You are on page 1of 67

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Tidak Menular (PTM) sudah menjadi masalah kesehatan

masyarakat, baik secara global, regional, nasional dan lokal. Salah satu PTM yang

menyita banyak perhatian adalah Diabetes Melitus (DM). Di Indonesia DM

merupakan ancaman serius bagi pembangunan kesehatan karena dapat

menimbulkan kebutaan, gagal ginjal, kaki diabetes (gangrene) sehingga harus

diamputasi, penyakit jantung dan stroke (Kemnekes RI, 2013).

Diabetes mellitus merupakan penyakit gangguan sistem endokrin yang

ditandai dengan fluktuasi abnormal kadar glukosa darah akibat gangguan produksi

insulin dan gangguan metabolisme glukosa (Mohamed, 2014). Diabetes mellitus

merupakan satu penyakit kronis yang paling umum di hampir semua negara, dan

terus meningkat dalam jumlah yang signifikan. Diabetes mellitus type 2 (DMT2)

merupakan 90% dari seluruh diabetes mellitus (Guariguata, Whiting, Hambleton,

Beagley, Linnenkamp, & Shaw, 2014).

DMT2 merupakan salah satu penyakit degeneratif, yaitu penyakit akibat

fungsi atau struktur dari jaringan atau organ tubuh yang secara progresif menurun

dari waktu ke waktu karena usia atau gaya hidup. DMT2 sifatnya bukan bawaan

dari lahir tetapi disebabkan oleh faktor gaya hidup dan makanan yang dikonsumsi

setiap hari serta faktor degenaratif, sehingga pada umumnya penderita DMT2
2

adalah mereka yang berumur lebih dari 30 tahun. Selain itu, DMT2 sering tidak

didiagnosis sampai komplikasi muncul (Foreman, Elliott & Smith, 2011).

Global status report on NCD World Health Organization (WHO) tahun

2010 melaporkan bahwa 60% penyebab kematian semua umur di dunia adalah

karena PTM. DM menduduki peringkat ke-6 sebagai penyebab kematian. Sekitar

1,3 juta orang meninggal akibat diabetes dan 4 persen meninggal sebelum usia 70

tahun. Pada Tahun 2030 diperkirakan DM menempati urutan ke-7 penyebab

kematian dunia (Kemenkes RI, 2013)

Statistik dari International Diabetes Federation (IDF) (2015)

mengungkapkan jumlah orang dewasa yang hidup dengan diabetes mellitus di

dunia pada tahun 2015 mencapai 415 juta orang kenaikan empat kali lipat dari

108 juta pada tahun 1980an dan jumlah tersebut diperkirakan akan meningkat

menjadi 642 juta orang pada tahun 2040. Sedangkan Indonesia merupakan negara

urutan ke-7 dengan prevalensi diabetes tertinggi, di bawah China, India, USA,

Brazil, Rusia dan Mexico. Di Indonesia diperkirakan pada tahun 2035 akan

memiliki penyandang DM (diabetisi) sebanyak 21,3 juta jiwa. Prevalensi orang

dengan diabetes di Indonesia menunjukkan kecenderungan meningkat yaitu 5,7 %

(2007) menjadi 6,9 % (2013) dan 2/3 orang dengan diabetes di Indonesia tidak

mengetahui dirinya memiliki diabetes dan berpotensi untuk mengakses pelayanan

kesehatan dengan kondisi sudah terlambat (sudah dengan komplikasi) (WHO,

2016).
3

Proporsi DMT2 di Indonesia menurut IDF (2014) tahun 2014 adalah

sebesar 5,8% atau sekitar 9,1 juta orang, dan jumlah penderita DMT2 ini

diperkirakan akan meningkat sampai 6,67% pada tahun 2035 atau sekitar 14 juta

orang. Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013, jumlah orang

yang didiagnosa DMT2 di daerah Sumatera Utara sekitar 57 ribu orang atau

sekitar 1,8% dari jumlah populasi penduduk yang berusia ≥ 15 tahun (Sindonews,

2014).

DMT2 dikenal sebagai silent killer karena sering tidak disadari oleh

penderitanya dan saat diketahui sudah terjadi komplikasi. Hiperglikemia yang

terjadi dari waktu ke waktu dapat menyebabkan kerusakan berbagai sistem tubuh

terutama saraf dan pembuluh darah. Beberapa komplikasi yang sering terjadi dari

diabetes antara lain : meningkatnya risiko penyakit jantung dan sroke, neuropati

(kerusakan saraf) di kaki yang meningkatkan ulkus kaki dan penyebab utama

amputasi tungkai bawah, retinopati diabetikum yang merupakan penyebab utama

kebutaan, diabetes mellitus juga merupakan penyebab utama gagal ginjal dan

penderita diabetes mellitus mempunyai risiko kematian dua kali lipat

dibandingkan yang bukan penderita diabetes mellitus (Kemekes RI, 2014).

Komplikasi metabolik akut maupun komplikasi vaskuler kronik dapat

terjadi pada diabetes mellitus yang tidak terkendali. Prevalensi neuropati

(kerusakan saraf) pada penderita DMT2 berkisar 13,1% - 45,0%. Prevalensi

nefropati (kerusakan ginjal) pada penderita DMT2 berkisar 9,2% - 32,9%.

Prevalensi retinopati (kerusakan mata) berkisar 10,17% - 55,0%. Prevalensi


4

penyakit jantung koroner pada penderita DMT2 berkisar 1,8% - 43,4%,

sedangkan prevalensi stroke akibat DMT2 berkisar 2,8% - 12,5%. Resiko

serangan jantung dan stroke menjadi dua kali lipat apabila penderita diabetes

mellitus menderita hipertensi. Komplikasi lain yang dapat terjadi pada penderita

DMT2 antara lain penyakit pembuluh darah perifer, gangguan pada hati, penyakit

paru, gangguan saluran cerna dan infeksi (Ndraha, 2014).

Banyaknya komplikasi yang dapat terjadi pada DMT2 yang sebagian besar

mengenai organ vital dan untuk menurunkan angka kesakitan serta angka

kematian akibat DMT2 dapat dilakukan dengan menitikberatkan pada 4 pilar

penatalaksanaan DM yaitu edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani, dan

intervensi farmakologis, untuk itu dapat juga partisipasi penderita dalam mengatur

gaya hidup secara kompleks seperti: minum obat secara teratur, pengaturan diet,

latihan fisik, pemantauan (monitoring) glukosa darah dan perawatan kaki

(Ndraha, 2014; Chang, Lin, Chao, Yu, & Chen, 2014).

Mengingat DM merupakan suatu keadaan penyakit yang bersifat kronik

dan disertai dengan komplikasi kronik. Sebagian besar penderita diabetes

seringkali timbul dengan tanpa gejala klinis, yang menyebabkan penderita berobat

secara tidak teratur. Walaupun penderita berobat secara teratur, penyakit diabetes

tidak dapat disembuhkan dan hal ini menyebabkan penderita bosan atau jenuh

(Waspadji, et al., 2007). Pencegahan terhadap komplikasi penderita diabetes

sangat penting, karena sifatnya menahun, jika muncul komplikasi maka biaya
5

yang dibutuhkan sangat mahal dan berdampak pada psikologis penderita

(Soegondo et al., 2007).

Salah satu faktor terjadinya hiperglikemia pada pasien DM tipe 2 adalah

stres. Stres dapat menyebabkan kadar gula darah seseorang meningkat, ini

disebabkan oleh pengeluaran epinefrin. Epinefrin menghambat sekresi insulin,

memacu pelepasan glukagon, mengaktivasi pemecahan glikogen dan mengganggu

kerja insulin pada jaringan target sehingga produksi gula hati meningkat dan

kapasitas mengatur beban gula eksogen terganggu (Foster, 2008 dalam

Isselbacber, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci & Kasper, 2008).

Penanganan DM di rumah sakit yang ada selama ini masih sebagian besar

berfokus pada pengobatan konvensional yang telah diprogramkan oleh dokter,

belum memperhatikan penanganan stress pasien, sedangkan faktor psikologis

sangat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan pasien. Apabila stres yang dialami

penderita diabetes dibiarkan saja, dengan kadar gula darah tetap tinggi dan tidak

dikelola dengan baik, ditakutkan komplikasi akut sampai komplikasi kronik dapat

terjadi (Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata, & Setiati, 2006). Sehingga

dengan itu perlu penanganan secara holistik pada pasien DM.

Banyak cara yang dapat digunakan dalam penanganan stres diantaranya

teknik relaksasi nafas dalam, teknik relaksasi otot progresif, terapi musik, terapi

respon emosi-rasional, yoga, dan pendekatan agamis (Wade & Tavns, 2007).

Berbagai teknik tersebut merupakan suatu upaya meredakan ketegangan

emosional sehingga individu dapat berpikir lebih rasional. Dengan demikian


6

produksi gula hati dapat terkontrol dengan baik, dengan begitu gula darah dapat

stabil normal. Salah satu bentuk cara meredakan ketegangan emosional yang

cukup mudah dilakukan adalah relaksasi otot progresif (Suyamto, Prabandari &

Machira, 2009). Terapi relaksasi otot progresif merupakan salah satu bentuk

mind-body therapy (terapi pikiran dan otot-otot tubuh) dalam terapi komplementer

(Moyad, 2009).

Latihan fisik merupakan salah satu pilar penatalaksaaan DM (PERKENI,

2015). Latihan relaksasi otot progresif dapat dilakukan sebagai salah satu latihan

fisik bagi pasien DM. Latihan ini dilakukan untuk mendapatkan relaksasi dengan

cara penegangan dan pelemasan otot. Dengan melakukan penegangan dan

peregangan pada otot secara rutin berdampak pada meningkatkan transfort

glukosa ke dalam membran sel. Peningkatan ini membuat penggunaan kadar

glukosa menjadi lebih efektif sehingga kadarnya dapat mendekati normal atau

stabil.

Relaksasi otot progresif merupakan salah satu teknik relaksasi yang mudah

dan sederhana serta sudah digunakan secara luas. PMR merupakan suatu prosedur

untuk mendapatkan relaksasi pada otot melalui dua langkah, yaitu dengan

memberikan tegangan pada suatu kelompok otot, dan menghentikan tegangan

tersebut kemudian memusatkan perhatian terhadap bagaimana otot tersebut

menjadi rileks, merasakan sensasi rileks, dan ketegangan menghilang (Richmond,

2007).
7

Teknik relaksasi otot progresif merupakan salah satu intervensi

keperawatan yang dapat diberikan kepada pasien DM untuk meningkatkan

relaksasi dan kemampuan pengelolaan diri. Latihan ini dapat membantu

mengurangi ketegangan otot, stres, menurunkan tekanan darah, meningkatkan

toleransi terhadap aktivitas sehari-hari, meningkatkan imunitas, sehingga status

fungsional dan kualitas hidup meningkat (Smeltzer, Bare, Hinkle, and Cheever,

2010).

Relaksasi otot progresif telah menunjukkan manfaat dalam mengurangi

ansietas atau kecemasan, dan berkurangnya kecemasan ini mempengaruhi

berbagai gejala psikologis dan kondisi medis. Yildirim & Fadiloglu (2006) dari

hasil penelitiannya menyebutkan bahwa Relaksasi otot progresif menurunkan

kecemasan dan meningkatkan kualitas hidup pasien yang menjalani dialisis.

Relaksasi otot progresif ini mengarahkan perhatian pasien untuk

membedakan perasaan yang dialami saat kelompok otot dilemaskan. Relaksasi

otot progresif ini mengarahkan perhatian pasien untuk membedakan perasaan

yang dialami saat kelompok otot dilemaskan dan dibandingkan dengan ketika otot

dalam kondisi tegang, relaksasi otot progresif bermanfaat untuk menurunkan

resistensi perifer dan menaikkan elastisitas pembuluh darah (Sucipto, 2014 dalam

Shiela, 2016). Orang yang stres, secara emosional tegang dan mengalami

ketegangan otot. Teknik ini berusaha meredakan ketegangan otot dengan harapan

bahwa ketegangan emosionalpun berkurang, maka dari itu teknik relaksasi otot
8

progresif ini dapat digunakan untuk mendampingi teknik konvensional yang biasa

diberikan.

Penelitian yang dilakukan oleh Edmund Jacobson (1920) dalam Davis

(1995) penjelaskan bahwa teknik relaksasi progresif memberi respons terhadap

ketegangan, respon tersebut menyebabkan perubahan yang dapat mengontrol

aktivitas sistem saraf otonom berupa pengurangan fungsi oksigen, frekuensi nafas,

denyut nadi, ketegangan otot, tekanan darah, serta gelombang alfa dalam otak

sehingga mudah untuk tidur. Konsep psikoneurominologis menyatakan bahwa

kondisi stress akan meyebabkan sakit atau merusak fungsi otak. Penyebab

utamanya karena kadar glukokortikoid naik. Pada pasien yang mengalami stres,

saraf otonom akan distimulasi, khususnya saraf simpatis (Johonson at al, 1992).

