You are on page 1of 16

Asuhan Keperawatan Umum TBC Paru

A. Keluhan Utama
Tuberkulosis sering dijuluki the great imitator, yaitu suatu penyakit yang
mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain, yang juga memberikan gejala umum
serupa (seperti lemah dan demam). Pada sejumlah pasien, gejala yang timbul tidak jelas
bahkan kadang-kadang tanpa gejala (asimptomatik), sehingga sering diabaikan. Keluhan
yang sering menyebabkan Paien TB paru meminta pertolongan dari tim kesehatan dapat
dibagi menjadi dua golongan, yaitu keluhan respiratoris dan keluhan sistematis.
a) Keluhan respiratoris
1. Batuk
Keluhan batuk timbul paling awal dan merupakan ganguan yang paling
sering dikeluhkan. Perawat harus menanyakan apakah keluhan batuk bersifat
nonproduktif,produktif, ataukah sputum bercampur darah.
2. Batuk darah
Keluhan batuk darah pada pasien TB paru selalu menjadi alasan utama
untuk meminta pertolongan kesehatan. Hal ini disebabkan rasa takut pasien pada
darah yang keluar pada jalan napas. Perawat harus menanyakan seberapa banyak
darah yang keluar (apakah hanya berupa blood streak / berupa garis atau bercak-
bercak darah)
3. Sesak napas
Keluhan ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah meluas atau
karena ada hal-hal lain yang memperberat kondisi paru-paru pasien.
4. Nyeri Dada
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik ringan. Gejala ini
timbul apabila sistem saraf pleura terkena TB.

b) Keluhan Sistematis
1. Demam
Keluhan yang sering dijumpai dan biasanya timbul pada sore atau malam
hari pada penderita TB ini mirip dengan gejala demam influenza. Gejalanya
hilang timbul dan semakin lama semakin panjang serangannya, sementara masa
bebas serangan semakin pendek.
2. Keluhan Sistematis Lain
Keluhan yang biasa timbul ialah keringat dimalam hari, anoreksia,
penuruna berat badan, dan tidak enak badan (malaise). Timbulnya keluhan
biasanya bersifat gradual atau muncul secara bertahap dalam beberapa minggu ata
bulan. Akan tetapi, penampilan akut dengan batuk, panas, dan sesak napas
(walaupun jarang) dapat juga timbul menyerupai gejala pnemunomia.

B. Riwayat Penyakit Sekarang


Pengkajian ini dilakukan untuk mendukung keluhan utama. Ajukan pertanyaan
yang sifatnya ringkas , sehingga jawaban yang diberikan pasien hanya kata “ya” atau
“tidak”, atau cukup dengan anggukan atau gelengan kepala.
Apabila keluhan utama adalh batuk, maka perawat harus menanyakan sudah
berapa lama keluhan batuk muncul (onset). Pada pasien dengan pneumonia, keluhan
batuk biasanya timbul mendadak dan tidak berkurang setelah meminum obat batuk yang
biasa dijual dipasaran.
Batuk pada TB yang paling sering dikeluhkan, mula-mula nonproduktif (tanpa
dahak), kemudian berdahak bahkan bercampur darah bila sudah terjadi kerusakan
jaringan. Batuk akan timbul apabila proses penyakit telah melibatkan bronkus, dimana
terjadi iritasi bronkus. Akibat adanya peradangan pada bronkus, batuk akan menjadi
produktif (berdahak), yang berguna untuk membuang produk ekskresi peradangan
dengan sputum (dahak) yang bersifat mukoid atau purulen.
Pasien TB paru juga sering menderita batuk darah. Adanya batuk darah ini sering
menimbulkan kecemasan pada diri pasien, karena batuk darah sering dianggap sebagai
suatu tanda dari beratnya penyakit yang diidapnya. Kondisi seperti ini seharusnya tidak
terjadi jika perawat memberikan pelayanan keperawatan yang baik kepada pasien dengan
memberi penjelasan tentang kondisi yang terjadi pada dirinya. Jika keluhan utama atau
yang menjadi alasan pasien meminta pertolongan kesehatan adalah sesak napas, maka
perawat perlu mengarahkan atau menegaskan pertanyaan untuk membedakan antara
sesak napas yang disebabkan oleh gangguan sistem pernapasan dan sistem
kardiovaskular. Sesak napas yang disebabkan oleh TB paru biasanya disertai gejala-gejala
berat. Hal ini bisa disebabkan tingkat kerusakan parenkim paru yang sudah meluas atau
karena ada hal-hal yang menyertainya, seperti efusi pleura, pneumothoraks, anemia, dan
lain-lain. Untuk memudahkan perawat dalam mengkaji keluhan sesak napas, maka napas
ini dapat dibedakan lagi sesuai tingkat klasifikasi sesak.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


