You are on page 1of 61

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT DENGAN GANGGUAN

SISTEM PERSARAFAN
EPILEPSIA

Disusun Oleh kelompok 2

No absen 43-84

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN MATARAM
2018

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Otak merupakan organ maha penting dalam tubuh kita, sebab dapat
dikatakan segala aktifitas tubuh dikoordinir oleh organ ini. Anggapan
dewasa ini ialah bahwa setelah kelahiran, tidak terjadi lagi penambahan
jumlah sel otak. Tidak adanya regenerasi dari jaringan otak ini merupakan
sebab utama mengapa kerusakan dari otak pada umumnya tidak dapat
sembuh sempurna seperti organ-organ lain. Berbagai keadaan/penyakit
dapat menimbulkan herbagai gangguan fungsi otak yang dapat menyerang
baik bagian sensorik, motorik maupun pusat-pusat vital dengan akibat
kematian.
Bangkitan kejang merupakan satu manifestasi daripada lepas muatan
listrik yang berlebihan di sel neuron saraf pusat. Keadaan ini merupakan
gejala terganggunya fungsi otak. Gangguan ini dapat disebabkan oleh factor
fisiologi, biokimiawi, anatomis atau gabungan factor tersebut. Tiap – tiap
penyakit atau kelaian yang dapat menganggu fungsi otak, dapat
menyebabkan timbulnya bangkitan kejang. Dengan demikian dapatlah
difahami bahwa bangkitan kejang dapat disebabkan oleh banyak macam
penyakit atau kelainan diantaranya adalah trauma lahir, trauma kapitis,
radang otak, perdarahn otak, gangguan perdarahan otak, hipoksia, tumor
otak dan sebagainya.
Epilepsi merupakan suatu gangguan neurologik yang relative sering
terjadi. Epilepsy merupkan suatu gangguan fungsionalkronik dan banyak
jenisnya dan ditandai oleh aktivitas serangan yang berulang. Serangan
Kejang merupakan gejala atau manieftasi utama epilepsy dapat diakibatkan
kelainan fungsional. Serangan tersebut tidak terlalu lam, tidak terkontrol
serta timbul secara episodic. Serangan ini mengganggu kelangsungan
kegiatan yang sedang dikerjakan pasien pada saat itu. Serangan ini berkaitan
dengan pengeluaran implus neuron serebral yang berlebihan dan
berlangsung lokal.

2
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu sindrom yang ditandai oleh
gangguan fungsi otak yang bersifat sementara dan paroksismal, yang
memberi manifestasi berupa gangguan, atau kehilangan kesadaran,
gangguan motorik, sensorik, psikologik, dan sistem otonom, serta bersifat
episodik. Defisit memori adalah masalah kognitif yang paling sering terjadi
pada pederita epilepsi.
Setiap orang punya resiko satu di dalam 50 untuk mendapat epilepsi.
Pengguna narkotik dan peminum alkohol punya resiko lebih tinggi.
Pengguna narkotik mungkin mendapat seizure pertama karena
menggunakan narkotik, tapi selanjutnya mungkin akan terus mendapat
seizure walaupun sudah lepas dari narkotik.Di Inggris, satu orang diantara
131 orang mengidap epilepsi.
Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang tua
bahkan bayi yang baru lahir. Angka kejadian epilepsi pada pria lebih tinggi
dibandingkan pada wanita, yaitu 1-3% penduduk akan menderita epilepsi
seumur hidup. Di Amerika Serikat, satu di antara 100 populasi (1%)
penduduk terserang epilepsi, dan kurang lebih 2,5 juta di antaranya telah
menjalani pengobatan pada lima tahun terakhir. Menurut World Health
Organization (WHO) sekira 50 juta penduduk di seluruh dunia mengidap
epilepsi (2004 Epilepsy.com)
B. Tujuan
1. Umum
Untuk mengetahui asuhan keperawatan gawat darurat pada klien
dengan gangguan sistem persyarapan epilepsia
2. Khusus
Setelah membaca makalah ini diharapkan:
a. Memahami seperti apa asuhan keperawatan gawat darurat sistem
persarafan pada pasien dengan Epilepsi
b. Mampu membuat pengkajian pada pasien dengan Epilepsi
c. Mampu membuat diagnosa pada pasien dengan Epilepsi
d. Mampu membuat perencanaan pada pasien dengan Epilepsi
e. Mampu melaksanakan implementasi pada pasien dengan Epilepsi

3
f. Mampu menilai evaluasi pada pasien dengan Epilepsi
C. Manfaat
Manfaat yang diharapkan oleh penulis adalah penulis lebih memahami
proses terjadinya epilepsia penyebab, klasifikasi, tanda gejala sampai
Tindakan yang tepat sesuai dengan keadaan klien dan rasional sesuaidengan
fakta yang ada. Selain itu diharapkan dengan adanya makalah ini dapat
membantu sbb :
1. Bagi institusi
Diharapkan dapat menambah konsep-konsep teori keperawatan di
Stikes Yarsi Mataram demi meningkatkan mutu dan kualitas.
2. Bagi perawat dan tenaga medis
Makalah ini bisa sebagai acuan dalam melakukan peraktek pada rumah
sakit supaya hasilnya sesuai dengan harapan.
3. Bagi masyarakat
Dengan adanya makalah ini masyarakat dapat mengetahui penyakit
epilepsia
4. Bagi mahasiswa
Dengan adanya makalah ini dapat digunakan sebagai pembanding oleh
mahasisiwa kesehatan dalam pembuatan tugas.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. ANATOMI FISIOLOGI SISTEM SARAF


a. Sistem Saraf
Sistem saraf adalah serangkaian organ yang kompleks dan
bersambungan serta terdiri terutama dari jaringan saraf. Dalam
mekanisme sistem saraf, lingkungan internal dan stimulus eksternal
dipantau dan diatur. Kemampuan khusus seperti iritabilitas, atau
sensitivitas terhadap stimulus, dan konduktivitas, atau kemampuan untuk
mentransmisi suatu respons terhadap stimulasi, diatur oleh sistem saraf
dalam tiga cara utama :
1. Input sensorik. Sistem saraf menerima sensasi atau stimulus melalui
reseptor, yang terletakdi tubuh baik eksternal (reseptor somatic)
maupun internal (reseptor viseral).
2. Antivitas integratif. Reseptor mengubah stimulus menjadi impuls
listrik yang menjalar di sepanjang saraf sampai ke otak dan medulla
spinalis, yang kemudian akan menginterpretasi dan mengintegrasi
stimulus, sehingga respon terhadap informasi bisa terjadi.
3. Output motorik. Input dari otak dan medulla spinalis memperoleh
respon yang sesuai dari otot dan kelenjar tubuh , yang disebut sebagai
efektor.
b. Organisasi Struktural Sistem Saraf
1. Sistem saraf pusat (SSP).
Terdiri dari otak dan medulla spinalis yang dilindungi tulang kranium
dan kanal vertebral.
2. Sistem saraf perifer .
Meliputi seluruh jaringan saraf lain dalam tubuh. Sistem ini terdiri
dari saraf cranial dan saraf spinal yang menghubungkan otak dan
medulla spinalis dengan reseptor dan efektor. Secara fungsional
sistem saraf perifer terbagi menjadi sistem aferen dan sistem eferen.

5
a) Saraf aferen (sensorik) mentransmisi informasi dari reseptor
sensorik ke SSP
b) Saraf eferen (motorik) mentransmisi informasi dari SSP ke otot dan
kelenjar.
Sistem eferen dari sistem saraf perifer memiliki dua sub divisi :
Divisi somatic (volunter) berkaitan dengan perubahan
lingkungan eksternal dan pembentukan respons motorik volunteer
pada otot rangka.
Divisi otonom (involunter) mengendalikan seluruh respon
involunter pada otot polos, otot jantung dan kelenjar dengan cara
mentransmisi impuls saraf melalui dua jalur
1) Saraf simpatis berasal dari area toraks dan lumbal pada medulla
spinalis
2) Saraf parasimpatis berasal dari area otak dan sacral pada
medulla spinalis.
3) Sebagian besar organ internal di bawah kendali otonom
memiliki inervasi simpatis dan parasimpatis.
c. Sel-Sel Pada Sistem Saraf
1. NEURON adalah unit fungsional sistem saraf yang terdiri dari badan
sel dan perpanjangan sitoplasma.
a) Badan sel atau perikarion, suatu neuron mengendalikan
metabolisme keseluruhan neuron. Bagian ini tersusun dari
komponen berikut :
Satu nucleus tunggal, nucleolus yang menanjol dan organel
lain seperti konpleks golgi dan mitochondria, tetapi nucleus ini
tidak memiliki sentriol dan tidak dapat bereplikasi. Badan nissi,
terdiri dari reticulum endoplasma kasar dan ribosom-ribosom
bebas serta berperan dalam sintesis protein.
Neurofibril yaitu neurofilamen dan neurotubulus yang dapat
dilihat melalui mikroskop cahaya jika diberi pewarnaan dengan
perak.

6
b) Dendrit adalah perpanjangan sitoplasma yang biasanya berganda
dan pendek serta berfungsi untuk menghantar impuls ke sel tubuh.
c) Akson adalah suatu prosesus tunggal, yang lebih tipis dan lebih
panjang dari dendrite. Bagian ini menghantar impuls menjauhi
badan sel ke neuron lain, ke sel lain (sel otot atau kelenjar) atau ke
badan sel neuron yang menjadi asal akson.
2. Klasifikasi Neuron
a) Fungsi. Neuron diklasifikasi secara fungsional berdasarkan arah
transmisi impulsnya.
1) Neuron sensorik (aferen) menghantarkan impuls listrik dari
reseptor pada kulit, organ indera atau suatu organ internal ke
SSP.
2) Neuron motorik menyampaikan impuls dari SSP ke efektor.
3) Interneuron (neuron yang berhubungan) ditemukan seluruhnya
dalam SSP. Neuron ini menghubungkan neuron sensorik dan
motorik atau menyampaikan informasi ke interneuron lain.
b) Struktur Neuron diklasifikasi secara structural berdasarkan jumlah
prosesusnya.
1) Neuron unipolar memiliki satu akson dan dua denderit atau
lebih. Sebagian besar neuron motorik, yang ditemukan dalam
otak dan medulla spinalis, masuk dlam golongan ini.
2) Neuron bipolar memiliki satu akson dan satu dendrite. Neuron
ini ditemukan pada organ indera, seperti amta, telinga dan
hidung.
3) Neuron unipolar kelihatannya memiliki sebuah prosesus
tunggal, tetapi neuron ini sebenarnya bipolar.
3. Sel Neuroglial.
Biasanya disebut glia, sel neuroglial adalah sel penunjang
tambahan pada SSP yang berfungsi sebagai jaringan ikat.
a) Astrosit adalah sel berbentuk bintang yang memiliki sejumlah
prosesus panjang, sebagian besar melekat pada dinding kapilar
darah melalui pedikel atau “kaki vascular”.

7
b) Oligodendrosit menyerupai astrosit, tetapi badan selnya kecil dan
jumlah prosesusnya lebih sedikit dan lebih pendek.
c) Mikroglia ditemukan dekat neuron dan pembuluh darah, dan
dipercaya memiliki peran fagositik.
d) Sel ependimal membentuk membran spitelial yang melapisi rongga
serebral dan ronggal medulla spinalis.
4. kelompok Neuron
a) Nukleus adalah kumpulan badan sel neuron yang terletak di dalam
SSP.
b) Ganglion adalah kumpulan badan sel neuron yang terletak di
bagian luar SSP dalam saraf perifer.
c) Saraf adalah kumpulan prosesus sel saraf (serabut) yang terletak di
luar SSP.
d) Saraf gabungan. Sebagian besar saraf perifer adalah saraf gabungan
; saraf ini mengandung serabut arefen dan eferen yang
termielinisasi dan yang tidak termielinisasi.
e) Traktus adalah kumpulan serabut saraf dalam otak atau medulla
spinalis yang memiliki origo dan tujuan yang sama.
f) Komisura adalah pita serabut saraf yang menghubungkan sisi-sisi
yang berlawanan pada otak atau medulla spinalis.