Aktivitas saraf simpatis akan mensekresi ketekolamin seperti adrenalin dan

nonadrenalin sehingga organ yang diatur oleh saraf otonom akan bekerja sesuai

dengan kadar hormon yang diproduksi. Katekolamin akan menstimulasi

suprarenal untuk mengeluarkan kortisol. Kortisol berfungsi dalam metabolisme,

protein, karbohidrat dan lemak. Kortisol yang tinggi akan menyebabkan

peningkatan gula darah (Roy at al : 1993, Van Doornen and orlbeke, 1990). Stres

yang berkelanjutan menyebabkan aktivitas aksis HPA meningkat, sehingga kadar

kortisol meningkat yang diiringi oleh peningkatan glukosa di sirkulasi. Dilain

pihak kortisol juga mempengaruhi fungsi insulin terkait dalam hal sensitivitas,

produksi dan resptor, sehingga glukosa darah tidak bisa seimbangkan.


9

Menurut studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 4 Desember 2017

di Puskesmas Sonomartoni Labura, Puskesmas ini belum menggunakan teknik

nonfarmakologi dalam menangani pasien DM tipe 2 pada pasien, hanya

menggunakan teknik konvensional pemberian obat oral untuk menurunkan Kadar

Gula darah tanpa ada intervensi nonfarmakologi. Dilihat dari jumlah pasien DM

dari tahun ke tahun di Puskesmas ini yang meningkat, intervensi nonfarmakologi

teknik relaksasi otot progresif perlu dipertimbangkan. Selain mudah dan praktis

dilakukan, relaksasi otot progresif dapat digunakan untuk terapi sehari-hari yang

digunakan penderita DM. Kita ketahui pula bahwa penyakit DM merupakan

penyakit kronis yang tidak dapat disembuhkan, sehingga perlu penanganan yang

terus menerus untuk mengontrol hiperglikemi.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis tertarik melakukan

penelitian untuk melihat pengaruh teknik relaksasi otot progresif terhadap

penurunan gula darah pada pasien Diabetes Mellitus tipe 2 di Puskesmas

Sonomartoni Labura, maka rumusan masalahnya adalah ”Apakah ada pengaruh

teknik relaksasi otot progresif terhadap kadar gula darah pada pasien Diabetes

Mellitus tipe 2 di Puskesmas Sonomartoni Labura? ”

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Untuk mengetahui kadar gula darah pada saat pengobatan tidak

didampingi dengan intervensi teknik relaksasi otot progresif.


10

1.3.2 Untuk mengetahui kadar gula darah pada saat pengobatan didampingi

dengan intervensi teknik relaksasi otot progresif

1.3.3 Untuk membandingkan kadar gula darah antara tidak didampingi

intervensi relaksasi otot progresif dan dengan yang didampingi intervensi

teknik relaksasi otot progresif pada orang yang sama.

1.3.4 Untuk mengetahui pengaruh relaksasi otot progresif terhadap gula darah

pada pasien Diabetes Mellitus tipe 2.

1.4 Hipotesis Penelitian

Hipotesis pada penelitian ini adalah : Ada pengaruh terhadap glukosa

darah setelah pemberian intervensi teknik relaksasi otot progresif.

1.5 Manfaat Penelitian

Mengetahui cara pengontrolan gula darah dengan teknik nonfarmakologi

dengan merelaksasi otot, sehingga dapat meningkatkan pengetahuan perawat dan

dapat digunakan sebagai terapi komplementer atau terapi pendamping dari

farmakologi.

Untuk mengevaluasi efek dari penggunaan relaksasi otot progresif untuk

penurunan kadar gula darah pada pasien Diabetes Mellitus tipe 2 dan diharapkan

dapat dipraktekkan di Puskesmas sebagai pendamping penanganan konvensional

dan dapat pula dipraktekkan di rumah untuk tetap menjaga kadar gula darah

pasien Diabetes Mellitus tipe 2 tetap stabil serta meningkatkan kualitas hidup

pasien.
11

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus Tipe 2

2.1.1 Pengertian

Menurut ADA (American Diabetes Association) (2010) diabetes mellitus

(DM) adalah sekelompok penyakit metabolik yang ditandai oleh peningkatan

kadarglu kosa dalam darah (hiperglikemia) yang disebabkan oleh

kerusakan/gangguan pada sekresi insulin, kerja insulin, atau akibat keduanya

(PERKENI, 2011).

Definisi diabetes mellitus menurut Black dan Hawks (2009) adalah

penyakit kronik, progresif yang dikarakteristikkan dengan ketidakmampuan tubuh

untuk melakukan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, serta awal

terjadinya hiperglikemia (kadar gula yang tinggi dalam darah).

WHO menyatakan Diabetes mellitus adalah keadaan hiperglikemia kronis

yang disebabkan oleh faktor lingkungan dan keturunan secara bersama-sama,

mempunyai karakteristik hyperglikemia kronis tidak dapat disembuhkan tetapi

dapat dikontrol (Kemenkes RI, 2013).

DM tipe 2 atau sering juga disebut dengan Non Insuline Dependent

Diabetes Mellitus (NIDDM) merupakan penyakit diabetes yang disebabkan oleh

terjadinya resistensi tubuh terhadap efek insulin yang diproduksi oleh sel β

pancreas (Radio, 2011).


12

Penderita DM tipe 2 masih dapat menghasilkan insulin akan tetapi, insulin

yang dihasilkan tidak cukup atau tidak bekerja sebagaimana mestinya di dalam

tubuh sehingga glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel-sel tubuh. DM tipe 2

umumnya diderita pada orang yang berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas

(Smeltzer, Bare, Hinkle, and Cheever, 2010). Diabetes mellitus tipe 2

dikarakteristikkan oleh adanya hiperglikemia, resistensi insulin.

2.1.2 Etiologi

Penyebab DM tipe 2 diantaranya oleh faktor genetik, resistensi insulin,

dan faktor lingkungan. Selain itu terdapat faktor-faktor pencetus diabetes

diantaranya obesitas, kurang gerak/olahraga, makanan berlebihan dan penyakit

hormonal yang kerjanya berlawanan dengan insulin (Suyono & Subekti, 2009).

2.1.3 Faktor Resiko

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan kadar glukosa darah

dan terjadinya DMT2, diantaranya adalah usia, jenis kelamin, penyakit penyerta,

faktor keturunan, faktor demografi yaitu ras / etnis (misalnya, Afrika Amerika,

Hispanik, penduduk asli Amerika, Asia Amerika, kepulauan Pasifik) dan faktor

kegemukan/ Obesitas (yaitu, Berat badan ≥ 20% dari berat badan yang diinginkan

atau BMI ≥ 27 kg / m2), lingkar pinggang ≥ 94 cm (laki-laki) atau ≥ 80 cm

(perempuan) (Dunning, 2003; Suyono, 2009 dalam Soegondo, et al., 2009;

Sustrani, et al., 2010).


13

a. Usia

Golberg dan Coon dalam Rochmah (2006) menyatakan bahwa umur

sangat erat kaitannya dengan kenaikan kadar glukosa darah, sehingga semakin

meningkat usia maka prevalensi diabetes dan gangguan toleransi glukosa

semakin tinggi. DM tipe 2 biasanya terjadi setelah usia 30 tahun dan semakin

sering terjadi setelah usia 40 tahun serta akan terus meningkat pada usia lanjut

(Levitt, 2008; Sustrani, et al., 2010). Sekitar 6% individu berusia 40-64 tahun dan

11% individu berusia diatas 65 tahun (Ignatavicius & Walkman, 2006).

Proses menua yang berlangsung setelah umur 30 tahun mengakibatkan

perubahan anatomis, fisiologis dan biokimia. Perubahan dimulai dari tingkatan

sel berlanjut ke tingkat jaringan dan akhirnya pada tingkat organ yang

mempengaruhi fungsi homeostatis. Komponen tubuh yang mengalami perubahan

adalah sel β pankreas penghasil insulin, sel-sel jaringan target yang menghasilkan

glukosa, sistem saraf pusat dan hormon lain yang mempengaruhi kadar glukosa

darah akan naik 1-2 mg/dl/tahun pada saat puasa dan naik 5,6-13 mg/dl/tahun

pada 2 jam setelah makan (Rochmah, 2006).

b. Jenis kelamin

Beberapa teori menyatakan perempuan lebih banyak mengalami DM tipe

2 hal ini diakibatkan karena secara fisik memiliki peluang peningkatan index

masa tubuh yang lebih besar. Sindrom siklus bulanan (premenstrual syndrome),

pasca menopause membuat distribusi lemak di tubuh menjadi mudah


14

terakumulasi akibat proses hormonal tersebut sehingga perempuan lebih beresiko

menderita DM tipe 2 (Irawan, 2010)

c. Penyakit penyerta

Separuh dari kesembuhan pasien DM yang berusia 50 tahun ke atas

dirawat di rumah sakit setiap tahunnya dan komplikasi DM menyebabkan

peningkatan angka rawat inap bagi pasien DM tipe 2 (Smeltzer, Bare, Hinkle, and

Cheever, 2010). Penyandang DM mempunyai risiko untuk terjadinya penyakit

jantung koroner dan penyakit pembuluh darah otak 2 kali lebih besar, 5 kali lebih

mudah menderita ulkus/gagren, 7 kali lebih mudah mengidap gagal ginjal

terminal dan 25 kali lebih mudah mengalami kebutaan akibat kerusakan retina

dari pada pasien non DM (Waspadji, 2009). Kalau sudah terjadi penyulit, usaha

untuk menyembuhkan melalui pengontrolan kadar glukosa darah dan pengobatan

penyakit tersebut kearah normal sangat sulit, kerusakan yang sudah terjadi

umumnya akan menetap (Waspadji, 2009).

d. Lama menderita DM

DM merupakan penyakit metabolik yang tidak dapat disembuhkan, oleh

karena itu kontrol terhadap kadar gula darah sangat diperlukan untuk mencegah

komplikasi baik komplikasi akut maupun kronis. Lamanya pasien menderita DM

dikaitkan dengan komplikasi akut maupun kronis. Hal ini didasarkan pada

hipotesis metabolik, yaitu terjadinya komplikasi kronik DM adalah sebagai akibat

kelainan metabolik yang ditemui pada pasien DM (Waspadji, 2009). Semakin

lama pasien menderita DM dengan kondisi hiperglikemia, maka semakin tinggi


15

kemungkinan untuk terjadinya komplikasi kronik. Kelainan vaskuler sebagai

manifestasi patologis DM dari pada sebagai penyulit karena erat hubungannya

dengan kadar glukosa darah yang abnormal, sedangkan untuk mudahnya

terjadinya infeksi seperti tuberkolosis atau gangrene diabetic lebih sebagai

komplikasi (Waspadji, 2009).

e. Keturunan

DM dapat diturunkan dari keluarga sebelumnya yang juga menderita DM,

karena kelainan gen menyebabkan tubuhnya tidak dapat menghasilkan insulin

dengan baik. Tetapi resiko terjadinya DM juga tergantung pada kelebihan berat

badan, kurang gerak dan stres (Sustrani, et al., 2010).

2.1.4 Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2

Pankreas adalah kelenjar penghasil insulin yang terletak dibelakang

lambung. Didalamnya terdapat kumpulan sel yang berbentuk seperti pulau dalam

peta, sehingga disebut pulau Langerhans pankreas. Pulau-pulau ini berisi sel alpa

yang menghasilkan hormon glucagon sel β yang menghasilkan insulin. Kedua

hormon ini bekerja berlawanan, glucagon meningkatkan glukosa darah sedangkan

insulin bekerja menurunkan kadar glukosa darah ( Price& Wilson, 2006).

Insulin yang dihasilkan oleh sel β pankreas dapat diibaratkan sebagai anak

kunci yang dapat membuka pintu masuk glukosa ke dalam sel, kemudian di dalam

sel glukosa tersebut dimetabolisasikan menjadi tenaga. Jika insulin tidak ada atau

jumlahnya sedikit, maka glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel sehingga

kadarnya di dalam darah tinggi atau meningkat (hiperglikemia). Pada DM tipe 2


16

jumlah insulin kurang atau dalam keadaan normal, tetapi jumlah reseptor insulin

dipermukaan sel berkurang. Reseptor insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang

kunci pintu masuk ke dalam sel. Meskipun anak kuncinya (insulin) cukup banyak,

namun karena jumlah lubang kuncinya (reseptor) berkurang, maka jumlah glukosa

yang masuk ke dalam sel berkurang (resistensi insulin). Sementara produksi

glukosa oleh hati terus meningkat, kondisi ini menyebabkan kadar glukosa darah

meningkat (Subekti & Suryono, 2009).

Resistensi insulin menyebabkan kemampuan insulin menurunkan kadar

gula darah menjadi tumpul. Akibatnya pankreas harus mensekresi insulin lebih

banyak untuk mengatasi kadar gula darah. Pada tahap awal ini, kemungkinan

individu tersebut akan mengalami gangguan toleransi glukosa, tetapi belum

memenuhi kriteria sebagai penyandang diabetes mellitus. Kondisi resistensi

insulin akan berlanjut dan semakin bertambah berat, sementara pankreas tidak

mampu lagi terus menerus meningkatkan kemampuan sekresi insulin yang cukup

untuk mengontrol gula darah. Peningkatan produksi glukosa hati, penurunan

pemakaian glukosa oleh otot dan lemak berperan atas terjadinya hiperglikemia

kronik saat puasa dan setelah makan. Akhirnya sekresi insulin oleh beta sel

pankreas akan menurun dan kenaikan kadar gula darah semakin bertambah berat

(Smelzer, Bare, Hinkle, and Cheever, 2010)..

