You are on page 1of 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Identifikasi petanda permukaan sel yang dikenal sebagai kelompok antigen diferensiasi (clusters
of differentiation antigens, CD) dapat digunakan untuk mengklasifikasi dan subklasifikasi
leukemia. Walaupun antigen yang sama juga diekspresikan pada permukaan sel normal, fenotip
pada permukaan sel ganas pada umumnya diekspresikan secara abnormal dan seringkali
diekspresikan asinkron atau dalam kombinasi yang tidak lazim dijumpai pada sel-sel darah atau
sumsum normal. Ekspresi antigen secara abnormal ini dihubungkan dengan respon terapeutik
yang buruk dan ketahanan hidup yang pendek. Penentuan petanda permukaan sebagai pelengkap
pemeriksaan morfologi dan sitokimia dapat meningkatkan kemampuan untuk menentukan
karakteristik keganasan hematologi. Dalam makalah ini akan dibahas tinjauan pustaka mengenai
makna diagnostik pemeriksaan imunofenotip pada leukemia.1

Data dari 225 pasien di RS Dharmais yang telah mengalami pemeriksaan hematologi
lengkap termasuk morfologi dan sitokimia yang didiagnosis Leukemia Mieloblastik Akut (LMA)
dan Leukemia Limfositik Akut (LLA) ditegakkan masing-masing pada 51.1% dan 48.9% pasien.
Berdasarkan pemeriksaan imunofenotip LMA dijumpai pada 49% sedangkan LLA dapat
dikelompokkan dalam 4.9% pre B-ALL, 18.7% B-ALL dan 14.7% T-ALL. Jumlah kasus yang
menunjukkan antigen dengan kombinasi tidak lazim atau “cross lineage” dijumpai pada 12.7%.
Makna prognostik kasus dengan ekspresi antigen abnormal ini masih harus ditelaah, tetapi
sebagian dari kasus tersebut ternyata memberikan respons yang kurang baik terhadap terapi.
Pemeriksaan imunofenotiping merupakan sarana untuk: 1) membedakan klon leukemik dari klon
normal; 2) menentukan jalur perkembangan /asal-usul maturasi sel; 3) mengidentifikasi ekspresi
abnormal dari antigen permukaan; 4) mendapatkan informasi lebih banyak yang diperlukan
untuk menetukan diagnosis dan prognosis leukemia dibanding metode baku.1

Dalam makalah ini akan dibahas tinjauan pustaka mengenai makna diagnostik
pemeriksaan imunofenotip pada leukemia.
1.2. Batasan Masalah
Referat ini membahas tentang teori immunofenotiping pada leukemia akut

1.3. Tujuan Penulisan

Referat ini disusun untuk memperluas pengetahuan dalam bidang Hematologi anak
khususnya kelainan yang berhubungan dengan imunofenotiping pada leukemia akut

1.4. Metode Penulisan


Penulisan referat ini berdasarkan tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada beberapa
literatur.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Immunofenotip pada Leukemia

Imunofenotiping adalah identifikasi penanda sel spesifik yang menggunakan antigen


permukaan dan intraselular. Marker immunologik yang sering digunakan adalah cluster
differentiation 45 (CD45). CD45 adalah antigen pan-leucositic yang diekspresikan oleh leukosit
darah perifer dalam berbagi tipe. Paling banyak ditemukan dalam sel limfoblast dan monosit,
juga terdapat dalam jumlah yang sedikit di dalam granulosit.2

Saat ini imunofenotiping untuk pemeriksaan leukemia akut merupakan salah satu
pilihan untuk identifikasi dan mengetahui jenis sel blast. Karakteristik penting dari
immunofenotiping adalah mampu menyediakan informasi yang relevan untuk dokter, termasuk
klasifikasi penyakit, berdasarkan tingkat maturasi sel, dan untuk follow up pasien selanjutnya.
Imunofenotiping telah menjadi alat diagnostik utama selain pemeriksaan morfologi sel, karena
keakuratan dan kecepatannya. Biomarker seluler mudah dideteksi melalui imunofenotiping
sehingga memungkinkan definisi yang tepat dari jalur keganasan hematologi. Hal ini
bermanfaat untuk mengarahkan studi molekuler terbaik, dan pilihan terapi.2

Imunofenotiping leukemia menggunakan antibodi monoklonal adalah aplikasi klinik flow


cytometer yang pertama kali. Tetapi, tidak seperti uji diagnostilk laboratorium yang lain, hasil
fenotiping memerlukan interpretasi spesifik. Hal ini disebabkan oleh variabilitas ekspresi dan
densitas permukaanyang relative dari marker sel. Keuntungan imunofenotiping dengan flow
cytometry dibandingkan dengan pewarnaan imunohistokimia meliputi (1) kebutuhan sampel
sedikit, (2) kemampuan mengidentifikasi berbagai marker sel pada sel yang sama; (3)
kemampuan menganalisis spesimen berupa suspense sel dari darah, SST, cairan tubuh, tumor
padat dan sebgainya;(4) disamping mampu membedakan seri sel leukosit, misalnya pre B-LLA
dengan B-CLL (B-chronic lymphocytic leukemia);(5) waktu yang dibutuhkan lebih cepat. 2,3

