Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Hati terletak di belakang tulang-tulang iga (kosta) dalam rongga abdomen daerah
kanan atas. Hati memiliki berat sekitar 1500 gr, dan di bagi menjadi empat lobus.
Setiap lobus hati terbungkus oleh lapisan tipis jaringan ikat yang membentang ke
dalam lobus itu sendiri dan membagi massa hati menjadi unit-unit yang lebih
kecil, yang disebut lobulus. Sirkulasi darah ke dalam dan ke luar hati sangat
penting dalam penyelenggaran fungsi hati.
Saluran empedu terkecil yang disebut kanalikulus terletak di antara lobulus hati.
Kanalikulus menerima hasil sekresi dari hepatosit yang membawanya ke saluran
empedu yang lebih besar yang akhirnya akan membentuk duktus hepatikus.
Duktus hepatikus dari hati dan duktus sistikus dari kandung empedu bergabung
untuk membentuk duktus koledokus (commom bile duct) yang akan
mengosongkan isinya ke dalam intestinum. Aliran empedu ke dalam intestinum di
kendalikan oleh sfingter Oddi yang terletak pada tempat sambungan (junction) di
mana duktus koledokus memasuki duodenum.
Kandung empedu (vesika felea), yang merupakan organ berbentuk sebuah
pear, berongga dan menyerupai kantong dengan panjang 7,5 hingga 10 cm,
terletak dalam suatu cekungan yang dangkal pada permukaan inferior hati
dimana organ tersebut terikat pada hati oleh jaringan ikat yang longgar.
Kapasitas kandung empedu 30-50ml empedu. Dindingnya terutama tersusun dari
otot polos. Kandung empedu dihubungkan dengan duktus koledokus lewat
duktus sistikus.
a. Kandung Empedu
b. Pembentukan empedu
Empedu dibentuk secara terus menerus oleh hepatosit dan dikumpulkan dalam
kanalikulus serta saluran empedu. Empedu terutama tersusun dari air dan
elektrolit, seperti natrium, kalium, kalsium, klorida serta bikarbonat, dan juga
mengandung dalam jumlah yang berati beberapa substansi seperti lesitin,
kolesterol, billirubin serta garam-garam empedu. Empedu dikumpulkan dan
disimpan dalam kandung empedu untuk kemudian dialirkan ke dalam intestinum
bila diperlukan bagi pencernaan. Fungsi empedu adalah ekskretorik seperti
ekskresi bilirubin dan sebagai pembantu proses pencernaan melalui emulsifikasi
lemak oleh garam-garam empedu.
Garam-garam empedu disintesis oleh hepatosit dari kolesterol. Setelah terjadi
konjugasi atau pengikatan dengan asam-asam amino (taurin dan glisin), garam
empedu diekskresikan ke dalam empedu. Bersama dengan kolesterol dan lesitin,
garam empedu diperlukan untuk emulsifikasi lemak dalam intestinum. Proses ini
sangat penting untuk proses pencernaan dan penyerapan yang efisien.
Kemudian garam empedu akan diserap kembali, terutama dalam ileum distal, ke
dalam darah portal untuk kembali ke hati dan sekali lagi diekskresikan ke dalam
empedu. Lintasan hepatosit empedu intestinum dan kembali lagi kepada
hepatosit dinamakan sirkulasi enterohepatik. Akibat adanya sirkulasi
enterohepatik, maka dari seluruh garam empedu yang masuk ke dalam
intestinum, hanya sebagian kecil yang akan diekskresikan ke dalam feses.
Keadaan ini menurunkan kebutuhan terhadap sintesis aktif garam empedu oleh
sel-sel hati.
c. Ekskresi Bilirubin
Bilirubin adalah pigmen yang berasal dari pemecahan hemoglobin oleh sel-sel
pada sistem retikuloendotelial yang mencakup se-sel Kupffer dari hati. Hepatosit
mengeluarkan bilirubin dari dalam darah dan melalui reaksi kimia mengubahnya
lewat konjugasi menjadi asamglukoronat yang membuat bilirubin lebih dapat larut
di dalam larutan yang encer. Bilirubin terkonjugasi diekskresikan oleh hepatosit
ke dalam kanalikulus empedu di dekatnya dan akhirnya dibawa dalm empedu ke
duodenum.
