You are on page 1of 114

TINJAUAN TEORITIS

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA SISTEM

PENCERNAAN

I. Anatomi Fisiologi system pencernaan

Susunan pencernaan terdiri dari :

A. Mulut

Bagian rongga mulut atau bagian dalam yaitu rongga mulut yang di batasi

sisinya oleh tulang maksilaris palatum dan mandibularis di sebelah belakang

bersambung dengan faring.

1
B. Esofagus

Panjang esofagus sekitar 25 cm dan menjalar melalui dada dekat

dengan kolumna vertebralis, di belakang trakea dan jantung. Esofagus

melengkung ke depan, menembus diafragma dan menghubungkan lambung.

Jalan masuk esofagus ke dalam lambung adalah kardia.

C. Gaster ( Lambung )

2
Merupakan bagian dari saluran yang dapat mengembang paling

banyak terutama didaerah epigaster. Lambung terdiri dari bagian atas fundus

uteri berhubungan dengan esofagus melalui orifisium pilorik, terletak

dibawah diafragma di depan pankreas dan limpa, menempel di sebelah kiri

fudus uteri. Lambung merupakan saluran yang dapat mengembang karena

adanya gerakan peristaltik terutama di daerah epigaster.Struktur lambung

dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu fundus yang berbentuk kubah

dan menonjol ke atas dan kiri dari ostium cardiacum, corpus yang

memanjang dari setinggi ostium sampai dengan setinggi incisura angularis,

antrum pyloricum yang memanjang dari incisura angularis ke pylorus dan

pylorus yang merupakan bagian lambung yang terhubung dengan

duodenum.Terdapat pula pembagian lambung yang lain, yakni terbagi atas

dua ostium, dua curvatura dan dua permukaan. Dua ostium tersebut adalah

ostium cardiacum yang berperan sebagai pintu keluar esofagus dalam

3
memasuki lambung dan ostium pyloricus yang berperan sebagai pintu

keluar lambung untuk memasuki duodenum. Dua curvatura pada lambung

terdiri dari curvatura minor yang membentuk batas kanan lambung dan

memanjang dari ostium cardiacum ke pylorus dan curvatura major yang

bentuknya mirip dengan curvatura minor tetapi jauh lebih panjang dan

memanjang pada sisi kiri ostium cardiacum, ke arah kubah fundus dan

sepanjang batas kiri lambung ke pylorus. Dua permukaan pada lambung

sendiri terdiri atas facies anterior dan facies posterior (Snell, 2014). Struktur

dan bagian – bagian dari lambung dapat dilihat pada gambar Secara

keseluruhan berdasarkan gambar diatas dapat disimpulkan bagian-bagian

lambung adalah sebagai berikut :

1. fundus ventrikuli : bagian yang menonjol ke atas, terletak di sebelah

kiri osteum kardiak, biasanya berisi gas. Pada batas dengan esofagus

terdapat katup sfingter kardiak

2. korpus ventrikuli : merupakan segitiga osteum kardia yaitu suatu

lekukan pada bagian bawah kurvatura minor, merupakan bagian utama

dari lambung.

3. Antrum pilorus, bagian lambung berbentuk tabung, mempunyai otot

yang tebal membentuk sfingter pilorus, merupakan muara bagian

distal, berlanjut ke duodenum.

4
4. Kurvatura minor : sebelah kanan lambung, terbentang dari osteum

kardai sampai ke pilorus. Kurvatura minor dihubungkan ke hepar oleh

omentum minor, lipatan ganda dari peritonium

5. Kurvatura mayor : terbentang dari sisi kiri ostium kardia melalui

fundus ventrikuli menuju ke kanan sampai ke pilorus inferior, lebih

panjang dari kurvatura minor, dihubungkan dengan kolon transversum

oleh omentum mayor lipatan ganda dari peritonium.

6. Ostium kardia : merupakan tempat esofagus bagian abdomen masuk ke

lambung. Pada bagian ini terdapat orifisium pilorus, tidak mempunyai

sfingter khusus hanya berbentuk cincin membuka dan menutup.

Dengan kontraksi dan relaksasi, osteum dapat tertutup oleh lipatan

membran mukosa dan serat otot pada dasar esofagus.

Fungsi Lambung

1. Fungsi penampung makanan yang masuk melalui esofagus,

mengahancurkan makanan dan menghaluskan makanan dan gerakan

peristaltik lambung dan getah lambung.

a. Mekanis : menyimpan, mencampur dengan sekret lambung, dan

mengeluarkan kimus ke dalam usus. Pendorongan kimus terjadi

secara peristaltik setiap 20 detik.

b. Kimiawi : bolus dalam lambung akan dicampur dengan asam

lambung dan enzim-enzim bergantung jenis makanan. Enzim yang

dihasilkan antara lain :

5
1) Pepsin : memecah putih telur menjadi asaam amino ( albumin

dan pepton) agar dapat diabsorbsi di intestinum minor.

2) HCL : mengasamkan makanan sebagai antiseptik dan

desinfektan yang masuk kedalam makanan. Di samping itu

mengubah pepsinogen menjadi pepsin dalam suasana asam .

3) Renin : sebagai ragi yang membekukan susu, membentuk

kasein dan kasinogen dari protein.

