You are on page 1of 14

Asuhan Keperawatan Anak Kebutuhan Khusus: Tuna netra

Disusun oleh
Sobur Setiaman

Pendahuluan

A. Latar belakang masalah


Mata adalah organ sensorik yang mentransmisikan rangsang
melalui jaras pada otak ke lobus oksipital dimana rasa penglihatan
ini diterima, maka yang di sebut tuna netra adalah seseorang yang
memiliki indera penglihatan yang tidak berfungsi atau terganggu
sehingga menghalangi dirinya untuk berfungsi dalam pendidikan dan
aktifitas rehabilitatif tanpa menggunakan alat khusus, material
khusus.
Tuna netra umumnya disebabkan oleh penyakit dan malnutrisi.
Menurut perkiraan WHO pada tahun 2002, penyebab kebutaan yang
paling sering diantaranya adalah katarak (47,9%), glaukoma
(12,3%), degenerasi makular akibat usia (8,7%), opasitas kornea
(5,1%), dan diabetes retinopati (4,8%).

B. Pengertian
1. Gangguan penglihatan adalah kondisi yang ditandai dengan
penurunan tajam penglihatan ataupun menurunnya luas
lapangan pandang, yang dapat mengakibatkan
kebutaan (Quigley dan Broman, 2006).
2. Cacat Netra dalah Seseorang yang terhambat mobilitas gerak
yang dikarenakan oleh hilang/berkurangnya fungsi penglihatan
sebagai akibat dari kelahiran, kecelakaan maupun penyakit
(Marjuki, 2009)

1
3. Menurut kamus besar bahasa Indonesia pengertian tunanetra
ialah tidak dapat melihat, buta. Sedangkan menurut Direktorat
Pembinaan Sekolah Luar Biasa yang dimaksud dengan
tunanetra adalah seseorang yang memiliki hambatan dalam
penglihatan atau tidak berfungsinya indera penglihatan. Karena
adanya hambatan dalam penglihatan serta tidak berfungsinya
penglihatan(Heward & Orlansky, 1988 cit Akbar 2011).

C. Etiologi
Dapat disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal.
1. Faktor internal yaitu faktor keturunan atau genetik dan faktor
yang erat hubungannya selama bayi masih dalam kandungan
seperti: kurang gizi, terkena infeksi, keracunan, aborsi yang
gagal, ataupun adanya penyakit kronis.
2. Faktor eksternal adalah faktor ketika lahir atau maupun faktor
setelah lahir. Misalnya: kecelakaan, terkena penyakit syphilis
yang mengenai matanya saat dilahirkan, kelahiran yang lama
sehingga kehabisan cairan, kelahiran yang dibantu alat yang
mengenai syaraf, kurang gizi atau vitamin, terkena racun, virus
trachoma, panas badan yang terlalu tinggi, serta peradangan
mata karena penyakit, bakteri ataupun virus.

D. Klasifikasi Tuna Netra


Berdasarkan Klasifikasi International Classification of Functioning for
Disability and Health (ICF) dalam Marjuki (2009), Penyandang Cacat
Penglihatan diklasifikasikan menjadi 3, yaitu:
1. Tuna netra golongan buta (total blind), dimana terbagi lagi menjadi
3 kelompok yakni;
a) Mereka yang sama sekali tidak memiliki persepsi visual:
b) Mereka yang hanya memiliki persepsi cahaya dan
c) Mereka yang memiliki persepsi sumber cahaya. Pada golongan
ini, mereka memerlukan sistem Braille sebagai alat bantu.