Imunofenotiping dengan mulltiparameter flow cytometry dapat digunakan untuk


menentukan adanya derivat leukemia akut yang baru dan untuk mendeteksi imunofenotipe
menyimpang, yang memungkinkan pengukuran sisa minimal penyakit setelah terapi. Antibodi
yang bereaksi dengan antigen yang ditemukan pada sel-sel myeloid imatur normal, termasuk
CD13, CD14, CD33, CD3 juga bereaksi dengan sel-sel blast pada pasien dengan LMA.
Pengecualiannya adalah varian M6 dan M7, yang memiliki antigen terbatas pada sel darah
merah dan platelet. Sekitar 10 sampai 20% dari pasien LMA juga mengekspresikan antigen sel
B- atau sel T lineage. Ekspresi antigen limfoid oleh sel LMA tidak akan berubah secara alami
atau respon terapi leukemia ini.4

Sekitar 75% dari kasus LLA mengekspresikan antigen sel B-lineage dan dapat dibagi
menjadi empat kategori. Grup yang paling imatur, pro-B LLA, mengekspresikan CD19 mewakili
sekitar 10% dari kasus LLA. Sekitar 50 sampai 60% dari kasus LLA mengekspresikan common LLA
antigen/CLLAA, atau CD10, glikoprotein yang kadang-kadang juga ditemukan pada limfosit
muda normal dan jaringan non hematopoietik lainnya. Sekitar 10% dari kasus LLA memiliki
imunoglobulin intrasitoplasmik dan disebut pre-B sel-LLA. Sel-B LLA ditandai dengan adanya
imunoglobulin pada permukaan sel dan ditemukan sekitar kurang dari 5% kasus LLA. Di antara
25% kasus LLA yang mengekspresikan antigen T lineage, kurang dari setengah adalah jenis pra-
sel T yang mengekspresikan CD3 dengan atau tanpa ekspresi CD4 dan CD8. Prognosis untuk LLA
sel-T lebih baik dibandingkan LLA pra sel-T. Pada sekitar 25% pasien dengan LLA, sel-sel
leukemia juga mengekspresikan antigen mieloid. Keberadaan antigen tersebut menunjukkan
prognosis yang lebih buruk, namun dengan rejimen lebih agresif saat ini, dampak dari ekspresi
antigen myeloid telah menghilang.4

Berdasarkan immunofenotiping, leukemia dapat dibagi menjadi 2 kelompok,


berdasarkan limfoid atau myeloid lineage4:

1. LeukemiaLlimfoblastik Akut (LLA)


 B lineage: B-I, B-II, B-III, B-IV
 T lineage: T-I, T-II, T-III, T-IV.11
2. Leukemia Mieloblastik Akut (LMA)
 dengan difrensasi minimal (former M0)
 AML dengan difrensiasi granulositik atau monositik
3. Acute promyelocytic leukemia (APL)
 Erythroid
 Megakaryocytic
 Dendritic cell (DC) precursors
 Basophils and mast cell precursors

2.2. Antigen leukosit dan nomenklatur cluster differentiation (CD)5

Sebagian besar dari antibodi terhadap antigen leukosit telah dikelompokkan ke dalam
kelompok antibodi berdasarkan reaktivitas mereka dengan molekul tertentu. Setiap cluster
antibodi memiliki kode sendiri, yang disebut CD code (cluster differentiation code). Dalam
nomenklatur CD, setiap molekul dan epitop akan dikenal oleh cluster antibodi dan didefinisikan
sebagai molekul CD, antigen CD, dan epitop CD. Konfrensi untuk menentukan Human Leukocyte
Differentiation Antigen (HLDA) telah 8 kali dilakasanakan (Paris, 1982; Boston, 1984; Oxford,
1987; Wina, 1989; Boston, 1993; Kobe, 1996; Harrogate, 2000; Adelaide, 2004), dan 339 kode
CD telah perkenalkan

Tabel 1 memberikan informasi rinci tentang antibody cluster dan non-clustered, yang
sering digunakan untuk immunofenotiping pada limfosit normal dan ganas. Informasi ini
menyangkut fungsi antigen yang telah dikenal (recognized antigen) dan massa molekulnya,
serta reaktivitas antibodi terhadap leukosit. Untuk setiap kelompok disertakan beberapa
contoh typical Monoclonal Antibodies (McAbs)
Tabel1. Informasi lengkap mengenai antigen yang cocok untuk studi immunofenotiping sel
limfoid.
2.3. Marker Prekursor5

