You are on page 1of 28

BAB I

PENDAHULUAN

Otitis media supuratif kronis (OMSK) adalah peradangan kronis pada


telinga tengah dan kavum mastoid yang ditandai dengan keluarnya cairan dari
telinga yang berulang karena adanya perforasi membran timpani. Penyakit ini
biasanya dimulai sejak masih anak-anak. Perforasi membran timpani terjadi
karena adanya infeksi akut pada telinga tengah (OMA). Umumnya, pasien dengan
perforasi membran timpani dan keluar cairan dari telinga selama lebih dari 6
minggu dapat dikategorikan sebagai OMSK.1
Jenis otitis media supuratif kronis dapat terbagi 2 jenis, yaitu OMSK tipe
benigna dan OMSK tipe maligna. Berdasarkan aktivitas sekret yang keluar
dikenal juga OMSK aktif dan OMSK inaktif. OMSK aktif ialah OMSK dengan
sekret yang keluar dari cavum tympani secara aktif, sedangkan OMSK inaktif
ialah yang keadaan cavum timpaninya basah atau kering.1
Prevalensi kasus OMSK di dunia adalah 65-330 juta orang, dengan 60%
diantaranya mengalami gangguan pendengaran yang signifikan. OMSK banyak
ditemukan pada negara-negara Asia Tenggara, Afrika dan Wilayah Pasifik Barat.
Di India, dilaporkan terdapat 17,4% penderita dengan otitis media kronis dari
seluruh penderita yang berobat ke salah satu klinik THT, 15% diantaranya
dijumpai kolesteatoma, dan 5% mengalami komplikasi. Prevalensi OMSK di
Indonesia pada tahun 2012 diperkirakan berkisar 5,4% pada semua umur
(Mahadevan et al., 2012). Pasien OMSK merupakan 25% dari pasien-pasien yang
berobat di poliklinik THT rumah sakit di Indonesia. Tahun 2008 kunjungan baru
penderita OMSK sebanyak 208 dengan perbandingan laki-laki dan perempuan
hampir sama.1
WHO telah mengeluarkan langkah inisiatif untuk mencegah OMSK dan
komplikasinya yang dikenal sebagai HEAR (Hygiene of the ear, Early
management of AOM, Antibiotics, and Raising awareness). Kebersihan sangat
menantang mengingat buruknya standar hidup di beberapa negara berkembang.

1
Akibatnya, banyak anak-anak dengan infeksi radang tenggorokan yang persisten
dan infeksi saluran pernapasan bagian atas berulang (Upper Respiratory
Infection). Banyak penelitian telah menunjukkan hubungan kausal antara Upper
Respiratory Infection (URI) rekuren dan otitis media. Dengan demikian
mengidentifikasi penyebab URI dan rhinorrhea yang terus-menerus seperti
pembesaran kelenjar adenoid, alergi, dan sinusitis merupakan hal yang penting
dalam pencegahan otitis media dan pada akhirnya OSMK. Menjelang akhir tahun
2009, WHO melakukan analisis sistematis mengenai dampak terapi antibiotik
jangka pendek (termasuk azitromisin) untuk mengobati otitis media akut dan
sebagai bentuk kemoterapi preventif untuk OSMK. Amoksisilin terbukti
mengurangi jumlah perforasi membran timpani dan memperlambat perkembangan
otitis media dengan efusi pada bayi Aborigin, menunjukkan kemungkinan
perlindungan terhadap OSMK.
Penelitian yang dilakukan di Dicle University Faculty of Medicine in
Diyarbakir, Turkey didapatkan dari 4.630 pasien dengan OMSK, 121 pasien
(2,6%) mengalami komplikasi. Dari 906 pasien CSOM yang menjalani operasi,
511 menderita kolesteatoma, dan 395 memiliki granulasi dan/atau jaringan polip.
Dari komplikasi CSOM, 57 ekstrakranial (47,1%) dan 37 intrakranial (30,6%).
Komplikasi ekstrasranial yang paling umum adalah abses mastoid (28,3%), diikuti
oleh labyrinthitis (9%), kelumpuhan saraf wajah (8,4%), dan abses Bezold (1,3%).
Komplikasi intrakranial yang paling umum adalah tromboflebitis sinus lateral
(19,5%), diikuti oleh abses sinus perisigmoid (13,5%), meningitis (9%), abses
otak (6,5%), dan abses ekstradural (4,5%).
Salah satu kelainan yang terjadi akibat dari OMSK adalah gangguan
pendengaran. Lokasi patologi OMSK adalah di telinga tengah, yang merupakan
bagian dari sistem konduksi, akan tetapi kelainan kurang pendengaran yang terjadi
tidak seluruhnya CHL murni. Tidak sedikit penderita OMSK yang menderita
kurang pendengaran tipe MHL, yang berarti disamping mengalami kurang
pendengaran tipe CHL terjadi pula kurang pendengaran tipe SNHL.
Insiden tuli MHL pada OMSK telah dilaporkan oleh banyak penulis.
Paparella et al, sebagaimana dikutip oleh Shenoi (1987) mendapatkan 279 kasus

2
MHL diantara 500 telinga dengan OMSK. Gardenghi melaporkan insiden MHL
pada OMSK adalah 42%. Sementara Bluvesteis melaporkan insiden MHL pada
OMSK ini adalah 38%. Nani (1996) melaporkan terdapat sekitar 5% dari 22
penderita OMSK mengalami MHL. Di RSUP Dr. Kariadi Semarang, insiden MHL
juga pernah dilaporkan oleh Pradipto sebesar 12,75% dan Dullah (1996)
mendapatkan MHL sebanyak 44,5% dari 54 telinga dengan OMSK.
Pada laporan kali ini disajikan kasus Seorang Wanita 38 tahun dengan
Otitis Media Supuratif Kronik Inaktif Dextra et Sinistra.

