You are on page 1of 14

1.

Pengertian Gempa Bumi


Gempa bumi adalah gejala alamiah yang berupa gerakan goncangan atau getaran tanah yang
ditimbulkan oleh adanya sumber-sumber getaran tanah akibat terjadinya patahan atau sesar akibat
aktivitas tektonik, letusan gunungapi akibat aktivitas volkanik, hantaman benda langit (misalnya
meteor dan asteroid), dan/atau ledakan bom akibat ulah manusia.

2. Dampak
Gempa bumi dapat menyebabkan kerusakan sarana seperti bangunan, jembatan dan jalan-jalan yang
besar dan luas. Gempa juga dapat diikuti bencana alam berbahaya seperti tanah longsor dan tsunami
(silakan baca bagian tanah longsor dan tsunami pada buku ini). Korban jiwa biasanya terjadi karena
tertimpa bagian-bagian bangunan roboh atau obyek berat lain seperti pohon dan tiang listrik. Orang
sering terperangkap dalam bangunan runtuh. Gempa bumi sering diikuti oleh gempa susulan dalam
beberapa menit, jam, hari atau bahkan minggu setelah gempa yang pertama, walaupun sering tidak
sekuat yang pertama. Ancaman gempa susulan adalah runtuhnya bangunan yang telah goyah dan
rusak akibat gempa pertama.

