You are on page 1of 15

I.

Judul/Topik Diskusi
Zoonosis Menjadi Ancaman Serius Kesehatan Manusia
II. Tujuan
A. Menjelaskan ruang lingkup dan program kesehatan masyarakat
veteriner.
B. Menjelaskan pengawasan, pemberantasan, pengendalian dan
pengawasan zoonosis.
C. Mengetahui penyakit hewan menular strategis (PHMS) viral,
bakterial dan parasit serta cara penularan, gejala klinis, diagnosis
dan pencegahan
III. Skema Pembelajaran

Zoonosis Menjadi
Ancaman Serius
Kesehatan
Manusia

PHMS viral,
Pencegahan, bakterial, parasit
Ruang Lingkup Pemberantasan, serta cara
dan Program Pengendalian dan penularan, gejala
KESMAVET Pengawasan klinis, diagnosis
Zoonosis dan
pencegahannya

IV. Bahasan
A. Ruang Lingkup dan Program KESMAVET
Ruang Lingkup dan Fungsi Kesmavet:
1. Memberi masukan teknis dalam penyusunan peraturan
perundangan, kebijakan, pedoman, perencanaan strategis dan
pelaksanaan dalam bidang pengendalian dan pencegahan
penyakit hewan dan manusia, sanitasi, higiene, dan
lingkungan
2. Pencegahan dan pengendalian penyakit zoonotik atau
zoonosis (penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia)
3. Higiene pangan dan keamanan pangan, termasuk
pengendalian foodborne illness (penyakit yang ditularkan
melalui makanan).
4. Identifikasi dan evaluasi bahaya-bahaya (hazards) baik
biologis, kimiawi, dan fisik yang menimbulkan dampak
buruk terhadap kesehatan manusia dan hewan;
5. Pendidikan kesehatan masyarakat.
6. Kerjasama antar instansi/badan dalam rangka menjamin
kesehatan hewan, manusia, lingkungan.
(Direktorat Kesmavet, 2010)
Program merupakan instrumen kebijakan yang berisi
kegiatankegiatan untuk mencapai sasaran dan tujuan. Penyusunan
program mengacu kepada Renstra Ditjen Peternakan dan Kesehatan
Hewan Tahun 2015-2019. Program Direktorat Kesmavet harus dapat
menggambarkan kontribusi dari sasaran pelaksanaan Program
Swasembada Daging Sapi/Kerbau dan Penjaminan Produk Asal
Hewan yang ASUH. Penyelenggaraan Proram diharapkan akan
mengeluarkan beberapa indikator outcome.
Adapun outcome yang diharapkan dari program Direktorat
Kesmavet sampai dengan tahun 2019 adalah:
1. Meningkatnya penjaminan pangan asal hewan (daging, susu,
telur beserta turunannya) yang ASUH, melalui
a) hasil surveilans cemaran mikroba dan residu yang
menunjukkan dibawah batas ambang sebesar 90%
b) pengawasan peredaran pada unit usaha yang melakukan
pemasukan sebesar 100%
c) sertifikasi NKV sebanyak 40 RPH (Ruminansia dan
Unggas)
d) sertifikasi produk hewan yang berasal dari dan ke luar
negeri sebesar 100%
e) pengawasan peredaran pada unit usaha yang melakukan
pemasukan sebesar 100% 2.
2. Meningkatnya penjaminan keamanan produk hewan non
pangan dan penjaminan tidak adanya penyalahgunaan
peruntukan produk non pangan melalui pengawasan unit usaha
dan pengujian produk sebesar 90%.
3. Meningkatnya nilai tambah produk hewan melalui :
a) sertifikasi halal dari total sebesar 30 % RPH (ruminansia
dan unggas)
b) dan penerapan sistem butcher sesuai SNI pada 10% RPH
ruminansia
4.
a) Meningkatnya penerapan pemeriksaan ante mortem dan
post mortem di RPH sebesar 2% dari jumlah RPH di
Indonesia
b) Penurunan prevalensi menjadi 2% dari jumlah contoh
produk hewan positif agen foodborne zoonosis penting
c) Peningkatan pemahaman masyarakat terhadap zoonosis
prioritas sebesar 5% yang diukur melalui Knowledge,
Attitude, Practice Survey (KAP Survey)
5.
a) Meningkatnya Penerapan Kesrawan di RPH sebesar 5% dari
total RPH dan , serta
b) Meningkatnya Penerapan Kesrawan di tempat pemotongan
hewan kurban sebesar 1% dari total lokasi pemotongan
hewan kurban di Indonesia
c) Peningkatan pemahaman masyarakat umum terhadap
penerapan kesrawan sebesar 5% yang diukur melalui
Knowledge, Attitude, Practice Survey (KAP Survey)
6. Meningkatnya Pelayanan Veteriner bidang Kesmavet melalui
penerapan pelayanan sesuai SOP sebesar 70%

(Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner, 2018)


B. Pencegahan, Pemberantasan, Pengendalian dan Pengawasan
Zoonosis
Strategi pencegahan penularan zoonosis dilakukan
dilakukan melalui koordinasi antar kelembagaan yang memiliki
tugas dan fungsi di bidang pencegahan penularan zoonosis, yaitu
Direktorat Kesehatan Hewan dan Kementerian Kesehatan.
Direktorat Kesmavet memperkuat strategi ini melalui penguatan
fungsi-fungsi sebagai berikut:
1. Hewan Pencegahan penularan zoonosis dari hewan ke manusia
dilakukan melalui komunikasi, informasi dan edukasi kepada
masyarakat yang terkena dampak secara langsung maupun
penguatan kelompokkelompok masyarakat yang peduli
zoonosis. Dengand demikian, pada setiap kejadian kasus
zoonosis Direktorat Kesmavet berperan mengkomunikasikan
zoonosis kepada masyarakat.
2. Produk Hewan Pencegahan penularan zoonosis dari produk
hewan ke manusia dilakukan melalui penerapan strategi
penjaminan produk hewan yang aman, sehat dan utuh
sebagaimana strategi a tersebut di atas serta penerapan
komunikasi, informasi dan edukasi kepada masyarakat.
(Ditjenpkh, 2018)

Strategi pengendalian zoonosis di Indonesia, sesuai dengan


PP RI nomor 30 tahun 2011Tentang Pengendalian Zoonosis,
dilakukan dengan 1)mengutamakan prinsip pencegahan penularan
kepada manusia dengan meningkatkan upaya pengandalian
zoonosis pada sumber penularan, 2)koordinasi lintas sektoral,
sinkronisasi, pembinaan, pengawasan, pemantauan dan evaluasi
pelaksanaan kebijakan, strategi dan program. 3) perencanaan
terpadu dan percepatan pengendalian melalui surveilans,
pengidentifikasian, pencegahan, tata laksana kasus dan pembatasan
penularan, penanggulangan wabah atau kejadian luar biasa (KLB)
dan pandemi serta pemusnahan sumber zoonosis pada hewan
apabila diperlukan, 4) penguatan perlindungan wilayah yang masih
bebas terhadap penularan zoonosis baru, 5) peningkatan upaya
perlindungan masyarakat dari ancaman penularan zoonosis, 6)
penguatan kapasitas sumber daya manusia, logistik, pedoman
pelaksanaan, prosedur teknis pengendalian, kelembagaan dan
anggaran pengandalian zoonosis, 7)Penguatan penelitian dan
pengembangan zoonosis, dan 8) pemberdayaan masyarakat dengan
melibatkan dunia usaha, perguruan tinggi, LSM dan organisasi
profesi, serta pihak-pihak lain (Ditjenpkh, 2018).

Ada empat subsistem yang sangat penting dalam perannya


sebagai pendukung dari sistem kesehatan hewan nasional
(siskeswannnas) terutama dalam kaitannya dengan pengendalian
dan pemberantasan penyakit zoonosis yaitu 1) sitem surveilans dan
monitoring nasional terhadap penyakit zoonosis pada ternak dan
satwa liar, 2) sistem kewaspadaan dini dan darurat penyakit,
3) sistem informasi kesehatan hewan dan 4) sistem kesehatan
masyarakat veteriner (Ditjenpkh, 2018).

