You are on page 1of 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI) merupakan salah
satu upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan di Indonesia. Internsip adalah proses pemantapan mutu
profesi dokter untuk menerapkan kompetensi yang diperoleh selama
pendidikan, secara terintegrasi, komprehensif, mandiri serta
menggunakan pendekatan kedokteran keluarga dalam rangka
pemahiran dan penyelarasan antara hasil pendidikan dengan praktik di
lapangan. Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI) dilaksanakan
selama 1 (satu) tahun di wahana yang telah terpilih, yaitu 8 bulan di
rumah sakit dan 4 bulan di puskesmas.
Selama menjalankan kegiatan di wahana rumah sakit dan
puskesmas, para dokter internsip diwajibkan untuk memberikan
pelayanan kesehatan dengan baik sesuai dengan standar operasional
prosedur dari masing-masing wahana tempat para dokter internsip
berpraktik, khususnya dalam memberikan pelayanan kesehatan
perorangan di rumah sakit. Sedangkan untuk kegiatan di puskesmas,
para dokter internsip diharapkan tidak hanya memberikan upaya
pelayanan kesehatan perorangan saja, namun juga lebih berperan aktif
dalam memberikan upaya pelayanan kesehatan masyarakat. Dengan
diadakannya kegiatan internsip di puskesmas, para dokter internsip
diharapkan dapat mengetahui alur pelayanan primer di puskesmas,
mengetahui pengelolaan program pelayanan kedokteran atau
kesehatan di puskesmas, mengetahui cara melakukan edukasi
kesehatan kepada masyarakat, menguasai sistem pelaporan
puskesmas, serta diharapkan dapat mengetahui tata cara pemecahan
suatu masalah kesehatan salah satunya dengan membuat suatu mini
project yang dapat memberikan inovasi baru atau suatu terobosan
guna mempertahankan ataupun meningkatkan mutu layanan
kesehatan di puskesmas.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Memahami kinerja Puskesmas dan masalah kesehatan di
wilayah kerja Puskesmas serta pengelolaannya sebagai unit
organisasi fungsional yang melaksanakan usaha pokok
kesehatan secara menyeluruh, terarah, dan terpadu kepada
masyarakat.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Memahami keadaan wilayah kerja PuskesmasBalongsari.
2. Mempelajari struktur organisasi Puskesmas Balongsari.
3. Mengetahui manajemen dan sumber daya Puskesmas
Balongsari.
4. Mengetahui program-program Puskesmas Balongsari dan
pelaksanaannya.
5. Mengetahui bentuk pencatatan dan pelaporan Puskesmas
Balongsari.
6. Mengetahui permasalahan yang ada di Puskesmas
Balongsari dan mencoba menentukan solusi yang dapat
dilakukan.
BAB II
GAMBARAN UMUM

2.1 Profil Puskesmas


Pusat Kesehatan Masyarakat yang kemudian disebut dengan
Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya
kesehatan perorangan tingkat pertama dengan lebih mengutamakan
upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya. Puskesmas
mempunyai tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk mencapai
tujuan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya dalam rangka
mendukung terwujudnya kesehatan. Dalam melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud, Puskesmas menyelenggarakan fungsi Upaya
Kesehatan Masyarakat ( UKM ) dan Upaya Kesehatan Perorangan (
UKP ) tingkat pertama di wilayah kerjanya. (Permenkes no. 75 tahun
2014)

2.1.1 Identitas Puskesmas


Nama Puskesmas : Puskesmas Balongsari
No. Kode Puskesmas : P3578150102
Alamat : Jl. Balongsari Tama No.1 Surabaya
Nomor Telepon : 031 – 7417104 / 031 – 7417104
Pimpinan : dr. Sri Hawati
Tahun Berdiri : 2005
Tipe Puskesmas : Rawat Inap (Bersalin) dengan PONED

2.1.2 Visi dan Misi Puskesmas


Visi Puskesmas Balongsari adalah “Pelopor Budaya Hidup
Sehat Menuju Masyarakat Mandiri”

Misi Puskesmas Balongsari adalah:


o Membudayakan Hidup Sehat di Masyarakat
o Menjadi Pusat Informasi Kesehetan bagi Masyarakat
o Memberikan Pelayanan yang Bermutu dan Mengutamakan
Keselamatan Pasien
o Menggalang Kerjasama yang Baik dengan Lintas Sektor
Terkait
2.1.3 Pelayanan Kesehatan
A. Pelayanan Upaya Kesehatan Masyarakat ( UKM )
UKM Esensial
1. Program Promosi Kesehatan
2. Program Kesehatan Lingkungan
3. Program Perbaikan Gizi Masyarakat
4. Program Kesehatan Ibu Anak dan Keluarga Berencana
5. Program Pemberantasan Penyakit
6. Surveilance

UKM Pengembangan
1. Upaya Kesehatan Sekolah
2. Kesehatan Jiwa
3. Kesehatan Gigi Masyarakat
4. Kesehatan Kerja dan Olahraga
5. Kesehatan Indera
6. Kesehatan Lansia
7. Posyandu Balita
8. Posyandu Remaja

B. Pelayanan Upaya Kesehatan Perorangan ( UKP )


1. Poli Umum dan UGD
2. Poli Gigi
3. Poli KIA / KB
4. Poli MTBS
5. Poli Santun Lansia
6. Poli Pengobatan Tradisional (Batra)
7. Pelayanan Kesehatan Lingkungan
8. Pojok Gizi dan Laktasi
9. Poli TB
10. Poli Psikologi dan PKPR
11. Rumah Bersalin
12. Unit Laboratorium
13. Unit Obat

Wilayah Kerja Puskesmas


 Data Geografis
Puskesmas Balongsari terletak di Kelurahan Balongsari,
Kecamatan Tandes dengan wilayah kerja puskesmas yang terdiri
dari 3 kelurahan:
1. Balongsari
2. Karangpoh
3. Tandes
Wilayah kerja termasuk dataran rendah dengan ketinggian 2-3
meter diatas permukaan laut dengan curah hujan sedang. Dengan
batas-batas wilayah berikut :
1. Utara : wilayah Kecamatan Asemworo.
2. Timur : wilayah Kecamatan Sukomanunggal.
3. Selatan : wilayah Kecamatan Lontar.
4. Barat : wilayah Kecamatan Manukan Wetan dan
Kecamatan Tandes.
Gambar 2.1 Peta Wilayah Kerja Puskesmas Balongsari

 Data Demografis
Data kependudukan tahun 2017 :
1. Jumlah penduduk keseluruhan : 38.143 orang
Laki-laki : 18.971 orang
Perempuan : 19.172 orang
2. Jumlah kepala keluarga :10.600 KK

2.2 Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI)


Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI) merupakan salah
satu upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan di Indonesia khususnya di bidang. Undang-Undang
Praktik Kedokteran No. 29 tahun 2004 dan perkembangan global
dalam etika praktik kedokteran mensyaratkan bahwa pasien tidak
boleh dijadikan objek praktik mahasiswa kedokteran. Hal ini
dilakukan untuk menghormati hak-hak azasi pasien. Adanya
perubahan mendasar dalam pengendalian praktik kedokteran
berdampak pada proses pendidikan dokter, khususnya masa
pendidikan klinik selama masa kepaniteraan klinik. Selama masa
kepaniteraan klinik, mahasiswa tidak lagi menangani pasien secara
mandiri tanpa supervisi yang ketat. Tanggung jawab mutu
pelayanan dan legal aspek selama kepaniteraan klinik berada pada
pembimbingnya.
Melihat perkembangan tersebut, untuk meningkatkan
kemahiran dan pemandirian dalam melaksanakan praktik
kedokteran maka diperlukan proses pelatihan keprofesian pra-
registrasi. Proses ini dikenal di berbagai negara sebagai program
internship atau housemanship. Internsip adalah Proses pemantapan
mutu profesi dokter untuk menerapkan kompetensi yang diperoleh
selama pendidikan, secara terintegrasi, komprehensif, mandiri serta
menggunakan pendekatan kedokteran keluarga dalam rangka
pemahiran dan penyelarasan antara hasil pendidikan dengan
praktik di lapangan.
Di beberapa negara Eropa program internship berlangsung
selama 2 sd 3 tahun setelah lulus pendidikan dokter. Di Indonesia
secara resmi program ini telah dibahas dan disepakati oleh
Kementerian Kesehatan, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Ikatan
Dokter Indonesia (IDI) dan Kementerian Pendidikan Nasional sejak
tahun 2008. Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI)
dilaksanakan selama 1 (satu) tahun, yaitu 8 bulan di Rumah Sakit
dan 4 bulan di Puskesmas.
Legal penyelenggaraan program internsip dokter di Indonesia
adalah Peraturan Menteri kesehatan Republik Indonesia
No.299/Menkes/Per/II/2010 tentang Penyelengaraan Program
Internsip dan Penempatan Dokter Pasca Internsip. Konsil
Kedokteran Indonesia telah menerbitkan Peraturan Konsil
Kedokteran Indonesia No. 1/KKI/Per/2010 tentang Registasi Dokter
Program Internsip. Komite Internsip Dokter Indonesia sebagai
Pelaksana Program Internsip Dokter telah diangkat dan ditetapkan
melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor: 138/Menkes/SK/I/2011 tentang Komite Internsip Dokter
Indonesia. Pada Tahun 2013, legal aspek pelaksanaan PIDI
diperkuat dengan ditetapkannya Undang-Undang No.20 tentang
Pendidikan Kedokteran. Berdasarkan Undang-undang No.20 Tahun
2013 tentang Pendidikan Kedokteran pasal 7 ayat (7): Program
profesi dokter dan dokter gigi dilanjutkan dengan Program Internsip,
penjelasan pasal 7 ayat (7): Internsip adalah pemahiran dan
pemandirian dokter yang merupakan bagian dari Program
penempatan wajib sementara paling lama 1 (satu) tahun, Pasal 38
ayat (2): penempatan wajib sementara pada Program Internsip
dihitung sebagai masa kerja merupakan dasar hukum Internsip.

2.2.1 Waktu Kegiatan


Kegiatan internsip di Puskesmas Balongsari Surabaya dilaksanakan
sejak tanggal 10 Oktober 2017 – 10 Febuari 2018.

2.2.2 Tempat Kegiatan


Kegiatan internsip dilaksanakan di Puskesmas Balongsari Surabaya.

2.2.3 Pelaksana Kegiatan


Daftar nama dokter Internsip :

dr. Agung Tanian

dr. Berkatnu Indrawan Janguk

dr. I Dewa Ayu Agung Anatasi

dr. Kaefana Eka Rahmelia

dr. Shandy Wicaksono

dr. Stefani Soraya Yonelis


2.2.4 Mekanisme Kegiatan

Kegiatan internsip di Puskesmas Balongsari Surabaya diikuti


oleh 6 Dokter Internsip yang dilaksanakan mulai tanggal 10 oktober
2017 – 10 Oktober 2018. Dokter Internsip dibagi dalam beberapa
pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh Puskesmas yaitu
Poli Umum – UGD, RB-KIA, Posyandu Lansia, Posyandu Balita, dan
Poskeskel secara bergantian sesuai jadwal yang telah ditentukan.
Dokter Internsip juga melaksanakan beberapa kegiatan lainnya, yaitu
memberi penyuluhan kesehatan di dalam dan luar gedung
Puskesmas, mengikuti kegiatan P3K atau TGC (Tim Gerak Cepat),
mengikuti kegiatan CHN pasien serta survei Keluarga Sehat. Para
dokter internsip diberi kesempatan untuk berdiskusi dengan masing-
masing penanggung jawab program dan kegiatan di Puskesmas.
Kegiatan internsip ini dilakukan dengan metode praktik kerja
secara langsung di lapangan. Secara garis besar kegiatan
kepaniteraan IKM-KP di Puskesmas Balongsari Surabaya meliputi:
1. Pengumpulan data sekunder dari Puskesmas Balongsari
2. Wawancara / diskusi dengan Pembimbing Operasional / Pegawai
Puskesmas
3. UKM Esensial
 Program Promosi Kesehatan : Kegiatan Penyuluhan NAPZA
dan Pentingnya Vaksin HPV, Kegiatan Musyawarah
Masyarakat Desa, dan Penyuluhan di dalam dan di luar
gedung.
 Program Kesehatan Lingkungan : Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN), Inspeksi Sanitasi Kantin Sekolah,
Pengambilan Sampling Makanan di Sekolah, Pengambilan
Sampling Air PDAM.
 Program Perbaikan Gizi Masyarakat : Gerakan Masyarakat
Sehat (Germas)
 Program Kesehatan Ibu Anak dan Keluarga Berencana

4. UKM Pengembangan
 Kesehatan Lansia : Posyandu lansia. Anamnesis,
pemeriksaan fisik, diagnosis
 Posyandu Balita : Pendaftaran, Penimbangan, Pencatatan,
Penyuluhan, Pelayanan Kesehatan, dan pemberian PMT

5. UKP
 Poli Umum dan UGD : anamnesa, pemeriksaan fisik,
diagnosis, terapi
 Poli KIA / KB : anamnesa, pemeriksaan fisik, diagnosis, terapi
 Poli MTBS : anamnesa, pemeriksaan fisik, diagnosis
 Poli Santun Lansia : anamnesa, pemeriksaan fisik, diagnosis
 Rumah Bersalin : visite pasien, anamnesis, pemeriksaan fisik,
diagnosis
BAB III
ANALISIS MASALAH

3.1 Ringkasan Proses Identifikasi Masalah


Ringkasan Proses Identifikasi Masalah
Check list dan identifikasi masalah kesehatan sesuai PKP 2017 di
Puskesmas
PUSKESMAS : Balongsari
PERIODE : 10 Oktober 2017 – 9 Februari 2018
Tabel 3.1 Checklist dan Identifikasi Masalah Kesehatan Sesuai PKP 2017
di Puskesmas
Daftar Sumber
Masalah Upaya data/ Harapan/ Capaian/
No.
Sesuai PKP Kesehatan Laporan Target Kenyataan
2017 Puskesmas
Pondok
Pesantren
yang
memenuhi 16- Promkes PKP 28 % 0%
1. 18 indikator (0,196)
PHBS Pondok
Pesantren
(Klasifikasi IV)

Desa Siaga Promkes PKP 12 % 0


Aktif PURI (
2. Purnama
Mandiri )

Pembinaan Promkes PKP 28 % 0


tingkat
3. perkembangan
Poskestren

Pembinaan
tingkat Promkes PKP 28 % 0
4. perkembangan
Pos UKK

Poskestren
Purnama dan Promkes PKP 90 % 0
5. Mandiri

Konseling
6. Kesling PKP 10 % 9,6 %
Sanitasi
Daftar Sumber
Masalah Upaya data/ Harapan/ Capaian/
No.
Sesuai PKP Kesehatan Laporan Target Kenyataan
2017 Puskesmas

Inspeksi
7. Sanitasi PBL Kesling PKP 20 % 11,9 %

Ibu Hamil KEK


yang Gizi PKP 65 % 13,49 %
mendapat
8.
PMT-
Pemulihan

Cakupan
pelayanan P2 PKP 100 % 83 %
9.
Diare balita

Imunisasi TT5
pada WUS P2 PKP ≥85 % 30,47 %
10.
(15-49 th)

Perempuan
usia 30 – 50
tahun yang di P2 PKP 30 % 11 %
11. deteksi dini
kanker cervix
dan payudara .