3
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. K
Umur : 38 tahun
Tempat, tanggal lahir : Kudus, 23 April 1979
Jenis Kelamin : Perempuan
Warga Negara : Indonesia
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : RT 001/001 Tahunan, Jepara, Jawa Tengah
Pendidikan terakhir : Tamat SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
No. CM : C643280
Status pembiayan : JKN NPBI Kelas III

Masalah Aktif Masalah Pasif


1. Kurang pendengaran telinga kanan dan kiri  7
2. Riwayat telinga gatal  7
3. Riwayat keluar cairan dari telinga kiri  7
4. Perforasi membran timpani sentral 40% pada
telinga kanan  7
5. Perforasi membran timpani sentral 20% pada
telinga kiri  7
6. Tes garputala : CHL kedua telinga dengan
telinga kanan lebih berat  7
7. Otitis Media Supuratif Kronik Dextra et Sinistra

II. ANAMNESIS

4
Autoanamnesis pada tanggal 6 Juli 2017 pukul 14.00 WIB di Klinik Pendengaran
RSUP Dr. Kariadi Semarang

Keluhan Utama:
Pendengaran telinga kanan dan kiri berkurang

Perjalanan Penyakit Sekarang:


8 bulan SMRS pasien mengeluh pendengaran telinga kanan dan kiri
berkurang, semakin lama semakin memberat. Pendengaran telinga kiri lebih baik
dibanding telinga kanan. Telinga berdenging (-/-), telinga gembrebek (+/+), nyeri
pada telinga (+/-), keluar cairan dari telinga (-/-). Pasien berobat ke dokter
keluarga, dikatakan ada kotoran pada liang telinga kanan dan kiri. Kemudian
pasien diberi obat tetes telinga dan dianjurkan untuk mengalirkan air pada kedua
telinga, namun keluhan tidak berkurang dan semakin berat.
3 bulan SMRS pasien mengeluh keluar cairan dari telinga kirinya. Cairan
berwarna kekuningan, konsistensi kental dan tidak berbau. Cairan muncul secara
hilang tim bul tanpa diawali oleh pencetus tertentu dan cairan juga berhenti keluar
dengan sendirinya. Keluar cairan terakhir 3 minggu SMRS. Tidak ada faktor yang
memperberat keluarnya cairan dari kedua telinga. Telinga berdenging (-/-), telinga
gembrebek (+/+), nyeri pada telinga (-/-), sering mengorek telinga dengan cotton
bud (+/+). Pasien lalu berobat ke dokter keluarga dan dikatakan ada lubang pada
gendang telinga kanan dan kiri. Pasien lalu dirujuk ke RSUD Kudus. Di RSUD
Kudus pasien diberi obat minum, dilakukan perawatan telinga dan disarankan
untuk dilakukan operasi perbaikan gendang telinga. Pasien lalu dirujuk ke RSUP
Dr. Kariadi untuk dilakukan operasi.

Riwayat Penyakit Dahulu:

5
– Riwayat sakit seperti ini sebelumnya disangkal
– Riwayat alergi disangkal
– Riwayat alergi obat disangkal
– Riwayat asma disangkal
– Riwayat darah tinggi disangkal
– Riwayat kencing manis disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga:


– Riwayat penyakit serupa dalam keluarga disangkal
– Riwayat alergi dalam keluarga disangkal
– Riwayat alergi obat dalam keluarga disangkal
– Riwayat asma dalam keluarga disangkal

Riwayat Sosial Ekonomi:


Pasien adalah seorang Ibu Rumah Tangga. Memiliki 3 orang anak yang masih
belum mandiri. Pembiayaan dengan JKN non PBI.
Kesan : Sosial ekonomi cukup

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 6 Juli 2017 pukul 14.15 WIB di
Poliklinik THT RSUP Dr. Kariadi Semarang

Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital : TD : 120/70 mmHg Suhu : afebris
Nadi : 80 x/menit RR : 18 x/menit
Aktivitas : Normoaktif
Kooperativitas : Kooperatif
Status gizi : Kesan Cukup
Kulit : Turgor kulit cukup

6
Konjungtiva : Anemis (-/-), ikterik (-/-)
Jantung : Tidak diperiksa
Paru : Tidak diperiksa
Hati : Tidak diperiksa
Limpa : Tidak diperiksa
Limfe : Tidak diperiksa
Anggota Gerak : Tidak diperiksa

Status Lokalis:
Telinga:

Bagian
Telinga kanan Telinga kiri
Telinga
Hiperemis (-), nyeri tekan (-), Hiperemis (-), nyeri tekan (-),
Mastoid nyeri ketok (-), edema (-), fistel nyeri ketok (-), edema (-), fistel
(-), abses (-) (-), abses (-)
Hiperemis (-), edema (-), fistula Hiperemis (-), edema (-), fistula
Pre-aurikula (-), abses (-), nyeri tekan tragus (-), abses (-), nyeri tekan tragus
(-) (-)
Retro- Hiperemis (-), edema (-), fistula Hiperemis (-), edema (-), fistula
aurikula (-), abses (-), nyeri tekan (-) (-), abses (-), nyeri tekan (-)
Normotia, hiperemis (-), edema
Normotia, hiperemis (-), edema
Aurikula (-), nyeri tarik (-)
(-), nyeri tarik (-)

Serumen (-), edema (-), Serumen (-), edema (-),


CAE / MAE hiperemis (-), hiperemis (-),
furunkel (-),granulasi (-) furunkel (-),granulasi (-)
Membran Perforasi sentral 40%, jumlah 1, Perforasi sentral 20%, jumlah 1,
timpani tepi tebal dan reguler, tepi tebal dan reguler,

7
discharge
discharge (-)
(-)

Hidung dan Sinus Paranasal:

Pemeriksaan luar
Inspeksi : simetris (+), deformitas (-), warna kulit
Hidung sama dengan sekitar
Palpasi : Os nasal : krepitasi (-/-), nyeri tekan (-/-)
Sinus maksilaris
Nyeri tekan (-/-) pada daerah sinus maksilaris
Nyeri ketok (-/-) pada daerah sinus maksilaris
Sinus frontalis
Sinus Nyeri tekan (-/-) pada daerah sinus frontalis
Nyeri ketok (-/-) pada daerah sinus frontalis
Sinus ethmoidalis
Nyeri tekan (-/-) pada daerah sinus ethmoidalis
Nyeri ketok (-/-) pada daerah sinus ethmoidalis
Rinoskopi Anterior
Sekret - -
Mukosa Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Konka Konka edema (-) Konka edema (-)
Tumor Massa (-) Massa (-)
Septum Deviasi septum (-)

Tenggorok:

8
Orofaring
Dinding Faring
Granulasi (-)
Posterior
Palatum Bombans (-), hiperemis (-)
Arkus Faring Simetris, uvula ditengah
Mukosa Hiperemis (-)
Ukuran T1, hiperemis (-), Ukuran T1, hiperemis(-),
permukaan rata, kripte permukaan rata, kripte
Tonsil
melebar (-), detritus (-), melebar (-), detritus (-),
membran (-) membran (-)
Peritonsil Abses (-)
Nasofaring (rinoskopi posterior) : tidak dilakukan pemeriksaan
Laringofaring (laringoskopi indirek) : tidak dilakukan pemeriksaan
Laring (laringoskopi indirek) : tidak dilakukan pemeriksaan

Kepala dan Leher:


Kepala : Mesosefal
Wajah : Perot (-), simetris, deformitas (-)
Leher anterior : Pembesaran KGB (-)
Leher lateral : Pembesaran KGB (-)
Gigi dan Mulut:
Gigi-geligi : karies gigi (-), gigi lubang (-), gigi goyang (-)
Lidah : simetris, tidak ada deviasi
Palatum : bombans (-)
Pipi : mukosa buccal: hiperemis (-), stomatitis (-)

Pemeriksaan Pendengaran dengan Garpu Tala :


1. Tes Weber : Lateralisasi ke kanan
2. Tes Rinne : - / -
3. Tes schwabach : memanjang / memanjang

PEMERIKSAAN LABORATORIUM/PENUNJANG/KHUSUS
Tidak dilakukan

9
RINGKASAN
Pasien mengeluh pendengaran telinga kanan dan kiri berkurang sejak 8
bulan yang lalu, semakin lama semakin memberat. Pendengaran telinga kiri lebih
baik dibanding telinga kanan. Pasien berobat ke dokter dikatakan ada kotoran
pada liang telinga kanan dan kiri, diberi obat tetes telinga dan dianjurkan untuk
mengalirkan air pada kedua telinga, namun keluhan semakin berat. 3 bulan SMRS
pasien mengeluh keluar cairan berwarna kekuningan, konsistensi kental dan tidak
berbau dari telinga kirinya. Cairan muncul secara hilang timbul tanpa diawali oleh
pencetus tertentu dan berhenti dengan sendirinya. Pasien lalu berobat ke dokter
dan dikatakan ada lubang pada gendang telinga kanan dan kiri. Pasien lalu dirujuk
ke RS Kudus. Di RS diberikan terapi, dilakukan perawatan dan disarankan untuk
operasi perbaikan gendang telinga. Pasien lalu dirujuk ke Kariadi untuk dilakukan
operasi. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan hasil adanya perforasi sentral
20% pada membran timpani kanan dan perforasi sentral 40% membran timpani
kiri. Pada pemeriksaan pendegaran dengan garpu tala didapatkan hasil tes weber
lateralisasi ke kanan, tes rinne -/-, tes schwabach memanjang/memanjang
sehingga dapat disimpulkan pasien mengalami kurang pendengaran tipe konduksi
pada kedua telinga namun telinga kanan lebih berat.

DIAGNOSIS
Otitis Media Supuratif Kronik Inaktif Dextra et Sinistra

RENCANA PENGELOLAAN
1. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan audiotimpanometri

2. Terapi
- Pro timpanoplasti

3. Pemantauan
- Keadaan umum dan tanda vital

10
- Tanda-tanda komplikasi yang mungkin terjadi, seperti abses
retroaurikula, mastoiditis, paralisis nervus fascialis, labirinitis, tuli
sensorineural
- Progresifitas penyakit

4. Edukasi
- Menjelaskan kepada pasien bahwa pasien mengalami keadaan otitis
media kronik pada kedua telinga
- Menjelaskan kepada pasien bahwa akan dilakukan pemeriksaan
pendengaran audiometri untuk mengetahui jenis dan derajat gangguan
pendengaran
- Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga agar telinga yang
sakit tidak kemasukan air, misalnya apabila mandi liang telinga ditutup
(higiene telinga)
- Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga agar pasien tidak
mengorek telinga
- Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga untuk menjaga
kondisi tubuh pasien supaya tidak rentan terkena ISPA

5. Prognosis
- Quo ad sanam : dubia ad bonam
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad fungsionam : dubia ad bonam

11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Telinga Tengah


Telinga tengah terdiri dari membran timpani, kavum timpani, tuba Eustachius dan
prosessus mastoideus.7

