You are on page 1of 8

PENDAHULUAN

Setiap tanggal 14 Februari ditandai sebagai momen perayaan kasih sayang atau
lebih dikenal dengan Hari Valentine. Istilah tersebut diambil dari seorang uskup katolik
dari Terni Italia bernama Santo Valentine, yang secara historis dikenal sebagai uskup yang
menentang dekrit pemimpin Romawi kala itu, Claudius II, mengenai larangan para lajang
militer untuk menikah dan memiliki keluarga. Sebagai bentuk pemberontakan, Valentine
bergerilya menikahkan beberapa muda mudi militer yang saling mencintai, sehingga
menyebabkan ia pada akhirnya menerima hukuman mati dengan dipenggal di Flaminian
Gate atau sekarang dikenal Piazza del Popolo (Tirto, 2017). Sebagai bentuk upaya
meneruskan semangat mengasihi yang diusung St. Valentine, setiap tanggal tersebut,
orang barat pada umumnya akan menunjukkan bukti cinta kepada para pasangannya
dengan memberikan beragam hal seperti coklat, bunga, atau sekedar ucapan kasih.
Namun, dibalik itu semua, momen ini masih seringkali diperdebatkan, sehingga
menimbulkan pertanyaan, perlukah Hari Valentine untuk dirayakan?
Terdapat banyak hal yang menyebabkan pertanyaan tersebut mengemuka. Salah
satunya karena dirasa adanya penyempitan makna saling mengasihi yang terbatas hanya
kepada kekasih atau teman hidup saja serta penghayatannya yang hanya sehari dalam
setahun. Hal ini yang menjadikan eksistensi perayaan kasih sayang bertajuk Hari
Valentine berada dalam kuadran yang bisa diperdebatkan. Padahal kasih sayang memiliki
muatan yang arif untuk menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan yang saling
mengasihi antar umat manusia dan lingkungan sekitarnya. Maka dari itu, Hari Valentine
menjadi tidak perlu dirayakan karena tidak dapat menjadi momentum untuk membawa
peradaban menuju kearah sana, sebab yang seringkali terjadi saat ini ialah konflik serta
kekerasan dalam beragam medium.
Berdasarkan data yang dikutip BBC (2016) dari laporan International Institute for
Strategic Studies (IISS) menyebutkan bahwa korban tewas akibat konflik global
sepanjang tahun 2015 diperkirakan mencapai 167.000 jiwa. Sepertiga dari korban tersebut
diakibatkan konflik berkepanjangan antara pemerintah dan oposisi di Suriah. Terbaru
yakni peristiwa kekerasan yang menimpa masyarakat Rakhine State, Myanmar pada
medio 2017 yang menyebabkan setidaknya 740.000 jiwa menjadi korban dan dipaksa
mengungsi ke beberapa negara. Di Indonesia terjadi bentuk lainnya dalam hal konflik.
Hal itu bisa dilihat dari beragam aksi intoleran antar kelompok yang berbeda dalam segi

1
ras, suku hingga agama. Seperti dilansir dari VOA (2016), beberapa kasus tidak saling
menghargai perbedaan di negara itu antara lain ialah aksi pembubaran secara paksa terkait
acara kebaktian di Komplek Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) Bandung, serta aksi
pemulangan sejumlah warga Muslim yang hendak mengahadiri acara keagamaan di
Atambua, Kupang, Nusa Tenggara Timur.

