You are on page 1of 17

TANTANGAN DAN ISU STRATEGIS

GERAKAN ANTI KORUPSI

Ihza Rashi Nandira Putri, Ari Purwita Kartika, Audi Navira

Universitas Negeri Surabaya

ihza547@gmail.com

aripurwita13@gmail.com

audi.navira@gmail.com
ABSTRACT
Based on analysis, political corruption and private sector corruption are corruption by public or
private sector officials and the proceeds of crime are channeled for political or private sector
activities. Based on the findings of TI (Transparency International), revealed the main source of
corruption in the private sector is a bribe. The practice occurs when the business world intersects
with government officials, civil servants, or members of political parties. This happens in
Indonesia, so far many parties are more focused on the issue of corruption in the political sector,
such as booming at this time is the case of E-ID card who dragged the chairman of the House of
Representatives Setya Novanto. In reality, however, the practice of in-migration and collusion
occurring in the banking sector in Indonesia in 2009 was seen as one of the causes of Indonesia's
collapse in the economic crisis. The Bank Century scandal is a recent, highly relevant example of
fraud cases by the private sector in Indonesia. Through KPK, the State of Indonesia guarantees
the security and welfare of its people from the impact of rampant corruption. However, with the
revision of Law No. 30 Year 2002 on Corruption Eradication itself is considered very potential
to weaken the Commission, so the Commission is not effective in combating corruption that is
still the main disease as a nation. The purpose of this analysis is to show that corruption and
revision have far-reaching effects, as corruption always strives to maintain and prolong the abuse
of power and the need for socio-political order requires a balanced role of control in the exercise
of power.
Keywords: political corruption, private sector corruption, revision of law no 30 of 2002
ABSTRAK
Berdasarkan analisis, korupsi politik dan korupsi sektor swasta merupakan korupsi yang
dilakukan pejabat publik atau sektor swasta dan uang hasil kejahatannya dialirkan untuk kegiatan
politik atau sektor swasta. Berdasarkan hasil temuan TI (Transparency Internasional), terungkap
sumber utama terjadinya praktik korupsi di sector swasta adalah suap. Praktik tersebut terjadi
ketika dunia bisnis bersinggungan dengan pejabat pemerintah, pegawai negeri, ataupun anggota
partai politik. Hal ini terjadi di Indonesia, selama ini banyak pihak yang lebih berfokus pada
persoalan korupsi pada sector politik, seperti yang sedang booming pada saat ini adalah kasus E-
KTP yang menyeret ketua DPR RI Setya Novanto. Namun pada kenyataannya, praktik penjualan
ke dalam dan kolusi yang terjadi dalm sector perbankan di Indonesia pada tahun 2009 dianggap
sebagai salah satu penyebab terjatuhnya Indonesia dalam krisis ekonomi. Skandal Bank Century
merupakan contoh terbaru yang sangat relevan tentang kasus penipuan (fraud) oleh sector swasta
di Indonesia.
Melalui KPK, Negara Indonesia menjaminkan keamanan dan kesejahteraa rakyatnya dari
dampak maraknya tindakan korupsi. Namun, dengan adanya revisi UU 30 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Korupsi sendiri dinilai sangat potensial untuk melemahkan KPK, sehingga KPK
tidak efektif dalam memberantas korupsi yang masih menjadi penyakit utama sebagai bangsa.
Tujuan analisis ini guna menunjukkan bahwa korupsi dan revisi memiliki dampak yang luas,
karena korupsi selalu berusaha untuk mempertahankan dan memperpanjang penyalahgunaan
kekuasaan dan kebutuhan terhadap tatanan sosio politik membutuhkan peran control yang
seimbang dalam pelaksanaan kekuasaan.

