You are on page 1of 7

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Topografi merupakan bentuk permukan bumi dipandang dari kemiringan lereng dan beda
tinggi dari permukaan laut. Permukaan tanah dengan beda tinggi dan kemiringan yang sangat
besar, maka disebut topografinya bergunung, sedangkan untuk beda tinggi dan kemiringan
yang lebih rendah secara berurutan disebut berbukit, bergelombang, dan berombak. Ilmu
yang membahas tentang topgrafi ini disebut geomorfologi. Dua unsur topografi yang banyak
dibahas dan besar pengaruhnya terhadap erosi adalah panjang lereng (length,) dan kemiringan
lereng (slope).

Bentuk lereng tergantung pada proses erosi, gerakan tanah, dan pelapukan. Sedangkan,
kemiringan lereng terjadi akibat perubahan permukaan bumi di berbagai tempat yang
disebabakan oleh daya-daya eksogen dan gaya-gaya endogen. Hal inilah yang
mengakibatkan perbedaan letak ketinggian titik-titik diatas permukaan bumi.

Kemiringan lereng terjadi akibat perubahan permukaan bumi di berbagai tempat yang
disebabakan oleh daya-daya eksogen dan gaya-gaya endogen yang terjadi sehingga
mengakibatkan perbedaan letak ketinggian titik-titik diatas permukaan bumi. Kemiringan
lereng mempengaruhi erosi melalui runoff. Makin curam lereng makin besar laju dan jumlah
aliran permukaan dan semakin besar erosi yang terjadi. Selain itu partikel tanah yang
terpercik akibat tumbukan butir hujan makin banyak (Arsyad, 2000). Tentunya, derajat
kemiringan lereng dan panjang lereng merupakan sifat tofografi yang dapat mempengaruhi
besarnya erosi tanah. Semakin curam dan semakin panjang

lereng maka makin besar pula aliran permukaan dan bahaya erosi semakin tinggi.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengetahui sudut kemiringan lereng agar dapat
mengantisipasi kemungkinan erosi yang terjadi, sehingga tidak berdampak pada pengelolaan
lahan pertanian yang kita usahakan.

1.2 Tujuan Praktikum


Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah
1. Mengetahui cara dan alat untuk mengukur kemiringan lereng.
2. Mengukur sudut lereng dengan berbagai alat pada berbagai kemiringan.
3. Membandingkan hasil pengukuran sudut lereng dengan berbagai alat.

------------------------------------
II. TINJAUAN PUSTAKA

Kemiringan lereng terjadi akibat perubahan permukaan bumi di berbagai tempat yang
disebabakan oleh daya-daya eksogen dan gaya-gaya endogen yang terjadi sehingga
mengakibatkan perbedaan letak ketinggian titik-titik diatas permukaan bumi. Kemiringan
lereng mempengaruhi erosi melalui runoff. Makin curam lereng makin besar laju dan jumlah
aliran permukaan dan semakin besar erosi yang terjadi. Selain itu partikel tanah yang
terpercik akibat tumbukan butir hujan makin banyak (Arsyad, 2000).

Kemiringan lereng mempengaruhi erosi melalui runoff. Kemiringan lereng (slope)


merupakan suatu unsur topografi dan faktor erosi. Kemiringan lereng terjadi akibat
perubahan permukaan bumi diberbagai tempat yang disebabkan oleh gaya-gaya eksogen dan
endogen yang terjadi sehingga mengakibatkan perbedaan letak ketinggian titik-titik di atas
permukaan bumi (Kartasapoetra, 1986).

Kemiringan lereng menunjukan besarnya sudut lereng dalam persen atau derajat. Dua titik
yang berjarak horizontal 100 meter yang mempunyai selisih tinggi 10 meter membentuk
lereng 10 %. Kecuraman lereng 100% sama dengan kecuraman 45 derajat. Selain dari
memperbesar jumlah aliran permukaan, semakin curamnya lereng juga memperbesar energi
angkut air. Jika kemiringan lereng semakin besar, maka jumlah butir-butir tanah yang
terpercik ke bawah oleh tumbukan butir hujan akan semakin banyak. Hal ini disebabkan
gaya berat yang semakin besar sejalan dengan semakin miringnya permukaan tanah dari
bidang horizontal, sehingga lapisan tanah atas yang tererosi akan semakin
banyak. Jika lereng permukaan tanah menjadi dua kali

lebih curam, maka banyaknya erosi per satuan luas menjadi 2,0-2,5 kali lebih banyak
(Arsyad, 2000).

