Professional Documents
Culture Documents
Judul/Topik Diskusi
Zoonosis Menjadi Ancaman Serius Kesehatan Manusia
II. Tujuan
A. Menjelaskan ruang lingkup dan program kesehatan masyarakat
veteriner.
B. Menjelaskan pengawasan, pemberantasan, pengendalian dan
pengawasan zoonosis.
C. Mengetahui penyakit hewan menular strategis (PHMS) viral,
bakterial dan parasit serta cara penularan, gejala klinis, diagnosis
dan pencegahan
III. Skema Pembelajaran
Zoonosis Menjadi
Ancaman Serius
Kesehatan
Manusia
PHMS viral,
Pencegahan, bakterial, parasit
Ruang Lingkup Pemberantasan, serta cara
dan Program Pengendalian dan penularan, gejala
KESMAVET Pengawasan klinis, diagnosis
Zoonosis dan
pencegahannya
IV. Bahasan
A. Ruang Lingkup dan Program KESMAVET
Ruang Lingkup dan Fungsi Kesmavet:
1. Memberi masukan teknis dalam penyusunan peraturan
perundangan, kebijakan, pedoman, perencanaan strategis dan
pelaksanaan dalam bidang pengendalian dan pencegahan
penyakit hewan dan manusia, sanitasi, higiene, dan
lingkungan
2. Pencegahan dan pengendalian penyakit zoonotik atau
zoonosis (penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia)
3. Higiene pangan dan keamanan pangan, termasuk
pengendalian foodborne illness (penyakit yang ditularkan
melalui makanan).
4. Identifikasi dan evaluasi bahaya-bahaya (hazards) baik
biologis, kimiawi, dan fisik yang menimbulkan dampak
buruk terhadap kesehatan manusia dan hewan;
5. Pendidikan kesehatan masyarakat.
6. Kerjasama antar instansi/badan dalam rangka menjamin
kesehatan hewan, manusia, lingkungan.
(Direktorat Kesmavet, 2010)
Program merupakan instrumen kebijakan yang berisi
kegiatankegiatan untuk mencapai sasaran dan tujuan. Penyusunan
program mengacu kepada Renstra Ditjen Peternakan dan Kesehatan
Hewan Tahun 2015-2019. Program Direktorat Kesmavet harus dapat
menggambarkan kontribusi dari sasaran pelaksanaan Program
Swasembada Daging Sapi/Kerbau dan Penjaminan Produk Asal
Hewan yang ASUH. Penyelenggaraan Proram diharapkan akan
mengeluarkan beberapa indikator outcome.
Adapun outcome yang diharapkan dari program Direktorat
Kesmavet sampai dengan tahun 2019 adalah:
1. Meningkatnya penjaminan pangan asal hewan (daging, susu,
telur beserta turunannya) yang ASUH, melalui
a) hasil surveilans cemaran mikroba dan residu yang
menunjukkan dibawah batas ambang sebesar 90%
b) pengawasan peredaran pada unit usaha yang melakukan
pemasukan sebesar 100%
c) sertifikasi NKV sebanyak 40 RPH (Ruminansia dan
Unggas)
d) sertifikasi produk hewan yang berasal dari dan ke luar
negeri sebesar 100%
e) pengawasan peredaran pada unit usaha yang melakukan
pemasukan sebesar 100% 2.
2. Meningkatnya penjaminan keamanan produk hewan non
pangan dan penjaminan tidak adanya penyalahgunaan
peruntukan produk non pangan melalui pengawasan unit usaha
dan pengujian produk sebesar 90%.
3. Meningkatnya nilai tambah produk hewan melalui :
a) sertifikasi halal dari total sebesar 30 % RPH (ruminansia
dan unggas)
b) dan penerapan sistem butcher sesuai SNI pada 10% RPH
ruminansia
4.
a) Meningkatnya penerapan pemeriksaan ante mortem dan
post mortem di RPH sebesar 2% dari jumlah RPH di
Indonesia
b) Penurunan prevalensi menjadi 2% dari jumlah contoh
produk hewan positif agen foodborne zoonosis penting
c) Peningkatan pemahaman masyarakat terhadap zoonosis
prioritas sebesar 5% yang diukur melalui Knowledge,
Attitude, Practice Survey (KAP Survey)
5.
