You are on page 1of 32

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Atresia bilier merupakan proses inflamasi progresif yang menyebabkan


fibrosis saluran empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik sehingga pada
akhirnya akan terjadi obstruksi saluran tersebut (Donna L. Wong, 2008). Atresia
bilier terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan
hambatan aliran empedu. Tindakan operatif atau bedah dapat dilakukan untuk
penatalaksanaannya. Pada lebih kurang 80% - 90% bayi dengan atresia biliaris
ekstrahepatik yang menjalani pembedahan ketika usianya kurang dari 10 minggu
dapat dicapai drainase getah empedu (Halamek dan Stevenson, 1997). Meski
demikian, sirosis yang progresif tetap terjadi pada anak, dan sampai 80% - 90%
kasus pada akhirnya akan memerlukan transplantasi hati (Andres, 1996).
Atresia bilier ditemukan pada 1 dalam 10.000 kelahiran hidup dan 1
dalam 25.000 kelahiran hidup. Tampaknya tidak terdapat predileksi rasial atau
genetik kendati ditemukan predominasi wanita sebesar 1,4:1 (McEvoy dan
Suchy, 1996; Whitington, 1996). Di Belanda, dilaporkan kasus atresia bilier
sebanyak 5 dari 100.000 kelahiran hidup, di Perancis 5,1 dari 100.000 kelahiran
hidup, di Inggris dilaporkan 6 dari 100.000 kelahiran hidup. Di Texas tercatat 6.5
dari 100.000 kelahiran hidup, 7 dari 100.000 kelahiran hidup di Australia, 7,4 dari
100.000 kelahiran hidup di USA dan dilaporkan terdapat 10,6 dari 100.000
kelahiran hidup di Jepang menderita atresia bilier. Dari 904 kasus atresia bilier
yang terdaftar di lebih 100 institusi, atresia bilier di dapatkan pada ras Kaukasia
(62%), berkulit hitam (20%), Hispanik (11%), Asia (4,2%) dan Indian amerika
(1,5%). Walau jarang namun jumlah penderita atresia bilier yang ditangani RS.
Cipto Mangun Kusumo (RSCM) pada tahun 2002-2003 tercatat mencapai 37-38
bayi atau 23% dari 163 bayi berpenyakit kuning akibat kelainan fungsi hati.
Sedangkan di RSU Dr. Soetomo Surabaya antara tahun 1999-2004 ditemukan
dari 19.270 penderita rawat inap di Instalansi Rawat Inap Anak, tercatat 96
penderita dengan penyakit kuning gangguan fungsi hati didapatkan 9 (9,4%)
menderita atresia bilier ( Widodo J, 2010).Pada atresia bilier terjadi penyumbatan
aliran empedu dari hati ke kandung empedu. Atresia bilier terjadi karena adanya
perkembangan abnormal dari saluran empedu di dalam maupun di luar hati.
Tetapi penyebab terjadinya gangguan perkembangan saluran empedu ini tidak
diketahui. Jika aluran empedu buntu, maka empedu akan menumpuk di hati.
Selain itu akan terjadi ikterus atau kuning di kulit dan mata akibat tingginya kadar
bilirubin dalam darah. Hal ini bisa menyebabkan kerusakan hati dan sirosis hati,
yang jika tidak diobati bisa berakibat fatal atau sampai terjadi kematian.
Deteksi dini dari kemungkinan adanya atresia bilier sangat penting sebab
efikasi pembedahan hepatik-pontoeterostomi (operasi Kasai) akan menurun bila
dilakukan setelah umur 2 bulan. Bagi penderita atresia bilier prosedur yang baik
adalah mengganti saluran empedu yang mengalirkan empedu ke usus. Selain
itu,terdapat beberapa intervensi keperawatan yang penting bagi anak yang
menderita atresia bilier. Penyuluhan yang meliputi semua aspek rencana
penanganan dan dasar pemikiran bagi tindakan yang akan dilakukan harus
disampaikan kepada anggota keluarga pasien. (Donna L. Wong, 2008)

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep dasar penyakit atresia bilier ?


2. Bagaimana konsep dasar asuhan keperawatan atresia bilier ?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui konsep dasar penyakit atresia bilier.


2. Untuk mengetahui konsep dasar asuhan keperawatan atresia bilier.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dasar Penyakit

2.1.1 Anatomi dan Fungsi Sistem Biliaris

1. Anatomi Sistem Biliary

Hati terletak di belakang tulang-tulang iga (kosta) dalam rongga abdomen daerah
kanan atas. Hati memiliki berat sekitar 1500 gr, dan di bagi menjadi empat lobus.
Setiap lobus hati terbungkus oleh lapisan tipis jaringan ikat yang membentang ke
dalam lobus itu sendiri dan membagi massa hati menjadi unit-unit yang lebih
kecil, yang disebut lobulus. Sirkulasi darah ke dalam dan ke luar hati sangat
penting dalam penyelenggaran fungsi hati.
Saluran empedu terkecil yang disebut kanalikulus terletak di antara lobulus hati.
Kanalikulus menerima hasil sekresi dari hepatosit yang membawanya ke saluran
empedu yang lebih besar yang akhirnya akan membentuk duktus hepatikus.
Duktus hepatikus dari hati dan duktus sistikus dari kandung empedu bergabung
untuk membentuk duktus koledokus (commom bile duct) yang akan
mengosongkan isinya ke dalam intestinum. Aliran empedu ke dalam intestinum di
kendalikan oleh sfingter Oddi yang terletak pada tempat sambungan (junction) di
mana duktus koledokus memasuki duodenum.
Kandung empedu (vesika felea), yang merupakan organ berbentuk sebuah
pear, berongga dan menyerupai kantong dengan panjang 7,5 hingga 10 cm,
terletak dalam suatu cekungan yang dangkal pada permukaan inferior hati
dimana organ tersebut terikat pada hati oleh jaringan ikat yang longgar.
Kapasitas kandung empedu 30-50ml empedu. Dindingnya terutama tersusun dari
otot polos. Kandung empedu dihubungkan dengan duktus koledokus lewat
duktus sistikus.