Lereng mempengaruhi erosi dalam hubungannya dengan kecuraman dan panjang


lereng. Lahan dengan kemiringan lereng yang curam (30-45%) memiliki pengaruh gaya
berat (gravity) yang lebih besar dibandingkan lahan dengan kemiringan lereng agak curam
(15-30%) dan landai (8-15%). Hal ini disebabkan gaya berat semakin besar sejalan dengan
semakin miringnya permukaan tanah dari bidang horizontal. Gaya berat ini merupakan
persyaratan mutlak terjadinya proses pengikisan (detachment), pengangkutan
(transportation), dan pengendapan (sedimentation) (Wiradisastra, 1999).

Kondisi lereng yang semakin curam mengakibatkan pengaruh gaya berat dalam
memindahkan bahan-bahan yang terlepas meninggalkan lereng semakin besar pula. Jika
proses tersebut terjadi pada kemiringan lereng lebih dari 8%, maka aliran permukaan akan
semakin meningkat dalam jumlah dan kecepatan seiring dengan semakin curamnya
lereng. Berdasarkan hal tersebut, diduga penurunan sifat fisik tanah akan lebih besar terjadi
pada lereng 30-45%. Hal ini disebabkan pada daerah yang berlereng curam (30-45%) terjadi
erosi terus menerus sehingga tanah-tanahnya bersolum dangkal, kandungan bahan organik
rendah, tingkat kepadatan tanah yang tinggi, serta porositas tanah yang rendah dibandingkan
dengan tanah-tanah di daerah datar yang air tanahnya dalam. Perbedaan lereng juga
menyebabkan perbedaan banyaknya air tersedia bagi tumbuh-tumbuhan sehingga
mempengaruhi pertumbuhan vegetasi di tempat tersebut (Hardjowigeno, 1993).

Hubungan antara lereng dengan sifat-sifat tanah tidak selalu sama disemua tempat, hal ini
disebabkan karena faktor-faktor pembentuk tanah yang berbeda di setiap tempat. Keadaan
topografi dipengaruhi oleh iklim terutama oleh curah hujan dan temperatur (Salim, 1998).

Mengetahui besar kemiringan lereng adalah penting untuk perencanaan dan pelaksanaan
berbgai kebutuhan pembangunan, terutama dalam bidang konservasi tanah dan air antara lain
sebagai suatu faktor yang mengendalikanerosi dan menentukan kelas kemampuan
lahan. Besar kemiringan lereng yang dinyatakan dalam satuan derajat (0) atau (%). Untuk
menetukan besar kemiringan lereng dapat diukur melalui beberapa metode atau alat antara
lain dengan metode alat tipe A (ondol-ondol), abney level, dan clinometer (Saleh, 2010).

-----------------------------------------

III. METODOLOGI

3.1 Bahan dan Alat


Bahan-bahan yang dibutuhkan dalam praktikum ini adalah air, kertas catatan, patok kayu, dan
patok bambu (panjang 1 m).

Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah meteran, alat ukur tipe A, selang air, spidol,
kalkulator, dan alat tulis.