8
B. DEFINISI
Epilepsi adalah suatu gejala atau manifestasi lepasnya muatan listrik
yang berlebihan di sel neuron saraf pusat yang dapat menimbulkan
hilangnya kesadaran, gerakan involunter, fenomena sensorik abnormal,
kenaikan aktivitas otonom dan berbagai gangguan fisik.
Bangkitan epilepsy adalah manifestasi gangguan otak dengan berbagai
gejala klinis, disebabkan oleh lepasnya muatan listrik dari neuron-neuron
otak secara berlebihan dan berkala tetapi reversible dengan berbagai etiologi
(Tjahjadi, dkk, 1996). Pengkajian kondisi/kesan umum
Epilepsi adalah kompleks gejala dari beberapa kelainan fungsi otak
yang ditandai dengan terjadinya kejang secara berulang. Dapat berkaitan
dengan kehilangan kesadaran, gerakan yang berlebihan, atau kehilangan
tonus atau gerakan otot, dan gangguan prilaku suasana hati, sensasi dan
persepsi (Brunner dan suddarth, 2000).
Kejang adalah terbebasnya sekelompok neuron secara tiba-tiba yang
mengakibatkan suatu kerusakan kesadaran, gerak, sensasi atau memori yang
besifat sementara. Istilah epilepsy biasanya merupakan suatu kelaianan yang
bersifat kronik yang timbul sebagai suatu bentuk kejang berulang (Hudak
dan Gallo, 1996).
C. KLASIFIKASI EPILEPSI
Kejang berkisar dari melotot bengong sampai gerakan konvulsif yang
berkepanjangan dengan disertai kehilangan kesadaran. Kejang
diklasifikasikan sebagai parsial, umum, dan taktergolongkan sesuai dengan
area otak yang terkena. Aura, yang merupakan sensasi pertanda atau
premonitory, terjadi sebelum kejang (mis. Melihat kilatan cahaya,
mendengarkan suara-suara).
a. Kejang Parsial Sederhana
Hanya jari atau tangan yang bergetar; atau mulut bergerenyut
tekterkontrol; bicara tak dapat dimengerti; mungkin pening; dapat
mengalami penglihatan, suara, bau, atau kecap yang taklazim atau tak
menyenangkan—semua tanpa terjadi kehilangan kesadarana

9
b. Kejang Parsial Kompleks
Masih dalam keadaan sedikit bergerak atau gerakan secara
otomatis tetapi tidak bertujuan terhadap waktu dan tempat; dapat
mengalami emosi rasa ketakutan, marah, kegirangan, atau peka rangsang
yang berlebihan; tidak mengingat peeriode tersebut ketika sudah berlalu.
c. Kejang Umum (kejang Grand Mal)
Mengenai kedua hemisfer otak, kekuatan yang kuat dari seluruh
tubuh diikuti dengan perubahan kedutan dari relaksasi otot dan kontraksi
(kontraksi tonik klonik umum).
1) Kontaksi diafragma dan dada simultan menyebabkan karateristik
tangis epilektik.
2) Lidah tergigit, inkontinen urine dan fecces.
3) Gerakan konvulsif berlangsung 1 atau 2 menit.
4) Relaks dan berbaring dalam koma yang dalam, napas bising.
Kejang Umum terdiri dari :
1) Mioklonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar,
dapat kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau
berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.
2) Klonik
Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif,
tajam, lambat, dan tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso.
Dijumpai terutama sekali pada anak.
3) Tonik
Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya
menjadi kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan
dan ekstensi tungkai. Epilepsi ini juga terjadi pada anak
4) Tonik- klonik
Epilepsi ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang
terkenal dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura,
yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu epilepsi. Pasien mendadak
jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung

10
kira-kira ¼ – ½ menit diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh.
Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam
beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang
meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan napas. Mungkin
pula pasien kencing ketika mendapat serangan. Setelah kejang
berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan
kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan
keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
5) Atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas
sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun
sebentar. Epilepsi ini terutama sekali dijumpai pada anak.
6) Status Postiktal
Setelah kejang, pasien sering bingung dan sulit untuk bangun,
mungkin tidur selama berjam-jam. Banyak yang mengeluhkan sakit
kepala dan nyeri otot.
Menurut Commision of Classification and Terminonology of the
international league againa Epilepsy (ILAE) tahun 1981, klasifikasi
epilepsi sebagai berikut:
1) Sawan parsial (fokal, lokal)
a) Sawan parsial sederhana; sawan parsial dengan kesadran tetap
normal
 Dengan gejala motorik
 Fokal motorik tidak menjalar:sawan terbatas pada satu bagian
tubuh saja
 Fokal motorik menjalar: sawan dimulai dari satu bagiab
tubuh dan menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga
dengan epilepsi Jackson
 Versif: sawan disertai gerakan memutar kepala, mata, tubuh
 Postural: sawan disertai gerakan lengan atau tungkai kaku
dalam sikap tertentu

11
 Disertai gangguan fonasi: sawan disertai arus bicara yang
terhenti atau pasien mengeluarkan bunyi – bunyi tertentu
 Dengan gejala somatosensoris atau sensoris parsial; sawan
disertai halusinasi sederhana yang mengenai kelima pancaindra
dan bangkitan yang disertai vertigo
 Somatosensoris: timbul rasa kesemutan atau rasa seperti
ditusuk – tusuk jarum
 Visual: terlihat cahaya
 Audiotoris: terdengar sesuatu
 Olfaktoris: terhidu sesuatu
 Gustatoris: terkecap sesuatu
 Disertai vertigo
 Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom ( sensasi
epigastrium, pucat, berkeringat, membera, piloereksi, dilatasi
pupil)
 Dengan gejal psikis( gangguan fungsi luhur)
 Disfasia: gangguan bicara misalnya mengulang sesuatu suku
kata atau bagian kalimat
 Dimnesia: gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti
sudah mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya tidak
pernah mengalami mendengar, melihat, mengetahui sesuatu.
Mungkin mendadak mengingat sesuatu peristiwa dimasa lalu,
merasa seperti melihatnya lagi.
 Kognitif: gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah
 Afektif: merasa sangat senang, susah, marah takut
 Ilusi: perubahan persepsi benda yang dilihat tampak seperti
kecil atau lebih besar
 Halusinasi kompleks ( berstruktur ): mendengar ada yang
bicara, musik, melihat sesuatu fenomena tertentu dan lain –
lain

12
b) Sawan parsial kompleks(disertai gangguan kesadaran)
 Serangan parsial sederhana diikuti gangguan sederhana:
kesadarna mula – muka baik kemudian baru menurun
 Dengan gejala parsial sederhana A1-A4; gejala – gejala
seperti golongan A1-A4 diikuti dengan menurunnya
kesadaran
 Dengan automatisme. Automarisme yaitu: gerakan – gerakan,
perilaku yang timbul dengan sendirinya, misalnya gerakan
mengunyah-ngunyah, menelan, wajah muka berubah
seringkali seperti ketakutan, menata-nata sesuatu, memegang
kancing baju, berjalan,dll.
 Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran
menurun sejak mulai serangan
 Hanya dengan penurunan kesadaran
 Dengan automatisme
c) Sawan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-
klonik,tonik,klonik)
 Sawan parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan
umum
 Sawan parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan
umum
 Sawan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial
kompleks lalu berkembang menjadi bangkitan umum
2) Sawan umum (konvulsif atau nonkonvulsif)
a) Sawan lena (Abvance)
 Hanya penurunan kesadaran
 Dengan komponen klonik ringan
 Dengan komponen atonik
 Dengan komponen tonik
 Dengan automatisme

13
 Dengan komponen autonom Lena tak khas, dapat disertai
dengan: gangguan tonus yang lebih jelas, permulaan dan
berakhirnya bangkitan tidak mendadak
b) Sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat
atau lemah sebagian otot atau semua otot-otot, sekali atau berulang.
Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur
c) Sawan klonik, pada sawan ini tidak ada komponen tonik, hanya
terjadi kejang kelojot. Dijumpai terutama sekali pada anak
d) Sawan tonik, Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot –
otot hanya menjadi kaku, juga terdapat pada anak
e) Sawan tonik-klonik
f) Sawan atonik, Pada keadaan ini otot – otot seluruh badan
mendadak melemas sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap
baik atau menurun sebentar. Sawan ini terutama sekali dijumpai
pada anak
D. ETIOLOGI
a. Penyebab pada kejang epilepsi sebagianbesara belum diketahui
(Idiopatik) Sering terjadi pada:
1) Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
2) Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
3) Keracunan CO, intoksikasi obat/alcohol
4) Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia,
hiponatremia)
5) Tumor Otak
6) kelainan pembuluh darah (Tarwoto, 2007)
b. Acquerit : kerusakan otak, keracunan obat, metabolik, bakteri.
1) Trauma Lahir
2) Trauma Kepala (5-50%)
3) Tumor Otak
4) Stroke
5) Cerebral Edema (bekuan darah pada otak)
6) Hypoxia

14
7) Keracunan
8) Gangguan Metabolik
9) Infeksi. (Meningitis)
c. Penyebab spesifik epilepsi :
1) Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu,
seperti ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin,
mengalami infeksi, minum alcohol, atau mengalami cidera.
2) Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang
mengalir ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan.
3) Cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak.
4) Tumor otak merupakan penyebab epilepsy yang tidak umum terutama
pada anak-anak.
5) Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah
otak.
6) Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak, yaitu encephalitis dan
meningitis. Organ-organ dari CNS (otak dan medulla spinalis) dilapisi
oleh tiga lapisan jaringan konektifyang disebut dengan meningen dan
berisikan pia meter, arachnoid, dan durameter. Meningen ini
membantu menjaga aliran darah dan cairan cerebrospinal. Struktur-
struktur ini merupakn yang dapat terjadi meningitis, inflamasi
meningitis, dan jika terjadi keparahan maka dapat menjadi
encephalitis, dan inflamasi otak.
7) Penyakit keturunan seperti fenilketonuria (FKU), sclerosis tuberose
dan neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang
berulang.
8) Kecerendungan timbulnya epilepsy yang diturunkan. Hal ini
disebabkan karena ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari
normal diturunkan pada anak.
9) Gangguan mekanisme biologis : abnormalitas dalam otak yang
menyebabkan sejumlah sel-sel syaraf dan kortex serebral menjadi
aktif secara serempak, memancarkan secara tiba-tiba, dan peledakan
yang berlebihan dari energy elektrikal. Hal ini meliputi kerja dari

15
kanal-kanal ion dan neurotransmitter (Gamma aminobutyric acid
(GABA), Serotonin, Acetylcholine ).

E. PATOFISIOLOGI
Mekanisme terjadinya serangan epilepsi ialah :
a. Adanya focus yang bersifat hipersensitif (focus epilesi) dan timbulnya
keadaan depolarisasi parsial di jaringan otak
b. Meningkatnya permeabilitas membran.
c. Meningkatnya senstitif terhadap asetilkolin, L-glutamate dan GABA
(gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas
listrik saraf dalam sinaps.
Fokus epilepsy dapat menjalar ke tempat lain dengan lepasnya muatan
listrik sehingga terjadi ekstasi, perubahan medan listrik dan penurunan
ambang rangasang yang kemudian menimbulkan letupan listrik masal. Bila
focus tidak menjalar kesekitarnya atau hanya menjalar sampai jarak tertentu
atau tidak melibatkan seluruh otak, maka akan terjadi bangkitan epilepsy
lokal (parsial).
Menurut para penyelidik bahwa sebagian besar bangkitan epilepsi
berasal dari sekumpulan sel neuron yang abnormal di otak, yang melepas
muatan secara berlebihan dan hypersinkron. Kelompok sel neuron yang
abnormal ini, yang disebut juga sebagai fokus epileptik mendasari semua
jenis epilepsi, baik yang umum maupun yang lokal (parsial). Lepas muatan
listrik ini kemudian dapat menyebar melalui jalur-jalur fisiologis-anatomis
dan melibatkan daerah disekitarnya atau daerah yang lebih jauh letaknya di
otak.
Tidak semua sel neuron di susunan saraf pusat dapat mencetuskan
bangkitan epilepsi klinik, walaupun ia melepas muatan listrik berlebihan.
Sel neuron diserebellum di bagian bawah batang otak dan di medulla
spinalis, walaupun mereka dapat melepaskan muatan listrik berlebihan,
namun posisi mereka menyebabkan tidak mampu mencetuskan bangkitan
epilepsi. Sampai saat ini belum terungkap dengan pasti mekanisme apa yang

16
mencetuskan sel-sel neuron untuk melepas muatan secara sinkron dan
berlebihan (mekanisme terjadinya epilepsi).
Mekanisme yang pasti dari aktivitas kejang pada otak tidak semuanya
dapat dipahami. Beberapa pemicu menyebabkan letupan abnormal
mendadak stimulasi listrik, menganggu konduksi syaraf normal otak. Pada
otak yang tidak rentan terhadap kejang, terdapat keseimbangan antar
sinaptik eksitatori dan inhibitori yang mempengaruhi neuron postsinaptik.
Pada otak yang rentan terhadap kejang, keseimbangan ini mengalami
gangguan, menyebabkan pola ketidakseimbangan konduksi listrik yang
disebut perpindahan depolarisasi paroksismal. Perpindahan ini dapat terlihat
baik ketika terdapat pengaruh eksitatori yang berlebihan atau pengaruh
inhibitori yang tidak mencukupi (Hudak dan Gallo, 1996).
Ketidakseimbangan asetilkolin dan GABA. Asetilkolin dalam jumlah
yang berlebihan menimbulkan bangkitan kejang, sedangkan GABA
menurunkan eksitabilitas dan menekan timbulnya kejang.