Sel induk hematopoietik umumnya mengekspresikan antigen CD34 dan juga mengekspresikan
antigen CD117, yang merupakan reseptor untuk faktor sel induk (c-kit).
Ekspresi CD117 adalah karakteristik khas untuk prekursor mieloid, sedangkan di kompartemen
limfoid, ekspresi CD117 terbatas pada Natural Killer cell/NK cell dan early T-cell precursors.
Terminal deoxynucleotidyl transferase (TdT) adalah enzim di inti sel yang diekspresikan pada
semua sel limfoid yang belum matang (immature precursor B-cells and immature cortical
thymocytes) dan sebagian kecil dari prekursor sel myeloid. Penanda lain yang diekspresikan
oleh sel induk adalah CD90 dan CD133. CD90 diekspresikan pada beberapa limfosit sel T- awal
dan limfosit B dan sebagian kecil sel CD34+ di sumsum tulang; dan tidak ditemukan pada human
thymocytes. Regulasi CD133 (AC133,-prominin 1) cepat menurun ketika sel induk manusia
berdiferensiasi menjadi sel fenotip. Dalam sistem hematopoietik, CD133 dapat ditemukan pada
non-committed CD34+, serta sebagian besar sel CD34+ yang terhubung ke jalur granulocytic /
monocytic.
2.4. Marker sel B5

Antigen CD19, CD22, CD72 merupakan marker sel pan-B yang diekspresikan pada permukaan
membran sel pada tahap difrensiasi matur ataupun immatur. Molekul CD79a dan CD79b (juga
dikenal sebagai mb-1 dan B29, atau Igα dan IGβ), adalah elemen sinyal-transducing yang terkait
dengan molekul immunoglobulin (Ig). Ekspresi molekul CD79 hanya ditemukan dalam sel B-
lineage. Saat diferensiasi prekursor sel-B, kedua rantai CD79 diekspresikan dalam sitoplasma
(CyCD79), sedangkan pada tahap diferensiasi yang lebih matang, rantai CD79 berhubungan
dengan membran permukaan terikat molekul Ig (SmIg) (SmIg-CD79 kompleks). CyCD79a adalah
salah satu marker paling awal yang ditemukan di ontogeni sel-B, sebelum ekspresi di
permukaan sel CD19. Karakterisasi dari berbagai tahap difrensiasi sel B dapat didasarkan pada
ekspresi antigen sel-B (CD10, CD20, CD21, CD23, CD37 dan), serta berbagai pola ekspresi rantai
Ig W16, 17, 20, 21x.

2.5. Marker sel T5

Hampir semua sel T-lineage mengekspresikan antigen CD2 dan CD7. T cell specific transcription
factor (TCF1) dapat dideteksi dalam inti pada semua tahap diferensiasi sel T kecuali pada
limfosit sel T mature yang sedang beristirahat. Dibandingkan dengan ekspresi antigen CD79
selama diferensiasi sel-B, molekul CD3 diekspresikan dalam sitoplasma sel T yang belum
matang (CyCD3), sedangkan sel T yang matang mengekspresikan molekul CD3 pada permukaan
membran sel yang terhubung dengan reseptor sel T (TCR), TCRα atau TCRδ, sehingga disebut
kompleks TCR-CD3 . Marker sel T lainnya adalah CD1a, CD4, CD5, CD6, dan CD8.

2.6. Imunofenotiping limfosit normal darah perifer (Peripheral Blood Lymphocytes/PB


lymphocytes) 5

Imunofenotiping limfosit darah perifer adalah alat penting dalam diagnosis gangguan imunologi
dan hematologi seperti imunodefisiensi, kelainan limfoproliferatif dan penyakit menular. Nilai
referensi terkait usia limfosit darah perifer mayor sudah tersedia (Gambar 1 dan Tabel 2).
Ukuran limfosit pada anak sangat dinamis karena dalam tahap pematangan sistem kekebalan
tubuh pada tahun-tahun pertama kehidupan.
Gambar 1. Nilai normal limfosit darah perife pada neonatus. Anak dan dewasa. Nilai absolut
berada di rentang persentil 5 sd persentil 95.

Tabel 2. Frekuensi relatif subset limfoid [ada darah dan jaringan limfoid

Jumlah absolut sel B (ekspresi CD 19) meningkat 2x lipat setelah lahir, secara cepat akan
menurun 6.5 kali lipat mulai usia 2 tahun sampai usia remaja dan selanjutnya akan relatif stabil.
(gambar 1). Sekitar 5-30% sel B sirkulasi darah perifer akan mengekspresikan sel CD5. Sel B akan
memproduksi antibodi polireaktif dengan afinitas yang rendah yang akan mengenali beberapa
autoantibodi yang selanjutnya berperan penting dalam patogenesis penyakit autoimun.
Karakteristik sel B memori, termasuk kedalamnya Ig class switched memory adalah adanya
ekspresi CD27. Proporsi-sel B memori ini meningkat secara bertahap sesuai dengan usia: sel B
darah tali pusat tidak mengekspresikan CD27, sedangkan sekitar 20-30% sel B pada darah
perifer dewasa akan mengekspresikan CD27.

