Professional Documents
Culture Documents
DESKRIPSI KASUS
1
BAB II
LAPORAN KASUS PORTOFOLIO
Keluhan utama
Post Kecelakaan lalu lintas dari sepeda motor
Tanda-tanda Vital
GCS: E4 V5 M6
Pupil: 2 mm/ 2 mm, Refleks cahaya +/+
TD: 115/82 mmHg
Nadi: 115 x/menit
Suhu: 36,7 ºC
Pernapasan: 20 x/menit
SpO2: 100 %
Subjektive
Pasien datang dengan keluhan post kll dari sepeda motor sesaat setelah masuk rumah
sakit.saat kejadian pasien mengendarai sepeda motor dengan kecepatan 60
km/jam.pasien jatuh dari sepeda motor dikarenakan menghindari orang yang sedang
2
menyebrang dan jatuh di jalan yang berlubang.terdapat luka robek di
dahi,mual(-),muntah(-),pusing(-),saat kecelakaan pasien menggunakan helm.
Objektive
Status generalis:
Keadaan umum : baik
Kesadaran : compos mentis
Kulit : sawo matang
Kepala, : normochepal
Rambut : warna hitam, persebaran merata, tidak mudah dicabut.
Mata : konjungtiva anemis(-/-), sklera ikterik (-/-), refleks
cahaya (+/+), oedem palpebra (-/+)
Hidung : simetris, sekret (-/-), napas cuping hidung (-)
Mulut : tidak dilakukan pemeriksaan
Telinga : normotia, discharge (-/-)
Leher : deviasi trakea (-), massa (-), JVP tidak meningkat.
Kelenjar limfe : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening submental,
submandibula, maupun aksila.
Paru :
Inspeksi:
o Statis: simetris, pelebaran ICS (-)
o Dinamis: pergerakan dinding dada saat inspirasi dan ekspirasi
simetris, retraksi intercostalis (-), retraksi supraklavikula (-),
retraksi infraklavikula (-).
Palpasi:
o Statis: simetris, nyeri tekan (-).
o Dinamis: tidak dilakukan pemeriksaan
Perkusi: Sonor di seluruh lapang paru.
Auskultasi: Vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-).
Jantung :
Inspeksi: ictus cordis tak tampak.
Palpasi: ictus cordis teraba, pulsus parasternal teraba, sternal lift
teraba, pulsus epigastrium teraba.
Perkusi: tidak dilakukan
Auskultasi: Bunyi jantung 1 dan 2 reguler, gallop (-), murmur (-),
suara S3 (-).
3
Punggung : tidak dilakukan pemeriksaan.
Abdomen :
Inspeksi: membuncit, sikatrik (-), kulit tidak tampak mengkilat.
Auskultasi: bising usus 1 x/menit.
Perkusi: timpani pada seluruh kuadran.
Palpasi: supel, nyeri tekan (-), nyeri tekan lepas (-).
o Hepar: tidak ditemukan pembesaran.
o Lien: tidak ditemukan pembesaran
Ekstremitas : edem (-), capillary refill < 2 detik di keempat ekstremitas,
akral dingin (-).