Kata kunci: korupsi politik, korupsi sektor swasta, revisi undang-undang no 30 tahun 2002
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Korupsi adalah penyelewengan atau
penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan lain sebagainya) untuk keuntungan pribadi
atau orang lain.
Menurut Wikipedia, korupsi dalam bahasa latin corruptio dari kata kerja corrumpere
yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok adalah tindakan
pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri serta pihak lain yang terlibat dalam
tindakan yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan public yang
dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan pihak.
Menurut Undang-undang Nomor 31 tahun 1991 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun
2001, menyebutkan bahwa pengertian korupsi mencakup perbuatan : Melawan hukum,
memperkaya diri orang / badan lain yang merugikan keuangan / perekonomian Negara
(pasal 2). Menyalahgunakan kewenangan karena jabatan / kedudukan yang dapat merugikan
keuangan / perekonomian Negara (pasal 3).
Dengan melihat beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa korupsi secara
kesimpulan adalah menyalahgunakan kewenangan, jabatan atau amanah secara melawan
hukum untuk memperoleh keuntungan dan manfaat pribadi atau kelompok tertentu yang
dapat merugikan kepentingan umum.
Fenomena korupsi antara kekuasaan hukum dengan tuntutan pembangunan ekonomi
seperti dikemukakan oleh Jochen Ropke berkorelasi dengan ideologi pembangunan di
Indonesia. Pada masa Orde Baru, trilogi pembangunan Indonesia yaitu pertumbuhan,
stabilitas, dan pemerataan. Dapat diartikan bahwa terlihat adanya fenomena yang terlalu
banyak menonjolkan pertumbuhan ekonomi dan kurang memperhatikan kegunaan hukum
sebagai elemen perekat kohesi nasional. Dari kebijaksanaan seperti itu, muncullah fenomena
kolusi dan korupsi yang mengakibatkan prosedur legal dan kaidah moral, demi keuntungan
politik dan ekonomi dengan berlindung dibawah alasan pembenaran dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. Salah satu karakteristik penting korupsi selama masa Orde Baru
Soeharto adalah korupsi tersebut terpusat dan dapat diprediksi. Investor dan pengusaha bisa
memprediksi jumlah uang yang mereka sisihkan untuk biaya-biaya tambahan dan mereka
mengetahui siapa saja orang-orang yang perlu mereka suap, atau ada taktik lain yaitu
memasukkan kroni Suharto dalam kegiatan bisnis untuk mengurangi ketidakpastian yang
disebabkan oleh birokrasi yang amat tidak pasti. Pola yang sama ini ada ditingkat lokal
dimana gubernur dan komandan militer setempat menikmati hak istimewa yang sama seperti
di pusat namun selalu sadar bisa kena hukuman dari pusat jika mereka mendorongnya terlalu
jauh. Dengan era baru Reformasi, yang dimulai setelah jatuhnya Soeharto pada tahun 1998,
situasi ini berubah dratis.
Pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), korupsi politik dan beberapa
kasus gratifikasi pejabat tinggi dalam pemerintahan sangat merajalela. Beberapa kasus
korupsi yang terjadi pada masa kepemerintahan SBY seperti melibatkan anggota partai yang
di naungi olehnya dan beberapa menteri terjadi menjelang akhir pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono hal tersebut dianggap oleh beberapa pihak merusak reputasi
Partai Demokrat maupun citra SBY sendiri karena dianggap sebagai pemimpin yang lemah
sampai muncul skandal korupsi dalam partai dan kabinetnya. Dalam dua tahun terakhir,
Menteri Pemuda dan Olahraga (Andi Mallarangeng) dan Menteri Agama mengundurkan diri
setelah menjadi tersangka dalam kasus korupsi. Sementara itu, pada tahun 2013 Ketua MK
Akil Mochtar dituduh menerima suapan senilai US $260.000.
Tindakan korupsi politik dapat dianalisis dengan melihat keterlibatan empat komponen
yakni; birokrat, politisi, pelaku bisnis, dan masyarakat. Perilaku korupsi setiap saat bisa hadir
dalam ruang birokrasi dan beririsan langsung dengan politik. Seperti pemerintahan era
Jokowi Widodo, isu skandal korupsi mega proyek Elektronik KTP (E-KTP) yang melibatkan
para pengusaha sebagai terduga utama dan juga ada begitu banyak politikus dan pelaku
birokrasi yang terlibat dalam konspirasi ini.
Tindakan korupsi politik dapat menjadi inisiasi para politisi kemudian menjalar ke
birokrat dalam rangka untuk memperkaya diri maupun untuk modal politik (kampanye dan