CD3+ sel T meningkat 1,5 kali lipat segera setelah lahir dan akan menurun tiga kali lipat
mulai usia 2 tahun sampai dewasa (Gambar 1). Penurunan ini terutama melibatkan sel CD45RA+
immatur. Ukuran absolut limfosit T CD3+CD4+ mengikuti pola yang sama seperti CD3+, tetapi
limfosit T CD3+ CD8+ tetap stabil sejak lahir hingga usia 2 tahun, dan akan menurun 3 kali lipat
sampai dewasa.

Jumlah absolut CD3+ sel T pada orang dewasa menurun dengan penuaan: dan akan
melibatkan CD4+ dan CD8+, sehingga rasio CD4/CD8 tetap stabil. Menariknya, pada dewasa ada
perbedaan berkaitan dengan gender, dengan nilai signifikan absolut sel T CD4+ (terutama
CD45ROq) lebih rendah pada wanita. Sekitar 1-2% CD4+ darah perifer menunjukkan ekspresi
CD25 yang tinggi yang akan mencegah terjadinya proses imunopatologi yang fatal. Sebagian
besar limfosit T darah perifer merupakan TCRαβ, sementara TCRγδ+ sel T darah perifer hanya
berkisar sekitar 5-15%.

2.7. Imunofenotiping dari sum-sum tulang normal5

Sel B-lineage merupakan bagian utama dari kompartemen limfoid dari SST yang normal pada
anak-anak dan sekitar sepertiga pada orang dewasa . Lebih dari setengah dari sel ini pada anak-
anak merupakan prekursor sel B yang mengekspresikan CD10, sedangkan pada orang dewasa
sel B mature CD10-CD20q lebih mendominasi . Dengan Sel B CD19+, setidaknya empat tahap
pematangan berurutan dapat dibedakan berdasarkan CD10 dan ekspresi CD20. Keempat tahap
diferensiasi membentuk pola pewarnaan terus menerus dalam plot CD10 / CD20 sebagai akibat
hilangnya secara bertahap CD10 dan bertambahnya secara bertahap CD20 selama pematangan
(Gambar 2A). Sel plasma, ketika hadir, mengekpresikan CD10-/CD20- dalam jumlah sedikit.
Penambahan TdT kedalam kombinasi CD10 / CD20 dari McAb memungkinkan diskriminasi yang
baik antara sel-sel immatur CD10bright TδT+ dan sel-sel CD10+ lebih matur /TdT-. Sebagian
Prekursor imatur sel-B (sel TδT+CD10+) sesuai dengan sel CD34+CD22+CD45dim. Ekspresi CD45
Meningkat selama pematangan, diikuti oleh peningkatan ekspresi CD22. Sel B CD10-CD20+
sebagian besar berhubungan dengan sel CD22brightCD45bright didalam plot CD22 / CD45. Ketika
hadir, CD22+CD19-CD34+ sel pro B dapat diidentifikasi sebagai populasi kecil didalam empat
tahap diferensiasi sel-B. Dalam pengaturan standar, menggunakan flowcytometer dan
menggunakan clone McAb pola pewarnaan untuk semua prekursor subset sel-B cukup stabil.
Pergeseran dalam ukuran relatif dari subpopulasi atau lokasi yang berbeda dari plot
yang sudah ada dapat menunjukkan (ab) variasi normal atau penyimpangan dalam
perkembangan sel-B.

Sel T mengisi 10-20% dari sel-sel limfoid normal pada SST anak, dan proporsinya secara
bertahap meningkat menjadi 20-40% saat dewasa. Berbeda dengan darah tepi, sel T SST yang
paling banyak ditemukan adalah CD8+ dan rata-rata CD4/CD8 di SST adalah 0,5.

Gambar 2. (A) Perkembangan sel-B normal di SST. (B) Flow sitometri imunofenotiping SST pada
pasien dengan diagnosis ALL prekursosr sel-B
2.8. Imunofenotiping untuk diagnosis leukemia limfoblatik akut 5

Leukemia limfoblastik akut (LLA) berdasakan imunofenotiping dibedakan menjadi tujuh


subtipe. Seperti ditunjukkan dalam Gambar 3, terdapat empat jenis prekursor B-LLA dan tiga
jenis T-LLA. Hampir semua kasus LLA adalah TdT-positif, dengan blast prekursor sel B
mengekspresikan CD79 dalam sitoplasma (CyCD79) dan semua sel T pada LLA menunjukkan
ekspresi CyCD3 w7

Gambar 3. Skema diferensiasi limfoid.