a. Kandung Empedu

Kandung empedu adalah sebuah kantung berbentuk seperti buah pear,memiliki


panjang 7-10 cm dengan kapasitas 30-50 ml namun saat terdistensi dapat
mencapai 300 ml. Kandung empedu berlokasi di sebuah lekukan pada
permukaaan bawah hepar yang secara anatomi membagi hepar menjadi lobus
kanan dan lobus kiri. Kandung empedu dibagi menjadi 4 area secara anatomi
yaitu fundus, leher, corpus, dan infundibulum. Fundus berbentuk bulat dan
ujungnya 1-2 cm melebihi batas hepar, strukturnya kebanyakan berupa otot
polos, kontras dengan korpus yang kebanyakan terdiri dari jaringan elastis. Leher
biasanya membentuk sebuah lengkungan, yang mencembung dan membesar
membentuk Hartmann’s pouch.
Kandung empedu terdiri dari epitel silindris yang mengandung kolesterol
dan tetesan lemak. Mukus disekresi ke dalam kandung empedu dalam kelenjar
tubuloalveolar yang ditemukan dalam mukosa infundibulum dan leher kandung
empedu, tetapi tidak pada fundus dan korpus. Epitel yang berada sepanjang
kandung empedu ditunjang oleh lamina propria. Lapisan ototnya adalah serat
longitudinal sirkuler dan oblik, tetapi tanpa lapisan yang berkembang sempurna.
Perimuskular subserosa mengandung jaringan penyambung, saraf, pembuluh
darah, limfe dan adiposa. Kandung empedu ditutupi oleh lapisan serosa kecuali
bagian kandung empedu yang menempel pada hepar. Kandung empedu
dibedakan secara histologis dari organ-organ gastrointestinal lainnya dari lapisan
muskularis mukosa dan submukosa yang sedikit.
Arteri sistika yang mensuplai kandung empedu biasanya berasal dari cabang
arteri hepatika kanan. Lokasi Arteri sistika dapat bervariasi namun hampir selalu
di temukan di segitiga hepatosistica, yaitu area yang dibatasi oleh Ductus
sistikus, Ductus hepaticus komunis dan batas hepar (segitiga Calot). Ketika arteri
sistika mencapai bagian leher dari kandung empedu, akan terbagi menjadi
anterior dan posterior. Aliran vena akan melalui vena kecil dan akan langsung
memasuki hepar, atau lebih jarang akan menuju vena besar sistika menuju vena
porta. Aliran limfe kandung empedu akan menuju kelenjar limfe pada bagian
leher.
Persarafan kandung empedu berasal dari nervus vagus dan dari cabang simpatis
melewati pleksus celiaca. Tingkat preganglionik simpatisnya adalah T8 dan T9.
Rangsang dari hepar, kandung empedu, dan duktus biliaris akan menuju serat
aferen simpatis melewati nervus splanchnic memediasi nyeri kolik bilier. Cabang
hepatik dari nervus vagus memberikan serat kolinergik pada kandung empedu,
duktus biliaris dan hepar.

b. Pembentukan empedu

Empedu dibentuk secara terus menerus oleh hepatosit dan dikumpulkan dalam
kanalikulus serta saluran empedu. Empedu terutama tersusun dari air dan
elektrolit, seperti natrium, kalium, kalsium, klorida serta bikarbonat, dan juga
mengandung dalam jumlah yang berati beberapa substansi seperti lesitin,
kolesterol, billirubin serta garam-garam empedu. Empedu dikumpulkan dan
disimpan dalam kandung empedu untuk kemudian dialirkan ke dalam intestinum
bila diperlukan bagi pencernaan. Fungsi empedu adalah ekskretorik seperti
ekskresi bilirubin dan sebagai pembantu proses pencernaan melalui emulsifikasi
lemak oleh garam-garam empedu.
Garam-garam empedu disintesis oleh hepatosit dari kolesterol. Setelah terjadi
konjugasi atau pengikatan dengan asam-asam amino (taurin dan glisin), garam
empedu diekskresikan ke dalam empedu. Bersama dengan kolesterol dan lesitin,
garam empedu diperlukan untuk emulsifikasi lemak dalam intestinum. Proses ini
sangat penting untuk proses pencernaan dan penyerapan yang efisien.
Kemudian garam empedu akan diserap kembali, terutama dalam ileum distal, ke
dalam darah portal untuk kembali ke hati dan sekali lagi diekskresikan ke dalam
empedu. Lintasan hepatosit empedu intestinum dan kembali lagi kepada
hepatosit dinamakan sirkulasi enterohepatik. Akibat adanya sirkulasi
enterohepatik, maka dari seluruh garam empedu yang masuk ke dalam
intestinum, hanya sebagian kecil yang akan diekskresikan ke dalam feses.
Keadaan ini menurunkan kebutuhan terhadap sintesis aktif garam empedu oleh
sel-sel hati.

c. Ekskresi Bilirubin

Bilirubin adalah pigmen yang berasal dari pemecahan hemoglobin oleh sel-sel
pada sistem retikuloendotelial yang mencakup se-sel Kupffer dari hati. Hepatosit
mengeluarkan bilirubin dari dalam darah dan melalui reaksi kimia mengubahnya
lewat konjugasi menjadi asamglukoronat yang membuat bilirubin lebih dapat larut
di dalam larutan yang encer. Bilirubin terkonjugasi diekskresikan oleh hepatosit
ke dalam kanalikulus empedu di dekatnya dan akhirnya dibawa dalm empedu ke
duodenum.
Dalam usus halus, bilirubin dikonversikan menjadi urobilinogen yang sebagian
akan diekskresikan ke dalam feses dan sebagian lagi diabsorbsi lewat mukosa
intestinal ke dalam daerah portal. Sebagian besar dari urobilinogen yang diserap
kembali ini dikeluarkan oleh hepatosit dan diekskresikan sekali lagi ke dalam
empedu (sirkulasi enterehepatik). Sebagian urobilinogen memasuki sirkulasi
sistemik dan diekskresikan oleh ginjal ke dalam urin. Eliminasi bilirubin dalam
empedu menggambarkan jalur utama ekskresi bagi senyawa ini.
Konsentrasi bilirubin dalam darah dapat meningkat jika terdapat penyakit hati,
bila aliran empedu terhalang (yaitu, oleh batu empedu dalam saluran empedu)
atau bila terjadi penghancuran sel-sel darah merah yang berlebihan. Pada
obstruksi saluran empedu, bilirubin tidak memasuki intestinum dan sebagai
akibatnya, urobilinogen tidak terdapat dalam urin.