Angka Bebas
12. Jentik (ABJ) P2 PKP 95 % 88,9 %

PUS dengan 4
13. T ber KB KIA PKP

Murid kelas 1-
6 yang P2 PKP 40 % 8,6 %
14.
mendapat
perawatan gigi
Penyehat
Tradisional Yansus PKP 65 % 0
15. ramuan yang
memiliki STPT

Penemuan
dan
16. penanganan P2 PKP 70 % 35,9 %
Kasus refraksi.

Penemuan
kasus penyakit
17. mata di P2 PKP 65 % 36,6 %
Puskesmas
Daftar Sumber
Masalah Upaya data/ Harapan/ Capaian/
No.
Sesuai PKP Kesehatan Laporan Target Kenyataan
2017 Puskesmas

Penemuan
kasus yang P2 PKP 12 % 3%
rujukan ke
spesialis di
18.
Puskesmas
melalui
pemeriksaan
fungsi
pendengaran

Penemuan
kasus penyakit P2 PKP 35 % 18%
19.
telinga di
puskesmas

Penemuan
Kasus
20.
Serumen prop P2 PKP 55 % 50%

Promotif dan
preventif yang
dilakukan
pada KesKerja PKP 60% 22%
21.
kelompok
kesehatan
kerja
3.2 Penentuan Prioritas Masalah
Prioritas masalah ditentukan dengan menggunakan metode USG
dikarenakan masalah yang timbul bukanlah jenis masalah yang
homogen.

Tabel 3.2 Penentuan Prioritas Masalah dengan Metode USG


No. Masalah Kesehatan U S G U x S x U+S+
Urgency Severity Growth G G
1 Angka Bebas Jentik 6 6 8 288 20
2 Cakupan Pelayanan 6 7 8 336 21
Diare Balita
3 Perempuan Usia 30-50 5 8 8 320 21
Tahun yang Dideteksi
Dini Kanker Serviks
dan Payudara
4 Penemuan dan 6 7 8 336 21
Penanganan Kasus
Refraksi
5 Kasus Penyakit Telinga 8 7 6 336 21
6 Konseling Sanitasi 5 7 7 245 19
7 Ibu hamil KEK yang 6 6 5 180 17
mendapat PMT
Pemulihan
8 Imunisasi TT 5 Pada 4 5 6 120 15
WUS
9 Sekolah di Wilayah 4 4 4 64 12
Puskesmas Yang
Melaksanakan KTR
10 Ketersediaan Obat 6 4 4 96 14
Dengan Pola Penyakit

Penulis menggunakan metode skoring USG dalam menentukan


prioritas masalah kesehatan yang akan penulis pilih. Pemberian skor
masing-masing parameter didasarkan pada; Urgency yaitu seberapa
mendesak waktu yang dibutuhkan dalam menyelesaikan masalah
kesehatan, Severity adalah besar dampak yang ditimbulkan oleh
suatu masalah, Growth merupakan potensi pertumbuhan masalah,
dalam hal ini penulis memberi skor tertinggi pada cakupan Penemuan
dan Penanganan Kasus Refraksi
Dari hasil USG , dipilih 6 masalah dengan skor paling tinggi

Tabel 3.3 Skor USG Paling Tinggi

No. Masalah Kesehatan U S G U x S x U+S+


Urgency Severity Growth G G
1 Angka Bebas Jentik 6 6 8 288 20
2 Cakupan Pelayanan 6 7 8 336 21
Diare Balita
3 Perempuan Usia 30-50 5 8 8 320 21
Tahun yang Dideteksi
Dini Kanker Serviks
dan Payudara
4 Penemuan dan 6 7 8 336 21
Penanganan Kasus
Refraksi
5 Kasus Penyakit Telinga 8 7 6 336 21
6 Konseling Sanitasi 5 7 7 245 19
3.3 Penentuan Determinan Masalah

MANUSIA METODE

Menganggap Tenaga terlatih masih


kelainan refraksi sedikit
hal yang biasa

Tidak memeriksakan
diri saat ada keluhan

Tingkat
Pendidikan
Rendah Cakupan
penemuan
dan
penanganan
kasus
Tidak refraksi
Banyaknya Optik
Mempunyai
Tidak Ada yang di wilayah kerja
jaminan
mengantar puskesmas
kesehatan
periksa

DANA LINGKUNGAN
SARANA

Gambar 3.1 Diagram Fishbone Masalah Penemuan dan Penanganan Kasus Refraksi
Dalam penentuan determinan masalah , kami menggunakan metode
Nominal Group Technique (NGT)
Tabel 3.4 Penentuan Prioritas Determinan Masalah dengan Nominal Group
Technique
Penyebab Masalah I II III Total
Tidak ada yang mengantar periksa 7 7 6 20
Tidak mempunyai jaminan kesehatan 6 5 7 18
Banyaknya optik di wilayah kerja 5 6 4 15
puskesmas
Menganggap kelainan refraksi hal yang 4 3 5 12
biasa
Tidak memeriksakan diri saat ada 3 4 2 9
keluhan
Tenaga terlatih masih sedikit 2 1 3 6
Tingkat pendidikan rendah 1 2 1 4
BAB IV
PEMECAHAN MASALAH