3. Mitigasi Bencana di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta

Tidak ada yang menyangka sebelumnya bahwa ditengah-tengah berbagai prediksi tentang bencana
letusan Gunung Merapi, pada tanggal 27 Mei lalu justru terjadi bencana gempa bumi yang dari sudut
skala dan dampak yang ditimbulkannya begitu menghenyakkan banyak pihak. Jatuhnya korban jiwa,
banyaknya penduduk yang luka dan juga yang akhirnya terpaksa harus mengungsi serta rusaknya
infrastruktur, perumahan dan permukiman penduduk merupakan potret tegas dari fenomena
kerentanan yang dihasilkan dari peristiwa bencana tersebut. Data real mengenai jumlah korban jiwa
dan dampak kerusakan fisik di wilayah Propinsi DIY dan Jawa Tengah tersaji sebagai berikut:
Paparan data di atas seolah menghantarkan kita pada pemahaman bahwa bencana yang tidak disangka-
sangka ini akhirnya menghasilkan kerentanan dalam masyarakat, baik berupa kerentanan fisikal maupun
kerentanan sosial untuk jangka waktu tertentu pasca bencana. Peristiwa bencana gempa bumi yang tidak
terduga sebelumnya ini, juga semakin memaksa kita untuk meyakini bahwa ketidakpastian merupakan hal
yang nyata. Sulitnya prediksi yang akurat tentang kejadian bencana merupakan fakta. Oleh karena itu,
ditengah-tengah kondisi sistem ekologis fisik maupun sosial yang sangat kompleks, maka langkah
bijaksana yang harus ditempuh berkaitan dengan bencana adalah melakukan langkah antisipasi atau
mitigasi.
4. Mitigasi Bencana Sebagai Langkah Strategis
Mitigasi bencana pada dasarnya dapat dipahami sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan
untuk mengurangi atau meringankan segala dampak yang muncul akibat bencana (Cobourn, et.al,
1994). Dengan kata lain mitigasi bencana merupakan upaya untuk mengantisipasi potensi kerusakan
yang muncul akibat bencana baik yang diakibatkan oleh factor alam maupun factor manusia. Dalam
kontinum proses manajemen bencana mitigasi bencana merupakan langkah yang bersifat strategis,
karena dengan pelaksanaan atau perbaikan upaya mitigasi secara positif dapat berpotensi untuk
menghindarkan masyarakat dari potensi jatuhnya korban jiwa maupun kerusakan harta benda
ataupun kerentanan fisik maupun sosial.
Sehubungan dengan risiko dan kerentanan merupakan objek dalam upaya mitigasi, maka
pemahaman akan jenis ancaman bahaya yang dihadapi, sifat bahaya yang mungkin dihadapi, serta
kerentanan yang dimiliki oleh sebuah ekosistem merupakan hal awal yang harus dipahami oleh
berbagai pihak dalam sebuah komunitas. Dalam rangka itu maka hal penting yang harus dilakukan
adalah melakukan penilaian risko bencana dengan melakukan hazard assessment dan vulnerability
assessment. Dengan hazard assessment maka akan diperoleh informasi atau pemahaman mengenai
kemungkinan ancaman bencana yang akan dihadapi oleh komunitas di suatu wilayah, baik itu
ancaman yang berasal dari alam maupun ancaman yang berasal dari perilaku manusia. Sedangkan
dengan pelaksanaan vulnerability assessment maka sebuah komunitas akan memahami berbagai
elemen yang rentan yang terdapat dalam masyarakat dan faktor penyebab atau akar penyebab
kerentanan tersebut. Dengan pelaksanaan dua jenis penilaian ini maka perencanaan mitigasi yang
efektif dapat dilakukan.
Perencanaan mitigasi yang efektif hendaknya diarahkan pada upaya minimalisasi risiko dampak
primer dan sekunder dari bencana. Dampak primer bencana dapat dilihat dari kondisi nyata korban
jiwa dan kerusakan harta benda sebagai akibat dari bencana. Adapun dampak sekunder dapat dilihat
dari kondisi aktivitas-aktivitas masyarakat dan institusi-institusi sosal yang ada dalam masyarakat.
Dengan demikian, maka perencanaan mitigasi yang efektif haruslah mampu untuk mengarahkan
berbagai pihak dan berbagai hal pada upaya minimalisasi korban jiwa dan penyelamatan korban
yang luka serta mengurangi kerugian kerusakan harta benda, dan juga pada upaya untuk mengurangi
dampak bencana pada aktivitas-aktivitas masyarakat dan insitusi-institusi sosial yang telah ada di
dalam masyarakat.
5. Peran Pemerintah Sebagai LEGITIMATE ACTOR Dalam Mitigasi
Dalam praktik keseharian, sesungguhnya berbagai elemen masyarakat dalam kapasitas dan
pemahaman yang relatif terbatas dapat melakukan tindakan mitigasi bencana. Upaya untuk selalu
menjaga kebersihan lingkungan sebagai langkah antisipasi terhadap bencana banjir dan juga upaya
penduduk untuk mematuhi dan menerapkan teknik dan standar konstruksi bangunan yang tahan
gempa untuk membangun rumah atau gedung yang mereka miliki sebagai langkah antisipasi
terhadap risiko bencana gempa merupakan contoh gambaran nyata upaya mitigasi yang dapat
dilakukan oleh masyarakat. Namun demikian kesadaran untuk melaksanakan upaya mitigasi ini
seringkali belum tertanam secara merata dan belum teraktualisasi dalam bentuk tindakan koordinatif
yang mampu membuka kesadaran penuh masyarakat akan arti penting peran mereka dalam upaya
mitigasi bencana. Berdasarkan kondisi ini, maka peran pemerintah menjadi penting dalam rangka
pelaksanaan mitigasi bencana secara efektif dalam masyarakat.

Peran Pemerintah untuk mengupayakan aktivitas mitigasi yang efektif sebenarnya secara implisit
telah tertuang dalam konstitusi. Amandemen UUD 1945 pasal 28G ayat 1 menyatakan bahwa
“setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta
benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman, dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Dalam konteks ini,
mitigasi bencana dapat dipandang sebagai wujud nyata perlindungan negara terhadap warganya.
Pemerintah bukan hanya memiliki legalitas formal namun juga tanggungjawab untuk menjamin dan
merealisasikan upaya perlindungan keamanan yang merupakan hak publik tersebut.

