You are on page 1of 12

BAB I

PENDAHULUAN

Analgetik adalah suatu senyawa atau obat yang dipergunakan untuk mengurangi
rasa sakit atau nyeri. Nyeri timbul akibat oleh berbagai rangsangan pada tubuh misalnya
rangsangan mekanis, kimiawi dan fisis sehingga menimbulkan kerusakan pada jaringan
yang memicu pelepasan mediator nyeri seperti bradikinin dan prostaglandin yang
akhirnya mengaktivasi reseptor nyeri di saraf perifer dan diteruskan ke otak. Secara
umum analgetik dibagi dalam dua golongan, yaitu analgetik non narkotik dan analgetik
narkotik (opioid). Analgetik narkotik (opioid) merupakan kelompok obat yang memiliki
sifat seperti opium. Meskipun mempelihatkan berbagai efek farmakologik yang lain,
golongan obat ini digunakan terutama untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri.
Opioum yang berasal dari getah Papaver somniferum mengandung sekitar 20
jenis alkaloid diantaranya morfin, kodein, tebain, papaverin. Analgetik opioid terutama
digunakan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri meskipun juga memperlihatkan
berbagai efek farmakodinamik yang lain. Opiat atau yang dikenal sebagai narkotik
adalah bahan yang digunakan untuk menidurkan atau melegakan rasa sakit, tetapi
mempunyai potensi yang tinggi untuk menyebabkan ketagihan. Sebagian dari opiate,
seperti candu, morfin, heroin dan kodein diperoleh dari getah buah popi yang terdapat
atau berasal dari negara-negara Timur Tengah dan Asia. Pengaruh dari berbagai obat
golongan opioid sering dibandingkan dengan morfin, dan tidak semua obat golongan
opioid dipasarkan di Indonesia. Akan tetapi dengan sediaan yang sudah ada kiranya
penanganan nyeri yang membutuhkan obat opioid dapat dilakukan. Terbatasnya
peredaran obat tersebut tidak terlepas pada kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan
obat.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANALGETIK OPIOID


A. Definisi
Opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium atau
morfin. Golongan obat ini terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan
rasa nyeri. Semua analgesik opioid menimbulkan adiksi/ketergantungan. Dengan kata
lain, opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan
reseptor morfin. Opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering digunakan
dalam anastesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri pasca
pembedahan. Opioid yang sering digunakan dalam anastesi antara lain adalah morfin,
petidin, fentanil.

B. Klasifikasi Opioid
Penggolongan opioid antara lain: 1. Opioid natural (morfin, kodein, pavaperin, dan
tebain) 2. Semisintetik (heroin, dihidro morfin/morfinon, derivate tebain) 3. Sintetik
(petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil dan remifentanil).

C. Mekanisme Kerja
Reseptor opioid sebenarnya tersebar luas diseluruh jaringan sistem saraf pusat,
tetapi lebih terkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem limbik, thalamus, hipothalamus
corpus striatum, sistem aktivasi retikuler dan di corda spinalis yaitu substantia
gelatinosa dan dijumpai pula di pleksus saraf usus. Molekul opioid dan polipeptida
endogen (metenkefalin, beta-endorfin, dinorfin) berinteraksi dengan reseptor morfin dan
menghasilkan efek. Suatu opioid mungkin dapat berinteraksi dengan semua jenis
reseptor akan tetapi dengan afinitas yang berbeda dan dapat bekerja sebagai agonis,
antagonis, dan campuran.

