You are on page 1of 34

Asuhan Keperawatan Anak dengan Asma Bronchial

A. Pengertian
Asma bronchial adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermitten,
reversibel dimana trakheobronkhial berespon secara hiperaktif terhadap
stimuli tertentu.
Asma bronchial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya
respon trachea dan bronkhus terhadap berbagai rangsangandengan
manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat
berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan.

B. Etiologi
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi
timbulnya serangan asma bronkhial.
1. Faktor Predisposisi
- Genetik
Yang diturunkan adalah bakat alergi meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi
biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga menderita penyakit
alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena
penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan faktor pencetus.
2. Faktor Presipitasi
- Alergen
Alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:
a) Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan. Contoh: debu,
bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri, dan polusi.
b) Ingestan, yang masuk melalui mulut. Contoh: makanan dan obat-
obatan
c) Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit. Contoh:
perhiasan, logam, dan jam tangan.
- Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan
musim, seperti musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini
berhubungan dengan arah angin, serbuk bunga, dan debu.
- Stress
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus asma dan
memperberat serangan asma yang sudah ada. Penderita diberikan
motivasi untuk menyelesaikan masalah pribadinya karena jika
stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.
- Olah raga/aktivitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita akan mendapat serangan juka melakukan
aktivitas jasmani atau olahraga yang berat.lari cepat paling mudah
menimbulkan serangan asma.

C. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3
tipe, yaitu:
1. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergi yang disebabkan oleh faktor-faktor
pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-
obatan (antibiotik dan aspirin), dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering
dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi.
2. Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap
penctus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau
bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi.
Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan
berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronis dan
emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.
3. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik
dari bentuk alergik dan non-alergik.
D. Patofisiologi
Asma ditandai dengan kontraksi spastik dari otot polos bronkhiolus
yang menyebabkan sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah
hipersensitivitas bronkhiolus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi
yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara: seseorang
alergi membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal  reaksi alergi. Pada
asma, antibodi ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada
interstisial paru yang berhubungan erat dengan bronkhiolus dan bronkhus
kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka antibodi IgE orang tersebut
meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel
mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat,
diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan
leukotrien), faktor kemotaktik eosinofilik, dan bradikinin. Efek gabungan dari
semua faktor ini akan menghasilkan edema lokal pada dinding bronkhiolus
kecil maupun sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkhiolus dan
spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas
menjadi sangat meningkat.
Pada asma, diameter bronkhiolus berkurang selama ekspirasi daripada
selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama ekspirasi
paksa menekan bagian luar bronkhiolus. Bronkhiolus sudah tersumbat
sebagian maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal
yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi.pada penderita
asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat tetapi
hanya sekali-kali melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea.
Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat
meningkat selama serangan asma akibat kesulitan mengeluarkan udara
ekspirasi dari paru. Hal in dapat menyebabkan barrel chest.

E. Manifestasi Klinis
Biasanya pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan
gejala klinis, tapi pada saat serangan penderita tampak bernafas cepat dan
dalam, gelisah, duduk dengan menyangga ke depan, serta tanpa otot-otot
bantu pernafasan bekerja dengan keras. Gejala klasik: sesak nafas, mengi
(wheezing), batuk, dan pada sebagian penderita ada yang merasa nyeri di
dada. Pada serangan asma yang lebih berat, gejala yang timbul makin
banyak, antara lain: silent chest, sianosis, gangguan kesadaran, hiperinflasi
dada, takikardi, dan pernafasan cepat-dangkal. Serangan asma sering terjadi
pada malam hari.

F. Komplikasi
Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah:
1. Status asmatikus adalah setiap serangan asma berat atau yang
kemudian menjadi berat dan tidak memberikan respon (refrakter)
adrenalin dan atau aminofilin suntikan dapat digolongkan pada status
asmatikus. Penderita harus dirawat dengan terapi yang intensif.
2. Atelektasis adalah pengerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat
penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat
pernafasan yang sangat dangkal.
3. Hipoksemia adalah tubuh kekurangan oksigen
4. Pneumotoraks adalah terdapatnya udara pada rongga pleura yang
menyebabkan kolapsnya paru.
5. Emfisema adalah penyakit yang gejala utamanya adalah penyempitan
(obstruksi) saluran nafas karena kantung udara di paru menggelembung
secara berlebihan dan mengalami kerusakan yang luas.

G. Penatalaksanaan
Prinsip umum pengobatan asma bronkhial adalah:
1. Menghilangkan obstruksi jalan nafas dengan segera
2. Mengenal dan menghindari faktor-faktor yang dapat mencetuskan
serangan asma
3. Memberikan penerangan kepada penderita atau keluarganya mengenai
penyakit asma. Meliputi pengobatan dan perjalanan penyakitnya sehingga
penderita mengerti tujuan pengobatan yang diberikan dan bekerjasama
dengan dokter atau perawat yang merawat.
- Pengobatan
Pengobatan pada asma bronkhial terbagi 2, yaitu:
1) Pengobatan non farmakologik
a. Memberikan penyuluhan
b. Menghindari faktor pencetus
c. Pemberian cairan
d. Fisioterapi
e. Beri O₂ bila perlu
2) Pengobatan farmakologik
- Bronkodilator: obat yang melebarkan saluran nafas. Terbagi dalam 2
golongan:
a. Simpatomimetik/andrenergik (adrenalin dan efedrin)
Nama obat: Orsiprenalin (Alupent), fenoterol (berotec), terbutalin
(bricasma).
b. Santin (teofilin)
Nama obat: Aminofilin (Amicam supp), Aminofilin (Euphilin Retard),
Teofilin (Amilex)
Penderita dengan penyakit lambung sebaiknya berhati-hati bila
minum obat ini.
- Kromalin
Kromalin bukan bronkodilator tetapi merupakan tetapi merupakan obat
pencegah serangan asma. Kromalin biasanya diberikan bersama-sama
obat anti asma yang lain dan efeknya baru terlihat setelah pemakaian
1 bulan.
- Ketolifen
Mempunya efek pencegahan terhadap asma seperti kromalin. Biasanya
diberikan dosis 2 kali 1 mg/hari. Keuntungan obat ini adalah dapat
diberikan secara oral.

H. Pencegahan Serangan Asma pada Anak


1. Menghindari pencetus
Cara menghindari berbagai pencetus serangan pada asma perlu diketahui
dan diajarkan pada keluarganya yang sering menjadi faktor pencetus
adalah debu rumah. Untuk menghindari pencetus karena debu rumah
dianjurkan dengan mengusahakan kamar tidur anak:
- Sprei, tirai, selimut minimal dicuci 2 minggu sekali. Sprei dan sarung
bantal lebih sering. Lebih baik tidak menggunakan karpet di kamar
tidur atau tempat bermain anak. Jangan memelihara binatang.
- Untuk menghindari penyebab dari makanan bila belum tau pasti, lebih
baik jangan makan coklat, kacang tanah atau makanan yang
mengandung es, dan makanan yang mengandung zat pewarna.
- Hindarkan kontak dengan penderita influenza, hindarkan anak berada
di tempat yang sedang terjadi perubahan cuaca, misalnya sedang
mendung.
2. Kegiatan fisik
Anak yang menderita asma jangan dilarang bermain atau berolah raga.
namun olahraga perlu diatur karena merupakan kebutuhan untuk tumbuh
kembang anak. Pengaturan dilakukan dengan cara:
- Menambahkan toleransi secara bertahap, menghindarkan percepatan
gerak yang mendadak
- Bila mulai batuk-batuk, istirahatlah sebentar, minum air dan setelah
tidak batuk-batuk, kegiatan diteruskan.
- Adakalanya beberapa anak sebelum melakukan kegiatan perlu minum
obat atau menghirup aerosol terlebih dahulu.

I. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Riwayat kesehatan masa lalu
- Kaji riwayat pribadi atau keluarga tentang penyakit paru sebelumnya
- Kaji riwayat reksi alergi atau sensitivitas terhadap zat/faktor
lingkungan
b. Aktivitas
- Ketidakmampuan melakukan aktivitas karena sulit bernafas
- Adanya penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bentuan
melakukan aktivitas sehari-hari
- Tidur dalam posisi duduk tinggi
c. Pernapasan
- Dispnea pada saat istirahat atau respon terhadap aktivitas atau
latihan
- Napas memburuk ketika klien berbaring telentang di tempat tidur
- Menggunakan alat bantu pernapasan, misal meninggikan bahu,
melebarkan hidung.
- Adanya bunyi napas mengi
- Adanya batuk berulang
d. Sirkulasi
- Adanya peningkatan tekanan darah
- Adanya peningkatan frekuensi jantung
- Warna kulit atau membran mukosa normal/abu-abu/sianosis
e. Integritas ego
- Ansietas
- Ketakutan
- Peka rangsangan
- Gelisah
f. Asupan nutrisi
- Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernapasan
- Penurunan berat badan karena anoreksia
g. Hubungan sosial
- Keterbatasan mobilitas fisik
- Susah bicara atau bicara terbata-bata
- Adanya ketergantungan pada orang lain

Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu
serangan menunjukkan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni
radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta
diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka
kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:
- Bila disertai dengan bronkhitis, maka bercak-bercak di hilus akan
bertambah
- Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran
radiolusen akan semakin bertambah.
- Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrat pada paru
- Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal
- Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneutoraks, dan
pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen
pada paru-paru.
b. Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen
yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
c. Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat
dibagi menjadi 3 bagian dan disesuaikan dengan gambaran yang
terjadi pada empisema paru, yaitu:
- Perubahan aksis jantung, pada umumnya terjadi right axis deviasi
dan clock wise rotation
- Terdapat tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB
(Right Bundle branch Block)
- Tanda-tanda hipoksemia, yaitu terdapatnya sinus takikardia, SVES,
dan VES atau terjadinya depresi segmen ST negatif.
d. Scanning Paru
Dapat diketahui bahwa redistribusi udara selama serangan asma tidak
menyeluruh pada paru-paru.
e. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan napas reversibel.
Pemeriksaan spirometri tdak saja penting untuk menegakkan diagnosis
tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan.
2. Diagnosa Keperawatan
1) Bersihan jalan napas tidak efektif b.d bronkospasme
Tujuan: mempertahankan jalan napas paten dengan bunyi bersih dan
jelas
Intervensi:
- Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, ex: mengi
- Kaji/pantau frekuensi pernafasan, catat rasio inspirasi/ekspirasi
- Catat adanya derajat dispnea, ansietas, distress pernafasan,
penggunaan obat
- Tempatkan klie pada posisi yang nyaman. Contoh: meninggikan
kepala TT, duduk pada sandaran TT
- Pertahankan polusi lingkungan minimum. Contoh: debu, asap,dll
- Tingkatkan masukan cairan sampai dengan 3000 ml/hari sesuai
toleransi jantung, memberikan air hangat.
- Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat sesuai indikasi.
2) Gangguan pertukaran gas b.d gangguan suplai oksigen
Tujuan: perbaikan ventilasi dan oksigen jaringan adekuat
Intervensi:
- Kaji/awasi secara rutin keadaan kulit klien dan membran mukosa
- Awasi tanda vital dan irama jantung
- Kolaborasi: .berikan oksigen tambahan sesuai dengan indikasi hasil
AGDA dan toleransi klien
- Sianosis mungkin perifer atau sentral mengindikasikan beratnya
hipoksemia
- Penurunan getaran vibrasi diduga adanya penggumpalan
cairan/udara
- Takikardi, disritmia, dan perubahan tekanan darah dapat
menunjukkan efek hipoksemia sistemik.
3) Cemas pada orang tua dan anak b.d penyakit yang dialami
anak
Tujuan: menurunkan kecemasan pada orang tua dan anak
Intervensi untuk orang tua:
- Berikan ketanangan pada orang tua
- Memberikan rasa nyaman
- Mendorong keluarga dengan memberikan pengertian dan informasi
(Waley & Wong, 1989)
- Mendorong keluarga untuk terlibat dalam perawatan anaknya
- Konsultasi dengan tim medis untuk mengetahui kondisi anaknya.

Intervensi untuk anak:

- Bina hubungan saling percaya


- Mengurangi perpisahan dengan orang tuanya
- Mendorong untuk mengekspresikan perasaannya
- Melibatkan anak dalam bermain
- Siapkan anak untuk menghadapi pengalaman baru, misal: pprosedur
tindakan
- Memberikan rasa nyaman
- Mendorong keluarga dengan memberikan pengertian informasi
(Waley & Wong, 1989).
4) Risiko tinggi kopong keluarga tidak efektif b.d tidak
terpenuhinya kebutuhan psikososial orang tua
Tujuan: koping keluarga kembali efektif
Intervensi:
- Buat hubungan dengan orang tua yang mendorong mereka
mengungkapkan kesulitan
- Berikan informasi pada orang tua tentang perkembangan anak
- Berikan bimbingan antisipasi terhadap pertumbuhan dan
perkembangan
- Tekankan pentingnya sistem pendukung
- Anjurkan orang tua untuk menyediakan waktu sesuai kebutuhan
- Bantu orang tua untuk merujuk pada ahli penyakit
- Informasikan kepada orang tua tentang pelayanan yang tersedia di
masyarakat.

J. Bibliografi
- Betz Cecily, Linda A Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. EGC:
Jakarta.
- Capernito, Lynda J. 2000. Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktik
Klinis. EGC: Jakarta.
- Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. EGC: Jakarta.
- Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29.EGC: Jakarta.
- http://library.usu.ac.id/download/fk/keperawatan-dudut2.pdf
http://viethanurse.wordpress.com/2009/02/25/asuhan-keperawatan-anak-dengan-asma-bronchial/
BAB I
PENDAHULUAN

Beberapa laporan ilmiah baik di dalam negeri atau luar negeri menunjukkan bahwa angka
kejadian alergi dan asma terus meningkat tajam beberapa tahun terakhir. Tampaknya alergi
merupakan kasus yang mendominasi kunjungan penderita di klinik rawat jalan pelayanan
kesehatan anak Salah satu menifestasi penyakit alergi yang tidak ringan adalah asma.
Penyakit asma terbanyak terjadi pada anak dan berpotensi mengganggu pertumbuhan dan
perkembangan anak. Alergi dapat menyerang semua organ dan fungsi tubuh tanpa terkecuali.
Sehingga penderita asma juga akan mengalami gangguan pada organ tubuh lainnya.
Disamping itu banyak dilaporkan permasalahan kesehatan lain yang berkaitan dengan asma
tetapi kasusnya belum banyak terungkap. Kasus tersebut tampaknya sangat penting dan
sangat berpengaruh terhadap kehidupan anak, tetapi masih perlu penelitian lebih jauh. Dalam
tatalaksanan asma anak tidak optimal, baik dalam diagnosis, penanganan dan pencegahannya.

Menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1996, penyakit-penyakit yang dapat
menyebabkan sesak napas seperti bronchitis, emfisema, dan asma merupakan penyebab
kematian ketujuh di Indonesia. Berdasarkan SO2RS tahun 1999, penyakit-penyakit tersebut
menempati urutan pertama penyebab kematian. Asma yang tidak ditangani dengan baik dapat
mengganggu kualitas hidup anak berupa hambatan aktivitas 30 persen, dibanding 5 persen
pada anak non-asma. Asma menyebabkan kehilangan 16 persen hari sekolah pada anak-anak
di Asia, 34 persen di Eropa, dan 40 persen di Amerika Serikat. Banyak kasus asma pada anak
tidak terdiagnosis dini, karena yang menonjol adalah gejala batuknya, bisa dengan atau tanpa
wheezing (mengi).
Penyakit asma mengenai semua umur meski kekerapannya lebih banyak pada anak-anak
dibanding dewasa. Asma lebih banyak diderita anak laki-laki. Pada usia dewasa lebih banyak
pada perempuan. Resiko dan tanda alergi atau asma dapat diketahui sejak anak dilahirkan
bahkan sejak dalam kandunganpun mungkin sudah dapat terdeteksi. Alergi dan asma dapat
dicegah sejak dini dan diharapkan dapat mengoptimalkan tumbuh dan kembang anak secara
optimal. Perbedaan prevalensi asma pada anak di kota biasanya lebih tinggi dibanding di
desa. Terlebih pada golongan sosioekonomi rendah dibanding sosioekonomi tinggi. Pola
hidup di kota besar meningkatkan risiko terjadinya asma baik prevalensi, morbiditas
(perawatan dan kunjungan ke instalasi gawat darurat), maupun mortalitasnya. Lingkungan
dalam rumah golongan sosioekonomi rendah mendukung pencetusan asma.

Asma adalah penyakit yang mempunyai banyak faktor penyebab. Yang paling sering karena
factor atopi atau alergi. Penyakit ini sangat berkaitan dengan penyakit keturunan. Bila salah
satu atau kedua orang tua, kakek atau nenek anak menderita asma bisa diturunkan ke anak.
Faktor-faktor penyebab dan pemicu asma antara lain debu rumah dengan tungaunya, bulu
binatang, asap rokok, asap obat nyamuk, dan lain-lain. Beberapa makanan penyebab alergi
makanan seperti susu sapi, ikan laut, buah-buahan, kacang juga dianggap berpernanan
penyebab asma. Polusi lingkungan berupa peningkatan penetrasi ozon, sulfur dioksida (SO2),
nitrogen oksid (NOX), partikel buangan diesel, partikel asal polusi (PM10) dihasilkan oleh
industri dan kendaraan bermotor. Makanan produk industri dengan pewarna buatan (misalnya
tartazine), pengawet (metabisulfit), dan vetsin (monosodium glutamat-MSG) juga bisa
memicu asma. Kondisi lain yang dapat memicu timbulnya asma adalah aktifitas, penyakit
infeksi, emosi atau stres.
BAB II
ISI
A. DEFINISI
Asma bronkhiale adalah penyakit jalan napas obstruktif intermitten, reversible, dimana
trakeobronkhiale berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu. Asma bronkhiale
adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus terhadap berbagai
rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan napas yang luas dan derajatnya
dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan (The American
Thoracic Society).
B. ANATOMI DAN PATOLOGI ANATOMI

Gambar : Asma terjadi karena penyempitan, peradangan


& konstriksi otot bronkus.