3.1.1 Membran timpani


Membran timpani dibentuk dari dinding lateral kavum timpani yang memisahkan
liang telinga luar dari kavum timpani. Membran ini memiliki panjang vertikal
rata-rata 9-10 mm dan diameter antero-posterior kira-kira 8-9 mm dengan
ketebalannya rata-rata 0,1 mm. Secara Anatomis membran timpani dibagi dalam 2
bagian, yaitu: Pars tensa dan pars flaksida. Pars tensa merupakan bagian terbesar
dari membran timpani suatu permukaan yang tegang dan bergetar dengan
sekelilingnya yang menebal dan melekat di anulus timpanikus pada sulkus
timpanikus pada tulang dari tulang temporal. Pars flaksida atau membran
Shrapnell, letaknya dibagian atas muka dan lebih tipis dari pars tensa. Pars
flaksida dibatasi oleh 2 lipatan yaitu plika maleolaris anterior (lipatan muka) dan
plika maleolaris posterior (lipatan belakang).7

Gambar 1. Membran timpani.8

3.1.2 Cavum Timpani

12
Kavum timpani merupakan rongga yang disebelah lateral dibatasi oleh membran
timpani, disebelah medial oleh promontorium, di sebelah superior oleh tegmen
timpani dan inferior oleh bulbus jugularis dan n. Fasialis. Dinding posterior dekat
ke atap, mempunyai satu saluran disebut aditus, yang menghubungkan kavum
timpani dengan antrum mastoid melalui epitimpanum. Pada bagian posterior ini,
dari medial ke lateral, terdapat eminentia piramidalis yang terletak di bagian
superior-medial dinding posterior, kemudian sinus posterior yang membatasi
eminentia piramidalis dengan tempat keluarnya korda timpani.9

Gambar 2. Kavum timpani.8


Kavum timpani terutama berisi udara yang mempunyai ventilasi ke
nasofaring melalui tuba Eustachius. Menurut ketinggian batas superior dan
inferior membran timpani, kavum timpani dibagi menjadi tiga bagian, yaitu
epitimpanum yang merupakan bagian kavum timpani yang lebih tinggi dari batas
superior membran timpani, mesotimpanum yang merupakan ruangan di antara
batas atas dengan batas bawah membran timpani, dan hipotimpanum yaitu bagian
kavum timpani yang terletak lebih rendah dari batas bawah membran timpani. Di
dalam kavum timpani terdapat tiga buah tulang pendengaran (osikel), dari luar ke
dalam maleus, inkus dan stapes. Selain itu terdapat juga korda timpani, muskulus
tensor timpani dan ligamentum muskulus stapedius.7

13
3.1.3. Tuba Eusthachius
Tuba Eustachius disebut juga tuba auditory atau tuba faringotimpani, bentuknya
seperti huruf S. Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan antara kavum
timpani dengan nasofaring. Tuba Eustachius terdiri dari 2 bagian yaitu : bagian
tulang yang terdapat pada bagian belakang dan pendek (1/3 bagian) dan bagian
tulang rawan yang terdapat pada bagian depan dan panjang (2/3 bagian).

Gambar 3. Tuba Eustachius.8

Fungsi tuba Eusthachius untuk ventilasi telinga yang mempertahankan


keseimbangan tekanan udara di dalam kavum timpani dengan tekanan udara luar,
drainase sekret yang berasal dari kavum timpani menuju ke nasofaring dan
menghalangi masuknya sekret dari nasofaring menuju ke kavum timpani.9

3.1.4. Prosesus Mastoideus


Rongga mastoid berbentuk seperti segitiga dengan puncak mengarah ke
kaudal. Atap mastoid adalah fossa kranii media. Dinding medial adalah dinding
lateral fosa kranii posterior. Sinus sigmoid terletak di bawah duramater pada
daerah tersebut dan pada dinding anterior mastoid terdapat aditus ad antrum.7

14
3.2 Fisiologi Pendengaran

Sampai tingkat tertentu daun telinga adalah suatu pengumpul suara


sementara liang telinga karena bentuk dan dimensinya dapat sangat memperbesar
suara dalam rentang dua sampai empat KHz. Gelombang ini akan diteruskan ke
telinga tengah dengan menggetarkan membran timpani. Getaran ini akan
diteruskan ke telinga tengah dengan menggetarkan membran timpani. Getarani ini
akan diteruskan melalui rangkaian tulang-tulang pendengaran (maleus, inkus,
stapes) yang akan mengamplifikasikan getaran melalui daya ungkit tulang
pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan foramen
ovale. Tulang-tulang pendengaran akan meningkatkan efisiensi dari getaran
sebanyak 1,3 kali dan perbandingan luas permukaan membran timpani dan
foramen ovale dan mengamplifikasi pendengaran sebanyak 14 kali, energi getar
yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan
foramen ovale sehingga perilimfe pada skala vestibuli akan bergerak. Getaran
diteruskan melalui membran reissner yang mendorong endolimfe sehingga akan
menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria.10,11

Gambar 4. Fisiologi Pendengaran


Proses ini merupakan rangsangan mekanik yang menyebabkan terjadinya
defleksi stereosilia sel-sel rambut sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan
ion-ion bermuatan listrik dari badan sel. Untuk suara dengan frekuensi tinggi akan
menyebabkan defleksi dominan pada bagian basis dari membran basilaris

15
sedangkan untuk frekuensi sedang di tengah dan frekuensi rendah di apeks.
Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel-sel rambut sehingga melepaskan
neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada
saraf auditoris, kemudian dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks
pendengaran di lobus temporalis (area broadman 41). 10,11