Pengkajian yang mendukung adalah dengan mengkaji apakah sebelumnya pasien
pernah menderita TB paru, waktu kecil pernah mengalami keluhan batuk dalam waktu
lama, tuberkulosis dari organ lain, pembesaran getah bening, dan penyakit lain yang
dapat memperberat TB paru (seperti diabetes mellitus). Tanyakan pula mengenai obat-
obat yang biasa diminum pasien dimasa lalu yang masih relevan. Obat-obat ini meliputi
obat OAT dan antitisif. Catat adanya efek samping yang mungkin timbul dimasa lalu.
Tanyakan pula sekiranya ada alergi obat serta reaksi alergi yang timbul. Sering
kali, pasien mengacaukan antara suatu jenis alergi dengan efek samping obat. Kaji lebih
dalam tenyang seberapa jauh penurunan berat badan (BB) pasien dalam 6 bulan terakhir.
Penurunan berat badan pasien dengan TB paru berhubungan erat dengan proses
penyembuhan penyakit serta adanya anoreksia dan mual yang sering disebabkan karena
meminum OAT.

D. Riwayat Penyakit Keluarga


Secara patologi, TB paru tidak diturunkan tetapi, perawat perlu menanyakan
apakah penyakit ini pernah dialami oleh anggota keluarga lainnya sebagai faktor
predisposisi penularan didalam rumah.

E. Jenis Pemeriksaan Fisik


1. Keadaan Umum dan Tand-tanda Vital
Keadaan umum pasien TB paru dapat dilihat secara selintas dengan menilai
keadaan fisik tiap bagian tubuh. Selain itu, perlu dinilai secara umum tentang
kesadaran pasien yang terdiri atas compos menitis, apatis, samnolen, sopor,
soporokoma, atau koma. Seorang perawat perlu mempunyai pengalaman dan
pengetahuan tentang konsep anatomin fisiologi umum, sehingga dengan cepat menilai
keadaan umum, kesadaran, dan pengukuran GCS bila kesadaran pasien menurun. Hal
tersebut penting dilakukan karena komdisi vital ini mensyaratkan kecepatan dan
ketepatan penilaian.
Biasanya, hasil pemeriksaan tanda-tanda vital dari pasien TB paru menunjukkann
adanya peningkatan suhu tubuh secara signifikan, frekuensi napas meningkat apabila
disertai sesak napas, denyut nadi biasanya juga meningkat seirama dengan
peningkatan suhu tubuh dan frejuensi pernapasan, serta tekanan darah biasanya sesuai
dengan adanya penyakit penyulit (seperti hipertensi).
2. Pengkajian Psiko-Sosio-Spirtual
Pengkajian psikologis pasien meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan
perawat memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, da perilaku
pasien. Perawat mengumpulkan data hasil pemeriksaan pasien tentang kapasitas fisik
dan intelektualnya saat ini. Data ini penting untuk menentukan tingkat perlu tidaknya
pengkajian psiko-sosio-spiritual yang saksama. Pada kondisi klinis, pasien dengan TB
paru sering mengalami kecemasan bertingkat sesuai dengan keluhan yang dialaminya.
Perawat juga perlu menanyakan kondisi pemukiman tempat pasien bermukim.
Hal ini penting, mengingat TB paru sangat rentan dialami oleh mereka yang tinggal di
permukiman padat dan kumuh. Perlu diketahui bahwa populasi bakteri TB paru lebih
mudah hidup dan brkembang biak ditempat kumuh dengan ventilasi yang buruk dan
pencahayaan sinar matahari yang kurang.
TB paru merupakan penyakit yang pada umumnya menyerang masyarakat miskin.
Hal ini karena golongan masyarakat cenderung tidak sanggup meningkatan daya
tahan tubuh non spesifik dan keterbatasan dalam mengkonsumsi makanan bergizi.
Selain itu, juga karena ketidak sanggupan mereka untuk membeli obat. Ini semua
masih diperparah lagi dengan faktor kemiskinan yang membuat setiap individe
diharuskan bekerja secara fisik, sehingga mempersulit proses penyembuhan
penyakitnya.
Pasien TB paru kebanyakan berpendidikan rendah, akibatnya mereka tidak
menyadari bahwa penyembuhan penyakit dan menjaga kesehatan merupakan hal
yang penting. Pendidikan yang rendah sering menyebabkan seseorang tidak dapat
meningkatkan kemampuannya untuk mencapai taraf hidup yang baik. Padahal, taraf
hidup yang baik amat dibutuhkan untuk penjagaan kesehatan secara umum dan dalam
menghadapi infeksi.
F. Diagnosis Keperawatan
1. ketidak efektifan kebersihan jalan napas, berhubunagan dengan sekresi mukus yang
kental, hemoptitis, kelemahan fisik, upaya batuk buruk dan edema trakheal/faringeal.
2. ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan menurunnya ekspansi
paru sekunder terhadappenumpukan cairan dalam rongga pleura.
3. resiko tinggi gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan penurunan jaringan
efektif paru, atelektasis, kerusakan membran alveolar-kapiler, dan edema bronchial.
4. perubahan nutrisi; kurangnya asupan nutrisi dari kebutuhan ideal tubuh yang
berhubungan dengan keletihan, anoreksia, despnea, dan peningkatan mitabolisme
tubuh.
5. kecemsan, berhubungan dengan adanya ancaman kematian yang dibayangkan
(ketidakmampuan untuk bernapas) dan prognosis penyakit yang belum jelas.
6. kurang informasi dan pengetaahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan,
berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit dan penatalaksaan
perawatan dirumah.
7. infeksi dan reiko tingi penyebaran atau aktivasi ulang kuman TB, berhubungan
dengan kerusakan jaringan/infeksi tambahan.

