You are on page 1of 21

Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Indonesia
Student Log Book

Widi Marsha Fadila


1506668795
IKGK 4 Kel. 5
Diskusi Kelompok I Skenario
Nama Mahasiswa : Widi Marsha Fadila
Nama Fasilitator :
Tanggal / Jam Diskusi :

Pada DK1 yang diharapkan :

1. Identifikasi Istilah yang belum diketahui :


- Laki-laki berusia 55 tahun
o Rasa kasar di pipi bagian dalam
o Sariawan di lidah sebelah kiri, sakit, sejak 2 th lalu
o Beberapa minggu terakhir sariawan terasa perih saat makan sambal
o Bitnik-bintik merah di palatum
o Kebiasan menggigit pipi saat sedang banyak pikiran
o Riwayat merokok sejak 40 th lalu
o Pemeriksaan klinis:
 Ulserasi dengan area multilobuler berukuran 2x2x1 cm di lateral lidah kiri
 Palpasi keras dan sedikit terasa sakit
 Mobilitas lidah terbatas
 Gigi 15 16 17 sisa akar

2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana klasifikasi lesi?
a. Definisi dan etiologi
b. Faktor predisposisi
i. Kebiasaan buruk (merokok, gigit-gigit pipi, dll)
c. Pathogenesis
d. Gambaran klinis
e. Histologi
f. DD
2. Bagaimana pemeriksaan lesi?
a. Membedakan lesi ganas, pra-ganas, dan putih
i. Pemeriksaan penunjang: biopsi, tes sitologi, radiologi dan penunjang lainnya
3. Bagaimana perawatan dan komplikasi lesi?
a. Farmako
i. Kemoterapi
b. Non-farmako
i. Radioterapi (persiapan pasien)
ii. Bedah
4. Bagaimana efek samping radioterapi dan kemoterapi? Serta bagaimana penatalaksanaannya?
5. Bagaimana mekanisme rujukan? (untuk radioterapi, bedah, dan kemoterapi)
3. Analisis Masalah

4. Menyusun Pokok Bahasan berdasarkan Prior Knowledge

5. Menyusun topik dan sasaran belajar scenario

MANDIRI
Little and Falace – Dental Management of the Medically Compromised Patient 8th ed
Crispian Scully – Medical Problems in Dentiistry 6th ed
Burket’s Oral medicine – 12th ed
Delmar’s Dental Drug Reference
https://www.drugbank.ca/drugs/
https://www.rxlist.com/
- Pasien dengan ulser apthous harus melakukan screening haematologi jika memiliki (riwayat) penyakit sistemik.
Pada RAS  pemeriksaan laboratorium tidak diperlukan
- Perawatan yang rasional akan memasukan obat yang dapat memanipulasi atau mergulasi respon imun. Untuk
terapi yang efektif harus mengikut sertakan barrier, amlexanox, kortikosteroid topikal atau sistemik,
imunosupresan, serta terapi kombinasi (bila diindikasikan). Scully  tidak ada perawatan yang reliable atau
spesifik, yang sering digunakan kortikosteroid topikal. Untuk yang lebih parah digunakan kortikosteroid
sistemik atau imunosupresan lainnya dapat diberikan
- Terapi harus diinisiasikan seawal mungkin
- Agen Nonsteroid
o Amlexanox oral paste 5%
 Sediaan : Tube 5g
 Farmakodinamik :
 Pasta oral mukoadesif yang secara klinis terbukti meningkatkan proses
penyembuhan dan menghilangkan nyeri pada ulser aphthous
 Mayoritas ulser bisa dihindari dengan penggunaan amlexanox pada tahap
praulseratif
 Farmakokinetik
 Mekanisme farmakokinetik tidak diketahui, kemungkinan diserap melalui GI
tract
 Interaksi obat : tidak ditemukan
 Efek samping : sensasi terbakar di tempat yang diaplikasikan, mual, diare
 Dosis : oleskan sedikit demi sedikit (0,25 inch) pada lesi 4 kali sehari sedini mungkin saat
lesi muncul hingga sembuh
o Orabase Soothe-N-Seal Protective Barrier (OTC)
 Dosis : sesuai dengan tabel masing-masing sediaan, jika diperlukan setiap 6 jam sekali.
 Untuk relief mild hingga moderate :
 Special mouthwash
o Disesuaikan dengan keadaan pasien
o Basic (OTC) : Benadryl (160ml) + Carafate (40ml) + Maalox elixir
(40ml)
o Sediaan :480 ml
 Guafenesin 80 mL
 Diphenhydramine (12.5/5 cc) 200 mL
 Nystatin (100,000 IU/5 cc) 30 mL
 Sucralfate 100 mL
 Maalox 50 mL
 2% viscous lidocaine 20 mL
o Dosis : 3x sehari. 3 sendok makan (15ml), kumur selama 3 menit, selama
2 minggu. Setelah itu gunakan seperlunya untuk maintenance.
- Topical Steroid
o Triamcinolone acetonide (Kenalog) in Orabase 0.1%
 Sediaan : Tube 5g
 Farmakodinamik :
 Derivat glukokortikoid sintetis yang digunakan sifat antiinflamasi dan
imunosupresifnya
 Farmakokinetik
 Absorpsi di mulut
 Metabolisme di hati
 T ½ : 88 menit
 Interaksi obat :
 Celecoxib  meningkatkan risiko dan keparahan adverse effect
 Insulin  efek terapeutik insulin menurun
 Efek samping : kemerahan, sensai terbakar,kulit kering, jerawat
 Dosis : oleskan pada lesi setelah makan dan sebelum tidur
- System Steroid
o Dexamethasone (Decadron) elixir 0.5 mg/5 mL
 Sediaan : 100 / 320ml
 Farmakodinamik :
 Dexamethasone dan derivatnya merupakan glukokortikoid sintesis
 Digunakan sifat antiinflamasi atau imunosupresifnya serta kemampuannya untuk
penetrasi ke CNS
 Farmakokinetik
 Dimetabolisme di hati
 T ½ : 36-54 jam
 Interaksi obat :
 Acetamicin  meningkatkan risiko dan keparahan adverse effect
 Calium carbonate  bioavabilitas dexametason bisa menurun
 Efek samping : gangguan tidur (insomnia), mood changes, jerawat, kulit kering,
diskolorasi, penyembuhan luka lambat, meningkatnya produksi keringat, sakit kepala,
mual
 Dosis :
 Berkumur dengan 1 sendok teh dexametason selama 2 menit, 4x sehari. Hentikan
ketika lesi sudah asimtomatik
 Untuk lesi yang lebih parah
o Selama 3 hari, berkumur-telan dengan 1 sendok makan (15 ml), 4x sehari
o Selama 3 hari, berkumur-telan dengan 1 sendok teh (5ml), 4x sehari
o Selama 3 hari, berkumur 2x dan telan 2x 1 sendok teh (5ml), 4x
sehari
o Berkumur dengan 1 sendok teh 4x sehari
o Hentikan penggunaan saat kondisi rongga mulut lebih nyaman. Jika
terjadi rekurensi ulangi dari langkah yang dibold. Berkumur harus
dilakukan setiap habis makan dan sebelum tidur.
o Prednisone tablets 5/10 mg
 Farmakodinamik :
 Kortikosteroid yang paling sering digunakan. Memiliki aktivitas
mineralkortikoid yang memengaruhi pertukaran ion di ginjal
 Farmakokinetik
 Diabsorbsi di GI tract
 T ½ : 2 – 3 jam
 Interaksi obat :
 Acetamicin  meningkatkan risiko dan keparahan adverse effect
 Benzoic acid  efek terapeutik asam benzoic menurun
 Efek samping : peningkatan berat badan, sakit kepala, glaucoma, moon face, insomnia,
mood swing
 Dosis :
 Untuk sediaan 5mg, minum 5 tablet setiap pagi sampai lesi hilang
 Untuk sediaan 10mg, selama 5 hari 4 tablet setiap pagi. Dan setelahnya perhari
dikurangi 1 tablet (untuk kasus yang lebih parah)