2.1.5 Manifestasi Klinis

Gejala DM berdasarkan Trias DM adalah poliuri (urinasi yang sering),

polifagi (meningkatkan hasrat untuk makan) dan polidipsi (banyak minum akibat
17

meningkatnya tingkat kehausan) (Price & Wilson, 2006; Smeltzer, Bare, Hinkle,

and Cheever, 2010). Gejala awalnya berhubungan dengan efek langsung dari

kadar gula darah yang tinggi. Jika kadar gula darah sampai diatas 160-180 mg/dL,

maka glukosa akan sampai ke air kemih. Jika kadarnya lebih tinggi lagi, ginjal

akan membuang air tambahan untuk mengencerkan sejumlah besar glukosa yang

hilang. Karena ginjal menghasilkan air kemih dalam jumlah yang berlebihan,

maka penderita sering berkemih dalam jumlah yang banyak (poliuri). Akibat

poliuri maka penderita merasakan haus yang berlebihan sehingga banyak minum

(polidipsi). Sejumlah besar kalori hilang ke dalam air kemih, penderita mengalami

penurunan berat badan. Untuk mengkompensasikan hal ini penderita seringkali

merasakan lapar yang luar biasa sehingga banyak makan (polifagi).

Dengan memahami proses terjadinya kelainan pada diabetes melitus

tersebut diatas, mudah sekali dimengerti bahwa pada penderita diabetes melitus

akan terjadi keluhan khas yaitu lemas, banyak makan, (polifagia), tetapi berat

badan menurun, sering buang air kecil (poliuria), haus dan banyak minum

(polidipsia). Penyandang diabetes melitus keluhannya sangat bervariasi, dari

tanpa keluhan sama sekali, sampai keluhan khas diabetes melitus seperti tersebut

diatas. Penyandang diabetes melitus sering pula datang dengan keluhan akibat

komplikasi seperti kebas, kesemutan akibat komplikasi saraf, gatal dan keputihan

akibat rentan infeksi jamur pada kulit dan daerah khusus, serta adapula yang

datang akibat luka yang lama sembuh tidak sembuh (Sarwono, 2006).
18

2.1.6 Diagnosis

Diagnosis DM tipe 2 umumnya ditegakkan apabila ditemukan keluhan

klinis berupa poliuri, polifagi, polidipsi, dan penurunan berat badan yang tidak

dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien

adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria dan

pruritus pada wanita (Soegondo, 2009). Apabila ada keluhan khas dan

pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl atau pemeriksaan glukosa darah

puasa ≥ 126 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. untuk

kelompok tanpa keluhan yang khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang

baru satu kali saja abnormal belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM.

Diperlukan pemeriksaan untuk memastikan lebih lanjut dengan mendapatkan satu

kali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl atau kadar

glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl pada hari lain (Soegondo, 2009).

2.1.7 Komplikasi

Menurut Price and Wilson (2006) komplikasi DM dapat dibagi menjadi

dua yaitu komplikasi metabolik akut komplikasi metabolik kronik. Komplikasi

akut disebabkan oleh keadaan hiperglikemia, hiperosmolar, koma nonketogenik,

serta hipoglikemia. Sedangkan komplikasi kronik jangka panjang melibatkan

pembuluh darah baik mikrovaskular dan makrovaskular. Komplikasi ini

diakibatkan oleh kadar glukosa yang tidak terkontrol dalam waktu yang lama.

Komplikasi kronik DM dapat mengenal makrovaskular (rusaknya

pembuluh besar) dan mikrovaskular (rusaknya pembuluh darah kecil). Komplikasi


19

makrovaskular meliputi penyakit seperti serangan jantung, strok dan insufisiensi

aliran darah ke tungkai terganggu. Sedangkan komplikasi mikrovaskular meliputi

kerusakan pada mata (retinopati), yang bisa menyebabkan kebutaan, kerusakan

pada ginjal (nefropati) yang bisa berakibat pada gangguan kaki diabetes sampai

kemungkinan terjadinya amputasi pada tungkai (Ignatavicius & Workman, 2010).

2.1.8 Penatalaksaan

Tujuan utama dari pengobatan diabetes mellitus adalah untuk

menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah sebagi upaya untuk

mengurangi terjadinya komplikasi vaskuler dan komplikasi neuropatik (Smeltzer,

Bare, Hinkle, and Cheever, 2010). Penatalaksanaan diabetes melitus menurut

PERKENI (2011) dan Smeltzer, Bare Hinkle, and Cheever (2010) terdiri dari lima

komponen, yang terdiri dari : 1) Edukasi, 2) Terapi Gizi Medis (TGM) atau

perencanaan makan, 3) Latihan jasmani, 4) Terapi farmakologis dan 5)

Pemantauan kadar glukosa darah dan keton.

Kelima komponen penatalaksanaan DMT2 akan diuraikan sebagai berikut

: Diabetes mellitus tipe 2 merupakan penyakit kronis yang memerlukan perilaku

penanganan mandiri yang khusus seumur hidup. Pasien harus belajar untuk

mengatur keseimbangan berbagai faktor seperti diet, aktivitas fisik, stres fisik, dan

stres emosional yang dapat mempengaruhi pengendalian diabetes. Oleh karena itu

penderita diabetes memerlukan informasi dan edukasi tentang keterampilan untuk

merawat diri sendiri guna menghindari penurunan atau kenaikan kadar glukosa

darah secara mendadak dan perilaku preventif dalam gaya hidup yang dapat
20

menghindari komplikasi diabetik jangka panjang. (Smeltzer, Bare, Hinkle, and

Cheever, 2010).

Terapi gizi Medis atau Perencanaan Makan. Terapi Gizi Medis (TGM)

merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara total. Kunci keberhasilan

TGM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi,

petugas kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri).

Latihan (program aktivitas fisik terencana) sangat penting dalam

penatalaksanaan DMT 2 karena efeknya dapat menurunkan kadar glukosa darah

dan mengurangi faktor risiko kardiovaskuler. Latihan akan menurunkan kadar

glukosa darah dengan meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot. Sirkulasi

darah dan tonus otot juga dapat diperbaiki dengan latihan (olah raga) (Smeltzer,

Bare, Hinkle, and Cheever, 2010).

Latihan jasmani secara teratur (3- 4 kali seminggu selama kurang lebih 30

menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan diabetes melitus. Kegiatan

sehari – hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus

tetap dilakukan. Selain untuk menjaga kebugaran juga, latihan jasmani dapat

menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan

memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa

latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti: jalan kaki, bersepeda santai, jogging,

dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status

kesegaran jasmani. Pasien yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa
21

ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi diabetes melitus dapat

dikurangi (PERKENI, 2011).

Beberapa kegunaan latihan fisik secara teratur bagi penderita DMT2

menurut Arsa, Lima, Santos, Cambri, Campbell, Lewis, dan Simoes (2015) adalah

meningkatkan uptake glukosa oleh jaringan selama dan sesudah latihan/exercise,

menurunkan hiperglikemia, memperbaiki sensitivitas insulin dan meningkatkan

translokasi transpor glukosa, menurunkan tekanan darah dan resistensi pembuluh

darah perifer, serta meningkatkan enzim anti oksidan.

Terapi farmakologis atau pengobatan diabetes secara menyeluruh

mencakup diet yang benar, olah raga yang teratur, dan obat - obatan yang

diminum atau suntikan insulin. Penderita DMT2 umumnya perlu minum obat anti

diabetes secara oral atau tablet. Sedangkan suntikan insulin diperlukan pada

kondisi tertentu, atau bahkan kombinasi suntikan insulin dan tablet. Pada sebuah

uji klinis terkontrol-plasebo yang dilakukan oleh kelompok penelitian program

pencegahan diabates di Amerika Serikat didapatkan hasil bahwa program

perubahan gaya hidup intensif yaitu rekomendasi gaya hidup standar (diet rendah

kalori, rendah lemak dan aktivitas fisik sedang) ditambah metformin (850 mg, 2 x

sehari) efektif mengurangi risiko kejadian DMT 2 sebesar 50% (Black & Hawks,

2009).

Monitoring keton dan gula darah. Ini merupakan komponen

penatalaksanaan yang dianjurkan kepada pasien DMT 2. Monitor level gula darah

sendiri dapat mencegah dan mendeteksi kemungkinan terjadinya hipoglikemia


22

dan hiperglikemia dan pasien dapat melakukan keempat pilar diatas untuk

menurunkan resiko komplikasi dari DMT2. Pemantauan kadar glukosa darah

dapat dilakukan secara mandiri/sendiri yang disebut dengan self-monitoring blood

glucose (SMBG). SMBG memungkinkan penderita DMT2 untuk mendeteksi dan

mencegah hiperglikemia atau hipoglikemia, serta berperan dalam memelihara

normalisasi glukosa darah sehingga pada akhirnya akan mengurangi komplikasi

diabetik jangka panjang. Pemeriksaan ini sangat dianjurkan bagi penderita DMT2

yang tidak stabil dan cenderung untuk mengalami ketosis atau hiperglikemia,

serta hipoglikemia tanpa gejala ringan (Smeltzer, Bare, Hinkle, and Cheever,

2010).

2.2 Kadar Gula Darah

2.2.1 Pengertian

Glukosa darah adalah jumlah glukosa atau gula yang ada dalam darah

manusia yang disediakan oleh makanan yang kita makan. Ketika karbohidrat

dimakan, lalu dicerna menjadi gula, termasuk glukosa, kemudian diserap ke

dalam aliran darah (Williams & Hopper, 2007).

Kadar gula darah adalah jumlah kandungan glukosa dalam plasma darah

(Dorland & Newman, 2010). Glukosa secara normal bersirkulasi dengan jumlah

tertentu di dalam darah. Sumber utama glukosa berasal dari penyerapan makanan

di saluran pencernaan dan pembentukan glukosa oleh hati dari zat makanan

(Smeltzer, Bare, Hinkle, and Cheever, 2010).


23

2.2.1 Metabolisme Pengaturan Glukosa Darah

Konsentrasi gula darah, atau tingkat glukosa serum, diatur dengan ketat di

dalam tubuh(Wikipedia, 2012). Glukosa dapat memasuki sel hanya dengan

bantuan insulin, hormon yang diproduksi oleh sel-sel beta di pulau Langerhans

pankreas. Glukosa adalah sumber utama energi untuk sel-sel tubuh (Williams &

Hopper, 2007). Glukosa adalah satu-satunya nutrisi yang dalam keadaan normal

dapat digunakan oleh otak, retina, dan epitel germinal dari gonad. Kadar glukosa

darah harus dijaga dalam konsentrasi yang cukup untuk menyediakan nutrisi bagi

organ – organ tubuh. Namun sebaliknya, konsentrasi glukosa darah yang terlalu

tinggi juga dapat memberikan dampak negatif seperti diuresis osmotik dan

dehidrasi pada sel. Oleh karena itu, glukosa darah perlu dijaga dalam konsentrasi

yang konstan (Guyton & Hall, 2007).

Tingkat gula darah diatur melalui umpan balik negatif untuk

mempertahankan keseimbangan di dalam tubuh. Kadar glukosa di dalam darah

dimonitor oleh pankreas. Bila konsentrasi glukosa menurun, karena dikonsumsi

untuk memenuhi kebutuhan energi tubuh, pankreas melepaskan glukagon, hormon

yang menargetkan sel-sel di lever (hati). Kemudian sel-sel ini mengubah glikogen

menjadi glukosa (proses ini disebut glikogenolisis). Glukosa dilepaskan ke dalam

aliran darah, hingga meningkatkan kadar gula darah. Apabila kadar gula darah

meningkat baik karena perubahan glikogen, atau karena pencernaan makanan,

hormon yang lain dilepaskan dari butir-butir sel yang terdapat di dalam pankreas.
24

Hormon ini, yang disebut insulin, menyebabkan hati mengubah lebih banyak

glukosa menjadi glikogen (proses ini disebut glikogenosis), yang mengurangi

kadar gula darah ( Wikipedia, 2012 ).

Tabel 1. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring
dan diagnosa DM (mg/dL)

Bukan DM Belum pasti DM DM

Kadar glukosa darah sewaktu


(mg/dL)
Plasma vena < 100 100-199 ≥ 200

Darah kapiler < 90 90-199 ≥ 200

Kadar glukosa darah puasa


(mg/dL)
Plasma vena <100 100-125 ≥ 126

Darah kapiler <90 90-99 ≥ 100

2.3 Relaksasi otot Progresif (Progressive Muscle Relaxation)

2.3.1 Definisi Relaksasi otot Progresif (Progressive Muscle Relaxation)

Relaksasi merupakan teknik mengatasi stres dan kecemasan melalui

pengendoran otot-otot dan saraf yang terjadi atau bersumber dari objek tertentu

(Thantawy, 1997). Relaksasi merupakan suatu kondisi istirahat pada aspek fisik

dan mental individu, sementara aspek bawah sadar tetap bekerja. Dalam keadaan

relaksasi seluruh tubuh dalam keadaan seimbang, keadaan tenang tapi tidak

tertidur dan seluruh otot dalam keadaan rileks dan posisi tubuh yang nyaman.

