You are on page 1of 7

ATONIA UTERI

Pengertian Atonia Uteri


Adalah pendarahan obstetri yang disebabkan oleh kegagalan uterus untuk berkontraksi secara
memadai setelah kelahiran (Cuningham, 2013:415).
Menurut JNPK-KR (2008), Definisi atonia uteri adalah suatu kondisi dimana myometrium tidak
dapat berkontraksi dan keluarnya darah dari tempat implantasi plasenta dan menjadi tidak
terkendali.
Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum dini (50%), dan merupakan
alasan paling sering untuk melakukan histerektomi postpartum. Kontraksi uterus merupakan
mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan setelah melahirkan.

Etiologi

Overdistensi Uterus merupakan faktor resiko yang paling sering mengakibatkan terjadinya atonia
uteri. Overdistensi uterus dapat disebabkan oleh kehamilan ganda, janin makrosomia,
polihidramnion, abnormalitas janin, kelainan struktur uterus, atau distensi akibat akumulasi
darah di uterus baik sebelum mapun sesudah plasenta lahir.
Pimpinan kala III yang salah, dengan memijat-mijat dan mendorong uterus. Lemahnya kontraksi
miometrium merupakan akibat dari kelelahan karena persalinan lama atau persalinan yang
memerlukan tenaga yang banyak, umur yang terlalu muda dan terlalu tua, terutama apabila
diberikan stimulasi pada ibu. Selain itu pengaruh obat-obatan yang dapat mengakibatkan inhibisi
kontraksi seperti: anastesi yang terhalogenisasi, nitrat, obat-obatan anti inflamasi nonsteroid,
magnesium sufat dan nipedipin.
Ibu dengan keadaan umum yang buruk, anemis, atau menderita penyakit yang
menahun.Penyebab lain yaitu: plasenta letak rendah, partus lama (terlantar) toksin bakteri
(korioamnionitis, endometritis, septikemia), hipoksia akibat hipoperfusi atau uterus couvelaire
pada abruptio plasenta.

patofisiologi
Perdarahan obstetri sering disebabkan oleh kegagalan uterus untuk berkontraksi secara
memadai setelah pelahiran. Pada banyak kasus, perdarahan postpartum dapat diperkirakan jauh
sebelum pelahiran. Contoh-contoh ketika trauma dapat menyebabkan perdarahan postpartum
anatara lain pelahiran janin besar, pelahiran dengan forseps tengah, rotasi forseps, setiap
manipulasi intrauterus, dan mungkin persalinan pervaginam setelah seksio sesarea (VBAC) atau
insisi uterus lainnya. Atonia uteri yang menyebabkan perdarahan dapat diperkirakan apabila
digunakan zat-zat anestetik berhalogen dalam konsentrasi tinggi yang menyebabkan relaksasi
uterus (Gilstrap dkk, 1987).
Uterus yang mengalami overdistensi besar kemungkinan besar mengalami hipotonia
setelah persalinan. Dengan demikian, wanita dengan janin besar, janin multipel, atau hidramnion
rentan terhadap perdarahan akibat atonia uteri. Kehilangan darah pada persalinan kembar,
sebagai contoh, rata-rata hampir 1000 ml dan mungkin jauh lebih banyak (pritchard, 1965).
Wanita yang persalinannya ditandai dengan his yang terlalu kuat atau tidak efektif juga dengan
kemuungkinan mengalami perdarahan berlebihan akibat atonia uteri setelah melahirkan.
Demikian juga, persalinan yang dipicu atau dipacu dengan oksitosin lebih rentan
mengalami atonia uteri dan perdarahan postpartum. Wanita dengan paritas tinggi mungkin
berisiko besar mengalami atonia uteri. Fucs dkk. (1985) melaporkan hasil akhir pada hampir
5800 wanita para 7 atau lebih. Mereka melaporkan bahwa insiden perdarahan postpartum sebesar
2,7 persen pada para wanita ini meningkat empat kali lipat dibandingkan dengan populasi
obstetri umum. Babinszki dkk. (1999) melaporkan insiden perdarahan postpartum sebesar 0,3
persen pada wanita dengan paritas rendah, tetapi 1,9 persen pada mereka dengan para 4 atau
lebih.
Risiko lain adalah wanita yang bersangkutan perbah mengalami perdarahan postpartum.
Akhirnya, kesalahan penatalaksanaan persalinan kala tiga berupa upaya untuk mempercepat
pelahiran plasenta selain dari pada mengeluarkannya secara manual. Pemijatan dan penekanan
secara terus menerus terhadap uterus yang sudah berkontraksi dapat mengganggu mekanisme
fisiologis pelepasan plasenta sehingga pemisahan plasenta tidak sempurna dan pengeluaran
darah meningkat.