4) Lapisan lambung : memecah lemak menjadi asam lemak

untuk merangsang sekresi getah lambung.

2. Fungsi Bakterisid : oleh asam lambung

3. Membantu proses pembentukan eritrosit: lambung menghasilkan

zat faktor intrinsik bersama dengan faktor ekstrinsik dari makanan,

membentuk zat yang disebut zat antienemik yang berguna untuk

pembentukan eritrosit yang disimpan dalam hati.

D. Intestinum minor ( usus halus

6
Pergerakan usus halus ada 2, yaitu

1. Kontraksi pencampur (segmentasi)

Kontraksi ini dirangsang oleh peregangan usus halus yaitu desakan

kimus.

2. Kontraksi Pendorong

Kimus didorong melalui usus halus oleh gelombang peristaltik.

Aktifitas peristaltik usus halus sebagian disebabkan oleh masuknya

kimus ke dalam duodenum, tetapi juga oleh yang dinamakan

gastroenterik yang ditimbulkan oleh peregangan lambung terutama di

hancurkan melalui pleksus mientertus dari lambung turun sepanjang

dinding usus halus. Perbatasan usus halus dan kolon terdapat katup

ileosekalis yang berfungsi mencegah aliran feses ke dalam usus halus.

Usus halus terdiri dari :

1. Duodenum ( usus 12 jari )

Panjang + 25 cm, berbentuk sepatu kuda melengkung ke kiri. Pada

lengkungan ini terdapat pankreas. Dan bagian kanan duodenum ini

terdapat selaput lendir yang membuktikan di sebut papila vateri. Pada

papila veteri ini bermuara saluran empedu ( duktus koledukus ) dan

saluran pankreas ( duktus pankreatikus ).

2. Yeyenum dan ileum

Mempunyai panjang sekitar + 6 meter. Dua perlima bagian atas adalah

yeyunum dengan panjang ± 2-3 meter dan ileum dengan panjang ± 4 –

7
5 meter. Lekukan yeyenum dan ileum melekat pada dinding abdomen

posterior dengan perantaraan lipatan peritoneum yang berbentuk kipas

dikenal sebagai mesenterium. Akar mesenterium memungkinkan

keluar dan masuknya cabang cabang arteri dan vena mesentrika

superior, pembuluh limfe dan saraf ke ruang antara 2 lapisan

peritoneum yang membentuk mesenterium. Sambungan antara

yeyenum dan ileum tidak mempunyai batas yang tegas. Ujung bawah

ileum berhubungan dengan seikum dengan seikum dengan perataraan

lubang yang bernama orifisium ileoseikalis, orifisium ini di perkuat

dengan sfingter ileoseikalis dan pada bagian ini terdapat katup valvula

seikalis atau valvula baukini. Mukosa usus halus. Permukaan epitel

yang sangat luas melalui lipatan mukosa dan mikrovili memudahkan

pencernaan dan absorbsi. Lipatan ini dibentuk oleh mukosa dan

submukosa yang dapat memperbesar permukaan usus. Pada

penampangan melintang vili di lapisi oleh epiel dan kripta yang

menghasilkan bermacam-macam hormon jaringan dan enzim yang

memegang peranan aktif dalam pencernaan.

Usus halus terdiri atas beberapa lapisan:

a. Tunika Mukosa: banyak terdapat lipatan-lipatan membentuk

flika sirkulasi dan vili intestinal( jonjot-jonjot) yang selalu

bergerak karena pengaruh hormonjaringan vili kinnin.

8
b. Tunika Propia: bagian dalam dari tunika mukosa terdapat

jaringan limfoid noduli limpatisi dalam bentuk sendiri-sendiri

dan berkelompok.

c. Tunika submukosa : terdapat anyaman pembuluh darah dan saraf

merupakan anyaman saraf simpatis.

d. Tunika Muskularis : terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan otot

sirkuler dan otot longitudinal.

e. Tunika serosa ( adventisia) : meliputi seluruh jejunum dan ileum.

Fungsi usus halus :

a. menyekresi cairan usus: untuk menyempurnakan pengolahan zat

makanan di usus halus

b. menerima cairan empedu dan pankreas melalui duktus koledokus

dan duktus pankreatikus.

c. Mencerna makanan

d. Mengabsorbsi air, garam dan vitamin, protein dalam bentuk

asam amino, karbohidrat dalam bentuk monoksida.

e. Menggerakan kandungan usus

9
E. Intestinium Mayor ( Usus besar )

Panjang ± 1,5 meter lebarnya 5 – 6 cm. Lapisan–lapisan usus besar dari

dalam keluar : selaput lendir, lapisan otot melingkar, lapisan otot

memanjang, dan jaringan ikat. Usus besar terdiri dari :

1. Kolon asendens

Panjang 13 cm terletak di bawah abdomen sebelah kanan membujur ke

atas dari ileum ke bawah hati. Di bawah hati membengkak ke kiri,

lengkungan ini di sebut Fleksura hepatika, di lanjutkan sebagai kolon

transversum.

10
2. Kolon transversum

Panjang ± 38 cm, membunjur dari kolon asendens sampai ke kolon

desendens berada di bawah abdomen, sebelah kanan terdapat fleksura

hepatica dan sebelah kiri terdapat fleksura linealis.