Mengurangi ketegangan otot merupakan komponen dari terapi

komplementer yang digunakan untuk menurunkan angka kecemasan dan


25

memberikan kenyamanan (Snyder, Pestka & Bly, 2006). Sebagai contoh, relaksasi

otot sering menjadi bagian dari guided imagery. Banyak teknik yang ditawarkan

untuk memberikan relaksasi otot. Salah satu yang sering digunakan adalah tehnik

relaksasi otot progresif (Progressive Muscle Relaxation) yang diperkenalkan oleh

Edmund Jacobson pada tahun 1938.

Relaksasi otot memberikan sensasi kesadaran terhadap otot dan ketegangan

yang ada pada diri individu dan menurunkan ketegangan tersebut. Kesadaran

tersebut dapat dicapai dengan menegangkan otot-otot dan merelakskannya dengan

fokus terhadap otot tersebut dan membayangkan otot tersebut bebas dari

ketegangan yang dirasakan (Snyder, Pestka & Bly, 2006).

Progressive Muscle Relaxation merupakan salah satu teknik untuk

mengurangi ketegangan otot dengan proses yang simpel dan sistematis dalam

menegangkan sekelompok otot kemudian merilekskannya kembali (Snyder,

Pestka & Bly, 2006). Ketika otot tubuh terasa tegang, kita akan merasakan

ketidaknyamanan, seperti sakit pada leher, punggung belakang, serta ketegangan

pada otot wajahpun akan berdampak pada sakit kepala. Jika ketegangan otot ini

dibiarkan akan menganggu aktivitas dan keseimbangan tubuh seseorang (Marks,

2011).

Progressive Muscle Relaxation merupakan kombinasi latihan pernafasan

yang terkontrol dengan rangkaian kontraksi serta relaksasi kelompok otot.

Kegiatan ini menciptakan sensasi dalam melepaskan ketidaknyamanan dan stress

(Potter dan Perry, 2005). Dengan melakukan tindakan Progressive Muscle


26

Relaxation secara berkelanjutan, seorang individu dapat merasakan relaksasi otot

pada berbagai kelompok otot yang diinginkan.

Dalam buku aslinya 'Progressive Relaxation', Dr Jacobson mengembangkan

serangkaian 200 latihan relaksasi otot yang berbeda dan program pelatihan yang

memerlukan waktu berbulan-bulan untuk menyelesaikan. Saat ini serangkaian

teknik tersebut telah disederhanakan menjadi 15-20 latihan dasar, yang telah

ditemukan dan memberikan efek yang sama dengan gerakan aslinya jika

dilakukan secara teratur (Jacobson, 1938 dalam Snyder, Pestka & Bly, 2006).

2.2.2 Manfaat Progressive Muscle Relaxation

Progressive Muscle Relaxation memberikan hasil yang memuaskan dalam

program terapi terhadap ketegangan otot, menurunkan kecemasan, memfasilitasi

tidur, depresi, mengurangi kelelahan, kram otot, nyeri pada leher dan pungung,

menurunkan tekanan darah tinggi, fobia ringan, serta meningkatkan konsentrasi

(Davis, 1995). Target yang tepat dan jelas dalam memberikan Progressive Muscle

Relaxation pada keadaan yang memiliki respon ketegangan otot yang cukup tinggi

dan membuat tidak nyaman sehingga dapat menggangu kegiatan sehari-hari.

Jacobson (1938) dalam Snyder, Pestka & Bly, (2006) mengatakan bahwa

Progressive Muscle Relaxation menurunkan konsumsi oksigen tubuh,

metabolisme tubuh, frekuensi nafas, ketegangan otot, kontraksi ventrikel yang

tidak sempurna, tekanan darah sistolik dan diastolik, dan meningkatkan

gelombang alpha otak.


27

Manfaat dari Progressive Muscle Relaxation telah dibuktikan pada beberapa

jenis penyakit dan gangguan pada pasien yang dibuktikan dengan penelitian yang

dilakukan di dunia maupun di Indonesia.Singh pada tahun 2009 melakukan

penelitian penggunaan teknik Progressive Muscle Relaxation pada pasien COPD

yang mengalami kecemasan. Dalam penelitiannya diketahui bahwa setelah

dilakukan dua kali tindakan PMR, maka tingkat ansietas pasien dengan penyakit

COPD memiliki penurunan angka kecemasan terhadap penyakitnya sehingga

memberikan dampak positif terhadap perjalanan proses penyembuhannya.

Wilk dan Turkoski (2001) melakukan penelitian penggunaan Progressive

Muscle Relaxation pada pasien rehabilitasi pasca operasi jantung dan berhasil

mencegah kenaikan tekanan darah dan mencegah terjadinya kecemasan.

Progressive Muscle Relaxation juga efektif untuk mengurangi mual muntah

pasien kanker payudara (Mollasiotis, Yam, Chan & Mok, 2002). Pasien yang

menjalani rehabilitasi penyakit gangguan pernafasan penyakit paru yang

mengalami kecemasan dilakukan pemberian teknik relaksasi Progressive Muscle

Relaxation rutin selama dalam proses rehabilitasi efektif untuk mengatasai cemas

pada pasien rehabilitasi pada pasien gangguan pernafasan penyakit paru (Lee,

Bhattacharya, Sohn & Verres, 2012).

Lauche (2013) melakukan penelitian melihat efektifitas antara massase

cuping dan Progressive Muscle Relaxation pada pasien chronic neck pain yang

dilakukan selama 12 minggu dan memperoleh hasil bahwa pasien yang menerima

massase cuping hidung tetap mengalami nyeri dan peningkatan tekanan darah
28

sedangkan pada pasien yang menerima Progressive Muscle Relaxation mengalami

angka penurunan nyeri dan stabil hingga minggu ke 12. Sehingga dapat diketahui

bahwa Progressive Muscle Relaxation lebih efektif untuk mengurangi nyeri

kronis leher pasien dari pada massase cuping. Vancamport (2012) meneliti

Progressive Muscle Relaxation dalam menurunkan gejala dan tanda kecemasan,

psikologi distres dan untuk meningkatkan angka kesembuhan pasien dengan

penyakit skizofrenia.

Di Indonesia penelitian penggunaan Progressive Muscle Relaxation sudah

pernah ada dilakukan beberapa diantaranya Mashudi (2011) melakukan penelitian

berupa pemberian tindakan latihan Progressive Muscle Relaxation pada pasien

dengan kadar glukosa darah pasien DM Tipe 2 di Jambi mendapatkan hasil bahwa

tindakan PMR memiliki hubungan yang signifikan dalam menurunkan kadar

glukosa darah pasien DM Tipe 2. Penelitian Harmono 2010 Progressive Muscle

Relaxation juga menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi. Penelitian

Duma (2012) Progressive Muscle Relaxation meningkatkan kemampuan

memaknai hidup pasien pasien kanker dan menjadi alternatif dalam terapi

keperawatan dalam merawat luka kanker dengan kecemasan dan depresi.

Latihan relaksasi otot progresif mempunyai manfaat langsung secara

fisiologis maupun psikologis. Relaksasi dapat menenangkan sistem syaraf

sehingga membuat tubuh penderita menjadi rileks. Manfaat relaksasi bagi

penderita DM tipe II begitu penting dengan mempertimbangkan tekanan fisik dan

psikologis yang dialami penderita. Relaksasi membuat tubuh melepaskan hormon


29

endorphin yang dapat menenangkan sistem syaraf. Tubuh yang rileks membuat

stress yang dihadapi penderita menurun sehingga produksi hormon stress yang

umumnya meningkatkan kadar glukosa darah menjadi berkurang (Rose, 2014).

Manfaat lain dari latihan relaksasi otot progresif adalah meningkatkan

sirkulasi darah. Meningkatnya sirkulasi darah akan membantu proses penyerapan

dan pembuangan sisa-sisa metabolisme dari dalam jaringan serta memperlancar

distribusi nutrisi. Peningkatan sirkulasi memungkinkan penyerapan lebih efisien

insulin oleh sel-sel karena sirkulasi darah penderita DM sering terganggu karena

efek dari peningkatan kadar gula darah pada sel-sel tubuh (Thomson, 2012).

2.2.3 Prinsip Kerja Progressive Muscle Relaxation

Dalam melakukan Progressive Muscle Relaxation, hal yang penting dikenali

adalah tegangan otot ketika otot berkontraksi (tegang) maka rangsangan akan

disampaikan ke otot melalui jalur saraf aferent. Tension merupakan kontraksi dari

serat otot rangka yang menghasilkan sensasi tegangan. Relaksasi adalah

pemanjangan dari serat serat otot tersebut yang dapat menghilangkan sensasi

ketegangan setelah memahami dalam mengidentifikasi sensasi tegang, kemudian

dilanjutkan dengan merasakan relaks. Ini merupakan sebuah prosedur umum

untuk mengidentifikasi lokalisasi ketegangan, relaksasi dan merasakan perbedaan

antara keadaan tegang (tension) dan relaksasi yang akan diterapkan pada semua

kelompok otot utama. Dengan demikian, dalam Progressive Muscle

Relaxationdiajarkan untuk mengendalikan otot-otot rangka sehingga


30

memungkinkan setiap bagian merasakan sensasi tegang dan relaks secara

sistematis (Mc Guigan dan Lehrer, 2005).

Teknik kerja Progressive Muscle Relaxation mencakup:

a. Mengisolasi kelompok otot yang terpilih saat fase kontraksi dan otot lain

dalam keadaan rileks.

b. Mengontraksikan kelompok otot yang serupa pada kedua sisi tubuh secara

bersamaam (misalnya: kedua tangan).

c. Memfokuskan perhatian pada intensitas kontraksi, rasakan ketegangan pada

setiap kelompok otot.

d. Selama fase relaksasi, fokuskan pikiran untuk merasakan kondisi relaks

tersebut. Bandingkan kondisi kontraksi (tension) dengan kondisi relaks.

2.2.4 Mekanisme Fisiologi Progressive Muscle Relaxation dalam


Menurunkan kadar gula darah

Kontraksi dari serat otot rangka mengarah kepada sensasi dari tegangan

otot yang merupakan hasil dari interaksi yang kompleks dari sistem saraf pusat

dan sistem saraf tetapi dengan otot dan sistem otot rangka. Dalam hal ini, saraf

pusat melibatkan sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis. Beberapa

organ dipengaruhi oleh kedua sistem saraf ini. Walaupun demikian, terdapat

perbedaan antara efek sistem saraf simpatis dan para simpatis yang berasal dari

otak dan saraf tulang belakang (Andreassi, 2000 dalam Conrad dan Roth, 2007).

Antara simpatik dan para simpatik bekerja saling timbal balik. Aktifasi dari sistem

saraf simpatik disebut juga erotropic atau respon figh or flight (Cannon, 1929

dalam Conrad dan Roth, 2007) dimana organ diaktifitas untuk keadaan stress.
31

Respon ini memerlukan energi yang cepat, sehingga hati lebih banyak

melepaskan glukosa untuk menjadi bahan bakar otot sehingga metabolisme juga

meningkatkan. Cannon (1929) dalam Conrad dan Roth (2007) mengobservasi

efek dari saraf simpatis, yaitu meningkatkan denyut nadi, tekanan darah,

hiperglikemia, dan dilatasi pupil, pernafasan meningkatkan, serta otot menjadi

tegang.

Aktivitas dari sistem saraf parasimpatis disebut juga trophotropic yang

dapat menyebabkan perasaan ingin istirahat, dan perbaikan fisik tubuh. aktivas ini

merupakan dasar yang disebut Benson (1972) dalam Condrad dan Roth (2007)

yaitu respon relaksasi. Respon parasimpatik meliputi penurunan denyut nadi dan

tekanan darah serta meningkatkan aliran darah (Conrad dan Roth, 2007). Oleh

sebab itu melalui latihan relaksasi dapat memunculkan respon relaksasi sehingga

dapat mencapai keadaan tenang.

Penurunan kadar gula darah setelah dilakukan relaksasi otot progresif

dikarenakan latihan relaksasi otot progresif akan menghambat jalur umpan balik

stress dan membuat tubuh pasien rileks. Sistem parasimpatis akan mendominasi

pada keadaan seseorang yang rileks dimana beberapa efek yang ditimbulkan

adalah menurunkan kecepatan kontraksi jantung dan merangsang sekresi hormon

insulin. Dominasi system saraf parasimpatis akan merangsang hipotalamus untuk

menurunkan sekresi corticotrophinreleasing hormone (CRH). Penurunan CRH

akan mempengaruhi adenohipofisis untuk mengurangi sekresi

hormonadenokortikotropik (ACTH). Keadaan ini dapat menghambat korteks


32

adrenal untuk melepaskan hormone kortisol. Penurunan hormon kortisol akan

menghambat proses glukoneogenesis dan meningkatkan pemakaian glukosa oleh

sel, sehingga kadar gula darah yang tinggi akan menurun dan kembali dalam batas

normal (Guyton & Hall, 2007 dalam Dafianto, 2016).