2
Secara umum, efek obat-obat narkotik/opioid antara lain ;
1. Efek sentral:
a. Menurunkan persepsi nyeri dengan stimulasi (pacuan) pada reseptor opioid (efek
analgesi)
b. Pada dosis terapik normal, tidak mempengaruhi sensasi lain.
c. Mengurangi aktivitas mental (efek sedative)
d. Menghilangkan kecemasan (efek transqualizer)
e. Meningkatkan suasana hati (efek euforia), walaupun sejumlah pasien merasakan
sebaliknya (efek disforia)
f. Menghambat pusat respirasi dan batuk (efek depresi respirasi dan antitusif)
g. Pada awalnya menimbulkan mual-muntah (efek emetik), tapi pada akhirnya
menghambat pusat emetik (efek antiemetik)
h. Menyebabkan miosis (efek miotik)
i. Memicu pelepasan hormon antidiuretika (efek antidiuretika)
j. Menunjukkan perkembangan toleransi dan dependensi dengan pemberian dosis yang
berkepanjangan.

2. Efek perifer:
a. Menunda pengosongan lambung dengan kontriksi pilorus
b. Mengurangi motilitas gastrointestinal dan menaikkan tonus (konstipasi spastik)
c. Kontraksi sfingter saluran empedu
d. Menaikkan tonus otot kandung kencing
e. Menurunkan tonus vaskuler dan menaikkan resiko reaksi ortostastik
f. Menaikkan insidensi reaksi kulit, urtikaria dan rasa gatal karena pelepasan histamin,
dan memicu bronkospasmus pada pasien asma.

3
Obat-obat opioid yang biasa digunakan dalam anastesi antara lain:

1. MORFIN
a. Farmakodinamik Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang
mengandung otot polos. Efek morfin pada sistem syaraf pusat mempunyai dua sifat
yaitu depresi dan stimulasi. Digolongkan depresi yaitu analgesia, sedasi, perubahan
emosi, hipoventilasi alveolar. Stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis, miosis,
mual muntah, hiperaktif reflek spinal, konvulsi dan sekresi hormon anti diuretika
(ADH).
b. Farmakokinetik Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus
kulit yang luka. Morfin juga dapat menembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi
usus, tetapi efek analgesik setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek
analgesik yang timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama.
Morfin dapat melewati sawar uri dan mempengaharui janin. Eksresi morfin
terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan
keringat.
c. Indikasi Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk meredakan atau
menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-opioid.
Apabila nyerinya makin besar dosis yang diperlukan juga semakin besar. Morfin
sering digunakan untuk meredakan nyeri yang timbul pada infark miokard,
neoplasma, kolik renal atau kolik empedu, oklusi akut pembuluh darah perifer,
pulmonal atau koroner, perikarditis akut, pleuritis dan pneumotorak spontan, nyeri
akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri pasca bedah.
d. Efek samping Efek samping morfin (dan derivat opioid pada umumnya) meliputi
depresi pernafasan, nausea, vomitus, dizzines, mental berkabut, disforia, pruritus,
konstipasi kenaikkan tekanan pada traktus bilier, retensi urin, dan hipotensi. e.
Dosis dan sediaan Morfin tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria. Morfin oral
dalam bentuk larutan diberikan teratur dalam tiap 4 jam. Dosis anjuran untuk
menghilangkan atau mengurangi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/ kg BB. Untuk
nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai yang
diperlukan.