ULKUS TRAUMATIKUS
Ulkus atau ulser merupakan kerusakan mukosa atau kulit yang melebihi basalis. Ulser ini biasanya berwarna putih
kekuningan. Ulser traumatik adalah bentukan lesi ulseratif yang disebabkan oleh adanya trauma. Traumatik ulser ini
dapat terjadi pada semua usia dan pada pria maupun wanita.
Etiologi
a. Mekanis
Ulser merupakan lesi yang paling umum terjadi pada jaringan
lunak mulut. Sebagian besar disebabkan oleh trauma mekanis
sederhana dan memiliki hubungan sebab akibat yang nyata.
Beberapa ulser disebabkan oleh trauma yang tidak disengaja
dan biasanya terjadi di daerah yang mudah terjebak diantara
gigi seperti bibir bawah, lidah, dan mukosa bukal. Ulser traumatik pada bagian anterior lidah bayi dengan natal teeth
dikenal dengan sebutan Riga-Fede disease. Penyebab paling sering dalam pembentukan ulser traumatik adalah
penggunaan protesa gigi tiruan, dimana ulser tersebut bisa menjadi akut dan kronik. Contoh dari trauma mekanik
adalah mukosa yang tergigit saat mengunyah, menyikat gigi terlalu keras. Atau trauma yang terjadi secara tidak
sengaja ketika berbicara, bahkan saat tidur.
b. Psikologi
Pada keadaan yang tidak umum, lesi bisa disebabkan oleh kebiasaan yang abnormal (masalah psikologis). Lesi pada
keadaan ini disebut factitial injuries yang diagnosa dan perawatannya sulit. Pada
penderita sering terlihat gejala frustasi, sehingga keadaan ini seringkali membutuhkan
konseling psikologi dalam penanganan masalah ini.
c. Iatrogenik
Traumatik ulser bisa jadi iatrogenik. Secara umum, perhatian terhadap jaringan lunak
yang rapuh sangat penting dalam perawatan gigi pasien. Manipulasi jaringan yang
berlebihan dengan berfokus dalam menangani jaringan keras dapat menyebabkan injury lunak. Ulser bisa terjadi
karena penghilangan cotton rolls yang melekat, tekanan negatif dari saliva ejector ataupun karena terkena instrument
putar yang tidak biasa tetapi dapat dicegah seluruhnya.
d. Bahan kimia
Bahan kimia dapat menyebabkan ulser karena kadar keasaman atau kadar kebasaan, ataupun karena memang
bahan yang memiliki kemampuan untuk menyebabkan iritasi lokal dan kontak alergi. Hal ini disebabkan karena
perawatan atau kesalahan operator atau iatrogenik. Penggunaan aspirin(aspirin burns) juga dapat menyebabkan lesi
ulser walaupun sekarang jarang terjadi. Ketika asam asetylsalicylic ditempatkan dengan tidak benar pada mukosa
pasien untuk meredakan sakit gigi dapat mengakibatkan mucosal burn (kerusakan pada mukosa akibat asam kuat atau
basa kuat) atau terjadi nekrosis koagulatif. Keparahan injuri tergantung pada durasi dan jumlah aspirin yang
diaplikasikan. Banyak obat-obatan yang di jual bebas untuk sakit gigi, aphthous ulcers, dan luka yang berhubungan
dengan gigi tiruan dapat membahayakan oral mukosa jika digunakan secara tidak bijak. Obat-obatan kavitas gigi
khususnya yang mengandung fenol dapat menyebabkan ulser iatrogenik.
Agen etsa gigi telah dikaitkan dengan chemical burns pada mukosa. Prosedur endodontik dan bleaching vital yang
menggunakan agen oksidasi kuat seperti hydrogen peroxide (H2O2) 30% juga dapat menghasilkan mucosal burn.
Beberapa obat untuk mengobati sariawan mengandung konsentrasi tinggi seperti perak nitrat, fenol, atau asam
sulfat dan harus digunakan dengan hati-hati. Menelan obat dengan cara mengisap atau mengunyah (seperti aspirin dan
bisphosphonates) juga dapat menyebabkan ulkus yang parah.
Penggunaan pembersih gigi tiruan juga dapat menyebabkan ulkus kontak methacrylate monomer pada mukosa
dalam waktu lama juga dapat menyebabkan nekrosis mukosa.
Obat kumur atau produk perawatan mulut lain dengan kadar tinggi alkohol, hidrogen
peroksida, atau fenol yang digunakanterlalu sering juga dapat menyebabkan ulserasi
muksosa.
e. Panas/thermal
Panas atau thermal juga dapat menyebabkan terbentuknya ulser seperti makan
makanan yang panas (Pizza burn karena keju panas), yang dapat menyebabkan
terbakarnya palatum dan ventral lidah. Selain itu, Iatrogenik heat burn, penggunaan tooth impression material seperti
wax panas, hydrocolloida atau dental compund yang tidak benar dapat menyebabkan terbakarnya mukosa.
f. Radiasi
Ulserasi oral juga sering terlihat juga sering terlihat selama terapi radiasi dan beberapa jenis terapi radiasi
untuk kanker kepala dan leher. Pada keganasan seperti karsinoma sel skuamosa dosis radiasi yang besar (60-70 Gy),
ulser oral selalu terlihat pada jaringan yang dilalui jalur radiasi. Ketika kemoterapi menjadi komponen perawatan,
distribusi ulser yang lebih luas terlihat dalam rongga mulut dan orofaring. Untuk keganasan seperti limfoma dengan
dosis radiasi yang lebih rendah (40-50 Gy) ulser terjadi tetapi tidak terlalu parah dan durasinya singkat. Ulser yang
disebabkan oleh radiasi tetap ada diluar masa terapi dan beberapa minggu setelahnya. Jika ulser tetap bersih,
penyembuhan spontan dapat terjadi tanpa menyebabkan jaringan parut.

