You are on page 1of 29

PAPER NAMA: ENDANG RAHMADHANI HRP

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100047


FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

PAPER
MIOPIA PATOLOGIS

Disusun oleh :
Endang Rahmadhani Harahap
130100047

Supervisor :
dr. Aryani A. Amra, M.Ked(Oph), Sp.M(K)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK
MEDAN
2018
PAPER NAMA: ENDANG RAHMADHANI HRP
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100047
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah “Miopia
Patologis” tepat pada waktunya.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dr. Aryani A. Amra, M.Ked(Oph), Sp.M(K) selaku pembimbing
yang telah meluangkan waktu untuk memberikan masukan dan saran dalam
penyusunan makalah ini.
Adapun tujuan penulisan makalah ini ialah untuk memberikan informasi
mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan Miopia Patologis. Dengan
demikian diharapkan makalah ini dapat memberikan kontribusi positif dalam
proses pembelajaran serta diharapkan mampu berkontribusi dalam sistem
pelayanan kesehatan secara optimal.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, penulis menerima kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan makalah di masa yang akan datang. Akhir kata, penulis mengucapkan
terima kasih.

Medan, Februari 2018

Penulis

i
PAPER NAMA: ENDANG RAHMADHANI HRP
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100047
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 2
2.1. Anatomi Mata ............................................................................. 2
2.1.1. Konjungtiva ....................................................................... 2
2.1.2. Sklera ................................................................................ 3
2.1.3. Kornea ............................................................................... 3
2.1.4. Uvea .................................................................................. 3
2.1.5. Lensa ................................................................................. 4
2.1.6. Badan Vitreus ................................................................... 4
2.1.7. Retina ................................................................................ 5
2.2. Fisiologi Penglihatan .................................................................. 6
2.3. Miopia ......................................................................................... 7
2.3.1. Definisi .............................................................................. 7
2.3.2. Klasifikasi ......................................................................... 8
2.4. Miopia Patologis ......................................................................... 10
2.4.1. Definisi .............................................................................. 10
2.4.2. Etiologi .............................................................................. 10
2.4.3. Patogenesis ........................................................................ 10
2.4.4. Gejala Klinis...................................................................... 11
2.4.5. Diagnosis ........................................................................... 12
2.4.6. Penatalaksanaan ................................................................ 17
2.4.7. Komplikasi ........................................................................ 20
2.4.8. Prognosis ........................................................................... 21
BAB 3 KESIMPULAN .................................................................................. 22
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 23
LAMPIRAN

ii
PAPER NAMA: ENDANG RAHMADHANI HRP
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100047
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Struktur bagian dalam mata manusia ................................................. 2


2.2. Refraksi pada Miopia ......................................................................... 7
2.3. Myopic Crescents pada miopia .......................................................... 14
2.4. Lattice Degeneration pada miopia tinggi ........................................... 15
2.5. Stafiloma posterior pada miopia degeneratif .................................... 15
2.6. Lacquer cracks pada miopia patologis ............................................... 16
2.7. Gambaran Fuchs'spot di daerah makula pada miopia ........................ 17

iii
PAPER NAMA: ENDANG RAHMADHANI HRP
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100047
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Miopia merupakan kelainan refraksi dengan bayangan sinar dari suatu
objek yang jauh difokuskan di depan retina pada mata yang tidak berakomodasi.1
Miopia berasal dari bahasa Yunani “muopia” yang memiliki arti menutup mata.
Miopia merupakan manifestasi kabur bila melihat jauh, istilah populernya adalah
near sightedness.2 Berdasarkan gambaran klinis, miopia dapat diklasifikasikan
menjadi miopia simpel, miopia nokturnal, miopia degeneratif atau patologis,
pseudomyopia, dan induced myopia.2
Miopia patologis adalah miopia dengan ukuran 6 dioptri atau lebih disertai
kelainan pada fundus okuli dan pada panjangnya bola mata sampai terbentuk
stafiloma postikum yang terletak pada bagian temporal papil disertai dengan atrofi
korioretina.3
Miopia patologis adalah salah satu penyebab utama kebutaan di dunia.4
Miopia degeneratif dilaporkan menjadi penyebab kebutaan ketujuh di Amerika
Serikat, keempat di Hongkong, dan kedua di Cina dan Jepang.5 Miopia degeneratif
tampaknya merupakan suatu kondisi genetik yang diwariskan sehingga
menyebabkan kondisi ini menjadi bervariasi begitu banyak antar berbagai
kelompok ras atau etnis. Seorang individu yang terkena akan menunjukkan
percepatan pertumbuhan ukuran mata selama periode pertumbuhan normal anak-
anak dan remaja, remaja akhir, ukuran mata jauh lebih panjang dari ukuran
normal sehingga mata mengalami miopia aksial tinggi. Bayangan akan jatuh di
depan retina. Hal ini dapat dikoreksi dengan menggunakan kacamata, lensa
kontak, dan bedah refraktif.1,5
Sayangnya, bentuk miopia ini sering berlangsung progresif dalam
kehidupan dewasa, dengan proses yang berlangsung bertahap pada berbagai usia
Kebanyakan kebutaan pada miopia degeneratif disebabkan oleh peregangan dan
penipisan mata bagian dalam. Sklera, koroid, retina, dan permukaan antara retina
dan cairan vitreus dipengaruhi oleh deformasi ini.5

1
PAPER NAMA: ENDANG RAHMADHANI HRP
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100047
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Mata

Gambar 2.1. Struktur bagian dalam mata manusia6


(Sumber: Oftalmologi Umum Vughan & Asbury.EGC: 2009. Ed. 17)

2.1.1. Konjungtiva
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan
dengan kulit pada tepi palpebra (suatu sambungan mukokutan) dan dengan epitel
kornea di limbus.6

2
PAPER NAMA: ENDANG RAHMADHANI HRP
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100047
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