17
F. PATHWAY

Factor predisposisi
- Pasca trauma kelahiran, asfiksia neonates, pasca cedera kepala
- Riwayat bayi dari ibu yang menggunakan obat anti konvuslan
- Riwayat ibu yang mempunyai resiko tinggi
- Adanya riwayat penyakit infeksi pada masa kanak-kanak
- Keracunan, gangguan metabolism dan nutrisi gizi
- Riwayat gangguan sirklasi serebral
- Riwayat demamtinggi
- Riwayat keturunan, riwayat tumor otak, abses dan keturunan epilepsi

Gangguanpada system listrik dari sel-sel saraf pusat pada


suatu bagian otak

Sel-sel memberikan muatan listrik yang abnormal,


berlebihan secara berulang dan tidak terkontrol

Priode pelepasan impuls yang tidak diinginkan

Aktivitas kejang umum lama akut, tanpa pernbaikan Kejang parsial


kesadaran penuh di antara serangan

Peka rangsangan
Status epileptikus Kebutuhan metabolik
besar
Kejang berulang

Briting & Circulasion


Gangguan pertukaran Gangguan pernafasan
o2 dan Co2 dalam Resiko tinggi injuri
darah
Gangguan perilaku, alam
perasaan,sensasi dan Geraakan milut
Gangguan Perfusi persepsi dan lidah tidak
jaringan terkontrol
Gangguan harga diri
dan identitas pribadi Airway
Penyumbatan jalan
Tidak tahu nafas
Penurunan kesadaran
keadaannya

Pola nafas tidak


Kurangnya efektif
pengetahuan

18
Sumber : Asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem persyarafan,
Arif muttaqin (2011).

G. MANIFESTASI KLINIK
a. Kejang Parsial Sederhana
Hanya jari atau tangan yang bergetar; atau mulut yang bergergerak
tak terkontrol; bicara tidak dapat dimengerti; mungkin pening; dapat
mengalami perubahan penglihatan, suara, bau atau pengecapan yang tak
lazim atau tak menyenangkan.
b. Kejang Parsial Kompleks
Masih dalam keadaan sedikit bergerak atau gerakan secara otomatis
tetapi tidak bertujuan; dapat mengalami perubahan emosi, ketakutan,
marah, kegirangan, atau peka rangsang yang berlebihan; tidak mengingat
periode tersebut ketika sudah berlalu.
c. Kejang Umum (kejang grand Mal)
Mengenai kedua hemisfer otak, kekuatan yang kuat dari seluruh
tubuh diikuti dengan perubahan kedutan dari relaksasi otot dan kontraksi
(kontraksi tonik klonik umum)
H. FASE SERANGAN KEJANG
a. Fase Prodromal
Beberapa jam/hari sebelum serangan kejang. Berupa perubahan alam
rasa (mood), tingkah laku
b. Fase Aura
Merupakan fase awal munculnya serangan. Berupa gangguan
perasaan, pendengaran, penglihatan, halusinasi, reaksi emosi afektif yang
tidak menentu.
c. Fase Iktal
Merupakan fase serangan kejang, disertai gangguan muskuloskletal.
Tanda lain : hipertensi, nadi meningkat, cyanosis, tekanan vu meningkat,
tonus spinkter ani meningkat, tubuh rigid-tegang-kaku, dilatasi pupil,
stridor, hipersalivasi, lidah resiko tergigit, kesadaran menurun.

19
d. Fase Post Iktal
Merupakan fase setelah serangan. Ditandai dengan : confuse lama,
lemah, sakit kepala, nyeri otot, tidur lama, amnesia retrograd, mual,
isolasi diri.
e. Status Epileptikus
Serangan kejang yang terjadi berulang, merupakan keadaan darurat.
Berakibat kerusakan otak permanen, dapat disebabkan karena :
peningkatan suhu yang tinggi, penghentian obat epileptik, kurang tidur,
intoksikasi obat, trauma otak, infeksi otak.
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Elektroensefalogram (EEG)
Digunakan untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan.
EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti
ketidaknormalan gelombang. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk
dilakukan pada kejang demam yang baru terjadi sekali tanpa adanya
defisit (kelainan) neurologis. Tidak ada penelitian yang menunjukkan
bahwa EEG yang dilakukan saat kejang demam atau segera setelahnya
atau sebulan setelahnya dapat memprediksi akan timbulnya kejang tanpa
demam di masa yang akan datang. Walaupun dapat diperoleh gambaran
gelombang yang abnormal setelah kejang demam, gambaran tersebut
tidak bersifat prediktif terhadap risiko berulangnya kejang demam
ataurisiko epilepsi.

20
b. Neuroimaging
Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain:
1) CT Scan
Digunakan untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal,
serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral. Merupakan
test gambaran otak pertama yang dianjurkan untuk banyak anak dan
dewasa dengan kejang awal. Teknik gambaran ini cukup sensitive
untuk berbagai tujuan.
Teknik penggambaran yang lebih sensitive dibandingkan dengan
x-ray, mengikuti makna yang tinggi terhadap struktur tulang dan
jaringan-jaringan yang lunak.clear images dari orga-organ seperti
otak, otot, struktur join, vena, dan arteri.
2) MRI (magnetic resonance imaging) kepala.
Digunakan untuk melihat ada tidaknya neuropati fokal. MRI lebih
disukai karena dapat mendeteksi lesi kecil (misalnya lesi kecil,
malformasi pembuluh, atau jaringan parut) di lobus temporalis.
Gambaran dari MRI dapat digunakan untuk persiapan pembedahan.
Kedua pemeriksaan tersebut tidak dianjurkan pada kejang demam
yang baru terjadi untuk pertama kalinya.
c. Kimia darah : hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
d. Pungsi Lumbar. Pungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal
(cairan yang ada di otak dan kanal tulang belakang) untuk meneliti
kecurigaan meningitis. Pemeriksaan ini dilakukan setelah kejang demam
pertama pada bayi.
e. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit,
kalsium, fosfor, magnsium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada
kejang demam pertama. Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk
mencari sumber demam, bukan sekedar sebagai pemeriksaan rutin.

21
J. EFEK/KOMPLIKASI
a. Dampak pada anak-anak
1) Long-Term General Effects. Secara umum untuk efek jangka lama
dari kejang sangat bergantung pada penyebabnya. Anak-anak yang
mengalami epoilepsi akan berdampak terhadap kondisi yang spesifik
(contohnya injuri kepala dan gangguan syaraf) mempunyai mortalitas
lebih tinggi dari pada populsi normal.
2) Effect on Memory and Learning. Secara umum anak-anak yang
mengalami kejang akan lebih berdampak pada perluasan gangguan
otak dan akan terjadi keburukan. Anak dengan kejang yag tidak
terkontrol merupakan faktor resiko terjadinya kemunduran intelektual.
3) Social and Behavioral Consequences. Gangguan pengetahuan dan
bahasa, dan emosi serta gangguan tingkahlaku, terjadi pada sejumlah
anak dengan beberapa sindrom epilepsy parsial. Anak-anak tersebut
biasanya berpenapilan denagn sikap yang burk dibandingkan dengan
anak-anak lainnya.
b. Dampak pada dewasa
1) Effect on Mental Functioning in Adults. Dampak dari epilepsy dewasa
adalah pada fungsi mental yang tidak benar.
2) Psychological Health. Kira-kira 25-75% orang dewasa dengan
epilepsy menunjukan tanda-tanda depresi. Orang dengan epilepsi
mempunyai resiko tinggi untuk bunuh diri, setelah 6 bulan didiagnosa.
Resiko bunuh diri terbesar diantara orang-orang yang terkena epilepsy
dan mengarah pada kondisi psikiatrik seperti depresi, gangguan
ansietas, skizoprenia, dan penggunaan alcohol kronik.
3) Overall Health. Beberapa pasien dengan epilepsi menggambarkan
dirinya dengan wajar atau buruk, orang dengan epilepsy juga
melaporkan ambang nyeri yang lebih besar, depresi dan ansietas, serta
gangguan tidur.faktanya kesehatan mereka dapat disamakan dengan
orang dengan penyakit kronik, meiputi arthritis, masalah jantung,
diabetes, dan kanker.

22
c. Dampak pada kesehatan seksual dan reproduksi
1) Effects on Sexual Function. Pasien dengan epilepsi akan mengalami
gangguan sexual, meliputi impotensi pada laki-laki. Penyebab-
penybab dari masalah-masalah tersebut kemungkinan emosi, indusi
medikasi, atau menghasilkan perubahan pada tingkat hormone.
2) Epilepsy pada childhood dapat mengakibatkan gangguan pada
pengaturan hormone puberitas.
3) Kejang yang persisten pada adult dapat dihubungkan dengan
hormonal-hormonal lain dan perubahan neurologi yang berkontribusi
terhada disfungsi seksualitas.
4) Emosi negatif yang mengarah pada epilepsy dapat mengurangi
perjalanan seksual.
K. PENATALAKSANAAN
Penatalaksaan epilepsy direncanakan sesuai dengan program jangka
panjang dan dibuat untuk memenuhi kebutuhan khusus masing-masing
klien.
Tujuan dari pengobatan adalah untuk menghentikan kejang sesegera
mungkin, untuk menjamin oksigenasi serebral yang adekuat, dan untuk
mempertahankan klien dalam status bebas kejang.
Pengobatan Farmakologis :
a) Pengobatan biasanya dimulai dengan dosis tunggal.
b) Pengobatan anti konvulsan utama termasuk karbamazepin, primidon,
fenitoin, fenobarbital, etosuksimidin, dan valproate.
c) Lakukan pemeriksaan fisik secara periodic dan pemeriksaan laboratorium
untuk klien yang mendapatkan obat yang diketahui mempunyai efek
samping toksik.
d) Cegah terjadinya hiperplasi gingival dengan hygiene oral yang
menyeluruh, perawatan gigi teratur, dan masase gusi teratur untuk klien
yang mendapatkan fenitoin (Dilantin).
Pembedahan
a) Diindikasikan bila epilepsy diakibatkan oleh tumor intrakranial, abses,
kista, atau anomaly vaskuler.

23
b) Pengangkatan secara pembedahan pada focus epileptogenik dilakukan
untuk kejang yang berasal dari area otak yang terkelilingi dengan baik
yang dapat dieksisi tanpa menghasilkan kelainan neurologis yang
signifikan.

24
A. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
a. Keadaan Umum
Pada kasus epilepsia terjadi pelepasan aliran listrik yang berlebihan disel
neuron saraf pusat yang dapat menimbulkan hilangnya kesadaran,
sehingga pada pengkajian gawat darurat kondisi umum klien tergolong
sakit berat. sakit berat
b. Penggolongan sesuai Triage
Epilepsi merupakan manifestasi lepasnya muatan listrik yang berlebihan
di sel neuron saraf pusat yang dapat menimbulkan hilangnya kesadaran,
gerakan involunter, fenomena sensorik abnormal, kenaikan aktivitas
otonom, sehingga dapat menyebabkan kematian apabila terlambat
mendapatkan pertolongan. Oleh karena itu epilepsi termasuk ke dalam P1
(urgent).
c. Pengkajian kesadaran
Setelah melakukan pengkajian kesan umum, kaji status mental pasien
dengan berbicara padanya. Kenalkan diri, dan tanya nama pasien.
Perhatikan respon pasien. Bila terjadi penurunan kesadaran, lakukan
pengkajian selanjutnya.
Pengkajian kesadaran dengan metode AVPU meliputi :
1) Alert (sadar lingkungan)
Pada kasus ini klien tidak berespon terhadap lingkungan sekelilingnya
karena kondsi klien tidak sadar.
2) Respon velbal (menjawab pertanyaan)
Pada kasus ini klien tidak berespon terhadap pertanyaan perawat atau
tim medis lainnya saat melakukan pengkajian.

