You are on page 1of 11

Asuhan Keperawatan pada Klien

dengan Gangguan Sistem Persyarafan: Bell’s Palsy

Oleh :

RINI HANDRIANI ( 1714314201045 )


YULIUS PANCA ( 1714314201049 )

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAHARANI


PROGRAM S1 ILMU KEPERAWATAN

2018
Konsep Dasar Medis

1. Definisi

Menurut Diane C. Baughman dan JoAnn C. Hackley (2000) dalam buku saku dari
Brunner & Suddarth mendefinisikan, Bell’s palsy (paralisis parsial) adalah kondisi yang
diakibatkan oleh kerusakan saraf cranial ketujuh bagian perifer pada satu sisi, yang
mengakibatkan kelemahan atau paralisis otot fasial.

Paralisis Bell (paralisis wajah) Karen aketerlibatabn perifer saraf cranial ketujuh pada
salah satu sisi, yang mengakibatkan kelemahan atau paralisis otor wajah (Arif Muttaqin,
2012).

Paralisis Bell (Bell’s palsy) atau prosoplegia adalah kelumpuhan nervus fasialis
perifer, terjadi secara akut, dan penyebabnya tidak diketahui atau tidak menyertai penyakit
lain yang dapat mengakibatkan lesi nervus fasialis (Harsono, 2009).

Priguna Sidharta (1985) mendefinisiskan bahwa ‘Bells’s Palsy’ adalah kelumpuhan


fasialis perifer akibat proses non-supuratif, non-neoplasmatik, non-degeratif primer namun
sangat mungkin akibat edema jinak pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus
atau sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri
tanpa pengobatan.

2. Etiologi

Penyebabnya tidak diketahui, meskipun kemungkinan penyebab dapat meliputi


iskemia vascular, penyakit virus (herper simplek, herpes zoster), penyakit autoimun, atau
kombinasi semua factor ini (Smeltzer dan Bare, 2002).

Menurut Harsono (2009) mengatakan paralisis fasial perifer dapat terjadi pada
penyakit-panyakit tertentu, misalnya diabetes mellitus, hipertensi berat, anestesi local pada
pencabutan gigi, infeksi telinga bagian tengah, sindrom Guillain Barre, kehamilan trimester
terakhir, meningitis, perdarahan, dan trauma. Apabila factor penyebabnya jelas maka disebut
paralisis fasialis perifer dan bukannya paralisis Bell.

3. Patofisiologi

Menurut Arif Muttaqin (2012) paralisis Bell dipertimbangkan dengan beberapa tipe
paralisis tekanan. Inflamasi dan edema saraf pada titik kerusakan, atau pembuluh nutriennya
tersumbat pada titik yang menyebabkan nekrosis iskemik dalam kanal yang sangat sempit.
Ada kelainan wajah berupa paralisis otot wajah; peningkatan lakrimasi (air mata); sensasi
nyeri pada wajah, belakang telinga, dan terdapat kesulitan bicara pada sisi yang terkena
karena kelemahan atau otot wajah. Pada kebanyakan klien, yang pertama kali mengetahui
paresis adalah teman sekantor atau orang terdekat/ keluarganya.
Pada observasi dapat terlihat juga bahwa gerakan kelompok yang tidak sehat lebih
lambat jika dibandingkan dengna gerakan kelopak mata yang sehat lebih lambat jika
dibandingkan dengan gerakan kelopak mata yang sehat. Lipatan nasolabial pad asisi
kelumpuhan mendatar. Dalam mengembungkan pipi terlihat bahwa pada sisi yang lumpuh
tidak mengembung. Saat mencibir, gerakan bibir tersebut menyimpan ke sisi yang tidak
sehat. Jika klien diminta untuk memperlihatkan gigi geliginya atau diminta meringis, sudut
mulut sisi yang lumpuh tidak terangkat, sehingga mulut tampaknya mencong kearah yang
sehat.

Setelah paralisi pasial perifer sembuh, masih sering terdapat gejala sisa. Pada
umumnya gejala itu merupakan proses regerasi yang salah, sehingga timbul gerakan fasial
yang berasosiasi dengan gerakn otot kelompok lain. Gerakan yang mengikuti gerakan otot
kelopak lain disebut sinkinetik. Gerakan yang mengikuti gerakan otot kelopak lain itu disebut
sinkinetik. Adapun gerakan sinkinetik adalah ikut terangkatnya sudut mulut pada waktu mata
ditutup dan fisula palpebra sisi yang pernah lumpuh menjadi sempit, pada waktu rahang
bawah ditarik ke atas atau ke bawah, seperti sewaktu berbicara atau mengunyah. Dalam hal
ini, di luar serangan spasme fasialis, sudut mulut sisi yang pernah lumpuh tampak lebih tinggi
kedudukannya dari padapada sisi yang sehat. Oleh karena itu, banyak kekeliruan mengenai
sisi yang memperlihatkan paresis fasialis, terutama jika klien yang pernah mengalami Bell’s
Palsy kemudian memperoleh ‘stroke’.
4. Manifestasi klinis

Menurut Harsono (2009), mengatakan pada awalnya, penderita merasakan ada


kelainan disaat bangun tidur, menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Setelah
merasakan adanya kelainan didaerah mulut maka penderita biasanya memperhatikannya lebih
cermat dengan mengunakan cermin.