G. Pemeriksaan Diagnosis
1. Pemeriksaan Rontgen Toraks
Pada hasil pemeriksaan rontgen toraks, sering didapatkan adanya suatu lesi
sebelum ditemukan gejala subjektif awal. Sebelum pemeriksaan fisik, dokter juga
menemukan suatu kelainan pada paru. Pemeriksaan rontgen toraks ini sangat berguna
untuk mengevaluasi hasil pengobatan, di mana hal ini bergantung pada tipe
keterlibatan dan kerentanan bakteri tuberkel terhadap OAI (apakah sama baiknya
dengan respons pasien?). Penyembuhan total sering kali terjadi di beberapa area dan
ini adalah observasi yang dapat muncul pada sebuah proses penyembuhan yang
lengkap.
2. Pemeriksaan CT-scan
Pemeriksaan CT-scan dilakukan untuk menemukan hubungan kasus TB
inaktif/stabil yang ditunjukkan dengan adanya gambaran garis-garis fibrotik ireguler,
pita parenkimal, klasifikasi nodul dan adenopati, perubahan kelengkungan berkas
bronkhovaskular, bronkhiektaksis, serta emfisema perisikatrisial. Pemeriksaan CT-
scan sangant bermanfaat untuk mendeteksi adanya pembentukan kavitas dan lebih
dapat diandalkan daripada pemeriksaan rontgen toraks biasa.
3. Radiologis TB Paru Milier
TB Milier akut diikuti oleh invasi pembuluh darah secara masif/menyeluruh seta
mengakibatkan penyakit akut yang berat dan sering disertai akibat fatal sebelum
penggunaan OAT. Hasil pemeriksaan rontgen toraks bergantung pada ukuran dan
jumlah tuberkel milier. Pada beberapa pasien TB milier, tidak ada lesi yang terlihat
pada hasil rontgen toraks, tetapi ada beberapa kasus dimana bentuk milier klasik
berkembang seiring dengn perjalanan penyakitnya.
4. Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis terbaik dari penyakit TB diperoleh dengan pemeriksaan mikrobiologi
melaui isolasi bakteri. Untuk membedakan spesies Mycrobacterium yang satu dengan
yang lainnya harus dilihat sifat koloni, waktu pertumbuhan, sifat biokimia pada
berbagai media, perbedaan kepekaan terhadap OAT, dan percobaan, serta perbedaan
kepekaan kulit terhadap berbagai jenis antigen Mycrobacterium.
Bahan untuk pemeriksaan isolasi Mycrobacterium TB adalah septum pasien,
urine, dan cairan kumbah lambung. Selain itu, ada juga bahan-bahan lain yang dapat
digunakan, yaitu cairan serebrospinal (sum-sum tulang belakang), cairan pleura,
jaringan tubuh, fases, dan swab tenggorokan. Pemeriksaan darah yang menunjang
diagnosis TB paru, walaupun kurang sensitif, adalah pemeriksaan laju endap darah
(LED). Adanya pemeriksaan LED biasanya disebabkan peningkatan immunoglobulin,
terutama IgG dan IgA (Loman, 2001)