4.1 Evidence Based sebagai Usulan Strategi Penyelesaian Masalah


4.1.1 Artikel Penelitian Lain
Gangguan refraksi masih merupakan salah satu penyebab
kebutaan di dunia. World Health Organization (WHO) menyatakan,
terdapat 45 juta orang yang menjadi buta di seluruh dunia, dan 135
juta dengan low vision. Diperkirakan gangguan refraksi
menyebabkan sekitar 8 juta orang (18% dari penyebab kebutaan
global) mengalami kebutaan. Angka kebutaan anak di dunia masih
belum jelas, namun diperkirakan ada sekitar 1,4 juta kasus
kebutaan pada anak, dan 500.000 kasus baru terjadi tiap tahunnya.
Berdasarkan data tahun 2010, sebanyak 43% penyebab dari
gangguan penglihatan adalah kelainan refraksi yang tidak dikoreksi
(WHO, 2012).
Penyebab kelainan refraksi salah satunya adalah faktor
genetik. Selain faktor genetik, ada jugafaktor kebiasaan yang
membuat seseorang memiliki mata minus. Macam-macam aktivitas
melihat dekat seperti membaca, menulis, menonton televisi,
menggunakan handphone dan juga komputer. Aktivitas melihat
dekat yang terpapar layar monitor dalam jangka waktu yang cukup
lama dapat mengakibatkan mata berakomodasi terus-menerus.
Peningkatan daya akomodasi terus-menerus menyebabkan mata
menjadi rabun jauh (Jenny et al., 2008).
Prevalensi kelainan refraksi pada anak dengan kedua orang
tua kelainan refraksi adalah 32,9%. Sedangkan prevalensi untuk
anak yang mengalami kelainan refraksi yang hanya salah satu
orang tuanya mengalami kelainan refraksi hanya 18,2% dan kurang
dari 6,3% prevalensi anak kelainan refraksi yang kedua orang
tuanya tidak mengalami kelainan refraksi.
Gejala dari gangguan penglihatan yang dapat mengancam
prestasi adalah seringnya menggosok mata dan mengedip,
konsentrasi yang pendek, menghindari membaca atau aktivitas
yang dekat, pusing yang sering, menutup satu mata, memiringkan
kepala ke satu sisi, memegang material membaca dekat dengan
mata, mata menyudut ke arah dalam atau luar, melihat ganda,
kehilangan arah saat membaca, dan kesulitan untuk mengingat apa
yang sudah dibaca (Basch, 2011).
Skrining adalah identifikasi dini dari individu dalam populasi
tertentu yang beresiko terpapar suatu keadaan subklinis, dimana
indentifikasi ini bisa bermanfaat bila dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut. Penangan yang efektif dapat menghasilkan outcome yang
lebih baik, dengan pengaruhnya tidak hanya terbatas pada individu
tertentu saja, tetapi juga terhadap keseluruhan populasinya.
Skrining merupakan intervensi kesehatan pada masyarakat yang
bertujuan untuk mengurangi resiko atau beban populasi dari suatu
penyakit (Squirrell Dm, 2003;Kristinsson JK, 1997)

4.2 Guideline Internasional


4.2.1 Kelainan Refraksi
Kelainan refraksi mata adalah suatu keadaan dimana
bayangan tidak dibentuk tepat di retina,melainkan di bagian
depan atau belakang bintik kuning dan tidak terletak pada
satu titik yang tajam. Kelainan refraksi dikenal dalam
beberapa bentuk, yaitu: miopia, hipermetropia, dan astigmatisma
(Ilyas, 2013).
Kelainan refraksi merupakan kelainan pembiasan
sinar pada mata sehingga pembiasan sinar tidak difokuskan
pada retina atau bintik kuning. Sistem optik diperlukan untuk
memasukkan sinar atau bayangan benda ke dalam mata.
Diketahui bola mata mempunyai panjang kira - kira 2 cm,
untuk memfokuskan sinar ke dalam bintik kuning (bagian
selaput jala yang menerima rangsangan) diperlukan kekuatan
50.0 dioptri. Lensa berkekuatan 50.0 dioptri mempunyai titik api
pada titik 2.0 cm (Ilyas, 2006).
Penurunan visus biasanya disebabkan oleh kelainan
refraksi. Biasanya penderita telah mendapat kacamata dari
seorang optometris. Penglihatan penderita yang buruk dapat
disebabkan oleh kelainan refraksi, hal ini dapat diketahui
dengan menggunakan pinhol. Pada mata tanpa kelainan
refraksi (emetropia), sinar dari kejauhan difokuskan pada
retina oleh kornea dan lensa pada saat mata dalam keadaan
istirahat (relax). Peran kornea adalah dua per tiga dan lensa
berperan sepertiga dari daya refraksi mata. Kelainan
kornea, misalnya keratokonus, bisa menyebabkan kelainan
refraksi yang berat (A R Elkington, 1996).
Pada mata yang tidak memerlukan kaca mata terdapat
2 sistem yang membiaskan sinar yang menghasilkan kekuatan
50.0 dioptri. Kornea atau selaput bening mempunyai kekuatan
80% atau 40 dioptri dan lensa mata berkekuatan 20% atau 10
dioptri. Bila kekuatan pembiasan ini berubah, maka sinar akan
difokuskan lebih di depan selaput jala (seperti rabun jauh,
miopia), dan dapat dikoreksi dengan menggunakan kacamata
negatif atau sinar difokuskan di belakang selaput jala seperti pada
rabun dekat (hipermetropia), yang dapat dikoreksi dengan
menggunakan lensa positif. Bila pembiasan sinar tidak pada satu
titik atau pada astigmat dapat dikoreksi dengan menggunakan
lensa silinder (Ilyas, 2006).
Refraksi adalah titik fokus jauh dasar (tanpa bantuan alat)
yang bervariasi di antara mata individu normal, tergantung bentuk
bola mata dan korneanya. Mata emetrop secara alami memiliki
fokus yang optimal untuk penglihatan jauh. Mata ametrop
(yakni, mata miopia, hipermetropia, atau astigmatisma)
memerlukan lensa koreksi agar terfokus dengan baik untuk
melihat jauh. Gangguan optik ini disebut kelainan refraksi.
Refraksi adalah prosedur untuk menentukan dan mengukur
setiap kelainan optik (Vanghan & Asbury, 2012).
Pada keadaan tidak terfokusnya sinar pada selaput jala,
hal yang dapat dilakukan adalah memperlemah pembiasan
sinar seperti miopia (rabun jauh) dengan mengunakan lensa
negatif untuk memindahkan fokus sinar ke belakang atau
selaput jala. Bila sinar dibiaskan di belakang selaput jala
seperti pada hipermetropia (rabun dekat) maka diperlukan lensa
positif untuk menggeser sinar ke depan sehingga penglihatan
semakin jelas. Lensa positif ataupun lensa negatif dapat
digunakan dalam bentuk kaca mata ataupun lensa kontak.
Penggeseran bayangan sinar dapat pula dilakukan dengan
tindakan bedah yang dinamakan bedah refraktif (Ilyas, 2006).
Daya refraksi mata ditentukan oleh daya refraksi media
yang bening dan panjang sumbu mata. Media yang bening
adalah kornea, bilik mata depan, lensa, dan badan kaca.
Panjang sumbu mata normal kira-kira 24 mm. Jika panjang
sumbu mata bertambah l mm (menjadi 25 mm), maka terjadi
miopia -3 dioptri. Daya refraksi mata emetropia adalah 65
dioptri, 42 dioptri oleh kornea dan 23 dioptri oleh lensa,
sehingga cairan mata dan badan kaca tidak memiliki daya
refraksi (Fritz Hollwich, 1993)
Kelainan refraksi adalah keadaan bayangan tegas tidak
dibentuk pada retina. Secara umum, terjadi ketidakseimbangan
sistem penglihatan pada mata sehingga menghasilkan
bayangan yang kabur. Sinar tidak dibiaskan tepat pada retina,
tetapi dapat di depan atau di belakang retina dan tidak
terletak pada satu titik fokus. Kelainan refraksi dapat
mengakibatkan terjadinya kelainan kelengkungan kornea dan
lensa, perubahan indeks bias, dan kelainan panjang sumbu
bola mata. Ametropia adalah suatu keadaan mata dengan
kelainan refraksi sehingga pada mata yang dalam keadaan
istirahat memberikan fokus yang tidak terletak pada retina.
Ametropia dapat ditemukan dalam bentuk kelainan miopia
(rabun jauh), hipermetropia (rabun dekat), dan astigmatisma
(Perdami, 2010).