2.1.2. Sklera
Sklera adalah selaput mata yang berwarna putih dan berfungsi sebagai
pembungkus dan pelindung isi bola mata. Permukaan luar sklera diselubungi oleh
lapisan tipis dari jaringan yang elastis dan halus, yaitu episklera yang banyak
mengandung pembuluh darah yang mendarahi sklera sedangkan pada permukaan
sklera bagian dalam terdapat lapisan pigmen berwarna coklat, yaitu lamina fuska
yang membatasi sklera dengan koroid.6

2.1.3. Kornea
Kornea adalah selaput bening mata yang tembus cahaya, merupakan
jaringan yang menutup bola mata sebelah depan. Tebal kornea rata-rata orang
dewasa adalah 0,65 mm di bagian perifer dan 0,55 mm di bagian tengah (terdapat
variasi menurut ras), diameter horizontalnya sekitar 11,75 mm dan vertikalnya
10,6 mm. Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan merupakan tempat
masuknya cahaya ke dalam bola mata menuju ke retina. Sumber nutrisi kornea
adalah pembuluh-pembuluh darah di limbus, cairan mata dan air mata. Kornea
terdiri dari lima lapisan, yaitu:
• Lapisan epitel mempunyai lima atau enam lapis sel
• Membran Bowman merupakan lapisan jernih aselular
• Stroma kornea menyusun sekitar 90% ketebalan kornea yang tersusunatas
serat-serat kolagen
• Membran Descement merupakan lamina basalis endotel kornea
• Lapisan endotel hanya mempunyai satu lapis sel dan berperan dalam
mempertahankan deturgesensi stroma kornea.6

2.1.4. Uvea
Uvea adalah lapisan vaskular di dalam bola mata dan dilindungi oleh
kornea dan sklera yang terdiri dari 3 bagian, yaitu:
a. Iris, merupakan perpanjangan badan siliar ke anterior mempunyai permukaan
yang relatif datar dengan celah yang berbentuk bulat di tengahnya, yang
disebut pupil. Iris mempunyai kemampuan untuk mengatur banyaknya cahaya

3
PAPER NAMA: ENDANG RAHMADHANI HRP
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100047
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

yang masuk ke dalam bola mata secara otomatis dengan mengecilkan dan
melebarkan pupil. Pupil dapat mengecil akibat suasana cahaya yang terang
dan melebar akibat suasana cahaya yang redup atau gelap yang dipengaruhi
oleh persarafan simpatis (midriasis) dan parasimpatis (miosis).
b. Badan siliar, merupakan susunan otot melingkar yang berfungsi mengubah
tegangan kapsul lensa sehingga lensa dapat fokus untuk objek dekat atau jauh
dalam lapang pandang dan mempunyai sistem ekskresi yang terdiri dari dua
bagian, yaitu korona siliar yang berkerut-kerut dengan tebal 2 mm dan pars
plana yang lebih halus dan rata dengan tebal 4 mm.
c. Koroid, merupakan segmen posterior uvea terletak di antara retina dan sklera
yang berisi pembuluh-pembuluh darah dalam jumlah yang sangat besar,
berfungsi untuk memberi nutrisi pada retina bagian terluar yang terletak di
bawahnya. Bagian dalam pembuluh darah koroid disebut koriokapilaris.6

2.1.5. Lensa
Lensa merupakan struktur bikonveks, avaskular, tak berwarna dan terletak
dibelakang iris yang terdiri dari zat tembus cahaya yang dapat menebal dan
menipis pada saat terjadinya akomodasi (terfokusnya objek dekat pada retina)
dengan tebal 4 mm dan diameter 9 mm yang mempuyai sifat kenyal atau lentur
dan jernih (transparan). Kapsul lensa adalah membran semi permeabel yang dapat
dilewati air dan elektrolit. Lensa terdiri atas 65% air dan 35% protein. Lensa
ditahan di tempatnya oleh ligamentum suspensorium yang dikenal sebagai Zonula
Zinnii. Seiring dengan bertambah usia, lensa perlahan menjadi lebih besar dan
kurang elastis.6

2.1.6. Badan Vitreus


Badan vitreus merupakan suatu badan gelatin yang jernih yang terletak
antara lensa dan retina. Badan vitreus bersifat semicair yang mengandung 99%air
dan 1% terdiri dari 2 komponen, yaitu kolagen dan asam hialuronat. Fungsi badan
vitreus adalah mempertahankan bola mata agar tetap bulat dan meneruskan sinar
dari lensa ke retina.6

4
PAPER NAMA: ENDANG RAHMADHANI HRP
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100047
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

2.1.7. Retina
Retina adalah selembar tipis jaringan saraf yang semi transparan dan multi
lapis yang melapisi bagian dalam 2/3 poterior dinding bola mata. Retina
membentang ke anterior hampir sama jauhnya dengan korpus siliaris dan berakhir
di tepi ora serrata. Pada orang dewasa, ora serrata berada disekitar 6,5 mm di
belakang garis Schwalbe pada sisi temporal dan 5,7 mm di belakang garis ini pada
sisi nasal.
Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0,23 mm pada
sentral retina. Di tengah-tengah retina posterior terdapat makula. Di tengah
makula, sekitar 3,5 mm sebelah lateral diskus optikus terdapat fovea. Retina
menerima asupan darah dari dua sumber: koriokapilaris yang berada tepat di luar
membran Bruch yang memperdarahi sepertiga luar retina, termasuk lapisan
pleksiformis luar dan lapisan inti luar fotoreseptor dan lapisan epitel pigmen
retina; serta cabang-cabang dari ateria sentralis retina yang memperdarahi dua
pertiga sebelah dalam. Berdasarkan topografi, retina dibagi menjadi retina sentral
yaitu kurang lebih sama dengan daerah makula dan retina perifer yaitu di daerah
retina di luar daerah makula.
Fungsi retina pada dasarnya ialah menerima bayangan visual yang dikirim
ke otak. Bagian sentral retina atau daerah makula mengandung lebih banyak
fotoreseptor kerucut daripada bagian perifer retina yang memiliki banyak sel
batang. Retina manusia terdiri atas sepuluh lapis. Urutan lapisan-lapisan tersebut
(ke arah kornea) adalah:
1. Epitel pigmen retina
2. Lapisan fotoreseptor, merupakan lapis terluar retina terdiri atas sel batang
(rods) yang mempunyai bentuk ramping, dan sel kerucut (cones).
3. Membran limitans eksterna, merupakan membran ilusi.
4. Lapisan nukleus luar, merupakan susunan lapis nukleus sel batang dan
kerucut. Ketiga lapis di atas avaskuler dan mendapat metabolisme dari kapiler
koroid.
5. Lapisan pleksiformis luar, merupakan lapisan aseluler dan merupakan tempat
sinapsis sel fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal.