H. Perencanaan dan Intervensi


1. Diagnosis 1
Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan denga sekresi mukus yang
kental, hemoptitis, kelemahan, upaya batuk buruk, dan edema trakheal/faringeal
- Tujuan kebersiahan jalan napas kembali efektif
- Kreteria Hasilan
Pasien dapat melakukan batuk efektif & pernpasan pasien normal tanpa
menggunakan alat bantu napas. Bunyi napas normal, Rh -/-, dan pergerakan
pernapas normal.
- Intervensi
a. Kaji fungsi pernapasan (bunyi napas , kecepatran, irama, kedalaman, dan
penggunaann otot bantu napas).
Rasionalisassi : penurunan bunyi napas menunjukan atelectasis, ronkhi
menunjukan akumulasi secret dan tidak efektifnya pengeluaran sekresi, yang
selanjutnya dapat menimbulkan penggunaan otot bantu napas dan peningkatan
kerja pernapassan
b. Kaji kemampuan mengeluarkan sekresi, catat krakter, volume sputum, dan
adanya hemoptysis.
Rasionalisasi : pengeluaran dahak akan sulit bila secret sangat kental ( efek
infeksi dan hidrasi yang tidak memadai). Sputum berdarah bila ada kerusakan
(kavitasi) paru atau luka bronchial dan memerlukan intervensi lebih lanjut.
c. Berikan posisi fowler/ semifowler tinggi (yakni posisi tidur dengan punggung
bersandar di bantal atau seperti tidur-duduk) dan bantu pasien untuk bernapas
dalam dan batuk efektif.
Rasionalisasi : posisi powler memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan
upaya napas. Ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan meningkatkan
gerakan sekret kejalan napas besar untuk dikeluarkan.
d. Pertahankan asupan cairan sedikitnya 2.500 ml/hari, kecuali tidak d
indikasikan.
Rasionalisasi : hidrasi yang memadai dapat membantu mengencerkan sekret
dan mengefektifkan pembersihan jalanya napas.
e. Bersihkan sekret dari mulut dan trachea, bila perlu lakukan pengisapan
(suction).
Rassionalisasi : mencegah obstruksi dan aspirasi. Penghisapan diperlukan bila
pasien tidak mampu mengeluarkan sekret.
f. Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi OAT.
Rasionalisasi : pengobata tuberkolosis terbagi jadi dua fase, yaitu fase intensif
(2-3 bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan). Paduan obat yang di gunakan terdiri
atas obat utama dan obat tambahan jenis obat utama yang digunakan sesuai
rekomendasi WHO adalah Rifamsipin, INH, Pirazinamid, strptomisin, dan
Etambutol.
g. Agen Motolitik.
Rasionalisasi : agen mokolitik menurunkan kekentalan dan kelengketan sekret
paru, sehingga memudahkan pembersihan.
h. Bronkodilator.
Rasionalisasi : bronkodilator meningkatkan diameter percabangan
trakeobronkhial, sehingga menurunkan tahanan terhadap aliran udara.
i. kortiokosteroid
Rasionalisasi : kortiosteroid berguna untuk memperluas keterlibatan pada
hipoksemia dan bila reaksi inflamasi mengancam kehidupan.