Dalam upaya mitigasi, pemerintah pada dasarnya dapat masuk dalam peran sebagai pelaksana
mitigasi secara langsung, regulator dan juga fasilitator. Peran pelaksana langsung tindakan mitigasi
dapat dilaksanakan oleh pemerintah, meski ketersediaan sumber daya pemerintah seringkali memang
merupakan bagian dari fakta yang ada. Namun demikian pemaksaan peran pelaksana oleh
pemerintah dalam jangka panjang justru hanya akan mengarahkan upaya mitigasi bencana dalam
kondisi kemandekan yang bersifat membahayakan. Oleh karena itu, peran yang efektif untuk
dilakukan oleh pemerintah adalah peran sebagai regulator dan fasilitator. Dengan kedua peran ini,
pemerintah dapat berbagi ruang pelaksanaan mitigasi bencana dengan seluruh elemen publik baik
masyarakat, LSM maupun perusahaan swasta, sehingga seluruh pihak dapat memiliki kesadaran
akan arti penting dari mitigasi bencana bagi setiap pihak serta mampu mengarusutamakan mitigasi
bencana dalam aktivitas-aktivitas keseharian mereka yang paling real dan sederhana.
Dalam pelaksanaan kedua peran tersebut, pemerintah dapat menggunakan kebijakan publik sebagai
media utama dalam mitigasi. Keistimewaan daya paksa hukum yang melekat pada kebijakan publik,
dapat memaksa seluruh pihak untuk terlibat secara aktif dan nyata dalam mitigasi bencana. Terdapat
dua bentuk kebijakan yang dapat diimplementasikan oleh pemerintah dalam rangka mitigasi bencana
yakni kebijakan aktif dan kebijakan pasif. Kebijakan aktif dapat terlihat dari kebijakan yang
menstimulasi tindakan kolektif yang diinginkan dalam mitigasi bencana. Dalam kebijakan jenis ini
pemerintah dapat menawarkan pola insentif-insentif tersendiri yang diarahkan untuk mendorong
berbagai pihak untuk terlibat secara aktif dan atau menjalankan upaya kreatif yang diarahkan untuk
menguatkan mitigasi bencana. Sedangkan kebijakan pasif dimaksudkan sebagai kebijakan yang
bersifat mengendalikan tindakan kolektif yang tidak dikehendaki untuk terjadi dalam mitigasi
bencana. Kebijakan jenis ini dapat diaktualisasikan dalam bentuk sanksi hukum, penalti atau kontrol
terhadap tindakantindakan yang potensial untuk dapat merentankan kondisi sistem ekologis yang
ada.