Memperbaharui makna kasih sayang


Beberapa peristiwa tadi bisa menjadi indikator empiris terkait kondisi hubungan
antar umat manusia saat ini yang seringkali bertendensi konflik. Meskipun akan banyak
sekali variabel yang melatarbelakangi beberapa peristiwa tadi, namun tidak berlebihan
juga untuk memasukkan faktor kurangnya rasa saling mengasihi sebagai salah satu
penyebabnya. Hal ini tentu tidak terlepas dari pola pikir bahwa kasih sayang merupakan
sesuatu yang hanya pantas ditunjukkan kepada orang terdekat dan dirayakan secara
terperiodisasi (setahun sekali) sehingga penghayatannya secara holistis (antar manusia
dan lingkungan) dalam kehidupan sehari hari dinilai tidak relevan untuk dilakukan.
Maka, berdasarkan hal tersebut perlu adanya pola pemikiran baru dalam
memaknai kasih sayang oleh semua orang, agar dapat menjadikan sikap saling mengasihi
sebagai roh dalam interaksi antar manusia dan lingkungannya. Lebih jauh, kasih sayang
perlu dimaknai sebagai hal yang sifatnya continuity (keberlanjutan) yang terimplementasi
dalam kehidupan keseharian, bukan sebagai peringatan dan selebrasi sekali dalam
setahun. Serta pengahayatannya dilakukan secara holistic (menyeluruh) baik kepada
dirinya sendiri maupun ke sesama makhluk yang berada di muka bumi.
Sehingga diharapkan pembaharuan pemikiran tersebut dapat menjadi upaya
meluaskan spirit cinta kasih yang selama ini seringkali ditafsirkan terbatas. Serta sebagai
bentuk membangun iklim cinta damai setiap harinya, yang pada akhirnya dapat
meminimalisir konflik dan beragam hal yang dapat menimbulkan perpecahan antar
manusia dan kerusakan bagi lingkungan sekitar.

Kasih sayang sebagai kebutuhan dasar


Teori motivasi yang dikemukakan oleh Abraham Maslow (1943) menyebutkan bahwa
kebutuhan manusia dikategorikan kedalam hierarki sebuah piramid, dengan asumsi
seseorang tidak akan mencapai kebutuhan tertinggi sebelum kebutuhan dasarnya

2
terpenuhi. Dalam teorinya dijelaskan bahwa basic needs yang dibutuhkan manusia untuk
dapat berkembang kepada tahapan selanjutnya ialah kebutuhan fisiologis. Namun selain
kebutuhan tersebut, menurut hemat penulis, manusia juga membutuhkan sikap saling
mengasihi (compassionate needs) untuk dapat menjadikan setiap upaya pemenuhan
kebutuhan diatasnya dapat diperoleh tanpa merugikan dan menyakiti orang lain, apalagi
hingga menimbulkan konflik.
Maka, berdasarkan beberapa penjelasan dan urgensi permasalahan diatas, ada
beberapa poin yang hendak disampaikan dalam tulisan ini: (1) merekonstruksi pemikiran
mengenai makna kasih sayang, (2) pentingnya mengimplementasikan sikap saling
mengasihi secara holistik, serta (3) manfaat yang didapatkan dengan menumbuhkan sikap
saling mengasihi.

GAGASAN
Kasih sayang merupakan akumulasi dari sikap empati terhadap apa yang dirasakan
seseorang disertai sikap altruistik yang bersedia berbuat sesuatu riil untuk membantu
orang tersebut (Seppala, 2013). Kasih sayang memiliki makna yang luas, mengalir dalam
kehidupan, sehingga seyogyanya dapat menjadi alat perdamaian dan menumbuhkan
kebijaksanaan dalam membangun hubungan antar sesama manusia dan lingkungan.
Penyempitan makna kasih sayang hanya akan menimbulkan miskonsepsi serta
mengurangi spirit yang terkandung didalamnya. Padahal apabila kita telusuri lebih jauh
akan ditemukan hubungan yang tak terpisahkan antara sikap mengasihi dengan fitrah kita
sebagai manusia, serta berkaitan erat dengan hubungan kita terhadap diri sendiri, orang
lain dan lingkungan sekitar. Juga, terdapat beragam manfaat untuk siapapun yang dapat
menghayatinya. Dan yang terpenting dari itu semua ialah kasih sayang memiliki peran
yang integral dalam memastikan keberlangsungan kehidupan umat di muka bumi.
Hal tersebut mempertegas bahwa Hari Valentine menjadi momen yang tidak
penting untuk dirayakan sejauh pemahaman yang diyakini masih tereduksi dengan hanya
mencakup orang terkasih serta dihayati sehari dalam setahun. Oleh karena itu, seperti
yang telah disinggung sebelumnya, beberapa poin yang akan dijelaskan dibawah ini
mencoba membuka perspektif terbarukan dan mengajak semua orang untuk dapat
memahami beragam makna dan keutamaan yang terkandung dalam sikap saling
mengasihi secara menyeluruh untuk dijadikan penghayatan dalam aktivitas keseharian.