2
2. Tuna netra golongan kurang lihat (low vision) yang terbagi lagi
menjadi 3 kelompok , yakni:
a) Mereka yang memiliki persepsi benda-benda yang berukuran
besar sehingga mereka masih membutuhkan sistem Braille;
b) Mereka yang memiliki persepsi benda-benda berukuran
sedang dimana ada diantaranya yang membutuhkan sistem
Braille dan ada juga yang dapat menggunakan huruf dan tanda
visual yang diperbesar;
c) Mereka yang memiliki persepsi benda-benda berukuran kecil
dimana mereka pada umunya mampu menggunakan huruf dan
tanda visual sebagai media baca dan pengajaran.
3. Tuna netra golongan ganguan Persepsi Cahaya (Light
Perception) yaitu seseorang hanya dapat membedakan terang
dan gelap namun tidak dapat melihat benda didepannya.

E. Dampak kondisi Tuna Netra


1. Secara kognitif:
a) Pengenalan/pengertian terhadap dunia luar tidak diperoleh
secara lengkap dan utuh, shg perkembangan kognitif
cenderung terhambat dibandingkan orang normal pada
umumnya.
b) Hal ini berarti bahwa perkembangan kognitif tidak saja erat
kaitannya dengan kecerdasan atau kemampuan inteligensi,
tetapi juga kemampuan indera penglihatan.
2. Secara Motorik:
a) Fungsi sistem neuromuskularnya tidak bermasalah tetapi
fungsi psikis tidak mendukung shg menjadi hambatan dalam
perkembangan motorik.
b) Secara fisik, tuna netra biasanya: berjalan dengan posisi
tegak, kaku, lamban, dan penuh kehati-hatian dimana tangan
mereka selalu berada di depan dan sedikit tersendat pada saat
berjalan

3
c) Segi intelegensi, anak-anak tunanetra hampir sama dengan
anak normal pada umumnya,dimana ada anak yang cerdas,
ada yang rata-rata dan ada yang rendah. Menurut Kirley
(1975), berdasarkan tes intelegensi dengan menggunakan
Hayes-Binet Scale ditemukan bahwa rentang IQ anak
tunanetra berkisar antara 45- 160, dengan distribusi12,5%
memiliki IQ kurang dari 80, kemudian 37,5% dengan IQ diatas
120 dan 50% dengan IQ antara 80-120.
d) Segi perkembangan emosi, anak tunanetra sedikit mengalami
hambatan dibandingkan dengan anak yang normal.
e) Keterlambatan ini terutama disebabkan oleh keterbatasan
kemampuan dalam proses belajar. Pada awal masa kanak-
kanak, akan melakukan proses belajar untuk mencoba
menyatakan emosinya, hal ini tetap dirasakan tidak efisien
karena mereka tidak dapat melakukan pengamatan terhadap
reaksi lingkungan secara tepat. Akibatnya pola emosi yang
ditampilkan mungkin berbeda atau tidak sesuai dengan apa
yang diharapkan oleh diri sendiri maupun lingkungannya
f) Segi perkembangan sosial, tunanetra memiliki lebih banyak
hambatan.
g) Hal tersebut muncul sebagai akibat langsung maupun tidak
langsung dari ketunanetraannya.
h) Kurangnya motivasi, ketakutan menghadapi lingkungan sosial
yang lebih luas atau baru, perasaan-perasaan rendah diri,
malu, sikap-sikap masyarakat yang seringkali tidak
menguntungkan seperti penolakan, penghinaan, sikap tak
acuh, ketidakjelasan tuntutan sosial, serta terbatasnya
kesempatan bagi anak untuk belajar tentang pola-pola tingkah
laku yang diterima merupakan kecenderungan tunanetra yang
dapat mengakibatkan perkembangan sosialnya amenjadi
terhambat.