Perkembangan dunia saat ini dalam pengendalian penyakit


zoonosis mengarah kepada pentingnya konsep ‘one world, one
medicine, one health’ yang mengedepankan kerjasama yang lebih
terintegrasi dan sinergis antara dokter hewan dan dokter dalam
mengantisipasi penyakit-penyakit zoonosis yang berpotensi
epidemik. Konsep one health adalah suatu gerakan untuk menjalin
kemitraan antara dokter dan dokter hewan yang harus disepakati
oleh berbagai pihak, baik organisasi medik kesehatan, kesehatan
hewan maupun kesehatan masyarakat. Konsep ‘one health’ akan
mendorong kemitraan antara dokter dan dokter hewan menuju
penelitian dan surveilans yang lebih baik di bidang zoonotik dan
penyakit-penyakit baru muncul (emerging and re-emerging
zoonoses) (Ditjenpkh, 2018).
C. PHMS Viral, Bakterial, Parasit serta Cara Penularan, Gejala
Klinis, Diagnosis dan Pencegahannya
Kementerian Pertanian telah menetapkan 25 (dua puluh lima)
penyakit masuk pada PHMS (Penyakit Hewan Menular Strategis) sesuai
dengan Kajian yang telah dilakukan Ditkeswan, daftar PHMS dan
penjelasan singkat setiap penyakit sebagai berikut yaitu :
Tabel 1. Daftar PHMS (Balai Besar Penelitian Veteriner, 2018)

1. Rabies (Anjing Gila)


Rabies yaitu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh virus ss RNA
dari genus Lyssavirus, famili Rhabdoviridae, virus berbentuk seperti
peluru yang bersifat neurotropis, menular dan sangat ganas. Reservoir
utama rabies adalah anjing domestik. Sebagian besar kasus (98%)
disebabkan oleh gigitan anjing, sedangkan sisanya oleh hewan lain
seperti monyet dan kucing. Virus ini bersifat labil dan tidak viable bila
berada diluar inang. Virus menjadi tidak aktif bila terpapar sinar
matahari,sinar ultraviolet, pemanasan 1 jam selama 50 menit,
pengeringan, dan sangat peka terhadap pelarut alkalis seperti sabun,
desinfektan, serta alkohol 70% (Tanzil, 2014).
Manusia terinfeksi melalui jilatan atau gigitan hewan yang terjangkit
rabies seperti anjing, kucing, kera, musang, serigala, raccoon, kelelawar.
Virus masuk melalui kulit yang terluka atau melalui mukosa utuh seperti
konjungtiva mata, mulut, anus, genitalia eksterna, atau transplantasi
kornea. Infeksi melalui inhalasi virus sangat jarang ditemukan. Setelah
virus rabies masuk melalui luka gigitan, maka selama 2 minggu virus
tetap tinggal pada tempat masuk dan didekatnya, kemudian bergerak
mencapai ujung-ujung serabut saraf posterior tanpa menunjukkan
perubahanperubahan fungsinya. Masa inkubasi virus rabies sangat
bervariasi, mulai dari 7 hari sampai lebih dari 1 tahun, rata-rata 1-2 bulan,
tergantung jumlah virus yang masuk, berat dan luasnya kerusakan
jaringan tempat gigitan, jauh dekatnya lokasi gigitan ke sistem saraf
pusat, persarafan daerah luka gigitan dan sistem kekebalan tubuh
(Tanzil, 2014).
Gejala prodomal biasanya non spesifik berlangsung 1-4 hari dan
ditandai dengan demam, sakit kepala, malaise, mialgia, gejala gangguan
saluran pernafasan, dan gejala gastrointestinal. Setelah timbul gejala
prodromal, gambaran klinis rabies akan berkembang menjadi salah satu
dari 2 bentuk, yaitu ensefalitik (furious) atau paralitik (dumb). Bentuk
ensefalitik ditandai aktivitas motorik berlebih, eksitasi, agitasi, bingung,
halusinasi, spasme muskular, meningismus, postur epistotonik, kejang
dan dapat timbul paralisis fokal. Gejala patognomonik, yaitu hidrofobia
dan aerofobia, tampak saat penderita diminta untuk mencoba minum
dan meniupkan udara ke wajah penderita. Gejala kemudian berkembang
berupa manifestasi disfungsi batang otak. Keterlibatan saraf kranial
menyebabkan diplopia, kelumpuhan saraf fasial, neuritis optik, dan
kesulitan menelan yang khas Gejala meningeal (sakit kepala, kaku
kuduk) dapat menonjol walaupun kesadaran normal. Pada kedua bentuk,
pasien akhirnya akan berkembang menjadi paralisis komplit, kemudian
menjadi koma, dan akhirnya meninggal yang umumnya karena
kegagalan pernafasan (Tanzil, 2014).
Selama periode awal infeksi rabies, temuan laboratorium tidak
spesifik. Untuk mendiagnosis rabies antemortem diperlukan beberapa
tes, tidak bisa dengan hanya satu tes. Tes yang dapat digunakan untuk
mengkonfirmasi kasus rabies antara lain deteksi antibodi spesifik virus
rabies, isolasi virus, dan deteksi protein virus atau RNA. Spesimen yang
digunakan berupa cairan serebrospinal, serum, saliva, dan biopsi. kulit.
Pada pasien yang telah meninggal, digunakan sampel jaringan otak yang
masih segar. Diagnosis pasti postmortem ditegakkan dengan adanya
badan Negri pada jaringan otak pasien, meskipun hasil positif kurang
dari 80% kasus (Tanzil, 2014).
Terdapat 3 unsur yang penting dalam PEP (Post Exposure
Praphylaxis), yaitu: (1) perawatan luka, (2) serum antirabies (SAR), dan
(3) vaksin antirabies (VAR). Tindakan pertama yang harus dilaksanakan
adalah membersihkan luka dari saliva yang mengandung virus rabies.
Luka segera dibersihkan dengan cara disikat dengan sabun dan air
(sebaiknya air mengalir) selama 10-15 menit kemudian dikeringkan dan
diberi antiseptik (merkurokrom, alkohol 70%, povidon-iodine, 1-4%
benzalkonium klorida atau 1% centrimonium bromida). Luka sebisa
mungkin tidak dijahit. Jika memang perlu sekali, maka dilakukan jahitan
situasi dan diberi SAR yang disuntikkan secara infiltrasi di sekitar luka
sebanyak mungkin dan sisanya disuntikkan secara intramuskuler
ditempat yang jauh dari tempat inokulasi vaksin. Disamping itu, perlu
dipertimbangkan pemberian serum/vaksin antitetanus, antibiotik untuk
mencegah infeksi, dan pemberian analgetik (Tanzil, 2014).
Rekomendasi WHO mencegah rabies tergantung adanya kontak:
1) Kategori 1: menyentuh, memberi makan hewan atau jilatan
hewan pada kulit yang intak karena tidak terpapar tidak perlu
profilaksis, apabila anamnesis dapat dipercaya.
2) Kategori 2: termasuk luka yang tidak berbahaya adalah jilatan
pada kulit luka, garukan, atau lecet (erosi ekskoriasi), luka kecil
disekitar tangan, badan, dan kaki. Untuk luka resiko rendah
diberi VAR saja.
3) Kategori 3: jilatan/ luka pada mukosa, luka diatas daerah bahu
(muka,kepala,leher),luka pada jari tangan/ kaki, genitalia, luka
yang lebar/dalam dan luka yang banyak (multiple)/ atau ada
kontak dengan kelelawar, maka gunakan VAR dan SAR (Tanzil,
2014).
2. Anthrax