Hipermetropia Miopia
Gambar 4.1 Hipermetropia & miopia

Interpretasi yang tepat mengenai informasi visual bergantung


pada kemampuan mata memfokuskan berkas cahaya yang
datang ke retina. Mata emetrop (normal) secara alami berfokus
optimal bagi penglihatan jauh. Sedangkan mata ametrop (yakni,
mata hipemetropia, miopia, atau astigmatisma) memerlukan lensa
koreksi agar terfokus dengan baik dan ganggguan optik ini disebut
kelainan refraksi. Kelainan refraksi bersifat herediter. Cara
pewarisannya kompleks, karena melibatkan banyak variabel.
Walaupun diwariskan, kelainan refraksi tidak harus ada sejak lahir
(Vaughan DG, 2000).
Refraksi dapat ditentukan secara subyektif, yaitu dengan
menempatkan lensa di depan masing masing mata, ataupun
secara obyektif yang dapat ditentukan dengan menggunakan
retinoskopi atau refrakstometer. Untuk menentukan refraksi pada
anak-anak dianjurkan untuk melumpuhkan akomodasi
(sikloplegia) dengan menggunakan obat tetes mata (atropin,
siklogil) (Fritz Hollwich, 1993).
Sinar dari obyek dekat ialah divergen dan difokuskan ke
retina oleh proses akomodasi. Otot-otot siliar berkontraksi,
memungkinkan bentuk lensa lebih cembung yang memiliki
kemampuan konvergensi lebih besar. Semakin tua lensa makan
akan semakin bertambah kaku dan walaupun otot-otot siliar
berkontraksi, lensa tidak bertambah cembung. Hal ini mulai terjadi
pada usia 40 tahun ke atas, dimana pekerjaan jarak dekat
berangur-angsur sukar dikerjakan (presbiopia). Obyek mesti
diposisikan lebih jauh untuk mengurangi kebutuhan daya
akomodasi. Dalam keadaan seperti ini, detil-detil halus tidak lagi
dapat terlihat (A R Elkington, 1996).
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media
penglihatan yang terdiri atas kornea, cairan mata, lensa, benda
kaca, dan panjangnya bola mata. Pada orang normal, susunan
pembiasan oleh media penglihatan dan panjangnya bola mata
demikian seimbang sehingga bayangan benda setelah melalui
media penglihatan dibiaskan tepat di daerah makula lutea. Mata
yang normal disebut sebagai mata emetropia dan akan
menempatkan bayangan benda tepat di retinanya, saat mata tidak
melakukan akomodasi atau istirahat melihat jauh. Dikenal
beberapa titik di dalam bidang refraksi, yaitu Pungtum Proksimum,
yang merupakan titik terdekat yang masih dapat dilihat dengan
jelas oleh seseorang. Titik ini merupakan titik dalam ruang yang
berhubungan dengan retina atau foveola saat mata istirahat. Pada
emetropia pungtum remotum terletak di depan mata, sedangkan
pada mata hipermetropia titik semu berada di belakang mata
(Ilyas, 2013).
A. Miopia
Miopia atau rabun jauh adalah suatu keadaan mata yang
mempunyai kekuatan pembiasan sinar yang berlebihan sehingga
sinar sejajar yang datang dibiaskan di depan retina (Perdami,
2014). Bila bayangan benda yang terletak jauh difokuskan di depan
retina oleh mata yang tidak berakomodasi, mata tersebut
mengalami miopia, atau rabun jauh (Vanghan & Asbury, 2012).
Pada mata miopia, sinar sejajar yang masuk ke dalam mata
difokuskan di dalam badan kaca. Jika penderita miopia tanpa
koreksi melihat ke obyek yang jauh, maka sinar divergen yang akan
mencapai retina sehingga bayangan menjadi kabur. Hal ini
disebabkan daya refraksi terlalu kuat atau sumbu mata terlalu
panjang (Fritz Hollwich, 1993).
Secara fisiologik sinar yang difokuskan pada retina terlalu
kuat sehingga membentuk bayangan kabur atau tidak tegas pada
makula lutea. Titik fokus sinar yang datang dari benda yang jauh
terletak di depan retina. Titik jauh (pungtum remotum) terletak lebih
dekat atau sinar datang tidak sejajar (Ilyas, 2006).
Gejala miopia terpenting yang timbul ialah buram saat
melihat jauh, sakit kepala dan cenderung menjadi juling saat
melihat jauh. Pasien akan lebih jelas melihat dalam posisi yang
lebih dekat. Penatalaksanaan pasien dengan miopia adalah dengan
memberikan koreksi sferis negative terkecil yang memberikan
ketajaman pengelihatan maksimal (Perdami, 2014).

B. Hipermetropia
Hiperopia (hipermetropia, farsightedness) adalah keadaan
mata tak berakomodasi yang memfokuskan bayangan di belakang
retina. Hal ini dapat disebabkan oleh berkurangnya panjang sumbu
(hiperopia aksial), seperti yang terjadi pada kelainan kongenital
tertentu, atau menurunnya indeks refraksi (hiperopia refraktif),
seperti pada afakia. Hiperopia adalah suatu konsep yang lebih sulit
dijelaskan daripada miopia. Istilah "farsighted" berperan dalam
menimbulkan kesulitan tersebut, selain juga seringnya terdapat
kesalahpahaman di kalangan awam bahwa presbiopia adalah
farsightedness dan bahwa seseorang yang melihat jauh dengan
baik artinya farsighted (Vanghan & Asbury, 2012).
Berdasarkan akomodasi hipermetropia dibedakan secara
klinis menjadi hipermetropia manifest, hipermetropia manifest
absolute, hipermetropia manifest fakultatif, hipermetropia laten dan
hipermetropia total (Perdami, 2014). Hipermetropia dapat dikenali
dengan beberapa gejala sebagai berikut :
a. Biasanya pasien pada usia tua mengeluh pengelihatan jauh
kabur.
b. Pengelihatan dekat lebih cepat buram. Akan lebih terasa
pada keadaan kelelahan atau penerangan yang kurang.
c. Sakit kepala pada daerah frontal dan dipacu oleh kegiatan
melihat dekat dalam jangka panjang. Jarang terjadi di pagi
hari, cenderung terjadi setelah siang hari dan membaik
spontan bila kegiatan melihat dekat dihentikan.
d. Eyestrain / ketegangan pada mata.
e. Sensitif terhadap cahaya.
f. Spasme akomodasi, yaitu terjadinya cramp. Ciliaris diikuti
pengelihatan buram intermiten.
Hipermetropia dapat disebabkan oleh (Ilyas, 2013):
a. Hipermetropia sumbu atau hipermetropia aksial merupakan
kelainan refraksi akibat bola mata pendek, atau sumbu
anteroposterior yang pendek.
b. Hipermetropia kurvatur, dimana kelengkungan kornea atau
lensa kurang sehingga bayangan difokuskan di belakang
retina.
c. Hipermetropia refraktif, dimana terdapat indeks bias yang
kurang pada sistem optik mata.

Secara klinis, hipermetropia terbagi dalam 3 kategori (American


Optometric Association, 2008):
a. Simple hyperopia, karena variasi normal biologis, bisa
disebabkan oleh panjang sumbu aksial mata ataupun karena
refraksi.
b. Pathological hyperopia, disebabkan anatomi mata yang
abnormal karena gagal kembang, penyakit mata, atau
trauma.
c. Functional hyperopia adalah akibat dari paralisis akomodasi.