Pelaksanaan kedua bentuk kebijakan tersebut bukanlah merupakan hal mudah. Setiap bentuk
kebijakan membutuhkan sejumlah kondisi pendukung tertentu agar dapat dijalankan secara efektif.
Kebijakan aktif dapat dimungkinkan untuk berjalan secara efektif apabila pemerintah mampu untuk
mengambil inisiatif untuk menumbuhkan kesadaran dan keterlibatan berbagai pihak dalam rangka
mengurangi potensi risiko bencana. Kondisi lainnya yang amat dibutuhkan dalam rangka pelaksaan
kebijakan aktif adalah penerimaan masyarakat target dan seluruh stakeholder, karena pada dasarnya
titik tumpu dari seluruh pelaksanaan kebijakan ini akan berada pada masyarakat. Selain itu kebijakan
aktif biasanya akan terwujud dalam bentuk inisiasi program maupun pelaksanaan proyek-proyek
khusus yang diarahkan untuk mitigasi bencana, dengan demikian maka ketersediaan anggaran dan
juga sumber daya yang memiliki komitmen dan keahlian khusus sangat dibutuhkan dalam
pelaksanaannya. Kondisi pendukung yang sifatnya khusus juga dibutuhkan dalam rangka
pelaksanaan kebijakan pasif. Ketersediaan sistem pengendalian yang kuat, penerimaan masyarakat
dan seluruh stakeholder serta adanya kemauan dan kemampuan masyarakat untuk mematuhi
kebijakan merupakan kondisi yang dapat mendukung kelancaran aktivitas mitigasi melalui kebijakan
pasif ini.
6. Kendala Mitigasi Bencana
Kebijakan mitigasi bencana merupakan kebijakan yang memiliki tingkat kesulitan yang tinggi
untuk diimplementasikan. Ender dkk, (1988) dalam tulisan mereka The Design and
Implementation of Disaster Mitigation Policy menyatakan bahwa kesulitan tersebut dapat
diperkirakan terjadi sehubungan dengan keunikan sifat yang melekat pada kebijakan mitigasi.
Kebijakan mitigasi bencana merupakan kebijakan yang mendasarkan pada asumsi bencana yang
seringkali tidak nampak atau tidak kasat mata dalam kondisi normal, serta memiliki tingkat
probabilitas yang rendah. Oleh karena itu upaya untuk membangun kesadaran akan perlunya
mitigasi bencana akan sulit dilakukan, terlebih dalam kondisi normal, karena tidak tersedia
gambaran yang cukup kuat bagi berbagai pihak untuk membangun kesadaran tersebut. Selain itu
kesulitan implementasi kebijakan mitigasi bencana dapat dihadapi karena sifat dampak aktual
dari tindakan mitigasi bencana yang sangat sulit untuk dievaluasi terlebih dalam waktu jangka
pendek. Hal ini jugalah yang kemudian membuat para politisi seringkali tidak merasa terdorong
untuk memberikan dukungan nyata terhadap tindakan ataupun kebijakan mitigasi. Kalkulasi
mengenai potensi keuntungan atau manfaat dari tindakan atau kebijakan mitigasi seringkali
dipandang tidak besar bagi karir politik mereka. Faktor lain yang seringkali menghambat atau