2.2.5 Pelaksanaan Progressive Muscle Relaxation

Davis (2005), Progressive Muscle Relaxation memberikan cara dalam

mengidentifikasi otot dan kumpulan otot tertentu serta membedakan antara

perasaan tegang dan relaks. Dalam pelaksanaannya, otot akan mendapatkan

penegangan terlebih dahulu kemudian menghentikan penegangan dan merasakan

hilangnya ketegangan otot secara rileks. Untuk hasil yang maksimal, dianjurkan

untuk melakukan latihan Progressive Muscle Relaxation sebanyak 2 kali sehari

selama satu minggu dengan waktu 20-30 menit (Davis, 2005). Greenberg (2002)

mengatakan bahwa latihan Progressive Muscle Relaxation akan memberikan

pengaruh yang signifikan setelah dilakukan sebanyak 3 kali latihan. Waktu yang

diperlukan untuk melakukan Progressive Muscle Relaxation sehingga dapat

menimbulkan efek yang maksimal adalah selama satu sampai dua minggu dan

dilaksanakan selama satu sampai dua kali 15 menit per hari (Davis, 1995).

Dalam buku aslinya 'Progressive Relaxation', Dr Jacobson

mengembangkan serangkaian 200 latihan relaksasi otot yang berbeda dan

program pelatihan yang memerlukan waktu berbulan-bulan untuk menyelesaikan.

Saat ini ini serangkaian teknik tersebut telah disederhanakan menjadi 15-20

latihan dasar yang telah ditemukan dan memberikan efek yang sama dengan
33

gerakan aslinya jika dilakukan secara teratur (Jacobson, 1938 dalam Conrad &

Roth, 2007).

Progressive Muscle Relaxation memberikan kondisi tegang dan relaks,

secara bergantian, enam belas kelompok otot tubuh yang berbeda. Tekniknya

adalah dengan memberikan ketegangan (sesuai kemampuan individu) kepada otot

selama sekitar 10 detik dan kemudian merilekskannya. Setelah itu individu

merasakan perasaan rileks dan santai selama 15-20 detik dan rasakan perubahan

kondisi tegang dan rileks (Jacobson, 1938). Jika sudah berada dalam kondisi yang

nyaman, lakukan latihan sebagai berikut:

a. Untuk memulai awali denga tarik nafas dalam sebanyak 3 kali, tarik nafas

melalui hidung dan menghembuskan napas perlahan-lahan melalui mulut dan

setiap kali menghembuskan nafas rasakan ketegangan seluruh tubuh hilang.

b. Kepalkan tangan, tahan selama 7-10 detik dan kemudian lepaskan selama 15-

20 detik. Gunakan interval waktu yang sama untuk semua kelompok otot lain.

c. Kencangkan otot bisep Anda dengan menggambar lengan Anda ke arah bahu

dan "membuat otot" dengan kedua tangan. Tahan dan kemudian relaks.

d. Kencangkan trisep, otot pada sisi bawah lengan atas dengan memperpanjang

lengan Anda keluar lurus dan mengunci siku Anda. Tahan dan kemudian

relaks.

e. Tegangkan otot-otot di dahi Anda dengan menaikkan alis Anda sejauh yang

Anda bisa. Tahan dan kemudian relaks. Bayangkan otot dahi Anda menjadi

halus dan lemas.


34

f. Tegang otot-otot di sekitar mata Anda dengan menutup kelopak mata Anda

tertutup rapat. Tahan dan kemudian relaks. Bayangkan sensasi relaksasi yang

mendalam menyebar di sekitar mata.

g. Kencangkan rahang dengan membuka mulut Anda begitu lebar bahwa Anda

meregangkan otot-otot sekitar engsel rahang Anda. Tahan dan kemudian

relaks. Biarkan bibir Anda dan bagian rahang Anda untuk longgar dan rileks.

h. Kencangkan otot-otot di bagian belakang leher Anda dengan menarik kepala

Anda ke belakang, seolah-olah Anda akan menyentuh kepala Anda ke

punggung Anda (semampu anda dan tidak untuk dipaksakan). Fokus hanya

pada menegangkan otot-otot di leher Anda. Tahan dan kemudian relaks.

i. Kencangkan bahu Anda dengan meningkatkan mereka seolah-olah Anda akan

menyentuh telinga Anda. Tahan dan kemudian relaks.

j. Kencangkan otot-otot sekitar tulang belikat Anda dengan mendorong bahu

Anda kembali seolah-olah Anda akan menyentuh mereka bersama-sama.

Tahan ketegangan di bahu Anda dan kemudian relaks .

k. Kencangkan otot-otot dada Anda dengan mengambil napas dalam-dalam.

Tahan hingga 10 detik dan kemudian lepaskan perlahan-lahan. Bayangkan

ketegangan berlebih di dada mengalir pergi dengan pernafasan.

l. Kencangkan otot perut Anda dengan mengecilkan perut Anda masuk Tahan

dan kemudian lepaskan. Bayangkan gelombang relaksasi menyebar melalui

perut Anda.
35

m. Kencangkan punggung bawah dengan melengkung ke atas. (jangan lakukan

bagian ini kalau ada nyeri punggung). Tahan dan kemudian relaks.

n. Kencangkan bokong Anda dengan menarik mereka bersama-sama. Tahan dan

kemudian relaks. Bayangkan otot-otot di pinggul Anda akan longgar dan

lemas.

o. Remas otot-otot di paha Anda semua jalan ke lutut. Anda mungkin harus

mengencangkan pinggul Anda bersama dengan paha. Tahan dan kemudian

relaks. Rasakan otot-otot paha Anda santai sepenuhnya.

p. Kencangkan otot betis Anda dengan menarik jari-jari kaki ke arah Anda

(melenturkan dengan hati-hati untuk menghindari kram). Tahan dan

kemudian relaks .

q. Kencangkan kaki Anda dengan jari-jari kaki meringkuk ke bawah. Tahan

dan kemudian relaks.

r. Sekarang bayangkan gelombang relaksasi perlahan-lahan menyebar ke

seluruh tubuh Anda, mulai dari kepala Anda dan secara bertahap menembus

setiap kelompok otot sepanjang jalan turun ke jari-jari kaki Anda.

Penelitian ini akan melakukan pemberian latihan Progressive Muscle

Relaxation dengan menggunakan modifikasi oleh Davis (1995) pada 10

kelompok otot utama yang meliputi (1) kelompok otot pergelangan tangan, (2)

kelompok otot lengan bawah, (3) kelompok otot siku dan lengan atas, (4)

kelompok otot bahu, (5) kelompok otot kepala dan leher, (6) kelompok otot
36

wajah, (7) kelompok otot punggung, (8) kelompok otot dada, (9) kelompok otot

perut, (10) kelompok otot kaki dan paha.

Latihan Progressive Muscle Relaxation akan dilakukan kepada kelompok

intervensi dengan latihan panduan secara langsung di Puskesmas dan latihan

mandiri di rumah dengan melihat buku panduan dalam durasi waktu 30 menit per

latihan dan selama 4 minggu. Relaksasi dilakukan secara bertahap dan

dipraktekkan dengan berbaring atau duduk di kursi dengan kepala di topang

dengan bantal. Setiap kelompok otot di tegangkan selama 5-7 detik dan di

relaksasikan selama 10-20 detik. Prosedur ini diulang paling tidak satu kali.

Petunjuk progressive muscle relaxation dibagi dalam dua bagian, yaitu bagian

pertama dengan mengulang kembali pada saat praktek sehingga lebih mengenali

bagian otot tubuh yang paling sering tegang, dan bagian kedua dengan prosedur

singkat untuk menegangkan merilekskan beberapa otot secara simultan sehingga

relaksasi otot dapat dicapai dalam waktu singkat. Adapun urutan pelaksanaannya

adalah sebagai berikut:

a. Kelompok otot pergelangan tangan

1) Rentangkan lengan dan kepalkan kedua telapak tangan anda dengan

kencang, sekuat dan semampu yang anda bisa. Rasakan ketegangan pada

kedua pergelangan tangan anda selama 5-7 detik.

2) Lepaskan kepalan tangan anda dan rasakan tangan anda menjadi lemas

dan semua ketegangan pada tangan anda menjadi hilang. Rasakan hal

tersebut selama 10-20 detik.


37

3) Ulangi lagi gerakan menegangkan dan melemaskan otot tangan anda.

Rasakan pergelangan tangan anda menjadi semakin lemas.

b. Kelompok otot lengan bawah

1) Tekuklah kedua lengan ke belakang pada pergelangan tangan sekuat dan

semampu yang anda bisa. Sehingga otot-otot di tangan bagian belakang

dan lengan bawah menegang, jari-jari terbuka menghadap ke langit-langit.

Rasakan ketegangan pada bagian lengan bawah selama 5-7 detik.

2) Lemaskan dan luruskan kembali tangan bagian bawah anda pada posisi

yang nyaman. Rasakan lengan bawah dan telapak tangan anda menjadi

lemas dan seya ketegangan hilang. Rasakan hal tersebut selama 10-20

detik.

3) Ulangi lagi gerakan menegangkan dan melemaskan otot lengan bawah

anda, rasakan perbedaan pada saat tegang dan lemas serta rasakan lengan

bawah anda menjadi semakin lemas.

c. Kelompok otot siku dan lengan atas

1) Genggamlah kedua tangan sehingga menjadi kepalan kemudian bawa

kedua kepalan ke pundak sehingga otot-otot lengan atas terasa kencang

dan tegang. Lakukanlah sebisa dan semampu anda. Lakukan selama 5-7

detik.

2) Luruskan siku dan jari-jari anda, rasakan lengan atas anda menjadi lemas

dan ketegangan pada lengan atas sudah hilang. Rasakan hal tersebut 10-20

detik.
38

3) Ulangi lagi gerakan menegangkan otot siku dan lengan atas anda, rasakan

perbedaan antara saat tegang dan lemas serta rasakan otot siku dan lengan

atas semakin lemas.

d. Kelompok otot bahu

1) Angkat kedua bahu setinggi-tingginya seakan-akan bahu akan dibawa

menyentuh kedua telinga. Rasakan ketegangan pada bahu selama 5-7

detik.

2) Lemaskan bahu anda hingga semua ketegangan pada bahu anda tadi

hilang. Rasakan hal tersebut selama 10-20 detik.

3) Ulangi gerakan tersebut dan rasakan otot bahu anda semakin lemas.

e. Kelompok otot kepala dan leher

1) Tekuk leher dan kepala anda ke belakang hingga menekan bantal, rasakan

ketegangan pada leher dan kepala bagian belakang. Rasakan

ketegangannya selama 5-7 detik

2) Lemaskan dan luruskan kepada dan leher anda hingga semua ketegangan

pada kepala dan leher anda hilang. Lakukan dalam 10-20 detik.

3) Ulangi gerakan dan rasakan otot tersebut menjadi sangat lemas

4) Tekuk leher dan kepala anda ke depan hingga menyentuh dada, rasakan

ketegangan pada leher dan kepala bagian depan selama 5-7 detik.

5) Lemaskan dan luruskan kepala dan leher anda hingga semua ketegangan

pada kepala dan leher anda hilang, rasakan dalam 10-20 detik.

6) Ulangi gerakan dan rasakan otot semakin lemas


39

f. Kelompok otot wajah

1) Kerutkan dahi anda ke atas dan rasakan ketegangan pada dahi anda

selama 5-7 detik

2) Lemaskan dahi anda sehingga ketegangan pada dahi anda akan hilang,

rasakan hal ini selama 10-20 detik.

3) Ulangi gerakan tersebut dan rasakan dahi anda semakin lemas.

4) Tutup mata anda sekuat dan semampu yang anda bisa, rasakan

ketegangan pada mata selama 5-7 detik.

5) Lemaskan mata perlahan-lahan dan hilangkan ketegangannya selama 10-

20 detik.

6) Ulangi gerakan menegangkan mata dan melemaskannya dan rasakan mata

semakin lemas.

7) Katupkan rahang dan gigi anda secara bersamaan sekuat dan semampu

yang anda bisa, rasakan ketegangannya selama 5-7 detik.

8) Lemaskan rahang anda dan hilangkan ketegangannya perlahan-lahan dan

rasakan dalam 10-20 detik.

9) Ulangi gerakan tersebut hingga anda merasakan rahang anda semakin

lemas.

10) Monyongkan bibir anda ke depan sekuat dan semampu yang anda bisa,

rasakan ketegangan selama 5-7 detik.

11) Lemaskan bibir dan hilangkan ketegangan pada bibir selama 10-20 detik.

12) Ulangi gerakan dan rasakan bibir semakin lemas.


40

g. Kelompok otot punggung

1) Jika anda dalam posisi tidur, maka bangunlah dan jadikan posisi anda

duduk di tempat tidur. Lengkungkan punggung dan busungkan dada

sekuat dan semampu yang anda bisa, rasakan ketegangan pada punggung

selama 5-7 detik.

2) Lemaskan punggung anda sehingga ketegangannya hilang dan rasakan

melemasnya punggung 10-20 detik.

