Professional Documents
Culture Documents
1
Diakses dari http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20170329133349-384-203404/ojek-online-
harus-tunduk-aturan-baru-kota-depok/?utm_source=twitter&utm_campaign=cmssocmed&utm_medium=oa
pada 4 April 2017
Sebagai kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Kota Depok untuk mencegah konflik
horizontal antara pengemudi transportasi konvensional dan online, Perwal No. 11 Tahun
2017 ini secara tegas mengatur tentang angkutan orang dengan sepeda motor tidak dalam
trayek atau ojek online. Beberapa poin yang ditegaskan sebagaimana dituangkan dalam pasal
4-6 meliputi:2
• Penyedia jasa angkutan orang wajib menyediakan tempat khusus yang dapat
digunakan untuk menyimpan kendaraan bermotor (parkir) bagi mitra dan/atau
anggotanya yang tidak mengganggu ketertiban, kelancaran lalu lintas, dan/atau
kegiatan lainnya.
• Setiap Pengemudi Kendaraan Bermotor dilarang menyimpan kendaraan bermotor
(parkir) di badan jalan, bahu jalan, halte, dan fasilitas pejalan kaki (trotoar);
menaikkan orang di kawasan terminal; menaikkan orang di badan jalan yang telah
dilayani oleh angkutan orang dalam trayek.
Dengan dikeluarkannya perwal tersebut, aksi unjuk rasa pun dibatalkan karena
dianggap telah memenuhi tuntutan yang diajukan oleh para supir angkot. Meskipun
demikian, apakah regulasi ini benar-benar akan dapat menyelesaikan masalah?
2
Lihat di Peraturan Wali Kota Depok No. 11 tahun 2017
3
Lihat di pasal 1 angka 8 Permenhub No. 32 tahun 2016
Dari sinilah akar permasalahan antara pengemudi berbasis online dan konvensional
bermula karena transportasi online tidak memiliki trayek yang jelas maka ia dapat leluasa
beroperasi dimanapun bahkan di area operasi angkutan kota. Hal ini menyebabkan
pengemudi transportasi konvensional merasa penumpang mereka berkurang drastis karena
“diambil alih” oleh transportasi online. Padahal menurut UU No. 22 tahun 2009, PP No. 74
tahun 2014 maupun Permenhub No.32 Tahun 2016, Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah
bertanggung jawab atas penyelenggaraan angkutan umum orang. Hal inilah yang memicu
kontroversi antara pengemudi transportasi konvensional dan online.
Saat ini, setidaknya terdapat 41 trayek yang beroperasi di Kota Depok apabila
ditambah dengan trayek antar kota dalam provinsi. Menurut DPC Organda (Organisasi
Angkutan Darat) Kota Depok, setiap trayek biasanya memiliki armada dari rentang 15 hingga
400 mobil tergantung dari padat atau tidaknya penumpang dari trayek yang dilewati.4 Apabila
dijumlahkan, maka terdapat kurang lebih 2.884 angkutan kota di Kota Depok.5 Setiap angkot
paling tidak dijalankan oleh dua orang supir yang bekerja dalam shift yang berbeda. Sehingga
tidak kurang dari 6.000 manusia yang menggantungkan hidupnya dari pekerjaan sebagai
supir angkot. Angka ini bukanlah angka yang sedikit, mengingat setiap manusia tersebut bisa
jadi merupakan seseorang yang menjadi tulang punggung keluarganya. Maka beban
penghidupan pun akan semakin mengakar dan memiliki multiplier effect secara luas.