3. Kolon desendens

Panjang ± 25 cm, terletak di bawah abdomen bagian kiri membunjur

dari atas ke bawah dari fleksura linealis sampai ke depan ileum kiri,

bersambung dengan kolon sigmoid.

4. Kolon sigmoid

Merupakan lanjutan dari kolon desendens terletak miring dalam rongga

pelvis sebelah kiri, bentuk menyerupai huruf S. Ujung bawahnya

berhubung dengan rectum. Fungsi kolon : Mengabsorsi air dan elektrolit

serta kimus dan menyimpan feses sampai dapat dikeluarkan. Pergerakan

kolon ada 2 macam :

a. Pergerakan pencampur (Haustrasi) yaitu kontraksi gabungan otot

polos dan longitudinal namun bagian luar usus besar yang tidak

terangsang menonjol keluar menjadi seperti kantong.

b. Pergarakan pendorong ”Mass Movement”, yaitu kontraksi usus

besar yang mendorong feses ke arah anus.

F. Rektum dan Anus

Terletak di bawah kolon sigmoid yang menghubungkan intestinum mayor

dengan anus, terletak dalam rongga pelvis di depan os sakrum dan os

11
koksigis. Anus adalah bagian dari saluran pencernaan yang menghubungkan

rectum dengan dunia luar ( udara luar ). Terletak di antara pelvis,

dindingnya di perkuat oleh 3 sfingter :

1. Sfingter Ani Internus

2. Sfingter Levator Ani

3. Sfingter Ani Eksternu.

G. Peritoneum (Rongga Abdomen)

Peritoneum ialah membran serosa rangkap yang terbesar di dalam tubuh.

Peritoneum terdiri atas dua bagian utama yaitu :

1. peritoneum parietal, yang melapisi dinding rongga abdominal dan

peritoneum.

12
2. viseral yang meliputi semua organ yang bcrada di dalam rongga itu.

Ruang yang bisa lerdapat di antara dua lapis ini disebut rongga peritoneum

atau cavum peritoneum. Normalnya terdapat 50 mL cairan bebas dalam

rongga peritoneum, yang memelihara permukaan peritoneum tetap licin.

Pada laki-laki peritoneum berupa kantong tertutup; pada perempuan

saluran telur (tuba Fallopi) membuka masuk ke dalam rongga peritoneum

(Pierce, 2006).

Dilihat secara embriologi peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis

yang tetap bersifat epitelial. Pada permulaannya, mesoderm merupakan

dinding dari sepasang rongga yaitu coelom. Di antara kedua rongga

terdapat entoderm yang merupakan dinding enteron. Enteron didaerah

abdomen menjadi usus. Kedua rongga mesoderm, dorsal dan ventral usus

saling mendekat, sehingga mesoderm tersebut kemudian menjadi

peritonium. (Mansjoer, 2000)

13
H. Hepar

1. Anatomi Hati

Hati atau hepar merupakan kelenjar aksesori yang terbesar dalam tubuh,

berwarna coklat dan beratnya 1000-1800 gram. Hati terletak di dalam

rongga perut sebelah kanan atas dibawah diafragma, sebagian besar

terletak pada regio hipokondria dan regio epigastrium. Pada orang

dewasa yang kurus, tepi bawah hati mungkin teraba satu jari dibawah

costa. Hati terbagi dalam dua lobus (bagian utama) dimana lobus kanan

14
(hepatic dextra lobe) berukuran lebih besar dari dari lobus kiri ( sinistra

lobe). Dari dua lobus tersebut, dibagi lagi ke dalam 4 lobus yaitu yaitu :

a. Lobus sinistra, terletak sebelah kiri dari bidang median

b. Lobus dekstra, di sebelah kanan dari bidang median

c. Lobus kaudatus, sebelah bawah bagian ekor.

d. Lobus kuadratus, terletak di belakang

Permukaan hati pada bagian atas berbentuk cembung dan terletak di

bawah diafragma; permukaan bagian bawah tidak rata dan

memperlihatkan lekukan (fisura transverses). Permukaannya dilintasi

oleh berbagai pembuluh darah yang masuk dan keluar hati. Fisura

longitudinal memisahkan bagian kanan dan kiri di permukaan bawah,

sedangkan ligamen faksiformis (falciform ligament) memisahkan

permukaan atas hati.

Setiap lobus terdiri atas lobulus. Lobules berbentuk polyhedral (segi

banyak) dan terdiri atas sel-sel hati berbentuk kubus yang disebut

hepatosit (hepatocytes) serta cabang-cabang pembuluh darah yang diikat

bersama oleh jaringan konektif hati. Peredaran darah hati ada dua

macam, yaitu yang memperdarahi hati (arteri hepatica-hepatic artery)

dan yang keluar dari hati (vena hepatica-hepatic vein).

Pada hati terdapat empat saluran, yaitu tiga pembuluh darah utama yang

memperdarahi seluruh hati (arteri hepatica, vena porta hepatica, dan

vena hepatica) serta saluran empedu. Arteri hepatica keluar dari aorta

15
dan memberikan seperlima darahnya kepada hati, darah ini mempunyai

kejenuhan oksigen 95-100 %.