3) Tidak berespon (U)


Pada kasus ini klien tidak berespon terhadap stimulus verbal dan
nyeri ketika dicubit dan ditepuk wajahnya, karena klien tidak sadar.

25
d. Primery survey
a. Airway ( jalan nafas ) : Kejang berulang menyebabkan gerakan mulut
dan lidah tak terkontrol sehingga terjadi penyunbatan jalan nafas.
Tindakan yang dilakukan :
1) Semua pakaian ketat dibuka
2) Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi
lambung
3) Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan
oksigen
4) Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan
oksigen.
5) Observasi TTV setiap 5 menit
Evaluasi :
1) Inefektifan jalan nafas tidak terjadi
2) Jalan nafas bersih dari sumbatan
3) RR dalam batas normal
4) Suara nafas vesikuler
b. Breathing (pola nafas)
Pada fase iktal, pernapasan klien menurun/cepat, peningkatan
sekresi mukus, dan kulit tampak pucat bahkan sianosis. Pada fase
post iktal, klien mengalami apneu, Na meningkat, kebutuhan O2 dan
energi meningkat untuk kontraksi otot skeletal yang akhirnya terjadi
hipoxia dan menimbulkan terjadinya asidosis.
Tindakan yang dilakukan :
1) Mengatasi kejang secepat mungkin
Diberikan antikonvulsan secara intravena jika klien masih
dalam keadaan kejang, ditunggu selama 15 menit, bila masih
terdapat kejang diulangi suntikan kedua dengan dosis yang
sama juga secara intravena. Setelah 15 menit suntikan ke 2
masih kejang diberikan suntikan ke 3 dengan dosis yang
sama tetapi melalui intramuskuler, diharapkan kejang akan

26
berhenti. Bila belum juga berhenti dapat diberikan
fenobarbital atau paraldehid 4 % secara intravena.
2) Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan
oksigen
Evaluasi :
1) RR dalam batas normal
2) Tidak terjadi asfiksia
3) Tidak terjadi hipoxia
c. Circulation
Pada fase iktal terjadi peningkatan nadi dan penurunan tekanan
darah, sehingga terjadi gangguan pertukatan O2 dan CO2 dalam
darah yang menyebabkan akral dingin, sianosis, dan klien biasanya
dalam keadaan tidak sadar.
Tindakan yang dilakukan :
1) Semua pakaian ketat dibuka
2) Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi
lambung
3) Usahakan agarjalan napas bebas untuk menjamin kebutuhan
oksigen
4) Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan
oksigen
5) Observasi TTV setiap 5 menit
Evaluasi :
1) Tidak terjadi gangguan peredaran darah
2) Tidak terjadi hipoxia
3) Tidak terjadi kejang
4) RR dalam batas normal
e. Secondary survey
1) DCAP-BTLS
 D (Deformitas) : terjadi kekuan pada otot
 C ( Contusio) : tidak terjadi memar pada bagian ektremitas
 A (Abration) : abrasi pada bagian ekstremitas

27
 P (Penetration) : tidak terdapat penetrasi pada saat kejang
 B (Burn): tidak ditemukan adanya luka bakar
 T (Tendernes ) ; tidak ditemukan adanya nyeri tekan, nyeri spontan
dan nyeri lepas
 L (Laserasi) : tidak terdapat laserasi pada bagian ekstremitas
 S (Swelling) : tidak terdapat distensi abdomen
2) Riwayat pasien
a) S (sign and symptom) : Terjadi kejang yang berulang, klien tidak
sadar dengan lingkungan.
b) A (allergies) : kaji apakah pasien ada riwayat alergi.
c) M (Medication) : kaji riwayat pengobatanya pasien.
d) P (Pentinant past medical histori) : kaji riwayat penyakit dahulu
pasien.
e) L (Last oral intake solid liquid) : kaji kejadian sebelumnya.
f) E (Event leading to injuri ilmes)
3) TTV
a) Tekanan darah : tekanan darah pada pasien gigitan binatang
cenderung mengalami penurunan dibawah 100/80 mmHg
b) Irama dengan kekuatan nadi meningkat
c) Irama, kedalaman dan penggunaan otot bantu pernapasan : klien
dengan epilepsi mengalami pernapasan yang tidak teratur, akral
dingin, terjadi sianosis, apneu.
d) Suhu tubuh klien menurun < 36 ºC, N : 110-120 kali/menit.
Tindakan: rujuk ke fasilitas kesehatan sesuai triage

Evaluasi: evaluasi keadaan umum pasien, pantau keadaan pasien


setiap 15 menit atau sesuai indikasi.

4) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik menurut doenges meliputi:
1) Aktivitas/istirahat
Gejala :keletihan, kelemahan umum
Tindakan : catat laporan mual atau muntah, kaji
tanda-tanda vital

28
2) Sirkulasi
Gejala : Peningkatan nadi dan sianosis
Tindakan : Berikan tambahan oksigen/ventilasi manual sesuai
kebutuhan

3) Integritas ego
Gejala :stressor eksternal/internal yang berhubungan
dengan keadaan dan penanganan
Tindakan : diskusikan perasan pasien mengenai diagnostic,
persepsi diri terhadap penanganan yang
dilakukannya. Anjurkan untuk mengungkapkan
perasaanannya
4) Eliminasi
Gejala : Inkontensia episodik
Tindakan : Pantau masukan dan haluaran
5) Makanan/cairan
Gejala : Sensitivitas terhadap makanan, mual/muntah
Tindakan : Catat laporan mual atau muntah
6) Neurosensori
Gejala : Riwayat sakit kepala, aktivitas kejang berulang,
pingsan, pusing.
Tindakan : Tinggikan ekstremitas bawah
7) Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala
Tindakan : Tinggikan ekstremitas bawah

8) Pernapasan
Gejala :Gigi mengatup, sianosis, pernapasan
menurun/cepat
Tindakan : Masukan spatel lidah/jalan napas buatan atau
gulungan benda lunak sesuai indikasi.

29
9) Keamanan
Gejala : Riwayat terjatuh, fraktur
Tindakan :kaji kekuatan tonus otot secara menyeluruh
10) Interaksi sosial
Gejala : Masalah yang berhubungan dengan interpersonal
dalam keluarga atau lingkungan keluarganya
Tindakan :jelaskan kembali mengenai patofisiologi penyakit
dan perlunya pengobatan/ penanganan dalam
jangka waktu sesuai indikasi.
11) Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : Ada riwayat kejang pada keluarga
Tindakan : Berikan penjelasan kepada keluarga tentang
riwayat penyakitnya

f. Analisa data

Data Etiologi Masalah


DS : keluarga klien Peningkatan sekresi Pola napas tidak
mengeluh kelien mukosa efektif
sulit bernafas
DO: Sumbatan jalan nafas
 Klien nampak
sesak Pola nafas tidak
 Klen biasanya efektif
menggunakan
otot bantu napas
 R : 30-35
kali/menit.
DS : keluarga klien Pola nafas tidak Gangguan perfusi
mengeluh klien efektif jaringan
dingin di ujung
tangan dan kaki Gangguan pertukaran
DO: O2 dan CO2 dalam
 Akral dingin darah
 Sianosis, apneu
 N : 110-120 Gangguan perfusi
kali/menit. jaringan
 TD : < 100/80
mmHg

30
DS : keluarga klien Gangguan ion kalium Resiko tinggi injuri
mengeluh klien dalam pembentukan
kejang impuls
DO:
 klien tidak sadar Penurunan Kesadaran
 klien kejang
 N : 110-120 Resiko tinggi injuri
kali/menit.
 TD : < 100/80
mmHg
DS : Keluarga klien Penurunan Kesadaran Gangguan harga
mengatakan diri/identitas pribadi
klien tidak sadar Persepsi tidak
DO : terkontrol
 Klien tidak sadar
 Klien tidak Gangguan harga
mampu diri/identitas pribadi
mengontrol
dirinya

DS : Keluarga klien Penurunan Kesadaran Kurang pengetahuan


mengatakan
klien tidak Tidak tahu
mengetahui keadaannya
keadaannya.
DO: Kurang pengetahuan
 Klien tidak tidak
tahu keadaannya
 Klien tidak bias
menjawab
pertanyaan.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan epilepsi
adalah:
a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler,
peningkatan sekresi mucus
b. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan tidak efektif pertukaran
O2 dan C02 dalam darah.
c. Resiko tinggi injuri b.d perubahann kesadaran , kerusakan
kognitif,selama kejang atau kerusakan perlindungan diri.

31
d. Gangguan harga diri/identitas pribadi berhubungan dengan stigma
berkenaan dengan kondisi, persepsi tidak terkontrol ditandai dengan
pengungkapan tentang perubahan gaya hidup, takut penolakan; perasaan
negative tentang tubuh
e. Kurang pengetahuan keluarga tentang proses perjalanan penyakit
berhubungan dengan kurangnya informas
3. INTERVENSI
a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler,
peningkatan sekresi mucus
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan 2 x 60 menit diharapkan pola
nafas klien efektif
Kriteria Hasil : Mempertahankan pola pernapasan efektif dengan jalan
napas paten.
Intervensi Rasional
 Anjurkan klien untuk  Menurunkan resiko aspirasi
mengosongkan mulut dari atau masuknya benda asing ke
benda/zat tertentu/gigi palsu faring
atau alat lainnya jika fase aura
terjadi dan untuk menghindari
rahang mengatup jika kejang
terjadi tanpa ditandai gejala
awal
 Letakkan klien pada posisi
miring, permukaan datar,  Meningkatkan aliran (drainase)
miringkan kepala selama secret, mencegah lidah jatuh
serangan kejang sehingga menyumbat jalan
 Tanggalkan pakaian pada napas
daerah leher, dada, dan
abdomen  Untuk memfasilitasi usaha
 Masukkan spatel lidah/ jalan bernapas
napas buatan atau gulungan
benda lunak sesuai indikasi  Mencegah tergigitnya lidah dan
memfasilitasi saat melakukan
penghisapan lender. Jalan napas
buatan mungkin diindikasikan
setelah meredanya aktivitas
kejang jika pasien tersebut
tidak sadar dan tidak dapat
 Lakukan penghisapan sesuai mempertahankan posisi lidah
indikasi yang aman
 Berikan tambahan oksigen/  Menurunkan resiko aspirasi

32
ventilasi manual sesuai atau asfiksia
kebutuhan pada fase posiktal  Dapat menurunkan hipoksia
serebral sebagai akobat dari
sirkulasi yang menurun atau
oksigen sekunder terhadap
 Siapkan/bantu melakukan spasme vaskuler selama
intubasi jika ada indikasi serangan kejang
 Munculnya apneu yang
berkepanjangan pada fase
posiktal membutuhkan

b. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan tidak efektif pertukaran


O2 dan C02 dalam darah.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan 2 x 60 menit diharapkan perfusi
jaringan lebih efektif
Kriteria Hasil : akral tidak dingin, tidak terjadi sianosis pada jaringan
perifer.
Intervensi Rasional
 Atur posisi kepala dan leher untuk  Untuk mempertahankan ABC
mendukung airway (jaw thrust). dan mencegah terjadi obstruksi
Jangan memutar atau menarik jalan napas
leher ke belakang (hiperekstensi),
mempertimbangkan pemasangan
intubasi nasofaring.  Untuk menurunkan keparahan
 Atur suhu ruangan dari poikilothermy.

 Tinggikan ekstremitas bawah  Meningkatkan aliran balik


vena ke jantung.