3.2 Prosedur Kerja


1. Pengukuran kemiringan lereng dengan selang air
1. Selang air yang panjang diisi dengan air secukupnya.
2. Ditentukan bidang tanah yang akan diukur kemiringan lerengnya.
3. Selang air dibentangkan pada bidang yang akan diukur kemiringannya, sehingga tampak
seperti membentuk huruf U.
4. Diukur ketinggian permukaan air dikedua ujung selang, dengan ketinggian air yang lebih
rendah sebagai H0 dan ketinggian air yang lebih tinggi sebagai H1.
5. Diukur jarak antar ujung selang, sebagai nilai X.
H1

6. Dihitung % kemiringan lahan dengan rumus:

Keterangan :
α = kemiringan lereng (%)
Y = selisih H0 dan H1 (cm)
X = jarak antara H0 dan H1 (cm)

2. Pengukuran kemiringan lereng dengan alat tipe A


1. Disiapkan alat-alat yang dibutuhkan, yaitu alat tipe A dan patok-patok kayu.
2. Tegakkan alat tipe A di lokasi yang kira-kira memiliki kemiringan lereng yang sama.
3. Pada tengah alat, dipasang tabung kecil berisi air.

4. Kemiringan yang sama dapat dilihat dari gelembung udara yang ada di tengah tabung air
tersebut.
5. Beri patok pada titik-titik yang memiliki kontur yang sama.
6. Patok tersebut dapat membantu menentukan peta kontur lahan yang diamati.

-----------------------------------------------

IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan


Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, diperoleh hasil pengamatan sebagai berikut:
Kemiringan
H0 (cm) H1 (cm) X (cm) Y (cm)
Lereng (%)
22,5 48 270 25,5 9,4

4.2 Pembahasan
Mengetahui besar kemiringan lereng adalah penting untuk perencanaan dan pelaksanaan
berbagai kebutuhan pembangunan, terutama dalam bidang konservasi tanah dan air antara
lain sebagai sebagai suatu faktor yang mengendalikan erosi dan menentukan kelas
kemampuan lahan.

Dalam peta topografi dan peta-peta serbaguna, penyajian relief dari permukaan bumi sangat
penting karena dapat memberikan gambaran yang lebih tepat tentang permukaan bumi
tersebut. Untuk peta-peta teknis (seperti peta untuk perencanaan pekerjaan teknik sipil),
keakuratan dalam penyajian data relief tersebut sangat penting karena peta tersebut dapat
diperkirakan volume secara seluruh pekerjaan fisik. Relief permukaan bumi dapat
digambarkan pada peta dengan berbagai bentuk/simbol seperti kontur, warna ketinggian, dan
bayangan gunung. Kontur adalah garis khayal yang menghubungkan titik-titik yang
mempunyai ketinggian yang sama. Kontur ini dapat memberikan informasi relief, baik
secara relatif maupun absolut.

Informasi relief ini diperlihatkan dengan menggambarkan garis-garis kontur secara


renggang. Informasi relief secara absolut diperlihatkan dengan cara menuliskan nilai kontur
yang merupakan ketinggian garis tersebut diatas suatu bidang acuan tertentu. Bidang acuan
yang umum digunakan adalah bidang permukaan laut rata-rata. Untuk dapat menggambarkan
bentuk relief permukaan bumi secara akurat, dapat ditempuh dengan menggambarkan garis
kontur secara rapat sehingga relief yang kecil pun dapat digambarkan dengan baik. Untuk
itu, interval kontur harus dibuat sekecil mungkin (Purwohardjo, 1986).

Untuk mengetahui atau menentukan besar kemiringan data diukur dengan melalui beberapa
metode atu alat antara lain dengan alat tipe A (ondol-ondol), abney level dan
clinometers. Selain itu, dapat digunakan alat yang sangat sederhana, yaitu selang yang diisi
air. Pada praktikum ini, digunakan alat tipe A untuk mengetahui garis kontur, dan selang air
untuk mengukur kemiringan lereng.

Alat tipe A atau yang sering disebut dengan ondol-ondol merupakan suatu alat sederhana
pengukuran kemiringan lereng. Alat ini terbuat dari dua potong bambu atau kayu yang diikat
longgar pada dua ujungnya sehingga mudah digerakkan. Di bagian tengah alat dipasang
suatu kayu penyangga melintang sehingga bentuknya persis seperti huruf A. Alat ini
dilengkapi dengan beberapa tambahan seperti benag gandulan atau tabung waterpas sehingga
dapat digunakan untuk mengukur kemiringan suatu tempat.