Faktor Predisposisi
Perdarahan oleh karena atonia uteri dapat dicegah dengan:
1) melakukan secara rutin manajemen aktif kala III pada semua wanita yang bersalin karena
hal ini dapat menurunkan insidens perdarahan yang pasca persalinan akibat atonia uteri.
2) Pemberian misoprostol peroral 2-3 tablet (400-600 µg) segera setelah bayi lahir.
Beberapa faktor predisposisi terjadinya atonia uteri adalah:
1) regangan rahim yang berlebihan karena kehamilan gemeli, polihidramnion, atau anak
teralu besar.
2) Kelelahan karena persalinan lama atau persalinan kasep.
3) Persalinan grande-multipara.
4) Ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemis atau menderita penyakit menahun.
5) Mioma uteri yangmenggangu kontraksi rahim.
6) Infeksi intrauterin (korioamnionitis).
7) Ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya.
Tanda dan Gejala Atonia Uteri
1. perdarahan pervaginam
Perdarahan yang sangat banyak dan darah tidak merembes. Peristiwa sering terjadi pada
kondisi ini adalah darah keluar disertai gumpalan disebabkan tromboplastin sudah tidak
mampu lagi sebagai anti pembeku darah.
2. konsistensi rahim lunak
Gejala ini merupakan gejala terpenting/khas atonia dan yang membedakan atonia dengan
penyebab perdarahan yang lainnya.
3. fundus uteri naik.
4. terdapat tanda-tanda syok
a. nadi cepat dan lemah (110 kali/ menit atau lebih)
b. tekanan darah sangat rendah : tekanan sistolik < 90 mmHg
c. pucat
d. keriangat/ kulit terasa dingin dan lembap
e. pernafasan cepat frekuensi30 kali/ menit atau lebih
f. gelisah, binggung atau kehilangan kesadaran
g. urine yang sedikit ( < 30 cc/ jam)
Manifestasi Klinis
1. Uterus tidak berkontraksi dan lembek.
2. Perdarahan segera setelah anak lahir (post partum primer)
Gejala klinis umum yang terjadi ialah kehhilangan darah dalam jumlah banyak > 500 ml
), nadi lemah, pucat, lochea berwarna merah, haus, pusing, gelisah, letih dan dapat terjadi
syol hipovolemik, tekanan darah rendah, ekstremitas dingin, mual.
Gejala klinis berdasarkan penyebab :
a. Atonia Uteri
Gejala yang selalu ada : uterus tidak berkontraksi dan lembek dan perdarahan segera
setelah anak lahir ( perdarahan post partum primer ).
Perdarahan postpartum dapat terjadi karena terleppasnya sebagian plasenta dari rahim
dan sebagian lagi belum ; karena perlukaan pada jalan lahir atau karena atonia uteri.
Atonia uteri merupakan sebab terpenting perdarahan postpartum.
Atonia uteri dapat terjadi karena proses persalinan yang lama ; pembesaran rahim
yang berlebihan pada waktu hamil seperti pada hamil kembar atau janin besar ;
persalinan yang serin ( multiparitas ) atau anestesi yang dalam. Atonia uteri juga
dapat terjadi bila ada usaha mengeluarkan plasenta dan mendorng rahim ke bawah
sementara plasenta belum epas dari rahim.
Perdarahan yang banyak dalam waktu pendek dapat segera diketahui. Tapi bila ada
perdarahan sedikit dalam waktu lama tanpa disadari penderita telah kehilangan
banyak darah sebelum tampak pucat dan gejala lainnya. Pada perdarahan atonia uteri,
rahim membesar dan lembek.
Tearapi terbaik adalah pencegahan. Anemia pada kehamilan harus diobati karena
perdarahan yang normal pun dapat membahayakan seorang ibu yang telah mengalami