Vena porta hepatica terbentuk dari vena lienalis dan vena mesentrika

superior (superior mesenteric vein) mengantarkan seperlima darahnya

ke hati; darah ini mempunyai kejenuhan oksigen 75 % sebab beberapa

oksigen telah diambil oleh limpa dan usus. Darah dalam vena porta

hepatica membawa nutrisi ke hati. Vena hepatica mengembalikan darah

dari hati ke vena kava inferior (inferior venae cava). Di dalam vena

hepatica terdapat katup. Saluran empedu terbentuk dari penyatuan

kapiler-kapiler empedu yang mengumpulkan empedu dari sel hati.

Saraf yang mempersarafi hati berasal dari parasimpatis yang melewati

pleksus seliak. Trunkus vagalis anterior (anterior vagal trunk)

mempercabangkan banyak cabang (ramus) hepatis yang berjalan

langsung ke hati.

2. Fisiologi hati

a. Fungsi metabolic : metabolisme asimilasi karbohidrat, lemak, protein,

dan vitamin serta produksi energy. Seluruh monosakarida akan diubah

menjadi glukosa dan pengaturan glukosa dalam darah ini terjadi di

hati. Pembentukan asam lemak dan lipid, pembentukan fosfolipid

terjadi di hati. Metabolism protein mengubah asam amino yang satu

menjadi yang lain, dan pembentukan albumin dan globulin juga terjadi

di hati.

16
b. Fungsi ekskretori : produksi empedu oleh sel hati (bilirubin, kolesterol,

garam empedu). Ke dalam empedu juga diskresikan zat yang berasal

dari luar tubuh seperti logam-logam berat atau bermacam zat warna.

c. Fungsi pertahanan tubuh : detoksikasi racun siap untuk dikeluarkan,

melakukan fagositosisterhadap benda asing, langsung membentuk

antibody. Bila hati rusak maka berbagai racun akan meracuni tubuh.

Bermacam-macam cara mendetoksikasikan racun, misalnya

pembentukan urea dari amoniak atau zat beracun dioksidasi/ direduksi/

dihidrolisis dengan zat-zat yang lain untuk mengurangi toksis dari

racun tersebut.

d. Pengaturan dalam peredaran darah: berperan membentuk darah dan

heparin di hati dan mengalirkan darah ke jantung. Dalam hati sel darah

merah akan rusak karena terdapat sel-sel system retikoloendotelium

(RES). Perusakan ini juga terdapat dalam limpa dan sumsum tulang.

e. Hati membentuk asam empedu terutama dari kolesterol yang

membentuk pigmen-pigmen empedu terutama dari hasil perusakan

hemoglobin.

f. Sintesis protein : mencakup protein-protein penting untuk pembekuan

darah serta mengangkut hormone tiroid, steroid, dan kolesterol.

g. Detoksifikasi / degradasi : zat-zat sisa dan hormone serta obat dan

senyawa asing lainnya.

17
I. Apendiks

Apendik (Umbai cacing) merupakan perluasan sekum yang rata-rata

panjangnya adalah 10 cm. Ujung apendiks dapat terletak di berbagai lokasi,

terutama di belakang sekum. Arteri apendiksialis mengalrkan darah ke

aapendiks dan merupakan cabang dari arteri iliokolika.

Secara fisiologis apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Secara

normal lendir tersebut dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir

ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan

pada patogenesis apendiksitis, imunoglobulin sekretoar yang di hasilkan

oleh Gut Associated Lymphid Tissue (GALT) yang terdapat di sepanjang

saluran cerna termasuk apendik oleh IgA. Munoglobuin itu sangat efektif

sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan

apendiks tidak mempengaruhi sistem imuntubuh karena jumlah jaringan

limfe di sini sedikit jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna

dan di seluruh tubuh.

Istilah usus buntu yang di kenal di masyarakat awam adalah kurang tepat

karena usus yng buntu sebenarnya adalah sekum. Organ yang tidak di

18
ketahui fungsinya ini sering menimbulkan masalah kesehatan. Peradangan

akut apendiks memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah

komplikasi yang umumnya berbahaya.

I Pankreas

19
Pankreas adalah organ pipih yang terletak dibelakang dan sedikit di bawah

lambung dalam abdomen. Organ ini memiliki 2 fungsi : fungsi endokrin dan

fungsi eksokrin (Sloane, 2003). Bagian eksokrin dari pankreas berfungsi

sebagai sel asinar pankreas, memproduksi cairan pankreas yang disekresi

melalui duktus pankreas ke dalam usus halus (Sloane, 2003) Pankreas terdiri

dari 2 jaringan utama yaitu :

1. Asini mensekresi getah pencernaan ke dalam duodenum

2. Pulau langerhans yang mengeluarkan sekretnya keluar. Tetapi,

mengekskresikan insulin dan glukagon langsung ke darah.

Pulau-pulau langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pankreas

tersebar di seluruh pankreas dengan berat hanya 1-3% dari berat total

pankreas. Pulau langerhans berbentuk opiod dengan besar masing-masing

pulau berbeda. Besar pulau langerhans yang terkecil adalah 50µ, sedangkan

yang terbesar 300µ, terbanyak adalah yang besarnya 100-225µ. Jumlah

semua pulau langerhans di pankreas diperkirakan antara 1-2 juta (Sloane,

20
2003) Sel endokrin dapat ditemukan dalam pulau-pulau langerhans, yaitu

kumpulan kecil sel yang tersebar di seluruh organ. Ada 4 jenis sel penghasil

hormon yang teridentifikasi dalam pulau-pulau tersebut :

1. Sel alfa : jumlah sekitar 20-40%, memproduksi glukagon yang menjadi

faktor hiperglikemik, suatu hormon yang mempunyai antiinsulin like

activity.