3.3 Gangguan pendengaran


3.3.1 Definisi
Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan secara parsial atau total
untuk mendengarkan suara pada salah satu atau kedua telinga. Pembagian
gangguan pendengaran berdasarkan tingkatan beratnya gangguan pendengaran,
yaitu mulai dari gangguan pendengaran ringan (20-39 dB), gangguan pendengaran
sedang (40-69 dB) dan gangguan pendengaran berat (70-89 dB). Gangguan
pendengaran dapat diklasifikasikan sebagai :12
1. Tuli Konduktif
Disebabkan oleh kondisi patologis pada kanal telinga eksterna,
membran timpani atau telinga tengah. Gangguan pendengaran
konduktif tidak melebihi 60 dB, karena dihantarkan menuju koklea
melalui tulang (hantaran melalui tulang) bila intensitasnya tinggi.
Penyebab tersering gangguan pendengaran jenis ini pada anak adalah
otitis media dan disfungsi tuba eustachius yang disebabkan oleh otitis
media sekretori. Kedua kelainan tersebut jarang menyebabkan kelainan
gangguan pendengaran melebihi 40 dB.
2. Tuli sensorineural
Disebabkan oleh kerusakan koklea, saraf pendengaran dan batang otak
sehingga bunyi tidak dapat diproses sebagaimana mestinya. Bila
kerusakan terbatas pada sel rambut di koklea, maka sel ganglion dapat
bertahan atau mengalami degenerasi transneural. Bila sel ganglion
rusak, maka nervus VIII akan mengalami degenerasi Wallerian.
Penyebabnya antara lain adalah kelainan bawaan, genetik,
penyakit/kelainan pada saat anak dalam kandungan, proses kelahiran,

16
infeksi virus, pemakaian obat yang merusak koklea (kina, antibiotika,
seperti golongan makrolid), radang selaput otak, kadar bilirubin yang
tinggi. Penyebab utama gangguan pendengaran ini disebabkan genetik
atau infeksi, sedangkan penyebab yang lain lebih jarang.
3. Tuli campuran
Bila gangguan pendengaran atau tuli konduktif dan sensorineural
terjadi bersamaan.
Gejala yang timbul juga merupakan kombinasi dari kedua komponen
gejala gangguan pendengaran jenis hantaran dan sensorineural. Pada
pemeriksaan fisik atau otoskopi tanda-tanda yang dijumpai sama
seperti pada gangguan pendengaran jenis sensorineural. Pada tes bisik
dijumpai penderita tidak dapat mendengar suara bisik pada jarak lima
meter dan sukar mendengar kata-kata baik yang mengandung nada
rendah maupun nada tinggi. Tes garputala Rinne negatif. Weber
lateralisasi ke arah yang sehat. Schwabach memendek.13

3.3.2. Pemeriksaan dan Diagnosis Gangguan Pendengaran


Diagnosis meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik atau otoskopi telinga,
hidung dan tenggorok, tes pendengaran, yaitu tes bisik, tes garputala dan tes
audiometri dan pemeriksaan penunjang.13
Tes bisik merupakan suatu tes pendengaran dengan memberikan suara
bisik berupa kata-kata kepada telinga penderita dengan jarak tertentu. Hasil tes
berupa jarak pendengaran, yaitu jarak antara pemeriksa dan penderita di mana
suara bisik masih dapat didengar enam meter. Pada nilai normal tes berbisik ialah
5/6 – 6/6. Tes garputala merupakan tes kualitatif. Garputala 512 Hz tidak terlalu
dipengaruhi suara bising disekitarnya. Menurut Guyton dan Hall, cara melakukan
tes Rinne adalah penala digetarkan, tangkainya diletakkan di prosesus mastoideus.
Setelah tidak terdengar penala dipegang di depan teling kira-kira 2 ½ cm. Bila
masih terdengar disebut Rinne positif. Bila tidak terdengar disebut Rinne negatif.
Cara melakukan tes Weber adalah penala digetarkan dan tangkai garputala
diletakkan di garis tengah kepala (di vertex, dahi, pangkal hidung, dan di dagu).
Apabila bunyi garputala terdengar lebih keras pada salah satu telinga disebut

17
Weber lateralisasi ke telinga tersebut. Bila tidak dapat dibedakan ke arah teling
mana bunyi terdengar lebih keras disebut Weber tidak ada lateralisasi. Cara
melakukan tes Schwabach adalah garputala digetarkan, tangkai garputala
diletakkan pada prosesus mastoideus sampai tidak terdengar bunyi. Kemudian
tangkai garputala segera dipindahkan pada prosesus mastoideus telinga pemeriksa
yang pendengarannya normal. Bila pemeriksa masih dapat mendengar disebut
Schwabach memendek, bila pemeriksa tidak dapat mendengar, pemeriksaan
diulang dengan cara sebaliknya, yaitu garputala diletakkan pada prosesus
mastoideus pemeriksa lebih dulu. Bila penderita masih dapat mendengar bunyi
disebut Schwabach memanjang dan bila pasien dan pemeriksa kira-kira sama-
sama mendengarnya disebut Schwabach sama dengan pemeriksa.13
Tes audiometri merupakan tes pendengaran dengan alat elektroakustik. Tes
ini meliputi audiometri nada murni dan audometri nada tutur. Audiometri nada
murni dapat mengukur nilai ambang hantaran udara dan hantaran tulang penderita
dengan alat elektroakustik. Alat tersebut dapat menghasilkan nada-nada tunggal
dengan frekuensi dan intensitasnya yang dapat diukur. Untuk mengukur nilai
ambang hantaran udara penderita menerima suara dari sumber suara lewat
heaphone, sedangkan untuk mengukur hantaran tulangnya penderita menerima
suara dari sumber suara lewat vibrator. Manfaat dari tes ini adalah dapat
mengetahui keadaan fungsi pendengaran masing-masing telinga secara kualitatif
(pendengaran normal, gangguan pendengaran jenis hantaran, gangguan
pendengaran jenis sensorineural, dan gangguan pendengaran jenis campuran).
Dapat mengetahui derajat kekurangan pendengaran secara kuantitatif (normal,
ringan, sedang, sedang berat, dan berat).13

