You are on page 1of 4

Pangan dan gizi merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam

pembangunan. Komponen ini memberikan kontribusi dalam mewujudkan sumber daya


manusia yang berkualitas sehingga mampu berperan secara optimal dalam pembangunan
dan hal ini terkait langsung dengan dengan upaya pemenuhan kesejahteraan masyarakat.
Karena peranan ini sangat penting, sehingga pangan dan gizi dapat diibaratkan sebagai
kebutuhan dan modal dasar pembangunan serta menjadi indikator untuk melihat
keberhasilan pembangunan. (http://gizi.depkes.go.id/ayo-dukung-gerakan-nasional-sadar-
gizi)
Salah satu indikator kualitas sumber daya manusia adalah keadaan gizi yang baik,
dimana kebutuhan dasar dapat tercukupi baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya.
Salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi adalah pengetahuan pangan dan gizi,
selain faktor kesediaan pangan, produksi pangan, dan pengeluaran pangan. Sehingga
diperlukan pendidikan gizi secara formal dan non formal. Pengetahuan gizi pada setiap
individu dinilai menjadi salah satu faktor yang penting dalam konsumsi pangan dan status
gizi. Hal tersebut berhubungan dengan pemberian menu, pemilihan bahan makanan,
pemilihan menu, pengolahan pangan, dan menentukan pola konsumsi pangan yang pada
akhirnya akan berpengaruh pada keadaan gizi individu yang bersangkutan.
(http://gizi.depkes.go.id/ayo-dukung-gerakan-nasional-sadar-gizi)
Penanganan kasus gizi buruk selama ini sering mengalami kendala dari aspek
partisipasi masyarakat. Masyarakat dianggap kurang aktif dalam memeriksakan
kesehatan anak akibat ketidaktahuan mereka tentang gizi dan penyakit gizi buruk.
Masyarakat selama ini tidak mengenal dengan baik apa yang dimaksud dengan gizi
buruk, apakah yang anaknya menderita gizi buruk atau tidak karena konsepsi sehat dan
sakit yang mereka anut berbeda dengan konsep sehat yang diberlakukan pemerintah dan
aktor-aktor kesehatan. Dalam hal ini yang mengetahui dengan pasti apakah seseorang
menderita kekurangan gizi adalah petugas kesehatan (Foster, G.M. & Anderson, B. G.
1986, Antropologi Kesehatan, UI Press, Jakarta).
Manusia tidak dapat dilepaskan dari hakikatnya sebagai makhluk kultural. Setiap
pengetahuan dan perilaku masyarakat tidak dapat dilepaskan dari pengaruh budaya
setempat, termasuk dalam bidang kesehatan. Menurut Foster dan Anderson, sistem
kesehatan adalah salah satu hasil bentukan subsistem sosial budaya, medis, dan
lingkungan. Sistem kesehatan merupakan salah satu strategi yang dilakukan untuk
beradaptasi terhadap perubahan lingkungan dan ancaman penyakit yang didasari oleh
kepercayaan yang dibangun oleh budaya. Sehingga kondisi seseorang dapat disebut sehat
atau sakit apabila sesuai dengan konteks budaya tersebut (Foster, G.M. & Anderson, B.
G. 1986, Antropologi Kesehatan, UI Press, Jakarta).
Penyakit dipahami sebagai sesuatu yang berasal dari luar tubuh manusia sehingga
menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan. Anak yang menderita gizi buruk tidak
mengalami gangguan dari luar tubuh mereka. Anak yang kedapatan mengalami
keterlambatan pertumbuhan misalnya, badan yang kurus dan pendek, dianggap sebagai
dampak dari faktor genetika. Apabila orang tua memiliki bentuk tubuh yang kurus dan
pendek, maka sifat ini akan menurun kepada anaknya. Orang yang sedang sakit dikaitkan
dengan ketidakmampuannya melakukan kegiatannya sehari-hari, terlihat lemah, dan tidak
dapat beranjak dari tempat tidur (Foster, G.M. & Anderson, B. G. 1986, Antropologi
Kesehatan, UI Press, Jakarta).
Kemiskinan selalu dikaitkan dengan ketidakmampuan keluarga untuk memenuhi
seluruh kebutuhan untuk hidup layak akibat kurangnya penghasilan. Hal ini kemudian
berdampak pada pengurangan alokasi penghasilan untuk kegiatan konsumsi pangan yang
bergizi. Kemiskinan juga ditengarai sebagai penyebab dari rendahnya pengetahuan ornag
tua terhadap pola asuh anak yang baik dan benar. Ketidakadaan biaya membuat orang tua
tidak dapat memberikan pendidikan yang tinggi pada anak, sehingga ketika dewasa, anak
tidak bisa memberikan pengasuhan yang benar pada anaknya karena kurangnya
pengetahuan yang dimiliki. Kemiskinan nyatanya bukan menjadi faktor tunggal yang
menjadi faktor terjadinya kasus gizi buruk secara tidak langsung. Budaya ternyata
memiliki peran penting dalam melanggengkan kemiskinan (Suparlan, P. 1995,
Kemiskinan di Perkotaan: Bacaan Untuk Antropologi Perkotaan, Yayasan Obor, Jakarta).
Oscar Lewis memperlihatkan bahwa kemiskinan bukanlah semata-mata berupa
kekurangan dalam ukuran ekonomi, tetapi juga melibatkan kekurangan dalam ukuran
kebudayaan dan psikologi. Corak ini kemudian diwariskan dari generasi orang tua kepada
anak-anak melalui proses sosialisasi, sehingga jika dilihat dalam perspektif Lewis,
kebudayaan kemiskinan itu tetap lestari. Budaya kemiskinan merupakan bentuk adaptasi
mereka terhadap kondisi yang serba kekurangan, sehingga mendorong sikap pasrah
menerima nasib dan mengharapkan bantuan dari orang lain (Suparlan, P. 1995,
Kemiskinan di Perkotaan: Bacaan Untuk Antropologi Perkotaan, Yayasan Obor, Jakarta).
Budaya menentukan mana yang disebut makanan, komponen makanan, dan
waktu yang diperbolehkan untuk mengonsumsi makanan. Masyarakat kemudian hanya
mengonsumsi makanan yang dikenalnya saja, akibatnya sangat sulit untuk meyakinkan
orang untuk menyesuaikan makanan tradisionalnya demi kepentingan gizi yang baik.
Selain itu kebudayaan juga mendikte kapan mereka lapar dan apa yang harus dimakan
untuk memuaskan rasa lapar mereka (Foster, G.M. & Anderson, B. G. 1986, Antropologi
Kesehatan, UI Press, Jakarta).