Anthrax merupakan penyakit infeksi menular akut yang termasuk


salah satu dari penyakit – penyakit zoonosis. Penyakit ini banyak
dibicarakan di Indonesia terutama pada saat menjelang hari raya Iedul
Adha, sebab penyakit ini berkaitan erat dengan hewan ternak sapi
maupun kambing yang merupakan hewan kurban. Anthrax disebabkan
oleh bakteri Bacillus anthracis, suatu bakteri yang mempunyai
kemampuan membentuk endospora yaitu suatu bentuk pertahanan diri
suatu bakteri, sehingga menyebabkan bakteri ini sulit dieradikasi
(Rahayu, 2011).

Sumber infeksi: Tanah yang tercemar endospora bakteri Bacillus


anthracis merupakan sumber infeksi dan bersifat bahaya laten karena
dapat terserap oleh akar tumbuh-tumbuhan hingga mencapai daun
maupun buahnya sehingga berpotensi untuk menginfeksi ternak
maupun manusia yang mengkonsumsinya. Sumber infeksi lainnya
adalah bangkai ternak pengindap anthrax. Miliaran endospora bakteri
ini terdapat dalam darah dan organ – organ dalam penderita pada
keadaan septisemia. Pada dasarnya seluruh tubuh bangkai penderita,
termasuk benda yang keluar dari bangkai tersebut mengandung
endospora bakteri ini. Dalam satu mililiter darah setidaknya
mengandung 1 miliar endospora. Spora-spora tersebut dapat
diterbangkan angin, atau dihanyutkan aliran air kemudian dapat
mencemari air, pakan, rumput, peralatan dan sebagainya (Rahayu,
2011).

