas reseptor-
reseptor ini umumnya menurun di tengah kelimpahan ligan. Jumlah ligan yang
berikatan tidak berkurang, namun sensitiiftas reseptor berkurang sehingga efek
farmakologis yang ditimbulkan juga berkurang.
7. Faktor Interaksi Obat
Obat dapat berinteraksi dengan zat – zat makanan, zat kimia, bahkan
dengan obat lain. Oleh karena itu perlu diperhatikan adanya efek (yang
mungkin menguntungkan, atau malah merugikan) akibat interaksi ini.
Interaksi yang menguntungkan misalnya penggunaan kombinasi obat
antihipertensi, antiasma, dan antidiabetik yang dapat meningkatkan efektivitas
dan mengurangi efek samping; kombinasi obat anti-HIV dan anti-kanker.

8
DAFTAR PUSTAKA

1. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Chapter 7: Schizophrenia spectrum and other psychotic
disorder. In: Pataki CS, Sussman N, editors. Kaplan & Sadock’s synopsis of psychiatry:
behavioral sciences/clinical psychiatry. 11th edition. Philadelphia: Wolters kluwer; 2015.
2. Dale MM, Rang HP. Rang & Dale’s pharmacology. 8th edition. [Edinburgh] Churchill
livingstone: Elsevier; 2015.

You might also like