Professional Documents
Culture Documents
Oleh :
2018
Konsep Dasar Medis
1. Definisi
Menurut Diane C. Baughman dan JoAnn C. Hackley (2000) dalam buku saku dari
Brunner & Suddarth mendefinisikan, Bell’s palsy (paralisis parsial) adalah kondisi yang
diakibatkan oleh kerusakan saraf cranial ketujuh bagian perifer pada satu sisi, yang
mengakibatkan kelemahan atau paralisis otot fasial.
Paralisis Bell (paralisis wajah) Karen aketerlibatabn perifer saraf cranial ketujuh pada
salah satu sisi, yang mengakibatkan kelemahan atau paralisis otor wajah (Arif Muttaqin,
2012).
Paralisis Bell (Bell’s palsy) atau prosoplegia adalah kelumpuhan nervus fasialis
perifer, terjadi secara akut, dan penyebabnya tidak diketahui atau tidak menyertai penyakit
lain yang dapat mengakibatkan lesi nervus fasialis (Harsono, 2009).
2. Etiologi
Menurut Harsono (2009) mengatakan paralisis fasial perifer dapat terjadi pada
penyakit-panyakit tertentu, misalnya diabetes mellitus, hipertensi berat, anestesi local pada
pencabutan gigi, infeksi telinga bagian tengah, sindrom Guillain Barre, kehamilan trimester
terakhir, meningitis, perdarahan, dan trauma. Apabila factor penyebabnya jelas maka disebut
paralisis fasialis perifer dan bukannya paralisis Bell.
3. Patofisiologi
Menurut Arif Muttaqin (2012) paralisis Bell dipertimbangkan dengan beberapa tipe
paralisis tekanan. Inflamasi dan edema saraf pada titik kerusakan, atau pembuluh nutriennya
tersumbat pada titik yang menyebabkan nekrosis iskemik dalam kanal yang sangat sempit.
Ada kelainan wajah berupa paralisis otot wajah; peningkatan lakrimasi (air mata); sensasi
nyeri pada wajah, belakang telinga, dan terdapat kesulitan bicara pada sisi yang terkena
karena kelemahan atau otot wajah. Pada kebanyakan klien, yang pertama kali mengetahui
paresis adalah teman sekantor atau orang terdekat/ keluarganya.
Pada observasi dapat terlihat juga bahwa gerakan kelompok yang tidak sehat lebih
lambat jika dibandingkan dengna gerakan kelopak mata yang sehat lebih lambat jika
dibandingkan dengan gerakan kelopak mata yang sehat. Lipatan nasolabial pad asisi
kelumpuhan mendatar. Dalam mengembungkan pipi terlihat bahwa pada sisi yang lumpuh
tidak mengembung. Saat mencibir, gerakan bibir tersebut menyimpan ke sisi yang tidak
sehat. Jika klien diminta untuk memperlihatkan gigi geliginya atau diminta meringis, sudut
mulut sisi yang lumpuh tidak terangkat, sehingga mulut tampaknya mencong kearah yang
sehat.
Setelah paralisi pasial perifer sembuh, masih sering terdapat gejala sisa. Pada
umumnya gejala itu merupakan proses regerasi yang salah, sehingga timbul gerakan fasial
yang berasosiasi dengan gerakn otot kelompok lain. Gerakan yang mengikuti gerakan otot
kelopak lain disebut sinkinetik. Gerakan yang mengikuti gerakan otot kelopak lain itu disebut
sinkinetik. Adapun gerakan sinkinetik adalah ikut terangkatnya sudut mulut pada waktu mata
ditutup dan fisula palpebra sisi yang pernah lumpuh menjadi sempit, pada waktu rahang
bawah ditarik ke atas atau ke bawah, seperti sewaktu berbicara atau mengunyah. Dalam hal
ini, di luar serangan spasme fasialis, sudut mulut sisi yang pernah lumpuh tampak lebih tinggi
kedudukannya dari padapada sisi yang sehat. Oleh karena itu, banyak kekeliruan mengenai
sisi yang memperlihatkan paresis fasialis, terutama jika klien yang pernah mengalami Bell’s
Palsy kemudian memperoleh ‘stroke’.
4. Manifestasi klinis
Mulut tampak mencong terlebih pada saat meringis kelopak mata tidak dapat
dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh menutup kelopak matanya maka bola
matanya makan bola mata tampak terputar ke atas (tanda Bell). Penderita tak dapat bersiul
atau menutup, apabila berkumur atau minum makan air akan keluar melalui sisi mulut yang
lumpuh. Selanjutnya gejala dan tanda klinis lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi lesi.