menjadi kendala bagi upaya mitigasi bencana adalah berkembangnya moral hazard dari para
pembuat kebijakan atau perencana program mitigasi. Moral hazard tersebut dapat terjadi baik
pada saat perencanaan aktivitas mitigasi maupun pelaksanaannya. Moral hazard ini dapat terjadi
dalam bentuk bekerjanya “politik citra” atau Twigg (2001) menamakannya dengan istilah politics
of response. Politik citra ini dapat diamati secara nyata dalam perencanaan program mitigasi
bencana yang dilakukan sesaat setelah atau sebelum bencana. Pada saat-saat demikian berbagai
pihak seringkali ingin nampak terlibat atau berperan aktif dalam rangka menanggulangi bencana
hanya dengan satu alasan kepentingan dasar yakni meningkatnya citra diri atau kelompok demi
mulusnya tujuan politik. Motif-motif demikian pada akhirnya akan berdampak merugikan pada
nasib pelaksanaan kebijakan atau program mitigasi bencana yang dihasilkan. Dalam masa seperti
itu, bukan tidak mungkin bahwa berbagai pihak yang terlibat dalam perumusan kebijakan ataupun
pelaksanaan kebijakan dan program mitigasi bencana sebenarnya tidak familiar atau tidak
memahami sifat bencana serta kerentanan yang dimiliki oleh sebuah komunitas atau sebuah
ekosistem.

7. Model Mitigasi
Dalam rangka pengusulan rencana mitigasi, maka upaya untuk mengenali sifat bencana gempa bumi
perlu dilakukan. Bencana gempa bumi pada umumnya memiliki mekanisme yang potensial untuk
menyebabkan kerusakan dan kehancuran bangunan, yang pada gilirannya dapat menyebabkan orang
terluka atau bahkan jatuhnya korban jiwa. Selain itu efek gempa bumi juga pada dasarnya dapat
menjadi pemicu bagi ancaman bencana yang lain yakni longsor. Pada kejadian bencana gempa bumi
bangunan-bangunan tua dan bangunan-bangunan yang lemah secara konstruksi, seperti bangunan-
bangunan yang tidak dibangun dengan standar pondasi dan rangka yang tepat, bangunan yang
memiliki konstruksi atap yang berat dengan kemiringan yang curam merupakan elemen bangunan
yang memiliki tingkat risiko yang tinggi. Bangunan-bangunan yang dibangun di wilayah lereng-
lereng yang lemah juga merupakan bangunan yang berisiko rusak karena gempa dan juga longsor
yang merupakan ancaman sekunder dari bencana gempa.
Selain elemen yang berisiko tinggi untuk rusak karena gempa terdapat kelompok masyarakat dan
karakteristik wilayah yang memiliki tingkat kerentanan yang tinggi dalam kondisi gempa. Kelompok
masyarakat yang rentan dalam kondisi gempa ini adalah kelompok masyarakat yang lanjut usia,
balita dan anak-anak. Selain kelompok masyarakat tersebut, kerentanan terhadap bencana gempa
juga melekat pada masyarakat yang tinggal dalam lingkungan permukiman yang padat dan memiliki
karakteristik bangunan yang lemah atau cacat dalam ukuran standar konstruksi.