3
Kasih sayang sebagai mandataris kehidupan
Sebagai makhluk yang diberikan akal dan pikiran, manusia mendapatkan mandat
khusus dari Tuhan untuk menjelajahi kehidupan ini sebagai agen penyebar cinta kasihNya
di muka bumi. Oleh sebab itu, default dari sistem operasional manusia dilengkapi sikap
saling mengasihi untuk dapat menuntaskan tugas tersebut. Beberapa penelitian dalam
bidang psikologi pun mengungkapkan bahwa sikap saling menyayangi merupakan sifat
alamiah manusia (Gleichgerrcht & Decety, 2014; Goetz, Keltner, & Simon-Thomas,
2010). Sehingga jelas bahwa sikap saling mengasihi telah terkandung dalam diri setiap
insan untuk dipergunakan sebagai pemenuhan kewajibannya menjadi agen sang Maha
Pengasih.
Kesadaran akan mandataris ini tercermin melalui penghayatan secara menyeluruh
akan makna saling mengasihi dalam setiap kegiatan keseharian, termasuk terhadap diri
sendiri, orang lain serta lingkungan. Bentuk mengasihi terhadap diri sendiri didasari rasa
syukur atas nikmat hidup dan meyakini betul perlu adanya sikap penghargaan terhadap
diri sendiri sebelum dapat menjadi agen penebar kasih. Mengkonsumsi makanan,
informasi, dan ilmu yang bermanfaat untuk dapat menghasilkan pribadi positif dan
produktif merupakan salah satu upaya riil mengasihi diri sendiri. Setelah penghargaan
terhadap diri terealisasi, selanjutnya ialah dengan sikap saling mengasihi terhadap sesama
dan lingkungan sekitar. Untuk sesama manusia, bisa dalam bentuk melembutkan hati dan
perkataan, menumbuhkan sikap tolong menolong serta saling toleran dan menghargai
perbedaan. Serta dengan bijak dan tidak merusak dalam memperlakukan lingkungan alam
sekitar.
Kesadaran ini penting agar kita tidak tergolong kedalam orang yang tidak (ingin)
menjalankan mandataris ini. Karena bagi mereka yang tidak memahami hal tersebut akan
dengan mudahnya mengikuti hawa nafsu yang berpotensi merusak diri serta perbuatan
menyakiti perasaan orang lain melalui sikap, perilaku bahkan ucapannya, seperti ujaran
kebencian, antipati, dan fitnah yang tentunya akan merugikan orang lain. Selain itu,
perilaku destruktif terhadap alam yang cenderung tidak memperhatikan keberlangsungan
kelestarian lingkungan akan dilakukan demi kepentingan pribadi.
Sehingga jelas bahwa kesadaran akan keberadaan mandataris merupakan hal yang
penting karena akan menentukan output aktivitas keseharian dan melihatnya sebagai suatu

4
tugas besar dalam kehidupan, yang tentu menjadi kewajiban untuk menjalankan dan
menyelesaikannya karena akan dipertanggung jawabkan kepada Sang Pencipta kelak.