Sedangkan transportasi online disisi lain saat ini dianggap menjadi solusi atas
keruwetan masalah transportasi masyarakat perkotaan. Tumbuhnya pengemudi ojek online
setiap tahunnya menunjukkan bahwa permintaan masyarakat terhadap ojek online masih
tinggi. Kemudahan dan fleksibilitas waktu menjadi faktor pembeda antara transportasi online
dan konvensional. Go-Jek, pionir dalam penyedia layanan transportasi berbasis online di
Indonesia yang memulai bisnisnya sejak tahun 2010, hingga saat ini saja telah melakukan
ekspansi di kota-kota besar di seluruh Indonesia dengan estimasi memiliki hingga 200.000
armada. Penyedia layanan transportasi online lainnya yaitu Grab, bahkan lebih dulu
beroperasi di berbagai negara sebelum melebarkan sayapnya di Indonesia pada tahun 2015.
Sampai saat ini diperkirakan terdapat sekitar 3.000 armada Grab bike di seluruh
4
Burhani, H. (2017, April 12). Sebuah wawancara dengan satuan tugas DPC Organda Kota Depok.
(B. Dio & K. Suhanda, pewawancara)
5
Statistik Daerah Kota Depok 2016
Jabodetabek.6 Persaingan antara kedua pelaku bisnis transportasi online ini pun bisa dibilang
cukup ketat dalam menawarkan tarif termurah demi menarik penumpang. Bahkan kedua
penyedia layanan transportasi berbasis online ini tidak ragu untuk memberikan promo
menarik di peringatan-peringatan tertentu.
Pergolakan tarif yang tidak menentu ini kemudian juga menjadi salah satu akar
permasalahan karena pada saat para penyedia layanan transportasi online berlomba-lomba
menawarkan harga terendah, disisi lain para pengemudi transportasi konvensional tidak
mampu menjangkau keseimbangan harga tersebut karena banyaknya beban operasional yang
ditanggung, sedangkan pengemudi transportasi online tidak dikenai beban apapun karena
belum ada regulasi yang secara jelas mengatur hal tersebut.7 Semakin menurunnya
permintaan masyarakat terhadap transportasi konvensional sedangkan jumlah armada
transportasi tersebut tetap, maka persaingan antar angkutan pun akan semakin ketat sehingga
dampak yang paling terasa adalah menurunnya pendapatan para supir angkot secara
signifikan. Sejak maraknya transportasi online pendapatan supir angkot turun hingga 60%,
bahkan 20% dari total angkutan yang ada sudah tidak lagi beroperasi.8 Apabila pemerintah
tidak segera turun langsung dengan melakukan intervensi, maka banyak kehidupan yang akan
dipertaruhkan.
Sistem transportasi umum di Kota Depok sendiri masih bersifat regional dan komuter.
Namun secara umum transportasi umum di Kota Depok lebih didominasi oleh angkutan kota
atau angkot karena Kota Depok tidak mempunyai bus angkutan dalam kota yang dikelola
oleh pemerintah, seperti halnya bus transjakarta yang ada di DKI Jakarta. Alternatif lain
adalah dengan menggunakan commuter line, tetapi commuter line tidak menghubungkan
seluruh wilayah Depok sehingga angkutan kota dan ojek saat ini menjadi transportasi yang
paling efektif untuk mengakomodasi mobilitas dalam kota warga Depok.
Angkutan kota sebenarnya sudah ada jauh sebelum Kota Depok menjadi daerah
otonom seperti sekarang dan masih menjadi bagian dari Kabupaten Bogor. Menurut PP No.
41 Tahun 1993 tentang Angkutan Jalan pada Bab I Ketentuan Umum mendefinisikan
angkutan perkotaan adalah angkutan dari suatu tempat ke tempat lain dalam wilayah kota
dengan mempergunakan mobil bus umum dan mobil penumpang umum yang terikat dalam
trayek tetap dan teratur yang mempunyai sifat perjalanan ulang-alik (komuter). Umumnya
mobil penumpang tersebut dikelola oleh pihak swasta atau biasa yang dikenal dengan
“juragan” angkot. Mobil tersebut lalu dimodifikasi sedemikian rupa agar mampu mengangkut
orang dengan jumlah yang banyak. Sesuai dengan PP diatas, angkot-angkot ini akan bekerja
sesuai dengan trayek masing-masing. Biasanya, terdapat suatu tempat khusus yang disebut
pool dimana tempat tersebut menampung angkot-angkot yang memiliki jalur trayek yang
sama. Misalnya, angkot dengan trayek D01 sampai kapanpun tidak akan beroperasi melewati
trayek D02.