Etiologi ulserasi dan mucositis berhubungan dengan berbagai macam faktor dan melibatkan 5 fase biologis
yaitu inisiasi, respon kerusakan primer, tanda amplifikasi (pembesaran atau perluasan), ulserasi, dan penyembuhan.
Efek kerusakan jaringan berhubungan dengan pelepaskan biomolekul aktif sekunder untuk perawatan yang
menyebabkan cascade dari hal yang menyebabkan perluasan kerusakan dan perbaikan.

Karakteristik Klinis
Ulser reaktif kronis mungkin menyebabkan sedikit nyeri atau tidak sakit. Lesi ditutup
oleh membrane berwarna kuning dan dikelilingi oleh margin yang terangkat yang mungkin
menunjukkan hyperkeratosis. Induration sering berhubungan dengan lesi ini, selama
pembentukan luka dan infiltrasi sel inflamatori kronis.
Ulser mukosa berhubungan dengan penatalaksaan kanker biasanya dimulai pada kira-kira
10 hari mengikuti inisiasidari radiasi (pada dosis 20-30 Gy) dan atau kemoterapi. Dengan radiasi, lesi ditemukan pada
semua tempat yang dilewati cahaya radiasi. Tetapi pada kemoterapi lesi terlihat lebih menonjol pada mukosa bergerak
(mukosa bukal, lateral dan ventral lidah, palatum lunak dan orofaring).
Ulser benign tumor yang paling sering muncul dan dikenal dengan sebutan traumatic granuloma (traumatic
granuloma dengan stomal eosinophilia) yang kadang-kadang terlihat berasosiasi dengan injuri mukosa yang dalam.
Bentukan kawah berukuran sekitar 1 sampai 2 cm dengan penyembuhan beberapa minggu sampai beberapa bulan.
Biasanya ditemukan di lidah dan berasosiasi dengan infiltrasi inflammantory kaya akan eosinophil dan Limfosit T
CD30+.
Ulser kronis lain yang sering muncul pada hard palate adalah necrotizing sialometaplasma, ini berasosiasi dengan
trauma-induced iskemik nekrosis dari kelenjar saliva minor dan dapat sembuh secara spontan dalam beberapa minggu.