a) Meningkatnya Penerapan Kesrawan di RPH sebesar 5% dari
total RPH dan , serta
b) Meningkatnya Penerapan Kesrawan di tempat pemotongan
hewan kurban sebesar 1% dari total lokasi pemotongan
hewan kurban di Indonesia
c) Peningkatan pemahaman masyarakat umum terhadap
penerapan kesrawan sebesar 5% yang diukur melalui
Knowledge, Attitude, Practice Survey (KAP Survey)
6. Meningkatnya Pelayanan Veteriner bidang Kesmavet melalui
penerapan pelayanan sesuai SOP sebesar 70%
Selama masa akhir dari penyakit ini pada hewan, bakteri vegetatif
Bacillus anthracis akan keluar dalam jumlah banyak bersama darah
penderita melewati lubang – lubang kumlah alami misalnya telinga,
hidung, anus. Bakteri ini dengan segera membentuk endospora dan
berdiam diri di tanah bertahun –tahun bahkan hingga 60 -70 tahun. Hal
inilah yang kemungkinan dapat menjadi sumber infeksi dari anthrax
yang terus menerus ada (Rahayu, 2011).
3. Surra
Trypanosomiasis atau Surra adalah penyakit parasit yang
disebabkan oleh agen Trypanosoma evansi dan ditularkan melalui
gigitan lalat penghisap darah (haematophagus flies). Agen T. evansi
telah tersebar luas di kawasan Asia Tenggara, Afrika dan Amerika
Selatan (Disnakkeswan Provinsi Jawa Tengah, 2018).
Penyakit Surra disebabkan oleh protozoa yang merupakan parasit
darah, yaitu Trypanosoma evansi. Parasit ini dapat ditemukan di dalam
sirkulasi darah pada fase infeksi akut. T. evansi memiliki ukuran
panjang 15 to 34 μm dan dapat membelah (binary fission) untuk
memperbanyak diri. Bentuknya yang khas seperti daun atau kumparan
dicirikan dengan adanya flagella yang panjang sebagai alat gerak. Di
bagian tengah tubuh terdapat inti. Salah satu ujung tubuh berbentuk
lancip, sedangkan ujung tubuh yang lain agak tumpul dan terdapat
bentukan yang disebut kinetoplast (Disnakkeswan Provinsi Jawa
Tengah, 2018).
Penularan penyakit Surra antarhewan terjadi melalui darah yang
mengandung parasit T. evansi. Penularan yang paling utama terjadi
secara mekanis oleh lalat penghisap darah (hematophagous flies). Di
Indonesia, vektor penular yang berperan adalah lalat Tabanus,
Haematopota, dan Chrysops. Jenis lalat lain seperti Stomoxys, Musca,
Haematobia juga dapat menjadi vektor pada saat populasi lalat tersebut
meningkat di suatu wilayah. Walaupun penularan terjadi melalui gigitan
lalat, tetapi agen T. evansi tidak melakukan perkembangan siklus hidup
di dalam tubuh lalat. Hewan karnivora dapat terinfeksi trypanosoma
apabila memakan daging yang mengandung trypanosoma. Penularan
melalui air susu dan selama masa kebuntingan pernah pula dilaporkan
(OIE, 2009). Namun karena parasit ini tidak mampu bertahan lama di
luar tubuh inang, maka resiko penularan melalui produk asal hewan
(daging dan susu) dapat diabaikan. Penularan melalui peralatan kandang
seperti dehorner (alat pemotong tanduk) serta alat-alat medis misalnya
jarum suntik dan alat bedah dapat terjadi apabila peralatan tersebut
terkontaminasi darah yang mengandung parasit trypanosome
(Disnakkeswan Provinsi Jawa Tengah, 2018).
Gejala klinis yang tampak pada hewan bervariasi tergantung pada
keganasan/virulensi agen T. evansi, jenis hewan (host) yang terinfeksi
dan faktor lain yang dapat menimbulkan stress. Lama waktu antara awal
infeksi dan munculnya gejala klinis (masa inkubasi) bervariasi, rata –
rata 5 sampai 60 hari pada infeksi akut. Akan tetapi penyakit Surra
umumnya berlangsung kronis (chronic infection) dengan angka
kematian yang rendah sehingga pernah dilaporkan masa inkubasi yang
lebih lama yaitu 3 bulan. Setelah masa inkubasi, dalam waktu kurang
dari 14 hari akan ditemukan parasit yang beredar dalam sirkulasi darah
(parasitemia). Manisfestasi klinis penyakit Surra dapat berupa gejala
demam berulang (intermiten) akibat parasitaemia. Parasitemia sangat
tinggi variasinya selama masa infeksi: tinggi pada awal infeksi, rendah
selama infeksi berjalan kronis dan hampir tidak ada pada hewan
pembawa agen (carrier) (Disnakkeswan Provinsi Jawa Tengah, 2018).