2. Sel beta : mengekskresikan insulin yang berfungsi untuk menurunkan

kadar gula darah

3. Sel delta : mengekskresi somastatin, hormon yang berfungsi

menghalangi hormon pertumbuhan untuk menghambat sekresi glukagon

dan insulin.

4. Sel F : mengekskresi polipeptida pankreas, sejenis hormon pencernaan

dimana fungsinya tidak jelas.

21
II. Konsep Dasar Medik dan Askep Gawat Darurat Sistem Pencernaan

A. Konsep Dasar Medik dan Asuhan Keperawatan Akut Abdomen

1. Pengertian akut abdomen

Akut abdomen adalah suatu keadaan dalam rongga abdomen

(intraabdomen) mengalami gangguan dan memerlukan tindakan segera.

Organ yang terdapat pada intra abdomen yaitu hepar, lien, gaster, usus

halus, dan sebagian besar usus besar (kolon), sedangkan organ yang

terdapat pada ekstra abdomen adalah pankreas, duodenum, sebagian kecil

kolon (terutama rektum) serta buli-buli (vesika urinaria) dan uterus.

2. Etiologi akut abdomen

a. Proses peradangan dalam abdomen: apendiksitis akut, peritonitis

primer, pankreatitis, , kholesistitis akut.

1) Apendiksitis

a) Pengertian

Apendisitis adalah penyebab utama inflamasi akut dikuadran

kanan bawah abdomen dan penyebab tersering pembedahan

abdomen darurat (Smeltezer, 2014).

b) Klasifikasi

 Apendisitis akut merupakan infeksi yang disebabkan oleh

bakteri. Dan factor pencetusnya disebabkan oleh sumbatan

lumen apendiks. Selainitu hyperplasia jaringan limfosit,

22
fikalit(tinja/batu), tumor apendiks, dan cacing askaris yang

dapat menyebabkan sumbatan dan juga erosi mukosa

apendiks karena parasite (E.Histolytica)

 Apendisitis rekurens yaitu jika ada riwayat nyeri berulang

di perut kanan bawah yang mendorong dilakukan

apendiktomi. Kelainan ini terjadi bila serangan apendiksitis

akut pertama kali spontan. Namun apendisitis tidak pernah

kembali kebentuk aslinya karena terjadi fibrosis dan

jaringan parut

 Appendisitis kronis memiliki semua gejala riwayat nyeri

perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik

apendik secara makroslopik dan mikroskopik (fibrosis

menyeluruh dinding apendiks, ada nya jaringan parut dan

ulkus dimukosa dan infiltasi sel inflamasi kronik), dan

keluhan menghilang setelah apendiktomi.

c) Etiologi

Menurut Irga (2007) dalam Jitowiyono (2010, h. 03)

Terjadinya apendisitis umumnya disebabkan oleh infeksi

bakteri. Namun banyak sekali faktor pencetus penyakit ini.

Diantaranya obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks.

Obstruksi pada lumen apendiks ini biasanya disebabkan karena

23
adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hiperplasia jaringan

limfoid, penyakit cacing, parasit, benda asing dalam tubuh,

cancer primer dan striktur. Namun yang paling sering

menyebabkan obstruksi lumen apendiks adalah fekalit dan

hiperplasia jaringan limfoid.

Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan apendisitis

yaitu erosi mukosa karena parasit seperti E. Histolitica, zat

kebiasaan makanan rendah serat dan pengaruh kontipasi

(Sjamsuhidajat, 2004, h. 866).

d) Patofisiologi

Apendiks terinflamasi dan mengalami edema sebagai akibat

terlipat atau tersumbat kemungkinan oleh fekolit (massa keras

dari faeces) atau benda asing. Proses inflamasi meningkatkan

tekanan intraluminal, menimbulkan nyeri abdomen atas atau

menyebar hebat secara progresif, dalam beberapa jam

terlokalisasi dalam kuadran kanan bawah dari abdomen.

Akhirnya apendiks yang terinflamasi berisi pus.

e) Manifestasi Klinis

 Rasa sakit pada abdominal mulai periumbilikal dan

berjalan kekanan bawah.

 Deman dan infeksi karena peradangan

24
 Mual, muntah, hilang nafsu makan

 Rasa sakit pada kuadran kanan bawah yang mereda dengan

melenturkan pinggul kanan yang memberi kesan perforasi

 Kekakuan abdomen (abdomen terasa lebih kaku ketika

palpasi)

 Rasa sakit yang mengganjal (menyakitkan ketika tekanan

pada abdomen dengan cepat dipindahkan ) terjadi dengan

radang peritoneal.

f) Test Diagnostik

 Hitung darah lengkap (JDL) untuk menunjukan jumlah

sel darah putih diatas 10.000/mm3 () atau 10.000-

20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil di atas 75%

(Muttaqin & Sari,2013)

 Analisis urine dilakukan untuk menguji kandungan yang

terdapat pada urine

 Pemeriksaan USG dilakukan untuk menilai inflamasi dari

apendiks (Muttaqin & Sari,2013)

 Ultrasonogram/ultasound abdomen untuk menunjukkan

proses inflamasi (Engram, 1999).