d. Fungsi Kandung Empedu

Kandung empedu berfungsi sebagai depot penyimpanan bagi empedu. Di antara


saat-saat makan, ketika sfingter Oddi tertutup, empedu yang diproduksi oleh
hepatosit akan memasuki kandung empedu. Selama penyimpanan, sebagian
besar air dalam empedu diserap melalui dinding kandung empedu sehingga
empedu dalam kandung empedu lebih pekat lima hingga sepuluh kali dari
konsentrasi saat diekskresikan pertama kalinya oleh hati. Ketika makanan masuk
ke dalam duodenum akan terjadi kontraksi kandung empedu dan relaksasi
sfingter Oddi yang memungkinkan empedu mengalir masuk ke dalam intestinum.
Respon ini diantarai oleh sekresi hormon kolesitokinin-pankreozimin (CCK-PZ)
dari dinding usus.

2. Sistem Bilier terbagi atas :

a. Intrahepatik

Sistem biliaris Intrahepatik terdiri atas kanalikuli biliaris dan duktuli biliaris
intralobular. Duktus biliaris intrahepatik terdiri atas sel kuboid atau sel epitel
kolumnar. Bersama dengan bertambahnya jaringan konektif fibroelastis di sekitar
epitel, maka duktus semakin besar. Duktus yang terbesar mempunyai otot polos
pada dindingnya. Kanalikuli biliaris sebenarnya bukan merupakan suatu duktus
melainkan suatu dilatasi ruang interseluler antara hepatosit yang berdekatan.
Diameter lumen kanalikuli ini rata-rata 0,7 mm.
b. Ekstrahepatik

Sistem biliaris ekstrahepatik merupakan suatu saluran yang berada di dalam


ligamentum hepatoduodenale dan secara histologis terdiri atas sel epitel
kolumnar tinggi yang mensekresi mukus, selain itu juga terdapat jaringan konektif
di bawah epitel yang terdiri atas sejumlah serabut elastis, kelenjar mukus,
pembuluh darah dan saraf.
Sistem biliaris extrahepatik terdiri dari :
1) Duktus Hepatikus Kiri dan Kanan

Duktus hepatikus kiri dan kanan muncul pada porta hepatika dari kanan dan kiri
lobus hepar dan berbentuk huruf V. Panjang dari duktus hepatis kiri dan kanan
bervariasi antara 0,5-2,5 cm. Biasanya duktus hepatis kiri lebih panjang dari
kanan dan lebih mudah dilatasi bila terjadi obstruksi di bagian distal.
2) Duktus Hepatikus Komunis

Duktus Hepatikus komunis merupakan gabungan antara duktus hepatikus kiri


dan kanan dengan panjang sekitar 4 cm. Pada 95 % kasus, gabungan ini berada
di luar hepar, tepat di bawah dari porta hepatis. Pada 5% kasus, bergabung di
dalam hepar. 9
3) Duktus sistikus

Duktus sistikus timbul di bagian leher vesika fellea dan bergabung dengan
duktus hepatika komunis. Panjang duktus sistikus bervariasi antara 0,5-0,8 cm
dengan diameter rata-rata 1-3 mm. Dalam duktus sistikus, mukosa membentuk
5-10 lipatan seperti bulan sabit yang dikenal sebagai spiral valves of Heister.
Valvula ini berfungsi untuk menahan distensi yang berlebihan atau kolaps dari
vesika fellea dengan mengubah tekanan dalam duktus sistikus dan berfungsi
dalam menghambat masuknya batu empedu ke dalam duktus koledokus.

4) Duktus Koledokus

Duktus koledokus terbentuk dari gabungan duktus sistikus dengan duktus


hepatikus komunis. Panjang duktus ini sekitar 7,5 cm, namun juga dapat
bervariasi tergantung dari panjang duktus sistikus dan duktus hepatikus komunis
dengan diameter sekitar 6 mm. Duktus koledokus dibagi dalam 4 segmen :
supraduodenal, retroduodenal, pankreatika dan intraduodenal.
Segmen supraduodenal mempunyai panjang 2,5 cm dan berada di batas kanan
dari ligamentum hepatoduodenal, yaitu pada bagian anterior dari vena porta dan
sebelah kanan dari arteri hepatika komunis ascendens.
Segmen retroduodenal berada di posterior dari bagian pertama duodenum
dengan panjang sekitar 2,5 - 4 cm. Segmen ini berjalan sepanjang permukaan
inferior duodenum, kemudian berpindah dari kanan ke kiri dan berada tepat di
kanan dari arteri gastroduodenal.
Segmen pankreatika dari duktus koledokus memanjang dari batas bawah dari
bagian awal duodenum ke dinding posteromedial dari bagian kedua duodenum,
dimana duktus masuk ke dalam dinding duodenum.segmen intraduodenal
mempunyai panjang 2 cm dan berjalan miring sepanjang dinding duodenum
bersama dengan duktus pankreatikus.

5) Ampula vateri

Ampula vateri terbentuk dari pertemuan antara duktus koledokus dengan duktus
pankreatikus. Panjang ampula ini bervariasi, ditemukan panjangnya lebih dari 2
mm pada 46 % kasus, sedangkan kurang dari 2 mm pada 32 % kasus dan tidak
ada pertemuan antara duktus pankreatika dengan duktus koledokus pada 29 %
kasus.