Histopatologi
Terlihat kehilangan permukaan epitel yang digantikan oleh jaringan fibrin yang mengandung neutrophil.
Dasar ulser mengandung kapiler yang dilatasi dan jaringan granulasi. Regenerasi epitel dimulai pada tepi ulser dengan
proliferasi sel bergerak ke atas dasar jaringan granulasi dan ke bawah fibrin clot.
Ulser Kronik memiliki jaringan granulasi dengan jaringan parut ditemukan dibawah jaringan. Terlihat adanya
sel inflammantory.Regenerasi epitelial biasanya tidak terbentuk karena trauma yang berulang atau karena faktor
jaringan local yang tidak menguntungkan. Faktor ini relasi dengan tidak cukupnya adhesi molekul ekpresi (integrin)
dan atau extraselular matrix receptor untuk integrin keratinosit. Dalam trauma granuloma, jaringan yang injury dan
terinflamasi meluas sampai ke bawah otot skeletal. Dalam hal ini terlihat adanya infiltrasi makrofag dengan
eosinophil. Arti granuloma menggambarkan adanya sejumlah besar makrofag yang mendominasi.
STOMATITIS APHTHOSA (Canker Sores, SA)
Stomatitis aphthosa merupakan salah satu penyakit mukosa oral yang paling sering terjadi. Penyakit ini ditandai
dengan timbulnya aphthae (ulser kecil yang muncul soliter/dalam kelompok di dalam rongga mulut/lidah).
a. Etiologi
Etiologi yang menyebabkan penyakit ini masih belum diketahui, namun destruksi mukosa pada kasus stomatitis
aphthosa dapat memperlihatkan reaksi imunologi yang dimediasi sel T. Analisis pembuluh darah perifer pada pasien
dengan aphthae menunjukkan berkurangnya perbandingan CD4+ terhadap limfosit T CD8+ , peningkatan sel T-
reseptor sel y8+, serta TNF-∝. Saat perkembangan aphthae diteliti, terjadi infiltrasi sel-sel inflamasi yang cukup berat,
dan sekitar 80% sel yang berada di mukosa site penyakit dan lamina proprianya terinfiltrasi sel T-limfosit. Banyak ahli
yang menganggap bahwa penyakit ini disebabkan oleh sitotoksisitas yang dimediasi sel limfosit T.
Agen kausatif dari SA dapat berasal dari antigen endogen (autoimun) ataupun eksogen (hiperimun), atau disebabkan
faktor nonspesifik seperti trauma, stress, dan lain-lain. Pelepasan focal neuropeptide, seperti substansi P, dapat
memediasi infiltrasi limfositik dan nekrosis epitel, sehingga menyebabkan ulser aphthosa. Pelepasan focal sitokin juga
dapat menghambat proses penyembuhan, yang menandakan ciri khas dari lesi ini.
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya SAR adalah sebagai berikut:
- Gangguan imunologi dimediasi sel T
- Inflamasi neurogenic terinduksi neuropeptida (contoh: substansi P)
- Defek penyembuhan mukosa  diinhibisi oleh sitokin
- Mikrobiologi  disebabkan virus atau bakteri
- Defisiensi nutrisi  vitamin B12, asam folat, zat besi. Biasanya ditemukan pada pasien-pasien dengan celiac
deisease atau Chron's disease
- Bahan kimia  preservatif, komponen pasta gigi
Faktor genetik juga dapat mempengaruhi risiko seseorang terkena SA. Lebih dari 40% pasien yang mengalami SA
memiliki ayah/ibu/anak yang mengalami ulser aphthosa. 90% derajat risikonya meningkat jika kedua orang tuanya
pernah mengalami ulser aphthosa. Antigen yang berperan adalah HLA-B51.
b. Gambaran Klinis
Terdapat tiga bentuk stomatitis aphthosa, yaitu minor, mayor, dan herpetiform. Perbedaan dari ketiganya adalah
berdasarkan derajat keparahannya. Ketiga jenis ulser tersebut merupakan ulser rekuren yang sakit.
Pasien biasanya mengalami gejala prodromal seperti rasa menggelitik atau terbakar sebelum munculnya lesi. Ulsernya
tidak didahului dengan vesikel. Stomatitis aphthosa biasanya muncul di daerah mukosa nonkeratinisasi seperti mukosa
bukal dan vestibulum, lidah, palatum lunak, dasar mulut, dan lain-lain. Namun pada pasien AIDS, ulser ini dapat
tumbuh di area mukosa manapun.
Minor Aphthous Ulcer
Merupakan bentuk stomatitis aphthosa yang paling sering terjadi. Biasanya ulser hanya satu, sakit, dan berbentuk oval
berdiameter kurang dari 0,5 cm, yang diselubungi membrane fibrinosa kuning dan dikelilingi oleh halo eritematosa
(lingkaran kemerahan di sekitar ulser). Lesi ini bertahan selama 7-10 hari dan sembuh tanpa pembentukan luka.
Rekurensi bervariasi setiap individunya. Biasanya waktu rekurensi memiiki jeda berminggu-minggu atau bertahun-
tahun.
Major Aphthous Ulcer
Merupakan bentuk parah dari stomatitis aphthosa. Uluran lesi lebih besar dari 0,5 cm, lebih sakit dan bertahan lebih
lama dari stomatitis aphthosa minor. Karena kedalaman inflamasinya lebih dalam, stomatitis aphthosa mayor terlihat
seperti kawah dan sembuh dengan pembentukan luka.
Lesi dapat sembuh selama 6 minggu, dan saat ulser menghilang, ulser lainnya dapat tumbuh. Pada pasien dengan lesi
yang tidak kunjung hilang dengan rasa sakit yang signifikan ini dapat menyebabkan sulit makan dan stress psikis.
Biasanya menyerang mukosa labial, palatum lunak, dan area mukosa nonkeratin lainnya.
Herpetiform Apththous Ulcer
Merupakan kumpulan ulser kecil rekuren pada mukosa, yang biasanya mengenai mukosa yang bergerak. Secara klinis
terlihat seperti lesi infeksi HSV sehingga disebut herpetiform. Rasa sakit masih bisa diatasi, dan penyembuhannya
biasanya memakan waktu 1-2 minggu. Berbeda dengan infeksi herpes, herpetiform aphthous ulcers tidak didahului
oleh vesikel dan tidak memperlihatkan sel-sel yang terinfeksi virus.
Gambaran Histopatologi
Gambaran histopatologi stomatitis aphthosa menggambarkan karakteristik yang tidak patogenik. Lesi ulser tahap awal
memperlihatkan area tengah yang terulserasi, yang diselubungi membrane fibrinopurulent kekuningan. Jika diambil
bagian dalam ulser, jaringan ikat memperlihatkan peningkatan vaskularisasi dan infiltrasi sel inflamatori yang terdiri
dari limfosit, histipsit, dan leukosit PMN. Epitel pada margin lesi memperlihatkan spongiosis dan sel mononuclear di
1/3 basalis. Sebuah band limfosit bercampur dengan histiosit muncul di jaringan ikat superfisial dan mengelilingi
pembuluh darah di bagian yang lebih dalam.
3. Diabetes Mellitus
Kegawatdaruratan pada pasien diabetes mellitus
HIPOGLIKEMI
Tanda dan gejalanya adalah kelaparan, lelah, gemetar, takikardia, pucat, berkeringat, parestesia, tidak
kooperatif, sakit kepala, incoherent, tidak sadar, pergerakan tonic clonic, hipotensi, hipotermia, detak jantung cepat,
koma. Penyebabnya adalah kurangnya glukosa di darah ke otak, menggunakan insulin, dan tidak makan.
Setiap klinik dokter gigi yang melayani pasien diabetes mellitus harus memiliki sumber karbohidrat oral
seperti jus, nondiet soda, permen). Setelah pasien menunjukkan tanda-tanda hipohglikemi, dokter gigi harus
memeriksa level glukosa dengan glukometer dengan waktu respons kurang dari 15 detik.
Faktor-faktor yang menambah resiko hipoglikemi:
• Menunda atau melewatkan makan
• Ijeksi insulin berlebih
• Injeksi insulin ke jaringan dengan aliran darah cepat (injeksi ke paha setelah olahraga seperti berlebih)
• Menambah olah raga tanpa menyesuakan dengan dosis insulin
• Konsumsi alkohol
• Ketidakmampuan mengenali gejala hipoglikemi
• Stress
• Menyangkal adanya gejala
• Sejarah sebelumnya
• Tidak mengetahui gejala hipoglikemi
Perawatannya adalah:
• P: posisi o Pada pasien sadar, letakkan pasien dengan posisi duduk tegak
o Pada pasien tidak sadar, letakkan pasien di posisi supine