10
Sinaga, Elly Adhiana (2016, September 29). Kepala BPTJ: Total Perjalanan Jabodetabek 47,5
Juta Perjalanan Per Hari, Mayoritas dari Luar Jakarta Diakses dari: http://dephub.go.id pada 14 April pukul
17:02
11
Schafer, A. (1998). The Global Demand for Motorized Mobility: A Transportation Research. 32 (6),
455-477
terlebih dahulu. Hal ini tentu membawa kemudahan tersendiri bagi penumpang. Tetapi tanpa
kita sadari, perubahan zaman akan memicu perubahan kebiasaan di masyarakat dan
cenderung memunculkan resistensi terhadap perubahan tersebut. Meminjam kutipan dari
Robert F. Kennedy diatas, seorang adik dari presiden Amerika yang terkenal, change has its
enemies. Kanibalisme penumpang antara transportasi konvensional ke transportasi yang lebih
modern pun tidak dapat terhindarkan.
Pak Heru adalah seorang supir angkot yang melayani trayek 112 yang beroperasi di
area Kp.Rambutan-Depok PP. Dalam sehari, Pak Heru wajib membayar setoran hingga
Rp220.000 kepada juragan angkot. Pak Heru juga harus mengeluarkan biaya bensin sendiri
yang rata-rata mencapai Rp150.000 per hari. Sehingga Pak Heru baru akan membawa pulang
uang ke rumah apabila penghasilannya dalam sehari lebih dari Rp370.000. Jika menggunakan
standar kesejahteraan berdasarkan UMR Kota Depok yang mencapai Rp3.297.489, maka
dalam sehari untuk menghidupi keluarganya secara layak maka Pak Heru harus
mengumpulkan setidaknya Rp100.000. Sehingga dengan kata lain, untuk hidup sejahtera
dengan pekerjaannya sebagai seorang supir angkot, paling tidak dalam sehari Pak Heru harus
mendapatkan uang sejumlah Rp470.000. Uang sebanyak ini harus dikumpulkan Pak Heru
yang hanya berasal dari satu sumber penghasilan, yaitu para penumpang. Katakanlah rata-rata
trayek menerapkan ongkos sebesar Rp3.500 untuk setiap angkot dalam satu kali perjalanan.
Artinya, dalam sehari Pak Heru harus mendapatkan minimal 134 penumpang. Angka ini tentu
bukan jumlah yang sedikit. Terlebih lagi hadirnya transportasi online sangat berpengaruh
terhadap jumlah penumpang angkot yang semakin hari semakin menurun. Tidak heran
mereka menjerit getir akan nasib mereka.
Pemerintah patut resah, karena transportasi online pada dasarnya dianggap tidak
memenuhi syarat dan ketentuan sebagai angkutan umum sebagaimana yang diatur dalam UU
Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; Peraturan Pemerintah Nomor
74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan, serta Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 35
Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Di Jalan Dengan Kendaraan Umum.
Walaupun sempat terganjal regulasi dan dilarang untuk beberapa saat tetapi niat pemerintah
untuk menegakkan peraturan justru ditentang oleh masyarakat melalui berbagai opini di
sosial media. Fenomena ini menunjukkan betapa transportasi online mendapat tempat di hati
masyarakat dan menjadi salah satu pilihan terbaik di tengah-tengah rutinitas kompleks
masyarakat milenial.
Berkaca pada sistem transportasi berbasis online yang ada di negara lain, sebenarnya
permasalahan antara transportasi online dan konvensional tidak hanya terjadi di Indonesia.