2. Diagnosis 2
Ketidak efektifan pola pernapsan yang berhubungan dengan menurunnya ekspansi
paru sekunder terhadap penumpukan cairan dalam rongga pleura.
- Tujuan : pola napas kembali efektif.
- kreteria hasil : pasien mampu melakukan batuk efektif. Irama, frekuensi, dan
kedalaman pernapasan berada pada batasan norma. Pada pemeriksaan rontgen
dada, tidak ditemukan adanya akumlasi cairan, dan bunyi napas terdengar jelas.
- Intervensi
a. Identifikasi faktor enyebab.
Rasionalisasi: dengan mengidentifikasi penyebab, kita dapat menentukan jenis
defusi pleura, sehingga dapat mengambil tindakan yang tepat.
b. Kaji fungsi pernapasan, catat kecepatan pernapasan, dispnea, sianosis, dan
perubahan tanda vital
Rasionalisasi : distres pernapasan dan perubahan tanda vital dapat terjadi
sebagaiakibat stres fisiologis dan nyeri. Bisa juga menunjukkan terjadiya
shock akibat hipoksia
c. Berikan posisi fowler/semifowwler (tidur bersandar) tinggi dan miring pada
posisi yang sakit dan bantu pasien untuk latihan napas dalam dan batuk
efektif.
Rasionalisasi : posisi fowler memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan
upaya napas. Ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan meningkattan
gerakan sekret pada jalan napas besar untuk kemudian di keluarkan.
d. Auskultasi bunyi napas.
Rasionalisasi : bunyi napas dapat menurun, bahkan tidak ada, pada area
kolaps yang meliputi satu lobus, segmen paru, atau eluruh area paru
(unilateral).
e. Kaji pengembangan dada dan posisi trakea.
Raionalisasi : ekspansi paru menurun pada area kolaps. Deviasi trakea kearah
sisi yang sehat pada tension.
f. Kolaborasi untuk tindakan thorakosintetis atu kalu perlu WSD ( water seal
drainage).
Rasionalisasi : bertujuan sebagai evakuasi cairn atu udara dan memudahkan
ekspansi paru secara maksimal.
g. Bila di pasang WSD, periksa pengontrol pengisap dan jumlah isapan yang
benar.
Rasionalisasi : mempertahankan tekanan negatif intrapleura, sehingga dapat
meningkatkan ekspansi paru optium.
h. Periksa batas ciran pada botol pengisap dan ertahankan pada batas yang di
tentukan.
Rasionalisasi : air dalam botol penampung berfungsi sebagai segat yang
mencegah udara atmosfer masuk dalam pleura.
i. Observasi gelembung udara dalam botol penampung.
Rasionalisasi : gelembung udara selama eksparasi menjukkan keluarnya udara
dari pleura sesuai dengan yang diharapkan. Jumlah gelembung biasanya
menurun seiring dengan bertambahnya ekspansi paru. Tidak adanya
gelembung udara dapat menunjukkan bahwa ekspansi paru sudah optimal atau
tersumbatnya selang drainase.
j. Setelah WSD dilepas, tutup sisi tabung dengan kasa steril dan observasi tanda
yang dapat menunjukkan berulangnya pneumutoraks, seperti napas pendek
dan keluhan nyeri.
Rasionalisasi : deteksi dini terjadinya komplikasi adalah hal yang sangat
penting, seperti menandai berulangnya pneumotoraks
.
3. Diagnosis 3
Resiko tinggi ganguan pertukaran gas yang berhubungan dengan penurun an jaringan
efektif paru, atelektasis, kerusakan membran alviolar-kapiler, dan idema bronchial.
- Tujuan : gangguan pertukarn gas tidak terjadi
- Kriteria Hasil :Pasien melaporkan adanya penurunan dipsnea, pasien
menunjukkan tidak ada gejala distes pernapasan, menunjukkan perbaikan
ventilasi dan kadar oksigen jaringan adekuat engan gas darah arteri dalam rentan
normal.