18
Gambar 5. Hasil audiometri nada murni
3.4 Definisi dan Patogenesis OMSK
Otitis media supuratif kronik (OMSK) dahulu disebut otitis media
perforate (OMP) atau dalam bahasa sehari-hari congek. Otitis media supuratif
kronik ialah infeksi kronik (lebih dari 2 bulan) di telinga tengah dengan perforasi
membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga terus menerus atau hilang
timbul. Sekret dapat encer, bening, atau bernanah.1
Berdasarkan ada tidaknya sekret, otitis media supuratif kronik diklasifikasi
menjadi tipe aktif dan tipe non aktif. Dikatakan tipe aktif apabila masih terdapat
discharge yang keluar dari lubang perforasi dan dikatakan tipe non aktif apabila
tidak terdapat discharge (dry ear). 1
Berdasarkan ada tidaknya penyulit kolesteatoma, OMSK dibedakan
menjadi tipe aman (tanpa kolesteatoma) dan tipe bahaya (dengan kolesteatoma).
OMSK tipe aman merupakan tipe tubotimpanal yaitu adanya perforasi sentral
pada membran timpani pars tensa mengakibatkan muksa telinga tengah dan tuba
eustachius terpapar namun tidak menyebabkan inflamasi pada mastoid. OMSK
tipe bahaya merupakan tipe atikoantral yaitu terjadi perforasi pada atik (pars
flaccida) membran timpani dan dapat mengakibatkan infeksi pada antrum mastoid
(mastoiditis) maupun timbul kolesteatoma (secondary acquired cholesteatoma)
akibat dari masuknya epitel kulit dari liang telinga atau dari pinggir perforasi
membran timpani ke telinga tengah (teori migrasi) atau terjadi akibat metaplasi

19
mukosa kavum timpani karena iritasi infeksi yang berlangsung lama (teori
metaplasi) .2

3.5 Gambaran Klinik OMSK


OMSK memiliki beberapa gambaran klinis, antara lain :
1. Telinga Berair (Otorrhoe)
Sekret bersifat purulen atau mukoid tergantung stadium peradangan. Pada
OMSK tipe jinak, cairan mucus yang keluar tidak berbau busuk yang sering
kali sebagai reaksi iritasi mukosa telinga tengah oleh perforasi membran
timpani dan infeksi. Keluarnya sekret biasanya hilang timbul. Pada OMSK
stadium inaktif tidak dijumpai adannya sekret telinga. Pada OMSK tipe ganas
unsur mukoid dan sekret telinga tengah berkurang atau hilang karena rusaknya
lapisan mukosa secara luas. Sekret yang bercampur darah berhubungan dengan
adanya jaringan granulasi dan polip telinga dan merupakan tanda adanya
kolesteatom yang mendasarinya. Suatu sekret yang encer berair tanpa nyeri
mengarah pada kemungkinan tuberculosis.9
2. Gangguan Pendengaran
Biasanya dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran.
Beratnya ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi membran timpani
serta keutuhan dan mobilitas sistem pengantaran suara ke telinga tengah. Pada
OMSK tipe maligna biasanya didapatlkan tuli konduktif berat.14
3. Otalgia (Nyeri Telinga)
Pada OMSK keluhan nyeri dapat karena terbendungnya drainase pus.
Nyeri dapat berarti adanya ancaman komplikasi akibat hambatan pengaliran
sekret, terpaparnya durameter atau dinding sinus lateralis, atau ancaman
pembentukan abses otak. Nyeri merupakan tanda berkembang komplikasi
OMSK seperti Petrositis, subperiosteal abses atau trombosis sinus lateralis.14
4. Vertigo
Keluhan vertigo seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin
akibat erosi dinding labirin oleh kolesteatom. Vertigo yang timbul biasanya akibat
perubahan tekanan udara yang mendadak atau pada panderita yang sensitif
keluhan vertigo dapat terjadi hanya karena perforasi besar membran timpani yang

20
akan menyebabkan labirin lebih mudah terangsang oleh perbedaan suhu.
Penyebaran infeksi ke dalam labirin juga akan meyebabkan keluhan vertigo.16

3.6 Penatalaksanaan OMSK


Prinsip pengobatan tergantung dari jenis penyakit dan luasnya infeksi, dimana
pengobatan dapat dibagi atas konservatif dan operasi.17
OMSK Benigna Inaktif
Keadaan ini tidak memerlukan pengobatan, dan dinasehatkan untuk jangan
mengorek telinga, air jangan masuk ke telinga sewaktu mandi, dilarang
berenang dan segera berobat bila menderita infeksi saluran nafas atas.17
OMSK Benigna Aktif
Prinsip pengobatan OMSK adalah:
1. Membersihkan liang telinga dan kavum timpani.
2. Pemberian antibiotika :
Pemberian antibiotik topical :
Mengingat pemberian obat topikal dimaksudkan agar masuk sampai telinga
tengah, maka tidak dianjurkan antibiotik yang ototoksik misalnya neomisin.
Cara pemilihan antibiotik yang paling baik adalah berdasarkan kultur kuman
penyebab dan uji resistensi. Pengobatan antibiotik topikal dapat digunakan
secara luas untuk OMSK aktif yang dikombinasi dengan pembersihan
telinga.17

Antibiotika topikal yang dapat dipakai pada otitis media kronik adalah :
- Ofloxacin. Termasuk golongan antibiotik quinolone. Obat ini bersifat
bakterisid terhadap bakteri gram positif ( S.aureus, S. pneumoniae, S.
pyogenes) dan bakteri gram negatif (E.coli, H.influenzae,
N.gonorrhoeae, K. pneumoniae, P. aeruginosa, P. mirabilis)
- Polimiksin B atau polimiksin E. Obat ini bersifat bakterisid terhadap
kuman gram negatif ( P. aeruginosa, E.coli, K.pneumoniae ,
Enterobacter sp.), tetapi resisten terhadap gram positif, Proteus, B.
fragilis. Toksik terhadap ginjal dan susunan saraf.