25
 Enema barium dapat memperlihatkan tanda khas

apendisitis, meliputi deformitas, spasme, dan perpindahan

kolon (Sodikin,2011).

 Pemeriksaan CT-scan (Computed Tomograpy Scan) pada

abdomen untuk mendeteksi apendisitis dan adanya

kemungkinan perforasi (Muttaqin & Sari, 2013).

g) Komplikasi

Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang

dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidens

perforasi adalah 10% sampai 32%. Insidens lebih tinggi pada

anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam

setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu

37,7 0C atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri atau

nyeri tekan abdomen yang kontinyu (Smeltzer C.Suzanne,

2002).

2) Peritonitis

a) Pengertian

Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum (lapisan serosa

yang menutupi rongga abdomen dan organ-organ abdomen di

dalamnya), suatu bentuk penyakit akut, dan merupakan kasus

bedah darurat. Dapat terjadi secara lokal maupun umum,

26
melalui proses infeksi akibat perforasi usus, misalnya pada

ruptur appendiks atau divertikulum kolon, maupun non infeksi,

misalnya akibat keluarnya asam lambung pada perforasi gaster,

keluarnya asam empedu pada perforasi kandung empedu

(Warsinggih, 2016).

b) Klasifikasi dan Etologi

 Menurut agens

1. Peritonitis kimia : disebabkan oleh cairan lambung,

cairan empedu, cairan pancreas, yang masuk ke rongga

abdomen akibat perforasi.

2. Peritonitis septik : peritonitis yang disebabkan kuman,

misalnya akibat perforasi usus kuman masuk sampai ke

peritoneum dan timbul peradangan.

 Menurut sumber kuman

1. Peritonitis primer : infeksi kumannya berasal dari

penyebaran secara hematogen yang paling sering

ditemukan akibat perforase atau nekrose.

2. Peritonitis sekunder : disebabkan oleh beberapa

penyebab utama seperti: invasi bakteri oleh adanya

kebocoran traktus gastrointestinal, iritasi peritoneum

akibat bocornya enzim pancreas karena pankreatitis.

27
3. Peritonitis tersier : Organisme penyebab biasanya

organisme yang hidup di kulit, yaitu coagulase negative

Staphylococcus, S.Aureus, gram negative bacili, dan

candida, mycobacteri dan fungus.

c) Patofisiologi

Peritonitis merupakan komplikasi akibat penyebaran infeksi

dari organ-organ abdomen, ruptur saluran cerna, atau luka

tembus abdomen. Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh

bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa, kantong-kantong

nanah (abses) terbentuk diantara perlekatan fibrinosa yang

membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila

infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sehingga

menimbulkan obstruksi usus. Dapat terjadi secara terlokalisasi,

difus, atau generalisata. Pada peritonitis local dapat terjadi

karena adanya daya tahan tubuh yang kuat serta mekanisme

pertahanan tubuh dengan melokalisir sumber peritonitis dengan

omentum dan usus. Pada peritonitis yang tidak terlokalisir

dapat terjadi peritonitis difus, kemudian menjadi peritonitis

generalisata dan terjadi perlengketan organ-organ intra

abdominal dan lapisan peritoneum viseral dan parietal.

Timbulnya perlengketan ini menyebabkan aktivitas peristaltik

berkurang sampai timbul ileus paralitik. Cairan dan elektrolit

28
hilang ke dalam usus mengakibatkan dehidrasi, syok,

gangguan sirkulasi dan oliguria. Pada keadaan lanjut dapat

terjadi sepsis, akibat bakteri masuk ke dalam pembuluh darah.

d) Manifestasi Klinis

Gejala klinis peritonitis yang terutama adalah nyeri abdomen.

Nyeri dapat dirasakan terus-menerus selama beberapa jam,

dapat hanya di satu tempat ataupun tersebar di seluruh

abdomen. Dan makin hebat nyerinya dirasakan saat penderita

bergerak.

Gejala lainnya meliputi:

Demam; Temperatur lebih dari 38 derajat Celcius, pada

kondisi sepsis berat dapat hipotermia, mual dan muntah,

adanya cairan dalam abdomen, yang dapat mendorong

diafragma mengakibatkan kesulitan bernafas. Dehidrasi dapat

terjadi akibat ketiga hal diatas, yang didahului dengan

hipovolemik intravaskular. Dalam keadaan lanjut dapat terjadi

hipotensi, penurunan output urin dan syok. Distensi abdomen

dengan penurunan bising usus sampai tidak terdengar bising

usus. Rigiditas abdomen atau sering disebut ’perut papan’,

terjadi akibat kontraksi otot dinding abdomen secara volunter

sebagai respon/antisipasi terhadap

29
penekanan pada dinding abdomen ataupun involunter sebagai

respon terhadap iritasi peritoneum. Nyeri tekan dan nyeri lepas

(+), takikardi, akibat pelepasan mediator inflamasi.

e) Pemeriksaan Diagnostik

Pada pemeriksaan laboratorium biasanya didapat:

lekositosis ( lebih dari 11.000 sel/L ) dan asidosis metabolik

dengan alkalosis respiratorik.

