You are on page 1of 6

Sejarah Syariat Puasa Ramadhan

Oleh Al Fitri Johar


(Hakim Pratama Utama)
Puasa merupakan salah satu rukun Islam yang dilaksanakan oleh kaum muslimin di
seluruh dunia. Allah swt telah mewajibkannya kepada kaum yang beriman, puasa
merupakan amal ibadah klasik yang sebelum mewajibkan puasa Ramadhan bagi kaum
Muslimin tahun ke-2 hijriyah, Allah SWT telah mensyariatkan puasa kepada para nabi
terdahulu, tatkala Rasulullah Saw, beliau sudah mengalami sembilan kali puasa
Ramadhan.
Ada empat bentuk puasa yang telah dilakukan oleh umat terdahulu, yaitu:

1. Puasanya kaum sufi, yakni praktek puasa setiap hari dengan maksud menambah
pahala. Misalnya puasanya para pendeta;

2. Puasa dari berkata-kata, sebagaimana praktek puasa kaum Yahudi, hal mana yang
telah dikisahkan Allah SWT dalam Al-Qur'an, surat Maryam ayat 26 :

“Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. jika kamu melihat seorang
manusia, Maka Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk
Tuhan yang Maha pemurah, Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang
manusiapun pada hari ini".
3. Puasa dari seluruh atau sebagian dari perbuatan (bertapa), seperti puasa yang
dilakukan oleh pemeluk agama Budha dan sebagian kaum Yahudi, dan puasa-puasa
golongan lainnya yang mempunyai cara dan kriteria yang telah ditentukan oleh
masing-masing kaum itu sendiri.

4. Sementara kewajiban puasa bagi orang beragama Islam, mempunyai aturan yang
tengah-tengah yang berbeda dari puasa kaum sebelumnya baik dalam tata cara dan
waktu pelaksanaannya. Tidak terlalu ketat sehingga memberatkan kaum muslimin,
juga tidak terlalu longgar sehingga mengabaikan aspek kejiwaan. Hal mana telah
menunjukkan keluwesan Islam.

Page 1 of 6
Kewajiban puasa Ramadhan telah ada di dalam syariat umat-umat sebelum umat Nabi
Muhammad Saw, sebagaimana jelas di dalam ayat QS. Al-Baqarah: 183.

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana


diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Sebagian ulama salaf mengatakan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang sebelum
kita adalah orang Nashrani, sebagian lain mengatakan bahwa yang dimaksud adalah
ahlul kitab, sebagian yang lain mengatakan bahwa mereka adalah semua manusia
sebelum kita, mereka dahulu berpuasa Ramadhan penuh. Lihat atsar-atsar mereka di
dalam Tafsir Ath-Thabary ketika menafsirkan ayat yang mulia ini.

Kemudian Ibnu Jarir Al-Thabari menguatkan bahwa pendapat yang paling dekat adalah
yang mengatakan bahwa mereka adalah ahlul kitab, dan beliau mengatakan bahwa
syariat puasa satu bulan penuh di bulan Ramadhan adalah ajaran Nabi Ibrahim as, yang
Rasulullah Saw dan ummatnya diperintahkan untuk mengikutinya. (Lihat Tafsir Ath-
Thabary, tafsir Surat Al-Baqarah: 183). Ibnu Jarir Al-Thabari, mengatakan syariat puasa
pertama diterima oleh Nabi Nuh as setelah beliau dan kaumnya diselamatkan oleh Allah
SWT dari banjir bandang. Nabi Daud as melanjutkan tradisi puasa dengan cara sehari
puasa dan sehari berbuka. Dalam pernyataannya Nabi Dawud as berkata: “Adapun hari
yang aku berpuasa di dalamnya adalah untuk mengingat kaum fakir, sedangkan hari
yang aku berbuka untuk mensyukuri nikmat yang telah dikaruniakan oleh Allah SWT.”
Pernyataan Nabi Dawud as tersebut ditegaskan oleh Rasulullah Saw dalam sabdanya
yang berbunyi:

“Sebaik-baiknya puasa adalah puasa Daud, yaitu sehari berpuasa dan sehari berbuka.”
(HR. Muslim).

Page 2 of 6
Nabi Musa as kemudian mewarisi tradisi berpuasa, menurut para ahli tafsir, Nabi Musa
as dan kaum Yahudi telah melaksanakan puasa selama 40 hari sebagaimana dalam QS.
Al Baqarah: 40:

“Hai Bani Israilingatlah akan nikmat-Ku yang telah aku anugerahkan kepadamu, dan
penuhilah janjimu kepada-Ku niscaya aku penuhi janji-Ku kepadamu; dan hanya
kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk).”

Salah satunya jatuh pada tanggal 10 bulan Muharram yang dimaksudkan sebagai
ungkapan syukur atas kemenangan yang diberikan oleh Allah SWT dari kejaran Firaun.
Puasa 10 Muharram ini dikerjakan oleh kaum Yahudi Madinah dan Rasul Saw
menegaskan umat Islam lebih berhak berpuasa 10 Muharram dari pada kaum Yahudi
karena hubungan keagamaan memiliki kaitan yang lebih erat dibandingkan dengan
hubungan kesukuan. Untuk itu agar ada perbedaanya maka Rasulullah Saw kemudian
mensyariatkan puasa sunah setiap tanggal 9 dan 10 Muharram, selain untuk
membedakan puasa kaum Yahudi, juga ungkapan simbolik kemenangan kebenaran atas
kebatilan.