Assessment
1.Diagnosis Kerja: CKR GCS 15,VL pada dahi
2.Planning
a.MRS-> pasien menolak dan meminta pulang->edukasi dan motiovasi(+)->pasien
menandatangani penolakan rawat inap
b.wound toilet+hecting
asam mefenamat 3x1
ciprofloxacin 2x1
Wong Baker Faces Pain Rating Scale
8 (Sangat mengganggu)
Numeric Rating Scale
8 (Nyeri sedang)
2.3 PROGNOSIS
Quo Ad Vitam : dubia ad bonam
Quo Ad Fungtionam : dubia ad bonam
Quo Ad Sanationam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
4
Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan Pasal 45 UU RI No.29 Tahun
2004 Tentang Praktik Kedokteran serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun
2008. maka Informed consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh
pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai
tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.4
3.2 TUJUAN PELAKSANAAN INFORMED CONSENT
Dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan medis (pasien),
maka pelaksanaan “informed consent”, bertujuan untuk melindungi pengguna jasa tindakan medis
(pasien) secara hukum dari segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun
tindakan pelaksana jasa tindakan medis yang sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang
bertentangan dengan hak asasi pasien dan standar profesi medis, serta penyalahgunaan alat canggih
yang memerlukan biaya tinggi atau “over utilization” yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada
alasan medisnya.3
Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari tuntutan-tuntutan
pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tak terduga dan bersifat negatif,
misalnya terhadap “risk of treatment” yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter telah bertindak
hati-hati dan teliti serta sesuai dengan standar profesi medik. Sepanjang hal itu terjadi dalam batas-
batas tertentu, maka tidak dapat dipersalahkan, kecuali jika melakukan kesalahan besar karena
kelalaian (negligence) atau karena ketidaktahuan (ignorancy) yang sebenarnya tidak akan dilakukan
demikian oleh teman sejawat lainnya. Perlunya memberi inform consent pada pasien adalah untuk: 5
a) Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuan
pasien; 5
b) Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang tidak terduga dan
bersifat negatif, misalnya terhadap risk of treatment yang tak mungkin dihindarkan walaupun
dokter sudah mengusahakan semaksimal mungkin dan bertindak dengan sangat hati-hati dan
teliti.5
5
Dalam keadaan gawat darurat Informed consent tetap merupakan hal yang paling penting
walaupun prioritasnya diakui paling bawah. Prioritas yang paling utama adalah tindakan
menyelamatkan nyawa. Walaupun tetap penting, namun Informed consent tidak boleh
menjadi penghalang atau penghambat bagi pelaksanaan emergency care sebab dalam keadaan
kritis dimana dokter berpacu dengan maut, ia tidak mempunyai cukup waktu untuk
menjelaskan sampai pasien benar-benar menyadari kondisi dan kebutuhannya serta
memberikan keputusannya. Dokter juga tidak mempunyai banyak waktu untuk menunggu
kedatangan keluarga pasien. Kalaupun keluarga pasien telah hadir dan kemudian tidak
menyetujui tindakan dokter, maka berdasarkan doctrine of necessity, dokter tetap harus
melakukan tindakan medik. Hal ini dijabarkan dalam PerMenKes Nomor
585/PerMenKes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik, bahwa dalam keadaan
emergency tidak diperlukan Informed consent. 8
Ketiadaan informed consent dapat menyebabkan tindakan malpraktek dokter, khususnya
bila terjadi kerugian atau intervensi terhadap tubuh pasiennya. Hukum yang umum diberbagai
Negara menyatakan bahwa akibat dari ketiadaan informed consent setara dengan
kelalaian/keteledoran. Akan tetapi, dalam beberapa hal, ketiadaan informed consent tersebut
setara dengan perbuatan kesengajaan, sehingga derajat kesalahan dokter pelaku tindakan
tersebut lebih tinggi. Tindakan malpraktek dokter yang dianggap setara dengan kesengajaan
adalah sebagai berikut :3
1. Pasien sebelumnya menyatakan tidak setuju terhadap tindakan dokter, tetapi dokter
tetap melakukan tindakan tersebut.
2. Jika dokter dengan sengaja melakukan tindakan misleading tentang risiko dan akibat
dari tindakan medis yang diambilnya.
3. Jika dokter dengan sengaja menyembunyikan risiko dan akibat dari tindakan medis
yang diambilnya.
4. Informed consent diberikan terhadap prosedur medis yang berbeda secara substansial dengan
yang dilakukan oleh dokter
1. Implied Consent
Pasien menyetujui penjelasan yang diberikan oleh dokter atau suatu tindakan oleh
dokter dengan isyarat. Sebagai contoh, ketika prosedur pengambilan darah rutin untuk
pemeriksaan, pasien memberikan implied consent dengan hanya menghulurkan tangan untuk
pengambilan darah.2
2. Explicit / Express Consent
6
Express atau explicit consent adalah dimana patient dengan jelas menyatakan
persetujuan untuk suatu tindakan medis. Persetujuan ini bisa dalam bentuk verbal atau
tulisan.3,9
a) Verbal consent adalah suatu bentuk dari express consent dimana pasien menyetujui tindakan
medis dokter secara verbal.2,9
b) Written consent adalah dimana seorang pasien menyetujui tindakan medis secara bertulis
pada lembar inform consent yang telah disediakan.2
Persetujuan tertulis dalam suatu tindakan medis dibutuhkan saat : 2
a. Bila tindakan terapeutik bersifat kompleks atau menyangkut resiko atau efek samping yang
bermakna.
b. Bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka terapi.
c. Bila tindakan kedokteran tersebut memiliki dampak yang bermakna bagi kedudukan
kepegawaian atau kehidupan pribadi dan sosial pasien.
d. Bila tindakan yang dilakukan adalah bagian dari suatu penelitian.
Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan dimana penjelasan tentang tindakan kedokteran yang
dilakukan meliputi :1
a. Tujuan tindakan kedokteran yang dapat berupa tujuan preventif, diagnostik, terapeutik,
ataupun rehabilitative.
b. Tata cara pelaksanaan tindakan apa yang akan dialami pasien selama dan sesudah
tindakan, serta efek samping atau ketidaknyamanan yang mungkin terjadi.
7
Serta alternatif tindakan lain dan risikonya.2
a. Alternatif tindakan lain berikut kelebihan dan kekurangannya dibandingkan dengan
tindakan yang direncanakan.
b. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi pada masing-masing alternatif tindakan.
c. Perluasan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi keadaan darurat akibat
risiko dan komplikasi tersebut atau keadaan tak terduga lainnya.
Penjelasan tentang risiko dan komplikasi tindakan kedokteran adalah semua risiko dan
komplikasi yang dapat terjadi mengikuti tindakan kedokteran yang dilakukan, kecuali :
a. Risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan umum.
b. Risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau yang dampaknya sangat ringan.
c. Risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya.
a. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan dan penjelasan tentang prognosis meliputi :
b. Pronosis tentang hidup matinya (ad vitam)
c. Prognosis tentang fungsinya (ad functionam)
d. Prognosis tentang kesembuhan (ad sanationam)
8
2. Ancaman terhadap kesehatan masyarakat
3. Pelepasan hak memberikan consent (waiver)
4. Clinical privilege (penggunaan clinical privilege hanya dapat dilakukan pada pasien yang
melepaskan haknya memberikan consent.
5. Pasien yang tidak kompeten dalam memberikan consent.
9
tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis
dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan
pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.4
5. Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa “informed
consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien
dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang
seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari informed
consent ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi
sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti
dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih
mendalam lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.8
Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur dalam:8
1. Sesuai dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia, terdapat kewajiban umum yang harus dipenuhi oleh
seorang dokter terutama pada pasal 5, dimana tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan
daya tahan psikis maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah
memperoleh persetujuan pasien.2
2. Berdasarkan UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 45 dan Pasal 25 huruf d dan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1419/Menkes/Per/X/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik
Dokter dan Dokter Gigi Pasal 17 bahwa :11
Untuk menjalin komunikasi dua arah yang efektif dalam rangka memperoleh persetujuan tindakan
medik, baik dokter atau dokter gigi maupun pasien mempunyai hak untuk didengar dan kewajiban
untuk saling member informasi.
Setelah menerima informasi yang cukup dari dokter atau dokter gigi dan memahami maknanya (well
informed), pasien diharapkan dapat mengambil keputusan bagi dirinya sendiri (the right to self
determination) untuk menyetujui (consent) atau menolah (refuse) tindakan medik yang akan
dilakukan padanya.
Setiap tindakan medik yang akan dilakukan kepada pasien, mensyaratkan persetujuan (otorisasi) dari
yang bersangkutan. Dalam kondisi dimana pasien tidak dapat memberikan persetujuan secara pribadi
(dibawah umur atau keadaan fisik/mental tidak memungkinkan), maka persetujuan dapat diberikan
oleh keluarga yang berwenang (suami/istri, bapak/ibu, anak atau saudara kandung) atau wali atau
pengampunya.
3. Sebagai suatu perbuatan hukum, persetujuan tindakan medik tentu harus dilatarbelakangi oleh sektor
yuridis agar dapat berlaku dan sesuai dengan aturanhukum yang berlaku.
Di Indonesia, yang menjadi dasar hukum bagi suatu transaksi persetujuan tindakan medik adalah
sebagai berikut:11
A. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
B. Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran
10
Pasal 45
(1). Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi
terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2). Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan
secara lengkap.
(3). Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :
a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. Alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
(1). Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun
lisan.
(2). Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus
diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan.
(3). Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan
Peraturan Menteri.
C. UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
(1). Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai
dengan profesinya.
(2). Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi
dan menghormati hak pasien.
(3). Ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
D. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1419/Menkes/Per/X/2005 tentang
penyelenggaraan praktik dokter dan dokter gigi:
Pasal 13 ayat (1) yang berbunyi dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktek kedokteran
didasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya pemeliharaan
kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan
kesehatan.