Pada foto polos abdomen didapatkan:

 Bayangan peritoneal fat kabur karena infiltrasi sel radang.

 Pada pemeriksaan rontgen tampak udara usus merata,

berbeda dengan gambaran ileus obstruksi.

 Penebalan dinding usus akibat edema

 Tampak gambaran udara bebas

 Adanya eksudasi cairan ke rongga peritoneum, sehingga

pasien perlu dikoreksi cairan, elektrolit, dan asam basanya

agar tidak terjadi syok hipovolemik.

Pemeriksaan penunjang lain yang bisa dilakukan adalah

dengan USG abdomen, CT-scan, dan MRI.

30
f) Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada peritonitis antara lain

adalah syok septik, abses, perlengketan intraperitoneal,

peritonitis berulang, dan abses intra abdominal.

3) Kolesistitis akut

a) Pengertian

Kolesistitis adalah radang kandung empedu yang

merupakan inflamasi akut dinding kandung empedu disertai

nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan panas badan, yang

sering disebabkan cholelithiasis atau batu empedu, di kandung

empedu, dan paling sering memblokir saluran cystic langsung.

(Juliantari, 2014).

Kolelitiasis adalah pembentukan batu empedu yang

biasanya terbentuk dalam kandung empedu dari unsur-unsur

padat yang membentuk cairan empedu (Brunner & Suddarth,

2001).

b) Etiologi

Batu di dalam kandung empedu. Sebagian besar batu tersusun

dari pigmen-pigmen empedu dan kolesterol, selain itu juga

tersusun oleh bilirubin, kalsium dan protein.

Macam-macam batu yang terbentuk antara lain:

31
1. Batu empedu kolesterol, terjadi karena : kenaikan sekresi

kolesterol dan penurunan produksi empedu. Faktor lain

yang berperan dalam pembentukan batu:

 Infeksi kandung empedu

 Usia yang bertambah

 Obesitas.

2. Batu pigmen empedu , ada dua macam :

a. Batu pigmen hitam : terbentuk di dalam kandung

empedu dan disertai hemolisis kronik/sirosis hati tanpa

infeksi

b. Batu pigmen coklat : bentuk lebih besar , berlapis-

lapis, ditemukan disepanjang saluran empedu, disertai

bendungan dan infeksi.

3. Batu saluran empedu

Sering dihubungkan dengan divertikula duodenum di

daerah vateri. Ada dugaan bahwa kelainan anatomi atau

pengisian divertikula oleh makanan akan menyebabkan

obstruksi intermiten duktus koledokus dan bendungan ini

memudahkan timbulnya infeksi dan pembentukan batu.

32
c) Patofisiologi

Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu

dan jarang pada saluran empedu lainnya. Faktor predisposisi

yang penting adalah :

1. Perubahan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan

susunan empedu

2. Statis empedu

3. Infeksi kandung empedu

Perubahan susunan empedu mungkin merupakan faktor yang

paling penting pada pembentukan batu empedu. Kolesterol

yang berlebihan akan mengendap dalam kandung empedu.

Stasis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan

supersaturasi progresif, perubahan susunan kimia dan

pengendapan unsur tersebut. Gangguan kontraksi kandung

empedu dapat menyebabkan stasis. Faktor hormonal

khususnya selama kehamilan dapat dikaitkan dengan

perlambatan pengosongan kandung empedu dan merupakan

insiden yang tinggi pada kelompok ini.

Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat memegang

peranan sebagian pada pembentukan batu dengan

meningkatkan deskuamasi seluler dan pembentukan mukus.

Mukus meningkatkan viskositas dan unsur seluler sebagai

33
pusat presipitasi. Infeksi lebih sering sebagai akibat

pembentukan batu empedu dibanding infeksi yang

menyebabkan pembentukan batu.

d) Manifestasi Klinis

1. Nyeri sedang sampai berat di epigastrium yang kemudian

terlokalisasi di perut kuadran kanan atas, nyeri dapat

menjalarke bahu kanan atau tulang belikat.

2. Demam, suhu cenderung naik diatas 38⁰C dan dapat

disertai dengan menggigil.

3. Mual, muntah, diaphoresis, jaundice.

e) Pemeriksaan Fisik

 Palpasi :

Teraba massa ( kandung empedu di kuadran kanan atas ).

 Murphy sign : palpasi didaerah subcostal kanan saat

pasiennafas dalam, respon dikatakan positif ketika pasien

mengatakannyeri saat dilakukan palpasi dan menimbulkan

henti inspirasi.

f) Pemeriksaan Diagnostik

 USG : mendeteksi adanya batu kandung empedu, adanya

cairandan penebalan dinding kandung empedu.

34
 Cholescintigraphy, berguna bila kolesistitis akut yang sulit

untuk didiagnosis. Untuk tes ini, suatu zat radioaktif

(radionuklida) disuntikkan intravena. Sebuah kamera

gamma mendeteksi radio aktivitas yang dilepaskan, dan

komputer digunakan untuk menghasilkan gambar.

 CT-Scan : digunakan untuk mendeteksi dilatasi duktus,

abses, perforasi kandung empedu dan komplikasi lain dari

penyakit kandung empedu

 Darah lengkap : untuk menilai adanya infeksi atau

kehilangan darah.