Prekurso-B-LLA Precursor sel B pada LLA memperlihatkan hasil positif terhadap TdT dan CyCD79,
dan juga untuk HLA-DR, CD19 serta CD22. Prekursor B-LLA dapat dibagi lagi berdasarkan ekspresi CD10,
ekspresi sitoplasma lemah Igµ rantai berat (pre-B Cy-Igµ), dan ekspresi permukaan lemah Igµ tanpa
rantai ringan Ig normal (pre-B SmIgµ). Berdasarkan marker tersebut, maka dimungkinkan untuk
membedakan antara pro-B-LLA (CD10- / CyIgµ-), common LLA (CD10+ / CyIgµ+), pre-B-LLA (CD10+/
CyIgµ+/SmIgµ+), dan transisional pre-B-LLA (CD10+/CyIgµ/ SmIgµ+) (gambar 2b dan 3)
T-LLA Hampir semua sel T-LLA positif untuk CyCD3, serta untuk CD2, CD7 dan T cell speciific
transcription factor (TCF1). Berdasarkan ekspresi CD1a dan membran bound CD3 (SmCD3), T-LLA dapat
dibagi menjadi tiga kelompok utama. T-LLA immatur menunjukkan ekspresi negatif terhadap CD1a dan
SmCD3 dan prothymocytic T-LLA (pro-T-LLA, CyCD3+/CD7+) atau thymocytic immatur T-LLA (pre-T-LLA,
CyCD3+ dan CD2+ dan / atau CD5+dan / atau CD8+). Common Thymocytic T-LLA (intermediate atau
cortical T-LLA) positif untuk CD1a, sering double-positif untuk CD4 / CD8 dan sebagian SmCD3, dan oleh
karena itu dapat dibagi lebih lanjut menjadi tipe SmCD3- dan SmCD3+. Mature T-LLA cell menunjukkan
ekspresi negatif terhadap CD1a dan positif untuk SmCD3 (Gambar 3)

2.9. Kontribusi Imunofenotiping Untuk Diagnosis Dan Klasifikasi Leukemia Limfoblastik Akut
(LLA)6

Leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah kelompok pertama dari keganasan hematologi dimana
immunofenotiping terbukti secara klinis berguna. Lebih dari 20 tahun yang lalu, LLA sudah
diklasifikasikan menjadi leukemia sel B, T, atau null LLA (non-B, non-T) tergantung ekspresi
imunoglobulin permukaan (surface immunoglobulin/sIg), terbentuknya roset pada permukaan
eritrosit, atau kekurangan pada kedua marker tersebut. Kemudian, ditemukannya antigen CD10
sekitar dua-pertiga dari pasien LLA, memberikan dasar untuk klasifikasi terbaru berdasarkan
cakupan kasus leukemia non-B dan non-T (fenotipe umum LLA). Immaturitas fenotip
berdasarkan morfologis memunculkan lymphoid lineage cells yang didukung dengan
pemeriksaan imunofenotiping dimana menunjukkan ekspresi positif terhadap enzim terminal
deoxynucleotidyl transferase (nTdt). Setelah itu, klon antibodi monoklonal yang mendeteksi
antigen yang terdapat dalam sel limfoid dan prekursornya, bersama-sama flowcytometry, akan
membuktikan bahwa sebagian besar kasus LLA menunjukkan common/null fenotip yang berasal
dari prekursor sel-B.6

Dalam hal ini, analisis immunophenotioing normal terhadap prekursor sel-B sumsum
tulang sangat penting. Studi ini memberikan definisi yang rinci terhadap urutan yang tepat dari
ekspresi antigen sepanjang jalur pematangan sel-B normal pada SST. Dengan demikian, pada
saat itu diterima dengan baik bahwa antigen sel-B pertama yang diekspresikan dengan marker
CD 34+ di dalam B-lymphoid lineage adalah CD22, CD10, CD19 dan (pada membran sel), nTdt,
dan CD79a sitoplasma (cCD79a). Segera setelah itu, prekursor sekuensial sel-B mulai
kehilangan CD34 dan nTdt, ekspresi CD10 menurun dan memperlihatkan reaktivitas terhadap
CD20. Kemudian, prekursor sel-B menghasilkan Igµ rantai berat yang terakumulasi dalam
sitoplasma sampai Ig rantai ringan diproduksi. Ketika ini terjadi, molekul IgM diekspresikan
pada permukaan sel dari limfosit B immature. Berdasarkan urutan pematangan yang normal sel
B SST, prekursor sel B LLA diklasifikasikan menjadi empat kelompok utama (40): BI atau null LLA
(CD19 +, cCD79a+), BII atau LLA umum (CD10+), BIII atau pre-B LLA (cIg ++), dan BIV atau LLA B
(sIg+).6-8
Mirip dengan prekursor B LLA , T-LLA saat ini dibagi menjadi empat kelompok: pro-T
(atau TI), pre-T (atau TII), kortikal atau (TIII), dan matur (atau TIV). Pro-T LLA biasanya
menunjukkan coexpression dari dua marker early-sel T -CD7 dan cCD3+ tanpa adanya T cell
associated antigens.6

CD7 dan cCD3, Pre-T LLA mengekspresikan surface CD2, CD5, dan/atau CD8. Untuk
thymocytes kortikal, sel-sel leukemia dari korteks T-LLA memperlihatkan reaktivitas untuk
CD1a. TIV/mature T-LLA phenotype (sCD3+, CD1a-, CD4 +, atau CD8+) lebih sering diamati pada
pasien dengan T-lymphoblastic lymphomas dibandingka T-LLA murni. Diantara TIII dan TIV T-
LLA, ekspresi CD3 permukaan dapat berhubungan dengan ekspresi TCR baik TCRα /β atau TCRµ
/ delta. 6