• A: airway (jalur napas): pastikan jalur nafas terbuka


• B: breathing: pastikan pasien masih bernafas
• C: Circulation: memeriksa denyut dan memastikan sirkulasi yang cukup, denyut bisa lemah
• D: dispense:
o Pada pasien yang sadar: berikan minum dengan gula yang banyak seperti jus jeruk, atau cake icing yang
diaplikasikan ke mukosa bukal
o Pada pasien yang tidak sadar, telepon emergensi lalu lakukan: ▪ Oksigen dengan laju 5-6 L/ menit
▪ 5% dextrose di Ringer’s Lactate (D5LR) IV: lakukan tetes intravena secepat mungkin
▪ alternatif: berikan glukagon 1 mg SC atau IM (atau IV), atau epinefrin
• E: pastikan ada tanda vital, administrasi obat, dan respons pasien dimonitor dan dicatat
• F: fasilitasi atau emmastikan langkah selanjutnya diperawatan medis (pindahkan ke rumah sakit apabila pasien tidak
menunjukkan tanda-tanda membaik). Saat kesadaran pasien meningkat, berikan informasi mengenai apa yang terjadi
karena kebanyakan pasien hanya memiliki sedikit ingata mengenai kejadian tersebut.
Emergensi medis untuk hiperglikemi jarang muncul di klinik dokter gigi karena berjalan lebih lambat
dibanding hipoglikemi. Perawatan diinisiasi dengan mengaktivasi sistem medis emergensi, membuka jalur napas, dan
memberikan oksigen. Sirkulasi dan tanda vital perlu dijaga dan dimonitor dan pasien dipindahan ke rumah sakit
secepatnya. Akan tetapi, pada beberapa kasus, hiperglikemi parah dapat muncul dengan gejala yang mirip dengan
hipoglikemi. Apabila glukometer tidak ada, gejala ini perlu dirawat seperti hipoglikemi. Pada kasus hiperglikemi,
jumlah kecil glukosa tidak akan berakibat fatal.
FISIOLOGI DIABETES MELLITUS
Level glukosa yang tinggi dan persisten menyebabkan seseorang mengidap diabetes. Glukosa selalu diambil
oleh sel beta pankreas dan menjadi stimulus yang penting untuk sekresi insulin. Insulin akan ada di sirkulasi selama 4-
8 menit lalu berinteraksi dengan jaringan target (otot, liver, sel lemak) dan berikatan dengan permukaan sel reseptor
insulin. Messenger intraseluler sekunder diaktivasi dan berinteraksi dengan sistem seluler efektor, meliputi enzim dan
protein transport glukosa (GTP). Kurangnya insulin menyebabkan abnormalitas di metabolisme karbohidrat, lemak,
dan protein (produksi bertambah glukosa dari glikogen, lemak, dan protein). Kombinasi pemanfaatan yang kurang dan
produksi berlebih glukosa yang didapatkan melalui glikogenolisis dan metaboilsme lemak menghasilkan akumulasi
glukosa di cairan jaringan dan di darah.
Hiperglikemi menyebabkan ekskresi glukosa di urin sehingga volume urin bertambah. Kehilangan cairan yang
banyak melalui urin menyebabkan dehidrasi dan hilangnya elektrolit. Dengan diabetes tipe 2, hiperglikemi yang sudah
lama diderita dapat mengakibatkan hilangnya cairan di urin secara signifikan. Saat dehidarsi parah terjadi, output urin
akan menurun, dan koma nonketotik hiperosmolar muncul.
Kurangnya pemanfaatan glukosa oleh banyak sel mengakibatkan rasa lapar. Pasien terus mengkonsumsi
makanan tetapi tetap kehilangan berat badan. Apabila hal ini terus terjadi, individu dengan diabetes tipe I akan
menderita asidosis metabolik. Awalnya, tubuh dapat menjaga pH pada level normal tetapi apabila sistem buffer dan
pernapasan serta regulator ginjal tidak bisa mengkompensasi, cairan tubuh akan semakin asam. Asidosis parah dapat
menyebabkan koma dan kematian apabila tidak diidentifikasi dan dirawat. Manifestasi primer diabetes (hiperglikemi,
ketoasidosis, dan penyakit dinding pembuluh darah) berkontribusi ke ketidakmampuan pasien dengan diabetes tidak
terkontrol untuk melawan infeksi dan menunjukkan penyembuhan jaringan yang buruk. Hasil akhirnya adalah pasien
lebih mudah terkena infeksi, dan kemampuan menangani infeksi juga berkurang, dan penyembuhan luka terhambat.
GAMBARAN RADIOGRAFIS DIABETES MELLITUS
Diabetes mellitus tidak menunjukkan karakteristik gambaran radiografis di rahang atau gigi. Penyakit periodontal
yang berhubungan dengan diabetes tidak bisa dibedakan secara radiografis dengan penyakit periodontal di pasien
tanpa diabetes.
Diabetes Mellitus
• Sekelompok gangguan metabolik kronik, ditandai oleh hiperglikemia yang berhubungan dengan abnormalitas
metabolisme karbohidrat, lemak, protein, disebabkan oleh defek sekresi insulin, sensitivitas insulin atau keduanya dan
mengakibatkan terjadinya komplikasi kronis termasuk mikrovaskular, makrovaskular dan neuropati
• penyakit endokrin yg umum terjadi akibat adanya defisiensi insulin yang relative/absolute
KLASIFIKASI
Tipe:
1. Tipe 1/Juvenile onset (insulin-dependent)  rusaknya sel beta, mengakibatkan defisiensi insulin
• Immune-mediated adanya sel islet/antibody insulin yang mengidentifikasi proses autoimun  terjadi kerusakan
sel beta
• Idiopatik  tidak berkaitan dengan autoimun
Gejala umumnya terlihat sebelum usia 25 tahun, pasien mengalami kehausan, poliuria, kelaparan, penurunan BB yang
parah, dan rentan terkena infeksi
2. Tipe 2/Maturity onset  resistensi insulin dengan defisiensi insulin relative/terdapat defek sekresi insulin dengan
resistensi insulin
Terjadi pada pasien berusia diatas 50 tahun & pasien obesitas. Onsetnya tersembunyi, sering disertai dengan
penurunan fungsi melihat, rasa gatal, kadang-kadang disertai juga rasa haus, poliuria, dan fatigue. Kebanyakan kasus
bersifat asimptomatik. Penyakit ini bisa dikontrol dengan pembatasan diet & obat-obatan hipoglikemi oral (jika
diperlukan)
3. Tipe spesifik lainnya
• Defek genetik fungsi sel beta/aksi insulin, penyakit pancreas eksokrin, endokrinopati, diabetes akibat obat/bahan
kimia, infeksi, bentuk tidak umum diabetes immune-mediated, dan sindrom genetic lainnya
• Sindroma genetik terkadang berhubungan dengan diabetes seperti Turner’s syndrome, Down syndrome, Wolfram
syndrome, Klinefeter’s syndrome, Friedreich’s ataxia, Huntington’s chorea, Laurence-Moon-Biedl syndrome,
myotonic dystrophy, porphyria, dan Prader-Willi syndrome.
• Glukosa puasa yang terganggu (toleransi glukosa terganggu) - prediabetes
• Glukosa puasa yang abnormal ( toleransi glukosa abnormal) – prediabetes
4. Gestasional
• Hiperglikemia yang terjadi selama kehamilan