4
i) Jadi, perkembangan sosial dari penderita tunanetra sangat
tergantung pada bagaimana perlakuan dan penerimaan
lingkungan terutama lingkungan keluarga terhadap penderita
tunanetra itu sendiri

F. Kebutuhan Tuna netra


Kebutuhan sebagai manusia tidak berbeda dengan kebutuhan
manusia pada umumnya. Pada dasarnya setiap prilaku manusia
tertuju pada motif pemenuhan kebutuhan, yang berarti kebutuhan
mempengaruhi prilaku manusia. Menurut teori Maslow tentang
motivasi atau perilaku yang dipengaruhi kebutuhan digambarkan
seperti piramida yang tersusun dari lima tingkat dan setiap tingkatnya
mengandung satu unsur kebutuhan.
1. Kebutuhan fisiologis
Kepuasan dari haus, lapar dan sex. Kepuasan Fisiologis ini harus
terpenuhi lebih dulu apabila menginginkan kebutuhan berikutnya
terpenuhi.
2. Kebutuhan akan rasa aman
Bagi tunanetra perasaan aman sulit diperoleh. Kerusakan
penglihatan menyebabkan gangguan di dalam menerima
informasi lewat mata, sedangkan indera lainnya kurang
memberikan kejelasan. Akibat ketidakjelasan ini tunanetra selalu
bertanya-tanya apa yang ada dihadapannya. Akibat
ketidakpastian ini juga menyebabkan tunanetra selalu ada rasa
curiga.
3. Kebutuhan akan kasih sayang
Rasa memiliki dan rasa kasih sayang itu akan ada pada
seseorang apabila seseorang sudah merasakan kebutuhan
fisiologisnya terpenuhi dan kebutuhan akan rasa amannya juga
terpenuhi.

5
Kecenderungan rasa kasih sayang pada seseorang timbul apabila
kehadiran seseorang sesuai dengan apa yang diharapkan oleh
lingkungan.
Kehadiran seorang tunanetra di tengah keluarga dan lingkungan
pasti tidak diharapkan. Tidak ada orang tua yang mengharapkan
kelahiran anaknya menderita tunanetra. Karena itu kehadirannya
menimbulkan kekecewaan. Biasanya kekecewaan orang tua dan
lingkungan dimunculkan dalam bentuk sikap tidak menyayangi
dan tidak memiliki.
4. Kebutuhan akan penghargaan
Setiap manusia membutuhkan penghargaan atau rasa dihargai
oleh lingkungan. Penghargaan tidak hanya berbentuk materi tapi
juga berbentuk penghargaan phsikologis. Seseorang akan
dihargai apabila ia dapat berbuat sesuatu baik bagi dirinya
maupun pada lingkungan, begitu juga penderita tuna netra.
5. Kebutuhan akan Aktualisasi Diri
Ketidaktergantungan pada pertolongan orang lain merupakan
perwujudan dari kemampuan tunanetra dalam
mengaktualisasikan dirinya ditengah-tengah lingkungannya.
Seorang tunanetra yang mampu mewujudkan dan merealisasikan
aktualisasi dirinya, berarti ia telah memperoleh kebebasan.
Kebebasan dan kemandirian inilah yang selalu didambakan oleh
setiap orang termasuk tunanetra.

G. Kebutuhan Khusus Tuna netra


1. Fisiologis: Membutuhkan perawatan dan pemeriksaan medis,
pengobatan dan evaluasi medis secara umum. Sebagai kegiatan
diperlukan latihan gerak dan ekspresi tubuh.
2. Personal: Akibat ketunanetraan sebagai pengalaman personal,
maka timbul beberapa kebutuhan yang bersifat personal pula.
Kebutuhan tersebut antara lain adalah latihan Orientasi dan
Mobilitas, minat untuk berinteraksi dengan lingkungan,

6
keterampilan aktivitas kehidupan sehari-hari seperti menolong diri
sendiri, serta kebutuhan akan pendidikan dan bimbingan khusus.
3. Sosial: Dengan adanya pandangan ketunanetraan sebagai
fenomena sosial, maka kebutuhan dari segi social adalah adanya
hubungan yang baik antar personal (personal relationship),
interaksi yang baik antar anggota keluarga, interaksi dan
hubungan dengan teman-temannya, dan membutuhkan pula
untuk ikut berpartisipasi dengan berbagai kegiatan dalam
lingkungannya.