C. ETIOLOGI

Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan
asma bronkhiale.
1. Faktor predisposisi
Berupa faktor genetik, dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi
biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena ada bakat alergi
ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkhiale jika terpapar dengan faktor
pencetus. Selain itu hipersensitifitas saluran pernapasannya juga bisa diturunkan.
2. Faktor presipitasi
a. Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1.) Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan ; debu, bulu binatang, serbuk bunga,
spora jamur, bakteri dan polusi.
2.) Ingestan, yang masuk melalui mulut ; makanan, obat-obatan.
3.) Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit ; perhiasan, logam dan jam tangan.
b. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfer yang
mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang
serangan berhubungan dengan musim, seperti : musim hujan, musim kemarau, musim bunga.
Hal ini berhubungan dnegan arah angin serbuk bunga dan debu.
c. Stress
Stress atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa
memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus
segera diobati, penderita asma yang mengalami stress juga perlu diberi nasehat untuk
menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya
belum bisa diobati.
d. Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini berkaitan
dengan dimana dia bekerja. Misalnya, orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri
tekstil, pabril asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
e. Olahraga / aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani atau
olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma
karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.
D. KLASIFIKASI
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhiale dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe, yaitu :
1. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang spesifik,
seperti debu, sebuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotik dan aspirin), dan spora
jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik
terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti tersebut
diatas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik.
2. Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik
atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi
saluran pernapasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan
dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema.
Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.
3. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik dan
non alergik.

E. PATOFISIOLOGI
Asma ditandai dengan kontraksi spastic dari otot polos bronkhiolus yang menyebabkan sukar
bernapas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhiolus terhadap benda-benda
asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebagai
berikut ; seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi
Ig E abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi
dengan antigen spesifikasinya.
Pada asma, antibodi ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru
yang berhubungan erat dengan brinkhiolus dan bronkhus kecil. Bila seseorang menghirup
alergen maka antibodi Ig E orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang
telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat,
diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrient),
faktor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini
akan menghasilkan edema lokal pada dinding bronkhiolus kecil maupun sekresi mucus yang
kental dalam lumen bronkhiolus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan
tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat.

Pada asma, diameter bronkhiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada inspirasi karena
peningkatan tekanan dalam paru selama ekspirasi paksa menekan bagian luar bronkhiolus.
Karena bronkhiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari
tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi. Pada
penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi sekali-
kali melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dipsnea. Kapasitas residu fungsional dan
volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat kesukaran
mengeluarkan udara ekspirasi dari paru.
Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat dalam Bagan Pathoflow (pohon masalah) Asma
Bronkhial (terlampir).

F. GEJALA ASMA DAN MANIFESTASI KLINIS


Biasanya pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis. Tapi
pada saat serangan penderita tampak bernapas cepat dan dangkal, gelisah, duduk dengan
menyangga ke depan, serta otot-otot bantu pernapasan bekerja dengan keras. Gejala klasik
asma bronkhiale diantaranya adalah sesak napas, bunyi mengi (wheezing), batuk dan rasa
berat di dada, lendir atau dahak berlebihan, sukar keluar dan sering batuk kecil atau
berdehem. Batuk biasanya lama di waktu malam hari atau cuaca sejuk.
Pada serangan asama yang lebih berat, gejala-gejala yang timbul makin banyak, antara lain :
sianosis, gangguan kesadaran, tachicardi. Asma pada anak tidak harus sesak atau mengi.
Batuk malam hari yang lama dan berulang pada anak harus dicurigai adanya asma pada anak.
Ciri lainnya adalah batuk saat aktifitas (berlari, menangis atau tertawa). Kriteria berat
ringannya penyakit asma ditentukan berdasarkan tipe dalam kebutuhan terhadap terapi atau
obat-obatan. Kriteria menurut GINA (Global Initiative for Asma) :
Tabel 1. Klasifikasi derajat asma :
NO. DERAJAT ASMA GEJALA GEJALA MALAM FUNGSI PARU
1. Intermitten (Mingguan) - < 1 kali/minggu
- Tanpa gejala di luar serangan.
- Serangan singkat.
- Fungsi paru asimtomatik dan normal luar serangan. ≤ 2 kali sebulan. VEPI atau APE ≥ 80
%.
2. Persisten Ringan (Mingguan) - > 1 kali/minggu, tapi < 1 kali/hari.
- Serangan dapat mengganggu aktivitas tidur. > 2 kali seminggu. VEPI atau APE ≥ 80 %
normal.
3. Persisten Sedang (Harian) - Gejala harian.
- Menggunakan obat setiap hari.
- Serangan mengganggu aktivitas tidur. > 1 kali seminggu VEPI atau APE > 60 % tetapi ≤ 80
% normal.
4. Persisten Berat (Kontinu) - Gejala terus menerus.
- Aktivitas fisik terbatas.
- Sering serangan. Sering. VEPI atau APE < 80 % normal.

Asma adalah salah satu manifestasi gangguan alergi. Keluhan alergi sering sangat misterius,
sering berulang, berubah-ubah datang dan pergi tidak menentu. kadang minggu ini sakit
tenggorokan, minggu berikutnya sakit kepala, pekan depannya sesak selanjutnya sulit makan
hingga berminggu-minggu. Bagaimana keluhan yang berubah-ubah dan misterius itu terjadi.
Ahli alergi modern berpendapat serangan alergi atas dasar target organ (organ sasaran).
Reaksi alergi yang dapat menggganggu beberapa sistem dan organ tubuh dapat menyertai
penderita asma.

Organ tubuh atau sistem tubuh tertentu mengalami gangguan atau serangan lebih banyak dari
organ yang lain. Mengapa berbeda, hingga saat ini masih belum banyak terungkap. Gejala
tergantung dari organ atau sistem tubuh , bisa terpengaruh bisa melemah. Jika organ
sasarannya paru bisa menimbulkan batuk atau asma, pada kulit terjadi eksim, pada hidung
terjadi pilek. Tak terkecuali otakpun dapat terganggu oleh reaksi alergi. Apalagi organ
terpeka pada manusia adalah otak, sehingga dapat mengganggu perilaku.

Tabel 2. Manifestasi alergi lain yang dapat menyertai pada penderita asma :
1. Sering pilek, sinusitis, bersin, mimisan. tonsilitis (amandel), sesak, suara serak.
2. Pembesaran kelenjar di leher dan kepala belakang bawah.
3. Sering lebam kebiruan pada kaki atau tangan seperti bekas terbentur.
4. Kulit timbul bisul, kemerahan, bercak putih dan bekas hitam seperti tergigit nyamuk.
Sering menggosok mata, hidung atau telinga, kotoran telinga berlebihan.
5. Nyeri otot & tulang berulang malam hari.
6. Sering kencing, atau bed wetting (ngompol).
7. Gangguan saluran cerna : Gastroesofageal refluk, sering muntah, nyeri perut, sariawan,
lidah sering putih atau kotor, nyeri gusi atau gigi, mulut berbau, air liur berlebihan, dan bibir
kering.
8. Sering buang air besar (> 2 kali/hari), sulit buang air besar (obstipasi), kotoran bulat kecil
hitam seperti kotoran kambing, keras, sering buang angin.
9. Kepala,telapak kaki/tangan sering teraba hangat atau dingin. Sering berkeringat
(berlebihan).
10. Mata gatal, timbul bintil di kelopak mata, mata sering berkedip.
11. Gangguan hormonal : tumbuh rambut berlebihan di kaki dan tangan, keputihan.
12. Sering sakit kepala, migrain.

Alergi ternyata berkaitan dengan gangguan sistem susunan saraf pusat dapat menimbulkan
beberapa manifestasi klinik, diantara dapat mengganggu neuroanatomi dan neuroanatomi
fungsional. Sistem susunan saraf pusat adalah bagian yang paling lemah dan sensitif
dibandingkan organ tubuh lainnya. Otak adalah merupakan pusat segala koordinasi sistem
tubuh dan fungsi luhur. Sedangkan alergi dengan berbagai akibat yang bisa mengganggu
organ sistem susunan saraf pusat dan disfungsi sistem imun itu sendiri tampaknya
menimbulkan banyak manifestasi klinik yang dapat mengganggu perkembangan dan perilaku
seorang anak.

Dampak Penyakit Alergi pada Fungsi Otak, diamati oleh G. Kay, Associate Professor
Neurology dan Psychology Georgetown University School of Medicine Washington.
Dampak penyakit alergi pada fungsi otak bermanifestasi sebagai menurunnya kualitas hidup,
menurunnya suasana kerja yang baik, dan menurunnya efisiensi fungsi kognitif. Pasien
dengan rinitis alergik dilaporkan mengalami penurunan kualitas hidup yang sama dengan
yang dialami pasien-pasien dengan asma atau penyakit kronik serius lainnya. Penyakit alergi
tidak saja mengganggu fungsi sosial dan pekerjaan tetapi juga mengganggu aktivitas di waktu
luang.