Dalam usus halus, bilirubin dikonversikan menjadi urobilinogen yang sebagian
akan diekskresikan ke dalam feses dan sebagian lagi diabsorbsi lewat mukosa
intestinal ke dalam daerah portal. Sebagian besar dari urobilinogen yang diserap
kembali ini dikeluarkan oleh hepatosit dan diekskresikan sekali lagi ke dalam
empedu (sirkulasi enterehepatik). Sebagian urobilinogen memasuki sirkulasi
sistemik dan diekskresikan oleh ginjal ke dalam urin. Eliminasi bilirubin dalam
empedu menggambarkan jalur utama ekskresi bagi senyawa ini.
Konsentrasi bilirubin dalam darah dapat meningkat jika terdapat penyakit hati,
bila aliran empedu terhalang (yaitu, oleh batu empedu dalam saluran empedu)
atau bila terjadi penghancuran sel-sel darah merah yang berlebihan. Pada
obstruksi saluran empedu, bilirubin tidak memasuki intestinum dan sebagai
akibatnya, urobilinogen tidak terdapat dalam urin.
a. Intrahepatik
Sistem biliaris Intrahepatik terdiri atas kanalikuli biliaris dan duktuli biliaris
intralobular. Duktus biliaris intrahepatik terdiri atas sel kuboid atau sel epitel
kolumnar. Bersama dengan bertambahnya jaringan konektif fibroelastis di sekitar
epitel, maka duktus semakin besar. Duktus yang terbesar mempunyai otot polos
pada dindingnya. Kanalikuli biliaris sebenarnya bukan merupakan suatu duktus
melainkan suatu dilatasi ruang interseluler antara hepatosit yang berdekatan.
Diameter lumen kanalikuli ini rata-rata 0,7 mm.
b. Ekstrahepatik
Duktus hepatikus kiri dan kanan muncul pada porta hepatika dari kanan dan kiri
lobus hepar dan berbentuk huruf V. Panjang dari duktus hepatis kiri dan kanan
bervariasi antara 0,5-2,5 cm. Biasanya duktus hepatis kiri lebih panjang dari
kanan dan lebih mudah dilatasi bila terjadi obstruksi di bagian distal.
2) Duktus Hepatikus Komunis
Duktus sistikus timbul di bagian leher vesika fellea dan bergabung dengan
duktus hepatika komunis. Panjang duktus sistikus bervariasi antara 0,5-0,8 cm
dengan diameter rata-rata 1-3 mm. Dalam duktus sistikus, mukosa membentuk
5-10 lipatan seperti bulan sabit yang dikenal sebagai spiral valves of Heister.
Valvula ini berfungsi untuk menahan distensi yang berlebihan atau kolaps dari
vesika fellea dengan mengubah tekanan dalam duktus sistikus dan berfungsi
dalam menghambat masuknya batu empedu ke dalam duktus koledokus.
4) Duktus Koledokus
5) Ampula vateri
Ampula vateri terbentuk dari pertemuan antara duktus koledokus dengan duktus
pankreatikus. Panjang ampula ini bervariasi, ditemukan panjangnya lebih dari 2
mm pada 46 % kasus, sedangkan kurang dari 2 mm pada 32 % kasus dan tidak
ada pertemuan antara duktus pankreatika dengan duktus koledokus pada 29 %
kasus.
6) Sphingter Oddi
Pada segmen intraduodenal dari duktus koledokus dan ampula dikelilingi oleh
lapisan serabut otot polos yang dikenal sebagai Sphingter of Oddi. Sfingter ini
merupakan kelompok serabut otot yang berada pada dinding duktus koledokus.