Selama masa akhir dari penyakit ini pada hewan, bakteri vegetatif
Bacillus anthracis akan keluar dalam jumlah banyak bersama darah
penderita melewati lubang – lubang kumlah alami misalnya telinga,
hidung, anus. Bakteri ini dengan segera membentuk endospora dan
berdiam diri di tanah bertahun –tahun bahkan hingga 60 -70 tahun. Hal
inilah yang kemungkinan dapat menjadi sumber infeksi dari anthrax
yang terus menerus ada (Rahayu, 2011).

Gejala klinis Anthrax pada hewan diawali dengan suhu tubuh


tinggisekitar 41 - 42 °C, kehilangan nafsu makan yang mengarah
kepada terhentinya produksi susu pada sapi perah, edema di sekitar
leher, hidung, kepala dan scrotum, selain itu penderita terlihat
sempoyongan, gemetar dan dengan segera timbul kematian. Penderita
yang lemah biasanya mati dalam waktu 1 - 3 hari. Manusia dapat
terinfeksi melalui salah satu dari ketiga kemungkinan yaitu melalui
kulit, melalui inhalasi atau melalui ingesti. Kutaneus anthrax
merupakan manifestasi klinis terbanyak pada manusia, dinyatakan
sekitar 95% dari kejadian anthrax. Pada manusia, kutaneus anthrax
bermula dari infeksi oleh endospora bakteri ini melalui lesi kulit. Dalam
waktu 12 -36 jam setelah infeksi akan timbul papula yang akan berubah
segera menjadi vesicular yang berisi cairan berwarna biru gelap. Ruptur
dari vesicular akan meninggalkan bekas berupa eschar kehitaman pada
bagian pusat lesi dan dikelilingi oleh daerah menonjol yang merupakan
reaksi keradangan. Pada cutaneous anthrax, umumnya penderita
mengeluh demam subfebris dan sakit kepala. Infeksi oleh endospora
bakteri ini melalui inhalasi akan menimbulkan mediastinitis, demam,
malaise, myalgia, batuk non produktif, kemudian dapat menjadi parah
dengan adanya edema paru, pneumonia haemorrhagic sehingga terjadi
respiratory distress dan cyanosis serta dalam beberapa kasus dapat
terjadi kematian dalam waktu 24 jam. Pada anthrax bentuk pernapasan
ini, biasanya terjadi pada orang –orang yang menangani produk –
produk hewan misalnya pada penyortir bulu domba, sehingga sering
disebut sebagai wool-sorter’s disease. Pada anthrax bentuk pernapasan
keluhan penderita umumnya demam subfebris, batuk non produktif,
lesu, lemah dan dalam 2 - 4 hari kemudian terjadi gangguan pernafasan
hebat disertai suhu yang meningkat, cyanosis dyspneu, keringat
berlebihan, dan detak jantung menjadi lebih cepat. Pada anthrax bentuk
pencernaan, infeksi endospora didapatkan melalui oral karena makanan
yang tercemar dan ditandai dengan gejala sakit perut, nausea, vomit dan
diare , bahkan dapat terjadi haematemesis dan diare berdarah akibat
ulcerasi pada mucosa gastrointestinal. Walaupun dapat mengakibatkan
kehilangan banyak cairan darah sehingga terjadi schock dan kematian
tetapi pada manusia bentuk ini merupakan yang paling jarang terjadi.
Pada anthrax saluran pencernaan keluhan penderita biasanya adalah
rasa sakit perut yang hebat, mual, muntah, tidak nafsu makan, suhu
badan meningkat dan hematemesis (Rahayu, 2011).

Untuk penegakan diagnosa perlu dilakukan pemeriksaan laboratoris


dengan pengecatan langsung atau kultur terhadap specimen yang
diambil dari malignant pustule, sputum, darah atau discharge penderita.
Hal ini tergantung dari manifestasi klinis yang terjadi pada penderita
tersebut. Kesulitan dalam isolasi Bacillus anthracis dari kultur ini
umumnya adalah banyaknya bakteri pencemar berupa genus Bacillus
yang non pathogen misalnya Bacillus cereus. Beberapa sifat dari
Bacillus anthracis yang berbeda dengan Bacillus cereus dapat
digunakan untuk membedakan keduanya misalnya kemampuan
membentuk capsule, sensitive terhadap penicillin, non motil dan
kemampuan melisis bakteriophaga merupakan sifat Bacillus anthracis
yang tidak dimiliki oleh Bacillus cereus. Immunodiagnostik berupa test
PCR atau Elisa juga dapat dilakukan sebagai diagnosa laboratoris selain
Test ascoli yang merupakan test serologis khususnya terhadap hewan
yang mati tersangka anthrax (Rahayu, 2011).