Beberapa studi empiris menunjukkan efek alergi terhadap fungsi kognitif dan mood. Marshall
dan Colon tahun 1989 membuktikan bahwa pada kelompok pasien dengan rinitis alergi
musiman mempunyai fungsi belajar verbal dan mood yang lebih buruk dibandingkan dengan
kelompok pasien tanpa serangan alergi. Pada dua penelitian yang dilakukan oleh Vuurman,
dkk dibuktikan bahwa kemampuan mengerjakan tugas sekolah pada murid-murid penderita
alergi lebih buruk dibandingkan kemampuan murid-murid lain dengan usia.

Beberapa peneliti lain menunjukkan adanya hubungan antara penyakit alergi dengan
gangguan kepribadian seperti sifat pemalu dan sifat agresif. Pada tes kepribadian dapat
terlihat bahwa pasien-pasien alergi lebih bersifat mengutamakan tindakan fisik, lebih sulit
menyesuaikan diri dalam lingkungan sosial, dan mempunyai mekanisme defensif yang
kurang baik. Jumlah serangan alergi yang dilaporkan oleh pasien ternyata berhubungan
dengan meningkatnya kecemasan, depresi, kesulitan berkonsentrasi, dan kesulitan
menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial. Reichenberg K mengadakan pengamatan pada
anak penderita asma usia 7-9 tahun, didapatkan gangguan emosi dan gangguan perilaku
lainnya. Jill S Halterman, dari the University of Rochester School of Medicine di Rochester,
New York, melaporkan penderita asma di usia sekolah lebih sering didapatkan perilaku sosial
yang negatif seperti mengganggu, berkelahi atau melukai teman lainnya. Juga didapatkan
perilaku pemalu dan mudah cemas.
Alergi dengan berbagai mekanisme yang berkaitan dengan gangguan neuroanatomi tubuh
dapat menimbulkan beberapa manifestasi klinis seperti sakit kepala, migrain, vertigo,
kehilangan sesaat memori (lupa). Beberapa penelitian menunjukkan hal tersebut, misalnya
Krotzky tahun 1992 mengatakan migraine, vertigo dan sakit kepala dapat disebabkan karena
makanan alergi atau kimiawi lainnya. Strel'bitskaia tahun 1974 mengemukakan bahwa pada
penderita asma didapat gangguan aktifitas listrik di otak, meskipun saat itu belum bisa
dilaporkan kaitannya dengan manifestasi klinik.

Storfer dkk tahun 2000, melaporkan terdapat kecenderungan terjadi myopia (rabun jauh) 2
kali lebih besar, dalam pengamatan pada 2.720 anak penderita alergi dan asma. Sehingga
anak alergi atau asma 2 kali lebih besar untuk memakai kaca mata sejak usia muda. Reaksi
alergi dengan berbagai manifestasi klinik ke sistem susunan saraf pusat dapat mengganggu
neuroanatomi fungsional, selanjutnya akan mengganggu perkembangan dan perilaku pada
anak. Beberapa gangguan perilaku yang pernah dilaporkan pada penderita alergi juga pernah
dilaporkan pada penderita asma.

Tabel 2. Gangguan perilaku yang sering dikaitkan dengan penderita alergi dan asma
1. GANGGUAN TIDUR (biasanya MALAM-PAGI) gelisah/bolak-balik ujung ke ujung, bila
tidur berbicara, tertawa, berteriak dalam tidur, sulit tidur, malam sering terbangun, duduk,
gelisah saat memulai tidur, brushing (gigi gemeretak, beradu gigi), tidur ngorok dan mimpi
buruk.
2. GANGGUAN KONSENTRASI : CEPAT BOSAN terhadap sesuatu aktifitas (kecuali
menonton televisi, baca komik atau main game), TIDAK BISA BELAJAR LAMA, terburu-
buru, tidak mau antri, TIDAK TELITI, sering kehilangan barang atau sering lupa, nilai
pelajaran naik turun drastis. Nilai pelajaran tertentu baik, tapi pelajaran lain buruk. Sulit
menyelesaikan pelajaran sekolah dengan baik. Sering mengobrol dan mengganggu teman saat
pelajaran. BIASANYA ANAK TAMPAK CERDAS DAN PINTAR.
3. EMOSI TINGGI (mudah marah, sering berteriak /mengamuk/tantrum), keras kepala, suka
membantah dan sulit diatur. Cengeng atau mudah menangis.
4. GANGGUAN PERKEMBANGAN MOTORIK KAKI DAN MULUT :Tidak bisa
BOLAK-BALIK, DUDUK, MERANGKAK sesuai usia. Berjalan sering terjatuh dan terburu-
buru, sering menabrak, jalan jinjit, duduk leter W/kaki ke belakang. Terlambat mengayuh
sepeda, keterlambatan dan gangguan proses mengunyah makanan.
5. IMPULSIF : banyak bicara / tertawa berlebihan, sering memotong pembicaraan orang lain.

G. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
1. Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya :
a. Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinofil.
b. Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang bronkus.
c. Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
d. Netrofil dan eosinofil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid dengan
viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug.
2. Pemeriksaan Darah
a. Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia,
hiperkapnia atau asidosis.
b. Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
c. Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm³ dimana menandakan
terdapatnya suatu infeksi.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukkan
gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga
intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi maka
kelainan yang didapat adalah sebagai berikut :
1.) Bila disertai dengan bronkhitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.
2.) Bila terdapat komplikasi empisema, maka gambaran radiolusen akan semakin bertambah.
3.) Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrat pada paru.
4.) Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
5.) Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks dan pneumoperikardium, maka dapat
dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.
b. Pemeriksaan Tes Kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat menimbulkan
reaksi yang positif pada asma.
c. Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian dan
disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu :
1.) Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clock wise
rotation.
2.) Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBBB (Right Bundle
Branch Block).
3.) Tanda-tanda hipoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES dan VES atau
terjadinya depresi segmen ST negatif.

d. Scanning Paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama
serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
e. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan napas reversible, cara yang paling cepat dan
sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator.
Pemeriksaan spirometri dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator aerosol
(inhaler atau nebulizer) golongan adreenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih
dari 20 % menunjukkan diagnosis asma. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk
menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan.
Banyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi.

H. PENATALAKSANAAN DAN PENCEGAHAN ASMA


Prinsip umum pengobatan asma bronkhiale adalah :
1. Menghilangkan obstruksi jalan napas dengan segera.
2. mengenal dan menghindari faktor-faktor yang dapat mencetuskan serangan asma.
3. Memberikan penjelasan kepada penderita ataupun keluarganya mengenai penyakit asma,
baik pengobatannya maupun tentang perjalanan penyakitnya sehingga penderita mengerti
tujuan pengobatan yang diberikan dan bekerjasama dengan dokter atau perawat yang
merawatnya.

Pengobatan pada asma bronkhiale terbagi menjadi 2 macam, yaitu :


1. Pengobatan non farmakologik
a. Memberikan penyuluhan.
b. Menghindari faktor pencetus.
c. Pemberian cairan.
d. Fisioterapi.
e. Pemberian oksigen (bila perlu)
2. Pengobatan farmakologik
a. Bronkhodilator
Obat yang melebarkan saluran napas. Terbagi menjadi 2 golongan :
1.) Simpatomimetik / adrenergik (adrenalin dan efedrin)
Nama obat : orsiprenalin (alupent), fenoterol (berotec), terbutalin (bricasma). Obat-obat
golongan ini tersedia dalam bentuk tablet, sirup, suntikan dan semprotan. Yang berupa
semprotan : MDI (Metered Dose Inhaler). Ada juga yang berbentuk bubuk halus yang dihirup
(ventolin diskhaler dan Bricasma Turbuhaler) atau cairan bronkodilator (Alupent, berotec,
bricasma) yang oleh alat khusus diubah menjadi aerosol (partikel-partikel yang sangat halus)
untuk selanjutnya dihirup.
2.) Santin
Nama obat : Aminofilin (Amicam supp.), Aminofilin (Euphilin Retard), Teofilin (Amilex).
Efek teofilin sama dengan obat golongan simpatomimetik, tetapi cara kerjanya berbeda.
Sehingga bila kedua obat ini dikombinasikan efeknya saling memperkuat.
Cara pemakaian : bentuk suntikan teofilin / aminofilin dipakai pada serangan asma akut dan
disuntikan perlahan-lahan langsung ke pembuluh darah. Karena sering merangsang lambung
bentuk tablet atau sirupnya sebaiknya diminum sesudah makan. Itulah sebabnya penderita
yang mempunyai sakit lambung sebaiknya berhati-hati bila minum obat ini. Teofilin ada juga
dalam bentuk supositoria yang cara pemakaiannya dimasukkan ke dalam anus. Supositoria ini
digunakan jika penderita karena sesuatu hal tidak dapat minum teofilin (misalnya muntah
atau lambungnya kering).
b. Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan obat yang secara langsung mempunyai efek terhadap komponen
inflamasi dan menghambat pelepasan mediator dari sel mast. Obat ini juga meningkatkan
kerja obat beta-2 agonis dengan mesensitisasi beta-2 reseptor. Kortikosteroid sangat efektif
untuk mengontrol asma kronik dan obat ini harus diberikan pada asma akut berat karena akan
memberikan efek terapi yang jelas serta menurunkan angka kematian.
c. Kromalin
Kromalin bukan bronkodilator tetapi merupakan obat pencegah serangan asma. Manfaatnya
adalah untuk penderita asma alergi terutama pada anak-anak. Kromalin biasanya diberikan
bersama-sama obat anti asma yang lain dan efeknya baru terlihat setelah pemakaian satu
bulan.
d. Ketotifen
Mempunyai efek pencegahan terhadap asma seperti kromalin. Biasanya diberikan dengan
dosis 2 x 1 mg /hari. Keuntungan obat ini adalah dapat diberikan secara oral.
e. Selain obat-obat di atas, obat lain seperti antibiotika, mukolitik dan ekspektoran diberikan
atas indikasi. Sedangkan pemberian obat penenang tidak dianjurkan karena dapat menekan
pusat pernapasan. Antihistamin akan mengentalkan sekret, sebaiknya tidak diberikan kecuali
bila jelas ada tanda-tanda alergi.