pemilu) karena lemahnya pengawasan regulasi di sektor administrasi. Dalam banyak kasus,
kelemahan administrasi semacam ini diperburuk lagi dengan perilaku birokrat maupun
politisi, termasuk kepala daerah yang menyalahgunakan kekuasaan dan wewenang untuk diri
sendiri. Para politisi memanfaatkan para pelaku bisnis sebagai mitra suatu proyek kebijakan
publik lalu melanggar ketentuan ketentuan yang ada.
Dalam hal ini, kami sebagai mahasiswa yang ingin meneliti permasalahan yang ada dan
ingin mencoba mengajukan saran pencegahan dalam pemberantasan korupsi sebagai berikut:
Unsur penting dalam pemberantasan melalui peran masyarakat sebagaimana masyarakat
merupakan alat kontrol sosial. Partisipasi masyarakat tetap diperhitungkan karena persoalan
korupsi adalah persoalan berkorelasi dengan kepentingan masyarakat. Namun tidak semua
masyarakat peka dalam hal tersebut karena masyarakat sendiri terbagi menjadi beberapa
golongan yakni; (1) masyarakat yang masa bodoh terhadap tindakan korupsi. Ada beberapa
masyarakat yang bersikap apatis pada segala bentuk tindakan korupsi. Masyarakat tersebut
sebenarnya paham dengan tindakan korupsi yang dapat menghancurkan sendi - sendi
ekonomi, politik, dan kultural tetapi kemudian menyerahkan kondisi tersebut kepada pihak
penegak hukum dengan alasan mereka sangat awam dengan hal tersebut, (2) anggota
masyarakat yang melakukan perlawanan secara radikal, dalam arti mengerahkan kekuatan
yang dimiliki untuk melawan berbagai bentuk korupsi, (3) anggota masyarakat yang
menawarkan alternative - alternative untuk pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh
praktisi dan pegiat korupsi maupun kalangan professional untuk membentuk sebuah lembaga
anti korupsi dan alat control bagi semua kalangan. Seperti ICW (Indonesian Corruption
Watch) lembaga tersebut mempunyai misi untuk mengawasi dan melaporkan kepada publik
mengenai aksi korupsi yang terjadi di Indonesia dan bertujuan memerangi korupsi politik.
Namun ada juga kelompok masyarakat yang sebenarnya pernah berkecimpung dalam
perlawanan pemberantasan tetapi mereka gagal dan sering kali mendapat ancaman dan terror.
Masalah korupsi tidak hanya terkait kerugian negara atau badan- badan usaha yang
kekayaan milik negara, atau ada penyertaan keuangan negara didalamnya. Korupsi yang
terjadi di sektor swasta pun dapat merusak perkembangan sektor pembangunan disuatu
negara.
Banyak faktor yang menjadi pemicu terjadinya korupsi di sektor swasta seperti investor
sangat tidak menyukai adanya rangkaian birokrasi yang berbelit, adanya tambahan biaya
dalam administrasi bisnis, serta oknum penegak hukum yang korup, adanya regulasi sangat
mendesak, Indonesia merupakan negara yang mempunyai daya saing yang rendah dalam
masalah korupsi dan etika. Para pengusaha yang ingin mempunyai kesempatan berbisnis
dengan memperoleh keuntungan yang besar jika menolak adanya penyuapan atau
pembayaran yang tidak semestinya makan para pengusaha tersebut juga bisa kehilangan
kontrak atau bisnisnya.
Berdasarkan analisis yang terjadi di dalam masyarakat, praktik penyuapan sektor swasta
sangat merugikan tidak hanya pebisnis tetapi juga masyarakat. Dengan adanya tender yang
dilakukan oleh pemerintah secara tidak terbuka, hal tersebut dapat dikategorikan sebagai
penyuapan sektor swasta, dikatakan merugikan masyarakat karena jika suatu perusahaan
menganggarkan 10% untuk biaya pelicin dan suap hal tersebut sangat berdampak terhadap
biaya konsumen terhadap harga barang tersebut.
Seperti kasus penipuan Bank Century pada tahun 2009, berdasarkan hasil temuan TI
(Transperancy International) terungkap sumber utama terjadinya praktik korupsi disektor
swasta adalah suap. Politisi dan pejabat pemerintah menerima suap dari kelompok swasta
sebanyak 20 sampai 40 miliar US dolar atau setara dengan Rp 200 triliun sampai 400 triliun
setiap tahun. Laporan GCR menunjukkan, dari 2700 lebih eksekutif dan bisnis disurvei di 26
negara, ditemukan 2 diantara 5 pejabat ekeskutif bisnis mengakui pernah diminta menyuap
ketika berhubungan dengan lembaga pemerintah. Sebanyak 50 persen manajer bisnis
memperkirakan, korupsi menambah biaya proyek sedikitnya 10 persen dan dalam beberapa
kasus lebih dari 25 persen. Sementara itu, 1 diantara 5 pelaku bisnis mengakui dikalahkan
pesaing mereka yang melakukan suap.