5
PAPER NAMA: ENDANG RAHMADHANI HRP
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100047
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

6. Lapisan nukleus dalam, merupakan tubuh sel bipolar, sel horizontal dan sel
muller. Lapis ini mendapat metabolisme dari arteri retina sentral.
7. Lapisan pleksiformis dalam, merupakan lapisan aseluler, tempat sinaps sel
bipolar, sel amakrin dengan sel ganglion.
8. Lapisan sel ganglion, merupakan lapisan yang terdiri dari inti sel ganglion
dan merupakan asal dari serat saraf optik.
9. Lapisan serabut saraf, merupakan lapisan akson sel ganglion menuju kearah
saraf optik. Di dalam lapisan ini terletak sebagian besar pembuluh darah
retrina.
10. Membran limitans interna, merupakan membran hialin antara retina dan
badan kaca.6

2.2. Fisiologi Penglihatan


Proses visual dimulai saat cahaya memasuki mata, terfokus pada retina dan
menghasilkan sebuah bayangan yang kecil dan terbalik. Ketika dilatasi maksimal,
pupil dapat dilalui cahaya sebanyak lima kali lebih banyak dibandingkan ketika
sedang konstriksi maksimal. Diameter pupil ini sendiri diatur oleh dua elemen
kontraktil pada iris yaitu papillary constrictor yang terdiri dari otot-otot sirkuler
dan papillary dilator yang terdiri dari sel-sel epitelial kontraktil yang telah
termodifikasi. Sel-sel tersebut dikenal juga sebagai myoepithelial cells.7
Jika sistem saraf simpatis teraktivasi, sel-sel ini berkontraksi dan
melebarkan pupil sehingga lebih banyak cahaya dapat memasuki mata. Kontraksi
dan dilatasi pupil terjadi pada kondisi dimana intensitas cahaya berubah dan
ketika kita memindahkan arah pandangan kita ke benda atau objek yang dekat
atau jauh. Pada tahap selanjutnya, setelah cahaya memasuki mata, pembentukan
bayangan pada retina bergantung pada kemampuan refraksi mata.7
Beberapa media refraksi mata yaitu kornea, akuos humor, dan lensa.
Kornea merefraksi cahaya lebih banyak dibandingkan lensa. Lensa hanya
berfungsi untuk menajamkan bayangan yang ditangkap saat mata terfokus pada
benda yang dekat dan jauh. Setelah cahaya mengalami refraksi, melewati pupil
dan mencapai retina, tahap terakhir dalam proses visual adalah perubahan energi

6
PAPER NAMA: ENDANG RAHMADHANI HRP
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100047
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

cahaya menjadi aksi potensial yang dibentuk pada lapisan sensori retina, sinyal
yang terbentuk akan diteruskan ke nervus optikus, kiasma optikum, traktus
optikum, genikulatum lateral dari talamus, kolikulus superior, dan korteks serebri
yang kemudian memprosesnya sehingga dapat mengenali gambar tersebut.7.

2.3. Miopia
2.3.1. Definisi
Miopia adalah kelainan refraksi pada mata dimana bayangan difokuskan di
depan retina, ketika mata tidak dalam kondisi berakomodasi. Ini juga dapat
dijelaskan pada kondisi refraktif dimana cahaya yang sejajar dari suatu objek yang
masuk pada mata akan jatuh di depan retina, tanpa akomodasi.1,2

Gambar 2.2. Refraksi pada Miopia8


(Sumber: Lang GK. Ophthalmology: 2000)

7
PAPER NAMA: ENDANG RAHMADHANI HRP
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100047
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

2.3.2. Klasifikasi
a. Klasifikasi berdasarkan etiologi9
Berdasarkan penyebabnya, miopia dapat diakibatkan oleh beberapa hal berikut:
1. Miopia Aksial
Panjang aksial bola mata lebih panjang dari normal walaupun kornea dan
kurvatura lensa normal dan lensa dalam posisi anatominya normal.
2. Miopia Kurvatur
Mata memiliki panjang aksial bola mata normal, tetapi kekuatan refraksi mata
lebih besar dari normal karena kelengkungan dari kornea lebih curam dari
rata-rata, misalnya: pembawaan sejak lahir.
3. Miopia Indeks
Peningkatan indeks refraksi dari lensa berhubungan dengan permulaan dini
atau moderat dari katarak nuklear sklerotik.
4. Miopia Posisional
Pergerakan lensa ke anterior sering terlihat setelah operasi glaukoma dan
akan meningkatkan miopia pada mata.
5. Miopia dengan akomodasi berlebihan

b. Klasifikasi berdasarkan klinis2


1. Simple Myopia
Status refraksi mata dengan simple myopia bergantung pada kekuatan
optik dari kornea dan lensa kristalin, dan panjang dari aksial. Simple myopia
merupakan miopia yang paling sering dijumpai dan dianggap sebagai suatu proses
fisiologis yang berhubungan dengan proses pertumbuhan normal dari tiap-tiap
komponen refraksi dari mata. Miopia ini paling sering dijumpai pada anak usia
sekolah atau “school myopia”, yaitu pada umur 8-12 tahun. Akibat dari proses ini
menimbulkan miopia ringan dan sedang.