Penanganan alergi dan asma pada anak haruslah dilakukan secara benar, paripurna dan
berkesinambungan. Pemberian obat terus menerus bukanlah jalan terbaik dalam penanganan
alergi, tetapi yang paling ideal adalah menghindari penyebab yang bisa menimbulkan keluhan
alergi dan asma tersebut. Saat ini terapi yang terbaik yang direkomendasikan adalah
kombinasi pengobatan dengan long acting β-2 agonis dan kortikosteroid dalam satu bentuk
inhalasi. Long acting β-2 agonis ini berguna untuk menstimulasi adenil siklase intraseluler,
enzim yang berguna untuk mengubah ATP menjadi siklik AMP, peningkatan AMP ini dapat
menyebabkan otot polos bronkus berelaksasi dan menghambat pelepasan mediator
hipersensitivitas yang bersifat segera, terutama sel mast. Sedangkan kortikosteroid berguna
untuk anti inflamasi dengan manghambat aktivasi dari eosinofil dan menghambat pelepasan
mediator inflamasi selanjutnya.
Pemakaian terapi hirupan pada penderita asma khususnya pada anak di Indonesia saat ini
masih belum banyak digunakan. Di negara maju terapi ini justru lebih banyak digunakan
karena lebih efektif, lebih aman dan relatif murah dibandingkan dengan obat minum. Tetapi
di Indonesia orang tua sering menolak kalau sudah diberi anjuran terapi hirupan. Dengan
pengobatan hirupan tersebut dianggap asma anaknya sudah sangat mengkawatirkan.
Tampaknya sosialisasi lebih jauh tentang penggunaan terapi hirupan pada asma ini harus
segera dilakukan.

Bila terdapat riwayat keluarga baik saudara kandung, orangtua, kakek, nenek atau saudara
dekat lainnya yang alergi atau asma. Atau bila anak sudah terdapat ciri-ciri alergi sejak lahir
atau bahkan bila mungkin deteksi sejak kehamilan maka harus dilakukan pencegahan sejak
dini. Faktor resiko yang bisa dikenali sejak lahir adalah gangguan sesak saat lahir (Transient
Tachypnea of the Newborn), bayi lahir sangat rendah (prematur) atau bronkopulmunar
displasia, Resiko alergi atau asma pada anak dikemudian hari dapat dihindarkan bila kita
dapat mendeteksi dan mencegah sejak dini.

Pencegahan alergi terbagi menjadi 2 tahap, yaitu pencegahan primer, sekunder dan tersier.
1. Pencegahan Primer, bertujuan menghambat sensitisasi imunologi oleh makanan terutama
mencegah terbentuknya Imunoglobulin E (IgE). Pencegahan ini dilakukan sebelum terjadi
sensitisasi atau terpapar dengan penyebab alergi. Hal ini dapat dilakukan sejak saat
kehamilan.
2. Pencegahan sekunder, bertujuan untuk mensupresi (menekan) timbulnya penyakit setelah
sensitisasi. Pencegahan ini dilakukan setelah terjadi sensitisasi tetapi manifestasi penyakit
alergi belum muncul. Keadaan sensitisasi diketahui dengan cara pemeriksaan IgE spesifik
dalam serum darah, darah tali pusat atau uji kulit. Saat tindakan yang optimal adalah usia 0
hingga 2 tahun.
3. Pencegahan tersier, bertujuan untuk mencegah dampak lanjutan setelah timbulnya alergi.
Dilakukan pada anak yang sudah mengalami sensitisasi dan menunjukkan manifestasi
penyakit yang masih dini tetapi belum menunjukkan gejala penyakit alergi yang lebih berat.
Saat tindakan yang optimal adalah usia bulan hingga 4 tahun. Kontak dengan antigen harus
dihindari selama periode rentan pada bulan-bulan awal kehidupan, saat limfosit T belum
matang dan mukosa usus kecil dapat ditembus oleh protein makanan.

Ada beberapa upaya pencegahan yang perlu diperhatikan supaya anak terhindar dari keluhan
alergi yang lebih berat dan berkepanjangan :
1. Hindari atau minimalkan penyebab alergi sejak dalam kandungan, dalam hal ini oleh ibu.
Bila ibu hamil didapatkan gerakan atau tendangan janin yang keras dan berlebihan pada
kandungan disertai gerakan denyutan keras (hiccups/cegukan) terutama malam atau pagi hari,
maka sebaiknya ibu harus mulai menghindari penyebab alergi sedini mungkin. Dalam
keadaan seperti ini Committes on Nutrition AAP menganjurkan eliminasi diet jenis kacang-
kacangan.
2. Pemberian makanan padat dini dapat meningkatkan resiko timbulnya alergi. Bayi yang
mendapat makanan pada usia 6 bulan mempunyai angka kejadian dermatitis alergi yang lebih
rendah dibandingkan dengan bayi yang mulai mendapat makanan tambahan pada usia ²
bulan.
3. Hindari paparan debu di lingkungan seperti pemakaian karpet, korden tebal, kasur kapuk,
tumpukan baju atau buku. Hindari pencetus binatang (bulu binatang piaraan kucing dsb,
kecoak, tungau pada kasur kapuk).
4. Tunda pemberian makanan penyebab alergi, seperti ayam di atas 1 tahun, telor, kacang
tanah di atas usia 2 tahun dan ikan laut di atas usia ² tahun.
5. Bila membeli makanan dibiasakan untuk mengetahui komposisi makanan atau membaca
label komposisi di produk makanan tersebut.
6. Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dapat mencegah resiko alergi pada bayi . Bila
bayi minum ASI, ibu juga hindari makanan penyebab alergi. Makanan yang dikonsumsi oleh
ibu dapat masuk ke bayi melalui ASI. Terutama kacang-kacangan, dan dipertimbangkan
menunda telur, susu sapi dan ikan. Meskipun masih terdapat beberapa penelitian yang
bertolak belakang tentang hal ini.
7. Committes on Nutrition AAP menganjurkan pemberian suplemen kalsium dan vitamin
selama menyusui.
8. Bila ASI tidak memungkinkan atau kalau perlu kurang gunakan susu hipoalergenik
formula untuk pencegahan terutama usia di bawah 6 bulan.Bila dicurigai alergi terhadap susu
sapi bisa menggunakan susu protein hidrolisat. Penggunaan susu soya harus tetap diwaspadai
karena 30 – 50% bayi masih mengalami alergi terhadap soya.
9. Bila timbul gejala alergi, identifikasi pencetusnya dan hindari.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA ASMA BRONKHIAL

A. Pengkajian
Hal-hal yang perlu dikaji pada pasien asma adalah sebagai berikut:
1. Riwayat kesehatan yang lalu:
Kaji riwayat pribadi atau keluarga tentang penyakit paru sebelumnya.
Kaji riwayat reaksi alergi atau sensitifitas terhadap zat/ faktor lingkungan.
Kaji riwayat pekerjaan pasien.
2. Aktivitas
Ketidakmampuan melakukan aktivitas karena sulit bernapas.
Adanya penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan melakukan
aktivitas sehari-hari.
Tidur dalam posisi duduk tinggi
3. Pernapasan
Dipsnea pada saat istirahat atau respon terhadap aktivitas atau latihan.
Napas memburuk ketika pasien berbaring terlentang ditempat tidur.
Menggunakan obat bantu pernapasan, misalnya: meninggikan bahu, melebarkan hidung.
Adanya bunyi napas mengi.
Adanya batuk berulang.
4. Sirkulasi
Adanya peningkatan tekanan darah.
Adanya peningkatan frekuensi jantung.
Warna kulit atau membran mukosa normal/ abu-abu/ sianosis.
Kemerahan atau berkeringat.