6) Sphingter Oddi

Pada segmen intraduodenal dari duktus koledokus dan ampula dikelilingi oleh
lapisan serabut otot polos yang dikenal sebagai Sphingter of Oddi. Sfingter ini
merupakan kelompok serabut otot yang berada pada dinding duktus koledokus.
Pengaturan dari aliran empedu utamanya dikontrol oleh sfingter ini dan terjadi
relaksasi sfingter akibat stimulasi kolesistokinin dan parasimpatis.
c. Sistem Vaskularisasi

Duktus biliaris ekstrahepatik mendapat vaskularisasi dari beberapa tempat,


diantaranya; Duktus hepatis dan segmen supraduodenal dari duktus koledokus
mendapat aliran darah dari cabang kecil arteri sistikus. Bagian retroduodenal dari
duktus koledokus disuplai oleh cabang retroduodenal dan posterosuperior dari
arteri pankreatikoduodenal. Segmen pankreatika dan intraduodenal
divaskularisasi oleh arteri pankreatikoduodenal bagian anterior dan
posterosuperior. 11
BAB II
BAB II
BAB II
PEMBAHASAN

2.1.2 Definisi
Atresia bilier (biliary atresia) adalah suatu penghambatan di dalam
pipa/saluran-saluran yang membawa cairan empedu (bile) dari liver menuju ke
kantung empedu (gallbladder). Ini merupakan kondisi congenital, yang berarti
terjadi saat kelahiran (Lavanilate.2010.Askep Atresia Bilier).
Atresia Bilier adalah suatu defek kongenital yang merupakan hasil dari
tidak adanya atau obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada ekstrahepatik
atau intrahepatik (Suriadi dan Rita Yulianni, 2006)
Atresia biliary merupakan obliterasi atau hipoplasi satu komponen atau
lebih dari duktus biliaris akibat terhentinya perkembangan janin, menyebabkan
ikterus persisten dan kerusakan hati yang bervariasi dari statis empedu sampai
sirosis biliaris, dengan splenomegali bila berlanjut menjadi hipertensi porta.
(Kamus Kedokteran Dorland, 2006)
Atresia Bilier (biliary atresia) adalah suatu penghambatan di dalam pipa/
saluran-saluran yang membawa cairan empedu (bile) dari liver menuju ke
kantung empedu (gallbladder). Ini merupakan kondisi kongenital, yang berarti
terjadi saat kelahiran.
Atresia bilier merupakan kegagalan perkembangan lumen pada korda
epitel yang akhirnya menjadi duktus biliaris, kegagalan ini bisa menyeluruh atau
sebagian. ( Chandrasoma & Taylor,2005)

2.1.4 Etiologi

Etiologi atresia bilier masih belum diketahui dengan pasti. Sebagian ahli
menyatakan bahwa faktor genetik ikut berperan, yang dikaitkan dengan adanya
kelainan kromosom trisomi17, 18 dan 21, serta terdapatnya anomali organ pada
30% kasus atresia bilier. Namun, sebagian besar penulis berpendapat bahwa
atresia bilier adalah akibat proses inflamasi yang merusak duktus bilier, bisa
karena infeksi atau iskemi. Beberapa anak, terutama mereka dengan bentuk
janin atresia bilier, seringkali memiliki cacat lahir lainnya di jantung, limpa, atau
usus.
Sebuah fakta penting adalah bahwa atresia bilier bukan merupakan penyakit
keturunan. Kasus dari atresia bilier pernah terjadi pada bayi kembar identik,
dimana hanya 1 anak yang menderita penyakit tersebut. Atresia bilier
kemungkinan besar disebabkan oleh sebuah peristiwa yang terjadi selama hidup
janin atau sekitar saat kelahiran. Kemungkinan yang "memicu" dapat mencakup
satu atau kombinasi dari faktor-faktor predisposisi berikut:
1. Infeksi virus atau bakteri
2. Masalah dengan sistem kekebalan tubuh
3. Komponen yang abnormal empedu
4. Kesalahan dalam pengembangan saluran hati dan empedu
5. Hepatocelluler dysfunction

2.1.5 Patofisiologi

Penyebabnya sebenarnya atresia bilier tidak diketahui sekalipun mekanisme


imun atau viral injurio bertanggung jawab atas progresif yang menimbulkan
obstruksi saluran empedu. Berbagai laporan menunjukkan bahwa atresia bilier
tidak terlihat pada janin, bayi yang baru lahir (Halamek dan Stefien Soen, 1997).
Keadaan ini menunjukan bahwa atresia bilier terjadi pada akhir kehamilan atau
pada periode perinatal dan bermanisfestasi dalam waktu beberapa minggu
sesudah dilahirkan. Inflamasi terjadi secara progresif 14
dengan menimbulkan obstruksi dan fibrosis pada saluran empedu intrahepatik
atau ekstrahepatik (Wong, 2008).
Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran
normal empedu keluar hati, kantung empedu dan usus akhirnya akan
menyebabkan peradangan, edema, degenerasi hati, bahkan hati menjadi fibrosis
dan sirosis.
Obstruksi melibatkan dua duktus hepatic yaitu duktus biliaris yang menimbulkan
ikterus dan duktus didalam lobus hati yang meningkatkan ekskresi bilirubin.
Obstruksi yang terjadi mencegah terjadi bilirubin ke dalam usus menimbulkan
tinja berwarna pucat seperti kapur.
Obstruksi bilier menyebabkan akumulasi garam empedu di dalam darah
sehingga menimbulkan gejala pruritus pada kulit. Karena tidak adanya empedu
dalam usus, lemak dan vitamin A, D, E, K tidak dapat di absorbsi sehingga
mengalami kekurangan vitamin yang menyebabkan gagal tumbuh pada anak
(Parakrama, 2005).
)
2.1.7 Manifestasi Klinis