2. Nocturnal Myopia
Nocturnal Myopia atau miopia malam terjadi hanya pada pencahayaan
yang redup. Hal ini terutama diakibatkan oleh meningkatnya respon akomodasi
yang berhubungan dengan level cahaya. Karena kontras yang diberikan tidak

8
PAPER NAMA: ENDANG RAHMADHANI HRP
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100047
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

cukup untuk memberikan stimulus akomodasi, mata mengasumsikan fokus pada


kondisi gelap terhadap posisi akomodasi daripada fokus terhadap tidak terbatas.

3. Pseudomyopia
Pseudomyopia merupakan hasil dari peningkatan kekuatan refraksi okular
karena berlebihnya stimulasi dari mekanisme akomodasi mata atau spasme
siliaris. Kondisi ini dinamakan demikian karena pasien hanya mengalami miopia
karena respon akomodasi yang tidak tepat.

4. Degenerative Myopia
Beratnya derajat miopia yang berkaitan dengan proses degenerasi dari
segmen posterior mata dikenal sebagai miopia degeneratif atau miopia patologi.
Perubahan degenerasi dapat merupakan hasil dari fungsi visual yang abnormal,
seperti menurunnya ketajaman visual atau perubahan lapangan pandang. Sekuele
seperti retinal detachment dan glaukoma merupakan hal yang sering terjadi pada
miopia degeneratif.

5. Induced Myopia
Induced myopia merupakan hasil dari paparan berbagai agen farmakologi,
variasi level gula darah, sklerosis nuklear dari lensa kristalin, atau kondisi
kelainan lainnya. Miopia sering terjadi sementara dan reversibel.
Derajat miopia diukur oleh kekuatan korektif lensa sehingga bayangan dapat jatuh
di retina, yang dapat diklasifikasikan menjadi:
 Miopia ringan : <-3.00D
 Miopia sedang : -3.00 D s/d -6.00D
 Miopia tinggi : >-6.00 D
Klasifikasi miopia beradasarkan usia dapat dibagi menjadi sebagai berikut:
 Kongenital (sejak lahir dan menetap pada masa anak-anak)
 Miopia onset anak-anak (di bawah usia 20 tahun)
 Miopia onset awal dewasa (di antara usia 20 sampai 40 tahun)
 Miopia onset dewasa (di atas usia 40 tahun)

9
PAPER NAMA: ENDANG RAHMADHANI HRP
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100047
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

2.4. Miopia Patologis


2.4.1 Definisi
Miopia patologis adalah miopia dengan ukuran 6 dioptri atau lebih disertai
kelainan pada fundus okuli dan pada panjangnya bola mata sampai terbentuk
stafiloma postikum yang terletak pada bagian temporal papil disertai dengan atrofi
korioretina.3

2.4.2. Etiologi1,10
Beberapa hal yang menyebabkan terjadinya miopia patologi diantaranya adalah:
a. Faktor Keturunan
Penelitian ginekologis telah memberikan banyak bukti bahwa faktor
keturunan merupakan faktor etiologi utama terjadinya miopia patologi. Cara
transmisi dari miopia patologi adalah autosomal resesif, autosomal dominan, sex
linked dan derajat miopia yang diturunkan ternyata bervariasi.

b. Faktor Perkembangan
Bukti yang ada menunjukkan bahwa faktor prenatal dan perinatal turut
berperan serta menyebabkan miopia patologi. Penyakit ibu yang dikaitkan dengan
penderita miopia kongenital adalah hipertensi sistemik, toksemia, dan penyakit
retina. Faktor lain yang dianggap berhubungan dengan miopia patologi adalah
kelahiran prematur yakni berat badan lahir kurang dari 2500 gram dan hal ini
berkaitan dengan defek mesodermal yang berkaitan dengan prematuritas.

2.4.3. Patogenesis10
a. Teori Mekanik
Menurut teori ini miopia tinggi disebabkan karena peregangan sklera.
Peregangan ini dapat terjadi pada sklera yang normal ataupun yang sudah lemah.
Adanya konvergensi yang berlebih, akomodasi yang terus-menerus dan kontraksi
muskulus orbikularis okuli akan mengakibatkan tekanan intraokular meningkat
yang selanjutnya menimbulkan peregangan sklera. Selain itu pada akomodasi
dimana terjadi kontraksi muskulus siliaris akan menarik koroid, sehingga

10
PAPER NAMA: ENDANG RAHMADHANI HRP
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100047
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

menyebabkan atropi. Konvergensi dan posisi bola mata ke arah inferior pada
waktu membaca menyebabkan pole posterior tertarik oleh nervus optikus.
Melemahnya sklera diduga juga menjadi penyebab membesarnya bola
mata. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
 Kongesti sklera
 Inflamasi sklera
 Malnutrisi
 Endokrin
 Keadaan umum
 Skleromalasia
Jadi menurut teori ini, terdapat kaitan antara timbulnya dan progresivitas
miopia dengan kebiasaan melihat dekat dan keadaan umum seseorang.

b. Teori Biologi
Teori ini timbul setelah pengamatan bahwa miopia aksial adalah herediter,
penipisan bola mata hanya di daerah pole posterior, degenerasi retina terjadi
sekunder setelah atrofi koroid dan adanya perubahan-perubahan atrofi yang tidak
sesuai dengan besarnya pemanjangan bola mata.
Faktor timbulnya miopia terdapat pada jaringan ektodermal yaitu retina,
sedangkan jaringan mesodermal di sekitarnya tetap normal. Retina tumbuh lebih
menonjol dibandingkan dengan koroid dan sklera. Pertumbuhan retina yang
abnormal ini diikuti dengan penipisan sklera dan peregangan koroid. Koroid yang
peka terhadap regangan akan menjadi atrofi. Seperti diketahui pertumbuhan sklera
berhenti pada janin berumur 5 bulan sedangkan bagian posterior retina masih
tumbuh terus sehingga bagian posterior sklera menjadi paling tipis.