- Intervensi
a. Kaji dispnea, takipnea, bunyi napas, peningkatan upaya pernapasan, ekspansi
toraks, dan kelemahan.
Rasionalisasi : TB mengakibatkan efek luas pada paru dari bagian kecil
bronkhopneumonia sampai implamasi difus yang luas, nekrosis, efusi pleura,
dan fibrosis yang juga luas. Efeknya pada pernapasan bervariasi dari gejala
ringan, dispnea berat, sampai distres pernapasan.
b. Evaluasi perubahan tingkat kesadaaran, catat sianosis dan perubahan warna
kulit, termasuk membran mukosa dan kuku.
Rasionalisasi : akumolasi sekret dan berkurangnya jaringan paru yang sehat
dapat mengganggu oksigenasi organ vital dan jaringan tubuh.
c. Tunjukkan dan dukung pernapasan bibir selama ekspirasi, khususnya untuk
pasien dengan fibrosi dan kerusakan parenkim paru.
Rasionalisasi : membuat tahanan melawan udara luar untuk mencegah kolaps
atau enyempitan jalan napas, sehingga membantu menyebarkan udara melalui
paru dan mengurangi napas pendek.
d. Tingkatkan tirah baring, batasi aktivitas, dan batu kebutuhan peraawatan diri
sehari hari sesuai keadaan pasien.
Rasionalisasi : menurunkan konsumsi oksigen selama perioden penurunan
pernapasan, selain dapat menurunkan beranya gejala.
e. Kolaborasi tirah baring, batasi aktivitas, dan batu kebutuhan peraawatan diri
sehari hari sesuai keadaan pasien.
Rasionalisasi : menurunkan konsumsi oksigen selama periode penurunan
pernapasan dan dapat menurunkan beratnya gejala.
f. Kolaborasi permeriksaan AGD.
Rasionalisasi : penurunan kadar O2(PO2) dan atau saturasi peningkatan PCO2
menunjukkan kebutuhan untuk intervensi atau perubahan program terapi.
g. Pemberian oksigen sesuai kebutuhan tambahan
Rasionalisasi : terapi oksigen dapat mengoreksi hipoksemia yang terjadi
akakibat peurunan ventilasi atau menurunnya penurunan alveolar paru.

h. Kortikosteroid.
Rasionalisasi : kortiosteroid berguna dengan keterlibatan luas pada
hipoksemia dan bila reaksi inflamasi mengancam kehidupan.

4. Diagnosis 4
Perubahan nutrisi, yakni asupan zat gizi yang kurang dari kebutuhan tubuh,
berhubungan dengan keletihan, anoreksia, dispnea, dan peningkatan metabolisme
tubuh.
- Tujuan : asupan (intake)nutrisi pasien terpenuhi.
- Kriteria Hasil: Pasien dapat mempertahankan status gizinya yang semula kurang
menjadi memadai, pernyataan motivasi kita untuk memenuhi kebutuhan
nutrisinya.
- Intervensi
a. Kaji status nutrisi pasien, turgor kulit, berat badan, derajat penurunan berat
badan, integrasi mukosa oral, kemampuan menelan, riwayat mual atau
muntah, dan diare.
Rasionalisasi : memvalidasi dan menetapkan derajat masalah untuk
menetapkan pilihan interensi yang tepat.
b. Fasilitasi pasien untuk memperoleh diet biasa yang disukai pasien (sesuai
indikasi).
Rasionalisasi : memperhitungkan keinginan individu dapat memperbaiki
asupan gizi.
c. Pantauan dan output makanan dan timbangan berat badan secara priodik
(sekali seminggu)
Rasionalisasi : berguna untuk mengukur keefektifan asupan gizi dan dukungan
cairan.
d. Lakukan dan ajarkan perawatan mulut sebelum dan sesudah makan, seta
sebelum dan sesudah intervensi atau pemeriksaan per oral.
Rasionalisasi : menurunkan rasa tak enak karena sisa makanan, sisa spuntum,
atau obat pada pengobatan sistem pernapasan yang dapat merangsang pusat
muntah.
e. Fasilitas pemberian diet TKTP, berikan dalam porsi kecil tapi sering.
Rasionalisasi : memaksimalkan intake nutrisi tanpa kelelahan dan energi
besar, serta menurunkan iritasi saluran cerna.
f. Kolaborasi dengan ahli giza untuk menetapkan komposisi dan jenis diet yang
tepat.
Rasionnalisasi : merencanakan diet dengan kandungan gizi yang cukup untuk
memenuhi peningkatan kebutuhan energi dan kalori, sehubungan dengan
status hipermetabolik pasien.
g. Kolaborasi untuk pemerikasaan laboratorium, khususnya BUN (blood urea
nitrogen), protein serum dan albumin.
Rasionalisasi : menilai kemajuan terapi diet dan membantu perencanaan
intervensi selanjutnya.
h. Kolaborasi untuk pemberian moltivitamin.
Rasionalisasi : moltivitamin bertujuan untuk memenuhi kebutuhan vitamin
yang tinggi sekunder dari peningkatan aju metabolisme umum.