Seluruh negara di berbagai belahan dunia ternyata juga mengalami kasus serupa, sebut saja
12
Larangan terhadap transportasi umum berbasis online, seperti Go-Jek, Uber, dan GrabTaxi,
tertuang dalam surat bernomor UM.302/1/21/Phb/2015 tertanggal 9 November 2015. Surat ditandatangani
oleh Menteri Perhubungan Ignasius Jonan. Alasannya, transportasi umum berbasis online itu tidak termasuk
kategori angkutan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yaitu UU No. 22 tahun 2009 tentang
LLAJ.
Malaysia, Perancis, Amerika Serikat, Kanada, serta Inggris. Namun, konflik yang terjadi
umumnya melibatkan antara taksi online dan taksi konvensional. Uber menjadi pihak yang
paling bertanggung jawab, karena hingga saat ini layanan Uber memang telah merambah di
lebih dari 60 negara.13 Aksi protes yang dilakukan pun tak jauh berbeda, yaitu melakukan
unjuk rasa dengan memblokir jalan dan menuntut pemerintah mengambil kebijakan
secepatnya. Langkah yang diambil pemerintah masing-masing negara pun berbeda, ada yang
memperketat izin transportasi online seperti yang dilakukan Amerika Serikat, ada juga yang
menarik izin operasi dan melarang transportasi online beroperasi kembali seperti yang
dilakukan Belgia. Apa yang membedakan dengan yang terjadi saat ini di Indonesia adalah
respon pemerintah di negara-negara tersebut yaitu bergerak cepat dalam mengambil
kebijakan agar konflik yang terjadi segera mereda, terlepas dari segala konsekuensi dari
kebijakan yang diambilnya.
Survey ini melibatkan 470 responden yang tersebar di seluruh wilayah Kota Depok.
Sebanyak 94.1% responden mengaku bahwa mereka adalah pengguna transportasi berbasis
online, dalam hal ini adalah ojek online. Selanjutnya, sebanyak 30.85% responden mengaku
bahwa dalam seminggu mereka bisa menggunakan layanan ojek online hingga lebih dari 7
kali, sedangkan sebanyak 33.83% menggunakan ojek online dalam kisaran 3-5 kali. Fakta ini
membuktikan bahwa ojek online saat ini menjadi pilihan moda transportasi yang difavoritkan
masyarakat. Saat ditanya mengapa memilih ojek online, sebesar 91.7% menjawab karena
faktor murah dan aman. Puncaknya adalah sebanyak 76.38% dari seluruh responden
menganggap keberadaan ojek online sangat penting, 21.7% menganggap penting, 1.27%
menganggap kurang penting, dan sisanya menganggap tidak penting.
13
Diakses dari https://uber.com pada 17 April 2017 pukul 00:03
Bagaimana dengan perspektif penumpang dari transportasi konvensional? Ternyata
69.15% responden lebih memilih menggunakan angkutan kota atau angkot dibandingkan
moda transportasi konvensional yang lain seperti ojek pangkalan dan bus transjakarta. Ketika
ditanya tingkat kepentingan transportasi konvensional sebanyak 30% responden menganggap
transportasi konvensional sangat penting, 40.63% menganggap penting, 25.74% menganggap
kurang penting, dan sisanya menganggap tidak penting. Sehingga dapat terlihat bahwa
sebenarnya mayoritas masyarakat masih membutuhkan keberadaan transportasi
konvensional. Namun demikian, ternyata masih banyak masyarakat yang kurang puas
terhadap pelayanan dan tarif yang ditawarkan transportasi konvensional. Dibuktikan
sebanyak 48.51% menjawab kurang puas ketika ditanya tentang tingkat kepuasan terhadap
pelayanan transportasi konvensional. Ini merupakan tamparan bagi penyedia layanan
transportasi konvensional, khususnya angkot, yang masih jauh dari harapan penumpang.