2.4.4. Gejala Klinis9


Pada penderita miopia degeneratif didapatkan tanda dan gejala sebagai berikut:
a. Penurunan tajam penglihatan (visus)
Penurunan visus yang bertahap setelah usia pertengahan disebabkan proses
degenerasi yang melibatkan makula, tapi bisa juga karena katarak, ablasio retina,

11
PAPER NAMA: ENDANG RAHMADHANI HRP
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100047
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

dan glaukoma. Bila penderita mengeluh penurunan visus tiba-tiba, harus


dilakukan pemeriksaan fundus perifer karena kemungkinan hal ini diakibatkan
adanya retinal tears yang mengenai pembuluh darah kecil dengan konsekuensi
perdarahan intravitreal.

b. Floaters
Merupakan keluhan lapangan pandang paling sering. Hal ini terjadi pada
awal dari proses degenerasi vitreus. Keluhan berupa bayangan berupa goresan di
dalam lapangan pandang, dan bila bayangan goresan itu bertambah merupakan
tanda adanya vitreous detachment dan hyaloid hole di dekat aksis visual.

c. Astenopia
Astenopia disebabkan kemampuan mata yang hanya dapat melihat pada
jarak dekat dan memerlukan konvergensi berlebihan tanpa menggunakan
kacamata koreksi.

d. Sefalgia
Sakit kepala dan daerah mata atau periorbital kadang-kadang dikeluhkan
oleh penderita.

e. Fotopsia
Keluhan yang paling sering adalah melihat kilat yang diasumsikan sebagai
adanya traksi retina dan awal dari suatu ablasio retina atau ada goncangan vitreus
yang encer.

2.4.5. Diagnosis
Penegakan diagnosis miopia patologi didasarkan pada:
a. Anamnesis1,10
Pada anamnesis, gejala yang sering dikeluhkan penderita dengan miopia
patologi adalah menurunnya penglihatan jauh bahkan dengan pemberian lensa
koreksi, pada penderita sering dijumpai penurunan kemampuan untuk melihat
dengan jelas. Penderita merasa tidak nyaman ketika menggunakan lensa koreksi,
dimana kacamata untuk miopia derajat tinggi biasanya berat dengan distorsi yang
bermakna di tepi lensa, lapangan pandang juga terbatas. Penderita merasa tidak

12
PAPER NAMA: ENDANG RAHMADHANI HRP
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100047
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

nyaman, tetapi juga tidak dapat melakukan aktivitas tanpa menggunakan


kacamatanya.

b. Pemeriksaan Fisik10
Pada penderita dengan miopia patologi dapat mengalami nistagmus atau
strabismus. Terdapat 28,8% penderita miopia kongenital menjadi strabismus, 89%
mengalami esotropia, 11% mengalami eksotropia serta 3% mengalami nistagmus.
Pada sebagian besar penderita, mata akan menjadi lebih besar, kornea akan
lebih datar dan tipis, pupil akan mengalami dilatasi, bilik mata depan akan lebih
dalam. Banyak penderita akan mengalami sklera yang translusen dan tampak
biru.Badan siliaris biasanya terletak lebih posterior, lebih panjang, datar, dan
atrofi.

c. Pemeriksaan Penunjang
Funduskopi
Pemeriksaan funduskopi pada miopia patologi akan dijumpai kelainan
sebagai berikut:
1. Lensa
Prevalensi katarak pada miopia patologi adalah dua kali lipat dari
populasi normal, dan terjadi pada usia-usia awal, umumnya nuklear atau
subkapsuler. Ekstraksi katarak pada miopia tinggi harus dipertimbangkan dengan
cermat karena penderita muda dengan derajat miopia tinggi memiliki resiko
retinal detachment yang meningkat post ekstraksi katarak.10

2. Vitreus
Vitreus mengalami degenerasi dan pencairan. Semakin tua penderita,
semakin tinggi derajat miopia, semakin besar derajat keparahan degenerasi
vitreus. Degenerasi vitreus ini menghasilkan filament-filamen vitreus yang
tampak sebagai vitreous floaters. Pencairan vitreus menyebabkan terjadinya
posterior vitreous detachment (PVD). Perubahan-perubahan pada vitreus ini
meningkatkan prevalensi terjadinya retinal tears, retinal haemorrhages, retinal
detachment. Kelainan-kelainan ini sering terjadi di area superotemporal retina.10

13
PAPER NAMA: ENDANG RAHMADHANI HRP
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100047
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

3. Perubahan pada diskus optikus


Ukuran dan bentuk diskus optikus meningkat, menjadi lebih besar dan
bentuknya oval vertikal. Cup-disc ratio (CD ratio) pada diskus meningkat, tapi
kedalamannya normal. Terdapat tarikan pada permukaan nervus optikus nasal
sehingga akan mengangkat bagian-bagian nasal dari diskus optikus. Perubahan ini
disebut supertraksi nasal.10
Epitel pigmen retina dan koroid tertarik menjauh dari diskus. Sehingga
tampak sklera. Biasanya tampak pada daerah temporal. Tampak pembuluh darah
koroid. Semua ini disebut myopic crescent. Myopic crescent lebih besar terjadi
pada panjang aksial bola mata lebih dari 25 mm.10

Gambar 2.3.Myopic Crescents pada miopia11


(Sumber: Kanski’s Clinical Ophthalmology a Systematic Approach. Elsevier: 2016)

4. Perubahan pada retina perifer


Pemanjangan aksial bola mata pada miopia patologi mempengaruhi daerah
retina perifer. Elemen-elemen retina mengalami proses peregangan dan
menurunnya suplai darah, arteri vena retina tampak lebih lurus, retina akan
mengalami penipisan. Epitel pigmen retina akan mengalami penipisan, pigmen-
pigmen menggumpal dan akan bergerak ke inner layer retina.10
Semua perubahan tersebut disebut lattice degeneration. Lattice
degeneration adalah hal yang bermakna oleh karena meningkatkan resiko