Anemia merupakan gejala yang paling banyak ditemukan pada
infeksi oleh trypanosoma. Membran sel darah merah akan kehilangan
salah satu komponen penyusun yaitu asam sialik (sialic acid). Hal
tersebut akan mengaktifkan makrofag pada organ limpa, hati, paru-paru,
limfonodus dan sum-sum tulang untuk memfagosit sel darah merah
sehingga menyebabkan penurunan jumlah sel darah merah. Gejala lain
diantaranya penurunan berat badan, pembengkakan limfonodus
prescapularis kiri dan kanan, kelemahan otot tubuh, oedema pada
anggota tubuh bagian bawah seperti kaki dan abdomen, urtikaria pada
kulit, perdarahan titik (petechial haemorrhages) pada membran serous
kelopak mata, hidung dan anus, keguguran (abortus), dan gangguan
syaraf. Penurunan imunitas tubuh (imunosupresi) juga ditemui sehingga
hewan inang menjadi rentan terhadap infeksi sekunder (Disnakkeswan
Provinsi Jawa Tengah, 2018).
Dikarenakan gejala klinis infeksi T. evansi tidak bersifat khas
(patognomonis), maka pemeriksaan gejala klinis sebaiknya juga
ditunjang dengan pengujian di laboratorium untuk konfirmasi agen
penyebab. Uji parasit, uji serologi dan uji molekuler merupakan teknik
pengujian yang digunakan untuk diagnosis konfirmatif di laboratorium.
Uji parasit diantaranya pemeriksaan haematologi (mikroskopik),
microhematocrit centrifugation technique (MHCT) dan mouse
inoculation test (MIT). Uji serologi dapat dilakukan dengan metode card
agglutination test for trypanosomes (CATT) dan enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA), sedangkan uji molekuler menggunakan
polymerase chain reaction (PCR). Pemeriksaan haematologi dengan
teknik ulas darah tipis terkadang mengalami hambatan karena agen T.
evansi hanya dapat dideteksi pada saat terjadi parasitemia yang tinggi.
Sedangkan pada kasus infeksi yang berjalan kronis, diperlukan
pemeriksaan ulas darah tebal, MHCT dan MIT. Untuk kepentingan
diagnostik terhadap trypanosomiasis, pengujian dengan teknik CATT
memiliki sensitifitas lebih tinggi dibandingkan teknik MIT dan MHCT.
Disamping itu, teknik CATT dapat digunakan untuk melakukan uji tapis
(screening test) dan kemudian dapat dilanjutkan dengan uji PCR untuk
konfirmasi agen T. evansi (Disnakkeswan Provinsi Jawa Tengah, 2018).
Upaya yang perlu dilakukan untuk pengendalian terhadap penyakit
Surra yaitu dengan menekan vector lalat Tabanus di sekitar kandang
ternak. Cara efektif adalah menjaga lingkungan kandang tetap bersih
dari limbah pakan ternak yang menumpuk disekitar kandang dan
melakukan control lalat dengan obat anti lalat. Obat anti lalat yang
beredar di pasaran antara lain Gusanex, Ralat, dll. Tindakan pencegahan
dan pengobatan terhadap penderita Surra dengan preparat obat Naganol,
Surramin (tidak beredar lagi di Indonesia) Triponyl, Trypamidium,
Vetquin. Agar efektif pengobatan kasus positif Surra dilakukan
pengobatan 2(dua) kali interval 1 minggu dan untuk pencegahan dapat
dilakukan pengobatan 1 (satu) kali di lingkungan ternak yang ada kasus
(Disnakkeswan Provinsi Jawa Tengah, 2018).
Daftar Pustaka
Tanzil, K. 2014. Penyakit Rabies Dan Penatalaksanaannya: E-Journal
WIDYA Kesehatan Dan Lingkungan Volume 1 Nomor 1 Mei 2014.
Rahayu, A. 2011. Anthrax di Indonesia: Jurnal Ilmiah Kesehatan dan
Lingkungan Univesitas Wijaya Kusuma Vol.1 No 3.