Menumbuhkan sikap kasih sayang baik bagi tubuh


Penelitian yang dilakukan Ed Dinner dan Martin Seligman (2004), psikolog
Universitas Illinois menyebutkan bahwa berinteraksi dan membangun hubungan baik
dengan penuh kasih dan ketulusan dapat membantu seseorang meningkatkan kesehatan
mental dan fisiknya secara simultan. Selain itu, temuan dari Sara Konrath dkk (2012),
psikolog Universitas Michigan juga mengungkapkan bahwa keuntungan dari
menumbuhkan sikap kasih penuh kelembutan didalam diri ialah dapat memanjangkan
usia hidup. Alasannya karena saat kita mengasihi atau memberikan pertolongan terhadap
seseorang, bagian pleasure centre dalam otak akan aktif akibat dari rasa puas yang didapat
setelah membantu meringankan beban. Hal ini juga sekaligus memberikan manfaat
kesehatan bagi tubuh (Moll et al., 2006). Kebahagiaan ini disebut Fredrick dkk (2013)
dalam penelitiannya dengan eudaimonic happiness atau kebahagiaan yang hakiki,
akumulasi dari sikap empati dan altruistik.
Seperti yang kita pahami bahwa menjadi bahagia merupakan keinginan semua
orang. Namun tidak semuanya mengetahui kunci untuk mencapai hal tersebut. Maka,
beberapa penelitian tadi menjadi bukti konkrit adanya korelasi positif antara
menumbuhkan sikap mengasihi dan menjadi sehat bahagia. Jauh sebelumnya Tuhan juga
telah bersabda, “Hatimu penentu kehidupanmu”, yang berarti organ tersebut memerankan
posisi penting dalam menentukan kesehatan bagi seluruh anggota tubuh lainnya. Oleh
karenanya, menumbuhkan sikap kasih sayang dalam diri merupakan langkah yang harus
ditempuh untuk menuju kebahagiaan dan kesehatan yang sesungguhnya. Selain tentu
didukung pola makan yang baik, dengan mengupayakan untuk melembutkan hati dalam
berinteraksi, saling memahami, dan menjauhkan diri dari hal yang menciderai hati seperti
sikap sombong, dengki dan semacamnya, menjadi cara tepat untuk mendapatkannya.
Setelah memahami arti penting sikap mengasihi terhadap kesehatan tubuh, tentu
dapat mencegah diri seseorang untuk melakukan berbagai hal yang menggelapkan hati
dan aktivitas pemicu penyakit hati lainnya, karena selain akan merugikan orang lain
namun juga dapat memberikan efek buruk terhadap kesehatan jasmani dan rohani.

5
Kasih sayang sebagai faktor keberlanjutan kehidupan
Alasan Tuhan untuk menumbuhkan sikap kasih sayang dalam diri setiap
makhlukNya adalah sebagai upaya menjaga eksistensi dan keberlangsungan kehidupan di
muka bumi. Karena hampir mustahil kehidupan spesies termasuk manusia akan bertahan
tanpa adanya sikap saling mengasihi antar sesama makhluk (TED, 2010). Contoh
sederhana dari penjelasan tersebut bisa kita lihat dari peran kasih sayang orang tua
terhadap tumbuh kembang anaknya yang akan menentukan sikap, perilaku, dan
kepribadiannya kelak.
Selain faktor penentu keberlangsungan dan eksistensi kehidupan di muka bumi,
sikap saling menyayangi juga memiliki peran untuk memberikan manfaat kepada sesama.
Penelitian yang dikemukakan oleh Profesor Psikologi dari New York University,
Jonathan Haidt (2005) mengungkapkan bahwa ketika seseorang melihat orang
disekitarnya saling mengasihi dan menolong, akan terbentuk elevation dalam otaknya
yang akan menghangatkan dan mengaktivasi kita untuk terinspirasi serta melakukan hal
yang sama yang nantinya akan menciptakan suatu riak kebaikan. Penelitian serupa
dikemukakan oleh Fowler dan Christakis dari Harvard yang mengungkapkan bahwa
kebaikan berdasarkan kasih sayang yang tulus akan menyebar dan mempengaruhi sekitar.
Sehingga jelas bahwa salah satu upaya menjadikan kehidupan ini penuh arti dan
manfaat bagi sesama ialah dengan memastikan bahwa setiap aktivitas yang kita lakukan
diisi dengan berbagai sikap saling mengasihi terhadap lingkungan sekitar. Bukan hanya
ditunjukkan kepada pasangan, namun untuk semua orang, karena kebaikan yang kita
lakukan memiliki kemampuan untuk dapat mengaktivasi dan menularkan
kebaikankebaikan lainnya yang akan dilakukan orang lain, yang selanjutnya akan menjadi
sebuah rantai kebaikan yang terakumulasi dan tidak akan terputus. Sehingga jelas bahwa,
dengan berbuat kebaikan dalam suatu masyarakat, itu berarti kita tidak hanya sedang
membangun iklim kebahagiaan dan kebermanfaatan bagi diri sendiri, namun juga untuk
lingkungan sekitar.