21
- Kloramfenikol. Obat ini bersifat bakterisid
Pemberian antibiotik sistemik :
Pemberian antibiotika yang dianjurkan yaitu selama 2 minggu dan
harus disertai pembersihan sekret profus. Bila terjadi kegagalan pengobatan,
perlu diperhatikan faktor penyebab kegagalan yang ada pada penderita
tersebut. Terapi antibiotik sistemik yang dianjurkan pada Otitis media kronik
adalah Pseudomonas : Aminoglikosida ± karbenisilin, P. mirabilis : Ampisilin
atau sefalosforin, P. morganii, P. vulgaris : Aminoglikosida ± Karbenisilin,
Klebsiella : Sefalosforin atau aminoglikosida, E. coli : Ampisilin atau
sefalosforin, S. Aureus Anti-stafilikokus : penisilin, sefalosforin, eritromisin,
aminoglikosida, Streptokokus : Penisilin, sefalosforin, eritromisin,
aminoglikosida, B. fragilis : Klindamisin.18,19
OMSK Maligna (dengan kolesteatoma)
Pengobatan untuk OMSK maligna adalah operasi. Pengobatan
konservatif dengan medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara
sebelum dilakukan pembedahan. Bila terdapat abses subperiosteal, maka insisi
abses sebaiknya dilakukan tersendiri sebelum kemudian dilakukan
mastoidektomi.17
Ada beberapa jenis pembedahan atau tehnik operasi yang dapat dilakukan
pada OMSK dengan mastoiditis kronis, baik tipe benigna atau maligna, antara
lain:
- Mastoidektomi sederhana (simple mastoidectomy)
- Mastoidektomi radikal
- Mastoidektomi radikal dengan modifikasi
- Miringoplasti
- Timpanoplasti
- Pendekatan ganda timpanoplasti (Combined approach tympanoplasty)
Tujuan operasi adalah menghentikan infeksi secara permanen,
memperbaiki membran timpani yang perforasi, mencegah terjadinya
komplikasi atau kerusakan pendengaran yang lebih berat, serta memperbaiki
pendengaran.17

22
3.7 Komplikasi Otitis Media Supuratif Kronik2
Komplikasi intracranial :
1. Abses ekstradural
2. Abses subdural (empyema)
3. Tromboflebitis sinus lateral
4. Meningitis
5. Abses otak
6. Hidrosefalus otitis

Komplikasi dalam tulang temporal :


1. Paralisis fasial
2. Labirintitis

BAB IV
PEMBAHASAN

23
Berdasar anamnesis, diketahui 3 bulan SMRS pasien keluar cairan dari
telinga kirinya. Cairan berwarna bening, konsistensi kental dan tidak berbau.
Cairan muncul secara hilang timbul tanpa diawali oleh pencetus tertentu dan
cairan juga berhenti keluar dengan sendirinya. Tidak ada faktor yang memperberat
keluarnya cairan dari kedua telinga. Pasien lalu berobat ke dokter dan dikatakan
ada lubang pada gendang telinga kanan dan kiri. Pasien lalu dirujuk ke RS Kudus.
Di RS diberikan terapi dan disarankan untuk operasi perbaikan gendang telinga.
Pasien lalu dirujuk ke Kariadi untuk dilakukan operasi.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan hasil adanya perforasi sentral 20%
pada membran timpani kanan dan perforasi sentral 40% membran timpani kiri.
Pada pemeriksaan pendengaran dengan garpu tala didapatkan hasil tes weber
lateralisasi ke kanan, tes rinne -/-, tes schwabach memanjang/memanjang
sehingga dapat disimpulkan pasien mengalami kurang pendengaran tipe konduksi
pada kedua telinga namun telinga kanan lebih berat.
Pasien ini didiagnosa otitis media supuratif kronik karena pada pasien
terdapat gejala dan tanda yang sesuai dengan defisini otitis media supuratif
kronik, yaitu infeksi kronis pada telinga tengah yang ditandai dengan perforasi
membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga secara terus menerus atau
hilang timbul yang berlangsung selama lebih dari 2 bulan. Berdasarkan
pemeriksaan otoskopi, tidak ditemukan adanya discharge pada kedua liang telinga
sehingga pada pasien terdapat OMSK tipe inaktif.
Pada pasien perlu dilakukan pemeriksaan pendengaran audiotimpanometri
untuk mengetahui jenis dan derajat keluhan kurang pendengaran serta fungsi
menilai fungsi membran timpani.
Pasien mengalami OMSK tipe inaktif yang ditandai dengan tidak
ditemukannya discharge sehingga pada pasien tidak perlu diberikan terapi
medikamentosa. Pasien ini diusulkan untuk dilakukan timpanoplasti untuk
memperbaiki fungsi pendengaran dan mencegah kekambuhan gejala otorrhea.
Pasien diberi penjelasan bahwa pasien mengalami otitis media supuratif
kronik, yaitu radang pada telinga tengah yang sudah lama terjadi ditandai dengan

24
gendang telinga berlubang dan keluar cairan dari liang telinga, atau yang lebih
sering disebut sebagai congek. Pasien juga diberi penjelasan bahwa pasien akan
dilakukan pemeriksaan pendengaran audiometri untuk dapat mengetahui jenis dan
derajat keparahan keluhan kurang pendengaran. Pasien juga perlu diedukasi
mengenai beberapa hal, seperti menggunakan sumbat lubang telinga ketika mandi
dan wudhu untuk mencegah air masuk ke dalam kedua telinga, pasien tidak
diperbolehkan untuk mengorek telinga supaya tidak memperparah kerusakan
gendang telinga dan proses peradangan yang terjadi, dan supaya sedapat mungkin
pasien mencegah timbulnya infeksi saluran nafas atas karena dapat menimbulkan
infeksi pada telinga tengah.