 Gunakan servikal collar,  Stabilisasi tulang servikal


imobilisasi lateral kepala,
meletakkan papan di bawah tulang
belakang.
 Pantau adanya ketidakadekuatan
perfusi :  Sediakan oksigen dengan
 Peningkatan rasa nyeri nasal canul untuk mengatasi
hipoksia.
 Kapilari refill . 2 detik
 Kulit : dingin dan pucat
 Penurunanan output urine
 Menunjukkan adanya
 Pantau GCS ketidakadekuatan perfusi
jaringan. Penurunan perfusi
terutama di otak dapat

33
mengakibatkan penurunan
tingkat kesadaran
 Awasi pemeriksaan AGD  Penurunan perfusi jaringan
dapat menimbulkan infark
terhadap organ jaringan

c. Resiko tinggi injuri b.d perubahann kesadaran , kerusakan


kognitif,selama kejang atau kerusakan perlindungan diri.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan 2 x 60 menit diharapkan
kejang berkurang dan kesadaran meningkat
Kriteria Hasil : Mengurangi resiko injuri pada pasien
Intervensi Rasional
 Kaji karakteristik kejang  Untuk mngetahui seberapa
besar tingkatan kejang yang
dialami pasien sehingga
pemberian intervensi berjalan
lebih baik
 Jauhkan pasien dari benda benda  Benda tajam dapat melukai
tajam / membahayakan bagi dan mencederai fisik pasien
pasien
 Masukkan spatel lidah/jalan  Dengan meletakkan spatel
napas buatan atau gulungan lidah diantara rahang atas dan
benda lunak sesuai indikasi rahang bawah, maka resiko
pasien menggigit lidahnya
tidak terjadi dan jalan nafas
pasien menjadi lebih lancer
 Kolaborasi dalam pemberian  Obat anti kejang dapat
obat anti kejang mengurangi derajat kejang
yang dialami pasien, sehingga
resiko untuk cidera pun
berkurang

d. Gangguan harga diri/identitas pribadi berhubungan dengan stigma


berkenaan dengan kondisi, persepsi tidak terkontrol ditandai dengan
pengungkapan tentang perubahan gaya hidup, takut penolakan; perasaan
negative tentang tubuh.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan 2 x 60 menit diharapkan
klien menerima keadaannya.

34
Kriteria Hasil : Mengidentifikasi perasaan dan metode untuk koping
dengan persepsi negative pada diri sendiri
Intervensi Rasinal
 Diskusikan perasaan pasien  Reaksi yang ada bervariasi
mengenai diagnostic, persepsi diantara individu dan
diri terrhadap penanganan yang pengetahuan/ pengalaman
dilakukannya. awal dengan keadaan
penyakitnya akan
mempengaruhi penerimaan
 Anjurkan untuk mengungkapkan/  Adanya keluhan merasa takut,
mengekspresikan perasaannya marah dan sangat
memperhatikan tentang
implikasinya di masaa yang
akan datang dapat
mempengaruhi pasien untuk
menerima keadaanya
 Identifikasi/antisipasi  Memberikan kesempatan
kemungkinan reaksi orang pada untuk berespon pada proses
keadaan penyakitnya. Anjurkan pemecahan masalah dan
klien untuk tidak merahasiakan memberikan tindakan control
masalahnya terhadap situasi yang dihadapi
 Gali bersama pasien mengenai  Memfokuskan pada aspek
keberhasilan yang telah yang positif dapat membantu
diperoleh atau yang akan dicapai untuk menghilangkan
selanjutnya dan kekuatan yang perasaan dari kegagalan atau
dimilikinya kesadaran terhadap diri
sendiri dan membentuk
pasien mulai menerima
penangan terhadap
 Tentukan sikap/kecakapan orang penyakitnya
terdekat. Bantu menyadari  Pandangan negative dari
perasaan tersebut adalah normal, orang terdekat dapat
sedangkan merasa bersalah dan berpengaruh terhadap
menyalahkan diri sendiri tidak perasaan kemampuan/ harga
ada gunanya diri klien dan mengurangi
dukungan yang diterima dari
orang terdekat tersebut yang
mempunyai resiko membatasi
 Tekankan pentingnya orang penanganan yang optimal
terdekat untuk tetap dalam  Ansietas dari pemberi asuhan
keadaan tenang selama kejan adalah menjalar dan bila
sampai pada pasien dapat
meningkatkan persepsi
negative terhadap keadaan
lingkungan/diri sendiri

35
e. Kurang pengetahuan keluarga tentang proses perjalanan penyakit
berhubungan dengan kurangnya informas
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan 2 x 60 menit diharapkan
keluarga mengerti keadaan klien.
Kriteria Hasil : Pengetahuan keluarga meningkat, keluarga mengerti
dengan proses penyakit epilepsy, keluarga klien tidak
bertanya lagi tentang penyakit, perawatan dan kondisi
klien.
Intervensi Rasional
 Kaji tingkat pendidikan  pendidikan merupakan salah
keluarga klien. satu faktor penentu tingkat
pengetahuan seseorang
 Kaji tingkat pengetahuan  untuk mengetahui seberapa
keluarga klien. jauh informasi yang telah
mereka ketahui,sehingga
pengetahuan yang nantinya
akan diberikan dapat sesuai
dengan kebutuhan keluarga
 Jelaskan pada keluarga klien  untuk meningkatkan
tentang penyakit kejang demam pengetahuan
melalui penyuluhan.
 Beri kesempatan pada keluarga  untuk mengetahui seberapa
untuk menanyakan hal yang jauh informasi yang sudah
belum dimengerti. dipahami
 Libatkan keluarga dalam setiap
tindakan pada klien.  agar keluarga dapat
memberikan penanngan yang
tepat jika suatu-waktu klien
mengalami kejang berikutnnya.

4. IMPLEMENTASI
Sesuai Intervensi

36
LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN MENINGITIS

A. Definisi
Meningitis adalah radang pada meningen (membran yang mengelilingi
otak dan medula spinalis) dan disebabkan oleh virus, bakteri atau organ-organ
jamur(Smeltzer, 2001).
Meningitis merupakan infeksi akut dari meninges, biasanya
ditimbulkan oleh salah satu dari mikroorganisme pneumokok, Meningokok,
Stafilokok, Streptokok, Hemophilus influenza dan bahan aseptis (virus)
(Long, 1996).
Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan
serebrospinal dan spinal column yang menyebabkan proses infeksi pada
sistem saraf pusat (Suriadi & Rita, 2001).

B. Etiologi
1. Bakteri; Mycobacterium tuberculosa, Diplococcus pneumoniae
(pneumokok), Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus
haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae,
Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa
2. Penyebab lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia
3. Faktor predisposisi : jenis kelamin lakilaki lebih sering dibandingkan
dengan wanita
4. Faktor maternal : ruptur membran fetal, infeksi maternal pada minggu
terakhir kehamilan
5. Faktor imunologi : defisiensi mekanisme imun, defisiensi imunoglobulin.
6. Kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injury yang berhubungan
dengan sistem persarafan

37
C. Klasifikasi
Meningitis dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan perubahan yang
terjadi pada cairan otak, yaitu :
1. Meningitis serosa
Adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan otak
yang jernih. Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa.
Penyebab lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia.
2. Meningitis purulenta
Adalah radang bernanah arakhnoid dan piameter yang meliputi otak dan
medula spinalis. Penyebabnya antara lain : Diplococcus pneumoniae
(pneumokok), Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus
haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae,
Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa.

C. Patofisiologi
Meningitis bakteri dimulai sebagai infeksi dari oroaring dan diikuti
dengan septikemia, yang menyebar ke meningen otak dan medula spinalis
bagian atas.
Faktor predisposisi mencakup infeksi jalan nafas bagian atas, otitis
media, mastoiditis, anemia sel sabit dan hemoglobinopatis lain, prosedur
bedah saraf baru, trauma kepala dan pengaruh imunologis. Saluran vena yang
melalui nasofaring posterior, telinga bagian tengah dan saluran mastoid
menuju otak dan dekat saluran vena-vena meningen; semuanya ini
penghubung yang menyokong perkembangan bakteri.
Organisme masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan reaksi
radang di dalam meningen dan di bawah korteks, yang dapat menyebabkan
trombus dan penurunan aliran darah serebral. Jaringan serebral mengalami
gangguan metabolisme akibat eksudat meningen, vaskulitis dan hipoperfusi.
Eksudat purulen dapat menyebar sampai dasar otak dan medula spinalis.
Radang juga menyebar ke dinding membran ventrikel serebral. Meningitis

38
bakteri dihubungkan dengan perubahan fisiologis intrakranial, yang terdiri
dari peningkatan permeabilitas pada darah, daerah pertahanan otak (barier
oak), edema serebral dan peningkatan TIK.
Pada infeksi akut pasien meninggal akibat toksin bakteri sebelum
terjadi meningitis. Infeksi terbanyak dari pasien ini dengan kerusakan adrenal,
kolaps sirkulasi dan dihubungkan dengan meluasnya hemoragi (pada
sindromWaterhouse-Friderichssen) sebagai akibat terjadinya kerusakan
endotel dan nekrosis pembuluh darah yang disebabkan oleh meningokokus.

D. Manifestasi klinis
Gejala meningitis diakibatkan dari infeksi dan peningkatan TIK :
1. Sakit kepala dan demam (gejala awal yang sering)
2. Perubahan pada tingkat kesadaran dapat terjadi letargik, tidak responsif,
dan koma.
3. Iritasi meningen mengakibatkan sejumlah tanda sbb:
a) Rigiditas nukal ( kaku leher ). Upaya untuk fleksi kepala mengalami
kesukaran karena adanya spasme otot-otot leher.
b) Tanda kernik positip: ketika pasien dibaringkan dengan paha dalam
keadan fleksi kearah abdomen, kaki tidak dapat di ekstensikan
sempurna.
c) Tanda brudzinki : bila leher pasien di fleksikan maka dihasilkan fleksi
lutut dan pinggul. Bila dilakukan fleksi pasif pada ekstremitas bawah
pada salah satu sisi maka gerakan yang sama terlihat peda sisi ektremita
yang berlawanan.
4. Mengalami foto fobia, atau sensitif yang berlebihan pada cahaya.
5. Kejang akibat area fokal kortikal yang peka dan peningkatan TIK akibat
eksudat purulen dan edema serebral dengan tanda-tanda perubahan
karakteristik tanda-tanda vital(melebarnya tekanan pulsa dan bradikardi),
pernafasan tidak teratur, sakit kepala, muntah dan penurunan tingkat
kesadaran.
6. Adanya ruam merupakan ciri menyolok pada meningitis meningokokal.

39
7. Infeksi fulminating dengan tanda-tanda septikimia : demam tinggi tiba-tiba
muncul, lesi purpura yang menyebar, syok dan tanda koagulopati
intravaskuler diseminata
E. Pemeriksaan Diagnostik
1. Analisis CSS dari fungsi lumbal :
a) Meningitis bakterial : tekanan meningkat, cairan keruh/berkabut, jumlah
sel darah putih dan protein meningkat glukosa meningkat, kultur positip
terhadap beberapa jenis bakteri.
b) Meningitis virus : tekanan bervariasi, cairan CSS biasanya jernih, sel
darah putih meningkat, glukosa dan protein biasanya normal, kultur
biasanya negatif, kultur virus biasanya dengan prosedur khusus.
2. Glukosa serum : meningkat ( meningitis )
3. LDH serum : meningkat ( meningitis bakteri )
4. Sel darah putih : sedikit meningkat dengan peningkatan neutrofil ( infeksi
bakteri )
5. Elektrolit darah : Abnormal .
6. ESR/LED : meningkat pada meningitis
7. Kultur darah/ hidung/ tenggorokan/ urine : dapat mengindikasikan daerah
pusat infeksi atau mengindikasikan tipe penyebab infeksi
8. MRI/ skan CT : dapat membantu dalam melokalisasi lesi, melihat
ukuran/letak ventrikel; hematom daerah serebral, hemoragik atau tumor
9. Ronsen dada/kepala/ sinus ; mungkin ada indikasi sumber infeksi intra
kranial.

F. Komplikasi
1. Hidrosefalus obstruktif
2. MeningococcL Septicemia ( mengingocemia )
3. Sindrome water-friderichen (septik syok, DIC,perdarahan adrenal bilateral)
4. SIADH ( Syndrome Inappropriate Antidiuretic hormone )
5. Efusi subdural
6. Kejang
7. Edema dan herniasi serebral

40
8. Cerebral palsy
9. Gangguan mental
10. Gangguan belajar
11. Attention deficit disorder
.