3) Ulangi gerakan dan rasakan lemasnya punggung anda.

h. Kelompok otot dada

1) Tarik nafas dalam dan tahan semampu anda. Rasakan ketegangan pada

dada selama 5-7 detik.

2) Lemaskan otot dada sambil mengeluarkan nafas secara perlahan-lahan

rasakan hilangnya ketegangan pada dada dalam 10-20 detik.

3) Ualngi gerakan kembali dan rasakan dada semakin lemas.

i. Kelompok otot perut

1) Tarik perut ke bagian dalam dan bernafaslah secara perlahan-lahan,

rasakan ketegangan pada perut selama 5-7 detik.

2) Lemaskan otot perut, dan hilang kan ketegangan serta rasakan

melemasnya otot perut dalam 10-20 detik.

3) Ulangi gerakan dan rasakan otot perut yang semakin lemas

j. Kelompok otot kaki dan paha


41

1) Tekuk telapak kaki ke arah atas, tekuk sebisa mungkin, dan rasakan

ketegangannya selama 5-7 detik.

2) Lemaskan otot-otot kaki dan paha, hilangkan ketegangannya dan rasakan

selama 10-20 detik.

3) Ulangi gerakan dan rasakan kaki dan paha semakin lemas.

4) Tekuk telapak kaki ke arah bawah, sehingga otot betis menjadi tegang,

rasakan ketegangannya selama 5-7 detik.

5) Hilangkan ketegangan perlahan-lahan dan rasakan otot tersebut lemas

selama 10-20 detik.

2.3 Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan landasan berfikir untuk melakukan penelitian

yang dikembangkan berdasarkan teori, dimana disusun berdasarkan variabel-

variabel yang ada dalam penelitian. Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah :

Variabel terikat (Dependent) dalam penelitian ini adalah kadar glukosa darah pada

DMT2 sebelum dan setelah mendapat relaksasi otot progresif. Variabel bebas

(independent) dalam penelitian ini adalah relaksasi otot progresif pada pasien

DMT2 yang dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok intervensi dan

kelompok kontrol. Variabel pengganggu (confounding) dalam penelitian ini

adalah usia, jenis kelamin, penyakit penyerta dan lamanya menderita diabetes.

Hubungan antara variabel dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.1
42

Variabel independen Variabel dependen


Relaksasi otot progresif Kadar Gula darah

Variabel Penggangu
Confounding
Usia
Jenis kelamin
Penyakit penyerta
Lamanya menderita DM

Gambar 2.1. Kerangka Konsep


43

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif atau

quantitative design dengan pendekatan desain quasi eksperimen (Polit & Beck,

2012). Desain quasi eksperimen adalah penelitian yang mengujicoba suatu

intervensi pada sekelompok subjek dengan atau tanpa pembanding namun dalam

penelitian tersebut tidak dilakukan randomisasi untuk memasukkan subjek ke

dalam kelompok perlakuan atau kontrol (Dharma, 2015). Penelitian ini

memberikan manipulasi berupa tindakan progressive muscle relaxation pada

penderita DM tipe 2. Desain penelitian ini adaah dengan pretest-posttest control

group design yaitu melakukan perbandingan antara kelompok intervensi dan

kelompok kontrol sebelum dan sesudah diberikan intervensi (Polit & Beck, 2012).

Berdasarkan hipotesa penelitian untuk menjawab tujuan umum penelitian

maka bentuk skema penelitian akan tergambar dengan:

Pre Test Post Test


X
Test
Kelompok Intervensi O1 O2

Kelompok Kontrol O1 O2

Skema 3.1. Skema Penelitian


44

Keterangan:

Kelompok intervensi : kelommpok pasien yang menerima intervensi Relaksasi

otot progresif

Kelompok kontrol : kelompok pasien yang tidak menerima intervensi Relaksasi

otot progresif

O1 : Kadar Gula Darah pasien sebelum intervensi

X : Intervensi berupa teknik relaksasi otot progresif yang diberikan 2 kali

seminggu dipandu oleh peneliti selama 3 minggu dengan durasi waktu 15 menit.

O2: Kadar Gula Darah pasien setelah intervensi

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di desa yang merupakan daerah wilayah kerja

Puskesmas Sonomartoni Labura. Pada awalnya peneliti berencana memilih

Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Labura sebagai tempat penelitian, namun

karena kondisi responden yang sedang menjalani pengobatan rawat jalan dan

lokasi rumah sakit jauh dari tempat tinggal, sedangkan untuk ikut kegiatan

penelitian yang dilakukan secara rutin 4 kali seminggu dibutuhkan ketersediaan

waktu yang cukup dari responden, sehingga membuat responden sulit untuk

dilibatkan dalam kegiatan penelitian. Peneliti memilih wilayah kerja Puskesmas

Sanomartoni menjadi tempat penelitian dengan beberapa pertimbangan, antara

lain yaitu masyarakat yang menderita penyakit diabetes mellitus cukup tinggi di

wilayah tersebut dan terus meningkat tiap tahunnya, partisipasi masyarakat cukup

baik dalam mengikuti kegiatan yang diadakahb pihak Puskesmas Sonomartoni


45

dan peneliti adalah pegawai dari puskesmas tersebut, sehingga memberikan

peluang bagi peneliti untuk mengajak masyarakat penderita DMT2 untuk

mengikuti kegiatan relaksasi otot progresif, lokasi penelitian memberikan

kemudahan bagi peneliti, dan juga di tempat tersebut belum ada riset keperawatan

yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti. Penelitian akan dilakukan pada

bulan Januari 2018 selama 6 minggu dengan kegiatan intervensi penelitian selama

3 minggu.

3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi

Target populasi pada penelitian ini adalah penderita DMT2 yang

bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas Sonomartoni Labura.

3.3.2. Sampel

Pengambilan sample dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik non

probability sampling jenis consecutive sampling, yaitu rekrutmen semua orang

dari populasi yang ada yang memenuhi kriteria kelayakan selama interval waktu

tertentu atau sampai ukuran sampel ditetapkan (Polit & Beck, 2012). Consecutive

sampling adalah suatu metode pemilihan sampel yang dilakukan dengan memilih

semua individu yang ditemui dan memenuhi kriteria pemilihan (kriteria inklusi),

sampai jumlah sampel yang diinginkan terpenuhi (Dharma, 2011).

Pengambilan sampel dalam penelitian ini didasarkan pada kriteria inklusi,

kriteria ekslusi dan kriteria drop out yang dbuat oleh peneliti. Kriteria inklusi dari

sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1). Usia penderita DMT2 ≥ 36
46

tahun, 2). Penderita DMT2 tanpa penyakit penyerta, 3). Bersedia menjadi peserta

dalam penelitian, 4). Mampu mengikuti program relaksasi otot progresif, 5).

Mendapat obat hiperglikemia oral, 6). Tekanan darah normal.

Kriteria ekslusi dalam penelitian ini yaitu 1). Penderita DMT2 menderita

penyakit jantung, 2). Mengalami nyeri sendi, dan 3). Kadar glukosa darah

sewaktu ≤ 100 mg/dl, dan kriteria drop out dalam penelitian ini yaitu 1).

Menderita sakit lainnya dalam waktu kegiatan penelitian, 2). Absen dari kegiatan

penelitian.

3.3.3. Ukuran sampel

Sugiono (2010) mengemukakan beberapa pendapat ahli untuk jumlah

sampel penelitian eksperimental diantaranya: Gay dan Diehl (1992), Apabila

penelitian eksperimental, sampel minimumnya adalah 15 subjek per group. Tidak

jauh berbeda dari Gay & Diehl, Roscoe (1975) dalam Gay dan Diehl (1992)

mengatakan bahwa untuk penelitian eksperimental sederhana dengan kontrol

eskperimen, penelitian yang sukses adalah mungkin dengan ukuran sampel kecil

antara 10 sampai dengan 20. Frankel dan Wallen (1993) mengatakan, Penelitian

eksperimental sebanyak 30/15 per group. Sehingga peneliti merencanakan sampel

dalam penelitian adalah 20 orang tiap groupnya dengan estimasi dropout 5 orang.

3.4. Metode Pengumpulan Data

3.4.1. Tahap persiapan

Pada tahap ini peneliti mempersiapkan instrumen yang digunakan untuk

pengumpulan data berupa kuesioner karakteristik responden, lembar prosedur


47

latihan relaksasi otot progresif, panduan pelaksanaan latihan relaksasasi otot

progresif, lembar observasi program kegiatan tehnik relaksasi otot progresif,

lembar observasi hasil pemeriksaan kadar glukosa darah pretest dan posttest,

peralatan glukometer (alat dengan merk Gluko DR) dan tensi meter. Kemudian

peneliti melakukan prosedur administratif yaitu peneliti mengurus perizinan

pelaksanaan penelitian dari STIKes Flora Medan dan selanjutnya surat izin

tersebut disampaikan ke puskesmas yang menjadi tempat penelitian.

3.4.2. Tahap pelaksanaan

Pelaksanaan kegiatan penelitian akan dilakukan selama 6 minggu dengan

dimulai kegiatan identifikasi sampel, dilanjutkan dengan kegiatan sosialisasi

tujuan, prosedur pelaksanaan, waktu dan manfaat penelitian, kemudian dilakukan

kegiatan intervensi penelitian yang diawali dengan kegiatan pretest (pengukuran

nilai kadar glukosa darah sebelum intervensi penelitian) dan dilanjutkan dengan

kegiatan intervensi penelitian selama 3 minggu, untuk kegiatan postest dilakukan

pada setiap akhir minggu setelah kegiatan intervensi penelitian.

Peneliti mensosialisasikan program penelitian dengan memberikan

informasi tentang tujuan penelitian, prosedur pelaksanaan, waktu, dan manfaat

penelitian dengan jelas kepada responden. Selanjutnya setelah responden cukup

jelas dengan program penelitian yang akan dilakukan, tanpa unsur paksaan

peneliti meminta kesediaan penderita DMT2 secara sukarela untuk menjadi

responden penelitian dengan menandatangani lembar informed consent.


48

Bagi pasien yang sudah bersedia menjadi responden penelitian maka

dicatat dan diurutkan dengan nomor urut 1, 2, 3, dst. Pasien dengan nomor urut

ganjil menjadi kelompok kontrol dan dengan nomor urut genap menjadi kelompok

intervensi. Kemudian meminta responden mengisi kuesioner untuk mendapatkan

data karakteristik responden.

Kelompok intervensi dilakukan hal-hal sebagai berikut:

a. Sebelum dilakukan tehnik relaksasi otot progresif peneliti terlebih dahulu

melakukan pretest berupa pengukuran kadar glukosa darah responden dengan

menggunakan alat glukometer (pengujian sebelum intervensi/ perlakuan).

Petunjuk menggunakan alat ini yaitu : ujung jari disuntikkan jarum lancet

untuk mengelurkan sedikit darah, kemudian darah diteteskan ke alat yang

dinamakan chekck strip (pada bagian ujungnya), selanjutnya check strip

tersebut dimasukkan ke alat glukometer dan angka kadar glukosa darah pun

akan tertera pada layar glukometer, check strip hanya digunakan untuk sekali

pakai pada seorang penderita diabetes yang akan diukur glukosa darahnya.

Hasil pemeriksaan tersebut dicatat di lembar observasi.

b. Kemudian peneliti langsung memberikan terapi relaksasi otot progresif

dengan panduan yang sudah disiapkan pada kelompok intervensi.

c. Responden diberikan tindakan yaitu 2 kali dalam satu minggu dengan durasi

waktu 15 menit. Latihan relaksasi otot progresif dilakukan selama 3 minggu

pemantauan, 2 kali dalam satu minggu.


49

d. Prosedur terus berlanjut hingga satu orang responden mendapatkan minimal

masing-masing 6 kali perlakukan secara langsung.

e. Kemudian peneliti memberikan reinforcement kepada responden terhadap

pencapaian target latihan relaksasi otot progresif yang telah dilakukan oleh

responden.

f. Posttest dilakukan peneliti pada akhir minggu setelah responden melakukan

sesi tehnik relaksasi otot progresif selama 1 minggu intervensi dengan

mengukur kembali kadar glukosa darah. Hasil pemeriksaan dicatat di lembar

observasi dan diamati terhadap adanya perubahan

g. Selama penelitian berlangsung kelompok kontrol tidak mendapatkan

perlakukan teknik relaksasi otot progresif hanya mendapatkan perlakukan

rutin yang dilakukan di Puskesmas

3.5. Variabel dan Definisi Operasional

3.5.1. Variabel penelitian

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari 1). Variabel bebas (independent) yaitu

tehnik relaksasi otot progresif, 2). Variabel terikat (dependent) yaitu kadar

glukosa darah.