Hipermetropia juga dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat


kelainan refraksinya, yaitu: (American Optometric Association,
2008)
a. Hipermetropia ringan (≤ +2,00 D)
b. Hipermetropia sedang (+2,25 - +5,00 D)
c. Hipermetropia berat (≥+5,00 D)
Hipertropia dikenal dalam bentuk (Ilyas, 2013):
a) Hipermetropia manifes ialah hipermetropia yang dapat dikoreksi
dengan kaca mata positif maksimal yang memberikan tajam
penglihatan normal. Hipermetropia ini terdiri atas hipermetropia
absolut ditambah dengan hipermetropia fakultatif. Hipermetropia
manifes didapatkan tanpa sikloplegik dan hipermetropia yang
dapat dilihat dengan koreksi kacamata maksimal.
b) Hipermetropia absolut, adalah kelainan refraksi yang tidak
diimbangi dengan akomodasi dan memerlukan kacamata positif
untuk melihat jauh. Biasanya hipermetropia laten yang ada
berakhir dengan hipermetropia absolut ini. Hipermetropia
manifes yang tidak memakai tenaga akomodasi sama sekali
disebut sebagai hipermetropia absolut, sehingga jumlah
hipermetropia fakultatif dengan hipermetropia absolut adalah
hipermetropia manifes.
c) Hipermetropia fakultatif, adalah kelainan hipermetropia yang
dapat diimbangi dengan akomodasi ataupun dengan kaca mata
positif. Pasien yang hanya mempunyai hipermetropia fakultatif
akan melihat normal tanpa kaca mata dan bila diberikan kaca
mata positif akan memberikan penglihatan normal, sehingga
otot akomodasinya akan beristirahat. Hipermetropia manifes
yang masih memakai tenaga akomodasi disebut sebagai
hipermetropia fakultatif.
d) Hipermetropia laten, adalah kelainan hipermetropia tanpa
sikloplegia (atau dengan obat yang melemahkan akomodasi)
diimbangi seluruhnya dengan akomodasi. Hipermetropia laten
hanya dapat diukur bila diberikan sikloplegia. Makin muda makin
besar komponen hipermetropia laten seseorang. Makin tua
seseorang akan terjadi kelemahan akomodasi sehingga
hipermetropia laten menjadi hipermetropia fakultatif dan
kemudian akan menjadi hiper metropia absolut. Hipermetropia
laten sehari-hari diatasi pasien dengan akomodasi terus-
menerus, terutama bila pasien masih muda dan daya
akomodasinya masih kuat.
e) Hipermetropia total, hipermetropia yang ukurannya didapatkan
sesudah diberikan sikloplegia.

C. Astigmatisme
Astigmatisma adalah keadaan dimana sinar sejajar tidak
dibiaskan secara seimbang pada seluruh meridian. Pada
astigmatisma regular terdapat dua meridian utama yang terletak
saling tegak lurus. Gelaja astigmatisma biasanya dikenali dengan
penglihatan yang kabur, head tilting, mempersempit palpebra dan
mendekati objek untuk melihat lebih jelas. Penatalaksanaan
astigmatisma dilakukan dengan lensa silinder bersama sferis
(Perdami, 2014).
Astigmatisma merupakan suatu kondisi dimana kornea
memiliki lengkungan yang abnormal, sehingga menyebabkan
gangguan penglihatan. Kornea yang normal berbentuk bulat, tetapi
pada astigmatisma kornea berbentuk oval, sehingga menyebabkan
ketidakfokusan pada cahaya yang masuk ke mata.
Astigmatisma merupakan kondisi yang umum diderita dan
sering terjadi bersamaan dengan miopia (rabun jauh) atau
hiperopia (rabun dekat). Penyebab astigmatisma seringkali tidak
diketahui. Astigmatisma biasanya ada sejak lahir. Tahap
astigmatisma yang kecil dianggap normal dan biasanya tidak
memerlukan koreksi apapun. Meskipun jarang, astigmatisma
mungkin juga disebabkan oleh seringnya menggosok mata dengan
keras (seperti pada anak yang mengidap alergi konjungtivitis) atau
penyakit kornea mata seperti keratokonus. Astigmatisma dapat
dikoreksi dengan lensa korektif seperti kacamata atau lensa kontak.
Alat bantu penglihatan ini dapat membantu memfokuskan cahaya
yang masuk ke retina mata. Cara lain untuk mengkoreksi
astigmatisma adalah operasi refraktif seperti LASIK, dan implan
lensa kontak (Singapore National Eye Centre, 2014) Astigmatisme
adalah kekuatan optik kornea di bidang yang berbeda tidak sama.
Sinar cahaya paralel yang melewati bidang yang berbeda ini jatuh
ke titik fokus yang berbeda (Bruce James, 2006).
Bayi yang baru lahir biasanya mempunyai kornea yang bulat
atau sferis yang di dalam perkembangannya terjadi keadaan yang
disebut sebagai astigmatisme with the rule (astigmat lazim) yang
berarti kelengkungan kornea pada bidang vertikal bertambah atau
lebih kuat atau jari-jarinya lebih pendek dibanding jari-jari
kelengkungan kornea di bidang horizontal. Pada keadaan astigmat
lazim ini diperlukan lensa silinder negatif dengan sumbu 180 derajat
untuk memperbaiki kelainan refraksi yang terjadi (Ilyas, 2013).
Pada usia pertengahan kornea menjadi lebih sferis kembali
sehingga astigmat menjadi againts the rule (astigmat tidak lazim).
a) Astigmat tidak lazim (astigmatisme againts the rule): Suatu
keadaan kelainan refraksi astigmat dimana koreksi dengan silinder
negatif dilakukan dengan sumbu tegak lurus (60-120 derajat) atau
dengan silinder positif sumbu horizontal (30-150 derajat). Keadaan
ini terjadi akibat kelengkungan kornea pada meridian horizontal
lebih kuat dibandingkan kelengkungan kornea vertikal. Hal ini
sering ditemukan pada usia lanjut.
b) Astigmat regular: Astigmat yang memperlihatkan kekuatan
pembiasan bertambah atau berkurang perlahan-lahan secara
teratur dari satu meridian ke meridian berikutnya. Bayangan yang
terjadi pada astigmat regular dengan bentuk yang teratur dapat
berbentuk garis, lonjong atau lingkaran.
c) Astigmat iregular: Astigmat yang terjadi tidak mempunyai 2
meridian saling tegak lurus. Astigmat iregular dapat terjadi akibat
kelengkungan kornea pada meridian yang sama berbeda sehingga
bayangan menjadi iregular. Astigmatisme iregular terjadi akibat
infeksi kornea, trauma dan distrofi atau akibat kelainan pembiasan
pada meridian lensa yang berbeda.