5. Integritas ego
Ansietas
Ketakutan
Peka rangsangan
Gelisah
6. Asupan nutrisi
Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernapasan.
Penurunan berat badan karena anoreksia.
7. Hubungan sosal
Keterbatasan mobilitas fisik.
Susah bicara atau bicara terbata-bata.
Adanya ketergantungan pada orang lain.
8. Seksualitas
Penurunan libido

B. Prioritas Diagnosa Keperawatan


1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d bronkospasme.
2. Kerusakan pertukaran gas b/d gangguan suplai oksigen (spasme bronkus).
3. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d nafsu makan menurun.
4. Resiko tinggi terhadap infeksi b/d tidak adekuatnya imunitas.
5. Kurang pengetahuan b/d kurang informasi ;salah mengerti tentang informasi.
C. Intervensi Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d bronkospasme.
Hasil yang diharapkan: mempertahankan jalan nafas dengan bunyi bersih dan jelas.
Intervensi Rasional :
Mandiri
1) Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, ex: mengi.
Rasional ; Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan nafas.
2) Kaji / pantau frekuensi pernafasan, catat rasio inspirasi ekspirasi.
Rasional : Tachipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada
penerimaan atau selama stress/ adanya proses infeksi akut
3) Catat adanya derajat dispnea,ansietas, distress pernafasan, penggunaan obat bantu.
Rasional : Disfungsi pernafasan adalah variable yang tergantung pada tahap proses akut yang
menimbulkan perawatan dirumah sakit.
4) Tempatkan posisi yang nyaman pada pasien, contoh : meninggikan kepala tempat tidur,
duduk pada sandara tempat tidur.
Rasional : Peninggian kepala tempat tidur memudahkan fungsi pernafasan dengan
menggunakan gravitasi
5) Pertahankan polusi lingkungan minimum, contoh: debu, asap dll.
Rasional : Pencetus tipe alergi pernafasan dapat mentriger episode akut.
6) Tingkatkan masukan cairansampai dengan 3000 ml/ hari sesuai toleransi jantung,
memberikan air hangat.
Rasional : Hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret, penggunaan cairan hangat dapat
menurunkan kekentalan sekret, dan dapat menurunkan spasme bronkus
Kolaborasi
1) Berikan obat sesuai dengan indikasi bronkodilator.
Rasional : Merelaksasikan otot halus dan menurunkan spasme jalan nafas, mengi, dan
produksi mukosa.

2. Kerusakan pertukaran gas b/d gangguan suplai oksigen (spasme bronkus).


Hasil yang diharapkan : ; perbaikan ventilasi dan oksigen jaringan edekuat
Intervensi Rasional :
Mandiri
1) Kaji/awasi secara rutin kulit dan membran mukosa.
Rasional : Sianosis mungkin perifer atau sentral keabu-abuan dan sianosis sentral
mengindikasikan beratnya hipoksemia.
2) Palpasi fremitus.
Rasional : Penurunan getaran vibrasi diduga adanya pengumplan cairan/udara.
Awasi tanda vital dan irama3) jantung.
Rasional : Tachicardi, disritmia, dan perubahan tekanan darah dapat menunjukan efek
hipoksemia sistemik pada fungsi jantung.
Kolaborasi
1) Berikan oksigen tambahan sesuai dengan indikasi hasil AGDA dan toleransi pasien.
Rasional : Dapat memperbaiki atau mencegah memburuknya hipoksia.
3. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d nafsu makan menurun
Hasil yang diharapkan : menunjukkan peningkatan berat badan menuju tujuan yangtepat
Intervensi rasional :
Mandiri:
1) Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kerusakan makanan.
Rasional : Pasien distress pernafasan akut sering anoreksia karena dipsnea.
2) Sering lakukan perawatan oral, buang sekret, berikan wadah khusus untuk sekali pakai.
Rasional : Rasa tak enak, bau menurunkan nafsu makan dan dapa menyebabkan mual/muntah
dengan peningkatan kesulitan nafas.
Kolaborasi
Berikan oksigen tambahan selama makan sesuai indikasi.1)
Rasional : Menurunkan dipsnea dan meningkatkan energi untuk makan, meningkatkan
masukan

4. Resiko tinggi terhadap infeksi b/d tidak adekuatnya imunitas


Hasil yang diharapkan :
mengidentifikasikan intervensi untuk mencegah atau menurunkan resiko infeksi.
Perubahan ola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang nyaman.
Intervensi Rasionalisasi :
Mandiri
1) Awasi suhu.
Rasional : Demam dapat terjadi karena infeksi dan atau dehidrasi
2) Kaji pentingnya latihan napas, batuk efektif, perubahan posisi sering, dan masukan cairan
adekuat
Rasional : Meningkatkan mobilisasi dan pengeluaran secret untuk menurunkan resiko
terjadinya infeksi paru
3) Tunjukkan dan Bantu pasien tentang pembuangan tisu dan sputum.
Raional : Mencegah penyebaran patogen melalui cairan
4) Awasi pengunjung; berikan masker sesuai dengan indikasi
Rasional : Menurunkan potensial terpajan pada penyakit infeksius
5) Dorong keseimbangan antara aktivitas dan istirahat
Rasional : Menurunkan kebutuhan keseimbangan oksigen dan memperbaiki pertahanan
pasien terhadap infeksi, meningkatkan penyembuhan

6) Diskusikan kebutuhan nutrisi adekuat


Rasional : Malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tahanan
terhadap infeksi
Kolaborasi
1) Dapatkan specimen sputum dengan batuk atau pengisapan untuk pewarnaan gram,
kultur/sensitifitas.
Rasional untuk mengidentifikasi organisme penyabab dan kerentanan terhadap berbagai anti
microbial:

5. Kurang pengetahuan b/d kurang informasi ;salah mengerti tentang informasi


Hasil yang diharapkan :
Menyatakan pemahaman tentang kondisi/proses penyakit dan tindakan
Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalamprogram pengobatan
Intervensi Rasionalisasi :
Mandiri :
1) Jelaskan tentang proses penyakit individu
Rasional : Menurunkan ansietas dan dapat menimbulkan perbaikan partisipasi pada rencana
pengobatan.
2) Diskusikan obat pernafasan, efek samping dan reaksi yang tidak diinginkan.
Rasional : Penting bagi pasien memahami perbedaan antara efek samping mengganggu dan
merugikan
3) Tunjukkan tehnik penggunaan inhaler.
Rasional : Pemberian obat yang tepat meningkatkan keefektifanya.
4) Diskusikan faktor individu yang dapat meningkatkan kondisi, mis; udara terlalu kering,
angin, lingkungan dengan suhu extrem, serbuk, asap tembakau, sprei aerosol, polusi udara,
Rasional : Faktor lingkunan ini dapat menimbulkan/meningkatkan iritasi bronkhial sehingga
peningkatan produksi secret dan hambatan jalan napas

D. Evaluasi
Setelah dilakukan asuhan keperawatan, klien dapat menunjukkan perbaikan kondisi yang
ditunjukkan dengan :
Pasien mempertahankan jalan napas paten dengan bunyi napas bersih/jelas
Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan napas, misalnya; batuk efektif, dan
mengeluarkan sekret
 Menunjukan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam
rentang normal dan beban gejala distres pernafasan
Menunjukkan peningkatan berat badan menuju tujuan yang tepat
Menyatakan pemahaman penyebab / faktor resiko individu
Tidak terjadi proses infeksi
Menyatakan pemahaman kondisi/proses penyakit dan tindakan

BAB IV
KESIMPULAN

Sering kambuh dan berulangnya keluhan asma, sehingga sering orang tua frustasi akhirnya
”shopping” atau berpindah-pindah ke beberapa dokter. Hal ini dilakukan karena sering kali
keluhan alergi pada anak tersebut sering kambuh meskipun diberi obat yang paling mahal dan
paling baik. Bila penatalaksanaan tidak dilakukan secara baik dan benar maka keluhan alergi
atau asma akan berulang dan ada kecenderungan membandel. Berulangnya kekekambuhan
tersebut akan menyebabkan meningkatnya pengeluaran biaya kesehatan. Tetapi yang harus
lebih diperhatikan adalah meningkatkannya resiko untuk terjadinya efek samping akibat
pemberian obat. Tak jarang penderita asma mendapatkan antibiotika dan steroid dalam
jangka waktu yang lama. Setelah berganti-ganti dokter biasanya orang tua pasien baru
menyadari sepenuhnya kalau anaknya alergi setelah mengalami sendiri kalau keluhannya
membaik setelah dilakukan penghindaran makanan tanpa harus minum obat.

Pada anak yang mengalami gejala alergi yang terus menerus tidak terkendali maka sangat
mengganggu prestasi sekolah. Prestasi di sekolah terganggu karena seringnya absen di
pelajaran sekolah dan yang lebih utama juga disebabkan adanya gangguan belajar, gangguan
konsentrasi atau pemusatan perhatian dan gangguan perilaku lainnya. Penderita alergi dan
asma dapat mengakibatkan gangguan gizi ganda pada anak. Gizi ganda artinya dapat
menimbulkan kegemukan (berat badan lebih) atau bahkan sebaliknya terjadi malnutrisi atau
berat badan kurang. Penderita asma beresiko mengalami terjadi reaksi anafilaksis akibat
alergi makanan fatal yang dapat mengancam jiwa. Makanan yang terutama sering
mengakibatkan reaksi yang fatal tersebut adalah kacang, ikan laut dan telor.