3.5.2. Definisi operasional

Tabel 3.2 Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Hasil Ukur SkalaUkur


Dependen : Adalah hasil Pengukuran Nilai Numerik
Kadar pengukuran gula dengan glukosa
glukosa darah yang menggunakan dalam darah
darah diukur setelah glukometer dengan
setelah intervensi penelitian dan satuan
50

intervensi (tehnik relaksasi otot hasilnya mg/dL.


progresif) diobservasi (Nilai
ratarata).
Independen: Teknik menegangkan Menggunakan lembar Dikelompok Nominal
tehnik otot-otot dan prosedur pelaksanaan kan menjadi
relaksasi merelakskannya tehnik relaksasi otot 2 bagian,
otot dengan progresif yang yaitu;
progresif membayangkan otot disertai dengan
tersebut bebas dari gambar kontraksi dan 1.
ketegangan dan relaksasi pada 10 Dilakukan
merasakan perbedaan kelompok otot dan 2. Tidak
saat otot tegang dan penjelasan yang dilakukan
rileks sederhana. Teknik
relaksasi dilakukan
dua kali satu minggu
selama 3 minggu
dengan durasi waktu
15 menit

3.6. Metode Pengukuran

3.6.1 Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan beberapa instrumen antara lain : kuesioner

karakteristik/data demografi, lembar observasi pengukuran kadar glukosa darah,

glukometer, kapas alkohol, alat penusuk dan jarum penusuk dan test strip.

Penjelasan instrumen yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :

a. Kuesioner karakteristik responden. Kuesioner ini digunakan untuk mencatat

karakteristik responden yang meliputi; inisial, jenis kelamin, usia, riwayat

menderita DMT 2, pendidikan, dan pekerjaan responden,

b. Lembar Observasi pengukuran kadar glukosa darah. Lembar observasi ini

digunakan untuk mencatat hasil pengukuran kadar glukosa darah responden

sebelum dan sesudah dilakukan intervensi tehnik relaksasi otot progresif


51

c. Lembar screening kondisi responden sebelum program tehnik relaksasi otot

progresif

d. Glukometer. Alat ini digunakan untuk mengukur kadar glukosa darah.

Dengan alat ini peneliti dapat mengetahui dan menilai ada tidaknya

penurunan kadar glukosa darah responden setelah dilakukan intervensi

penelitian. Alat Glukometer yang digunakan dalam kegiatan penelitian ini

adalah merek Gluko DR.

3.7. Metode Analisa Data

Dalam melakukan analisa data terlebih dahulu dilakukan pengolahan data

melalui beberapa tahap, yaitu :

3.7.1 Editing.

Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang

diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan setelah data terkumpul.

Pada penelitian ini editing yang dilakukan meliputi pemeriksaan kelengkapan isi

lembar kuesioner karakteristik responden, lembar panduan program tehnik

relaksasi otot progresif, dan lembar observasi hasil pemeriksaan kadar glukosa

darah pretest dan posttest.

3.7.2 Coding.

Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap

data. Data diberi koding sesuai dengan yang dijelaskan dalam definisi operasional

dan kebutuhan pengolahan data. Setiap data diberikan kode supaya memudahkan

pengolahan data.
52

3.7.3. Entri data.

Entri data adalah kegiatan memasukkan data yang telah dikumpulkan ke

dalam master tabel atau database komputer, kemudian membuat distribusi

frekuensi atau bisa juga dengan membuat tabel kontingensi. Data yang diolah

dalam penelitian ini adalah seluruh data primer yang diperoleh dari responden

penelitian.

3.7.5 Cleaning data.

Cleaning data merupakan proses koreksi atau pengecekan kembali pada

semua data yang telah dimasukkan untuk melihat kemungkinan adanya

kesalahan-kesalahan dalam pemberian kode, ketidaklengkapan, kemudian

dilakukan koreksi atau pembetulan dengan menggunakan program komputer

sehingga pengolahan dan analisa data dapat dilanjutkan.

3.7.6 Prosesing Data.

Prosesing data adalah proses pengolahan data dengan cara memindahkan

data dari kuesioner karakteristik dan lembar observasi ke paket program

komputer pengolahan data statistik. Data yang sudah dientri dilakukan uji

normalitas data dengan menggunakan uji Sapiro Wilk untuk mengetahui data

berdistribusi normal atau tidak, jika p value > 0.05 maka data berdistribusi

normal, kemudian data tersebut dianalisis dengan menggunakan analisa univariat

dan bivariat dengan uji t-dependent (paired t test)


53

3.7.7 Analisa data univariat

Data yang terkumpul dianalisa lebih lanjut dengan program komputer

secara univariat. Analisa univariat bertujuan untuk mendeskripsikan masing-

masing variabel yang diteliti mengenai karakteristik responden, variabel bebas,

dan variabel terikat. Analisa statistik univariat menguji frekuensi atau rata-rata

nilai dari variabel-variabel (Polit & Beck, 2012). Hasil analisa data univariat

berupa distribusi frekuensi, persentase dari masing-masing variabel, nilai mean

(rata-rata) dan standar deviasi (SD) atau simpangan baku.

3.7.8 Uji normalitas

Sebelum dilakukan analisa bivariat dilakukan terlebih dahulu uji

normalitas data untuk menentukan data setiap variabel berdistribusi normal. Data

yang berdistribusi normal, peneliti dapat menggunakan teknik statistik parametrik,

tetapi bila distribusi data tidak normal maka teknik statistik parametrik tidak dapat

digunakan, untuk itu perlu digunakan statistik non parametrik. Pengujian

normalitas data dalam penelitian ini yaitu menggunakan program pengolahan data

komputer dengan uji normalitas Sapiro wilk, uji ini digunakan karena jumlah

sampel kurang dari 30. Kriteria hasil uji Sapiro Wilk adalah jika nilai sig

(signifikansi) atau nilai probabilitas < 0.05 maka distribusi data tidak normal,

sedangkan jika nilai sig (signifikansi) atau nilai probabilitas > 0.05 maka

distribusi data normal (Dahlan, 2009).


54

3.7.3 Analisa data bivariat

Analisa statistik bivariat digunakan untuk menggambarkan hubungan

diantara dua variabel (Polit & Beck, 2012). Analisa data bivariat dilakukan untuk

membuktikan hipotesa yang telah dirumuskan dalam penelitian ini. Uji hipotesis

ini dilakukan dengan menggunakan uji statistik dependent t-test untuk menguji

pengaruh tehnik relaksasi otot progresif terhadap kadar glukosa darah. Hasil

analisa uji dependent t-test diinterpretasikan dengan nilai signifikan (p), jika nilai

p kurang dari atau sama dengan nilai α (0.05) berarti terdapat pengaruh atau dapat

disimpulkan bahwa hipotesis alternatif (Ha) diterima atau dapat diinterpretasikan

bahwa ada pengaruh tehnik relaksasi otot progresif terhadap kadar glukosa darah

pada kelompok intervensi dan jika nilai p lebih dari nilai α (0.05) berarti tidak

terdapat pengaruh yang signifikan.

3.8. Pertimbangan Etik

Penelitian ini akan dilaksanakan dengan memperhatikan dan menjunjung

tinggi etika penelitian yang meliputi self determination, privacy, anonymity,

confidentially dan protection from discomfort.

3.8.1 Menghormati harkat dan martabat manusia

Pada prinsip ini dilakukan perkenalan dengan pasien, memberikan

informasi tentang judul penelitian, tujuan, bentuk intervensi yang diberikan serta

meminta kesediaan pasien untuk menjadi subjek penelitian. Dalam hal ini juga

disampaikan manfaat dari intervensi yang dilakukan. Pada pasien yang setuju

diberikan lembar pernyataan persetujuan menjadi pasien penelitian untuk ditanda


55

tangani. Dalam pelaksaanaannya respon pasien terus diperhatikan. Pasien juga

diberikan kebebasan untuk mengundurkan diri pada saat pelaksanaan penelitian.

Pasien yang mengundurkan diri tersebut akan dihargai haknya, tidak dipaksa

untuk melanjutkan penelitian serta tidak dikenakan sangsi dan dinyatakan drop

out..

3.8.2 Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek penelitian (respect for

privacy and confidentiality)

Dalam penelitian ini dijaga privasi pasien terhadap informasi yang sudah

diberikan dengan memberikan kode pada identitas responden kepada orang lain.

Hal ini dimaksudkan untuk menjaga anonimitas dan kerahasiaan identitas subjek.

3.8.3 Keadilan dan Inklusivitas (respect for justice and inclusiveness)

Pada penelitian ini tidak dilakukan diskriminasi saat memilih pasien

penelitian. Semua pasien memiliki peluang yang sama masuk dalam kelompok

intervensi.

3.8.4 Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing

harms and benefit)

Penelitian ini akan dilakukan sesuai dengan prosedur yang ada agar

memberikan manfaat bagi responden. Keuntungan yang didapat oleh pasien dalam

penelitian ini adalah penurunan Kadar Gula darah sebagai efek dari pemberian

tindakan progressive muscle relaxation sebagai salah satu bentuk relaksasi.


56

DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association (2010). Diagnosa & Classification of Diabetes


Mellitus, Clinical Practice Recommendation. Diabetes Care 28:2145-2149,

Balitbang Kemenkes RI, (2013). Riset Kesehatan Dasar, Jakarta: Balitbang


Kemenkes RI

Black, J., & Hawks, J.H. (2009). Medical surgical nursing clinical management
for positive outcomes. 6th Edition. Singapore : Elsevier Saunders

Chang, S.H., Lin, M.S., Chao, P.C., Yu, C.L.,& Chen, T.C. (2014). The
effectiveness of a diabetes self- management program for diabetes patients
in Taiwan. International Journal of Research In Medical and Health
Sciences, 4(4).

Conrad, A., & Roth, W. T. (2007). Muscle relaxation for anxiety disorder: It
works but how?. The Journal of Anxiety Disorder, 22, 243-264.

Dahlan, M. Sopiyudin. (2009). Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel


dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta : Salemba Medika

Davis, M., Eshelman, E. R.., & MacKay, M. (1995). Panduan relaksasi & reduksi
stres. Jakarta: EGC

Dharma, (2015). Metodologi penelitian keperawatan. (pedoman melaksanakan


dan menerapkan hasil penelitan. Jakarta: CV Trans Info Media.

Duma. (2012). Pengaruh progressive muscle relaxation dan logoterapi terhadap


ansietas dan depresi, kemampuan relaksasi dan kemampuan memaknai
hidup klien kanker di RS Kanker Dharmais Jakarta.

Foreman, Elliott & Smith, (2011). Overcoming Anxiety ForDummies. England:


John Wiley.

Frankel, J. & Wallen, N. (1993). How to Design and Evaluate research in


Education,(second edition). New York : McGraw-Hill Inc

Gay, L. R. dan Diehl, P. L., (1992), Research Methods for Business and
Management, MacMillan Publishing Company, New York

Guariguata., Whiting., Hambleton., Beagley., Linnenkamp., & Shaw. (2014).


Global estimates of diabetes prevalence for 2013 and projections for 2035.
Diabetes Research and ClinicalPractice Journal Homepage, 103, 137- 149,
doi.org/10.1016/j.diabres.2013.11.002.
57

Guyton, A.C., & Hall, J.E. (2007). Textbook of medical physiology. 9th Edition.
Philadelphia : WB Saunder Company.

Isselbacber, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci & Kasper. (2008). Harrison:


Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Volume 3. Jakarta: EGC.

Ignatavicius, D.,& Workman, M.L. (2013). Medical surgical nursing: Patient


centered collaborative care. 7th Edition. Missouri: Elseiver Saunders.

Kemenkes RI, (2013). Diabetes Melitus Penyebab Kematian Nomor 6 Di Dunia:


Kemenkes Tawarkan Solusi Cerdik Melalui Posbind. Diakses dari
www.depkes.go.id pada tanggal 10 Desember 2017

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2014). Laporan riset kesehatan


dasar 2013. Jakarta : Pusat Data dan Informasi

Lauche, R., Materday, S., Cramer, H., Haller, H., Stange, R., et al. (2013).
Effectiveness of home-based cupping massage compared to progressive
muscle relaxation in patients with chronic neck pain-a randomized
controlled trial.Plos ONE, 8(6), 121-131.

Machfoedz, Irham, (2009). Metodologi Penelitian, Fitramaya: Yogyakarta

Mashudi. (2011). Pengaruh progressive muscle relaxation terhadap kadar


glukosa darah pasien diabetes mellitus tipe II Di RSUD Raden Matter
Jambi.

McGuigan, F. J., & Lehrer, M. P. (2007). Progressive relaxation: Origin,


principles, and clinical application. Diakses pada tanggal 13 Desember
2017 dari: www.bodypsychyoga.com.

Mohamed, S.A. (2014). Effect of lifestyle intervention on health behaviors,


weight and blood glucose level among patients with diabetes
mellitus.Journal of Nursing Education and Practice, 4, (12).

Ndara, S. (2014). Diabetes mellitus tipe 2 dan tatalaksana terkini. 27, (2).
http://www.cme.medicinus.co/../LEADINGARTICLE_Diabetes_Mellitus_T
ipe 2. Diakses tanggal 22 November 2017

Nursalam, (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan, Salemba Medika: Jakarta

PERKENI (2015). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus


Type 2 di Indonesia 2015.PB PERKENI: Jakarta
58

Polit, D.F., & Beck, C.T. (2012). Nursing research: Generating and assessing
evidence for nursing practice. (9th ed). Philadelphia, PA : Lippincott
Williams & Wilkins.