Bayi mengalami ikterus segera setelah lahir, feses pucat dan gambaran serupa
dengan hepatitis neonates. Jika kondisi ini tidak diobati, maka hepar akan
membesar, jantung menjadi tidak terlibat dan ada tanda malabsorbsi lemak.
Gejala yang biasanya timbul dalam waktu 2 minggu setelah lahir, yaitu berupa:
Air kemih bayi berwarna gelap (karena tingkat bilirubin dalam darah dengan
konsentrasi tinggi masuk ke dalam urin), tinja berwarna pucat / acholic (karena
kurangnya bilirubin yang diserap), kulit berwarna kuning, berat badan tidak
bertambah atau penambahan berat badan berlangsung lambat, hati membesar.
Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut: Gangguan
pertumbuhan, gatal-gatal, rewel, tekanan darah tinggi pada vena porta
(pembuluh darah yang mengangkut darah dari lambung, usus dan limpa ke hati).
Tanda pertama dari atresia bilier adalah penyakit kuning, yang menyebabkan
warna kuning pada kulit dan bagian putih mata.. Jaundice disebabkan oleh hati
tidak mengeluarkan bilirubin, pigmen kuning dari darah. Biasanya, bilirubin
diambil oleh hati dan dilepaskan ke dalam empedu. Namun, penyumbatan
saluran empedu menyebabkan bilirubin dan elemen lain dari empedu
terakumulasi dalam darah. Bayi akan menunjukan kondisi normal pada saat lahir
tetapi dalam perkembangannya menunjukan jaundice (kulit dan sclera mata
berubah menjadi kuning), warna aurin yang pekat, dan warna feses yang cerah
dalam minggu pertama kehidupan. Setiap bayi dengan jaundice, setelah berumur
1 bulan dapat dipastikan terkena atresia biliaris dengan pemeriksaan darah
(diantaranya: tipe bilirubin, bilirubin konjugasi dan bilirubin tak terkonjugasi).
Peningkatan bilirubin pada bayi dikarenakan kekurangan drainase , abdomen
menjadi sangat tegang, dan perbesaran dikarenakan peningkatan ukuran hati.
Jika hal ini terjadi, bayi akan menjadi rentan dan kehilangan berat badan
(meskipun pertambahan cairan akan menutupinya ).

2.1.8 Klasifikasi

Tipe- tipe atresia biliary, secara empiris dapat dikelompokkan dalam 2 tipe:
1. Tipe yang dapat dioperasi / Operable/ correctable.
Jika kelainan/sumbatan terdapat dibagian distalnya. Sebagian besar dari
saluran-saluran ekstrahepatik empedu paten.

2. Tipe yang tidak dapat dioperasi / Inoperable/ incorrectable

Jika kelainan / sumbatan terdapat dibagian atas porta hepatic, tetapi akhir-akhir
ini dapat dipertimbangakan untuk suatu operasi porto enterostoma hati radikal.
Tidak bersifat paten seperti pada tipe operatif.
Menurut anatomis atresia billier ada 3 tipe:
1. Tipe I Atresia sebagian atau totalis yang disebut duktus hepatikus komunis,
segmen proksimal paten
2. Tipe IIa Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus billiaris komunis, duktus
sistikus, dan kandung empedu semuanya)
3. Tipe IIb Obliterasi duktus bilierkomunis, duktus hepatikus komunis, duktus
sistikus, kandung empedu normal
4. Tipe III Obliterasi pada semua system duktus billier ekstrahepatik sampai ke
hilus

Tipe I dan II merupakan jenis atresia yang dapat di operasi (correctable)


sedangkan tipe III adalah bentuk atresia yang tidak dapat di Operasi (non
correctable), bila telah terjadi sirosis maka dilakukan transpalantasi hati.

2.1.9 Pemeriksaan Diagnostik

Belum ada satu pun pemeriksaan penunjang yang dapat sepenuhnya diandalkan
untuk membedakan antara kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik. Secara
garis besar, pemeriksaan dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu pemeriksaan :
1. Laboratorium rutin dan khusus untuk menentukan etiologi dan mengetahui
fungsi hati (darah,urin, tinja).
2. Pencitraan, untuk menentukan patensi saluran empedu dan menilai parenkim
hati.
3. Biopsi hati, terutama bila pemeriksaan lain belum dapat menunjang diagnosis
atresia bilier.

1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan rutin

Pada setiap kasus kolestasis harus dilakukan pemeriksaan kadar komponen


bilirubin untuk membedakannya dari hiperbilirubinemia fisiologis. Selain itu
dilakukan pemeriksaan darah tepi lengkap, uji fungsi hati, dan gamma-GT. Kadar
bilirubin direk < 4 mg/dl tidak sesuaidengan obstruksi total. Peningkatan kadar
SGOT/SGPT > 10 kali dengan pcningkatan gamma-GT < 5 kali, lebih mengarah
ke suatu kelainan hepatoseluler. Sebaliknya, peningkatan SGOT < 5kali dengan
peningkatan gamma-GT > 5 kali, lebih mengarah ke kolestasis ekstrahepatik.
Menurut Fitzgerald, kadar gamma-GT yang rendah tidak menyingkirkan
kemungkinan atresia bilier. Kombinasi peningkatan gamma-GT, bilirubin serum
total atau bilirubin direk, dan 18
alkalifosfatase mempunyai spesifisitas 92,9% dalam menentukan atresia bilier.
1) Pemeriksaan urine : pemeriksaan urobilinogen penting artinya pada pasien
yang mengalami ikterus. Tetapi urobilin dalam urine negatif. Hal ini menunjukkan
adanya bendungan saluran empedu total.
2) Pemeriksaan feces : warna tinja pucat karena yang memberi warna pada tinja
/ stercobilin dalam tinja berkurang karena adanya sumbatan.
3) Fungsi hati : bilirubin, aminotranferase dan faktor pembekuan : protombin time,
partial thromboplastin time.
b. Pemeriksaan khusus

Pemeriksaan aspirasi duodenum (DAT) merupakan upaya diagnostik yang cukup


sensitif, tetapi penulis lain menyatakan bahwa pemeriksaan ini tidak lebih baik
dari pemeriksaan visualisasi tinja. Pawlawska menyatakan bahwa karena kadar
bilirubin dalam empedu hanya10%, sedangkan kadar asam empedu di dalam
empedu adalah 60%, maka tidak adanya asam empedu di dalam cairan
duodenum dapat menentukan adanya atresia bilier.
2. Pencitraan
a. Pemeriksaan ultrasonografi