4.2.2 Pemeriksaan Tajam Penglihatan


A. Pemeriksaan Visus
Penglihatan dapat dibagi menjadi penglihatan sentral dan
perifer. Ketajaman penglihatan sentral diukur dengan
memperlihatkan objek dalam berbagai ukuran yang diletakkan pada
jarak standar dari mata. Misalnya, “kartu Snellen” yang sudah
dikenal, yang terdiri atas deretan huruf acak yang tersusun
mengecil untuk menguji penglihatan jauh. Setiap baris diberi angka
yang sesuai dengan suatu jarak (dalam kaki atau meter), yaitu jarak
yang memungkinkan semua huruf dalam baris itu terbaca oleh
mata normal. Misalnya, huruf-huruf pada baris “40” cukup besar
untuk dapat dibaca mata normal dari jarak 40 kaki.
Sesuai konvensi, ketajaman penglihatan dapat diukur pada
jarak jauh yaitu 20 kaki (6 meter), atau dekat yaitu 14 inci. Untuk
keperluan diagnostik, ketajaman penglihatan yang diukur pada
jarak jauh merupakan standar pembanding dan selalu diuji terpisah
pada masing-masing mata. Ketajaman penglihatan diberi skor
dengan dua angka (misalnya “20/40”). Angka pertama adalah jarak
uji (dalam kaki) antara “kartu” dan pasien, dan angka kedua adalah
jarak barisan huruf terkecil yang dapat dibaca oleh mata pasien.
Penglihatan 20/20 adalah normal; penglihatan 20/60 berarti huruf
yang cukup besar untuk dibaca dari jarak 60 kaki oleh mata-normal
baru bisa dibaca oleh mata pasien dari jarak 20 kaki.
Kartu yang berisi angka-angka dapat digunakan pada pasien
yang tidak terbiasa dengan abjad Inggris. Kartu “E- buta huruf”
dipakai untuk menguji anak-anak kecil atau pasien dengan
hambatan bahasa. Gambar “E” secara acak dirotasi dengan empat
orientasi yang berbeda. Untuk setiap sasaran, pasien diminta
menunjuk arah yang sesuai dengan arah ketiga “batang” gambar E.
Kebanyakan anak dapat diuji dengan cara ini sejak usia 3,5 tahun.
Ketajaman penglihatan yang belum dikoreksi diukur tanpa
kacamata atau lensa kontak. Ketajaman terkoreksi berarti
menggunakan alat-alat bantu tadi. Mengingat buruknya ketajaman
penglihatan yang belum dikoreksi dapat disebabkan oleh kelainan
refraksi semata, untuk menilai kesehatan mata secara lebih
relevan, digunakan ketajaman penglihatan yang terkoreksi
(Vanghan & Asbury, 2012).
B. Pemeriksaan Tajam Penglihat Dengan Hitung Jari
Bila pasien hanya dapat melihat atau menentukan jumlah jari
yang diperlihatkan pada jarak tiga meter, maka dinyatakan tajam
3/60. Dengan pengujian ini tajam penglihatan hanya dapat dinilai
dampai 1/60, yang berarti hanya dapat menghitung jari pada jarak 1
meter.
Dengan uji lambaian tangan, maka dapat dinyatakan tajam
penglihatan pasien yang lebih buruk daripada 1/60. Orang normal
dapat melihat gerakan atau lambaian tangan pada jarak 300 meter.
Bila mata hanya dapat melihat lambaian tangan pada jarak satu
meter berarti tajam penglihatannya adalah 1/300 (Ilyas, 2009).

C. Uji “Pinhole”
Jika pasien memerlukan kacamata atau jika kacamatanya
tidak tersedia, ketajaman penglihatan terkoreksi dapat diperkirakan
dengan uji penglihatan melalui pinhole. Penglihatan kabur akibat
refraksi (misalnya: miopia, hiperopia, astigmatisme) disebabkan
oleh banyaknya berkas sinar tak terfokus yang masuk ke pupil dan
mencapai retina. Ini mengakibatkan terbentuknya bayangan yang
tidak terfokus tajam.
Melihat kartu Snellen melalui sebuah plakat dengan banyak
lubang kecil mencegah sebagian besar berkas tak terfokus yang
memasuki mata. Hanya sejumlah kecil berkas sejajar-sentral yang
bisa mencapai retina sehingga dihasilkan bayangan yang lebih
tajam. Dengan demikian, pasien dapat membaca huruf pada satu
atau dua baris dari barisan huruf yang bisa terbaca saat memakai
kacamata koreksi yang sesuai (Vanghan & Asbury, 2012).

D. Pemeriksaan Dengan Sinar


Kadang-kadang mata hanya dapat mengenal adanya sinar
saja dan tidak dapat melihat lambaian tangan. Keadaan ini disebut
sebagai tajam penglihatan 1/~. Orang normal dapat melihat adanya
sinar pada jarak tidak berhingga. Bila penglihatan sama sekali tidak
mengenal adanya sinar maka dikatakan penglihatannya adalah 0
(nol) atau buta nol (Ilyas, 2009).

4.3 Usulan Strategi Kegiatan Pemecahan Masalah

Untuk masalah penemuan dan penanganan kasus refraksi dengan


determinan berupa tenaga kesehatan, metode, sarana, dan lingkungan.
Serta mempertimbangkan program terkait yang sudah berjalan di
Puskesmas Balongsari. Maka tujuan mini project ini adalah meningkatkan
cakupan jumlah Penemuan dan penanganan Kasus refraksi di wilayah
kerja Puskesmas Balongsari, dalam kurun waktu tertentu dengan dana
yang bersumber dari pemerintah daerah, swasta, serta organisasi sosial,
dan melakukan kerjasama lintas sektor RT , RW, Kader dan dengan
metode peningkatan pengetahuan kesadaran dan perilaku mengenai
penyakit dan kelainan pada mata melalui program “PEMANIS”
(Pemeriksaan Mata Gratis) .

Program ini terdiri dari memeriksa visus pada peserta posbindu,


Bekerjasama dengan para kader untuk menjaring dan mengantarkan
penderita yang mengeluhkan ganguan penglihatan ke puskesmas
balongsari sesuai jadwal yang ditentukan , mengoptimalisasikan
poskeskel.

Adapun beberapa alternatif pemecahan masalah berdasarkan


faktor determinan masalah, antara lain:

a. Faktor Manusia
Menganggap kelainan refraksi hal yang biasa dan tidak
memeriksakan diri saat ada keluhan. Pemecahan masalah yang
penulis sarankan ialah meningkatkan sosialisasi kepada
masyarakat di wilayah kerja puskesmas balongsari mengenai
penyakit-penyakit pada mata , gejala yang mungkin timbul , dan
menyadarkan masyarakat kalau tidak segera memeriksakan diri
kelainan yang timbul akan semakin parah. Hal ini bisa
disosialisasikan menggunakan media leaflet, banner, maupun
penyuluhan secara langsung.

b. Faktor Metode
Jumlah tenaga yang terlatih sedikit , sehingga apabila tenaga kerja
tersebut harus melakukan kegiatan lain, maka pelaksanaan
pemeriksaan akan tertunda. Pemecahan masalah yang penulis
sarankan ialah dengan melakukan pelatihan kepada petugas.

c. Faktor Sarana
Tidak ada yang mengantar pasien untuk berobat ke puskesmas.
Pemecahan masalah yang penulis sarankan ialah bekerjasama
dengan kader untuk mau mengantarkan pasien yang menderita
kelainan pada mata untuk memeriksakan diri ke puskesmas sesuai
jadwal.

d. Faktor Lingkungan
Banyaknya optik di wilayah kerja puskesmas sehingga pasien
kebanyakan langsung periksa ke optik. Pemecahan masalah yang
penulis sarankan ialah meningkatkan sosialisasi kepada
masyarakat di wilayah kerja puskesmas balongsari mengenai
pentingnya memeriksakan diri dulu ke puskesmas dan dokter mata
sebelum pergi ke optik.