Pengaturan dari aliran empedu utamanya dikontrol oleh sfingter ini dan terjadi
relaksasi sfingter akibat stimulasi kolesistokinin dan parasimpatis.
c. Sistem Vaskularisasi
2.1.2 Definisi
Atresia bilier (biliary atresia) adalah suatu penghambatan di dalam
pipa/saluran-saluran yang membawa cairan empedu (bile) dari liver menuju ke
kantung empedu (gallbladder). Ini merupakan kondisi congenital, yang berarti
terjadi saat kelahiran (Lavanilate.2010.Askep Atresia Bilier).
Atresia Bilier adalah suatu defek kongenital yang merupakan hasil dari
tidak adanya atau obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada ekstrahepatik
atau intrahepatik (Suriadi dan Rita Yulianni, 2006)
Atresia biliary merupakan obliterasi atau hipoplasi satu komponen atau
lebih dari duktus biliaris akibat terhentinya perkembangan janin, menyebabkan
ikterus persisten dan kerusakan hati yang bervariasi dari statis empedu sampai
sirosis biliaris, dengan splenomegali bila berlanjut menjadi hipertensi porta.
(Kamus Kedokteran Dorland, 2006)
Atresia Bilier (biliary atresia) adalah suatu penghambatan di dalam pipa/
saluran-saluran yang membawa cairan empedu (bile) dari liver menuju ke
kantung empedu (gallbladder). Ini merupakan kondisi kongenital, yang berarti
terjadi saat kelahiran.
Atresia bilier merupakan kegagalan perkembangan lumen pada korda
epitel yang akhirnya menjadi duktus biliaris, kegagalan ini bisa menyeluruh atau
sebagian. ( Chandrasoma & Taylor,2005)
2.1.4 Etiologi
Etiologi atresia bilier masih belum diketahui dengan pasti. Sebagian ahli
menyatakan bahwa faktor genetik ikut berperan, yang dikaitkan dengan adanya
kelainan kromosom trisomi17, 18 dan 21, serta terdapatnya anomali organ pada
30% kasus atresia bilier. Namun, sebagian besar penulis berpendapat bahwa
atresia bilier adalah akibat proses inflamasi yang merusak duktus bilier, bisa
karena infeksi atau iskemi. Beberapa anak, terutama mereka dengan bentuk
janin atresia bilier, seringkali memiliki cacat lahir lainnya di jantung, limpa, atau
usus.
Sebuah fakta penting adalah bahwa atresia bilier bukan merupakan penyakit
keturunan. Kasus dari atresia bilier pernah terjadi pada bayi kembar identik,
dimana hanya 1 anak yang menderita penyakit tersebut. Atresia bilier
kemungkinan besar disebabkan oleh sebuah peristiwa yang terjadi selama hidup
janin atau sekitar saat kelahiran. Kemungkinan yang "memicu" dapat mencakup
satu atau kombinasi dari faktor-faktor predisposisi berikut:
1. Infeksi virus atau bakteri
2. Masalah dengan sistem kekebalan tubuh
3. Komponen yang abnormal empedu
4. Kesalahan dalam pengembangan saluran hati dan empedu
5. Hepatocelluler dysfunction
2.1.5 Patofisiologi
Bayi mengalami ikterus segera setelah lahir, feses pucat dan gambaran serupa
dengan hepatitis neonates. Jika kondisi ini tidak diobati, maka hepar akan
membesar, jantung menjadi tidak terlibat dan ada tanda malabsorbsi lemak.
Gejala yang biasanya timbul dalam waktu 2 minggu setelah lahir, yaitu berupa:
Air kemih bayi berwarna gelap (karena tingkat bilirubin dalam darah dengan
konsentrasi tinggi masuk ke dalam urin), tinja berwarna pucat / acholic (karena
kurangnya bilirubin yang diserap), kulit berwarna kuning, berat badan tidak
bertambah atau penambahan berat badan berlangsung lambat, hati membesar.
Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut: Gangguan
pertumbuhan, gatal-gatal, rewel, tekanan darah tinggi pada vena porta
(pembuluh darah yang mengangkut darah dari lambung, usus dan limpa ke hati).
Tanda pertama dari atresia bilier adalah penyakit kuning, yang menyebabkan
warna kuning pada kulit dan bagian putih mata.. Jaundice disebabkan oleh hati
tidak mengeluarkan bilirubin, pigmen kuning dari darah. Biasanya, bilirubin
diambil oleh hati dan dilepaskan ke dalam empedu. Namun, penyumbatan
saluran empedu menyebabkan bilirubin dan elemen lain dari empedu
terakumulasi dalam darah. Bayi akan menunjukan kondisi normal pada saat lahir
tetapi dalam perkembangannya menunjukan jaundice (kulit dan sclera mata
berubah menjadi kuning), warna aurin yang pekat, dan warna feses yang cerah
dalam minggu pertama kehidupan. Setiap bayi dengan jaundice, setelah berumur
1 bulan dapat dipastikan terkena atresia biliaris dengan pemeriksaan darah
(diantaranya: tipe bilirubin, bilirubin konjugasi dan bilirubin tak terkonjugasi).
Peningkatan bilirubin pada bayi dikarenakan kekurangan drainase , abdomen
menjadi sangat tegang, dan perbesaran dikarenakan peningkatan ukuran hati.
Jika hal ini terjadi, bayi akan menjadi rentan dan kehilangan berat badan
(meskipun pertambahan cairan akan menutupinya ).
2.1.8 Klasifikasi
Tipe- tipe atresia biliary, secara empiris dapat dikelompokkan dalam 2 tipe:
1. Tipe yang dapat dioperasi / Operable/ correctable.
Jika kelainan/sumbatan terdapat dibagian distalnya. Sebagian besar dari
saluran-saluran ekstrahepatik empedu paten.
Jika kelainan / sumbatan terdapat dibagian atas porta hepatic, tetapi akhir-akhir
ini dapat dipertimbangakan untuk suatu operasi porto enterostoma hati radikal.
Tidak bersifat paten seperti pada tipe operatif.
Menurut anatomis atresia billier ada 3 tipe:
1. Tipe I Atresia sebagian atau totalis yang disebut duktus hepatikus komunis,
segmen proksimal paten
2. Tipe IIa Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus billiaris komunis, duktus
sistikus, dan kandung empedu semuanya)
3. Tipe IIb Obliterasi duktus bilierkomunis, duktus hepatikus komunis, duktus
sistikus, kandung empedu normal
4. Tipe III Obliterasi pada semua system duktus billier ekstrahepatik sampai ke
hilus
Belum ada satu pun pemeriksaan penunjang yang dapat sepenuhnya diandalkan
untuk membedakan antara kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik. Secara
garis besar, pemeriksaan dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu pemeriksaan :
1. Laboratorium rutin dan khusus untuk menentukan etiologi dan mengetahui
fungsi hati (darah,urin, tinja).
2. Pencitraan, untuk menentukan patensi saluran empedu dan menilai parenkim
hati.
3. Biopsi hati, terutama bila pemeriksaan lain belum dapat menunjang diagnosis
atresia bilier.
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan rutin
2.1.10 Penatalaksanaan
1. Terapi medikamentosa
Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam
empedu (asamlitokolat), dengan memberikan : 1) Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari
dibagi 2 dosis, per oral. 2) Fenobarbital akan merangsang enzim glukuronil
transferase (untuk mengubah bilirubin indirek menjadi bilirubin direk);
enzimsitokrom P-450 (untuk oksigenisasi toksin), enzim Na+ K+ ATPase
(menginduksi aliranempedu). Kolestiramin 1 gram/kgBB/hari dibagi 6 dosis atau
sesuai jadwal pemberian susu. Kolestiramin memotong siklus enterohepatik
asam empedu sekunder b. Melindungi hati dari zat toksik, dengan memberikan :
Asam ursodeoksikolat, 310 mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis per oral. Asam
ursodeoksikolat mempunyai daya ikat kompetitif terhadap asam litokolat yang
hepatotoksik.