Mulut tampak mencong terlebih pada saat meringis kelopak mata tidak dapat
dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh menutup kelopak matanya maka bola
matanya makan bola mata tampak terputar ke atas (tanda Bell). Penderita tak dapat bersiul
atau menutup, apabila berkumur atau minum makan air akan keluar melalui sisi mulut yang
lumpuh. Selanjutnya gejala dan tanda klinis lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi lesi.

1. Lesi di luar foramen stilomastoideus

Mulut tertarik ke arah sisi mulut sehat, makanan terkumpul di antara pipi dan gusi,
dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang. Lipatan kulit dahi menghilang.
Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar
terus-menerus.

1. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)

Gejala dan tanda klinik seperti pada (1), ditambah dengan hilangnya ketajaman
pengecapan lidah (dua pertiga bagian depan) dan salviasi di sisi yang terkena berkurang.
Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius,
sekaligus menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah
antara pons dan titik di mana korda timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis
fasialis.

1. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)

Gejala tanda klinis seperti pda (1) dan (2), ditambah dengan adanya hiperakusis.

1. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)

Gejala dan tanda klinik sepertipada (1), (2), dan (3) disertai dengan nyeri di belakang
dan di dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pascaherpes di membrane timpani
dan konka. Syndrome Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis fasialis perifer yang
berhubungan dengan herpes zoster di ganglion genikulatum. Lesi herpetic terlihat di
membrane timpani, kanalis auditorius eksterna dan pina.

1. Lesi di matus akustikus internus

Gejala dan tanda klinik seperti di atas ditambah dengna tuli sebagai akibat dari
terlibatnya nervus akustikus.
1. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons

Gejala dan tanda klinis sama dengan diatas, disertai gejala dan tanda terlihatnya
nervus trigenius, nervus akustikus, dan kadang-kadang juga nervus abdusens, nervus
aksesorius, dan nervus hipoglosus.

Sindrom air mata buaya (crocodile tears syndrome) merupakan gejala sisa paralisis
Bell, beberapa bulan pasca awitan, dengna manifestasi klinik: air mata bercucuran dari mata
yang terkena pada saat penderita makan. Nervus fasialis menginervasi glandula lakrimalis
dan granua salivarius submandibularis. Diperkirakan terjadi regerasi saraf salivarius tetapi
dalam perkembangannya terjadi “salah jurusan” menuju ke granula lakrimali.

5. Pemeriksaan diagnosik

Setelah 10 hari, elektromiografi membantu memprediksi tingkat kesembuhan yang


diharapkan dengan membedah kerusakan konduksi sementara dengan interupsi patologis
serabut saraf ( Wiliam & Wilkins, 2008).

6. Penataksaaan

Menurut Diane C. Baughman dan JoAnn C. Hackley (2000) dalam buku saku dari
Brunner & Suddarth mengatakan tujuan dari penatalaksanaan adalah untuk mempertahanakan
tonus otot wajah dan untuk mencegah atau meminimalkan penyimpangan.

1. Tenangkan pasien bahwa tidak terjadi stroke pada dirinya dan pemulihan secara
spontan akan terjadi dalam 3-5 minggu pada kebanyakan pasien.
2. Mungkin diberikan terapi steroid untuk mengurangi inflamasi dan edema, yang akan
menurunkan kompresi vaskuler dan memungkinkan pemulihan sirkulasi darah pada saraf.
Pemberian steroid awal tampaknya untuk mengurangi keparahan, menghilangkan nyeri,
dan meminimalkan penyimpangan.
3. Nyeri fasial diatasi dengan analgesic atau pemasangan kompres hangat pada bagian
wajah yang sakit.
4. Mungkin dilakukan stimulus listrik pada wajah untuk mencegah atrofi otot.
5. Eksplorasi melalui pembedahan mungkin dilakukan jika digunakan kuat adanya
tumor; pembedahan dekompresi saraf fasial; atau rehabilitasi pembedahan dari wajah yang
mengalami paralisis.

Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

Pengkajian menurut Arif Muttaqin (2012) anamnesis pada Bell’s Palsy meliputi
keluahan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit
dahulu, dan pengkajian psikososial.

2. Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien meminta bantuan kesehatan adalah berhubungna dengan
kelumpuhan otot wajah terjadi pada satu sisi.

3. Riwayat penyakit sekarang

Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk menunjang keluhan
utama klien. Tanyakan dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan,
sembuh, dan bertambah buruk. Pada pengkajian klien Bell’s palsy biasanya didapatkan
keluhan kelumpuhan otot wajah pada satu sisi. Kelumpuhan fasialis ini melibatkan semnua
otot wajah satu sisi. Jika dahi dikerutkan, lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi yang sehat
saja. Jika klien diminta memejamkan kedua mata, maka pada sisi yang tidak sehat, kelopak
mata tidak dapat menutupi bola mata dan terlihat berputarnya bola mata ke atas. Fenomena
tersebut dikenal sebagai tanda Bell.

4. Riwayat penyakit dahulu

Pengkajian penyakit pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau
menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah klien mengalami penyakit iskemia
vascular, otitis media, tumor intracranial, trauma kapitis, penyakit virus (herpes simplek,
herpes zozter), penyakit autoimun, atau kombinasi semua faktor ini. Pengkajian pamakaian
obat-obatan yang sering digunakan klien, pengkajian tindakan medis yan gdidapatkan klien
dapat mendukung pengkajian riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk
mengkaji lebih jauh dan memberikan tindakan selanjutnya.

5. Pengkajian psikososiaspiritual

Pengkajian psikologis klien Bell’s Palsy meliputi beberapa penilaian yang


memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi,
kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga
penting untuk menilai respon emosi klien terhadap kelumpuhan otot wajah sesisi dan
perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya baik dalam keuarga ataupun dalam masyarakat. Apapun ada
dampak yang timbul pada klien yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas,
rasa ketidakmampuan untuk melakukan secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah (gangguan citra tubuh). Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar
biasa digunakan klien selama kesehatan saat ini yang telah diketahui dan perubahan perilaku
akibat stress.

6. Pemeriksaan fisik

 B1 (Breathing)

Jika tidak ada penyakit lain yang menyertai, pemeriksaan sistem pernafasan klien dalam
batas normal. Pada palpasi biasaanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Perkusi
didapatkan resonan pada seluruh lapangan paru. Auskultasi tidak terdengar bunyi nafas
tambahan.
 B2 (Blood)

Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan nadi dengan frekuensi dan ritme
yang normal, tekanan darah dalam batas normal, dan tidak terdengar bunyi jantung
tambahan.

 B3 (Brain)

Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan focus dan lebih lengkap dibandingkan


pengkajian pada sisitem lainnya.

 Pengkajian tingkat kesadaran

Pada Bell’s Palsy biasanya kesadaran klien komposmentis.

 Pengkajian fungsi serebral

Status mental meliputi observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi
wajah, dan aktivitas motorik klien. Pada klien Bell’s Palsy tahap lanjut biasanya status
mental klien mengalami perubahan.

 Pengkajian saraf kranial


a. Pemeriksaan saraf kranial meliputi pemeriksaan pada saraf kranial I-XII.
b. Saraf I, bisanya pada klien Bell’s Palsy tidak ada kelaianan pada fungus
penciuman.
c. Saraf II, tes ketajaman penglihatan pada kondisi.
d. Saraf III, IV, dan VI, penurunan gerakan kelopak mata pada sisi yang sakit
(lagoftalmos).
e. Saraf V, kelumpuhan seluruh otot wajah satu sisi, lipatan nasolabial pada sisi
kelumpuhan mendatar, adanya gerakan sinkinetik.
f. Saraf VII, berkurangnya ketajaman pengecapan, mungkin sekali edema saraf
fasialis di tingkat foramen srtilomastoideus meluas sampai bagian saraf fasialis,
di mana khorda timpani menggabungkan diri padanya.
g. Saraf VIII, tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
h. Saraf IX dan X, paralisis otot orofaring, kesulitan berbicara, mengunyah dan
menelan, kemampuan menelan kurang baik, sehingga menggangu pemenuhan
nutrisi via oral.
i. Saraf XI, tidakada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius, kemampuan
mobilisasi leher baik.

f. Saraf XII, lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi,
indra pengecapan pada dua pertiga lidah sisi kelumpuhan kurang tajam.

 Pengkajian sistem motorik

Jika tidak melibatkan disfungsi neurologis lain, kekuatan otot normal, control
kesimbangan dan koordinasi pada Bell’s Palsy tidak ada kelainan.
 Pengkajian refleks

Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum


derajat refleks pada respon normal. Gerakan Involunter, tidak ditemukan adanya tremor,
kejang, dan distonia. Pada beberapa keadaan sering ditemukan tic fasialis.