Sering dijumpai bahwa penderita asma pada anak mendapatkan overdiagnosis (diagnosis
berlebihan) atau overtreatment (pengobatan berlebihan). Paling sering ditemui adalah
penderita asma yang didiagnosis dan diobati sebagai tuberkulosis dan pnemoni (infeksi paru-
paru) hanya berdasarkan foto rontgen dada.

Penderita alergi atau asma sering mengalami gangguan sistem imun yang berfungsi
menghancurkan jamur, virus dan bakteri. Pada penderita alergi tampak anak mudah
mengalami sakit infeksi saluran napas baik berupa faringitis akut (infeksi tenggorok),
tonsilitis (amandel) dan infeksi saluran napas akut lainnya. Sehingga sering didapatkan
seorang anak setiap bulan harus berobat ke dokter karena sering sakit panas, batuk, pilek atau
infeksi saluran napas dan mudah terkena penyakit infeksi lainnya secara berulang. Biasanya
keluhan tersebut terjadi hampir setiap bulan bahkan kadang satu bulan terinfeksi sampai 2
hingga 3 kali. Keluhan tersebut biasanya terjadi paling sering di bawah usia 2 tahun, di atas 2
tahun sudah semakin berkurang akhirnya usia di atas 5- 7 tahun semakin jarang.

DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth, (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.
Childrenallergycenter.joeuser.com/article/12 Maret 2008/19:20 WIB.

Guyton & Hall, (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC.

Hudak & Gallo, (1997). Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik, Volume 1. Jakarta : EGC.

Info-penyakit.blogspot.com/2007/08/peny.asma/12 Maret 2008/19:07 WIB.

Mansjoer, A., (2001). Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jilid 1. Jakarta : EGC.

Moodpro.tripod.com/inyakit/asma_P91/12 Maret 2008/19:05 WIB

Price & Wilson, L.M., (1995). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta :
EGC.

Staff Pengajar FKUI, (1997). Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Info Medika.

www.infoibu.com/12/03/2008/19:15

www.medicastore.com/2007/12/04/copd/12 Maret 2008/19:30


Posted by Ailiyun
http://nursing-ailiyun.blogspot.com/2009/02/bab-i-pendahuluan-beberapa-laporan.html
ASKEP ASTHMA BRONKHIALE

ASTHMA BRONKHIALE

A. Pengertian

Asthma adalah suatu gangguan yang komplek dari bronkial yang dikarakteristikan oleh
periode bronkospasme (kontraksi spasme yang lama pada jalan nafas). (Polaski : 1996).
Asthma adalah gangguan pada jalan nafas bronkial yang dikateristikan dengan bronkospasme
yang reversibel. (Joyce M. Black : 1996).
Asthma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea dan
bronkhi berespon secara hiperaktif terhadap stimulasi tertentu. (Smelzer Suzanne : 2001).
Asthma bronchial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon.
trakea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan
jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil
dari pengobatan (The American Thoracic Society).

B. Etiologi

Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi


timbulnya serangan asthma bronkhial.
1. Faktor predisposisi
o Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara
penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga
dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah
terkena penyakit asthma bronkhial jika terpapar dengan foktor pencetus. Selain itu
hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.
2. Faktor presipitasi
o Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1. Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan.
Seperti : debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi.
2. Ingestan, yang masuk melalui mulut.
Seperti : makanan dan obat-obatan.
3. Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit.
seperti : perhiasan, logam dan jam tangan.
o Perubahan cuaca.
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfir yang
mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang
serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga.
Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
o Stress.
Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa
memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus
segera diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguanemosi perlu diberi nasehat
untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala
asmanya belum bisa diobati.
o Lingkungan kerja.
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini berkaitan
dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri
tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
o Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat.
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani atau
aloh raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma
karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.

C. Klasifikasi Asthma

Berdasarkan penyebabnya, asthma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu :


1. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang spesifik,
seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora
jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik
terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang
disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asthma ekstrinsik.
2. Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik
atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi
saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan
dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema.
Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.
3. Asthma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik dan
non-alergik.

D. Patofisiologi

Asthma ditandai dengan kontraksi spastic dari otot polos bronkhiolus yang menyebabkan
sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhioulus terhadap benda-
benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asthma tipe alergi diduga terjadi dengan cara
sebagai berikut : seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah
antibody Ig E abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila
reaksi dengan
antigen spesifikasinya. Pada asma, antibody ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat
pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan brokhiolus dan bronkhus kecil. Bila
seseorang menghirup alergen maka antibody Ig E orang tersebut meningkat, alergen bereaksi
dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan
mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi
lambat (yang merupakan leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin. Efek
gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan adema lokal pada dinding
bronkhioulus kecil maupun sekresi mucus yang kental dalam lumen bronkhioulus dan spasme
otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat
meningkat.
Pada asthma, diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada selama inspirasi
karena peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi paksa menekan bagian luar
bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah
akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi.
Pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi
sekali-kali melakukan ekspirasi.
Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru menjadi
sangat meningkat selama serangan asma akibat kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari
paru. Hal ini bisa menyebabkan barrel chest.

E. Manifestasi Klinik

Manifestasi Klinik pada pasien asthma adalah batuk, dyspne, dari wheezing. Dan pada
sebagian penderita disertai dengan rasa nyeri dada pada penderita yang sedang bebas
serangan tidak ditemukan gejala klinis, sedangkan waktu serangan tampak penderita bernafas
cepat, dalam, gelisah, duduk dengan tangan menyanggah ke depan serta tampak otot-otot
bantu pernafasan bekerja dengan keras. Ada beberapa tingkatan penderita asma yaitu :
1. Tingkat I :
o Secara klinis normal tanpa kelainan pemeriksaan fisik dan fungsi paru.
o Timbul bila ada faktor pencetus baik di dapat alamiah maupun dengan test provokasi
bronkial di laboratorium.
2. Tingkat II :
o Tanpa keluhan dan kelainan pemeriksaan fisik tapi fungsi paru menunjukkan adanya tanda-
tanda obstruksi jalan nafas.
o Banyak dijumpai pada klien setelah sembuh serangan.
3. Tingkat III :
o Tanpa keluhan.
o Pemeriksaan fisik dan fungsi paru menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.
o Penderita sudah sembuh dan bila obat tidak diteruskan mudah diserang kembali.
4. Tingkat IV :
o Klien mengeluh batuk, sesak nafas dan nafas berbunyi wheezing.
o Pemeriksaan fisik dan fungsi paru didapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas.
5. Tingkat V :
o Status asmatikus yaitu suatu keadaan darurat medis berupa serangan asma akut yang berat
bersifat refrator sementara terhadap pengobatan yang lazim dipakai.
o Asma pada dasarnya merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel. Pada asma
yang berat dapat timbul gejala seperti : Kontraksi otot-otot pernafasan, cyanosis, gangguan
kesadaran, penderita tampak letih, takikardi.

F. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium.
o Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:
 Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinopil.
 Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang
bronkus.
 Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
 Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid dengan
viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug.
o Pemeriksaan darah.
 Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia,
hiperkapnia, atau asidosis.
 Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
 Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana menandakan
terdapatnya suatu infeksi.
 Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada waktu serangan
dan menurun pada waktu bebas dari serangan.
2. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan
menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan
peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat
komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:
o Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.
o Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan semakin
bertambah.
o Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru.
o Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
o Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium, maka dapat
dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.
3. Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat
menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
4. Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian,
dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu :
o Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clock wise
rotation.
o Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB (Right bundle
branch block).
o Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan VES atau
terjadinya depresi segmen ST negative.
5. Scanning Paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama
serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
6. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang paling cepat dan
sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator.
Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah
pamberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan
FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asthma. Tidak adanya
respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk
menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan.
Benyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi.

G. Penatalaksanaan
1. Pengobatan farmakologik :
o Bronkodilator : obat yang melebarkan saluran nafas. Terbagi dalam 2 golongan :
1. Simpatomimetik/ andrenergik (Adrenalin dan efedrin).
Nama obat :
 Orsiprenalin (Alupent)
 Fenoterol (berotec)
 Terbutalin (bricasma)
Obat-obat golongan simpatomimetik tersedia dalam bentuk tablet, sirup,suntikan dan
semprotan. Yang berupa semprotan: MDI (Metered dose inhaler). Ada juga yang berbentuk
bubuk halus yang dihirup (Ventolin Diskhaler dan Bricasma Turbuhaler) atau cairan
broncodilator (Alupent, Berotec, brivasma serts Ventolin) yang oleh alat khusus diubah
menjadi aerosol (partikel-partikel yang sangat halus ) untuk selanjutnya dihirup.
2. Santin (teofilin)
Nama obat :
 Aminofilin (Amicam supp)
 Aminofilin (Euphilin Retard)
 Teofilin (Amilex)