1.2 Tujuan
a. Tujuan Umum
Mengetahui pada sector mana saja korupsi dapat dilakukan dan bagaimana peran seluruh
subjek Negara dalam pemberantasan korupsi
b. Tujuan Khusus
Mengetahui pencegahan perilaku korupsi dan pemberantasan korupsi di Indonesia

1.3 Keutamaan Penelitian


Mencari solusi pemberantasan korupsi dalam sektor apapun secara efisien dan tepat sasaran.

1.4 Riset Pendukung Mencegah Perilaku Korupsi dan Pemberantasan Korupsi


(uraian secara singkat)
1.5 Rumusan Masalah
a. Bagaimana efektifitas penerapan gerakan anti korupsi terkini yang dilakukan oleh KPK?
b. Bagaimana kinerja KPK sehingga dilakukan revisi undang- undang KPK?
c. Bagaimana sikap masyarakat menanggapi adanya revisi undang-undang KPK dan kinerja
KPK dalam pemberantasan kasus korupsi pada saat ini?

1.6 Pendekatan Penelitian


Pendekatan penelitian yang akan kami gunakan adalah penelitian deskriptif yang berupa
jajak pendapat atau kuisioner terbuka dan tertutup yang didalamnya terdapat pertanyaan-
pertanyaan yang akan dijawab oleh responden yang ingin diselidiki.