 Pengkajian sistem sensorik

Kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan suhu tidak ada kelainan.

 B4 (Bledder)

Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya menunjukkan penurunan volume


pengeluaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah
jantung ke ginjal.

 B5 (Bowel)

Mual sampai muntah dihubungakan dengan peningkatan produksi asam lambung.


Pemenuhan nutrisi pada klien menurun karena anoreksia dan kelemahan otot-otot penguyah
serta gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan nutrisi via oral menjadi menurun.

 B6 (Bone)

Penurunan kekuatan otot dan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien secara
umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh orang lain.

 Pengkajian penatalaksanaan medis

Tujuan penatalaksaan adalah untuk mempertahankan tonus otot wajah dan untuk
mencegah atau meminimalkan denervasi. Klien harus diyakinkan bahwa keadaan yang terjadi
bukan stroke dan pulih dengan spontan dalam 3 sampai 5 minggu paa kebanyakan klien.

Terapi kostikosteroid (prednisone) dapat diberikan untuk menurunkan inflamasi dan


edema, yang pada gilirannya mengurangi kompresi vakular dan memungkinkan perbaikan
sirkulasi darah ke saraf tersebut. Pemberian awal terapi kortikosteroid ditujukan untuk
mengurangi penyakit semakin berat, mengurangi nyeri, dan membantu mencegah atau
meminimalakan denervasi.

Nyeri wajah dikontrol dengan analgetik. Kompres panas pada sisi wajah yang sakit
dapat diberikan untuk mengurangi kenyamanan dan aliran darah sampai ke otak tersebut.

Stimulasi listrik dapat diberikan untuk mencegah otot wajah menjadi atrofi. Walaupun
banyak klien pulih dengan pengobatan konservatif, namun eksplorasi pembedahan pada saraf
wajah dapat dilakukan pada klien melalui pembedahan dan pembedahan untuk merehabilitasi
keadaan paralisis wajah.
 Pendidikan klien

Mata harus dilindungi karena paralisis lanjut dapat menyerang mata. Sering kali, mata
klien tidak dapat menutup dengan sempurna,dan refleks berkedip terbatas sehingga mata
mudah diserang hewan kecil dn benda asing. Iritasi kornea dan luka adalah komplikasi
potensial pada klien ini. Kadang-kadang keadaan ini mengakibatkan keluarnya air mata yang
berlebihan (epifora) karena keratis akibat kornea kering dan tidak adanya refleks berkedip.
Penutup mata bagian bawah menjadi lemah akibat pengeluaran air mata. Untuk menangani
masalah ini, mata harus ditutup denna melindunginya dari cahaya silau pada malam hari.
Kotoran mata dapat merusak kornea, meskipun hal ini juga disebabkan karena beberapa
kesulitan dalam mempertahankan mata tertutup akibat paralisis parsial. Benda-benda yang
dapat digunakan pada mata saat tidur dapat diletakkan di atas mata agar kelopak mata
menempel satu dengan yang lainnya dan tetap tertutup selama tidur.

Klien dianjurkan untuk menutup kelopak mata yang mengalami paralisis secara
manual sebelum tidur. Gunakan penutup mata dengan kacamata hitam untuk menurunkan
penguapan normal dari mata. Jika saraf tidak terlalu sensitive, wajah dapat dimasase beberapa
kali untuk mempertahankan tonus otot. Teknik untuk memasase wajah adalah dengan
gerakan lembut ke atas. Latihan wajah seperti mengkerutkan dahi, mengembungkan pipi ke
luar dan bersiul, dapat dilakukan dengan mengguanakan cermin dan dilakukan teratur untuk
mencegah atrofi otot. Hindari wajah terhadap udara dingin.

Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan yang dapat ditemukan menurut Arif Muttaqin (2012), yaitu:

1. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan perubahan bentuk wajah
karena kelumpuhan pada satu sisi pada wajah.
2. Ansietas yang berhubungan dengan prognosis penyakit.
3. Deficit pengetahuan yang berhubungan dengan informasi yang tidak adekuat mengenai
proses penyakit dan pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA

Brughman, Diane C. (2000). Keperawatan Medikal Bedah: Buku saku untuk Brunner dan
Suddarth. Jakarta: EGC. 60-61.

Harsono (2009). Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 297-
300.

Muttaqin Arif (2012). Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.108-116.

Williams & Wilkins (2011). Nursing: Memahami Berbagai Macam Penyakit. Jakarta Barat:
Permata Puri Media. 47-48

You might also like