H. Kebutuhan Pengembangan Motorik Tuna netra


Tuna Netra memiliki keterbatasan, yaitu:
1. Keterbatasan dalam lingkup keaneka ragaman pengalaman.
2. Keterbatasan dalam berinteraksi dengan lingkungan.
3. Keterbatasan dalam mobilitas
4. Pengalaman yang diperoleh tuna netra sangat dibutuhkan untuk
melakukan interaksi dengan lingkungan.
5. Interaksi dapat berlangsung bila ada hubungan timbal balik antara
tunanetra dengan lingkungannya.
6. Hubungan timbal balik akan aktif bila tunanetra memiliki sumber
informasi didalam mentalnya yang berbentuk konsep-konsep.
7. Konsep sesuatu akan dikuasai anak menjadi suatu data yang
benar sesuai dengan realitas bila strategi pengajaran dengan
baik.

I. Cara membantu anak Tuna netra


Berikut beberapa cara untuk membantu anak tuna netra, antara lain:
1. Karena anak-anak yang buta tidak dapat menangkap informasi
melalui penglihatan mereka, guru harus menggunakan indra
pendengar, peraba, pengecap, dan pembau saat menyampaikan
pelajaran. Guru harus semaksimal mungkin menggunakan

7
kesempatan mengajar melalui indera-indera tersebut. Guru harus
dapat melibat semua indera untuk membantu indera penglihatan.

2. Guru sebaiknya mengingat bahwa humor dan intonasi suara


merupakan hal yang penting ketika mengajar anak yang memiliki
kelemahan pada penglihatan ini.

3. Penjelasan verbal yang diberikan guru harus jelas dan tidak


berbelit-belit. Guru harus spesifik dalam memberikan perintah
atau meminta tanggapan. Hindarilah penjelasan atau pertanyaan
yang tidak jelas. Karena beberapa anak yang memiliki
kelemahan dalam penglihatan menggunakan braille, harus
disediakan semua bahan pembelajaran dalam bentuk braille.

4. Guru harus menggunakan musik yang dapat memberikan rasa


aman, merangsang pikiran, dan membantu murid yang buta
untuk membangun konsep pebelajaran. Musik juga dapat
memberikan kesempatan pertumbuhan mental, spiritual, dan
sosial.

5. Krayon, kertas, pensil, tanah liat, dan cat air semuanya dapat
membantu anak yang memiliki kelemahan pada penglihatan
untuk mengekspresikan emosi mereka. Bantulah mereka untuk
mengekspresikannya melalui seni dan keterampilan. Meskipun
untuk melakukannya mereka membutuhkan bimbingan yang
lebih daripada anak-anak lain.

6. Bermain peran membantu anak mengingat peristiwa, ide-ide, dan


situasi. Kegiatan ini juga dapat membantu mereka mengingat
kejadian-kejadian di rumah mereka dan situasi lainnya. Berbagai
pengalaman dapat diperagakan, bahkan pengalaman-
pengalaman dari situasi nyata yang dialami oleh anak.

J. Alat Bantu Baca dan Tulis Anak Tuna netra

8
Tuna netra memiliki kelebihan berupa sensasi taktil dan
pendengaran yang tajam. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat
tunanetra umumnya menggunakan sistem Braille untuk membaca
informasi baru. Sistem Braille adalah salah satu metode yang
diperkenalkan secara luas bagi masyarakat tunanetra yang
digunakan untuk membaca dan menulis.
Sistem ini diperkenalkan pada tahun 1821 oleh Louis Braille,
seorang tunanetra yang berasal dari Prancis. Setiap karakter atau
sel didirikan dari 6 posisi titik, yang disusun segitiga dan mencakup
2 kolom setiap tiga titik. Huruf Braille dibaca dari kiri ke kanan dan
dapat melambangkan abjad, tanda baca, angka, tanda musik, simbol
matematika dan lainnya. Ukuran huruf Braille yang umum digunakan
adalah dengan tinggi sepanjang 0.5 mm, serta spasi horizontal dan
vertikal antar titik dalam sel sebesar 2.5 mm.