14
PAPER NAMA: ENDANG RAHMADHANI HRP
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100047
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

terjadinya hole ataupun retinal detachment. Perubahan-perubahan ini biasanya


dimulai dari daerah superotemporal.10

Gambar 2.4.Lattice DegenerationGambar 2.5.Stafiloma posterior pada pada


miopia tinggi11 miopia degeneratif13
(Sumber: Kanski’s Clinical Sumber: (Degenerative Myopia
Ophthalmology a Systematic Progression: Case Report and Review.
Approach. Elsevier: 2016) iMedPub Journal. 2015)

5. Sklera
Karena sklera tidak memberikan dukungan yang memadai bagi bola mata
pada miopia patologi, mata memanjang kearah posterior dan semua lapisan bola
mata pada kutub posterior mengalami perubahan degeneratif yang semakin
bertambah seiring berjalannya waktu, salah satu yang terjadi adalah stafiloma
posterior. Ini biasanya berkembang antara usia 9 sampai dengan 26 tahun.
Stafiloma paling sering di daerah diskus dan area makula.10

6. Koroid
Perubahan pada koroid terutama terjadi pada fase lanjut. Proses yang pasti
dari degenerasi dan atrofi koroid masih belum diketahui, tetapi hal ini terkait
dengan pemanjangan aksial mata. Saat kutub posterior memanjang, koroid
meregang dan menipis menyebabkan hilangnya stroma koroid dan menurunnya

15
PAPER NAMA: ENDANG RAHMADHANI HRP
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100047
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

sirkulasi pembuluh darah koroid, termasuk koriokapilaris. Saat proses


pemanjangan berlanjut, terjadi ruptur pada epitel pigmen retina, membran Bruch
dan koriokapiler yang menyebabkan terjadinya pendarahan subretinal dan lebih
jauh adalah neovaskularisasi koroid.10
Pada proses penyembuhan ruptur ini, tampak sebagai garis halus, irregular,
saling silang, putih kekuningan yang mirip retakan-retakan tidak teratur dan
disebut Lacquer cracks. Saat proses degeneratif berlanjut, koroid akan atrofi dan
tampak kekuningan atau keputihan. Jaringan koroid hilang tampak daerah yang
tidak mengandung koroid disebut bare sclera dan sering diikuti penumpukan
pigmen pada daerah tersebut.12

Gambar 2.6.Lacquer crackspada miopia patologis11


(Sumber: Kanski’s Clinical Ophthalmology a Systematic Approach. Elsevier: 2016)

7. Perubahan Pada Area Makula


Terdapat penipisan pada retina, kehilangan sel-sel rods dan sel-sel cones
serta area makula lebih datar. Terjadi degenerasi kistik serta atrofi. Perubahan
yang sering terjadi pada area makula adalah bintik Fuchs, bintik ini merupakan
degenerasi terlokalisir, terkait dengan pertumbuhan jaringan neovaskular koroid
menjadi ruang epitel pigmen subretina dan proliferasi epitelium pigmen retina
pada jaringan. Munculnya bintik biasanya terkait dengan pendarahan dari jaringan
neovaskuler.10
Gambaran oftalmoskop bintik Fuchs bervariasi. Pada tahap awal (sebelum
perdarahan), tampak gambaran sebagai bintik gelap, bulat atau oval dan berbatas

16
PAPER NAMA: ENDANG RAHMADHANI HRP
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100047
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

tegas, dikelilingi retina yang tampak normal. Warnanya bisa tampak abu-abu,
hijau keabu-abuan atau merah keabu-abuan, tergantung keberadaan jaringan lain.
Ukurannya bisa lebih kecil atau lebih besar dari diskus optikus. Perubahan lain
pada makula adalah macular holes. Ini disebabkan oleh efek traksi dari
vitreoretinal.10

Gambar 2.7.Gambaran Fuchs'spot di daerah makula padamiopia11


(Sumber: Kanski’s Clinical Ophthalmology a Systematic Approach. Elsevier: 2016)

2.4.6. Penatalaksanaan
Sampai saat ini dikenal berbagai usaha untuk mengatasi miopa
degeneratif, akan tetapi hasilnya belum ada yang memuaskan. Penatalaksanaan
miopia patologi terdiri dari:
a. Koreksi refraksi
Langkah pertama dalam penatalaksanaan miopia patologi adalah koreksi
refraktif baik dengan lensa oftalmik atau lensa kontak. Koreksi refraksi yang
paling sesuai adalah koreksi refraksi minimal yang memberikan tajam
penglihatan maksimal.1,10
1. Kacamata
Pemakaian kacamata koreksi pada progresivitas miopia untuk
mempertahankan visus sertadapat mengurangi kelelahan pada mata dan melatih
mata terutama pada anak-anak. Miopi dikoreksi dengan lensa konkaf atau lensa
negatif. Pada kasus dengan miopi tinggi koreksi yang penuh jarang diberikan.

17
PAPER NAMA: ENDANG RAHMADHANI HRP
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100047
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

Pengurangan koreksi dilakukan sampai tercapai penglihatan binokuler yang masih


nyaman. Jika sudah terdapat perubahan patologis pada fundus maka sedikit sekali
keuntungan yang didapat pada pemakaian kacamata.