Pasal 17 ayat (1) : Dokter atau dokter gigi dalam memberikan pelayanan tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi terlebih dahulu harus memberikan penjelasan kepada pasien tentang tindakan
kedokteran yang akan dilakukan.
Ayat (2) : Tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud ayat (1) harus mendapat persetujuan pasien.
Ayat (3) : Pemberian penjelasan dan persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan.
E. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medik
F. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 749a/Men.Kes/Per/XII/1989 tentang Rekam
Medik/ Medical Record
G. Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1951 tentang Kesehatan Kerja.
11
H. Surat Keputusan Dirjen Yan Dik No. HK.00.06.6.5.1866 Tahun 1999 tentang Pedoman Persetujuan
Tindakan Medik ditetapkan tanggal 21 April 1999 (selanjutnya disebut Pedoman Pertindik)
I. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.290/Menkes/Per/III/ 2008 tentang persetujuan tindakan
Kedokteran dinyatakan dalam pasal 1, 2, dan 3 yaitu:
Pasal 1
1. Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga
terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.
2. Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung, saudara-
saudara kandung atau pengampunya.
3. Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang selanjutnya disebut tindakan kedokteran adalah
suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan oleh
dokter atau dokter gigi terhadap pasien.
4. Tindakan Invasif adalah suatu tindakan medis yang langsung dapat mempengaruhi keutuhan
jaringan tubuh pasien.
5. Tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi adalah tindakan medis yang berdasarkan
tingkat probabilitas tertentu, dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan.
6. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi spesialis lulusan
pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh
pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
7. Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut peraturan perundang-
undangan atau telah/pernah menikah, tidak
8. terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami kemunduran
perkembangan (retardasi) mental dan tidak mengalami penyakit mental sehingga mampu
membuatkeputusan secara bebas.
Pasal 2
1. Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara tertulis maupun lisan.
3. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan.
Pasal 3
1. Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh persetujuan
tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
2. Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat diberikan dengan persetujuan lisan.
3. Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam bentuk pernyataan
yang tertuang dalam formulir khusus yang dibuat untuk itu.
4. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan dalam bentuk ucapan setuju
atau bentuk gerakan menganggukkan kepala yang dapat diartikan sebagai ucapan setuju.
5. Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap
meragukan, maka dapat dimintakan persetujuan tertulis.
Peraturan Informed Consent apabila dijalankan dengan baik antara dokter dan pasien akan sama-sama
terlindungi secara Hukum. Tetapi apabila terdapat perbuatan diluar peraturan yang sudah dibuat tentu
dianggap melanggar Hukum. Dalam pelanggaran Informed Consent telah diatur dalam pasal 19
12
Permenkes No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, dinyatakan terhadap
dokter yang melakukan tindakan tanpa Informed Consent dapat dikenakan sanksi berupa teguran
lisan, teguran tertulis sampai dengan pencabutan Surat Ijin Praktik
Jika dilihat melalui hukum perdata, maka medcal informed consent adalah informasi kesehatan yang
diberikan kepada pasien (informed) untuk melakukan sebuat tindakan medis dan diperlukan
persetujuan pasien untuk melakukan tindakan medis tersebut (consent). dalam pasal 1320
KUHPerdata, informed sebagai bagian dari informed consent adalah hal yang diperjanjikan dalam
persetujuan tindakan medis itu sendiri karena dalam formulir persetujuan tindakan medis misalnya,
isinya sangat terbatas, yaitu hanya persetujuan pasien terhadap suatu tindakan medis tanpa dijelaskan
lebih mendetail bagaimana prosedurnya, efek samping, alternatif tindakan lain dan hal lainnya. Detail
mengenai tindakan medis tersebut berada pada informasi yang disampaikan oleh dokter tersebut.
Informasi kesehatan tersebut tidak diberikan tertulis dalam formulir persetujuan tindakan medis
karena tiap-tiap pasien, penjelasan mengenai kesehatan dan tindakan medisnya pasti berbeda,
walaupun penyakitnya sama. Perbedaan penjelasan tersebut bisa disebabkan oleh faktor usia,
ketahanan tubuh, parah tidaknya penyakit dan lain-lain.