Dari hasil survey yang ditunjukkan diatas, apabila kita mengambil perspektif dari arah
penumpang maka sebenarnya yang terjadi adalah penumpang hanya menginginkan moda
transportasi yang murah, aman, dan nyaman. Setidaknya harga yang ditawarkan sebanding
dengan pelayanan yang didapatkan. Terlepas dari apakah itu berasal dari penumpang
transportasi online maupun konvensional, karena mayoritas masyarakat menganggap kedua
jenis layanan transportasi tersebut masih sama-sama dibutuhkan.
14
Boediono. (1982). Ekonomi Mikro. Yogyakarta: BPFE UGM.
Namun, menyerahkan semuanya kepada mekanisme pasar sama saja kembali pada
pandangan ekonomi klasik yang percaya bahwa apabila pasar sepenuhnya dibiarkan bebas
tanpa campur tangan pihak manapun akan mampu mencapai keseimbangannya sendiri, dan
ini bukanlah sesuatu yang bisa dibenarkan. John Maynard Keynes, seorang ekonom terkenal
yang berasal dari Inggris, melalui teori ekonomi klasik dalam bukunya yang berjudul “The
General Theory of Employment, Interest, and Money” mengatakan bahwa pihak swasta tidak
bisa sepenuhnya diberikan kekuasaan untuk mengelola perekonomian karena sesuai dengan
pemikiran klasik, pihak swasta dianggap memiliki tujuan utama untuk memperoleh
keuntungan sebesar-besarnya untuk dirinya sendiri dan apabila hal tersebut dibiarkan maka
perekonomian akan tidak kondusif. Sehingga untuk menjaga perekonomian tetap berada di
jalurnya, diperlukan adanya otoritas yang mengendalikan dan mengatur perekonomian
tersebut.15 Otoritas tersebut tentu saja tidak lain adalah pemerintah.
Pemerintah dalam hal ini menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas
terjadinya konflik berkepanjangan antara pengemudi transportasi online dan konvensional.
Beberapa kali konflik yang terjadi berujung pada kekerasan dan menyebabkan masyarakat
menjadi tidak nyaman bepergian dengan menggunakan transportasi umum. Apabila
pemerintah tidak turun tangan langsung dengan melakukan intervensi maka pengemudi
konvensional yang akan menjadi korban. Akan ada banyak masyarakat yang kehilangan
pekerjaan, lebih jauh lagi dampaknya adalah kesenjangan akan semakin meningkat. Sebuah
ironi jika kehadiran transportasi online menyerap banyak tenaga kerja, tetapi di sisi lain juga
menghapus banyak pengais rezeki yang tak berdosa.
15
Keynes, J. M. (1936). The General Theory of Employment Interest and Money. The Collected
Writings of John Maynard Keynes Vol. VII, London, Basingstoke: Macmillan.
sekali bahwa pemerintah pusat dan daerah berjalan masing-masing, seharusnya Pemerintah
Pusat sebagai pihak yang paling berwenang dalam mengatur perundang-undangan yang
berlaku bisa bergerak cepat dalam merespon dinamika yang terjadi di dalam masyarakat.
Disinilah peran Pemerintah dibutuhkan untuk mengeluarkan kebijakan yang tepat untuk
mengatasi polemik yang terjadi.
Kebijakan yang diambil pun haruslah memiliki misi yang jelas agar semua pihak
dapat terakomodasi kebutuhannya serta bagaimana cara terbaik dalam melakukannya agar
menghasilkan keputusan yang netral dan tidak merugikan pihak manapun. Selain itu
diharapkan kebijakan ini dapat memberikan dampak positif bagi seluruh lapisan dimana
pembangunan diselenggarakan.16 Adanya aksi unjuk rasa yang digalang oleh FKAKD
menyiratkan pesan bahwa masih ada pihak yang belum terakomodasi kebutuhannya. Oleh
karena itu mencoba merangkum persoalan yang terjadi antara pengemudi transportasi online
dan konvensional, terdapat setidaknya 3 akar permasalahan yang penulis temukan yaitu
1. Permasalahan kuota
Pertumbuhan layanan transportasi berbasis online dari tahun ke tahun yang selalu
mengalami peningkatan signifikan menyebabkan begitu banyak bertebaran
pengemudi transportasi online dan semakin menenggelamkan transportasi
konvensional. Terlebih lagi sistem transportasi berbasis online tidak mengenal
trayek sehingga jangkauannya semakin luas dan menggerus pangsa pasar
transportasi konvensional.