.
4.4 Rencana Kegiatan, Monitoring, dan Evaluasi
Rencana kegiatan yang dilakukan merupakan suatu kesatuan
program yang disebut “PEMANIS” (Pemeriksaan Mata Gratis) Program
tersebut memiliki 3 kegiatan yang berbeda, namun memiliki tujuan akhir
yang sama yaitu meningkatkan cakupan jumlah Penemuan dan
penanganan Kasus refraksi di wilayah kerja Puskesmas Balongsari.
Kegiatan tersebut terdiri dari:
Tabel 4.1 Macam Kegiatan, Rancangan, Monitoring, dan Evaluasi

Sasaran Penanggung Sumber Cara Waktu


No. Kegiatan Periode Indikator Pencapaian
Kegiatan Jawab Dana Pengukuran Evaluasi

1. “ PEMANDU”

(Periksa Mata Di
Posbindu)
Semua yang
 Koordinasi dengan PJ Peserta PJ Indra menjadi peserta
Swadana posbindu Laporan Akhir
posbindu POSBINDU 1 tahun Puskesmas
dan BOK pemantauan Tahun
 peserta posbindu per RW Balongsari dilakukan
dilakukan pemeriksaan pemeriksaan
mata sesuai jadwal mata
posbindu

2. “Kader ANTARIKSA”

(Kader Antar Periksa


Mata)
Kader rutin
 Mengacu pada hasil Pasien di PJ Indra dan mengantar warganya
skrining di RW / wilayah kerja Kader Swadana yang mengalami Laporan Akhir
1 tahun
poskeskel Puskesmas Puskesmas dan BOK gangguan pada mata pemantauan tahun
 Mendata warganya Balongsari Balongsari periksa ke
yang menderita keluhan puskesmas.
pada mata yang perlu di
(bekerjasama
rujuk ke puskesmas
dengan RT RW
 Mengantar warganya
periksa ke puskesmas setempat)
setiap hari sabtu sesuai
jadwal

3. “MAMA KES’EL”

(Memeriksakan Mata
di Poskeskel)

 Setiap Pasien
yang berobat di
poskeskel Masyarakat PJ Indra
dilakukan di wilayah Pasien yang berobat ke Laporan Akhir
pemeriksaan
1 tahun Bidan - poskeskel rutin dilakukan
kerja pemantauan Tahun
mata poskeskel Kelurahan pemeriksaan mata
 Pemasangan
banner di
poskeskel
tentang penyakit
pada mata dan
pentingnya
deteksi dini
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan data dari Puskesmas Balongsari selama bulan Januari
hingga Desember 2017, masih terdapat beberapa masalah kesehatan di
wilayah kerja Puskesmas Balongsari. Masalah yang didapatkan melalui
data Puskesmas di antaranya adalah Penemuan dan Penanganan Kasus
refraksi.

Penulis memilih masalah Penemuan dan penanganan Kasus


refraksi yang belum memenuhi target. Selama bulan Januari hingga
Desember 2017 didapatkan cakupan Penemuan dan penanganan Kasus
refraksi adalah 1913 orang dengan target minimal adalah 4489 orang.

Usulan program solusi masalah jumlah Penemuan dan


penanganan Kasus refraksi yang belum memenuhi target adalah dengan
Pemanis (Periksa Mata Gratis). Kegiatan program ini terdiri dari
PEMANDU (Pemeriksaan Mata di Posbindu), Kader ANTARIKSA (Kader
Antar Periksa Mata) , MAMA KES’EL (Memeriksakan Mata di Poskeskel).
Usulan program ini diharapkan dapat diterapkan di wilayah Puskesmas
Balongsari dan dapat meningkatkan cakupan jumlah Penemuan dan
penanganan Kasus refraksi, serta menurunkan insiden dari penyakit
kelainan refraksi di masyarakat.

4.2. Saran
Program-program yang diusulkan untuk meningkatkan jumlah
Penemuan dan penanganan Kasus refraksi agar mencapai target tentunya
tidak lepas dari kelemahan dan kekurangan. Diharapkan melalui
monitoring dan evaluasi program didapatkan informasi mengenai
efektivitas program-program tersebut. Perbaikan-perbaikan metode
penyampaian program dapat membantu meningkatkan efektivitas
program. Hendaknya juga terdapat alokasi dana dan Plan of Action untuk
melancarkan program-program usulan tersebut. Kerjasama antara pihak
Puskesmas Balongsari dan masyarakat terutama diharapkan dapat terus
terjalin untuk mengembangkan program-program serupa.
DAFTAR PUSTAKA

American Optometric Association, (2006). Care of Patient with Myopia.


U.S.A: American Optometric Association.
Basch, C. E., (2011). Vision and the Achievement Gap Among Urban
Minority Youth. Journal of School Health, 81(10), p. 601.
Depkes RI, Perdami, 2010, Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan
Penglihatan & Kebutaan (PGPK) untuk mencapai Vision 2020,
hal 1-20.
Elkington,AR dan PT. Khaw. Petunjuk Penting Kelainan Mata. Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 1996
Hollwich, Fritz. 1993. Oftalmologi. Jakarta: Binarupa Aksara
Ilyas, Sidarta., 2009. Ilmu penyakit Mata. Edisi Ke-3. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI. 81-82.
James,Bruce., Chew, Chris., Brown, Anthony., 2003. Lecture Notes
Oftalmologi. Edisi kesembilan. Jakarta: Erlangga.hal 34-36.
Jenny, Benhard and Kelso, N. V. 2008. Designing maps for the colour-
vision impaired. Bulletin of the Society of Cartographers SoC, 41,
p. 9-12
Kemenkes RI. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2014. Jakarta :
Kemenkes RI; 2015.
Kemenkes RI. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
Indonesia tahun 2014. Jakarta : Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI; 2014.
Konsil Kedokteran Indonesia (Ed.). (2012). Perkonsil No.11 Tahun 2012 :
Standar Kompetensi Dokter Indonesia 2012. Jakarta: Konsil
Kedokteran Indonesia
Kleinstein RN, Jones LA, Hullet S, et al. August 2003.Refractive error and
ethnicity in children.Arch Ophthalmol; 121(8): 1141-7.
Perdami.(2014).KelainanRefraksi.Available:
http://perdami.or.id/new/?page_id=41 . Last accessed 20th April
2014.
Riset Kesehatan Dasar(Riskesdas). (2013). Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian RI tahun 2013.Diakses:
19 Oktober 2014, dari
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Ri
skesdas%202013.pdf.
Saerang. J.S.M, Mangindaan, I.A 1983 Refraksi Anomali pada Murid
Sekolah Kotamadya Manado, Kumpulan Makalah Kongres
Nasional V perdami, Yogyakarta.
Scheiman M, Gallaway M, Coulter R, et al. Prevalence of vision and ocular
disease conditions in aclinical pediatric population. J Am Optom
Assoc 1996; 67:193-202
Vaughan, D.G., Asbury, T., Eva, P.R., Oftalmologi Umum Edisi 14. Widya
Medika, Jakarta. 2012. hal 211-214
Vaughan D, Asbury T, Riordan-Eva P. Oftalmologi umum. Edisi 14.
Jakarta: Widya Medika.2000.
WHO. World Health Statistics 2012 : World Health Organization; 2012.

You might also like