Meskipun awalnya telah dijelaskan hubungan yang jelas antara fenotip prekursor
limfoid normal dan leukemia, namun studi lebih lanjut menunjukkan bahwa kedua kelompok
tidak menampilkan fenotipe yang identik dan saling tumpang tindih. Sebagai contoh,beberapa
bukti yang mendukung ontogeni sel-B, CD10 diekspresikan pada tahap yang sangat awal bahkan
sebelum CD19 diekspresikan. Pada kasus ini, BI atau null LLA, yang biasanya menampilkan
fenotip cCD79a+, CD19+, CD10+ immature (CD34+, Ig+), tidak akan cocok dengan skema
pematangan sel-B yang normal. Juga, tidak adanya reaktifitas terhadap CD10 akan
menampilakan fenotip yang menyimpang. 6

Bahkan, selama dekade terakhir telah menunjukkan bahwa kedua prekursor-B dan T
pada LLA menampilkan fenotipe menyimpang lebih dari 95% kasus. Hal ini memungkinkan
untuk diskriminasi tegas antara prekursor limfoid normal dan leukemia di SST, darah perifer
(PB), dan cairan tubuh lainnya. Kejadian fenotipe menyimpang hanya dapat dijelaskan karena
adanya kelainan genetik yang mendasari dalam sel blast leukemia. Oleh karena itu, CD10- Sel
blast dari pro-B LLA tersering adalah CD15+, 7.1+, dan / atau CD 65+ , fenotipe yang telah
terbukti berkaitan erat dengan adanya t dan kelainan sitogenetik lainnya yang melibatkan
kromosom 11q23. 6

Konsep ini juga dapat memberikan kontribusi untuk memahami hubungan yang diamati
antara fenotipe common-LLA dan hyperdiploidy, t (9; 22) (18,49), dan t (12; 21) (17,20), serta
korelasi tambahan dilaporkan pada orang dewasa dan anak-anak yang common LLA antara 2
translokasi terakhir dan CD34high, CD38dim, dan CD20- / parsial ?, CD9? / parsial+, fnotipe
heterogen CD34-/+. 6

Selain itu, CD 34-, CD20+, pada pasien dengan pre-B LLA, t (1; 19) sering hadir dan sIg+
B-LLA dengan Bcl2 /dim fenotipe biasanya menampilkan t (8; 14), t (2; 8), atau t (8; 22) (16,22)
(Tabel 3).
Secara keseluruhan, asosiasi antara fenotipe dan genotipe sel blast dapat menjelaskan
prognostik dan relevansi klinis klasifikasi immunologis prekursor-B-LLA. Pada saat yang sama,
mereka juga berkontribusi untuk memahami hubungan precursor B antara ekspresi penanda
individu dan prognosis penyakit (misalnya, ekspresi CD34 dan antigen myeloid terkait dengan
prognosis yang buruk pada orang dewasa sedangkan pada masa kanak-kanak LLA CD 10 dan
CD34 memberikan prognosis yang baik. 6

Tabel 3. Pola imunofenotiping LMA, dan precursor B-LLA , diklasifikasikan berdasarkan


abnormalitas cytogenetic spesifik rcurrent

Berbeda dengan apa yang dijelaskan untuk prekursor-B LLA, tidak ada hubungan yang
jelas antara klasifikasi imunologi dari T-LLA dan genotipe sel-T yang spesifik atau prognosis yang
telah ditetapkan dengan jelas di masa lalu. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa laporan
terbaru menunjukkan bahwa dengan strategi pengobatan saat ini, pasien dengan kortikal T-LLA
bisa memiliki hasil yang lebih baik, yang mungkin disebabkan oleh kerentanan yang lebih tinggi
dari sel-sel leukemia dari pasien untuk menjalani apoptosis.9

2.10. Kontribusi Imunofenotiping untuk Diagnosis Dan Klasifikasi Leukemia Mieloblastik Akut
(LMA)6

Studi Imunofenotiping tampaknya kurang berguna pada LMA dibandingkan dengan LLA; karena
alasan multifaktorial berkaitan dengan kompleksitas yang lebih tinggi. Pertama, sel myeloid
mencakup hingga tujuh lineage yang berbeda (neutrofil, basofil, eosinofil, monositik, sel mast,
erythroid, dan megakaryocytic) ditambah sel dendritik. Selain itu, dari sudut pandang fenotip,
sel-sel leukemia pada pasien LMA secara signifikan lebih heterogen baik dalam fenotipik dan
sitogenetik, kehadiran dua atau lebih sub-populasi sel blast sangat sering ditemukan. Selain itu,
terdapat keterbatasan informasi tentang jalur pematangan normal myeloid cell lineage yang
berbeda, terutama hasil yang kurang terwakili dalam SST. Akhirnya, tidak ada penanda myeloid
tunggal spesifik dan universal yang akan mengidentifikasi prekursor hematopoietik awal di
salah satu garis keturunan myeloid. 6