Theoni mengemukakan bahwa akurasi diagnostic USG 77% dan dapat


ditingkatkan bila pemeriksaan dilakukan dalam 3 fase, yaitu pada keadaan
puasa, saat minum dan sesudah minum. Bila pada saat atau sesudah minum
kandung empedu berkontraksi, maka atresia bilier kemungkinan besar (90%)
dapat disingkirkan. Dilatasi abnormal duktus bilier, tidak ditemukannya kandung
empedu, dan meningkatnya ekogenitas hati, sangat mendukung diagnosis
atresia bilier. Namun demikian, adanya kandung empedu tidak menyingkirkan
kemungkinan atresia bilier, yaitu atresia bilier tipe I / distal.
b. Sintigrafi hati

Pemeriksaan sintigrafi sistem hepatobilier dengan isotop Technetium 99m


mempunyai akurasi diagnostik sebesar 98,4%. Sebelum pemeriksaan dilakukan,
kepada pasien diberikan fenobarbital 5 mg/kgBB/hari per oral, dibagi dalam 2
dosis selama 5 hari. Pada kolestasis intrahepatik pengambilan isotop oleh
hepatosit berlangsung lambat tetapi ekskresinya ke usus normal, sedangkan
pada atresia bilier proses pengambilan isotop normal tetapi ekskresinya keusus
lambat atau tidak terjadi sama sekali. Di lain pihak, pada kolestasis intrahepatik
yang beratjuga tidak akan ditemukan ekskresi isotop ke duodenum. Untuk
meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan sintigrafi, dilakukan
penghitungan indeks hepatik (penyebaran isotop dihati dan jantung), pada menit
ke-10. Indeks hepatik > 5 dapat menyingkirkan kemungkinan atresia bilier,
sedangkan indeks hepatik < 4,3 merupakan petunjuk kuat adanya atresia bilier.
Teknik sintigrafi dapat digabung dengan pemeriksaan DAT, dengan akurasi
diagnosis sebesar 98,4%. Torrisi mengemukakan bahwa dalam mendetcksi
atresia bilier, yang terbaik adalah menggabungkan basil pemeriksaan USG dan
sintigrafi.
c. Liver Scan

Scan pada liver dengan menggunakan metode HIDA (Hepatobiliary


Iminodeacetic Acid). Hida melakukan pemotretan pada jalur dari empedu dalam
tubuh, sehingga dapat menunjukan bilamana ada blokade pada aliran empedu.
d. Pemeriksaan kolangiografi
Pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreaticography).
Merupakan upaya diagnostik dini yang berguna untuk membedakan antara
atresia bilier dengan kolestasis intrahepatik. Bila diagnosis atresia bilier masih
meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan kolangiografi durante operasionam.
Sampai saat ini pemeriksaan kolangiografi dianggap sebagai baku emas untuk
membedakan kolestasis intrahepatik dengan atresia bilier.
3. Biopsi hati

Gambaran histopatologik hati adalah alat diagnostik yang paling dapat


diandalkan. Ditangan seorang ahli patologi yang berpengalaman, akurasi
diagnostiknya mencapai 95%, sehingga dapat membantu pengambilan
keputusan untuk melakukan laparatomi eksplorasi, danbahkan berperan untuk
penentuan operasi Kasai. Keberhasilan aliran empedu pasca operasi Kasai di 6
tukan oleh diameter duktus bilier yang paten di daerah hilus hati. Bila diameter
duktus100 200 u atau 150 400 u maka aliran empedu dapat terjadi. Desmet dan
Ohya menganjurkan agar dilakukan frozen section pada saat laparatomi
eksplorasi, untuk menentukan apakah portoenterostomi dapat dikerjakan.
Gambaran histopatologik hati yang mengarah ke atresia bilier mengharuskan
intervensi bedah secara dini. Yang menjadi pertanyaan adalah waktu yang paling
optimal untuk melakukan biopsi hati. Harus disadari, terjadinya proliferasi
duktuler (gambaran histopatologik yang menyokong diagnosis atresia bilier tetapi
tidak patognomonik) memerlukan waktu. Oleh karena itu tidak dianjurkan untuk
melakukan biopsi pada usia < 6 minggu

2.1.10 Penatalaksanaan
1. Terapi medikamentosa
Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam
empedu (asamlitokolat), dengan memberikan : 1) Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari
dibagi 2 dosis, per oral. 2) Fenobarbital akan merangsang enzim glukuronil
transferase (untuk mengubah bilirubin indirek menjadi bilirubin direk);
enzimsitokrom P-450 (untuk oksigenisasi toksin), enzim Na+ K+ ATPase
(menginduksi aliranempedu). Kolestiramin 1 gram/kgBB/hari dibagi 6 dosis atau
sesuai jadwal pemberian susu. Kolestiramin memotong siklus enterohepatik
asam empedu sekunder b. Melindungi hati dari zat toksik, dengan memberikan :
Asam ursodeoksikolat, 310 mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis per oral. Asam
ursodeoksikolat mempunyai daya ikat kompetitif terhadap asam litokolat yang
hepatotoksik.
2. Terapi nutrisi Terapi yang bertujuan untuk memungkinkan anak tumbuh dan
berkembang seoptimal mungkin, yaitu :
a. Pemberian makanan yang mengandung medium chain triglycerides (MCT)
untuk mengatasi malabsorpsi lemak dan mempercepat metabolisme. Disamping
itu, metabolisme yang dipercepat akan secara efisien segera dikonversi menjadi
energy untuk secepatnya dipakai oleh organ dan otot, ketimbang digunakan
sebagai lemak dalam tubuh. Makanan yang mengandung MCT antara lain
seperti lemak mentega, minyak kelapa, dan lainnya.
b. Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak. Seperti vitamin A,
D, E, K
3. Terapi bedah
a. Kasai Prosedur Prosedur yang terbaik adalah mengganti saluran empedu
yang mengalirkan empedu keusus. Tetapi prosedur ini hanya mungkin dilakukan
pada 5-10% penderita. Untuk melompati atresia bilier dan langsung
menghubungkan hati dengan usus halus, dilakukan pembedahan yang disebut
prosedur Kasai. Biasanya pembedahan ini hanya merupakan pengobatan
sementara dan pada akhirnya perlu dilakukan pencangkokan hati.
b. Pencangkokan atau Transplantasi Hati