1.7 Hipotesis atau Dugaan


1.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pola Deteksi Aksi Korupsi
Kejahatan adalah perbuatan manusia yang melanggar suatu aturan hukum tertentu,
merugikan diri sendiri, orang lain, masyarakat, bangsa, bahkan negara. Kejahatan diatur dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan undang-undang lainnya yang mengandung
sanksi pidana. Jika pelakunya bukan manusia, maka tidak termasuk dalam kategori kejahatan
walaupun menimbulkan kerugian. Misalnya bencana alam (disaster) dan kecelakaan (accident)
jika disebabkan oleh binatang dan teknologi. Perang termasuk kejadian yang merugikan dan
pengaturannya berada dalam ranah hukum perang.
Jadi, korupsi jelas masuk kategori kejahatan. Pelakunya adalah penyelenggara negara dan
atau pegawai negeri. Intinya, perbuatan yang melawan hukum atau menyalahgunakan
kewenangan publik yang merugikan negara atau masyarakat. Di beberapa negara ketentuan
korupsi bisa dikenakan juga kepada perseorangan atau golongan swasta (private).
Perbuatan korupsi ini haruslah memenuhi empat unsur. Empat unsur itu adalah (1) niat
melakukan korupsi, (2) kemampuan untuk berbuat korupsi, (3) peluang atau kesempatan untuk
melakukan kotupsi, dan (4) target atau adanya sasaran yang bisa dikorupsi. Untuk membongkar
korupsi sampai akar- akarnya, maka langkah utama yang harus dilakukan adalah mengenal
keempat unsur korupsi ini.
Di masa lalu, korupsi dianggap sebagai kebiasaan yang secara umum dilakukan yang
apabila ketahuan secara manajerial dianggap sebagai mismanagement, pelanggaran disiplin,
atau pelanggaran kode etik.hukumannya adalah sanksi administrasi, disiplin, atau sanksi kode
etik. Hal inilah yang menyebabkan korupsi merajalela di negeri ini, orang sudah tidak bisa
membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Pejabat jujur tidak bisa hidup secara layak
di negeri yang seperti ini.
Ke depan kita harus mempersiapkan bahwa korupsi adalah kejahatan, bahkan termasuk
didalam extraordinary crime atau kejahatan luar biasa. Penegak hukum biasa tidak melaksanakan
ini karena sudah kolutif akibat dari ketidakberesan sistem dan dengan Kitab Undang Undang
Hukum Acara Pidana tidak dapat secara cepat tertangani. Sementara itu, integritas moral,
remunerasi yang tidak rasional, kontrol yang lemah, dan budaya taat kepada hukum yang lemah
menjadi potensi masalah yang harus segera dicarikan solusinya. Kemudian dibentuk Komisi
Pemberantasan Korupsi yang diberi kewenangan lebih dan memiliki integritas yang andal,
remunerasi yang lebih baik, kontrol yang ketat, dan kode etik yang bisa menciptakan budaya taat
pada hukum yang baik.
Untuk mengantisipasi korupsi ini perlu dilakukan kegiatan penanggulangan yang kita sebut
dengan Pola Deteksi-Aksi. Di sini deteksi bertujuan mendapatkan informasi tentang sasaran
korupsi yang harus ditangani maupun kemungkinan korban atau kerugian. Hasil deteksi TPK
diberikan kepada fungasi penindakan (represif melalui penegakan hukum), CH (Corruption
Hazard) kepada fungsi pencegahan (preventif secara fisik dan administrasi), dan PMPK kepada
fungsi preemtif dengan menangani masalah pada hulu permasalahannya, dan kerugian atau
korban disampaikan kepada fungsi rehabilitasi.
Pola Deteksi-Aksi dapat dirumuskan dalam skema berikut ini:
Kegiatan Deteksi dimaksudkan sebagai kegiatan mengumpulkan keterangan yang diolah
menjadi informasi tentang kerawanan korupsi (TPK, CH, PMPK dan kerugian/korban apabila
terjadi TPK). Kemudian diprediksi sasaran kerawanan korupsi yang mungkin dihadapi dalam
kurun waktu tertentu, serta mendukung informasi lanjutan dalam proses penindakan Tindak
Pidana Korupsi.
Kegiatan Preemtif adalah penanganan pada hulu permasalahan korupsi atau akar masalah
korupsi berupa potensi masalah penyebab korupsi (kesisteman, integritas, moral, remunerasi
yang layak, kontrol yang aktif, dan budaya taat pada hukum yang andal) serta bekerja sama
untuk mewujudkan kepentingan bangsa berdasarkan hukum.
Kegiatan Preventif adalah kegiatan pencegahan terjadinya korupsi dengan tujuan membuat
segenap entitas dalam masyarakat aman darikorupsi (tidak memberi peluang terjadinya korupsi)
serta menjaga agar kerawanan korupsi tidak dimanfaatkan para koruptor.
Kegiatan Represif adalah penindakan dengan melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan terhadap pelaku, melakukan upaya hukum lanjutan, serta melaksanakan putusan