MANIFESTASI ORAL
1. Xerostomia
Efek hipergliemia = jumlah urin meningkat, sehingga akan ‘menguras’ cairan ekstraseluler sekresi saliva juga jadi
berkurang  akhirnya xerostomia. Selain xerostomia, pasien diabetes juga memiliki kadar kalsium, fosfat, dan
fluoride yang rendah di saliva. Sebaliknya, kadar glukosa dalam salivanya meningkat (baik pada pasien diabetes
terkontrol & tidak terkontrol). 38
2. Penyakit Periodontal (Periodontitis)  inflamasi kronis yang melibatkan gingival & jaringan periodontal oleh
bakteri. Penyakit periodontal memiliki prevalensi & keparahan yang meningkat pada pasien diabetes tipe 1 & 2.
Diabetes mengakibatkan adanya peningkatan respon inflamasi, penurunan penyembuhan luka, dan perubahan
pembuluh darah kecil yang dapat berkontribusi terhadap periodontitis. Pasien dewasa dengan diabetes tidak terkontrol
memiliki manifestasi penyakit periodontal yang lebih parah dibandingkan dengan pasien dewasa tanpa diabetes.
Perbedaan keparahan penyakit periodontal ini tidak jauh berbeda dengan pasien diabetes terkontrol. Penyakit
periodontal sendiri adalah komplikasi dari diabetes tipe 1 & 2, tapi keterkaitannya tidak bisa dijelaskan hanya dengan
meningkatnya akumulasi plak supragingiva. Penyakit periodontal ini akan lebih parah & lebih sering ditemukan pada
pasien diabetes tidak terkontrol.
3. Meningkatnya insidensi & prevalensi karies gigi terutama pada pasien diabetes tidak terkontrol bisa jadi
abses gperiapikal
4. Infeksi bakteri, virus & jamur
Bisa berupa candidiasis atau bahkan mucormycosis, terutama pada pasien diabetes tidak terkontrol. Selain itu
proses penyembuhan luka pada pasien diabetes tidak terkontrol lebih lambat, sehingga pasien diabetes tidak terkontrol
lebih rentan terhadap infeksi rongga mulut setelah menjalani prosedur bedah. Lesi oral juga lebih umum ditemukan
pada pasien diabetes, co: candidiasis, ulser traumatic, liken planus. Bisa terjadi juga pada pasien diabetes tipe 1 karena
adanya gangguan fungsi sistem imun, jadilah tumbuh lesi-lesi tersebut.
5. Oral burning syndrome
Terjadi akibat diabetic neuropathy pasien merasa parasthesia,
tingling sensation (geli), rasa terbakar, atau rasa sakit akibat adanya
perubahan patologis yang melibatkan saraf di area rongga mulut.
Modifikasi rencana perawatan
Pasien diabetes yang menerima perawatan medis dengan baik dan
status glikemiknya terkontrol dengan baik tanpa komplikasi yang serius
dapat menerima perawatan dental apapun. Pada pasien diabetes yang
memiliki komplikasi serius,
diperlukan alternatif
perawatan dental.
MANAJEMEN DENTAL
Apabila dibutuhkan operasi bedah yang besar:
• Konsultasikan dengan internist pasien mengenai kebutuhan makanan selama periode post operatif
• Jika diabetesnya tidak terkontrol (co: GDP < 70 mg/dL atau > 200 mg/dL & adanya komorbiditas [post-MI, renal
disease, congestive heart failure, symptomatic angina, umur tua, cardiac dysrrhythmia, cerebrovascular accident] &
tekanan darah pasien > 180/110 mmHg atau kapasitas fungsional pasien < 4 METs:
o Pasien hanya boleh diberikan terapi emergensi
o Rujuk ke internist untuk evaluasi medis, manajemen penyakitnya & modifikasi faktor risiko pasien
• Kalau pasiennya simptomatik harus segera dirujuk
• Kalau pasiennya asimptomatik dirujuk juga untuk kontrol rutin
Waktu perawatan menghindari risiko-risiko komplikasi diabetes pasien idealnya segera setelah pasien habis
sarapan
Komplikasi DM yang dapat mempengaruhi manajemen dental
1. Rentan infeksi, terutama kandidiasis
2. Hipoglikemik koma
3. Koma diabetic
4. Penyakit jantung iskemik
5. Meningkatnya kemungkinan penyakit periodontal jika kontrolnya buruk
6. Xerostomia akibat poliuria & dehidrasi
7. Reaksi likenoid oral akibat obat-obatan hipoglikemi
8. Sialadenosis

Prinsip manajemen dental pasien DM:


1. Waktu perawatan untuk menghindari gangguan administrasi insulin rutin/makanan
2. Gunakan anestesi lokal untuk perawatan dental rutin jumlah adrenalin di anestesi lokal tidak berpengaruh
terhadap tingkat gula darah
3. Pasien bisa diberikan sedasi (kalau diperlukan)
4. Operasi dental dibawah anestesi umum hanya boleh dilakukan di RS, dibawah pengawasan yang expert
5. Waspada akan kompikasi diabetes
6. Hiperglikemi

KEGAWATDARURATAN PASIEN DM
Hipoglikemi akut terjadi pada pasien DM setelah penggunaan insulin yang overdosis atau pasien mencegah makan
pada waktu tertentu akibat dental treatment
Tanda & gejala:
1. Gejala-gejala sebelum terjadi = lemas, pusing, tapi responnya sedikit saat pasien dibaringkan
2. Lama kelamaan pasien semakin tidak sadar