Consent dalam medical informed consent merupakan persetujuan yang diberikan oleh pasien
setelah diberikan informasi kesehatan oleh dokter. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata, ada 4 syarat
sahnya perjanjian yaitu: kesepakatan, kecakapan untuk membuat perikatan, adanya hal tertentu yang
diperjanjikan dan sebab yang halal. Dalam informed consent sudah terpenuhi seluruh syarat sahnya
perjanjian. Informed consent sendiri sudah memenuhi syarat kesepakatan dan hal tertentu, kemudian
suatu tindakan medis harus dilakukan dengan tidak melanggar hukum yang ada dan memnuhi syarat
sebab yang halal. Syarat terakhir, pihak pihak yang melakukan perjanjian harus cakap dapat terpenuhi
dalam perjanjian medis karena bagi pihak-pihak yang tidak cakap dapat diwakili oleh keluarganya
dalam memberikan persetujuan tindakan medis.
13
c. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang
lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;
d. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu
meninggal dunia;
e. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain
yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
f. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran
gigi.
Terhadap dokter yang melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien atau keluarganya
Seorang tenaga kesehatan yang melakukan tindakan medik terhadap pasien tanpa persetujuan pasien
atau keluarganya, dapat dianggap melakukan penganiayaan yang sanksinya diatur dalam pasal 351
KUHP. Yang berbunyi :
1. Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
14
2. Jika penganiayaan itu berakibat luka berat, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama
lima tahun.
3. Jika perbuatan itu berakibat matinya orang, maka yang bersalah dipidana dengan pidana penjara
paling lama tujuh tahun.
4. Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja.
5. Percobaan melakukan kejahatan itu tidak dipidana.
BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik,maka pasien mengalami CKR GCS
15,VL pada dahi. Cedera kepala ringan adalah hilangnya fungsi neurology atau menurunnya
kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya.
Cedera kepala ringan adalah trauma kepala dengan GCS: 15 (sadar penuh) tidak ada kehilangan
kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala, hematoma, laserasi dan abrasi .Dengan keadaan ini
pasien disarankan untuk dilakukan rawat inap.Pasien menolak tindakan tersebut dengan alasan
anaknya tidak ada yang mengurus di rumah.Untuk hal tersebut pasien diminta untuk
menandatangani surat penolakan tindakan rawat inap,meskipun sudah dijelaskan secara mendetail
mengenai:
1.Penjelasan lengkap mengenai penyakit pasien, tindakan medis apa saja yang diperlukan
untuk mengenai penyakit pasien tersebut.
2.deskripsi tentang efek-efek samping dan akibat-akibat yang tidak diinginkan yang mungkin
timbul.
15
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
1. Howard, B., Dickler, MD., David, K., Susan, E., Bernard, S., et all. “Universal Use of Short
and Readable Informed Consent Documents: How Do We Get There? Association of
American Medical Colleges.” http://www.aamc.org/research/clinicalresearch/hdickler-
mtgsumrpt53007.pdf, diakses 15 November 2009
2. Wakenfield John, et al.. Queensland Health: Guide to Informed Decision-Making in
Healthcare. Centre for Healthcare Improvement. 1 st Edition. Queensland. Queensland
Government. February 2012. p.1-34, 45-48, 55-59
3. Escobodo Crisol, Guerrero Javier, Lujan Gilbert, et. al. Ethical Issues with Informed Consent.
University of Texas. Texas. Available from http:// www. ethicalissues-pdf.com.
4. Bab XX-Penganiayaan. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Indonesia.
5. Persetujuan Tindakan Kedokteran. Dalam: Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 290/MENKES/III/2008. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2008.
6. Noor M Azis. Laporan Penelitian Hukum terntang Hubungan Tenaga Medik, Rumah Sakit
dan Pasien. Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI. Jakarta.
November 2010.
7. Hicks Lorna. Informed Consent. Duke University. Available from http://
informconsent_pdf.com.
8. Organisasi dan Tata Kerja Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dan Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia di Tingkat Provinsi. Dalam: Peraturan Konsil
Kodekteran Indonesia Nomor 15/KKI/PER/VIII/2006. Menteri Kesehatan Republik
Indonesia. 2006.
9. The Process of Obtaining Inform Consent. Research Ethics Review Committee. World Health
Organization. Available: http://www.who.int/rpc/research_ethics .
10. Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksana Kode Etik Indonesia. Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia. Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta.
11. Praktik Kedokteran. Dalam : Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004.
Dewan Perwakilan Republik Indonesia. 2004.
16
17