hakim yang telah membuat kekuatan hukum yang tetap (inkraht).
Kegiatan Rehabilitasi adalah pemulihan dari akibat terjadinya korupsi, baik berupa
pengembalian kerugian masyarakat dan negara yang diderita akibat korupsi baik dengan menarik
uang oengganti, penelusuran aset yang dikorupsi, serta memulihkan kondisi fisik maupun
psikologid akibat korupsi.
B. Revisi UU KPK Antara Melemahkan dan Memperkuat Kinerja KPK
Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi memasuki jilid II setelah pernah digulirkan oleh pemerintahan pada tahun 2015,
dan pada tahun 2016 UU ini telah resmi masuk dalam Program Legislasi Nasional. Setidaknya
ada 6 fraksi yang mengusulkan revisi UU KPK (sebanyak 40 anggota).
(http://www.hukumonline.com)
Jika mengacu pada roodmap KPK tahun 2011-2013, maka eksistensi KPK diarahkan agar
terwujud Sistem Integrasi Nasional yang diimplementasikan pada Strategi Nasional Pencegahan
dan Pemberantasan Korupsi. Namun fakta yang mengemuka terjadi semacam “gugatan” tentang
eksistensi KPK dan segala kewenangannua sehingga perlu dilakukan revisi terhadap UU KPK
tersebut. Revisi UU KPK menimbulkan pro-kontra antara pemerintah-DPR dengan sebagian
masyarakat (ICW, pemerhati masalah korupsi) karena beberapa sebab antara lain: revisi yang
dilakukan tidak disertai dengan naskah akademik, padahal UU No. 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengatur penyertaan naskah akademik dalam
pengajuan rancangan peraturan, keberadaan naskah akademik bisa menjai koridor pemahaman
revisi UU. Sebagai contoh saat DPR mengajukan revisi UU KPK dengan membatasi masa kerja
selama 12 tahun. Saat itu, dalam naskah akademik dijelaskan kajan yang mendukung atau
menjadi dasar hal tersebut yaitu belum rampungnya penyelesaian RUU KUHP Sn KUHAP,
padahal KUHP dan KUHAP adalah acuan KPK dalam bekerja (lihat pasal 18 ayat (1) UU 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi); belum ada kesepakatan terhadap
pasal-pasal yang akan direvisi seperti: penyadapan, pembentukan Badan Pengawas KPK,
kewenangan KPK dalam mengeluarkan SP3 dan kewenangan KPK dalam mengangkat penyidik.
Dalam revisi UU KPK, ada beberapa pasal krusial yang menjadi polemic baik di
Pemerintah, DPR, akademisi, maupun masyarakat, yaitu: 1) pembubaran KPK, 12 tahun setelah
draft RUU resmi diundangkan, bunyi Pasal 5: “Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk untuk
masa waktu 12 tahun sejak undang-undang ini diundangkan”; 2) KPK tak berwenang melakukan
penuntutan, terdapat dalam pasal 7 huruf d: “melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap
kasus tindak pidana korupsi yang diatur di dalam Undang-undang ini dan/atau penanganannya
dikepolisian dan/atau kejaksaan mengalami hambatan karena campur tangan dari pemegang
kekuasaan, baik eksekutif, yudikatif, atau legislative”. Padahal dalam pasal 6 huruf c UU No. 30
Tahun 2002, KPK mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi; 3) pelimpahan kasus ke kejaksaan dan kepolisian, diatur dalam
Pasal 13: “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 7 huruf d,
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan tindk pidana
korupsi yang: a) melibatkan penyelenggara negara dan orang lain yang ada kaitannya dengan
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hokum atau penyelenggara negara; b)
menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 50.000.000.0000,0; c) dalam hal KPK telah
melakukan penyidikan dimana ditemukan kerugian negara dengan nilai dibawah
50.000.000.000,00, maka wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat
bukti dan dokumen lainnya.
Ada beberapa catatan mengenai pasal-pasal mana yang akan direvisi, yaitu: pertama aturan
penyadapan yang diatur dalam Pasal 12 A-12F. Aturan tersebut terkait dengan mekanisme dalam
melakukan penyadapan serta perizinan. Dengan keberadaan dewan pengwas setidaknya dapat
mengontrol kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan. Kedua, keberadaan dewan
pengawas diatur dalam Pasal 37 A- 37F. Pasal tersebut mengatur pembentukan Dewan
Pengawas, pengangkatan dan pemberhentian anggota, hingga tugas pokok fungsi dan
kewenanangannya. Ketiga, ketentuan yang mengatur pengangkatan penyidik dan penyelidikan
sebagaimana diatur dalam Pasal 43, 43A, 43B, 45, 45A, dan 45B. Intinya, penyelidikan berasal
dari Polri yang diperbantukan kepada KPK dengan masa tugas minimal 2 tahun. Pasal 40
menjadikan payung hokum KPK menerbitkan SP3.