K. Pengkajian Keperawatan
1. Riwayat kesehatan
2. Keadaan umum
3. Riwayat sosial
4. Kemampuan kemandirian
5. Pada pemeriksaan berfocus pada mata

L. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan (persepsi sensori) penglihatan total berhubungan
cacat sejak lahir.
2. Defisit kemandirian berhubungan dengan keterbatasan aktifitas
fisik

9
LAPORAN KASUS

Pada hari Kamis Tanggal 21 April 2016, kami mengunjungi SLB Kota
S, Hasil pengamatan terhadap perilaku anak tuna netra dan cara bimbingan
guru SLB terhadap siswa dengan tunanetra. Pada saat berkunjung sedang
di adakan kegiatan membuat sate dan cara memanggang sate. Asuhan
keperawatan yang dilakukan pada anak dengan tunanetra, meliputi:
pengkajian, diagnose keperawatan, rencana tindakan, implementasi dan
evaluasi.

A. Pengkajian
a. Identitas klien: Umur: 13 tahun, jenis kelamin: laki-laki kelas: 5 SD.
b. Riwayat kesehatan: menurut cerita klien ini seperti yang dituturkan
oleh ibunya, dia menderita kelainan mata dimana kedua kelopak
matanya tidak bisa membuka dan bola mata kecil dari sejak lahir,
mejelang besar anak tidak mampu mnelihat apa-apa.
c. Keadaan umum: tampak berpenampilan gempal, tinggi 90 cmm
dengan berat badan 40 kg dan berpakaian bersih.
d. Riwayat sosial: Kedua orang tua masih hidup dan hidup bersama
dengan kedua orang tuanya. Saat kesekolah di antar jemput oleh
ibunya. Sejak kecil selalu di bantu ibunya untuk melakukan aktifitas
sehari hari, saat ini klien mampu mengganti pakaian sendiri, dan
mandiri terhadap kebutuhan eliminasi. Kebutuhan makan disediakan
oleh ibunya, klien mampu makan dan minum sendiri.
e. Kemampuan kemandirian: Ketersedian baju ganti oleh orang tuanya,
klien bisa memakai baju sendiri. Klien masih minta bantuan untuk
mengenali tempat eliminasi yang ada di samping kelas. klien mampu
mengganti pakaian sendiri, dan mandiri terhadap kebutuhan
eliminasi.
f. Pada pemeriksaan berfocus pada mata: tampak kedua bola mata
kecil, kelopak mata atas tidak bisa di buka hanya ada kernyitan,

10
kedua kornea mata tampak keputihan, tidak bisa mengidentifikasi
objek di depan matanya.

B. Analisa
DATA DIAGNOSA

DS: Menurut cerita klien ini seperti yang dituturkan oleh Gangguan (persepsi
ibunya, dia menderita kelainan mata dimana kedua sensori) penglihatan
kelopak matanya tidak bisa membuka dan bola mata total berhubungan
kecil dari sejak lahir, mejelang besar anak tidak mampu dengan cacat sejak
mnelihat apa-apa. lahir

DO: Anak ber umur 13 tahun, jenis kelamin: laki-laki


kelas: 5 SD tampak kedua bola mata kecil, kelopak mata
atas tidak bisa di buka hanya ada kernyitan, kedua
kornea mata tamak keputihan, tidak bisa
mengidentifikasi objek di depan matanya.

DS: Sejak kecil selalu di bantu ibunya untuk melakukan Defisit kemandirian
aktifitas sehari hari. Kebutuhan menuju tempat eliminasi berhubungan dengan
masih di bantu guru. keterbatasan aktifitas

DO: fisik.