Berbagai upaya dapat dilakukan untuk mencegah penularan anthrax


pada manusia diantaranya dengan menghindari kontak langsung
dengan bahan atau makanan yang berasal dari hewan yang dicurigai
terkena anthrax. Selain itu perlu dilakukan pemusnahan bangkai hewan
yang mati karena anthrax secara benar sehingga tidak memungkinkan
endospora dari bakteri ini untuk menjadi sumber infeksi. Vaksinasi
pada hewan ternak perlu dilakukan untuk mencegah infeksi pada ternak
sapi, kerbau, kambing, domba maupun kuda (Rahayu, 2011).

3. Surra
Trypanosomiasis atau Surra adalah penyakit parasit yang
disebabkan oleh agen Trypanosoma evansi dan ditularkan melalui
gigitan lalat penghisap darah (haematophagus flies). Agen T. evansi
telah tersebar luas di kawasan Asia Tenggara, Afrika dan Amerika
Selatan (Disnakkeswan Provinsi Jawa Tengah, 2018).
Penyakit Surra disebabkan oleh protozoa yang merupakan parasit
darah, yaitu Trypanosoma evansi. Parasit ini dapat ditemukan di dalam
sirkulasi darah pada fase infeksi akut. T. evansi memiliki ukuran
panjang 15 to 34 μm dan dapat membelah (binary fission) untuk
memperbanyak diri. Bentuknya yang khas seperti daun atau kumparan
dicirikan dengan adanya flagella yang panjang sebagai alat gerak. Di
bagian tengah tubuh terdapat inti. Salah satu ujung tubuh berbentuk
lancip, sedangkan ujung tubuh yang lain agak tumpul dan terdapat
bentukan yang disebut kinetoplast (Disnakkeswan Provinsi Jawa
Tengah, 2018).
Penularan penyakit Surra antarhewan terjadi melalui darah yang
mengandung parasit T. evansi. Penularan yang paling utama terjadi
secara mekanis oleh lalat penghisap darah (hematophagous flies). Di
Indonesia, vektor penular yang berperan adalah lalat Tabanus,
Haematopota, dan Chrysops. Jenis lalat lain seperti Stomoxys, Musca,
Haematobia juga dapat menjadi vektor pada saat populasi lalat tersebut
meningkat di suatu wilayah. Walaupun penularan terjadi melalui gigitan
lalat, tetapi agen T. evansi tidak melakukan perkembangan siklus hidup
di dalam tubuh lalat. Hewan karnivora dapat terinfeksi trypanosoma
apabila memakan daging yang mengandung trypanosoma. Penularan
melalui air susu dan selama masa kebuntingan pernah pula dilaporkan
(OIE, 2009). Namun karena parasit ini tidak mampu bertahan lama di
luar tubuh inang, maka resiko penularan melalui produk asal hewan
(daging dan susu) dapat diabaikan. Penularan melalui peralatan kandang
seperti dehorner (alat pemotong tanduk) serta alat-alat medis misalnya
jarum suntik dan alat bedah dapat terjadi apabila peralatan tersebut
terkontaminasi darah yang mengandung parasit trypanosome
(Disnakkeswan Provinsi Jawa Tengah, 2018).
Gejala klinis yang tampak pada hewan bervariasi tergantung pada
keganasan/virulensi agen T. evansi, jenis hewan (host) yang terinfeksi
dan faktor lain yang dapat menimbulkan stress. Lama waktu antara awal
infeksi dan munculnya gejala klinis (masa inkubasi) bervariasi, rata –
rata 5 sampai 60 hari pada infeksi akut. Akan tetapi penyakit Surra
umumnya berlangsung kronis (chronic infection) dengan angka
kematian yang rendah sehingga pernah dilaporkan masa inkubasi yang
lebih lama yaitu 3 bulan. Setelah masa inkubasi, dalam waktu kurang
dari 14 hari akan ditemukan parasit yang beredar dalam sirkulasi darah
(parasitemia). Manisfestasi klinis penyakit Surra dapat berupa gejala
demam berulang (intermiten) akibat parasitaemia. Parasitemia sangat
tinggi variasinya selama masa infeksi: tinggi pada awal infeksi, rendah