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Pada penelitian ini digunakan Metodologi dengan pendekatan kualitatif, yang
mempunyai karakteristik alami (natural setting) sebagai sumber data langsung, deskriptif,
proses lebih dipentingkan dari pada hasil, analisis dalam penelitian kualitatif cenderung
dilakukan secara analisa induktif serta makna merupakan hal yang esensial. Terdapat 6 (enam)
macam metodologi penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif, yakni: etnografis, studi
kasus, grounded theory, interaktif, partisipatories, serta penelitian tindakan kelas.
Dalam hal ini penelitian yang digunakan yakni penelitian Fenomenalogi. Menurut
Donny Gahrial Adian di dalam buku Pengantar Fenomenologi menyebutkan bahwa
fenomenologis yakni sebuah studi tentang fenomena-fenomena atau apapun itu yang tampak.
Dengan kata lain fenomenologi merupakan mendapatkan penjelasan tentang realitas yang
nampak.

B. Rancangan Penelitian
a) Judul Penelitian
b) Rumusan Masalah
c) Tujuan dan Manfaat
d) Hipotesis
e) Tinjauan Pustaka
f) Metode Pengumpulan Data
g) Metode Analisis Data
h) Penulisan Jurnal

C. Teknik Pengumpulan Data


Teknik Observasi, dalam penelitian kualitatif observasi diklarifikasikan menurut 3 cara.
Pertama, pengamat bisa bertindak sebagai partisipan atau nonpartisipan. Kedua, observasi dapat
dilaksankan secara terus terang atau penyamaran. Ketiga, observasi yang menyangkut latar
penelitian dan dalam penelitian ini menggunakan teknik observasi yang pertama di mana
pengamat bertindak sebagai partisipan.
Teknik Dokumentasi, menggunakan teknik ini untuk mengumpulkan data dari sumber
non insani, sumber ini terdiri dari dokumen dan rekaman. “Rekaman” sebagai setiap
tulisan/pernyataan yang dipersiapkan oleh atau untuk individual atau kelompok dengan tujuan
membuktikan adanya suatu peristiwa. Sedangkan “Dokumen” digunakan untuk mengacu atau
bukan selain pada rekaman, yakni tidak dipersiapkan secara khusus untuk tujuan tertentu,
seperti: surat-surat, buku harian, catatan khusus, foto-foto dan lain sebagainya.

D. Teknik Analisi Data


Setelah semua data terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah pengelolahan dan
analisa data. Yang di maksud dengan analisis data ialah proses mencari dan menyusun secara
sistematis data yang diperoleh dari hasi catatan lapangan, dengan cara mengorganisasikan data
ke dalam kategori, menjabarkannya kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusunnya ke
dalam pola, memilih mana yang penting dan akan dipelajari, serta membuat kesimpulan
sehingga mudah dipahami.
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif, jadi dalam
analisis data selama di lapangan peneliti menggunakan model spradley, yaitu tehnik analisa
data yang di sesuaikan dengan tahapan dalam penelitian. Dalam tahap penjelajahan dengan
teknik pengumpulan data grand tour question, yaitu pertama dengan memilih situasi sosial
(place, actor, activity).

E. Cara Penafsiran
Sesuai data yang ada diatas, rata-rata masyarakat yang menanggapi kuisioner kita
berjenis kelamin perempuan dan memiliki umur 19 hingga 20 tahun. Banyak masyarakat yang
tidak mengetahui apa fungsi dan perkembangan lembaga KPK hingga saat ini, tetapi meskipun
tampak acuh masyarakat tetap mendukung KPK untuk melaksanakan program yang tidak
diketahui asal dan usul dari program tersebut. Dari segi birokrasi, bahwa kurangnya sosialisasi
tentang peran serta fungsi KPK terhadap masyarakat dan masyarakat juga mendukung adanya
revisi UU KPK karena masyarakat beranggapan bahwa mekanisme yang dilakukan oleh KPK
masih belum sesuai dengan kewenangan KPK yang sebagai mana mestinya. Serta revisi UU
dilakukan secara utuh dan komprehensif karena keberadaannya yang dinilai sangat bermanfaat
bagi pemberantasan korupsi di tanah air.
BAB IV
BIAYA DAN JADWAL PENELITIAN
1) Jadwal Penelitian
Waktu
No. Jenis Kegiatan Bulan 1 Bulan 2 Bulan 3
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1. Memilih tema
dan merancang
pembahasan
2. Merancang
desain
penelitian
3. Membuat
kuisioner
4. Mencari
koresponden
5. Menyimpulkan
data
6. Menyusun
jurnal

2) Anggaran Biaya
No. Jenis Biaya Jumlah
1. Biaya habis pakai (pembelian paket internet) Rp 70,000,00
2. Biaya transportasi Rp 7,800,00 x 3 motor x 5 hari Rp 117,000,00
Total Rp 187,000,00

You might also like