Efek dari teofilin sama dengan obat golongan simpatomimetik, tetapi cara
kerjanya berbeda. Sehingga bila kedua obat ini dikombinasikan efeknya
saling memperkuat.
Cara pemakaian : Bentuk suntikan teofillin / aminofilin dipakai pada serangan asma akut, dan
disuntikan perlahan-lahan langsung ke pembuluh darah. Karena sering merangsang lambung
bentuk tablet atau sirupnya sebaiknya diminum sesudah makan. Itulah sebabnya penderita
yang mempunyai sakit lambung sebaiknya berhati-hati bila minum obat ini. Teofilin ada juga
dalam bentuk supositoria yang cara pemakaiannya dimasukkan ke dalam anus. Supositoria ini
digunakan jika penderita karena sesuatu hal tidak dapat minum teofilin (misalnya muntah
atau lambungnya kering).
o Kromalin
Kromalin bukan bronkodilator tetapi merupakan obat pencegah serangan asma. Manfaatnya
adalah untuk penderita asma alergi terutama anak-anak. Kromalin biasanya diberikan
bersama-sama obat anti asma yang lain, dan efeknya baru terlihat setelah pemakaian satu
bulan.
o Ketolifen
Mempunyai efek pencegahan terhadap asma seperti kromalin. Biasanya diberikan dengan
dosis dua kali 1mg / hari. Keuntungnan obat ini adalah
dapat diberika secara oral.
2. Pengobatan non farmakologik:
o Memberikan penyuluhan.
o Menghindari faktor pencetus.
o Pemberian cairan.
o Fisiotherapy.
o Beri O2 bila perlu.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN ASTHMA BRONKHIALE

A. Pengkajian
1. Riwayat kesehatan yang lalu:
o Kaji riwayat pribadi atau keluarga tentang penyakit paru sebelumnya.
o Kaji riwayat reaksi alergi atau sensitifitas terhadap zat/ faktor lingkungan.
o Kaji riwayat pekerjaan pasien.
2. Aktivitas
o Ketidakmampuan melakukan aktivitas karena sulit bernapas.
o Adanya penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktivitas
sehari-hari.
o Tidur dalam posisi duduk tinggi.
3. Pernapasan
o Dipsnea pada saat istirahat atau respon terhadap aktivitas atau latihan.
o Napas memburuk ketika pasien berbaring terlentang ditempat tidur.
o Menggunakan obat bantu pernapasan, misalnya: meninggikan bahu, melebarkan hidung.
o Adanya bunyi napas mengi.
o Adanya batuk berulang.
4. Sirkulasi
o Adanya peningkatan tekanan darah.
o Adanya peningkatan frekuensi jantung.
o Warna kulit atau membran mukosa normal/ abu-abu/ sianosis.
o Kemerahan atau berkeringat.
5. Integritas ego
o Ansietas
o Ketakutan
o Peka rangsangan
o Gelisah
6. Asupan nutrisi
o Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernapasan.
o Penurunan berat badan karena anoreksia.
7. Hubungan sosal
o Keterbatasan mobilitas fisik.
o Susah bicara atau bicara terbata-bata.
o Adanya ketergantungan pada orang lain.
8. Seksualitas
o Penurunan libido.

B. Diagnosa Keperawatan Yang Muncul


1. Tidak efektifnya kebersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi mukus.
2. Tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru.
3. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak
adekuat.

C. Intervensi

Diagnosa Keperawatan 1 :
Tidak efektifnya kebersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi mukus.
Tujuan : Jalan nafas kembali efektif.
Kriteria Hasil :
• Sesak berkurang
• Batuk berkurang
• Klien dapat mengeluarkan sputum
• Wheezing berkurang/hilang
• TTV dalam batas normal keadaan umum baik.
Intervensi :
• Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, misalnya : mengi, erekeis, ronkhi.
R/ Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan nafas. Bunyi nafas redup
dengan ekspirasi mengi (empysema), tak ada fungsi nafas (asma berat).
• Kaji / pantau frekuensi pernafasan catat rasio inspirasi dan ekspirasi.
R/ Takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dpat ditemukan pada penerimaan selama
strest/adanya proses infeksi akut. Pernafasan dapat melambat dan frekuensi ekspirasi
memanjang dibanding inspirasi.
• Kaji pasien untuk posisi yang aman, misalnya : peninggian kepala tidak duduk pada
sandaran.
R/ Peninggian kepala tidak mempermudah fungsi pernafasan dengan menggunakan gravitasi.
• Observasi karakteristik batuk, menetap, batuk pendek, basah. Bantu tindakan untuk
keefektipan memperbaiki upaya batuk.
R/ batuk dapat menetap tetapi tidak efektif, khususnya pada klien lansia, sakit
akut/kelemahan.
• Berikan air hangat.
R/ penggunaan cairan hangat dapat menurunkan spasme bronkus.
• Kolaborasi obat sesuai indikasi.Bronkodilator spiriva 1×1 (inhalasi).
R/ Membebaskan spasme jalan nafas, mengi dan produksi mukosa.

Diagnosa Keperawatan 2 :
Tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru.
Tujuan : Pola nafas kembali efektif.
Kriteria Hasil :
• Pola nafas efektif
• Bunyi nafas normal atau bersih
• TTV dalam batas normal
• Batuk berkurang
• Ekspansi paru mengembang.
Intervensi :
• Kaji frekuensi kedalaman pernafasan dan ekspansi dada. Catat upaya pernafasan termasuk
penggunaan otot bantu pernafasan / pelebaran nasal.
R/ Kecepatan biasanya mencapai kedalaman pernafasan bervariasi tergantung derajat gagal
nafas. Expansi dada terbatas yang berhubungan dengan atelektasis dan atau nyeri dada.
• Auskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi nafas seperti crekels, mengi.
R/ ronki dan mengi menyertai obstruksi jalan nafas / kegagalan pernafasan.
• Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi.
R/ Duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan pernafasan.
• Observasi pola batuk dan karakter sekret.
R/ Kongesti alveolar mengakibatkan batuk sering/iritasi.
• Dorong/bantu pasien dalam nafas dan latihan batuk.
R/ Dapat meningkatkan/banyaknya sputum dimana gangguan ventilasi dan ditambah ketidak
nyaman upaya bernafas.
• Kolaborasi
o Berikan oksigen tambahan.
o Berikan humidifikasi tambahan misalnya : nebulizer.
R/ Memaksimalkan bernafas dan menurunkan kerja nafas, memberikan kelembaban pada
membran mukosa dan membantu pengenceran sekret.

Diagnosa Keperawatan 3 :
Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak
adekuat.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi.
Kriteria Hasil :
• Keadaan umum baik
• Mukosa bibir lembab
• Nafsu makan baik
• Tekstur kulit baik
• Klien menghabiskan porsi makan yang disediakan
• Bising usus 6-12 kali/menit
• Berat badan dalam batas normal.
Intervensi :
• Kaji status nutrisi klien (tekstur kulit, rambut, konjungtiva).
R/ Menentukan dan membantu dalam intervensi lanjutnya.
• Jelaskan pada klien tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh.
R/ Petikan pengetahuan klien dapat menaikan partisi bagi klien dalam asuhan keperawatan.
• Timbang berat badan dan tinggi badan.
R/ Penurunan berat badan yang signipikan merupakan indikator kurangnya nutrisi.
• Anjurkan klien minum air hangat saat makan.
R/ Air hangat dapat mengurangi mual.
• Anjurkan klien makan sedikit-sedikit tapi sering.
R/ memenuhi kebutuhan nutrisi klien.
• Kolaborasi
o Consul dengan tim gizi/tim mendukung nutrisi.
R/ Menentukan kalori individu dan kebutuhan nutrisi dalam pembatasan.
o Berikan obat sesuai indikasi.
o Vitamin B squrb 2×1.
R/ Defisiensi vitamin dapat terjadi bila protein dibatasi.
o Antiemetik rantis 2×1
R/ untuk menghilangkan mual / muntah.

DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja, K. (1990) “Asma Bronchiale”, dikutip dari Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta : FK
UI.
Brunner & Suddart (2002) “Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah”, Jakarta : AGC.
Crockett, A. (1997) “Penanganan Asma dalam Penyakit Primer”, Jakarta : Hipocrates.
Crompton, G. (1980) “Diagnosis and Management of Respiratory Disease”, Blacwell
Scientific Publication.
Doenges, M. E., Moorhouse, M. F. & Geissler, A. C. (2000) “Rencana Asuhan
Keperawatan”, Jakarta : EGC.
Guyton & Hall (1997) “Buku Ajar Fisiologi Kedokteran”, Jakarta : EGC.
Hudak & Gallo (1997) “Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik”, Volume 1, Jakarta : EGC.
Price, S & Wilson, L. M. (1995) “Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit”,
Jakarta : EGC.
Pullen, R. L. (1995) “Pulmonary Disease”, Philadelpia : Lea & Febiger.
Rab, T. (1996) “Ilmu Penyakit Paru”, Jakarta : Hipokrates.
Rab, T. (1998) “Agenda Gawat Darurat”, Jakarta : Hipokrates.
Reeves, C. J., Roux, G & Lockhart, R. (1999) “Keperawatan Medikal Bedah”, Buku Satu,
Jakarta : Salemba Medika.
Staff Pengajar FK UI (1997) “Ilmu Kesehatan Anak”, Jakarta : Info Medika.
Sundaru, H. (1995) “Asma ; Apa dan Bagaimana Pengobatannya”, Jakarta : FK UI.

http://hidayat2.wordpress.com/2009/04/23/askep-asma-bronkhiale/

You might also like