selama infeksi berjalan kronis dan hampir tidak ada pada hewan
pembawa agen (carrier) (Disnakkeswan Provinsi Jawa Tengah, 2018).
Anemia merupakan gejala yang paling banyak ditemukan pada
infeksi oleh trypanosoma. Membran sel darah merah akan kehilangan
salah satu komponen penyusun yaitu asam sialik (sialic acid). Hal
tersebut akan mengaktifkan makrofag pada organ limpa, hati, paru-paru,
limfonodus dan sum-sum tulang untuk memfagosit sel darah merah
sehingga menyebabkan penurunan jumlah sel darah merah. Gejala lain
diantaranya penurunan berat badan, pembengkakan limfonodus
prescapularis kiri dan kanan, kelemahan otot tubuh, oedema pada
anggota tubuh bagian bawah seperti kaki dan abdomen, urtikaria pada
kulit, perdarahan titik (petechial haemorrhages) pada membran serous
kelopak mata, hidung dan anus, keguguran (abortus), dan gangguan
syaraf. Penurunan imunitas tubuh (imunosupresi) juga ditemui sehingga
hewan inang menjadi rentan terhadap infeksi sekunder (Disnakkeswan
Provinsi Jawa Tengah, 2018).
Dikarenakan gejala klinis infeksi T. evansi tidak bersifat khas
(patognomonis), maka pemeriksaan gejala klinis sebaiknya juga
ditunjang dengan pengujian di laboratorium untuk konfirmasi agen
penyebab. Uji parasit, uji serologi dan uji molekuler merupakan teknik
pengujian yang digunakan untuk diagnosis konfirmatif di laboratorium.
Uji parasit diantaranya pemeriksaan haematologi (mikroskopik),
microhematocrit centrifugation technique (MHCT) dan mouse
inoculation test (MIT). Uji serologi dapat dilakukan dengan metode card
agglutination test for trypanosomes (CATT) dan enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA), sedangkan uji molekuler menggunakan
polymerase chain reaction (PCR). Pemeriksaan haematologi dengan
teknik ulas darah tipis terkadang mengalami hambatan karena agen T.
evansi hanya dapat dideteksi pada saat terjadi parasitemia yang tinggi.
Sedangkan pada kasus infeksi yang berjalan kronis, diperlukan
pemeriksaan ulas darah tebal, MHCT dan MIT. Untuk kepentingan
diagnostik terhadap trypanosomiasis, pengujian dengan teknik CATT
memiliki sensitifitas lebih tinggi dibandingkan teknik MIT dan MHCT.
Disamping itu, teknik CATT dapat digunakan untuk melakukan uji tapis
(screening test) dan kemudian dapat dilanjutkan dengan uji PCR untuk
konfirmasi agen T. evansi (Disnakkeswan Provinsi Jawa Tengah, 2018).
Upaya yang perlu dilakukan untuk pengendalian terhadap penyakit
Surra yaitu dengan menekan vector lalat Tabanus di sekitar kandang
ternak. Cara efektif adalah menjaga lingkungan kandang tetap bersih
dari limbah pakan ternak yang menumpuk disekitar kandang dan
melakukan control lalat dengan obat anti lalat. Obat anti lalat yang
beredar di pasaran antara lain Gusanex, Ralat, dll. Tindakan pencegahan
dan pengobatan terhadap penderita Surra dengan preparat obat Naganol,
Surramin (tidak beredar lagi di Indonesia) Triponyl, Trypamidium,
Vetquin. Agar efektif pengobatan kasus positif Surra dilakukan
pengobatan 2(dua) kali interval 1 minggu dan untuk pencegahan dapat
dilakukan pengobatan 1 (satu) kali di lingkungan ternak yang ada kasus
(Disnakkeswan Provinsi Jawa Tengah, 2018).

Daftar Pustaka
Tanzil, K. 2014. Penyakit Rabies Dan Penatalaksanaannya: E-Journal
WIDYA Kesehatan Dan Lingkungan Volume 1 Nomor 1 Mei 2014.
Rahayu, A. 2011. Anthrax di Indonesia: Jurnal Ilmiah Kesehatan dan
Lingkungan Univesitas Wijaya Kusuma Vol.1 No 3.

You might also like