Mulut tertarik ke arah sisi mulut sehat, makanan terkumpul di antara pipi dan gusi,
dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang. Lipatan kulit dahi menghilang.
Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar
terus-menerus.
Gejala dan tanda klinik seperti pada (1), ditambah dengan hilangnya ketajaman
pengecapan lidah (dua pertiga bagian depan) dan salviasi di sisi yang terkena berkurang.
Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius,
sekaligus menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah
antara pons dan titik di mana korda timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis
fasialis.
Gejala tanda klinis seperti pda (1) dan (2), ditambah dengan adanya hiperakusis.
Gejala dan tanda klinik sepertipada (1), (2), dan (3) disertai dengan nyeri di belakang
dan di dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pascaherpes di membrane timpani
dan konka. Syndrome Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis fasialis perifer yang
berhubungan dengan herpes zoster di ganglion genikulatum. Lesi herpetic terlihat di
membrane timpani, kanalis auditorius eksterna dan pina.
Gejala dan tanda klinik seperti di atas ditambah dengna tuli sebagai akibat dari
terlibatnya nervus akustikus.
1. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons
Gejala dan tanda klinis sama dengan diatas, disertai gejala dan tanda terlihatnya
nervus trigenius, nervus akustikus, dan kadang-kadang juga nervus abdusens, nervus
aksesorius, dan nervus hipoglosus.
Sindrom air mata buaya (crocodile tears syndrome) merupakan gejala sisa paralisis
Bell, beberapa bulan pasca awitan, dengna manifestasi klinik: air mata bercucuran dari mata
yang terkena pada saat penderita makan. Nervus fasialis menginervasi glandula lakrimalis
dan granua salivarius submandibularis. Diperkirakan terjadi regerasi saraf salivarius tetapi
dalam perkembangannya terjadi “salah jurusan” menuju ke granula lakrimali.
5. Pemeriksaan diagnosik
6. Penataksaaan
Menurut Diane C. Baughman dan JoAnn C. Hackley (2000) dalam buku saku dari
Brunner & Suddarth mengatakan tujuan dari penatalaksanaan adalah untuk mempertahanakan
tonus otot wajah dan untuk mencegah atau meminimalkan penyimpangan.
1. Tenangkan pasien bahwa tidak terjadi stroke pada dirinya dan pemulihan secara
spontan akan terjadi dalam 3-5 minggu pada kebanyakan pasien.
2. Mungkin diberikan terapi steroid untuk mengurangi inflamasi dan edema, yang akan
menurunkan kompresi vaskuler dan memungkinkan pemulihan sirkulasi darah pada saraf.
Pemberian steroid awal tampaknya untuk mengurangi keparahan, menghilangkan nyeri,
dan meminimalkan penyimpangan.
3. Nyeri fasial diatasi dengan analgesic atau pemasangan kompres hangat pada bagian
wajah yang sakit.
4. Mungkin dilakukan stimulus listrik pada wajah untuk mencegah atrofi otot.
5. Eksplorasi melalui pembedahan mungkin dilakukan jika digunakan kuat adanya
tumor; pembedahan dekompresi saraf fasial; atau rehabilitasi pembedahan dari wajah yang
mengalami paralisis.
1. Pengkajian
Pengkajian menurut Arif Muttaqin (2012) anamnesis pada Bell’s Palsy meliputi
keluahan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit
dahulu, dan pengkajian psikososial.
2. Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien meminta bantuan kesehatan adalah berhubungna dengan
kelumpuhan otot wajah terjadi pada satu sisi.
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk menunjang keluhan
utama klien. Tanyakan dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan,
sembuh, dan bertambah buruk. Pada pengkajian klien Bell’s palsy biasanya didapatkan
keluhan kelumpuhan otot wajah pada satu sisi. Kelumpuhan fasialis ini melibatkan semnua
otot wajah satu sisi. Jika dahi dikerutkan, lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi yang sehat
saja. Jika klien diminta memejamkan kedua mata, maka pada sisi yang tidak sehat, kelopak
mata tidak dapat menutupi bola mata dan terlihat berputarnya bola mata ke atas. Fenomena
tersebut dikenal sebagai tanda Bell.
Pengkajian penyakit pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau
menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah klien mengalami penyakit iskemia
vascular, otitis media, tumor intracranial, trauma kapitis, penyakit virus (herpes simplek,
herpes zozter), penyakit autoimun, atau kombinasi semua faktor ini. Pengkajian pamakaian
obat-obatan yang sering digunakan klien, pengkajian tindakan medis yan gdidapatkan klien
dapat mendukung pengkajian riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk
mengkaji lebih jauh dan memberikan tindakan selanjutnya.