Berdasarkan pemahaman tersebut di atas dan pengenalan sekilas akan kondisi wilayah dan
masyarakat Bantul, maka diusulkan tindakan mitigasi sebagai berikut:
a) Identifikasi wilayah-wilayah yang rawan secara geologis dalam arti wilayah yang memiliki
tingkat kerawanan yang tinggi untuk terjadinya bencana gempa bumi dan juga longsor yang
merupakan ancaman sekunder dari bencana gempa. Identifikasi ini dapat dilakukan dengan cara
pengkajian secara kontinue. Pemanfaatan studi-studi geologis yang ilmiah yang biasa dilakukan
oleh kelompok perguruan tinggi dapat dimanfaatkan untuk tujuan ini.
b) Identifikasi wilayah-wilayah yang rentan secara demografis untuk mengalami risiko yang tinggi
karena kejadian gempa. Wilayah semacam ini dapat dikenali dengan wilayah yang memiliki
tingkat kepadatan yang tinggi, wilayah yang memiliki prosentase penduduk lanjut usia, balita dan
anak-anak yang tinggi, serta wilayah yang memiliki karakteristik bangunan yang lemah secara
konstruksi. Berdasarkan data Bantul Dalam Angka Tahun 2005, dapat diperkirakan bahwa
terdapat beberapa wilayah desa yang diperkirakan memiliki tingkat kepadatan yang cukup tinggi
dan dihuni oleh penduduk dengan kelompok usia lanjut usia, balita dan anak-anak yang cukup
tinggi. Desa-desa tersebut diantaranya adalah Gilangharjo di Kecamatan Pandak, Palbapang di
Kecamatan Bantul, Trimulyo di Kecamatan Jetis, Banguntapan di Kecamatan Banguntapan,
Sitimulyo di Kecamatan Piyungan, Bangunharjo dan Panggungharjo di wilayah Kecamatan
Sewon. Pemetaan kerentanan demografis ini tentulah akan sangat tergantung pada akurasi data
profil demografis setiap desa dan masih tetap harus dipadukan dengan data tingkat kerentanan
wilayah berdasarkan kondisi konstruksi rumah. Identifikasi wilayah kerentanan secara demografis
ini pada dasarnya akan terkendala oleh status penduduk musiman yang seringkali tidak tercatat di
setiap wilayah atau terkendala oleh fakta bahwa banyak terdapat penduduk Bantul yang ternyata
tidak berdomisili di wilayah Bantul.
c) Peninjauan atau penyesuaian kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bantul untuk
menjamin bahwa Perda tersebut memiliki wawasan bencana dan perlindungan lingkungan.
d) Penegakkan aturan standar bangunan di wilayah Kabupaten Bantul. 5. Pelaksanaan kegiatan
penataan permukiman yang dapat dilaksanakan sejak masa rekonstruksi gempa saat ini. Dalam
fase rekonstruksi ini Pemerintah Kabupaten Bantul dapat melakukan pengaturan atau penataan
pemukiman pada wilayah yang masih dapat direkayasa. Pada dasarnya upaya rekonstruksi juga
dapat dijadikan momentum bagi Pemerintah Daerah untuk mengurangi kerentanan fisik dan
sosial yang ada dalam masyarakat mereka. Berdasarkan pemahaman ini, maka rehabilitasi
lingkungan permukiman penduduk dapat diawali dengan beberapa tindakan nyata sebagai
berikut:
Kegiatan penataan jarak antara rumah-rumah penduduk yang cukup ideal. Hal ini dilakukan
untuk mengatur kepadatan lingkungan permukiman. Hal ini penting karena dalam setiap
bencana gempa setiap orang akan membutuhkan ruang yang cukup untuk upaya
penyelamatan diri.
Pembangunan kesepakatan publik tentang perlunya ruang publik seperti lapangan atau
taman publik untuk skope dusun, RW atau RT yang dapat dijadikan sebagai tempat evakuasi
pada saat bencana.
Penguatan kontrol terhadap penerapan standar konstruksi bangunan-bangunan fasilitas
publik yang sedianya dapat dijadikan sebagai tempat evakuasi dalam kondisi bencana
gempa.
Pengembangan kesadaran masyarakat melalui media-media lokal seperti media kesenian,
pertemuan warga, media hiburan umum seperti pemutaran film, penyebaran leaflet dan lain-
lain. Upaya pengembangan kesadaran ini haruslah dilakukan sejak saat ini, saat dimana
kesadaran dan ingatan masyarakat warga Bantul akan bahaya dan risiko gempa masih kuat.
Pelaksanaan pelatihan upaya penyelamatan diri yang dapat dilakukan pada setiap kelompok
masyarakat dengan cara yang tepat dan menarik.
Pengaturan tentang insentif yang dapat diberikan oleh para Pemerintah Kabupaten kepada
berbagai pihak baik masyarakat maupun perusahaan swasta yang mendukung upaya mitigasi.