2. Penggunaan Lensa kontak


Lensa kontak telah menjadi pilihan yang baik untuk miopia tinggi selama
bertahun-tahun karena disamping dapat mengurangi berat dan ketebalan lensa
pada kacamata, juga mengeliminasi kesulitan akibat pemakaian lensa yang tebal
tersebut. Lensa kontak yang sering digunakan yaitu lensa kontak yang soft dan
lensa kontak gas-permeabel. Lensa kontak yang soft dapat menimbulkan
kenyamanan namun harus dimonitor pemakaiannya karena dapat menyebabkan
terjadinya hipoksia. Lensa gas-permeabel memberikan optik yang penuh dan
fisiologi yang baik. Koreksi menggunakan lensa kontak dari penelitian
randomized controlled trial tidak terlalu signifikan berbeda dalam mengatasi
progresi miopia.1,14

b. Modifikasi Lingkungan
Beberapa penelitian mendukung efektivitas diet dalam pengelolaan
miopia, tapi penelitian yang lain masih belum mendukung. Dianjurkan pada
penderita miopia yang terpapar secara genetik untuk meningkatkan konsumsi
protein hewani, mengurangi karbohidrat dan gula. Disarankan untuk diet kaya
vitamin D dan kalsium untuk penderita miopia ini. Aktivitas lingkungan yang
dianjurkan adalah olahraga luar ruang misal jogging, namun aktivitas lain yang
cenderung meningkatkan tekanan intrakranial dan stress sebaiknya dihindari,
misalnya angkat berat.10

c. Tindakan Operatif
Tindakan operatif kornea tidak disarankan pada penderita miopia
patologi, misal tindakan Laser Assisted in-Situ Keratomileusis (LASIK), namun
implantasi Intraocular Lenses (IOL) merupakan tindakan bedah refraksi yang
disarankan.10 IOL merupakan suatu lensa yang ditanam di bilik mata depan

18
PAPER NAMA: ENDANG RAHMADHANI HRP
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100047
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

melalui insisi kecil sedangkan lensa yang asli masih tetap ada terutama
dilakukan untuk mengoreksi miopi yang berat.1

d. Fotokoagulasi Laser
Bila terdapat choroidal neovascularization membrane dilakukan argon
laser fotokoagulasi, tetapi harap dipertimbangkan bahwa pada miopia patologi ini
terdapat pemanjangan dan peregangan bola mata sehingga sikatriks yang
diakibatkan oleh laserakan menambah peregangan bola mata tersebut.10

e. Photodynamic therapy (PDT)


PDT menggunakan obat injeksi yang bersifat fotosensitif yang akan
teraktivasi oleh cahaya dari sumber laser dengan panjang gelombang tertentu dan
berhubungan dengan puncak absorpsi dari obat tersebut. Hal ini menyebabkan
reaksi fotokimia yang menyebabkan kerusakan sel secara langsung pada sel
endotel pembuluh darah dan mengakibatkan trombosis, sehingga terjadi kerusakan
pada membran neovaskular koroid. Hanya sel-sel yang aktif membelah yang
memiliki reseptor untuk obat tersebut sehingga kerusakan pada jaringan sekitar
dapat diminimalisasi. Saat ini obat yang tersedia untuk PDT adalah verteporforin.
Namun, PDT hanya dapat mempertahankan dan tidak memperbaiki ketajaman
penglihatan.15,16

f. Terapi Anti-VEGF (Vascular endothelial growth faktor)


Terapi anti-VEGF diberikan berdasarkan pada fakta terjadinya
peningkatan produksi VEGF oleh retinal pigment epithelial pada choroidal
neovascularization. Terapi anti-VEGF adalah terapi lini pertama yang disarankan
pada myopicchoroidal neovascularization. Obat-obatan anti VEGF yang tersedia
saat ini adalah ranibizumab dan bevacizumab, diberikan secara intravitreal. Pada
penelitian dilaporkan peningkatan ketajaman penglihatan dalam 2 tahun dan
peningkatan ketajaman dapat dipertahankan sampai 4 tahun dengan terapi anti-
VEGF. Hasil PDT dan IVB (intravitreal bevacizumab) untuk mengobati
myopicchoroidal neovascularization telah dibandingkan dan menunjukkan
bevacizumab maupun ranibizumab lebih efektif daripada PDT.15,16

19
PAPER NAMA: ENDANG RAHMADHANI HRP
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100047
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

g. Pengawasan Tekanan Intraokular


Tekanan intraokular harus dipantau secara cermat. Tekanan intraokular
berperan secara mekanik dalam pemanjangan aksial bola mata.
Direkomendasikan pada penderita dengan miopia patologi harus memiliki
tekanan intraokular di bawah 20 mm Hg.10

h. Pendidikan Penderita
Penderita dengan miopia patologi cenderung mengalami koroid yang tipis
dan rapuh sehingga trauma pada mata atau bahkan gosokan keras pada mata,
dapat menyebabkan robekan pada membran Bruch dan mengakibatkan
perdarahan. Penderita harus disarankan untuk memeriksakan mata jika
mengalami kilatan cahaya terang, berbentuk seperti busur atau peningkatan
jumlah floaters. Faktor pendidikan penderita lainnya adalah konseling genetik.
Penderita dengan miopia patologi memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk
memiliki anak dengan myopia patologi pula. Jika kedua orang tua menderita
miopia patologi terdapat kemungkinan yang lebih besar anak-anaknya akan
menderita miopia patologi.10

2.4.7. Komplikasi
Komplikasi yang timbul pada miopia adalah akibat dari proses degenerasi, yaitu :
1. Floaters
Kekeruhan badan kaca yang disebabkan proses degenerasi dan pengenceran
vitreus, sehingga menimbulkan bayangan pada penglihatan.10
2. Skotoma
Defek pada lapang pandangan yang diakibatkan oleh atrofi retina.10
3. Trombosis Koroid dan Perdarahan Koroid
Sering terjadi pada obliterasi dini pembuluh darah kecil. Biasanya terjadi di
daerah sentral, sehingga timbul jaringan parut yang mengakibatkan
penurunan tajam penglihatan.16

20
PAPER NAMA: ENDANG RAHMADHANI HRP
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100047
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