BAB V
PENUTUP

25
5.1 Kesimpulan
Otitis media supuratif kronis (OMSK) adalah infeksi kronis pada telinga
tengah yang ditandai dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar
dari telinga secara terus menerus atau hilang timbul yang berlangsung selama
lebih dari 2 bulan. OMSK dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang
berat, sehingga penting bagi dokter umum atau dokter spesialis lain untuk
memiliki pengetahuan yang baik mengenai definisi, gejala dan metode diagnosis
dari penyakit OMSK ini. Diagnosis OMSK dapat ditegakkan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pasien ini didiagnosa otitis media
supuratif kronik karena pada pasien terdapat gejala dan tanda yang sesuai dengan
defisini otitis media supuratif kronik, yaitu infeksi kronis pada telinga tengah yang
ditandai dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga
secara terus menerus atau hilang timbul yang berlangsung selama lebih dari 2
bulan. Berdasarkan pemeriksaan otoskopi, tidak ditemukan adanya discharge pada
kedua liang telinga sehingga pada pasien terdapat OMSK tipe inaktif.
Pada pasien perlu dilakukan pemeriksaan pendengaran audiotimpanometri
untuk mengetahui jenis dan derajat keluhan kurang pendengaran serta fungsi
menilai fungsi membran timpani.
Pasien mengalami OMSK tipe inaktif yang ditandai dengan tidak
ditemukannya discharge sehingga pada pasien tidak perlu diberikan terapi
medikamentosa. Pasien ini diusulkan untuk dilakukan timpanoplasti untuk
memperbaiki fungsi pendengaran dan mencegah kekambuhan gejala otorrhea.

5.2 Saran
Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan pada makalah ini. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan sekali kritik yang membangun bagi makalah ini,
agar penulis dapat berbuat lebih baik lagi di kemudian hari. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

26
1. Djaafar ZA. Kelainan telinga tengah. In: Soepardi EA, Iskandar N, editors.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok- Kepala Leher. 5th ed.
Jakarta: FKUI; 2001. p. 49–62.
2. Chole RA, Nason R. Chronic Otitis Media and Cholesteatoma. In:
Ballenger‟s Manual of Otorhinology Head and Neck Surgery. Connecticut:
BC Decker; 2009. p. 217–27.
3. Lalwani AK. Current diagosis and treatment : otolaryngology, head and neck
surgery. Edisi ke-2. New York : Mc Graw Hill : 2007
4. Telian SA, Schmalbach CE. Chronic Otitis Media. Dalam : Snow JB,
Ballenger JJ, penyunting. Ballenger’s Otorhinolaryngology, head and neck
surgery. Edisi ke-16. Ontario : BC Decker Inc; 2003.
5. Depkes RI, 2006. Sistem Kesehatan Nasional . Depkes RI, Jakarta.
6. Fokkens W, Lund V, Mullol J, et al. European position paper on rhinosinusitis
and nasal polyps. Rhinology, 2012; 45(suppl 20): 1-139
7. Dhingra P. Cholesteatoma and Chronic Suppurative Otitis Media. In: Disease
of Ear, Nose, and Throat. 3rd ed. New Delhi: Elsevier; 2007. p. 66–73.
8. Probst R, Grevers G. The Middle Ear in Basic Otorhinolaryngology-A step-
by-step Learning Guide. New York: Thieme; 2006. 241-249 p.
9. Helmi. Komplikasi otitis media supuratif kronis dan mastoiditis. In: Soepardi
EA, Iskandar N, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok- Kepala Leher. 5th ed. Jakarta: FKUI; 2001. p. 63–73.
10. Lasisi AO, Olaniyan FA, Muibi SA, Azeez IA, Abdulwasiu KG, Lasisi TJ, et
al. Clinical and demographic risk factors associated with chronic suppurative
otitis media. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. 2007 Oct;71(10):1549–54.
11. Meyer T. Cholesteatoma. In: Bailey B, Johnson J, Newlands S, editors. Head
and Neck Surgery-Otolaryngology. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkins; 2006. p. 2081–91.
12. Susanto. Risiko Gangguan Pendengaran Pada Neonatus Hiperbilirubinemia.
2010;12(4):1–20.
13. Supramaniam S. Prevalensi gangguan pendengaran pada siswa SMA swasta

27
raksana di kota Medan tahun 2010. 2010;
14. Couzos S, Lea T, Mueller R, Murray R, Culbong M. Effectiveness of
ototopical antibiotics for chronic suppurative otitis media in Aboriginal
children: a community-based, multicentre, double-blind randomised
controlled trial. Med J Aust. 2003 Aug;179(4):185–90.
15. Berman S. Otitis media in developing countries. Pediatrics. 1995 Jul;96(1 Pt
1):126–31.
16. Paparella M, Adams G, Levine S. Penyakit telinga tengah dan mastoid. In:
Effendi H, Santoso K, editors. BOIES buku ajar penyakit THT. 6th ed.
Jakarta: EGC; 1997. p. 88–118.
17. WHO. Chronic Suppurative Otitis Media : Burden of Illness and Management
Options. Geneva, Switzerland; 2004.
18. Chole R, Nason R. Chronic Otitis Media and Cholesteatoma. In: Ballenger‟s
Manual of Otorhinology Head and Neck Surgery. Connecticut: BC Decker;
2009. p. 217–27.
19. Aboet A. Komplikasi Otitis Media Supuratif Kronik. Divisi Otologi-
Neurotologi FK USU / RSUP. H. Adam Malik. Medan: FK USU; 2012.
20. Aboet A. Mastoiditis. Divisi Otologi-Neurotologi FK USU / RSUP. H. Adam
Malik. Medan: FK USU; 2012.

28

You might also like