2. Terapi nutrisi Terapi yang bertujuan untuk memungkinkan anak tumbuh dan
berkembang seoptimal mungkin, yaitu :
a. Pemberian makanan yang mengandung medium chain triglycerides (MCT)
untuk mengatasi malabsorpsi lemak dan mempercepat metabolisme. Disamping
itu, metabolisme yang dipercepat akan secara efisien segera dikonversi menjadi
energy untuk secepatnya dipakai oleh organ dan otot, ketimbang digunakan
sebagai lemak dalam tubuh. Makanan yang mengandung MCT antara lain
seperti lemak mentega, minyak kelapa, dan lainnya.
b. Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak. Seperti vitamin A,
D, E, K
3. Terapi bedah
a. Kasai Prosedur Prosedur yang terbaik adalah mengganti saluran empedu
yang mengalirkan empedu keusus. Tetapi prosedur ini hanya mungkin dilakukan
pada 5-10% penderita. Untuk melompati atresia bilier dan langsung
menghubungkan hati dengan usus halus, dilakukan pembedahan yang disebut
prosedur Kasai. Biasanya pembedahan ini hanya merupakan pengobatan
sementara dan pada akhirnya perlu dilakukan pencangkokan hati.
b. Pencangkokan atau Transplantasi Hati
Transplantasi hati memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi untuk atresia bilier
dan kemampuan hidup setelah operasi meningkat secara dramatis dalam
beberapa tahun terakhir. Karena hati adalah organ satu-satunya yang bisa
bergenerasi secara alami tanpa perlu obat dan fungsinya akan kembali normal
dalam waktu 2 bulan. Anak-anak dengan atresia bilier sekarang dapat hidup
hingga dewasa, beberapa bahkan telah mempunyai anak.
Kemajuan dalam operasi transplantasi telah juga meningkatkan kemungkianan
untuk dilakukannya transplantasi pada anak-anak dengan atresia bilier. Di masa
lalu, hanya hati dari anak kecil yang dapat digunakan untuk transplatasi karena
ukuran hati harus cocok. Baru-baru ini, telah dikembangkan untuk menggunakan
bagian dari hati orang dewasa, yang disebut"reduced size" atau "split liver"
transplantasi, untuk transplantasi pada anak dengan atresia bilier. Berdasarkan
treatment yang diberikan :
1) Palliative treatment
Anak dengan Atresia Billiary intra hepatik setelah usia 6 tahun terjadi gangguan
neuromuskuler seperti tidak ada reflek-reflek tendo dalam, kelemahan
memandang ke atas, ketidakmampuan berjalan akibat parosis kedua tungkai
bawah serta kehilangan rasa getar.
d. Riwayat kesehatan dahulu
Riwayat kesehatan lalu meliputi riwayat penyakit yang pernah diderita, riwayat
operasi, riwayat alergi, riwayat imunisasi.
e. Riwayat kesehatan keluarga
Untuk mengetahui apakah dalam keluarga ada yang menderita penyakit yang
sama dengan klien, keturunan dan lainnya. Menentukan apakah ada penyebab
herediter atau tidak.
f. Pemeriksaan Fisik
g. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium
a) Bilirubin direk dalam serum meninggi
b) Nilai normal bilirubin total < 12 mg/dl
c) Bilirubin indirek serum meninggi karena kerusakan parenkim hati akibat
bendungan empedu yang luas
d) Tidak ada urobilinogen dalam urine
e) Pada bayi yang sakit berat terdapat peningkatan transaminase alkalifosfatase
(5-20 kali lipat nilai normal) serta traksi-traksi lipid (kolesterol fosfolipid trigiliserol)
2) Pemeriksaan diagnostik
a) USG yaitu untuk mengetahui kelainan congenital penyebab kolestasis ekstra
hepatic (dapat berupa dilatasi kristik saluran empedu)
b) Memasukkan pipa lambung cairan sampai duodenum lalu cairan duodenum di
aspirasi. Jika tidak ditemukan cairan empedu dapat berarti atresia empedu terjadi
c) Sintigrafi radio kolop hepatobilier untuk mengetahui kemampuan hati
memproduksi empedu dan mengekskresikan ke saluran empedu sampai
tercurah ke duodenum. Jika tidak ditemukan empedu di duodenum, maka dapat
berarti terjadi katresia intra hepatic
d) Biopsy hati perkutan ditemukan hati berwarna coklat kehijauan dan noduler.