2. Permasalahan tarif
Tidak diragukan lagi tarif yang ditawarkan transportasi berbasis online sangat
menggiurkan. Diawal kehadirannya Go-Jek misalnya, memberi tarif promo
Rp15.000 kemanapun tujuan konsumen dengan jarak maksimal 25 km, atau Grab
dengan tarif yang relatif lebih murah yaitu Rp12.000 dengan jarak yang sama. Hal
ini tentu saja sangat jauh berbeda dibandingkan ojek pangkalan yang mematok
tarif hingga Rp20.000 untuk jarak kurang dari 10 km. Apabila dibandingkan
dengan angkot yang rata-rata mematok tarif Rp3.500 sekali perjalanan tetapi akses
nya terbatas karena harus yang melewati trayek, belum lagi bila harus berpindah
trayek, menggunakan ojek online tentu lebih efisien karena tarif dihitung
berdasarkan per km.
3. Permasalahan wilayah operasional
16
Syafiie, I.K. (1999). Ilmu Administrasi Publik. Jakarta: Rineka Cipta
Sistem transportasi berbasis online yang fleksibel karena tidak harus memiliki
jalur trayek juga menimbulkan persoalan tersendiri. Pengemudi angkutan umum
dengan trayek pun meradang, karena sejak dulu transportasi umum selalu diatur
wilayah operasionalnya. Tetapi transportasi berbasis online berbeda, karena
sistemnya memang memungkinkan pengemudi menjemput pelanggan dimanapun
lokasi ia memesan. Sehingga pengemudi transportasi konvensional merasa
penumpang yang seharusnya berada di wilayah operasinya tiba-tiba diambil alih
oleh transportasi online. Penumpang turun drastis, pendapatan pun semakin
menipis.
17
Lihat di Pasal 138 dan 139 UU No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
menandai datangnya era crowd business.18 Crowd business adalah model bisnis yang tidak
jelas batasan antara produsen dan konsumen. Model bisnis ini semakin marak akibat
kemajuan teknologi informasi dan mampu menghilangkan batas ruang dan waktu antara
penjual dan pembeli. Sebagai contoh adalah di luar negeri terdapat aplikasi airbnb yang
mempertemukan para pemilik rumah pribadi yang ingin menyewakan rumahnya untuk orang-
orang yang sedang mencari penginapan, tarifnya jelas lebih murah daripada hotel pada
umumnya. Ada juga aplikasi lyft yang mempertemukan para pemilik mobil pribadi yang
ingin menyewakan mobilnya untuk orang-orang yang membutuhkan transportasi, aplikasi ini
tentu membuat bisnis taksi tersaingi. Sistem masa depan seperti ini tidak bisa kita prediksi
dan pelan-pelan menghancurkan bisnis yang dibangun dengan sistem bertahun-tahun. Persis
seperti yang dikatakan J. Schumpeter dalam teorinya mengenai creative destruction,
“the introduction of a new product is good for consumers, but often bad for
incumbent producers, who may be forced out of the market”19
Disini bukan yang terkuatlah yang akan bertahan di pasar, tetapi mereka yang mampu
beradaptasi dengan perubahan. Maka kita harus mampu berdamai dengan perubahan. Di luar
negeri para pengelola hotel berdamai dengan kompetitornya yaitu pemilik rumah yang siap
disewakan melalui jasa aplikasi airbnb, dengan cara menjadi pengelola rumah-rumah yang
akan disewakan sehingga rumah-rumah tersebut memiliki standar layaknya hotel. Kita tentu
juga masih ingat perusahaan taksi Bluebird yang akhirnya memilih untuk berdamai dan
melakukan kerja sama dengan Go-Jek. Go-Jek diuntungkan karena pasar Bluebird yang
sangat luas, di sisi lain Bluebird juga diuntungkan karena persaingan harga dapat teratasi.