Ibunda Nabi Isa as juga melakukan puasa yang berbeda dengan para pendahulunya,
yaitu dengan tidak berbicara kepada siapa pun saja. Allah SWT berfirman:

“Maka jika kamu melihat seorang manusia, katakanlah: „Sesungguhnya aku telah
bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Mahapemurah, maka aku tidak akan berbicara
dengan seorang manusia pun pada hari ini‟.” (QS. Maryam: 26).

Keempat riwayat di atas merupakan sejarah puasa ummat yang memeluk agama samawi
yang menjadi rujukan disyariatkannya puasa dalam syariat Islam. Adapun puasa agama
ardhi (agama buatan manusia), kendati sama sekali bukan rujukan namun mereka juga
telah melakukan puasa dengan bentuk yang berbeda-beda. Sebelum puasa Ramadhan
diwajibkan, Rasululullah Saw telah memerintahkan kaum Muslimin puasa Hari Asyura

Page 3 of 6
pada setiap tanggal 9 dan 10 Muharram. Namun begitu perintah puasa Ramadhan tiba,
puasa Asyura yang sejatinya ditambah satu hari oleh Rasulullaah Saw menjadi puasa
sunah.

Demikianlah sejarah disyriatkan puasa yang diwajibkan terakhir dan tetap demikian
hingga hari kiamat. (Lihat keterangan Ibnul Qoyyim dalam Zaadul Ma'aad 2/30).
Menurut Imam Ibnul Qoyyim ra mengatakan: “Tatkala menundukkan jiwa dari perkara
yang disenangi termasuk perkara yang sulit dan berat, maka kewajiban puasa
Ramadhan tertunda hingga setengah perjalanan Islam setelah hijrah.” Ketika jiwa
manusia sudah mapan dalam masalah tauhid, sholat, dan perintah-perintah dalam Al-
Qur’an, maka kewajiban puasa Ramadhan mulai diberlakukan secara bertahap.
Tingginya tingkat kesulitan dalam melaksanakan puasa menjadikan syariat ini turun
belakangan setelah perintah haji, shalat dan zakat. Wajar jika kemudian ayat-ayat
tentang puasa Ramadhan turun secara berangsung-angsur, dalam dua tahap, yaitu:

Pertama, dalam bentuk Takhyiir (option) bahwa perintah wajib puasa Ramadhan dengan
pilihan. sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah: 183-184 yang berbunyi:

183. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” 184. “(yaitu) dalam
beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari
yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi
Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan.
Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.”

Pada fase ini dimana kaum Muslimin boleh memilih berpuasa atau tidak berpuasa,
namun mereka yang berpuasa lebih utama dan yang tidak berpuasa diharuskan
membayar fidyah. Salamah bin Akwa’ berkata:

Page 4 of 6
--

(
"Dahulu kami ketika di bulan Ramadhan pada zaman Rasulullah Saw, barangsiapa
yang ingin berpuasa maka boleh berpuasa, dan barangsiapa yang ingin berbuka maka
dia memberi makan seorang miskin, hingga turun ayat Allah (yang artinya);
Barangsiapa yang mendapati bulan (ramadhan) maka dia wajib berpuasa".
(HR.Bukhari: 4507, Muslim: 1145)

Kedua, dalam bentuk perintah Ilzaam (pengharusan) kewajiban berpuasa secara


menyeluruh kepada kaum Muslimin, dalam fase ini maka seorang muslim yang
terpenuhi syarat wajib puasa harus berpuasa dan tidak ada pilihan lain dengan
pengecualian bagi orang-orang yang sakit dan bepergian serta manusia usia lanjut (renta)
yang tidak kuat lagi untuk berpuasa sebagaimana yang tergambar dalam QS. Al-
Baqarah: 185:

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-
penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).
karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu,
Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu,
dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”

Awal mulanya kaum Muslimin berpuasa sekitar 22 jam karena setelah berbuka mereka
langsung berpuasa kembali setelah menunaikan shalat Isya, orang yang tidur sebelum
makan (berbuka puasa) atau sudah menunaikan shalat Isya maka dia tidak boleh makan,
minum, dan melakukan bersetubuh hingga hari berikutnya. Namun, setelah sahabat

Page 5 of 6
Umar bin Khathab mengungkapkan kejadian mempergauli istrinya pada satu malam
Ramadhan kepada Rasulullah Saw, turunlah QS Al-Baqarah: 187:

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri
kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.
Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah
mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka
dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga
terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah
puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang
kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu
mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya
mereka bertakwa.”

Dalam ayat ini menegaskan halalnya hubungan suami-istri di malam Ramadhan dan
ketegasan batas waktu puasa yang dimulai dari terbitnya fajar hingga terbenam matahari.
Inilah syariat puasa dalam Islam yang menyempurnakan tradisi puasa seluruh agama
samawi yang ada sebelumnya.

Page 6 of 6

You might also like