6
PENUTUP
Kasih sayang merupakan anugerah Tuhan yang paling luar biasa, karena
kemampuannya sebagai pedoman dan roh dalam menjalankan suatu kehidupan. Kasih
sayang melekat dalam diri sebagai mandataris kehidupan, dapat membawa kebaikan
kepada siapapun yang memaknainya secara utuh serta dapat menjadikan kehidupan yang
lebih baik bagi lingkungan sekitar. Maka, Hari Valentine sebenarnya menciderai beragam
keutamaan yang ada sejauh pemahaman akan kasih sayang masih terbatas teruntuk orang
terkasih dan dilakukan sekali dalam setahun. Oleh karena itu, penulis mengajak semua
orang untuk dapat memahami dan mengimplementasikan beberapa poin diatas sebagai
pembaharuan kerangka berpikir sehingga tertanam spirit kasih mengasihi yang seutuhnya
sebagai upaya menjadikan kehidupan yang lebih baik, bagi diri sendiri, untuk sesama
maupun lingkungan sekitar. Yang pada akhirnya agar kita dapat mewarisi sebuah
kehidupan yang saling kuat dalam persaudaraan, perdamaian, dan menentramkan bagi
generasi penerus, bukan sebuah warisan kebencian dan konflik berkepanjangan.

DAFTAR PUSTAKA
BBC. (2016). Korban akibat konflik global mencapai 167.000 jiwa. BBC. Retrieved from
http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2016/05/160505_dunia_perang
Diener, E., & Seligman, M. E. P. (2004). Beyond Money: Toward an Economy of Well-Being.
Psychological Science in The Public Interest, 5(1), 1-31.
doi:10.1111/j.09637214.2004.00501001.x
Fredrickson, B. L., Grewen, K. M., Coffey, K. A., Algoe, S. B., Firestine, A. M., Arevalo, J. M. G., . . .
Cole, S. W. (2013). A Functional Genomic Perspective on Human Well-Being. Proceedings of the
National Academy of Sciences of the United States of America, 110(33), 13648-13689.
doi:10.1073/pnas.1305419110
Gleichgerrcht, E., & Decety, J. (2014). The relationship between different facets of emphaty, pain
perception and compassion fatigue among physicians. Frontier Behaviour Neuroscience, 8(243).
doi:10.3389/fnbeh.2014.00243
Goetz, J. L., Keltner, D., & Simon-Thomas, E. (2010). Psychological Bulletin. Compassion: An
evolutionary analysis and empirical review, 136(3), 351-374. doi:10.1037/a0018807 Haidt, J. (2005).
Wired to be Inspired. Greater Good Magazine.
Konrath, S., Fuhrel-Forbis, A., Lou, A., & Brown, S. (2012). Motives for volunteering are associated with
mortality risk in older adults. Health Psychology, 31(1), 87-96. doi:10.1037/a0025226
Maslow, A. (1943). A theory of human motivation. Psychological Review, 50(4), 370-396.
doi:10.1037/h0054346
Mazrieva, E. (2016). Intoleransi di Indonesia Sudah Darurat? VOA. Retrieved from
https://www.voaindonesia.com/a/intoleransi-di-indonesia-darurat/3643180.html
Moll, J., Kruger, F., Zahn, R., Pardini, M., Oliveira-Souza, R. d., & Grafman, J. (2006). Human
frontomesolimbic networks guide decisions about charitable donation. Proceedings of the
National Academy of Sciences of the United States of America, 103(42), 15623-15628.
doi:10.1073/pnas.0604475103
Seppala, E. (2013). Compassionate Mind, Healthy Body. Greater Good Magazine.
Tirto. (2017). Berbagai Versi tentang Santo Valentine. Tirto.id. Retrieved from
https://tirto.id/berbagaiversi-tentang-santo-valentine-ci3u

7
TED. (2010, December 1). Joan Halifax: Compassion and the true meaning of empathy [Video file].
Retrieved from https://www.ted.com/talks/joan_halifax

You might also like