4
2. PETIDIN
a. Farmakodinamik Meperidin (petidin) secara farmakologik bekerja sebagai
agonis reseptor µ. Seperti halnya morfin, meperidin (petidin) menimbulkan efek
analgesia, sedasi, euforia, depresi nafas dan efek sentral lainnya. Waktu paruh
petidin adalah 5 jam. Efektivitasnya lebih rendah dibanding morfin, tetapi lebih
tinggi dari kodein. Durasi analgesinya pada penggunaan klinis 3-5 jam.
Dibandingkan dengan morfin, meperidin lebih efektif terhadap nyeri neuropatik.
b. Perbedaan antara petidin (meperidin) dengan morfin sebagai berikut :
1). Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang larut
dalam air.
2). Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam
meperidinat dan asam normeperidinat. Normeperidin adalah metabolit yang
masih aktif memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek
analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli
ditemukan dalam urin.
3) Petidin bersifat atropin menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan
pandangan dan takikardia.
4) Petidin menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter oddi lebih
ringan.
5) Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tidak
ada hubungannya dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg i.v pada dewasa.
6) Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin.
Farmakokinetik Absorbsi meperidin dengan cara pemberian apapun
berlangsung baik. Akan tetapi kecepatan absorbsi mungkin tidak teratur
setelah suntikan IM. Kadar puncak dalam plasma biasanya dicapai dalam 45
menit dan kadar yang dicapai antar individu sangat bervariasi. Setelah
pemberian meperidin IV, kadarnya dalam plasma menurun secara cepat dalam
1-2 jam pertama, kemudian penurunan berlangsung lebih lambat. Kurang
lebih 60% meperidin dalam plasma terikat protein. Metabolisme meperidin
terutama dalam hati. Pada manusia meperidin mengalami hidrolisis menjadi
asam meperidinat yang kemudian sebagian mengalami konjugasi. Meperidin
dalam bentuk utuh sangat sedikit ditemukan dalam urin. Sebanyak 1/3 dari

5
satu dosis meperidin ditemukan dalam urin dalam bentuk derivat N-
demitilasi. Meperidin dapat menurunkan aliran darah otak, kecepatan
metabolik otak, dan tekanan intra kranial. Berbeda dengan morfin, petidin
tidak menunda persalinan, akan tetapi dapat masuk ke fetus dan menimbulkan
depresi respirasi pada kelahiran.
c. Indikasi Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada
beberapa keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya
yang lebih pendek daripada morfin. Meperidin digunakan juga untuk
menimbulkan analgesia obstetrik dan sebagai obat preanestetik.
d. Dosis dan sediaan Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ;
suntikan 10 mg/ml, 25 mg/ml, 50 mg/ml, 75 mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral
50 mg/ml. Sebagian besar pasien tertolong dengan dosis parenteral 100 mg.
Dosis untuk bayi dan anak ; 1-1,8 mg/kg BB.
e. Efek samping
Efek samping meperidin dan derivat fenilpiperidin yang ringan berupa
pusing, berkeringat, euforia, mulut kering, mual-muntah, perasaan lemah,
gangguan penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi.

3. FENTANIL
a. Farmakodinamik Turunan fenilpiperidin ini merupakan agonis opioid poten.
Sebagai suatu analgesik, fentanil 75-125 kali lebih poten dibandingkan dengan
morfin. Awitan yang cepat dan lama aksi yang singkat mencerminkan kelarutan
lipid yang lebih besar dari fentanil dibandingkan dengan morfin. Fentanil (dan
opioid lain) meningkatkan aksi anestetik lokal pada blok saraf tepi. Keadaan itu
sebagian disebabkan oleh sifat anestetsi lokal yamg lemah (dosis yang tinggi
menekan hantara saraf) dan efeknya terhadap reseptor opioid pada terminal saraf
tepi. Fentanil dikombinasikan dengan droperidol untuk menimbulkan
neureptanalgesia.

b. Farmakokinetik Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara


kualitatif hampir sama dengan dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru
ketika pertama kali melewatinya. Fentanil dimetabolisir oleh hati dengan N-

6
dealkilase dan hidrosilasidan, sedangkan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat
urin.

c. Indikasi Efek depresinya lebih lama dibandingkan efek analgesinya. Dosis 1-3
mg /kg BB analgesianya hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya
dipergunakan untuk anastesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis
besar 50-150 mg/kg BB digunakan untuk induksi anastesia dan pemeliharaan
anastesia dengan kombinasi bensodioazepam dan inhalasi dosis rendah, pada bedah
jantung. Sediaan yang tersedia adalah suntikan 50 mg/ml.

d. Efek samping Efek yang tidak disukai ialah kekakuan otot punggung yang
sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat mencegah
peningkatan kadar gula, katekolamin plasma, ADH, renin, aldosteron dan kortisol.