5. Pengkajian psikososiaspiritual
6. Pemeriksaan fisik
B1 (Breathing)
Jika tidak ada penyakit lain yang menyertai, pemeriksaan sistem pernafasan klien dalam
batas normal. Pada palpasi biasaanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Perkusi
didapatkan resonan pada seluruh lapangan paru. Auskultasi tidak terdengar bunyi nafas
tambahan.
B2 (Blood)
Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan nadi dengan frekuensi dan ritme
yang normal, tekanan darah dalam batas normal, dan tidak terdengar bunyi jantung
tambahan.
B3 (Brain)
Status mental meliputi observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi
wajah, dan aktivitas motorik klien. Pada klien Bell’s Palsy tahap lanjut biasanya status
mental klien mengalami perubahan.
f. Saraf XII, lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi,
indra pengecapan pada dua pertiga lidah sisi kelumpuhan kurang tajam.
Jika tidak melibatkan disfungsi neurologis lain, kekuatan otot normal, control
kesimbangan dan koordinasi pada Bell’s Palsy tidak ada kelainan.
Pengkajian refleks
Kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan suhu tidak ada kelainan.
B4 (Bledder)
B5 (Bowel)
B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien secara
umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh orang lain.
Tujuan penatalaksaan adalah untuk mempertahankan tonus otot wajah dan untuk
mencegah atau meminimalkan denervasi. Klien harus diyakinkan bahwa keadaan yang terjadi
bukan stroke dan pulih dengan spontan dalam 3 sampai 5 minggu paa kebanyakan klien.
Nyeri wajah dikontrol dengan analgetik. Kompres panas pada sisi wajah yang sakit
dapat diberikan untuk mengurangi kenyamanan dan aliran darah sampai ke otak tersebut.
Stimulasi listrik dapat diberikan untuk mencegah otot wajah menjadi atrofi. Walaupun
banyak klien pulih dengan pengobatan konservatif, namun eksplorasi pembedahan pada saraf
wajah dapat dilakukan pada klien melalui pembedahan dan pembedahan untuk merehabilitasi
keadaan paralisis wajah.
Pendidikan klien
Mata harus dilindungi karena paralisis lanjut dapat menyerang mata. Sering kali, mata
klien tidak dapat menutup dengan sempurna,dan refleks berkedip terbatas sehingga mata
mudah diserang hewan kecil dn benda asing. Iritasi kornea dan luka adalah komplikasi
potensial pada klien ini. Kadang-kadang keadaan ini mengakibatkan keluarnya air mata yang
berlebihan (epifora) karena keratis akibat kornea kering dan tidak adanya refleks berkedip.
Penutup mata bagian bawah menjadi lemah akibat pengeluaran air mata. Untuk menangani
masalah ini, mata harus ditutup denna melindunginya dari cahaya silau pada malam hari.
Kotoran mata dapat merusak kornea, meskipun hal ini juga disebabkan karena beberapa
kesulitan dalam mempertahankan mata tertutup akibat paralisis parsial. Benda-benda yang
dapat digunakan pada mata saat tidur dapat diletakkan di atas mata agar kelopak mata
menempel satu dengan yang lainnya dan tetap tertutup selama tidur.
Klien dianjurkan untuk menutup kelopak mata yang mengalami paralisis secara
manual sebelum tidur. Gunakan penutup mata dengan kacamata hitam untuk menurunkan
penguapan normal dari mata. Jika saraf tidak terlalu sensitive, wajah dapat dimasase beberapa
kali untuk mempertahankan tonus otot. Teknik untuk memasase wajah adalah dengan
gerakan lembut ke atas. Latihan wajah seperti mengkerutkan dahi, mengembungkan pipi ke
luar dan bersiul, dapat dilakukan dengan mengguanakan cermin dan dilakukan teratur untuk
mencegah atrofi otot. Hindari wajah terhadap udara dingin.
Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat ditemukan menurut Arif Muttaqin (2012), yaitu:
1. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan perubahan bentuk wajah
karena kelumpuhan pada satu sisi pada wajah.
2. Ansietas yang berhubungan dengan prognosis penyakit.
3. Deficit pengetahuan yang berhubungan dengan informasi yang tidak adekuat mengenai
proses penyakit dan pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA
Brughman, Diane C. (2000). Keperawatan Medikal Bedah: Buku saku untuk Brunner dan
Suddarth. Jakarta: EGC. 60-61.
Harsono (2009). Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 297-
300.
Muttaqin Arif (2012). Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.108-116.
Williams & Wilkins (2011). Nursing: Memahami Berbagai Macam Penyakit. Jakarta Barat:
Permata Puri Media. 47-48