CD117 bersama dengan CD13 dan CD33, dianggap sebagai antigen awal untuk dideteksi
selama diferensiasi prekursor hematopoietik di dalam sel myeloid. Namun, belum ada marker
spesifik untuk sel leukemia myeloid dan ekspresi gabungan mereka juga ditemukan pada
bentuk immatur, uncommitted CD34+ hematopoetic precursor. Saat ini, ekspresi
myeloperoxidase (MPO), lisozyme, dan tryptase (dengan clone B12) dianggap sebagai marker
spesifik untuk mengenal sel myeloid. Tetapi , ekspresi penanda ini terbatas hanya untuk
sebagian kecil myeloid lineage. Oleh karena itu, pada sel normal myeloid, reaktifitas MPO dan
lisozyme dibatasi untuk prekursor granulomonocytic, sementara B12 (tryptase) lebih spesifik
untuk maturasi menjadi sel mast dan basophilic lineage. CD15 dan CD14 diekspresikan lebih
banyak dalam neutrofil mature dan monosit. Walaupun, dua marker yang diexpresikan selama
pematangan sel myeloid, namun ada keterbatasan untuk membedakan antara LMA
mengandung sel blast neutrophil lineage (M1, M2, M3 dan FAB subtipe morfologi) dan
monocytic lineage (M5 FAB subtipe). Glycophorin A merupakan marker erythroid yang spesifik;
namun, hanya diekspresikan di akhir tahap pematangan sel erythroid, sehingga terbatas
kegunaannya dalam LMA. Sebaliknya, CD36 diekspresikan lebih awal selama pematangan
erythroid, tetapi tidak spesifik untuk sel erythroid, karena juga positif dalam sel-sel prekursor
dari monocytic, dendritik, dan megakaryocytic lineage. Untuk magakaryocytic lineage, CD61,
CD41, CD42 dan merupakan penanda yang sangat baik untuk mendeteksi leukemia
megakaryocytic (LMA M7 FAB subtipe). 6

Secara keseluruhan, hasil ini menunjukkan bahwa utilitas marker untuk


mengidentifikasi sel leukemia myeloid lineage yang berbeda sangat terbatas. Bahkan, secara
umum telah diterima suatu pendapat bahwa ditemukannya dua atau lebih antigen myeloid
yang positif sangat penting untuk membuat diagnosis LMA dan kegunaan imunofenotiping
untuk klasifikasi lebih lanjut LMA hanya terbatas pada identifikasi leukemia megakaryocytic,
diferensiasi buruk LMA, varian microgranular leukemia promyelocytic akut (APL), dan pada
subtipe neoplasias sel dendritik yang langka, ditandai dengan ekspresi dari CD123high,
HLADRhigh, CD4+, CD56+, dan 7.1+ dengan tidak adanya penanda-garis keturunan khusus
lainnya (cMPO-, cCD3-, cCD79a-). Pada subtype yang lain, imunofenotiping hanya berguna
untuk konfirmasi morfologi, sitokimia dan diagnosi genetic. Sampai saat ini klasfikasi LMA
berdasarkan imunofenotiping belum diterima, berbeda halnya dengan leukemia. 6,11
Sejalan dengan apa yang telah dijelaskan pada LLA, sebagian besar pasien LMA (>75%)
juga menampilkan fenotipe yang menyimpang. Fenotipe menyimpang dicurigai karena adanya
kelainan genetik tertentu yang mendasarinya. Dengan demikian, sel-sel leukemia dari pasien
APL sering menunjukkan imunofenotipe mirip dengan promyelocytes normal (CD34+ /-
Heterogen, CD117- /+ dim, HLADR-, CD13+ /++, CD11b-). Berbeda dengan promyelocytes
normal, sel-sel leukemia menampilkan ekspresi abnormal rendah CD15 (CD15- / dim
dibandingkan CD15high), fenotipe yang khas terkait dengan adanya t (Gambar 4, Tabel 3.) 6

Gambar 4. Karakteristik imunofenotiping promielosit normal/reaktif

Asosiasi lain antara imunofenotipe dan genotipe LMA didefinisikan kurang jelas (Tabel
3) dan termasuk ekspresi CD56 dalam konteks baik sebagai monocytic immatur (CD13+, CD33+,
CD117+, CD64+, HLADR+) atau granulomonocytic (CD34+, CD15+, HLADR) fenotip menyimpang
(CD19) dan kelainan 11q23 atau t (8; 21), duplikasi tandem FLT3 internal baru-baru ini
dikaitkan dengan Fitur immunophenotiping mature (CD34-, CD117-) Monocytic (CD36+,
CD11b+) atau APL (82). 6
Meskipun telah dijelaskan bahwa beberapa antigen tertentu seperti CD9, CD11b, CD14,
CD34 dikaitkan dengan prognosis buruk pada LMA, namun nilai prognostiknya sampai saat ini
belum ditetapkan dengan jelas. 6