G. Asuhan Keperawatan kegawat darutan


1. Konsep Pengkajian

Pengkajian selalu menggunakan pendekatan ABCDE.

A. Airway

1. pastikan kepatenan jalan napas


2. siapkan alat bantu untuk memperlancar jalan napas jika perlu. jika terjadi
penurunan dalam fungsi pernapasan segera hubungi ahli anestesi dan bawa
ke ICU

B.Breathing

1. Kaji respiratory rate – <8 atau >30 merupakan tanda yang signifikan.
2. Kaji saturasi oksigen
3. Lakukan pemeriksaan gas darah
4. Berikan oksigen 100% melalui non re-breath mask
5. Auskultasi dada
6. Lakukan pemeriksaan foto thorak

C. Circulation

1. kaji heart rate – >100 atau <40 kali/min merupakan tanda signifikan
2. monitoring tekanan darah – jika tekanan darah sistolik <>
3. periksa waktu pengisian kapiler
4. pasang infuse dengan menggunakan kanul yang besar
5. berikan cairan koloid – gelofusin atau haemaccel
6. pasang kateter
7. periksa lab untuk darah lengkap, urine, elektrolit
8. lakukan kultur darah
9. lakukan pemeriksaan apusan tegorokan untuk kultur dan sensitifitas
10. catat temperature – mungkin pyreksia atau <<36 oC

41
D.Disability

1. kaji tingkat kesadaran dengan menggunakan AVPU


2. obserasi tanda neurologis fokal

E Exposure

1. kaji adanya ptechie

Tanda ancaman terhadap kehidupan

Jika pasien menunjukan adanya tana kegawatan menunjukan pasien harus dibawa
secepatnya ke ICU adapun tandanya sebagai berikut:

1. kemerahan semakin banyak


2. CRT > 4 detik
3. Oliguria
4. Pernapasan <8> 30 per menit
5. Heart rate <40>140 kali per menit
6. Asidosis dengan pH <>
7. WBC <4
8. Adanya tanda penurunan kesadaran – GCS <> 2
9. Neurologi fokal
10. Kejang
11. Bradikardia dan hypertensi
12. Papiloedema

Investigasi dan managemen lanjut

Jika sudah melakukan tindakan tersebut maka selanjutnya dilakukan tindakan


mendis lebih lanjut berupa:

1. pertimbangkan lumbar pungsi


2. CT Scan, bukan merupakan prioritas
3. Jika pasien septicemia, bukan merupakan indikasi untuk dilakukan LP
4. Jika mengalami meningitis pertimbangkan LP
5. Berikan 2 g cefotaxim atau ceftriaxon – jika LP tidak dilakukan
6. Selanjutnya berikan antibiotic sesuai dengan hasil kultur
7. Pertimbangkan pemberian dexametason 0,15mg/kg 4 kali sehari

42
2. Pengkajian secara umum

a) Biodata klien
b) Riwayat kesehatan yang lalu
(1) Apakah pernah menderita penyait ISPA dan TBC ?
(2) Apakah pernah jatuh atau trauma kepala ?
(3) Pernahkah operasi daerah kepala ?
c) Riwayat kesehatan sekarang
(1) Aktivitas
Gejala : Perasaan tidak enak (malaise). Tanda : ataksia,
kelumpuhan, gerakan involunter.
(2) Sirkulasi
Gejala : Adanya riwayat kardiopatologi : endokarditis dan PJK.
Tanda : tekanan darah meningkat, nadi menurun, dan tekanan nadi
berat, taikardi, disritmia.
(3) Eliminasi
Tanda : Inkontinensi dan atau retensi.
(4) Makanan/cairan
Gejala : Kehilangan nafsu makan, sulit menelan. Tanda : anoreksia,
muntah, turgor kulit jelek dan membran mukosa kering.
(5) Higiene
Tanda : Ketergantungan terhadap semua kebutuhan perawatan diri.

(6) Neurosensori
Gejala : Sakit kepala, parestesia, terasa kaku pada persarafan yang
terkena, kehilangan sensasi, hiperalgesia, kejang, diplopia,
fotofobia, ketulian dan halusinasi penciuman. Tanda : letargi
sampai kebingungan berat hingga koma, delusi dan halusinasi,
kehilangan memori, afasia,anisokor, nistagmus,ptosis, kejang
umum/lokal, hemiparese, tanda brudzinki positif dan atau kernig

43
positif, rigiditas nukal, babinski positif,reflek abdominal menurun
dan reflek kremastetik hilang pada laki-laki.
(7) Nyeri/keamanan
Gejala : sakit kepala(berdenyut hebat, frontal). Tanda : gelisah,
menangis.
(8) Pernafasan
Gejala : riwayat infeksi sinus atau paru. Tanda : peningkatan kerja
pernafasan.
3. Diagnosa keperawatan
a) Resiko tinggi terhadap penyebaran infeksi sehubungan dengan
diseminata hematogen dari patogen
b) Risiko tinggi terhadap perubahan serebral dan perfusi jaringan
sehubungan dengan edema serebral, hipovolemia.
c) Risisko tinggi terhadap trauma sehubungan dengan kejang umum/fokal,
kelemahan umum, vertigo.
d) Nyeri (akut) sehubungan dengan proses inflamasi, toksin dalam
sirkulasi.
e) Kerusakan mobilitas fisik sehubungan dengan kerusakan
neuromuskular, penurunan kekuatan
f) Anxietas berhubungan dengan krisis situasi, ancaman kematian.

3. Intervensi keperawatan
a) Resiko tinggi terhadap penyebaran infeksi sehubungan dengan
diseminata hematogen dari patogen.

Mandiri
 Beri tindakan isolasi sebagai pencegahan
 Pertahan kan teknik aseptik dan teknik cuci tangan yang tepat.
 Pantau suhu secara teratur
 Kaji keluhan nyeri dada, nadi yang tidak teratur demam yang terus
menerus
 Auskultasi suara nafas ubah posisi pasien secara teratur, dianjurkan
nfas dalam

44
 Cacat karakteristik urine (warna, kejernihan dan bau )
Kolaborasi

 Berikan terapi antibiotik iv: penisilin G, ampisilin, klorampenikol,


gentamisin.
b) Resiko tinggi terhadap perubahan cerebral dan perfusi jaringan
sehubungan dengan edema serebral, hipovolemia.
Mandiri
 Tirah baring dengan posisi kepala datar.
 Pantau status neurologis.
 Kaji regiditas nukal, peka rangsang dan kejang
 Pantau tanda vital dan frekuensi jantung, penafasan, suhu, masukan
dan haluaran.
 Bantu berkemih, membatasi batuk, muntah mengejan.
Kolaborasi.

 Tinggikan kepala tempat tidur 15-45 derajat.


 Berikan cairan iv (larutan hipertonik, elektrolit ).
 Pantau BGA.
 Berikan obat : steoid, clorpomasin, asetaminofen

c) Resiko tinggi terhadap trauma sehubungan dengan kejang umum/vokal,


kelemahan umum vertigo.
Mandiri

 Pantau adanya kejang


 Pertahankan penghalang tempat tidur tetap terpasang dan pasang
jalan nafas buatan
 Tirah baring selama fase akut kolaborasi berikan obat : venitoin,
diaepam, venobarbital.

d) Nyeri (akut ) sehubungan dengan proses infeksi, toksin dalam sirkulasi.


Mandiri.

45
 Letakkan kantung es pada kepala, pakaian dingin di atas mata,
berikan posisi yang nyaman kepala agak tinggi sedikit, latihan
rentang gerak aktif atau pasif dan masage otot leher.
 Dukung untuk menemukan posisi yang nyaman(kepala agak tingi)
 Berikan latihan rentang gerak aktif/pasif.
 Gunakan pelembab hangat pada nyeri leher atau pinggul

Kolaborasi
 Berikan anal getik, asetaminofen, codein

e) Kerusakan mobilitas fisik sehubungan dengan kerusakan


neuromuskuler.
 Kaji derajat imobilisasi pasien.
 Bantu latihan rentang gerak.
 Berikan perawatan kulit, masase dengan pelembab.
 Periksa daerah yang mengalami nyeri tekan, berikan matras udsra
atau air perhatikan kesejajaran tubuh secara fumgsional.
 Berikan program latihan dan penggunaan alat mobiluisasi.
f) Perubahan persepsi sensori sehubungan dengan defisit neurologis
 Pantau perubahan orientasi, kemamapuan berbicara,alam perasaaan,
sensorik dan proses pikir.
 Kaji kesadara sensorik : sentuhan, panas, dingin.
 Observasi respons perilaku.
 Hilangkan suara bising yang berlebihan.
 Validasi persepsi pasien dan berikan umpan balik.
 Beri kessempatan untuk berkomunikasi dan beraktivitas.
 Kolaborasi ahli fisioterapi, terapi okupasi,wicara dan kognitif.

g) Ansietas sehubungan dengan krisis situasi, ancaman kematian.


 Kaji status mental dan tingkat ansietasnya.
 Berikan penjelasan tentang penyakitnya dan sebelum tindakan
prosedur.

46
 Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaan.
 Libatkan keluarga/pasien dalam perawatan dan beri dukungan serta
petunjuk sumber penyokong.
H. Evaluasi

Hasil yang diharapkan


1. Mencapai masa penyembuhan tepat waktu, tanpa bukti penyebaran infeksi
endogen atau keterlibatan orang lain.
2. Mempertahankan tingkat kesadaran biasanya/membaik dan fungsi
motorik/sensorik, mendemonstrasikan tanda-tanda vital stabil.
3. Tidak mengalami kejang/penyerta atau cedera lain.
4. Melaporkan nyeri hilang/terkontrol dan menunjukkan postur rileks dan
mampu tidur/istirahat dengan tepat.
5. Mencapai kembali atau mempertahankan posisi fungsional optimal dan
kekuatan.
6. Meningkatkan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi persepsi.
7. Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang dan mengungkapkan
keakuratan pengetahuan tentang situasi.

47
EVIDENCE BASED PRACTICE (EBP) :
Peran Perawat PICU dalam Tindakan Lumbal Pungsi
Ns. Nunung Nurhayati, S. Kep., M. Kep.

A. Latar Belakang
Jurnal yang penulis analisis adalah jurnal yang di unduh dari EBSCO
HOST, dengan memanfaatkan fasilitas dari CISRAL (Center of Information
Scientific Resources And Library) dalam mengakses dari luar UNPAD ( User ID :
s2483204 dan Password : unipad). Kata kunci pencarian yang digunakan adalah :
Meningitis and Lumbal Pungture, Full Text, english, randomize cotroll trial, age
14-18 tahun, tahun 2006 – 2013. Didapatkan 40 jurnal yang berkaitan dengan
evidence based practise pasien dengan kasus meningitis bakteri, kemudian penulis
memilah hanya 4 jurnal yang dianalisis untuk kasus ini.

B. Peran Lumbal Pungsi dalam penegakkan diagnosis


Lumbal Pungsi pertama kali diperkenalkan pada tahun 1891 untuk
mendiagnosa meningitis tuberkulosis (Kneen et al 2002). National Institute for
Health and Clinical Excellence (NICE), Association Infeksi Inggris dan Asosiasi
ahli saraf Inggris setuju bahwa lumbal pungsi dilakukan sebagai pemeriksaan
utama untuk infeksi SSP akut, kecuali secara klinis kontraindikasi (Michael et al
2010a, NICE 2010, Salomo et al 2012). Keterlambatan dalam melakukan lumbal
pungsi, dan karena itu penundaan dalam diagnosis dan pengobatan, dapat
menyebabkan peningkatan morbiditas dan kematian.
Jika meningitis bakteri diduga, disarankan bahwa antibiotik yang dimulai segera,
dan tidak lebih dari 30 menit setelah masuk ke rumah sakit. Lumbal Pungsi juga
dilakukan secepat mungkin karena keterlambatan dapat mengurangi kemungkinan
memperoleh CSF positif (Michael et al 2010b). Michael et al (2010b) menemukan
bahwa CSF masih cenderung menjadi positif jika lumbal pungsi dilakukan dalam
empat jam setelah pemberian antibiotik intravena. Namun, setelah empat jam, ada
penurunan yang signifikan secara statistik kemungkinan identifikasi patogen, dan
setelah delapan jam semua negatif (Michael et al 2010b). Ini berarti bahwa
pemberian antibiotik sebelum lumbal pungsi dapat mencegah Identifikasi bakteri.
Analisis CSF juga dapat mengenyampingkan adanya infeksi otak, yang memiliki
manfaat potensi penghematan biaya dalam mengurangi penggunaan antibiotik dan

48
antivirus, dan rumah sakit tetap (Chadwick 2005). Teknik molekular, seperti
reaksi berantai polimerase (PCR), telah memungkinkan untuk mengidentifikasi
patogen di CSF dan darah lebih lama setelah antibiotik dan antivirus telah
dimulai, meskipun PCR tidak mengidentifikasi antibiotik yang bakteri sensitif
(Dougherty dan Lister 2011).