2.2 ANALGETIKA NON OPIOID (NSAID)


Obat-obatan dalam kelompok ini memiliki target aksi pada enzim, yaitu enzim
siklooksigenase (COX). COX berperan dalam sintesis mediator nyeri, salah satunya
adalah prostaglandin. Mekanisme umum dari analgetik jenis ini adalah mengeblok
pembentukan prostaglandin dengan jalan menginhibisi enzim COX pada daerah
yang terluka dengan demikian mengurangi pembentukan mediator nyeri.
Mekanismenya tidak berbeda dengan NSAID dan COX-2 inhibitors. Efek
samping yang paling umum dari golongan obat ini adalah gangguan lambung usus,
kerusakan darah, kerusakan hati dan ginjal serta reaksi alergi di kulit. Efek samping
biasanya disebabkan oleh penggunaan dalam jangka waktu lama dan dosis besar.
Obat-obat Nonopioid Analgesics (Generic name) Acetaminophen, Aspirin,
Celecoxib, Diclofenac, Etodolac, Fenoprofen, Flurbiprofen Ibuprofen,
Indomethacin, Ketoprofen, Ketorolac, Meclofenamate, Mefanamic acid
Nabumetone, Naproxen, Oxaprozin, Oxyphenbutazone, Phenylbutazone, Piroxicam
Rofecoxib, Sulindac, Tolmetin.

7
Deskripsi Obat Analgesik Non-opioid.
a. Salicylates
Contoh obatnya: Aspirin, mempunyai kemampuan menghambat biosintesis
prostaglandin. Kerjanya menghambat enzim siklooksigenase secara ireversibel,
pada dosis yang tepat, obat ini akan menurunkan pembentukan prostaglandin
maupun tromboksan A2, pada dosis yang biasa efek sampingnya adalah gangguan
lambung (intoleransi). Efek ini dapat diperkecil dengan penyangga yang cocok
(minum aspirin bersama makanan yang diikuti oleh segelas air atau antasid).

b. p-Aminophenol Derivatives
Contoh obatnya : Acetaminophen (Tylenol) adalah metabolit dari fenasetin.
Obat ini menghambat prostaglandin yang lemah pada jaringan perifer dan tidak
memiliki efek anti-inflamasi yang bermakna. Obat ini berguna untuk nyeri ringan
sampai sedang seperti nyeri kepala, mialgia, nyeri pasca persalinan dan keadaan
lain. Efek samping kadang-kadang timbul
10 kali peningkatan ringan enzim hati. Pada dosis besar dapat menimbulkan
pusing, mudah terangsang dan disorientasi.

c. Indoles and Related Compounds


Contoh obatnya : Indomethacin (Indocin), obat ini lebih efektif daripada
aspirin, merupakan obat penghambat prostaglandin terkuat. Efek samping
menimbulkan efek terhadap saluran cerna seperti nyeri abdomen, diare, pendarahan
saluran cerna, dan pancreatitis, serta menimbulkan nyeri kepala, dan jarang terjadi
kelainan hati.

d. Fenamates
Contoh obatnya : Meclofenamate (Meclomen), merupakan turunan asam
fenamat, mempunyai waktu paruh pendek, efek samping yang serupa dengan obat-
obat AINS baru

8
e. Miscellaneous Agents
Contoh obatnya: Oxaprozin (Daypro). Obat ini mempunyai waktu paruh yang
panjang. Obat in memiliki beberapa keuntungan dan resiko yang berkaitan dengan
obat AINS lain.

Contoh Obat
1. Ketorolak
Diberikan secara oral, intramuskular, intravena.
- Efek analgesia dicapai dalam 30 menit, maksimal setelah 1-2 jam.
- Lama kerja 4-6 jam.
- Dosis awal 10-30mg/hari dosis maks. 90mg/hari - 30mg ketorolak=12mg
morfin=100mg petidin, dapat digunakan bersama opioid.
- Cara kerja menghambat sintesis prostaglandin di perifer tanpa
mengganggu reseptor opioid di sistem saraf pusat.
- Tidak untuk wanita hamil, menghilangkan nyeri persalinan, wanita
menyusui, usia lanjut, anak usia <4th.