Transplantasi hati memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi untuk atresia bilier
dan kemampuan hidup setelah operasi meningkat secara dramatis dalam
beberapa tahun terakhir. Karena hati adalah organ satu-satunya yang bisa
bergenerasi secara alami tanpa perlu obat dan fungsinya akan kembali normal
dalam waktu 2 bulan. Anak-anak dengan atresia bilier sekarang dapat hidup
hingga dewasa, beberapa bahkan telah mempunyai anak.
Kemajuan dalam operasi transplantasi telah juga meningkatkan kemungkianan
untuk dilakukannya transplantasi pada anak-anak dengan atresia bilier. Di masa
lalu, hanya hati dari anak kecil yang dapat digunakan untuk transplatasi karena
ukuran hati harus cocok. Baru-baru ini, telah dikembangkan untuk menggunakan
bagian dari hati orang dewasa, yang disebut"reduced size" atau "split liver"
transplantasi, untuk transplantasi pada anak dengan atresia bilier. Berdasarkan
treatment yang diberikan :
1) Palliative treatment

Dilakukan home care untuk meningkatkan drainase empedu dengan


mempertahankan fungsi hati dan mencegah komplikasi kegagalan hati.
2) Supportive treatment
a) Managing the bleeding dengan pemberian vitamin K yang berperan dalam
pembekuan darah dan apabila kekurangan vitamin K dapat menyebabkan
perdarahan berlebihan dan kesulitan dalam penyembuhan. Ini bisa ditemukan
pada selada, kubis, kol, bayam, kangkung, susu, dan sayuran berdaun hijau tua
adalah sumber terbaik vitamin ini.
b) Nutrisi support, terapi ini diberikan karena klien dengan atresia bilier
mengalami obstruksi aliran dari hati ke dalam usus sehingga menyebabkan
lemak dan vitamin larut lemak tidak dapat diabsorbsi. Oleh karena itu diberikan
makanan yang mengandung medium chain triglycerides (MCT) seperti minyak
kelapa.
c) Perlindungan kulit bayi secara teratur akibat dari akumulasi toksik yang
menyebar ke dalam darah dan kulit yang mengakibatkan gatal (pruiritis) pada
kulit.
d) Pemberian health edukasi dan emosional support, keluarga juga turut
membantu dalam memberikan stimulasi perkembangan dan pertumbuhan klien.
2.2 Konsenp Dasar Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
1. Pengumpulan data
a. Identitas
Identitas meliputi nama klien, usia, jenis kelamin.
b. Keluhan utama :

Terdapat keluhan yaitu jaundice dalam 2 minggu sampai 2 bulan.


c. Riwayat penyakit sekarang

Anak dengan Atresia Billiary intra hepatik setelah usia 6 tahun terjadi gangguan
neuromuskuler seperti tidak ada reflek-reflek tendo dalam, kelemahan
memandang ke atas, ketidakmampuan berjalan akibat parosis kedua tungkai
bawah serta kehilangan rasa getar.
d. Riwayat kesehatan dahulu

Riwayat kesehatan lalu meliputi riwayat penyakit yang pernah diderita, riwayat
operasi, riwayat alergi, riwayat imunisasi.
e. Riwayat kesehatan keluarga

Untuk mengetahui apakah dalam keluarga ada yang menderita penyakit yang
sama dengan klien, keturunan dan lainnya. Menentukan apakah ada penyebab
herediter atau tidak.
f. Pemeriksaan Fisik

BI :Sesak nafas, RR meningkat


B2 :Takikardi,berkeringat, kecenderungan perdarahan (kekurangan vitamin K).
B3 :Gelisah atau rewel
B4 :Urine warna gelap dan pekat
B5 :Distensi abdomen, kaku pada kuadran kanan, asites, feses warna pucat,
anoreksia, mual, muntah, regurgitasi berulang, berat badan menurun, lingkar
perut 52 cm. Ikterik pada sclera kulit dan membrane mukosa, kulit berkeringat
dan gatal(pruritus), oedem perifer, kerusakan kulit, otot lemah

g. Pemeriksaan Penunjang

1) Laboratorium
a) Bilirubin direk dalam serum meninggi
b) Nilai normal bilirubin total < 12 mg/dl
c) Bilirubin indirek serum meninggi karena kerusakan parenkim hati akibat
bendungan empedu yang luas
d) Tidak ada urobilinogen dalam urine
e) Pada bayi yang sakit berat terdapat peningkatan transaminase alkalifosfatase
(5-20 kali lipat nilai normal) serta traksi-traksi lipid (kolesterol fosfolipid trigiliserol)

2) Pemeriksaan diagnostik
a) USG yaitu untuk mengetahui kelainan congenital penyebab kolestasis ekstra
hepatic (dapat berupa dilatasi kristik saluran empedu)
b) Memasukkan pipa lambung cairan sampai duodenum lalu cairan duodenum di
aspirasi. Jika tidak ditemukan cairan empedu dapat berarti atresia empedu terjadi
c) Sintigrafi radio kolop hepatobilier untuk mengetahui kemampuan hati
memproduksi empedu dan mengekskresikan ke saluran empedu sampai
tercurah ke duodenum. Jika tidak ditemukan empedu di duodenum, maka dapat
berarti terjadi katresia intra hepatic
d) Biopsy hati perkutan ditemukan hati berwarna coklat kehijauan dan noduler.
Kandung empedu mengecil karena kolaps. 75% penderita tidak ditemukan lumen
yang jelas
h. Pemeriksaan tingkat perkembangan
1) Tahap Tumbuh Kembang umur 6-9 Bulan a) Duduk (sikap tripoid-sendiri) b)
Belajar berdiri, kedua kakinya menyangga sebagian berat badan c) Merangkak
meraih mainan atau mendekati seseorang
d) Memindahkan benda dari tangan satu ke tangan lainnya
e) Memungut dua benda, masing-masing tangan pegang satu benda pada saat
yang bersamaan
f) Memungut benda sebesar kacang dengan cara meraup
g) Bersuara tanpa arti, misalnya ,mamama, bababa, papapa
h) Mencari benda/mainan yang dijatuhkan
i) Bermain tepuk tangan atau ciluk ba
j) Bergembira dengan melempar benda
k) Makan kue sendiri
2) Umur 9-12 bulan
a) Mengangkat badannya ke posisi berdiri