Price, S.A., & Wilson, M.W. (2005). Patofisiologi konsep klinik proses-proses
penyakit (cetakan ke-2). Jakarta : EGC

Richmond, R.L. (2007). A guide to psychology and its practice..


http://www.guidetopsychology.com/ pmr.htm

Rochmah, W., 2006, Diabetes Melitus Pada Usia Lanjut, Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, Edisi Ketiga, Editor Suyono, S., 1857, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.

Sindonews, (2014). Angka Penderita Diabetes di Indonesia Mencengangkan.


Diakses dari www.sindonews.com pada tanggal 10 Desember 2017

Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., and Cheever, K.H. (2010), Brunner &
Suddarth’s Textboox of Medical Surgical Nursing. 10th ed. Lippincott
Williams& Wilkins.

Snyder, M. dan Lindquist, R. (2012). Complementary/ alternative therapies in


nursing, (4th ed). New York : Springer Publishing Company

Soegondo S, et all, (2007) Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta :


Balai Penerbit FKUI

Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M.K. & Setiati, S. (2009).
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid III, edisi V. Jakarta: Interna
Publishing.

Sustrani, L., Alam, S. & Hadibroto, I. (2006). Diabetes. Jakarta: Vitahealth.

Suyamto., Prabandari, Y.S. & Machira, C.R. (2009). Pengaruh Relaksasi Otot
Dalam Menurunkan Skor Kecemasan T-TMAS Mahasiswa Menjelang
Ujian Akhir Program Diakademi Keperawatan Notokusumo Yogyakarta.
Berita Kedokteran Masyarakat, Volume 25, No. 3, hal 142-149.
59

Suyono, S.,& Subekti, I (2009). Patofisiologi Diabetes Melitus. Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta:

Wade, C. & Tavns, C. (2007). Psikologi, edisi 9, jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Waspadji, S, et all, (2007), Penatalaksanaan DM terpadu, Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia, Jakarta

Waspadji, S. (2009). Kaki diabetes. Jakarta: Internal Publising.

White, L., Duncan, G. dan Baumle, W. (2013) Medical-Surgical Nursing: An


Integrated Approach, 3rd -ed. USA: Delmar, Cengage Learning.

Wilk, C., & Turkoski, B. (2002).Progressive Muscle Relaxation in cardiac


rehabilitation: A pilot study. Rehabilitation Nursing Journal, 26 (6), 238-
243.

Williams, L.S & Hopper, P.D. (2007). Understanding medical surgical nursing.
3th Edition. Philadelphia : FA Davis.

World Health Organizatin (WHO). (2015). Diabetes,


http://www.who.int/mediacentre/ factsheets/ fs312. Diakses tanggal 16
Desember 2017.

Yildirim, Y.K., dan Fadiloglu, T. (2006). The effect of progressive muscle


relaxation training on anxity levels and quality of life in dialysis patients.
EDNA/ERCA Journal
60

LEMBARAN PERSETUJUAN RESPONDEN

Nama saya Citra Dewi Simanungkalit, saya mahasiswi Program Studi S1


Keperawatan STIKes Flora Medan. Saya akan melakukan penelitian tentang
Pengaruh Tehnik Relaksasi Otot Progresif Terhadap Kadar Gula Darah
Pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe II Di Puskesmas Sonomartoni Labura.
Tujuan penelitian ini merupakan salah satu kegiatan untuk menyelesaikan tugas di
Program Studi Keperawatan di STIKes Flora Medan.
Bapak dan Ibu diharapkan dapat berpartisipasi dalam penelitian ini, jika Bapak
dan Ibu setuju maka diharapkan menandatangani lembaran persetujuan ini.
Partisipasi Bapak dan Ibu ini bersifat suka rela, sehingga setiap saat Bapak dan
Ibu bebas mengundurkan diri tanpa diberikan sanksi. Semua informasi yang
Bapak dan Ibu berikan tidak akan merugikan Bapak dan Ibu dan akan dijaga
kerahasiaannya dan hanya dipergunakan dalam penelitian ini
Demikian lembaran persetujuan ini saya buat. Atas bantuan dan partisipasi Bapak
dan Ibu dalam penelitian ini saya ucapkan terima kasih.

Peneliti Labura, Januari 2018

(Citra Dewi Simanungkalit) ( )


61

KUESIONER PENELITIAN

PENGARUH TEHNIK RELAKSASI OTOT PROGRESIF TERHADAP


KADAR GULA DARAH PADA PENDERITA DIABETES MELLITUS
TIPE II DI PUSKESMAS SONOMARTONI LABURA

A. KARAKTERISTIK RESPONDEN
Petunjuk pengisian isilah data dibawah ini dengan lengkap. Berilah tanda cek list
(√ ) pada tanda kurung yang tersedia sesuai dengan situasi dan kondisi anda saat
ini.
Inisial Resonden : ...................... (diisi peneliti)
Umur :.................. Tahun
Suku :
□ Jawa □ Aceh
□ Batak □ Melayu
□ Padang □Lain-lain
Jenis Kelamin : □ Laki-laki □ Perempuan
Agama :
□Islam □Hindu
□Kristen □Budha
□ Kepercayaan lain
Pendidikan terakhir :
□Tidak sekolah □SMU/ Sederajat

□SD/Sederajat □Diploma /Sarjana

□SMP/Sederajat □Magister
Pekerjaan :
□Pegawai swasta □Petani
□Wiraswasta □Ibu rumah tangga
□ Buruh/karyawan□ Pedagang
□ Pegawai negeri
62

LEMBAR ISIAN HARIAN


PROGRESSIVE MUSCLE RELAXATION

TEHNIK RELAKSASI OTOT PROGRESIF


Pengertian Teknik menegangkan otot-otot dan merelakskannya dengan
membayangkan otot tersebut bebas dari ketegangan dan
merasakan perbedaan saat otot tegang dan rileks
Tujuan Menurunkan kadar gula darah
Alat dan bahan 1. Panduan tehnik relaksasi
2. Bantal
3. Lembar observasi
Prosedur 1. Sebelum memulai tindakan
1) Jelaskan pada pasien tentang tindakan yang akan
diberikan serta tujuan dan kegunaannya
2) Minta persetujuan pasien
3) Kaji data demografi pasien
2. Pelaksanaan
a. Untuk memulai awali denga tarik nafas dalam sebanyak 3
kali, tarik nafas melalui hidung dan menghembuskan napas
perlahan-lahan melalui mulut dan setiap kali
menghembuskan nafas rasakan ketegangan seluruh tubuh
hilang.
b. Kelompok otot pergelangan tangan
1) Rentangkan lengan dan kepalkan kedua telapak tangan
anda dengan kencang, sekuat dan semampu yang anda
bisa. Rasakan ketegangan pada kedua pergelangan
tangan anda selama 5-7 detik.
2) Lepaskan kepalan tangan anda dan rasakan tangan
anda menjadi lemas dan semua ketegangan pada tangan
anda menjadi hilang. Rasakan hal tersebut selama 10-
20 detik.
3) Ulangi lagi gerakan menegangkan dan melemaskan
otot tangan anda. Rasakan pergelangan tangan anda
menjadi semakin lemas.
c. Kelompok otot lengan bawah
1) Tekuklah kedua lengan ke belakang pada pergelangan
tangan sekuat dan semampu yang anda bisa. Sehingga
otot-otot di tangan bagian belakang dan lengan bawah
menegang, jari-jari terbuka menghadap ke langit-langit.
Rasakan ketegangan pada bagian lengan bawah selama
5-7 detik.
2) Lemaskan dan luruskan kembali tangan bagian bawah
anda pada posisi yang nyaman. Rasakan lengan bawah
63

dan telapak tangan anda menjadi lemas dan seya


ketegangan hilang. Rasakan hal tersebut selama 10-20
detik.
3) Ulangi lagi gerakan menegangkan dan melemaskan
otot lengan bawah anda, rasakan perbedaan pada saat
tegang dan lemas serta rasakan lengan bawah anda
menjadi semakin lemas.
d. Kelompok otot siku dan lengan atas
1) Genggamlah kedua tangan sehingga menjadi kepalan
kemudian bawa kedua kepalan ke pundak sehingga
otot-otot lengan atas terasa kencang dan tegang.
Lakukanlah sebisa dan semampu anda. Lakukan selama
5-7 detik.
2) Luruskan siku dan jari-jari anda, rasakan lengan atas
anda menjadi lemas dan ketegangan pada lengan atas
sudah hilang. Rasakan hal tersebut 10-20 detik.
3) Ulangi lagi gerakan menegangkan otot siku dan lengan
atas anda, rasakan perbedaan antara saat tegang dan
lemas serta rasakan otot siku dan lengan atas semakin
lemas.
e. Kelompok otot bahu
1) Angkat kedua bahu setinggi-tingginya seakan-akan
bahu akan dibawa menyentuh kedua telinga. Rasakan
ketegangan pada bahu selama 5-7 detik.
2) Lemaskan bahu anda hingga semua ketegangan pada
bahu anda tadi hilang. Rasakan hal tersebut selama 10-
20 detik.
3) Ulangi gerakan tersebut dan rasakan otot bahu anda
semakin lemas.
f. Kelompok otot kepala dan leher
1) Tekuk leher dan kepala anda ke belakang hingga
menekan bantal, rasakan ketegangan pada leher dan
kepala bagian belakang. Rasakan ketegangannya selama
5-7 detik
2) Lemaskan dan luruskan kepada dan leher anda hingga
semua ketegangan pada kepala dan leher anda hilang.
Lakukan dalam 10-20 detik.
3) Ulangi gerakan dan rasakan otot tersebut menjadi sangat
lemas
4) Tekuk leher dan kepala anda ke depan hingga
menyentuh dada, rasakan ketegangan pada leher dan
kepala bagian depan selama 5-7 detik.
5) Lemaskan dan luruskan kepala dan leher anda hingga
semua ketegangan pada kepala dan leher anda hilang,
64

rasakan dalam 10-20 detik.


6) Ulangi gerakan dan rasakan otot semakin lemas
g. Kelompok otot wajah
1) Kerutkan dahi anda ke atas dan rasakan ketegangan
pada dahi anda selama 5-7 detik
2) Lemaskan dahi anda sehingga ketegangan pada dahi
anda akan hilang, rasakan hal ini selama 10-20 detik.
3) Ulangi gerakan tersebut dan rasakan dahi anda semakin
lemas.
4) Tutup mata anda sekuat dan semampu yang anda bisa,
rasakan ketegangan pada mata selama 5-7 detik.
5) Lemaskan mata perlahan-lahan dan hilangkan
ketegangannya selama 10-20 detik.
6) Ulangi gerakan menegangkan mata dan
melemaskannya dan rasakan mata semakin lemas.
7) Katupkan rahang dan gigi anda secara bersamaan sekuat
dan semampu yang anda bisa, rasakan ketegangannya
selama 5-7 detik.
8) Lemaskan rahang anda dan hilangkan ketegangannya
perlahan-lahan dan rasakan dalam 10-20 detik.
9) Ulangi gerakan tersebut hingga anda merasakan rahang
anda semakin lemas.
10) Monyongkan bibir anda ke depan sekuat dan semampu
yang anda bisa, rasakan ketegangan selama 5-7 detik.
11) Lemaskan bibir dan hilangkan ketegangan pada bibir
selama 10-20 detik.
12) Ulangi gerakan dan rasakan bibir semakin lemas.
h. Kelompok otot punggung
1) Jika anda dalam posisi tidur, maka bangunlah dan
jadikan posisi anda duduk di tempat tidur.
Lengkungkan punggung dan busungkan dada sekuat
dan semampu yang anda bisa, rasakan ketegangan pada
punggung selama 5-7 detik.
2) Lemaskan punggung anda sehingga ketegangannya
hilang dan rasakan melemasnya punggung 10-20 detik.
3) Ulangi gerakan dan rasakan lemasnya punggung anda.
i. Kelompok otot dada
1) Tarik nafas dalam dan tahan semampu anda. Rasakan
ketegangan pada dada selama 5-7 detik.
2) Lemaskan otot dada sambil mengeluarkan nafas secara
perlahan-lahan rasakan hilangnya ketegangan pada
dada dalam 10-20 detik.
3) Ulangi gerakan kembali dan rasakan dada semakin
lemas.
65

j. Kelompok otot perut


1) Tarik perut ke bagian dalam dan bernafaslah secara
perlahan-lahan, rasakan ketegangan pada perut selama
5-7 detik.
2) Lemaskan otot perut, dan hilang kan ketegangan serta
rasakan melemasnya otot perut dalam 10-20 detik.
3) Ulangi gerakan dan rasakan otot perut yang semakin
lemas
k. Kelompok otot kaki dan paha
1) Tekuk telapak kaki ke arah atas, tekuk sebisa mungkin,
dan rasakan ketegangannya selama 5-7 detik.
2) Lemaskan otot-otot kaki dan paha, hilangkan
ketegangannya dan rasakan selama 10-20 detik.
3) Ulangi gerakan dan rasakan kaki dan paha semakin
lemas.
4) Tekuk telapak kaki ke arah bawah, sehingga otot betis
menjadi tegang, rasakan ketegangannya selama 5-7
detik.
5) Hilangkan ketegangan perlahan-lahan dan rasakan otot
tersebut lemas selama 10-20 detik.
66
67

LAMPIRAN
INSTRUMEN PENELITIAN

You might also like