Pemberian bantuan pelatihan dan konsultasi teknis pembangunan rumah tahan gempa pada
penduduk dan tukang-tukang dan pelaksana pembangunan oleh Dinas Kimpraswil
Kabupaten Bantul.
Sosialisasi tentang teknik pelestarian bangunan tradisional Jawa yang biasa didirikan di
wilayah Bantul dengan modifikasi konstruksi rumah tahan gempa.
Relokasi merupakan tindakan mitigasi yang harus dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten
Bantul apabila didapati adanya wilayah yang sangat rawan untuk didiami oleh penduduk.
Wilayah ini dapat diidentikan dengan karakteristik kerawanan longsor setelah bencana
gempa. Namun demikian dalam kenyataan praktik, seringkali upaya ini memang tidak
mudah dilakukan, penolakan warga merupakan reaksi yang seringkali muncul dalam
tindakan mitigasi jenis ini. Berhadapam dengan kondisi ini, maka upaya yang harus
dilakukan oleh pemerintah adalah:
 Memberikan informasi yang tepat pada penduduk target tentang risiko yang harus
mereka alami jika bertahan di wilayah rawan tersebut.
 Melakukan pendekatan pada kelompok penduduk target untuk mengidentifikasikan
alasan penolakan relokasi.
 Menyediakan sejumlah fasilitas dasar yang dibutuhkan bagi penduduk untuk pindah dari
wilayah semula dan mampu bertahan di wilayah yang baru. Upaya Pemerintah
Kabupaten memberikan bantuan fasilitas dasar ini perlu dilaksanakan terlebih apabila
terdapat kondisi dimana sejumlah penduduk tidak bersedia direlokasi karena mereka
tidak memiliki pilihan tempat tinggal yang baru ataupun karena keterbatasan sosial
ekonomi.
 Menghindarkan pola penanganan yang represif terhadap penduduk yang menolak
relokasi karena alasan yang bersifat emosional atau psikologis. Mungkin saja terdapat
sejumlah penduduk yang memiliki ikatan emosional atau psikologis yang sulit dipahami
orang lain dengan wilayah yang dinyatakan rawan tersebut.
 Pembangunan jaringan kerjasama dengan kelompok perguruan tinggi, LSM, dan
kalangan swasta untuk melakukan pemberdayaan dalam hal penguatan konstruksi
bangunan tahan gempa.
Upaya-upaya lain dapat juga dilakukan dalam rangka mitigasi bencana gempa. Hal mendasar yang
harus selalu tetap harus diperhatikan dalam perencanaan mitigasi bencana adalah pengenalan
karakter wilayah serta penempatan publik sebagai subyek dalam kegiatan mitigasi. Selain itu,
mitigasi bencan hendaknya tidak hanya diarahkan untuk mencegah risiko dampak dari bencana
gempa bumi yang sudah pernah dialami di wilayah Bantul. Pemetaan akan jenis ancaman bahaya
lainnya seperti longsor, banjir, kekeringan, tsunami, konflik dan bencana lainnya perlu dilakukan.
Penyusunan rencana mitigasidalam rangka mitigasi bencana lainnya menjadi sebuah tanggung jawab
yang harus dipenuhi oleh Pemerintah Kabupaten Bantul.
Berdasarkan pemahaman terhadap mitigasi bencana, maka dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya
mitigasi bencana haruslah dilaksanakan dengan pemilihan waktu yang jelas, perencanaan dan
pelaksanaannya harus melibatkan pihakpihak yang memiliki pengetahuan dan keahlian dalam
penanganan bencana, dan adanya komitmen politik yang ditindaklanjuti dengan kerangka dan
sumber daya bagi pelaksanaan rencana aksi mitigasi bencana. Bencana yang sulit dibayangkan dan
tingkat risikonya yang selalu ada dalam tataran prediksi sulit untuk dipahami dalam kondisi normal.
Oleh karena itu perencanaan dan pelaksanaan mitigasi yang dilakukan sesaat setelah peristiwa
bencana, akan mendapati momentum yang baik karena kesadaran dan seluruh ingatan akan bahaya
dan dampak bencana masih terkumpul dengan baik dalam ingatan publik. Selain itu upaya mitigasi
bencana jangan hanya terfokus pada kejadian bencana yang telah terjadi di masa lalu, namun tetap
mengarah pada potensi ancaman bencana yang mungkin dihadapi di masa yang akan datang.
Keterlibatan pihak-pihak yang memiliki keahlian khusus seputar bencana dimungkinkan akan
mampu mendukung perancangan kebijakan dan program mitigasi yang sifatnya efektif. Adapun
pembuktian komitmen politik dan kesiapan dukungan sumber daya bagi pelaksanaan mitigasi
merupakan sebuah syarat penting agar mitigasi bencana tidak hanya akan berhenti di tataran rencana
semata.
Daftar Pustaka