Manejemen hipoglikemia:
1. Pasien sering sadar kalau hipoglikemi akan/sedang terjadi & bisa menginformasikan ke drg
2. Sebelum kesadaran pasien hilang, berikan tablet/bubuk glukosa atau gula (setidaknya 4 bongkahan) dalam bentuk
minuman manis, ulangi jika gejalanya belum berkurang
3. Idealnya, jika pasien hilang kesadaran berikan glukosa steril secara IV (s/d 50 mL dari larutan 50%)
4. Jika gejala pasien tidak membaik juga, segera bawa ke UGD terdekat
4.EPILEPSI
Epilepsi merupakan kumpulan kelainan yang dikarakteristikkan dengan kronik dan rekuren, perubahan
paroxysmal pada fungsi neurologic (kejang/seizures), kehilangan kesadaran, atau adanya gerakan involunteer karena
adanya aktivitas elektrik pada otak yang abnormal dan spontan.
Kejang dikarakteristikan dengan adanya discrete episodes yang rekuren dan kadang terjadi tanpa adanya provokasi,
dimana gerakan, sensasi, perilaku, persepsi dan kesadaran menjadi terganggu. Simptom dikarenakan adanya excessive
temporary neuronal discharging, yang merupakan akibat dari intracranial atau ekstrakranial.
Walaupun kejang dapat digunakan sebagai diagnosis epilepsi, tetapi tidak semua kejang menandakan adanya
epilepsi. Kejang dapat terjadi saat terjadi penyakit medis atau neurologic, termasuk stress, sleep deprivation, demam,
alcohol atau obat-obatan, dan syncope.
Klasifikasi Epilepsi
Klasifikasi epilepsi berdasarkan International League Against Epilepsy(ILAE) yaitu :
• General : tipe utama dari epilepsi yang melibatkan kedua bagian otak ketika terjadi serangan maka seseorang akan
kehilangan kesadarannya
• Parsial : termasuk didalamnya simple seizure dimana hanya melibatkan salah satu bagian otak sehingga seseorang
terjadi serangan dalam keadaan sadar tapi dengan abnormal pergerakan atau sensasi

Etiologi
Etiologi kejang pada umumnya idiopatik. Vaskular (penyakit cerebrovascular) dan kelainan perkembangan
(pembentukan cavernous), intracranial neoplasma (glioma), dan trauma kepala merupakan penyebab kasus pada
pasien dewasa. Penyebab lain seperti hipoglikemia, kecanduan obat-obatan, infeksi dan febrile illness (meningitis,
encephalitis. Terkadang kejang dapat disebabkan karena stimulus yang spesifik. Syncope dan kurangnya supply
oksigen keotak diketahui sebagai pemicu dari kejang.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari generalized tonic-clonic (grand mal seizures) adalah adanya aura warning berupa
perubahan perasaan, iritabilitas, halusinasi singkat atau sakit kepala sehingga pasien secara tiba-tiba mengalamai
“epileptic cry” yang menyebabkan kejang pada otot diafragma dan kemudian kehilangan kesadaran secara cepat.
Jatuhnya penderita ke bawah sehingga bahaya terjadinya cedera. Awalnya berupa fase tonic meliputi wajah pucat, otot
secara umum mengeras, dilatasi pupil, mata berputar ke atas atau ke sisi samping, dan kehilangan kesadaran. Fase ini
kemudian diikuti dengan aktivitas clonic yang terdiri dari tidak terkoordinasinya gerakan limbic dan kepala,
menutupnya rahang secara paksa dan kepala bergerak ke atas dan ke bawah.
Manifestasi klinis dari petit-mal seizure adalah terjadi nya tiba-tiba kehilangan kesadaran yang berlangsung
hanya beberapa detik. Sebagian besar pasien yang memiliki petit mal juga memiliki serangan grand mal.
Manifestasi klinis dari simple partial seizure adalah kejangnya bisa motorik, sensorik , atau perilaku yang
hanya melibatkan satu area dan termasuk kontraksi otot pada bagian tubuh tertentu (misalnya epilepsi motoric fokal,
dapat berupa gerakan klonik anggota badan atau kelompok otot yang biasanya pada wajah, lengan, atau kaki), selain
itu terdapat sensasi abnormal, terkadang mual, berkeringat, dan dilatasi pupil.
Manifestasi klinis dari partial complex seizure atau temporal lobe epilepsy adalah adanya gerakan yang
otomatis seperti gerakan memukul bibir dan mengunyah, perubahan personalitas dan emosi, kadang disorientasi,
bingung dan amnesia, atau kehilangan kesadaran, dan kadang terdapat halusinasi pada indra penciuman dan perasa.
Manifestasi Oral
Kompilasi oral yang paling sering terjadi adalah adanya pertumbuhan berlebih gingiva (overgrowth gingiva)
hal ini terjadi karena konsumsi phenytoin. Umumnya ini terjadi pada remaja disbanding pada umur dewasa. Injuri
traumatic seperti gigi patah, laserasi pada lidah, dan luka pada bibir juga sering terjadi pada pasien generalized tonic-
clonic seizures. Stomatitis, erythema multiforme, Stevens-Johnsons syndroms merupakan adverse effect yang jarang
terjadi untuk konsumsi obat phenytoin, valporic acid, lamotrigine, phenobarbital dan carmabazepine.
Cedera traumatic seperti gigi patah, luka pada lidah, dan bekas luka pada bibir sering terjadi pada pasien yang
mengalami generalized tonic-clonic seizures. Stomatitis, eritema multiforme, dan sindrom Steven-Johnson jarang
terjadi terkait dengan penggunaan obat fenitoin, asam valproate, lamotrigine, fenobarbital, dan carbamazepine.
Komplikasi ini lebih sering terjadi selama 8 minggu pertama pengobatan. Pada pasien epilepsy yang mengalami
pembengkakan gingiva akibat obat fenitoin dapat ditangani dengan carbamazepine atau gabapentin.
Perawatan
Pada pasien dengan kejang rekuren, perawatan dengan obat diresepkan dengan tujuan untuk mencegah
serangan lebih lanjut dan biasanya dilanjutkan sampai tidak ada kejang selama paling tidak 3 tahun. Obat dengan
perawatan yang terbaik dimulai tergantung pada jenis kejang akan dirawat. Manajemen perawatan secara medis
biasanya menggunakan terapi obat jangka panjang. Phenytoin, carbamazepine, dan valproate acid biasanya merupakan
lini pertama untuk perawatan dari epilepsi. Obat-obatan ini mengurangi frekuensi dari kejang dengan menurunkan
ambang batas kejang dari neuron korteks motoric, menurunkan kegiatan elektrik abnormal cerebral, dan membatasi
penyebaran darieksitasi abnormal foci. Dosis obat yang dipilih akan dinaikkan secara bertahap sampai kejang
terkontrol atau sampai efek samping mencegah peningkatan lebih lanjut. Apabila kejang tetap terjadi meskipun
perawatan telah diberikan dengan dosis maksimal, ditambahkan obat ke-2. Dosis obat ke-2 dinaikkan, tergantung
dengan toleransi pasien, dan obat pertama secara bertahap dihentikan. Pada perawatan partial atau secondarily
generalized tonic-clonic seizure, tingkat kesuksesan lebih tinggi dengan carbamazepine, phenytoin, atau valproic acid
dibangdingkan dengan phenobarbital atau primidone. Gabapentin, topiramate, dan lamotrigine merupakan obat
antiepileptic baru yang efektif sebagai terapi tambahan untuk pasien partial atau secondarily generalized seizure. Pada
kebanyakan pasien dengan kejang dengan tipe tunggal, kontrol kepuasan dapat dicapai dengan obat antikonvulsan
tunggal. Pilihan medikasi biasanya berkaitan dengan toleransi individual dan efisiensi, namun harus diingat bahwa
semua obat tersebut menghasilkan efek samping yang signifikan namun berbeda, termasuk diskrasia darah, anemia,
dan perubahan fungsi hati.
Dental Management
Langkah pertama dalam manajemen dental pada pasien epilepsi adalah mengidentifikasi pasien yang memiliki
gangguan melalui rekam medis dan mendiskusikannya dengan pasien dan keluarga pasien. Setelah pasien
diidentifikasi, perlu juga mengetahui riwayat kejang, jenis kejang, onset, penyebab, obat yang sedang dikonsumsi,
frekuensi kunjungan ke dokter, kualitas kontrol kejang, frekuensi, dll. Pasien epilepsi yang mengkonsumsi
antikonvulsan dapat menerima perawatan dental rutin. Pasien dengan penyakit yang tidak terkontrol perlu
antikolvusan tambahan atau sedatif.
Pasien yang mengonsumsi antikonvulsan dapat mengakibatkan manifestasi dari efek obat ini. Efek samping
dapat berupa alergi berupa ruam, eritema multiforme, atau sindrom Steven-Johnson.
Obat fenitoin, carbamazepine, dan asam valproate dapat menyebabkan penekanan sumsum tulang, leukopenia,
dan trombositopenia, meningkatkan insiden infeksi mikroba, penyembuhan tertunda, dan perdarahan gingiva serta
pasca operasi. Asam valproate dapat menurunkan agregasi platelet sehingga dapat menyebabkan perdarahan spontan
dan petechiae. Obat propoxyphene dan eritromisin tidak boleh diberikan pada pasien yang minum obat carbamazepine
karena dapat mengganggu metabolisme carbamazepine yang menyebabkan keracunan dari obat antikonvulsan.
Aspirin dan NSAID tidak boleh diberikan pada pasien dengan konsumsi asam valproate karena dapat mengurangi
agregasi platelet sehingga terjadi bleeding. Selain itu, aspirin, azoles, dan metronidazole dapat mengganggu kerja
penitoin. Tidak ada kontraindikasi dari anestesi loca, tapi pemberian lidokain dengan dosis besar secara intravena
dapat menyebabkan kejang.