Kandung empedu mengecil karena kolaps. 75% penderita tidak ditemukan lumen
yang jelas
h. Pemeriksaan tingkat perkembangan
1) Tahap Tumbuh Kembang umur 6-9 Bulan a) Duduk (sikap tripoid-sendiri) b)
Belajar berdiri, kedua kakinya menyangga sebagian berat badan c) Merangkak
meraih mainan atau mendekati seseorang
d) Memindahkan benda dari tangan satu ke tangan lainnya
e) Memungut dua benda, masing-masing tangan pegang satu benda pada saat
yang bersamaan
f) Memungut benda sebesar kacang dengan cara meraup
g) Bersuara tanpa arti, misalnya ,mamama, bababa, papapa
h) Mencari benda/mainan yang dijatuhkan
i) Bermain tepuk tangan atau ciluk ba
j) Bergembira dengan melempar benda
k) Makan kue sendiri
2) Umur 9-12 bulan
a) Mengangkat badannya ke posisi berdiri
Tanda : Takikardia, berkeringat, ikterik pada sklera kulit dan membran mukosa.
3) Eliminasi
Gejala : Anoreksia, tidak mau makan, mual/muntah tidak toleran terhadap lemak
dan makanan pembentuk gas, regurgitasi berulang. 28
6) Higyene
Gejala: Otot tegang atau kaku bila kuadran kanan atas ditekan..
8) Pernapasan
Atresia Bilier adalah suatu defek kongenital yang merupakan hasil dari tidak adanya
atau obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada ekstrahepatik atau intrahepatik
(Suriadi dan Rita Yulianni, 2006)
Atresia biliary merupakan obliterasi atau hipoplasi satu komponen atau lebih dari
duktus biliaris akibat terhentinya perkembangan janin, menyebabkan ikterus persisten
dan kerusakan hati yang bervariasi dari statis empedu sampai sirosis biliaris, dengan
splenomegali bila berlanjut menjadi hipertensi porta. (Kamus Kedokteran Dorland,
2006)
3.2 Saran
Adapun saran yang dapat kelompok sampaikan bagi pembaca khususnya mahasiswa/i
Jurusan Keperawatan , hendaknya memberikan asuhan keperawatan lansia dengan
benar dan tepat sehingga dapat sesuai dengan evaluasi yang diharapkan. 51
DAFRTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. 2003. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC.
R. Taylor, Clive dan Candrasuma Parakrama. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi
Edisi 2. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. (2001). Keperawatan medikal bedah 2. (Ed
8). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Sodikin. 2007. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistim Gastrointestinal Dan
Hepatobilier. Salemba Medika
Suddarth dan Brunner. 2001. Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume
2. Jakarta : EGC
Suriadi dan Yulianni Rita. 2006. Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi 2. Jakarta
:Penebar Swadaya
Tjokronegoro dan Hendra Utama. (1996). Ilmu penyakit dalam jilid 1. Jakarta: FKUI.
Widodo Judarwanto. 2010. Atresia Bilier, Waspadai Bila Kuning Bayi Baru Lahir
yang berkepanjangan.
Wong, D.L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong Edisi 6 Volume 2. Jakarta
: EGC
Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. (1994). Patofisiologi, konsep klinis proses-
proses penyakit. Jakarta: Penerbit EGC.
Soeparman. 1987. Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta : FKUI.
Hull, David. 2008. Dasar-Dasar Pediatri Ed. 3. Jakarta : EGC