http://piba.tdmrc.org/content/menuju-aceh-bandar-mitigasi-bencana-refleksi-hari-pengurangan-
risiko-bencana-internasional-0

http://nidaririn.blogspot.com/2012/12/gempa-aceh.html

http://friadydc.blogspot.com/

http://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/32843430/Paper_Mitigasi_Bencana_Berbasis_K
omunitas_utk_Gempa_Bantul-
libre.pdf?AWSAccessKeyId=AKIAJ56TQJRTWSMTNPEA&Expires=1414950655&Signature=Jp0
hJmnbwMUIOn1KE1VVEAkHZyU%3D
1. Pengertian Sistem Peringatan Dini
Sistem Peringatan Dini (Early Warning System) merupakan serangkaian sistem untuk memberitahukan
akan timbulnya kejadian alam, dapat berupa bencana maupun tanda-tanda alam lainnya. Peringatan dini
pada masyarakat atas bencana merupakan tindakan memberikan informasi dengan bahasa yang mudah
dicerna oleh masyarakat. Dalam keadaan kritis, secara umum peringatan dini yang merupakan
penyampaian informasi tersebut diwujudkan dalam bentuk sirine, kentongan dan lain sebagainya. Namun
demikian menyembunyikan sirine hanyalah bagian dari bentuk penyampaian informasi yang perlu
dilakukan karena tidak ada cara lain yang lebih cepat untuk mengantarkan informasi ke masyarakat.
Harapannya adalah agar masyarakat dapat merespon informasi tersebut dengan cepat dan tepat.
Kesigapan dan kecepatan reaksi masyarakat diperlukan karena waktu yang sempit dari saat
dikeluarkannya informasi dengan saat (dugaan) datangnya bencana. Kondisi kritis, waktu sempit, bencana
besar dan penyelamatan penduduk merupakan faktor-faktor yang membutuhkan peringatan dini. Semakin
dini informasi yang disampaikan, semakin longgar waktu bagi penduduk untuk meresponnya.
Keluarnya informasi tentang kondisi bahaya merupakan muara dari suatu alur proses analisis data-data
mentah tentang sumber bencana dan sintesis dari berbagai pertimbangan. Ketepatan informasi hanya
dapat dicapai apabila kualitas analisis dan sintesis yang menuju pada keluarnya informasi mempunyai
ketepatan yang tinggi. Dengan demikian dalam hal ini terdapat dua bagian utama dalam peringatan dini
yaitu bagian hulu yang berupa usaha-usaha untuk mengemas data-data menjadi informasi yang tepat dan
menjadi hilir yang berupa usaha agar infomasi cepat sampai di masyarakat.
2. Tujuan Sistem Peringatan Dini
Bagi masyarakat Indonesia, sistem peringatan dini dalam menghadapi bencana sangatlah penting,
mengingat secara geologis dan klimatologis wilayah Indonesia termasuk daerah rawan bencana alam.
Dengan ini diharapkan akan dapat dikembangkan upaya-upaya yang tepat untuk mencegah atau paling
tidak mengurangi terjadinya dampak bencana alam bagi masyarakat. Keterlambatan dalam menangani
bencana dapat menimbulkan kerugian yang semakin besar bagi masyarakat. Dalam siklus manajemen
penanggulangan bencana, sistem peringatan dini bencana alam mutlak sangat diperlukan dalam tahap
kesiagaan, sistem peringatan dini untuk setiap jenis data, metode pendekatan maupun instrumentasinya.
Tujuan akhir dari peringatan dini ini adalah masyarakat dapat tinggal dan beraktivitas dengan aman pada
suatu daerah serta tertatanya suatu kawasan. Untuk mencapai tujuan akhir tersebut maka sebelumnya
perlu dicapai beberapa hal sebagai berikut:
a. Diketahuinya daerah-daerah rawan bencana di Indonesia
b. Meningkatkannya knowledge, attitude dan practice dari masyarakat dan
aparat terhadap fenomena bencana, gejala-gejala awal dan mitigasinya.
c. Tertatanya suatukawasan dengan mempertimbangkan potensi bencana.
d. Secara umum perlu pemahaman terhadap sumberbencana.
3. Target dari Sistem Peringatan Dini
Target yang akan diberi peringatan dini adalah masyarakat dan aparat, terutama yang tinggal di daerah
rawan bencana. Target ini seharusnya mencakup beberapa generasi dan beberapa kelas sosial masyarakat.
Keterlibatan masyarakat, aparat dan akademisi (peneliti dari multi disiplin, misal geografi, geologi,
pertanian, teknik sipil, ilmu sosial, dll) sangat penting dalam sistem peringatan dini. Sistem peringatan
dini akan lebih tepat apabila dirumuskan oleh ketiga komponen ini. Apabila salah satu komponen saja
yang dominan dikhawatirkna sistem ini tidak akan berjalan efektif.
4. Pelaksanaan Sistem Peringatan Dini
Informasi dini terhadap bencana didapatkan dengan dua macam cara, yakni sebagai berikut.
a. Konvensional
Secara konvensional, pengenalan bencana dilakukan dengan pengenalan terhadap gejala-gejala alam yang
muncul sebelum terjadinya bencana, yang disesuaikan dengan karakteristik bencananya.
b. Modern
Secara modern, pengenalan bencana dilakukan dengan pemantauan aktivitas di atmosfer secara periodik
dengan satelit maupun peralatan berteknologi tinggi. Pengenalan gejala bencana merupakan hal yang
penting dalam Early Warning System. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa sebagian besar Sistem
Peringatan Dini Bencana Alam sulit untuk diaplikasikan. Biaya instansi perangkat keras, perangkat lunak,
jaringan telekomunikasi dan operasionalnya memerlukan pendanaan yang sangat mahal. Dalam kondisi
seperti ini, maka kesiapsiagaan dan mengenali gejala alam akan munculnya bencana merupakan jawaban
yang paling memungkinkan. Masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana harus diberdayakan dan
merespons sistem tersebut agar pengurangan jumlah korban bencana alam dapat dihindari. Oleh karena
itu, perlu peningkatan pemahaman kesadaran masyarakat dan aparat terhadap kondisi daerahnya yang
rawan, serta terhadap gejala-gejala awal terjadinya bencana, tindakan darurat dan mitigasinya.

You might also like