Ketersedian baju ganti oleh orang tuanya, klien bisa


memakai baju sendiri.

klien mampu mengganti pakaian sendiri,

Klien masih minta bantuan untuk mengenali tempat


eliminasi yang ada di samping kelas, secara umum
mandiri terhadap kebutuhan eliminasi.

11
C. Rencana Asuhan Keperawatan
DIANGOSA
NO TUJUAN (NOC) INTERVENSI (NIC)
KEPERAWATAN

1 Gangguan Vision compensation behavior Pencapaian Komunikasi:


persepsi Defisit Penglihatan
Kriteria hasil:
sensori:
 Kaji reaksi pasien
ganguan  Memakai huruf braile
terhadap gangguan
penglihatan  Memakai penyinaran/ cahaya
penglihatan.
cacat lahir. yang sesuai
 Ajak pasien untuk
menentukan tujuan dan
belajar melihat dengan
cara yang lain.
 Deskripsikan lingkungan
disekitar pasien.
 Jangan memindahkan
sesuatu di ruangan
pasien tanpa memberi
informasi pada pasien.
 Sediakan huruf braile.
 Informasikan letak
benda-benda yang
sering diperlukan
pasien.

Manajemen Lingkungan

 Ciptakan lingkungan
yang aman bagi pasien.
 Pindahkan benda-
benda. berbahaya dari
lingkungan pasien
 Tempatkan benda
+benda pada tempat
yang dapat dijangkau
pasien.

2 Defisit Mandiri dalam self care : Activity Self Care assistance :


kemandirian of Daily Living (ADLs) ADLs
berhubungan
Kriteria Hasil :  Monitor kemampuan
dengan
klien untuk perawatan
keterbatasan  Menyatakan kenyamanan diri yang mandiri.
aktifitas fisik. terhadap kemampuan untuk  Monitor kebutuhan
melakukan ADLs. klien untuk alat-alat
 Dapat melakukan ADLS bantu untuk kebersihan
dengan bantuan. diri, berpakaian,

12
berhias, toileting dan
makan.
 Sediakan bantuan
sampai klien mampu
secara utuh untuk
melakukan self-care.
 Dorong klien untuk
melakukan aktivitas
sehari-hari yang normal
sesuai kemampuan
yang dimiliki.
 Dorong untuk
melakukan secara
mandiri, tapi beri
bantuan ketika klien
tidak mampu
melakukannya.
 Ajarkan klien / keluarga
untuk mendorong
kemandirian, untuk
memberikan bantuan
hanya jika pasien tidak
mampu untuk
melakukannya.

13
Daftar Kepustakaan

Ramawati, D (2011) Faktor-faktor yang berhubungan dengan kemampuan


perawatan diri anak tuna netra di Kabupaten Banyumas Jawa
Tengah.

Widiastuti, SH (2010) Pengaruh terapi kelompok suportif terhadap


kemampuan keluarga dalam melatih “self care” anak tunanetra
ganda di SLB G Rawinala di Jakarta. Tesis. Depok: UI.

Hallahan, DP., Kauffman, J.M. (1991). Exceptional Children: Introduction to


Special Education. Fifth Edition. New Prentice Hall International. Inc.

Irham Hosni. (1995). Buku Ajar Orientasi Mobilitas. Ditjen Dikti, Depdikbud.
Ishartiwi. (1991). Keefektifan Penggunaan Media Audio (Tolking
Book) dalam

Knededler, Rebecca D. (1984). Special Education To Day. Prentice-Hall.


Inc. Engglewood.New Jersey.

Kirk Horton. (1986). Comunity-Based Rehabilitataition of the Rural Blind:


a Trainingng Guide for Field Workers. Helen Keller International.
New York.

Sunardi (2000). Pengembangan PLB di Indonesia: Makalah Seminar


Nasional. Disampaikan dalam rangka Konaspi di Hotel Indonesia
Jakarta, tangga 19-22 September 2000.

Sutjihati, T., Somantri (2006). Psikologi Anak luar Biasa. Refika Aditama.
Bandung.

14

You might also like