b) Belajar berdiri selama 30 detik atau berpegangan di kursi


c) Dapat berjalan dengan di tuntun d) Mengulurkan lengan/badan untuk meraih
mainan/gambar yang diinginkan e) Menggenggam erat pensil f) Memasukkan
benda ke mulut g) Mengulang menirukan bunyi yang didengar h) Menyebut 2-3
suku kata yang sama tanpa arti i) Mengeksplorasi sekitar, ingin tahu, ingin
menyentuh apa saja j) Bereaksi terhadap suara perlahan/bisikan
k) Senang diajak bermain “ ciluk ba”
l) Mengenal anggota keluarga, takut kepada orang yang belum dikenal
3) Umur 12-18 bulan
a) Berdiri sendiri tanpa berpegangan
b) Membungkuk memungut mainan kemudian berdiri kembali c) Berjalan mundur
5 langkah d) Memanggil ayah dengan kata “papa”, memanggil ibu dengan kata
“mama”. Tergantung mengajarinya, kalau diajari memanggilnya “ayah” ya akan
dipanggil “ayah. i. Pola fungsi kesehatan 1) Aktivitas istirahat Gejala : Letargi
atau kelemahan Tanda : Gelisah atau rewel
2) Sirkulasi

Tanda : Takikardia, berkeringat, ikterik pada sklera kulit dan membran mukosa.
3) Eliminasi

Tanda :Distensi abdomen, asites


Urine :Warna gelap, pekat
Feses :Warna dempul, steatorea, diare/konstipasi dapat terjadi
4) Integritas Ego

Gejala : Menyangkal, tidak percaya, sedih, marah.


Tanda : Takut, cemas, gelisah , menari diri
5) Makanan/ Cairan

Gejala : Anoreksia, tidak mau makan, mual/muntah tidak toleran terhadap lemak
dan makanan pembentuk gas, regurgitasi berulang. 28
6) Higyene

Tanda : Sangat ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.


7) Nyeri/kenyamanan

Gejala: Otot tegang atau kaku bila kuadran kanan atas ditekan..
8) Pernapasan

Gejala: Peningkatan frekuensi pernafasan


9) Keamanan

Tanda : Ikterik, kulit berkeringat dan gatal (pruritus), kecenderungan perdarahan


(kekurangan vitamin K), oedem perifer, jaundice, kerusakan kulit.
2.2.2 Diagnosa keperawatan
1. Hipertermia berhubungan dengan infeksi virus atau bakteri, kerusakan
progresif pada duktus bilier, inflamasi progresi.

2. Keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan


obstruksi aliran dari hati kedalam, lemak dan vitamin larut lemak tidak dapat di
absrobsi, kekurangan vitamin larut lemak (A,D,E,K).
3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan proses peradangan pada hati,
hepatomegali, distensi abdomen, menekan diafragma.

4. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ekskresi bilirubin ke


usus terhambat, gangguan penyerapan lemak dan vitamin larut lemak, malnutrisi.
5. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan malnutrisi, perut terasa
penuh, mual muntah.

6. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan bilirubin, priuritis,


ikterus.
29
7. Cemas berhubungan dengan peningkatan bilirubin, urine berwarna gelap, tinja
berwarna coklat.
8. Resiko infeksi berhubungan dengan pembedahan kasai
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Atresia Bilier adalah suatu defek kongenital yang merupakan hasil dari tidak adanya
atau obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada ekstrahepatik atau intrahepatik
(Suriadi dan Rita Yulianni, 2006)
Atresia biliary merupakan obliterasi atau hipoplasi satu komponen atau lebih dari
duktus biliaris akibat terhentinya perkembangan janin, menyebabkan ikterus persisten
dan kerusakan hati yang bervariasi dari statis empedu sampai sirosis biliaris, dengan
splenomegali bila berlanjut menjadi hipertensi porta. (Kamus Kedokteran Dorland,
2006)
3.2 Saran

Adapun saran yang dapat kelompok sampaikan bagi pembaca khususnya mahasiswa/i
Jurusan Keperawatan , hendaknya memberikan asuhan keperawatan lansia dengan
benar dan tepat sehingga dapat sesuai dengan evaluasi yang diharapkan. 51
DAFRTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. 2003. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC.
R. Taylor, Clive dan Candrasuma Parakrama. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi
Edisi 2. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. (2001). Keperawatan medikal bedah 2. (Ed
8). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Sodikin. 2007. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistim Gastrointestinal Dan
Hepatobilier. Salemba Medika
Suddarth dan Brunner. 2001. Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume
2. Jakarta : EGC
Suriadi dan Yulianni Rita. 2006. Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi 2. Jakarta
:Penebar Swadaya
Tjokronegoro dan Hendra Utama. (1996). Ilmu penyakit dalam jilid 1. Jakarta: FKUI.
Widodo Judarwanto. 2010. Atresia Bilier, Waspadai Bila Kuning Bayi Baru Lahir
yang berkepanjangan.
Wong, D.L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong Edisi 6 Volume 2. Jakarta
: EGC
Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. (1994). Patofisiologi, konsep klinis proses-
proses penyakit. Jakarta: Penerbit EGC.
Soeparman. 1987. Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta : FKUI.
Hull, David. 2008. Dasar-Dasar Pediatri Ed. 3. Jakarta : EGC

You might also like