5. Diagnosis 5
Kecemasan yang berhubungan dengan adanya ancaman yang dibayangkan (ketidak
mampuan untuk bernapas) dan prognosi penyakit yang belum jelas.
- Tujuan: pasien mampu memahami dan menerima keadaannya, sehingga tidak
muncul kecemasan yang berlebihan.
- Kreteria Hasil: Pasien terlihat mampu bernapa secara normal dan mampu
beradaptasi dengan keadannya. Respon non verbal pasien tampak lebih rileks dan
santai.
- Interensi
a. Bantu dalam mengidentifikasi sumber coping yang ada
Rasionalisasi : pemanfaatan sumber coping yang ada secara konstruktif,
sangat bermanfaat dalam mengatasi stres.
b. Ajarkan teknik relaksasi
Rasionalisasi : mengurangi ketegangan otot dan kecemasan
c. Pertahankan hubungan saling percaya antara perawat dengan pasien.
Rasionalisasi : hubungan saling ercaya membantu memperlancar proses
terapiotik.
d. Kaji faktor yang menyebabkan timbulnya rasa cemas.
Rasionalisasi : tindakan secara tepat diperlukan dalam mengatasi masalah
yang sedang dihadapi pasien dan membangun kepercayaan dalam
mengurangi kecemasan.
e. Bantu pasien mengenali dan mengakui rasa cemasnya.
Rasionalisasi : rasa cemas merupakan efek dari emosi, sehingga apabila sudah
teridentifikasi dengan baik, perasaan yag mengganggu dapat diketahu.

6. Diagnosis 6
Kurangnya informasi dan pengetahuan mengenai kondisi maupun aturan pengobatan,
berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit dan
penatalaksanaan perawatan di rumah.
- Tujuan : pasien mmpu melaksanakan apa yang telah diinformasikan.
- Kriteria hasil: Pasien terlihat mengalami penurunan potensi penularan penyakit,
yang ditunjukkan oleh kegagalan kontak pasien.
- Intervensi
a. Kaji kemampuan pasien untuk mengikuti pembelajaran (tingkat kecemasan,
kelelahan umum, engetahuan pasien sebelumnya, dan suasana yang tepat)
Rasionalisasi : keberhasilan proses pembelajaran dipengaruhi oleh kesiapan
fisik, emosional, dan lingkungan kondusif.
b. Jelaskan tentang dosis obat, frekuensi pemberian, kerja yang diharapkan, dan
alasan mengapa pengobatan TB berlangsung dalam waktu lama.
Rasionalisasi : meniningkatkatkan partisipasi pasien dalam program
pengobatan dan mencegah putus obat karena membaiknya kondisi fisik pasien
sebelum jadwal terapi selesai.
c. Ajarkan dan nilai kemamuan pasien untuk mengidentifikasi gejala atau tanda
reaktifitas penyakit (hemoptisis, demam, nyeri dada, kesulitan bernapas,
kehilangan pendengaran dan vertigo).
Rasionalisasi : dapat menunjukkan pengaktifan ulang proses penyakit dan
efek obat yang memerlukan evaluasi lanjut.
d. Tekankan pentingna mempertahankan asupan nutrisi yang mengandung
protein dan kalori yang tinggi, serta asupan cairan yang cukup setiap hari.
Rasionalisasi : diet TKTP (tinggi kalori dan tinggi protein) dan cairan yang
adekuat memenuhi peningkatan kebutuhan metabolik tubuh. Pendidikan
kesehatan tentang hal itu akan meningkatkan kemandirian pasien dalam
perawatan penyakitnya.