Pangan lokal adalah pangan yang diproduksi dan dikembangkan sesuai dengan potensi
sumber daya wilayah dan budaya setempat. Pangan lokal merupakan yang sudah dikenal,
mudah diperoleh, beragam jenisnya, bukan diimpor dan dapat diusahakan untuk
memenuhi kebutuhan sendiri atau dijual. Setiap daerah memiliki keunggulan pangan
lokal yang berbeda sesuai dengan tingkat produksi dan konsumsi. Saat ini pangan lokal
merupakan komoditi yang penting untuk dikembangkan dengan tujuan meningkatkan
mutu dan citranya termasuk hasil olahannya baik produk jadi atau setengah jadi. Hasil
pengembangan tersebut nantinya akan dapat dihasilkan aneka produk olahan pangan
lokal yang berkualitas. Upaya pengembangan juga diharapkan akan meningkatkan
konsumsi pangan lokal yang beragam dan memenuhi gizi (Badan Bimas Ketahanan
Pangan. 2004. Model Pemberdayaan Masyarakat untuk Mewujudkan Ketahanan Pangan.
Jakarta:Departemen Pertanian).

Sejak terjadinya krisi moneter yang menyebabkan meningkatnya jumlah anak


dengan status gizi kurang akibat kurangnya konsumsi pangan, pangan lokal mulai
digalakkan sebagai bahan pangan yang dapat dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan
gizi. Pangan lokal yang beragam jenisnya dipakai sebagai bahan dasar pembuatan
makanan untuk mengatasi status gizi kurang. Selain itu kandungan gizi dalam pangan
lokal juga dapat digunakan untuk mengatasi beberapa masalah gizi di Indonesia. Namun
demikian, perlu kita pahami bahwa tidak ada satu bahan pangan yang mampu
menyediakan kandungan gizi dalam jumlah dan jenis yang lengkap. Oleh karena itu,
konsumsi pangan perlu beraneka ragam agar dapat saling menutup kekurangan yang ada
dalam bahan makanan (Muchtadi, T.R dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan
Pangan. Bogor. PAU Pangan dan Gizi IPB).

You might also like