• • Analgesik : dokter harus memberian kontrol nyeri yang baik untuk menghindari stress yang dapat memicu
kejang
• Antibiotik : tidak perlu antibiotik profilaksis
• Anestesi : epinefrin 1:100.000 tidak lebih dari dua ampul. Anestesi local umumnya dapat ditoleransi dengan baik
• Anxiety (kecemasan) : pasien dengan gangguan kejang yang tidak terkontrol meningkatkan resiko kejang.
Penggunaan stress reduction dapat diberikan.
• Alergi : kulit alergi (ruam, eritema, multiforme) menandakan reaksi terhadap obat anti epilepsi.
• Bleeding : kecenderungan perdarahan terjadi pada pasien dengan obat asam valproik atau carbamazepine akibat
gangguang platelet.
• Blood pressure : perlu dimonitor karena dapat meningkat atau menurun dengan timbulnya serangan kejang.
• Chair position : boleh supine pada pasien epilepsi
• Obat : biasanya pasien mengonsumsi obat antikonvulsan yang memiliki efek samping mengantuk, lambat dalam
berpikir, pusing, dan lain-lain.
• Keadaan darurat:
- Saat pasien mulai kejang  penempatan ligated mouth prop dapat dipertimbangkan dan posisi dental unit
supine
- Selama kejang  bersihkan daerah, posisikan pasien ke samping untuk menghindari aspirasi,
- Setelah kejang  periksa apakah ada cedera, lalu hentikan perawatan
Serangan kejang memiliki batas waktu, tetapi kadang-kadang serangan ini akan menimbulkan serangan
jantung, sehingga penting untuk menghubungi gawat daruratan medis.
• Follow-up : perlu dilakukan pemeriksaan kembali keadaan pasien setelah mengalami serangan. Pada pasien
setelah dilakukan operasi, disarankan pemeriksaan keadaan pasien pada hari berikutnya atau 2 hari kedepan.

Diskusi Kelompok II Skenario

Nama Mahasiswa : Widi Marsha Fadila


Nama Fasilitator :
Tanggal / Jam Diskusi :
Kesimpulan akhir scenario :

Identifikasi sasaran belajar (hal-hal yang belum tercapai berdasarkan sasaran belajar yang ada) :

CATATAN DARI DOSEN FASILITATOR :

..............................................................................................................................................................................
..............................................................................................................................................................................
..............................................................................................................................................................................
..............................................................................................................................................................................
..............................................................................................................................................................................
..............................................................................................................................................................................
..............................................................................................................................................................................
.................................

NAMA:

TANDA TANGAN:

You might also like