7. Diagnosis 7
Infeksi merupakan resiko tinggi (penyebaran/aktivasi ulang) yang berhubungan
dengan kerusakan jaringan/tambahan infeksi.
- Tujuan : infeksi karena jaringan/tambaham infeksi dapat teratasi
- Kriteria Hasil: Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah atau menurunkan
resiko penyebaran infeksi, menunjukkan teknik atau melakukan pola hidup untuk
meningkatkan lingkungan yang aman.
- Intervensi
a. Kajian patologi penyakit (aktif/fase tak aktif, yakni diseminasi infeksi melalui
bronkus untuk membatasi jaringan atau melalui aliran darah/sistem limfatik)
dan potensi penyebaran infeksi melalui butiran-butiran (droplet) udara selama
batuk, bersin, meludah, bicara, tertawa, dan menyanyi.
Rasionalisasi : membantu pasien menyadari/menerima perlunya mematuhi
program pengobatan untuk mencegah pengaktifan berulng/koplikasi.
Pemahaman bagai mana penyakit itu disebarkan dan kesadaran mengenai
transmisi, akan membantu pasien atau orang terdekat untuk mengambil
langkah dalam mencegah infeksi ke orang lain.
b. Identifikasi orang lain yang beresiko, contoh anggota rumah, sahabat karib,
atau teman.
Rasionalisasi : orang orang yang masuk dalam kelompok ini perlu mendapat
program terapi obat untuk mencegah penyebaran atau terjadinya infeksi.
c. Anjuran pasien untuk menutup batuk/bersin dengan tisu. Minta mereka untuk
menghindri meludah. Gunaka tisu sekali pakai dan ajarkan tatacar mencuci
tangan yang tepat. Dorong pasien untuk mengulangi arahan tersebut untuk
memastikan bahwa dia benar-benar mengerti.
Rasionalisasi : perilaku-perilaku tersebut dilakukan untuk mencegah infeksi.
d. Kaji tindakan kontrol infeksi sementara dan contoh penggunaan masker atau
isolasi pernapasan.
Rasionalisasi : dapat membantu menurunkan rasa terisolasi pasien dan
membuang stigma sosial, sehubungan dengan penyakit menular.
e. Awasi suhu sesuai indikasi
Rasionalisasi : reaksi demam merupakan indiktor adanya infeksi lebih lanjut.
f. Identifikasi faktor resiko individu terhadap pengaktifan berulang kuman tuber
kolosis, adanya tahanan/tekanan dari organ bawah paru-paru (alkoholisme,
malnutrisi, atau bedah bypas intestinal), penggunaan obat penekan
imun/kortikosteroid, adanya gejala diabetes mellitus dan kanker, serta
konsumsi kalium.
g. Rasionalisasi : pengetahuan tentang faktor-faktor ini dapat membantu pasien
untuk mengubah pola hidup yang kurng sehat dan menghindari/menurunkan
insiden eksaserbasi.
h. Tekanan pentingnya tidak menghentikan terapi obat.
Rasionalisasi : periode singkat berakhir 2-3 hari setelah kemoterapi awal,
tetapi adanya rongga atau penyakit dan resiko penyebaran infeksi dapat
berlanjut sampai tiga bulan.
i. Kaji pentingnya mengikuti kultur ulang secara periodik terhadap spuntum
untuk lamanya terapi
Rasionalisasi : alat dalam pengawasan efek, begitu juga keefektifan obat serta
respon pasien terhadap terapi.
j. Dorong pasien untuk memilih atau mencerna makanan seimbang. Berikan
makanan kecil diantara makanan besar secara tepat.
Rasionalisasi : adanya anoreksia atau malnutrisi sebelumnya merendahkan
terhadap tahap proses infeksi dan mengganggu penyembuhan. Makanan kecil
dapat meningkatkan pemasukan tersebut.
k. Kolaborasi
o Pemberian Pirainamida (PZA atau Aldinamide), paraamino salicic (PAS),
silokserin (seromicin), dan streptomycin (strisin).
Rasionalisasi : obat sekunder tersebut diperlukan bila kuman infeksi
resisten atau tidaktoleran terhadap obat primer.
o Awasi pemerikasaan labratorium, contoh hasil usap spuntum.
Rasionalisasi : pasien yang mengalami tiga usapan negatif (memerlukan 3-
5 bulan), perlu menaati program konsumsi obat hingga gajal-gejala
asimpromatik dipastikan tidak menyebar.

You might also like