C. Kontraindikasi Lumbal Pungsi


Jika salah satu fitur klinis dalam tabel, computed tomography (CT) harus
dilaksanakan sebelum lumbal pungsi dianggap untuk mengecualikan pergeseran
signifikan otak (gerakan otak melewati lini tengah), herniasi atau alternatif
diagnosa (Salomo et al 2012). Jika diperlukan, CT harus dilakukan sesegera
mungkin untuk menghindari keterlambatan dalam melaksanakan lumbal pungsi.
Namun, dalam banyak kasus CT dilakukan sebelum lumbal pungsi ketika itu tidak
menunjukkan (Michael et al 2010a, 2010b). Greig dan Goroszeniuk (2006)
menemukan bahwa, ada tidak ada dugaan pendarahan subarachnoid dan
pemeriksaan fisik dan neurologis tidak normal, maka CT tidak perlu dilakukan
sebelum lumbal pungsi.
Pedoman untuk meningitis dan ensefalitis mendukung keselamatan lumbal
pungsi tanpa sebelumnya neuroimaging, asalkan tidak ada kontraindikasi klinis
untuk melakukan lumbal pungsi (Michael et al 2010a, NICE 2010 Solomon et al
2012). Memadai pembalikan koagulopati, misalnya penggunaan vitamin K bagi
orang-orang yang mendapatkan warfarin, adalah wajib sebelum lumbal pungsi
(Salomo et al 2012). Pasien tersebut harus dimonitor untuk perdarahan yang
berlebihan selama prosedur.
Tabel 1
Kontraindikasi Lumbal Pungsi
1. Gangguan kesadaran sedang sampai parah: skor GCS berkurang atau berfluktuasi
<13 or a fall >2.
2. Tanda neurologis Fokus, misalnya tidak seimbang, dilatasi atau pupil kurang
respons
3. Posture yang abnormal
4. Papiledem

49
5. Cenderung bradikardi dengan hipertensi
6. “Dolls eyes”
7. Status kekebalan
8. Syok sistemik
9. Faktor Pembekuan abnormal jumlah platelet <100x109/L.
10. Infeksi pada tempat penusukan lumbal pungsi
11. Insufisiensi pernafasan
12. Curiga meningococcal septicaemia.
(Solomon et al 2012)

D. Prosedur Lumbal Pungsi


Persiapan sebelum lumbal pungsi termasuk memberikan penjelasan
lengkap prosedur untuk pasien, usaha baseline pengamatan, termasuk tanda-tanda
vital dan skor GCS.tabel 2. menyiapkan dan memeriksa peralatan yang sesuai.
Tabel 3. Di inggris, prosedur ini dilakukan oleh seorang dokter. Namun, di
beberapa negara, seperti Amerika Serikat, lumbal pungsi dilakukan oleh perawat
spesialis.
Posisi pasien selama lumbal pungsi penting. Idealnya, pasien harus di kiri
lateralis rackbike posisi, membawa lutut ke arah dada, untuk memungkinkan
pelebaran maksimum ruang subarachnoid, dan karena itu lebih mudah akses ke
daerah ini. Namun, kadang-kadang dokter akan melakukan prosedur di posisi
RACKBIKE kanan lateral, misalnya jika orang memiliki masalah mobilitas yang
mempengaruhi bagian kiri pasien (gambar 1).
Lumbal pungsi dapat juga dilakukan dengan pasien duduk dan bersandar
di Meja, dengan kepala dan dada membungkuk ke arah lutut (Penzance, Cornwall
dan McLafferty 2008). Hal ini dapat sangat berguna pada pasien dengan kelainan
tulang belakang atau indeks massa tubuh tinggi lebih dari 30 (Sandoval et al
2004).
Posisi tersebut memungkinkan dokter melakukan prosedur akses optimal
meninges, ruang antara vertebra diperpanjang. Namun, hal ini tidak mungkin
untuk menentukan secara akurat pembukaan tekanan CSF di posisi tegak.

50
Pembukaan tekanan CSF, yang merupakan ukuran tekanan CSF di tulang
belakang menggunakan manometer, dapat dinaikkan pada meningitis bakteri.
Sebelum lumbal pungsi dilakukan, kulit pasien harus disiapkan dengan
menggunakan antiseptik yang tepat dan anestesi lokal harus diberikan. Jarum
dimasukan ke ruas tulang belakang antara L3 dan L4 atau L4 dan L5. Sumsum
tulang belakang berakhir di L1 atau L2, sehingga memasukkan jarum di bawah
tingkat ini mengurangi risiko menusuk saraf tulang belakang. Lumbal Pungsi
harus dilakukan sesuai dengan kebijakan pengendalian infeksi lokal, meskipun
tingkat infeksi iatrogenik setelah lumbal pungsi, seperti meningitis, dianggap
kurang dari satu dalam 200.000 kasus (Salomo et al 2012).
Pengambilan sampel CSF dan analisis yang tepat sangat penting untuk
memastikan diagnosis yang akurat. Juga mengamati penampilan CSF, tekanan
CSF harus diukur dengan menggunakan manometer untuk mengkonfirmasi atau
mengecualikan meningitis bakteri (Dougherty dan Lister 2011). Normal tekanan
CSF berkisar dari 5-28cm H2O ( air ), tergantung pada posisi pasien (Penzance,
Cornwall dan McLafferty 2008). CSF harus dianalisis untuk budaya dan
kepekaan, protein, glukosa (dengan sampel glukosa serum berpasangan) dan
virologi, termasuk PCR, yang dapat digunakan untuk mengisolasi sejumlah besar
virus seperti enterovirus, herpes simplex virus dan varicella zoster virus. Sejumlah
besar neutrofil dalam CSF dikaitkan dengan infeksi bakteri dan sejumlah limfosit
menunjukkan infeksi virus. Monosit dapat dilihat dalam meningitis tuberkulosis
atau ensefalitis (Dougherty dan Lister 2011).
Adanya sel-sel darah merah mungkin menyarankan perdarahan atau
traumatis lumbal pungsi. Glukosa serum bersamaan pengujian penting untuk
mendapatkan CSF rasio glukosa serum untuk membandingkan CSF glukosa dan
glukosa darah. Hal ini mungkin berguna dalam menentukan adanya infeksi
bakteri. Pada meningitis bakteri, rasio akan diharapkan untuk menjadi rendah
karena bakteri memetabolisme glukosa. Pada meningitis virus, CSF rasio glukosa
serum mungkin tidak akan terpengaruh; Namun, ini merupakan komponen dari
CSF analisis yang sering diabaikan.
Michael et al (2012) menemukan bahwa pengenalan sederhana lumbal
pungsi pack dalam unit evaluasi medis di rumah sakit pusat salah satu kota besar

51
menurun proporsi pasien untuk siapa glukosa serum pasangan tidak sedang
dikirim ke laboratorium. Penggunaan paket standar lumbal pungsi oleh karena itu
bisa membantu dalam memastikan analisis CSF dilakukan dalam kasus dugaan
infeksi SSP. Pendekatan ini baru-baru ini telah ditegaskan oleh delegasi
keselamatan pasien nasional agency ( michael et al 2012 ).

Gambar 1
Posisi RACKBIKE kanan lateral untuk pungsi lumbal

Posisi RACKBIKE kiri lateral dianjurkan, namun keadaan mungkin memerlukan


bahwa pasien mengadopsi posisi RACKBIKE kanan lateral.
Tabel 2
Daftar tugas yang harus diselesaikan sebelum lumbal tusukan
1. Memberikan pasien pendidikan, termasuk memberikan pasien selebaran yang
relevan dan menjawab pertanyaan.
2. Mengamati suhu, denyut nadi, tekanan darah, saturasi oksigen, pernafasan dan
Skor Glasgow Coma Scale (GCS).
3. Chek adanya alergi
4. Mengidentifikasi kontraindikasi, termasuk skor GCS yang berkurang dan infeksi
tempat penusukan lumbal pungsi.
5. Mempersiapkan kulit ika daerah ini berlebihan bulu, cukur.
6. Menyiapkan peralatan

Tabel 3
Peralatan yang dibutuhkan untuk tusukan lumbalis
1. Troli
2. Baju steril

52
3. Jarum lumbal pungsi
4. Botol spesimen steril diberi nomer 1, 2, 3
5. Beri antiseptik yang tepat daerah kulit yang akan ditusuk
6. Plester
7. Kassa steril
8. Set steril termasuk sarung tangan steril
9. Manometer disposibel untuk mengukur tekanan CSF
10. Kanul dan syringe sesuai ukuran
11. Anastetik lokal; lidokain 2%

E. Manajemen Keperawatan
Majemen Keperawatan sebelum, selama dan setelah lumbal pungsi penting
(tabel 4). Perawat memiliki peran penting dalam menjelaskan prosedur untuk
pasien dan memberikan jaminan. Meskipun dokter akan memberikan penjelasan
kepada pasien, ini mungkin singkat karena kendala waktu. Perawat menghabiskan
cukup banyak waktu di samping tempat tidur pasien, mereka dapat menyediakan
pendidikan dan menjawab pertanyaan tentang prosedur. Farley dan mclafferty (
2008 ) diakui bahwa perawat memerlukan keterampilan komunikasi yang baik
untuk pasien dengan tepat memberikan informasi cocok untuk kebutuhan mereka.
Komunikasi yang efektif tentang prosedur dapat berperan dalam mengurangi
kecemasan pasien. Seperti prosedur klinis, pengamatan dasar harus dicatat
sebelum lumbal pungsi. Ini harus mencakup tekanan darah, denyut jantung,
frekuensi pernapasan, saturasi oksigen, suhu, penilaian sakit, Modified Early
Warning Skor (MEWS) dan dokumentasi GCS Skor (Dougherty dan Lister 2011).
Penilaian nilai GCS sangat penting dan setiap perawat harus mampu melakukan
ini. Pengamatan yang harus dilakukan lumbal pungsi. Disarankan bahwa
mengkaji ulang GCS Partitur dan tanda-tanda vital terjadi tiap setengah jam untuk
dua jam pertama, dan kemudian per jam untuk empat jam, kecuali jika ada bukti
kemunduran (Departemen Kesehatan 2000). Perubahan signifikan dalam
pengamatan dasar atau MEWS harus ditangani sesuai dengan pedoman setempat.

53
Peran Perawat selama lumbal pungsi juga dapat memperpanjang untuk
membantu mengumpulkan peralatan yang diperlukan. Jika perawat dapat
membantu dalam mempersiapkan alat, dapat menghemat waktu yang berharga.
Perawat juga harus memastikan bahwa spesimen botol diberi label. Botol
spesimen harus diisi dalam urutan numerik. Hal ini penting karena spesimen
pertama mungkin bernoda darah akibat trauma jarum, jadi ini akan membantu
laboratorium untuk membedakan antara jarum trauma dan pendarahan
subarachnoid (Dougherty dan Lister 2011). Juga, jika patogen yang ditemukan
dalam CSF terkena kontaminan kulit, maka itu mungkin untuk mengecualikan ini
sebagai penyebab infeksi SSP jika itu hanya ada dalam botol spesimen pertama.
Perawat juga harus membantu dengan pemeriksaan dari dosis dan tanggal
kadaluwarsa dari anestesi lokal digunakan, biasanya lidokain 2%. Penundaan
dalam mendapatkan peralatan pada akhirnya menyebabkan penundaan dalam
melaksanakan pungsi lumbal. Ini dapat dihindari dengan menggunakan paket
standar lumbal pungsi, seperti yang dirancang oleh Michael et al (2012). Ini bisa
sangat berguna di bagian gawat darurat, unit evaluasi medis dan bangsal penyakit
menular, lokasi ini biasanya menerima pasien dengan dugaan CNS infeksi.
Membantu pasien ke posisi yang tepat dan memberikan melanjutkan
dukungan seluruh prosedur penting. Hal ini terutama penting pada pasien yang
memiliki mobilitas terbatas. Bantal harus ditempatkan di bawah kepala pasien
untuk membantu kenyamanan. Bantal juga dapat ditempatkan antara pasien lutut,
jika berbaring. Perawat juga harus menjaga privasi pasien dan martabat pasien
dikelola, misalnya meliputi pasien dan menutup tirai samping tempat tidur.
Karena sifat prosedur dan karena pasien tidak dapat melihat apa yang
terjadi, perawat perlu memberikan jaminan dan dukungan sepenuhnya (Dougherty
dan Lister 2011). Hal ini dapat bermanfaat untuk meyakinkan pasien bahwa tidak
ada masalah dengan prosedur, jika sesuai, dan menginformasikan pasien ketika
prosedur hampir selesai. Sangat penting untuk menyadari bahwa beberapa pasien
akan ingin tahu setiap detail dari apa yang terjadi, beberapa ingin berbicara
tentang sesuatu yang lain untuk mengalihkan perhatian mereka dan orang lain
ingin keheningan.