Pengukuran dengan alat tipe-A lebih mudah digunakan tapi jauh lebih rumit dalam
pengelolaan datanya, karena yang didapatkan dari pengukuran hanya berupa jarak dari satu
titik ke titik lainnya. Untuk mendapatkan nilai derajat dan persentasenya masih harus
dimasukkan kedalam persamaan. Dengan alat tipe A ini, dapat diketahui garis-garis dalam
peta kontur.

Pada pengukuran kemiringan dengan selang air, diperoleh nilai H0 sebesar 22,5 cm,
H1 sebesar 48 cm, dan X sebesar 270 cm. Data tersebut digunakan untuk menghitung nilai Y
dan kemiringan lereng. Setelah dilakukan perhintungan, diperoleh nilai Y sebesar 25,5 cm
dan kemiringan lereng sebesar 9,4 %.

Pengukuran dengan selang lebih dapat memberikan hasil kemiringan yang pasti dan mudah
untuk dihitung. Alatnya pun sangat sederhana, namun kurang efektif untuk mengukur
kemiringan dalam skala lahan yang luas.

Lereng mempengaruhi erosi dalam hubungannya dengan kecuraman dan panjang


lereng. Lahan dengan kemiringan lereng yang curam (30-45%) memiliki pengaruh gaya
berat (gravity) yang lebih besar dibandingkan lahan dengan kemiringan lereng agak curam
(15-30%) dan landai (8-15%). Hal ini disebabkan gaya berat semakin besar sejalan dengan
semakin miringnya permukaan tanah dari bidang horizontal. Gaya berat ini merupakan
persyaratan mutlak terjadinya proses pengikisan (detachment), pengangkutan
(transportation), dan pengendapan (sedimentation) (Wiradisastra, 1999).

Berdasarkan penghitungan, diketahui bahwa persen kemiringan lereng yang diukur adalah
sebesar 9,4%. Persentase ini menunjukkan bahwa lokasi tersebut masih tergolong landai,
sehingga erosi yang terjadi termasuk masih rendah juga.

-------------------------------------

V. KESIMPULAN

Berdasarkan pambahasan pada bab sebelumnya, dapat dimabil kesimpulan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui atau menentukan besar kemiringan data diukur dengan melalui beberapa
metode atu alat antara lain dengan alat tipe A (ondol-ondol), abney level dan clinometers.
2. Pengukuran dengan alat tipe-A lebih mudah digunakan tapi jauh lebih rumit dalam
pengelolaan datanya, karena yang didapatkan dari pengukuran hanya berupa jarak dari satu
titik ke titik lainnya.
3. Pengukuran dengan selang lebih dapat memberikan hasil kemiringan yang pasti dan mudah
untuk dihitung. Alatnya pun sangat sederhana, namun kurang efektif untuk mengukur
kemiringan dalam skala lahan yang luas.
4. Persen kemiringan lereng yang diukur adalah sebesar 9,4%. Persentase ini menunjukkan
bahwa lokasi tersebut masih tergolong landai, sehingga erosi yang terjadi termasuk masih
rendah juga.

----------------------------------------

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. Institut Pertanian Bogor Press. Bogor.

Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Pressindo. Jakarta.

Kartasapoetra, A. Gunarsih. 1986. Klimatologi: Pengaruh Iklim TerhadapTanah dan Tanaman. Bumi
Aksara. Jakarta.

Purwohardjo, U.U. 1986. Ilmu Ukur Tanah Seri C-Pengukuran Topografi. Jurusan Teknik Geodesi
ITB. Bandung.

Saleh, Busri (2010) Perbaikan struktur tanah pada lahan sangat curam dengan menggunakan teknik
hidrosiding lumut daun dan bahan pembenah tanah. JIPI 12 (1). pp. 1-6.

Salim, E.H. 1998. Pengelolaan Tanah. Karya Tulis. Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian
Universitas Padjadjaran.Bandung.

Wiradisastra. 1999. Geomorfologi dan Analisis Lanskap. Laboratorium Penginderaan Jauh dan
Kartografi Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

You might also like