Dalam sebuah diskusi penulis dengan Rhenald Khasali, Guru Besar Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Universitas Indonesia, untuk menengahi konflik antara transportasi online dan
konvensional, Rhenald menyarankan agar pemerintah mendorong pelaku-pelaku lama untuk
menyesuaikan diri. Beliau tidak mempunyai cara khusus bagaimana sebuah perusahaan
dalam menghadapi perubahan. Intinya adalah jangan menentang, berdamailah dengan
perubahan.
18
Rumah Perubahan. (2016, March 17). Selamat Datang Sharing Economy - Koran Sindo. Diakses
dari rumahperubahan.co.id: http://www.rumahperubahan.co.id/blog/2016/03/17/selamat-datang-sharing-
economy-koran-sindo/
19
Schumpeter, J. (1942). Capitalism, Socialism, and Democracy. New York: Harper, pp. 82-
85.
Sedangkan dari sisi perusahaan, menurut Rhenald tarif merupakan faktor kunci. Sebaiknya
jangan terlalu rendah, meski juga jangan sama dengan transportasi konvensional. Dengan
tarif yang lebih tinggi, pengemudi transportasi online punya kesempatan untuk meningkatkan
layanan dan keamanan seperti misalnya uji KIR, kendaraan harus memenuhi standar layanan
tertentu. Bukan hanya secara fisik tetapi juga kualitas layanan pengemudinya.
Kesimpulan
Pada akhirnya, Peraturan Walikota No. 11 tahun 2017 yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Kota Depok tidak menyentuh substansi permasalahan yang dialami oleh
pengemudi transportasi online dan konvensional, bahkan cenderung menitikberatkan kepada
ketertiban umum daripada menyelesaikan akar konflik. Karena membangun sebuah
peradaban tidak hanya tentang membangun gedung dan infrastruktur yang setinggi-tingginya,
tetapi juga tentang membangun manusia yang hidup dan berkembang didalamnya. Untuk itu,
kami merekomendasikan Pemerintah Kota Depok untuk merevisi Peraturan Walikota
tersebut dengan melibatkan masyarakat yang terkait didalamnya, seperti FKAKD,
pengemudi ojek online, maupun unsur masyarakat lainnya.
Penulis:
Muhammad , H. (2017, Maret 27). Supir Angkot Depok Batal Mogok, Ini Alasannya. Diakses
dari tempo.co: https://m.tempo.co/read/news/2017/03/27/083860073/supir-angkot-
depok-batal-mogok-ini-alasannya
Schafer, A. (1998). The Global Demand for Motorized Mobility: A Transportation Research.
32 (6), 455-477
Schumpeter, J. (1942). Capitalism, Socialism, and Democracy. New York: Harper, pp. 82-85.
Sinaga, E. Adhiana. (2016, September 29). Kepala BPTJ: Total Perjalanan Jabodetabek 47,5
Juta Perjalanan Per Hari, Mayoritas dari Luar Jakarta. Diakses dari Dephub:
http://dephub.go.id
Wijaya, K. Krisna. (2015, July 15). GrabBike VS Go-Jek, Siapa yang Mencapai
Pertumbuhan Paling Cepat? Diakses dari techinasia.com:
https://id.techinasia.com/pertumbuhan-grabbike-vs-go-jek
Website
http://cnnindonesia.com/teknologi/20170329133349-384-203404/ojek-online-harus-tunduk-
aturan-baru-
kotadepok/?utm_source=twitter&utm_campaign=cmssocmed&utm_medium=oa
Diakses pada 4 April 2017
https://uber.com
http://www.rumahperubahan.co.id/blog/2016/03/17/selamat-datang-sharing-economy-koran-
sindo/
Lain-lain