4. Ablasio Retina
Merupakan komplikasi yang tersering. Biasanya disebabkan karena didahului
dengan timbulnya hole pada daerah perifer retina akibat proses-proses
degenerasi di daerah ini.17
5. Glaukoma
Komplikasi ini merupakan akibat dari atrofi menyeluruh dari koroid.10
6. Katarak
Merupakan komplikasi selanjutnya dari miopia degeneratif, terjadi setelah
umur 40 tahun. Biasanya adalah tipe pole posterior. Sering dihubungkan pula
dengan adanya degenerasi koroid.10

2.4.8. Prognosis
Miopia patologi berkaitan dengan penurunan ketajaman penglihatan,
biasanya irreversibel dan sering bilateral. Penglihatan pada miopia patologi
dipengaruhi oleh perpaduan antara patchy atrophy, perkembangan dari choroidal
neovascularization (CNV), macular atrophy, dan lacquer cracks. Patchy atrophy
dan myopic CNV menunjukkan penglihatan yang lebih buruk daripada lacquer
cracks. Penurunan penglihatan yang berkaitan dengan myopic CNV dan atrofi
makula biasanya terjadi pada dekade kelima kehidupan. Pemanjangan aksial bola
mata dan usia merupakan faktor prognostik dari miopia degeratif.16,17
Pemeriksaan mata secara berkala perlu dilakukan dan tergantung dari
keparahan dari perubahan retina dan okular. Pemeriksaan retina, pemeriksaan
lapangan pandang, pengukuran tekanan intraokular merupakan pemeriksaan yang
penting untuk dilakukan.18

21
PAPER NAMA: ENDANG RAHMADHANI HRP
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100047
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

BAB 3
KESIMPULAN

Miopia patologis adalah miopia dengan ukuran 6 dioptri atau lebih disertai
kelainan pada fundus okuli dan pada panjangnya bola mata sampai terbentuk
stafiloma postikum yang terletak pada bagian temporal papil disertai dengan atrofi
korioretina. Manifestasi klinis dari miopia patologis dapat bervariasi mulai dari
gangguan penglihatan, floaters, astenopia, sefalgia, hingga fotopsia.
Dapat dilakukan koreksi refraksi pada pasien penderita miopia patologis.
Koreksi refraksi yang paling sesuai adalah koreksi refraksi minimal yang
memberikan tajam penglihatan maksimal. Modifikasi lingkungan dapat dilakukan
dengan cara meningkatkan konsumsi protein hewani, mengurangi karbohidrat dan
gula. Bila terdapat choroidal neovascularization membrane dilakukan argon laser
fotokoagulasi. Hal ini dapat dapat dilakukan sehingga pasien mampu menjalani
aktifitasnya dengan baik.
Pemeriksaan mata secara berkala perlu dilakukan tergantung dari
keparahan dari perubahan retina dan okular. Pemeriksaan retina, pemeriksaan
lapangan pandang, pengukuran tekanan intraokular merupakan pemeriksaan yang
penting untuk dilakukan. Tekanan intraokular harus dipantau karena memiliki
peranan dalam pemanjangan aksial bola mata. Direkomendasikan pada penderita
miopia patologi harus memiliki tekanan intraokular di bawah 20 mm Hg.

1
PAPER NAMA: ENDANG RAHMADHANI HRP
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA NIM : 130100047
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Ophthalmology. Clinical optics. San Francisco: 2014.


h. 88-197.
2. American Optometric Association. Optometric Clinical Practice Guideline:
Care of the patient with myopia. USA:2006. h. 3-41.
3. Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu penyakit mata. Jakarta; Badan Penerbit FKUI:
2014. Ed. 5. h. 77-9.
4. Matsui KO, Lai TYY, Lai CC, CheungCMG. Updates of pathologic myopia,
progress in retinal and eye research. Japan: 2016. h. 1.
5. Ward, Brian. Degenerative Myopia: a Review of its Nature and Current
Treatment. Retinal Diagnostic Center.Campbell. California: 2011. h.1-2.
6. Eva PR, Whitcher JP. Oftalmologi umum vaughan & Asbury. Jakarta; EGC:
2009. Ed. 17. h. 5-14.
7. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Jakarta; EGC: 2011. Ed.
11. h. 213-28.
8. Lang GK. Ophthalmology. Jerman; Wemding: 2000. h.432.
9. Khurana AK. Comprehensive ophthalmology. India; New Age International:
2007. h. 32.
10. Widodo A, Prillia T. Miopia patologi. Jurnal Oftalmologi Indonesia. April
2007; 5(1): 19-26.
11. Bowling B. Kanski’s clinical ophthalmology a systematic approach. China;
Elsevier: 2016. Ed. 8. h. 631-2.
12. Matsui KO. Pathologic myopia.Asia-Pacific Journal of Ophthalmology.
December 2016; 5(6): 418-9.
13. Souza GM, Santos CO, Guerra RLL, Marback RL, Maia OO. Degenerative
myopia progression: case report and review. iMedPub Journal. 2015; 1(2): 2.
14. Cooper J, Schulman E, Jamal N. Current status on the development and
treatment of miopia. optometry clin research. American Optometric
Association. 2012; h. 3-4.
15. Moreno J, Arias L, Montero J, Cameiro A, Silva R. Intravitreal anti-vegf
therapy for choroidal neovascularization secondary to pathological miopia. Br
J Ophthalmol. 2013; 97(11): h. 1447-50.
16. Sundy M, Lauer AK, Lim JI, Shah VA. Phathologic myopia (myopic
degeneration) [internet].3 September 2016 [diakses pada 2 Maret 2018].
http://eyewiki.aao.org/Pathologic_myopia_(myopic_degeneration).
17. Cho BJ, Shin JY, Yu HG. Complications of pathologic myopia.Eye &
Contact Lens. Januari 2016;42(1): h. 9-15.
18. Saw SM. How blinding is pathological myopia. BMJ Ophthalmol. Juni 2015.
h. 525-6.

23

You might also like