2. Ketoprofen
Diberikan secara oral, kapsul, tablet 100-200 mg/hari.
- Per-rektal 1-2 suppositoria.
- Suntikan intarmuskuler 100-300mg/hari.
- Intravena per-infus dihabiskan dalam 20 menit.
Efek samping golongan NSAID
- Gangguan saluran cerna: nyeri lambung, panas, kembung, mual-muntah,
konstipasi, diare, dispepsia, perdarahan tukak lambung, ulserasi mukosa
lambung.
- Hipersensitivitas kulit: gatal, pruritus, erupsi, urtikaria, sindroma Steven-
Johnson.
- Gangguan fungsi ginjal: penurunan aliran darah ginjal, penurunan laju
filtrasi glomerulus, retensi natrium, hiperkalemia, peningkatan ureum-

9
kreatinin, pererenal azotemia, nekrosis papil ginjal, nefritis, sindroma
nefrotik.
- Gangguan fungsi hepar: peningkatan SGOT, SGPT, gamma globulin,
bilirubin, ikterus hepatoseluler.
- Gangguan sistem darah: trombositopenia, leukimia, anemia aplastik. -
Gangguan kardiovaskuler: akibat retensi air menyebabkan edema,
hipertensi, gagal jantung.
- Gangguan respirasi: tonus bronkus meningkat, asma.
- Keamanan belum terbukti pada wanita hamil, menyusui, proses
persalinan, anak kecil, manula.

10
BAB III
PENUTUP

1. Pengaruh dari berbagai obat golongan opioid sering dibandingkan


dengan morfin, dan tidak semua obat golongan opioid yang dipasarkan
di Indonesia. Terbatasnya peredaran obat tersebut tidak terlepas pada
kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan obat.
2. Opioid yang sering digunakan dalam anastesi antara lain adalah morfin,
petidin, fentanil.
3. Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan
dengan reseptor morfin. Opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik
yang sering digunakan dalam anastesia untuk mengendalikan nyeri saat
pembedahan dan nyeri pasca pembedahan.
4. Analgetik non opioid bekerja dengan cara mengeblok pembentukan
prostaglandin dengan jalan menginhibisi enzim COX pada daerah yang
terluka dengan demikian mengurangi pembentukan mediator nyeri,
dengan salah satu contoh obatnya adalah ketorolac.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. H. Sardjono, Santoso dan Hadi rosmiati D farmakologi dan terapi, bagian


farmakologi FK-UI, Jakarta, 1995 ; hal ; 189-206.
2. Latief. S. A, Suryadi K. A, dan Dachlan M. R, Petunjuk Praktis Anestesiologi,
Edisi II, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI, Jakarta, Juni, 2001, hal
; 77-83, 161.
3. Muhardi dan Susilo, Penanggulangan Nyeri Pasca Bedah, Bagian Anestiologi
dan Terapi Intensif FK-UI, Jakarta 1989, hal ; 199.
4. Omorgui, s, Buku Saku Obat-obatan Anastesi, Edisi II, EGC, Jakarta, 1997, hal ;
203- 207.
5. Samekto wibowo dan Abdul gopur, farmako terapi dalam neuorologi, penerbit
salemba medika ; hal : 138-143.
6. Sunatrio. S, ketamin vs Petidin as Analgetic for Tiva with Propofol, majalah
Kedokteran Indonesia, vol : 44, nomor : 5, mei 1994, hal ; 278-279.
7. Weinstein SL, Buckwalter JA. Turek’s Orthopaedics Principles and Their
Application. 6th ed. Iowa: Lippincott Williams & Wilkins; 2005. p. 88-93 Brown
SE. How To Speed Fracture Healing [Internet]. [cited 2012 Dec 6]. Available
from: http://www.sygdoms.com/pdf/fracture/8.pdf

12

You might also like