54
Ketika jarum dimasukkan ke sumsum tulang dengan posisi yang tepat,
kadang-kadang dapat bersentuhan dengan saraf lokal, yang dapat mengakibatkan
kesemutan sakit di kaki. Perawat harus meyakinkan pasien bahwa sensasi ini
sementara dan mendorong pasien untuk mencoba dan tetap masih dalam posisi ini
selama prosedur (Penzance, Cornwall dan McLafferty 2008).
Setelah lumbal pungsi lumbal dilakukan, lokasi penusukan harus diperiksa
kemungkinan perdarahan, dan ditekan dengan kassa steril untuk mencegah
kebocoran CSF berlebihan (Penzance, Cornwall dan McLafferty 2008). Lokasi
penusukan harus diperiksa ulang dari tanda-tanda pendarahan dan infeksi yang
terlokalisasi. Tanda-tanda infeksi yang terlokalisasi ; rasa sakit, eritema,
kebocoran dan panas di tempat penusukan. Rasa sakit pada tempat penusukan
lumbal pungsi harus sekecil mungkin, tetapi resep analgesik dapat diberikan jika
diperlukan. Obat anti-inflamasi non-steroid atau parasetamol umumnya
digunakan. Jika ini tidak efektif, dosis rendah dari opioid analgesik seperti fosfat
kodein dapat diresepkan. Namun, upaya harus dilakukan untuk menghindari obat
obat penenang karena efek samping niat harus mengurangi rasa sakit, tidak tenang
pasien (Michael et al 2012). Perawat harus memantau efektivitas setiap analgesik
yang diresepkan.
Setelah lumbal pungsi, pasien harus dimonitor untuk sakit kepala. Ini
harus menjadi bagian dari pengamatan perawatan perawat yang dilakukan, yang
meliputi GCS Skor, tanda-tanda vital, penilaian sakit dan MEWS. Sakit kepala
jarang terjadi segera setelah prosedur, tetapi dapat terjadi 24-48 jam setelah
prosedur dan biasanya berlangsung selama beberapa hari (andrianto et al 2011).
Namun, dalam beberapa kasus sakit kepala telah diketahui untuk bertahan selama
beberapa minggu. Manajemen Keperawatan masalah ini mencakup jaminan dan
diresepkan analgesik. Perawat harus mewaspadai akan kebutuhan untuk menilai
kelemahan progresif kaki, mati rasa, kesemutan atau kesulitan kandung kemih
atau usus setelah lumbal pungsi, yang dapat menunjukkan cedera saraf tulang
belakang sebagai akibat dari hematoma traumatis berkembang. Pasien dengan
gejala-gejala ini harus disebut mendesak untuk diperiksa dokter. Namun, hal ini
diduga menjadi komplikasi yang langka, yang mempengaruhi kurang dari satu
dalam 360.000 orang menjalani lumbal pungsi (Michael et al 2012). Komplikasi

55
lain berpotensi parah lumbal pungsi adalah GCS skor yang turun. Jika hal ini
terjadi, tim medis perlu diberitahu segera, dan pengamatan neurologis biasa
dilakukan dan tercatat. Perawat juga harus mewaspadai, memburuknya tanda-
tanda meningitis, termasuk photophobia, sakit kepala dan kekakuan leher atau
sakit. Kompresi saraf tulang belakang juga komplikasi parah dari pungsi lumbal,
dan dapat terjadi sebagai akibat dari peningkatan tekanan intrakranial. Oleh
karena itu, dalam kasus dugaan tekanan intrakranial, CT scan kepala harus selalu
dilakukan sebelum pungsi lumbal untuk menyingkirkan ini.

Tabel 4
Manajemen keperawatan sebelum, selama dan setelah lumbal pungsi
Sebelum lumbal pungsi
1. Memberikan pasien pendidikan
2. Menyiapkan alat
3. Membantu pasien untuk posisi dengan benar.
4. Mencatat dasar pengamatan
5. Mengecek adanya alergi
Selama lumbal pungsi
1. Meyakinkan pasien
2. Membantu dengan pengumpulan dan pencantuman label sampel.
3. Mendukung pasien untuk tetap dalam posisi yang benar.
Setelah lumbal pungsi
1. Mencatat pengamatan dan memantau peningkatan MEW Skor.
2. Memantau lokasi penusukan lumbal pungsi terhadap perdarahan yang berlebihan
dan tanda-tanda infeksi.
3. Mendorong pasien untuk mendapatkan istirahat
4. Memantau pasien untuk sakit kepala setelah lumbal pungsi.

F. Bahasan
Meningitis masih menjadi faktor penyebab kematian tinggi pada anak, pada
Kasus An V penulis tidak melihat adanya hasil pemeriksaan LP, yang seharusnya
ini menjadi analisis yang utama untuk menegakkan diagnosa kepada pasien,

56
kemampuan tim medis juga perlu ditingkatkan kembali dalam menentukan
diagnosa, pada awal pengobatan An V didiagnosa dengan thypoid dan diobati
dengan pengobatan antibiotik yang tidak tepat tentunya, kemampuan mengkaji
dan menganalisis harus ditingkatkan kembali baik itu pihak medis ataupun
petugas kesehatan lainnya. Jika awal awitan klien diobati dengan tepat maka
dampak perburukan terhadap pasien tentunya tidak akan terjadi. Berdasarkan
jurnal yang penulis analisis dikatakan bahwa : Jika meningitis bakteri diduga,
disarankan bahwa antibiotik yang dimulai segera, dan tidak lebih dari 30 menit
setelah masuk ke rumah sakit. Lumbal Pungsi juga dilakukan secepat mungkin
karena keterlambatan dapat mengurangi kemungkinan memperoleh CSF positif
(Michael et al 2010b).
Michael et al (2010b) menemukan bahwa CSF masih cenderung menjadi
positif jika lumbal pungsi dilakukan dalam 4 jam setelah pemberian antibiotik
intravena. Namun, setelah 4 jam, ada penurunan yang signifikan secara statistik
kemungkinan identifikasi patogen, dan setelah delapan jam semua negatif
(Michael et al 2010b). Pada kasus ini tentunya sudah tidak efektif kembali
dilakukan pemeriksaan LP, tetapi untuk pelayanan kesehatan di tahap awal
menurut penulis perlu kiranya dilakukan LP. Pada kasus ini hasil pemeriksaan
darah pasien tidak ditemukan adanya bakteri, karena pasien telah mendapatkan
antibiotik. Sedangkan untuk penatalksanaan pasien dengan meningitis di ruangan
ini sudah sesuai dengan analisis jurnal yang penulis lakukan, mulai dari
penatalksanaan dan perawatan pada pasien tersebut.

G. Kesimpulan
Infeksi sistem saraf pusat terjadi dengan berbagai gejala dan tanda-tanda
klinis yang sering non-specific, terutama pada bayi dan anak-anak. Meningitis dan
ensefalitis adalah keadaan kegawatdaruratan neurologis yang memerlukan
pemeriksaan dan pengobatan segera. Untuk membedakan antara sindrom dan
meningitis atau ensefalitis dan menentukan apakah penyebab yang mendasari
bakteri atau virus dari temuan klinis tidaklah mudah. Terbukti atau dicurigai CNS
infeksi pada anak-anak yang sering menjadi alasan pasien untuk masuk rumah
sakit dan penyebab signifikan morbiditas dan mortalitas.

57
Lumbal Pungsi merupakan penyelidikan yang penting untuk menetapkan
infeksi SSP. Kepedulian perawat merupakan bagian penting dari prosedur dan
perawat perlu memiliki pemahaman tentang peran lumbal pungsi dalam diagnosis.
Manajemen Keperawatan diperlukan sebelum, selama dan setelah
prosedur. Sakit kepala setelah lumbal pungsi mungkin terjadi, tetapi ini biasanya
dapat dicegah dengan membatasi diri dan ada bukti untuk mendukung praktik-
praktik yang umum seperti istirahat yang berkepanjangan.
Namun demikian, perawat harus tetap waspada untuk mengidentifikasi
komplikasi potensi parah berikut lumbal pungsi, termasuk jatuhnya nilai GCS,
dan tanda-tanda kompresi meningitis atau sumsum tulang belakang.

58
DAFTAR PUSTAKA

1. Doenges, Marilyn E, dkk.(1999).Rencana Asuhan Keperawatan :


Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien.
Alih Bahasa, I Made Kariasa, N Made Sumarwati. Editor edisi bahasa
Indonesia, Monica Ester, Yasmin asih. Ed.3. Jakarta : EGC.

2. Harsono.(1996).Buku Ajar Neurologi Klinis.Ed.I.Yogyakarta : Gajah


Mada University Press.

3. Smeltzer, Suzanne C & Bare,Brenda G.(2001).Buku Ajar Keperawatan


Medikal Bedah Brunner & Suddarth.Alih bahasa, Agung
Waluyo,dkk.Editor edisi bahasa Indonesia, Monica Ester.Ed.8.Jakarta :
EGC.

4. Tucker, Susan Martin et al. Patient care Standards : Nursing Process,


diagnosis, And Outcome. Alih bahasa Yasmin asih. Ed. 5. Jakarta : EGC;
1998.

5. Price, Sylvia Anderson. Pathophysiology : Clinical Concepts Of Disease


Processes. Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. 4. Jakarta : EGC; 1994.

6. Long, Barbara C. perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses


Keperawatan. Bandung : yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan;
1996.

7. Berkhout B. (2008). Infectious diseases of the nervous system:


pathogenesis and worldwide impact. IDrugs. Nov 2008;11(11):791-5.
8. Bell WE, Mc. Cormick WF. (2004). Neurologic Infections in Childrens.
3rd ed. Philadelphia : WB Saunders Co : 20.
9. Crom et all. (2012). Characteristics of pediatric patients with enterovirus
menigitis and cerebral fluid pleocytosis. Eur j pediatric (2012) 171 : 795-
800.
10. Ginsberg L, Kidd D. (2008). Chronic and recurrent meningitis. Pract
Neurol. Dec 2008;8(6):348-61
11. Kelly C, et all. (2012). Suboptimal management of central nervous system
infections in children : a multi-centre retropective study. BioMed Central
Pediatrics : 12 :145.

59
12. Krugman S, Katz SL. (2006). Infectious Disease of Children. 7th ed. St.
Louis : Mosby Co : 168.
13. Mann K, Jackson MA. (2008). Meningitis. Pediatr Rev. Dec
2008;29(12):417-29; quiz 430.
14. Matata C et all. (2012). Lumbal puncture : diagnosing acute central
nervous system infection. Nursing standar oktober 24 : vol 27 no 8 : 2012.
15. Park, et all. (2012). Association between cerebrospinal fluid s100B protein
and neuronal damage in patients with central nervous system infections.
Yonsei med volume 54 number 3 may 2013.
16. Scheld WM, Koedel U, Nathan B, Pfister HW. (2002). Pathophysiology of
bacterial meningitis: mechanism(s) of neuronal injury. J Infect Dis. Dec 1
2002;186 Suppl 2:S225-33.

60
61

You might also like