anemia. Bila sebelumnya pernah mengalami perdarahan postpartum, persalinan
berikutnya harus di rumah sakit. Pada persalinan yang lama diupayakan agar jangan
sampai terlalu lelah. Rahim jangan dipijat dan didorong kebawah sebelum plasenta
lepas dari dinding rahim.
Pada perdarahan yang timbul setelah janin lahir dilakukan supaya penghentian
perdarahan sepecap mungkin dan mengatasi akibat perdarahan. Pada perdarahan yang
disebabkan atonia uteri dilakukan massage rahim dan suntikan ergometrin ke dalam
pembuluh balik. Bila tidak memberi hasil yang diharapkan dalam waktu singkat
dilakukan kompresi baimanual pada rahim, bila perlu dilakukan tamponade utero
vaginal, yaitu dimasukkan tampon kasa ke dalam rahim sampai rongga rahim terisi
penuh. Pada perdarahan postpartum ada kemungkinan dilakukan pengikatan
pembuluh nadi yang mensuplai darah ke rahim atau pengangkatan rahim.
Penatalaksanaan
1. kenali dan tegakan diagnosis kerja atonia uteri
2. masase uterus, berikan oksitosin dan ergometrin intravena, bila ada perbaikan dan
perdarahan berhenti, oksitosin dilanjutkan perinfus.
3. Bila tidak ada perbaikan dilakukan kompresi bimanual, dan kemudian dipasang tampon
uterovaginal padat. Kalau cara ini berhasil, dipertahankan selama 24 jam.
4. Kompresi bimanual eksternal, menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan
saling mendekatkan kedua belah telapak tangan yang melingkupi uterus. Pantau aliran
darah yang keluar. Bila perdarahan berkurang, kompresi diteruskan, pertahankan hingga
uterus dapat kembali berkontraksi. Bila belum berhasil dilakukan kompresi bimanual
internal.
5. Kompresi bimanual internal, uterus ditekan diantara telapak tangan pada dinding
abdomen dan tinju tangan dalam vagina untuk menjepit pembuluh darah didalam
miometrium (sebagai pengganti mekanisme kontraksi). Perhatikan perdarahan yang
terjadi. Pertahankan kondisi ini bla perdarahan berkurang atau berhenti, tunggu hingga
uterus berkontraksi kembali. Apabia perdarahan tetap terjadi, coba kompresi aorta
abdominalis.
6. Kompresi aorta abdominalis, raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri,
pertahankan posisi tersebut, genggam tangan kanan kemuadian tekankan pada daerah
umbilikus, tegak lurus dengan sumbu badan, hingga mencapai kolumna vertebralis.
Penekanan yang tepat akan menghentikan atau sangat mengurangi denyut arteri
femoralis. Lihat hasil kompresi dengan memperhatikan perdarahan yang terjadi.
7. Dalam keadaan uterus tidak respon terhadap oksitosin/ergometrin, bisa dicoba
prostaglandin F2a (250 mg) secara intramuskular atau langsung pada miometrium
(transabdominal). Bila perlu pemberiannya dapat diulang dalam 5 menit dan tiap 2 atau 3
jam sesudahnya.
8. Laparotomi dilakukan bila uterus tapi lembek dan perdarahan yang terjadi tetap>200
ml/jam. Tujuan laparotomi adalah meligasi arteri uterina atau hipogastrik (khusus untuk
penderita yang belum punya anak atau muda sekali).
9. Bila tidak berhasil, histerektomi adalah langkah terakhir.
Pencegahan Atonia Uteri
Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan pospartum lebih
dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai terapi. Menejemen aktif
kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi
darah.

Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu onsetnya yang cepat, dan
tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi tetani seperti ergometrin. Pemberian
oksitosin paling bermanfaat untuk mencegah atonia uteri. Pada manajemen kala III harus
dilakukan pemberian oksitosin setelah bayi lahir. Aktif protokol yaitu pemberian 10 unit IM, 5
unit IV bolus atau 10-20 unit per liter IV drip 100-150 cc/jam.

Analog sintetik oksitosin, yaitu karbetosin, saat ini sedang diteliti sebagai uterotonika untuk
mencegah dan mengatasi perdarahan pospartum dini. Karbetosin merupakan obat long-acting
dan onset kerjanya cepat, mempunyai waktu paruh 40 menit dibandingkan oksitosin 4-10 menit.
Penelitian di Canada membandingkan antara pemberian karbetosin bolus IV dengan oksitosin
drip pada pasien yang dilakukan operasi sesar. Karbetosin ternyata lebih efektif dibanding
oksitosin.

1. Oksitosin
Jika uterus tidak keras, diindikasikan pemijatan fundus kuat-kuat. Dua puluh unit (2
ampul) oksitosin dalam 1000 ml ringer laktat atau salin normal umumnya efektif jika
diberikan secara intravena dengankecepatan sekitar 10 ml/mnt (200 Mu oksitosin per
menit) dibarengi dengan pemijatan uterus. Oksitosin jangan diberikan sebagai dosisi
bolus yang tidak diencerkan karena
2. Turunan Ergot
Jika oksitosin yang disalurkan secara cepat melalui infus terbukti tidak efektif, sebagian
dokter memberikan metilergonovin (Mathergine), 0,2 mg, secara intramuskulus atau
intravena. Obat ini dapat merangsang uterus untuk berkontraksi menghentikan
perdarahan. Jika diberikan secara intravena, metilergonovin dapat menyebabkan
hipertensi yang berbahaya, teutama pada wanita preeklamsia.
3. prostaglandin
Turunan 15 methyl dari prostaglandin F2α (Hemabate) juga dapat digunakan untuk
mengatasi atonia uterus. Dosis awal yang dianjurkan adalah 250 µg (0,25 mg) secara
intramuskulus, dan hal ini diulangi jika diperlukan dengan interval 15 hingga 90 menit
hingga maksimum 8 dosis. Selain kontriksi vaskuler dan saluran napas paru, efek
samping lain adalah diare, hipertensi, muntah, demam, flushing dan takikardi.
4. Perdarahan yang tidak responsif terhadap oksitosik
Perdarahan yang berlanjut setelah beberapa kali pemberian obat oksitosik mungkin
berasal dari laserasi jalan lahir, termasuk dari pada beberapa kasus ruptur uterus. Karena
itu, jika perdarahan menetap, jangan membuang-buang waktu dengnan melakukan upaya-
upaya acak untk menghentikan perdarahan, tetapi harus segera dimulai suatau
penatalaksanaan seperti di Tabel 56-2. Dengan transfusi dan kompresi uterus dengan
tangan serta oksitosin intravena, jarang diperlukan tindakan tambahan. Bila atonia tidak
teratasi, mungkin diperlukan histerektomi sebagai tindakan untuk menyelamatkan nyawa.
Cara lain yang mungkin berhasil adalah ligasi arteri uterina, ligasi arteri illiaka interna,
atau embolisasi angiografik.
Ligasi Arteri Iliaka Interna
Pengikatan arteri iliaka interna kadang-kadang mengurangi secara bermakna perdarahan
akibat atonia uterus. Operasii ini lebih mudah dilakukan jika insisi digaris tengah
abdomen diperluas keatas melewati umbilikus. Ligasi arteri iliaka interna mengurangi
tekanan nadi di arteri sebelah distal dari ikatan sehingga mengubah sistem tekanan arteri
menjadi tekanan yang mendekati tekanan di sirkulasi vena yang lebih mudah dihentikan
melalui pembentukan bekuan biasa. Ligasi bilateral kedua arteri tampaknya tidak secara
serius menggangu kemampuan reproduksi selanjutnya. (Leveno, Kennethj 2009 ).

You might also like