2.11. Deteksi Kelainan Residu Minimal dan Pemantauan terapi pada Leukemia Akut6,11

Dalam beberapa dekade terakhir, penyelidikan keberadaan sel-sel leukemia residual setelah
pengobatan, dengan menggunakan pendekatan immunophenotypic, telah terbukti layak dan
lebih disarankan. Untuk itu, perlu diketahuibahwa sel-sel leukemia menampilkan fenotipe
menyimpang, Fenotipe menyimpang yang hadir di sebagian LLA (> 95%) dan LMA (> 75%).
Kelainan ini ditentukan oleh: 1) ekspresi crosslineage antigen (misalnya, ekspresi CD5 di LMA
atau CD33 di LLA); 2) ekspresi antigen asynchronous (misalnya, coexpression dari CD34 dan CD3
atau CD34 dan CD11b); dan 3) fenotipe ektopik (misalnya, TdT + dan / atau CD34 + sel
ditemukan dalam cairan tulang belakang atau prekursor + / cCD3 + / CD34 + T-sel TDT di BM).
Studi MRD telah memberi kontribusi pada pembentukan konsep-konsep baru dalam
hematooncology seperti remisi imunologi. Pada saat yang sama, studi ini memungkinkan
stratifikasi prognostik yang lebih baik dari AL pada tahap awal setelah inisiasi terapisehingga
akan menentukan tindak lanjut dari keberhasilan pengobatan pada pasien individu
BAB III

KESIMPULAN

Saat ini analisis marker permukaan sel dengan imunofenotiping sangat membantu untuk
diagnosis keganasan di bagian hematologi, walupun evaluasi morfologi dan pewarnaan
sitokimia memegang peranan penting untuk diagnosis dan klasifikasi leukemia. Pemeriksaan
imunofenotiping merupakan sarana untuk: 1) membedakan klon leukemik dari klon normal; 2)
menentukan jalur perkembangan /asal-usul maturasi sel; 3) mengidentifikasi ekspresi abnormal
dari antigen permukaan; 4) mendapatkan informasi lebih banyak yang diperlukan untuk
menetukan diagnosis dan prognosis leukemia dibanding metode baku; 5) memdeteksi kasus
MRD sebagai salah satu penyimpangan fenotip
Daftar Pustaka

1. Kresno SB, Haryanto SH, Kosasih AS, Muthalib A, Atmakususmah D. Imunofenotiping


in leukemia and its diagnostic significance. Med J Indones;2004;13:195-202
2. Intansari US, Triyono T, Mulyono B. aplikasi flow cytometer di laboratorium klinik.
Berkala kesehatan klinik. 2003;IX:1-9.
3. Béné MC, Nebe T, Bettelheim M, Buldini B, Bumbea H, Kern W, etc.
Imunofenotiping of acute leukemia and lymphoproliferative disorders: a
consensus proposal of the European LeukemiaNet Work Package. Leukemia.
2011;25:567-574.
4. Goldman, Scaefer. The acute leukemias. In: Goldman , Scaefer, editor. Goldman Cecil
medicine. Elsevier 2012
5. Szczepanski T, Vincent H.J. Velden V and Jacques J.M. Dongen V. Flow cytometric
imunofenotiping of normal and malignant lymphocytes. J Lab Med. 2006;30(6):370–392.
6. Orfao A, Ortun F, Santiago MD, Lopez A, and Miguel JS.. Imunofenotiping of Acute
Leukemias and Myelodysplastic syndromes. Cytometry Part A. 2004; 58A:62–71.
7. Tiensiwakul P, Lertlum T, Nuchprayoon I and Seksarn P. Imunofenotiping of Acute
Lymphoblastic leukemia in pediatric patients by three-color flow cytometric analysis. As
pac J of all and immune.1999;17:17-21.
8. Kosasih As, Setiawan L, Hartini S, Kresno SB, Indarini. Imunofenotiping in the
Diagnosis and classification of Acute Leukemia: “Dharmais” Cancer Hospital
Experience. Indonesian Journal of Cancer.2011;5:3-8.
9. Mirbehbahani NB, Rashidbaghan A MS, Nodehi HM2, Jahazi A, Behnampour N,
Jeihounian M MD, Payab Z. Imunofenotiping of leukemia in children, Gorgan, Iran.
2011. Iranian Journal of Pediatric Hematology Oncology;1:115-120.
10. Lakhtakia CR, Nema BSK. Imunofenotiping of Tumours. MJAFI. 2008; 64:16-20.
11. Hwang K, Park CJ, Jang S, Chi HS, Kim DY, Lee JH, Lee JH, etc. Flow cytometric
quantification and imunofenotiping of leukemic stem cells in acute myeloid leukemia.
Ann Hematol (2012) 91:1541–1546

You might also like