 Tes bilirubin ( serum dan urine ) dan urobilinogen ( urine

dan faeces ) : biasanya bilirubin meningkat pada plasma

dan urine.

4) Pankreatitis

a) Pengertian

Pankreatitis adalah inflamasi akut yang mengenai pancreas dan

jaringan disekitarnya, organ yang jauh atau keduanya (Morton,

et al, 2011).

b) Etiologi

 Penyakit saluran empedu : batu empedu atau

mikrolitiasis, obstruksi umum saluran empedu.

35
 Penyalahgunaan alkohol.

 Trauma abdomen

 Idiopatik

 Hiperkalsemia.

c) Patofisiologi

Sel-sel asinus pankreas mensintesis dan menskresi enzim

pencernaan untuk membantu mengurai karbohidrat, lemak, dan

protein. Pada kondisi normal, enzim masuk kedalam

duodenum. Pankreatitis akut terjadi ketika enzim pankreas

telah aktif sebelum waktunya didalam pankreas. Aktivitas dini

ini menyebabkan autodigesti pankreas dan jaringan

peripankreas. Mekanisme pasti bagaimana enzim I teraktivitas

dan bagaimana terjadinya otodigesti tidak diketahui dengan

jelas, tetapi aktivitas tripsinogen menjadi tripsin sebagai bentuk

aktifnya terlihat meningkatkan aktivitas enzim lain seperti

elastase, kinase, fosfolipase A. elastase dapat menyebabkan

pemutusan serabut elastis didalam pembuluh darah. Kinin yang

teraktivitas menyebabkan vasodilatasi sistemik dan

meningkatkan permeabilitas vaskuler, yang menyebabkan

edema. Fosfolipase A menyebabkan nekrosis pankreas dan

jaringan lemak sekitarnya. Enzim pankreas, zat vasoaktif, dan

36
hormone yang dilepaskan dari pankreas yang cedera

menyebabkan rangkaian proses yang dapat menyebabkan efek

sistemik dan komplikasi multiple.

d) Manifestasi Klinis

 nyeri abdomen.

 Demam

 Spasme otot atau distensi abdomen

 Ileus paralitik

 Tanda turner Grey

e) Pemeriksaan Diagnostik

 Adanya peningkatan amylase serum dan urine

 Peningkatan lipase serum

 Peningkatan hitung sel darah putih

 Hypokalemia

 Hipokalsemia

 Peningkatan bilirubin

 Hiperglikemia

 Hipoksemia.

f) Komplikasi

 Peradangan peritoneum

 Abses pankreatik

37
 Perdarahan gastrointestinal

 Translokasi bakteri.

g) Penatalaksanaan Bedah

Reseksi pankreas karena pankreatitis akut nekrotisan dapat

dilakukan untuk mencegah komplikasi sistemik proses

penyakit. pada prosedur ini, jaringan pankreas yang mati atau

terinfeksi diangkat dengan pembedahan. pada beberapa kasus,

seluruh pankreas diangkat. Antibiotik spectrum luas diberikan

kepada pasien yang membutuhkan pembedahan untuk

pembersihan jaringan nekrotik. Pembedahan juga dilakukan

jika batu empedu diduga menjadi penyebab pankeratitis akut.

Kolesistektomi atau ERCP dan sfingterektomi endoskopik

dilakukan.

h) Pedoman Perawatan Kolaboratif dan penatalaksanaan pada

pankreatitis.

Hasil Intervensi

1. Oksigenasi/Ventilasi

a. Gas darah arteri dipertahankan  Bantu pasien mengubah posisi,

dalam batas normal bernapas dalam, batukk dan

b. Paru pasien bersih menggunakan spirometer

c. Pasien tidak menunjukkan intensif setiap 4 jam dan

38
tanda-tanda atelectasis, lakukan fisioterapi dada.

pneumonia, atau sindrom  Kaji apakah ada hipoventilasi,

gawat napas akut (ARDS). napas cepat dan dangkal,

distress pernapasan.

 Pantau oksimetri, nadi, CO2,

tidal akhir dan gas darah arteri.

 berikan analgesic jika

pembebatan menurunkan

efektivitas ventilasi

 Berikan okssigen tambahan

sesuai kebutuhan

 Auskultasi bunyi napas setiap

2-4 jam dan PRN

 Lakukan penghisapan hanya

jika terdengar ronkhi basah atau

terlihat adanya sekresi di slang

endotrakea.

2. Sirkulasi/ Perfusi  pantau TTV setiap 1-2 jam

a. Tanda-tanda vital dalam batas sekali

normal  Pantau tekanan arteri

b. laktat serum dalam batas normal pulmonalis dan tekanan

39
c. pasien tidak mengalami antrium kanan setiap 1 jam

perdarahan yang berhubungan  Pertahankan kepatenan akses

dengan hemoragi intravena

gastrointestinal akut,  berikan volume intravascular

koagulapati dan KID sesuai indikasi kemungkinan

hypovolemia actual

 pantau laktat per hari hingga

kadar dalam batas normal

 berikan sel darah merah, agens

inotropic, infus koloid

 pantau PT,PTT, DPL setiap

hari atau PRN

 kaji apakah ada tanda-tanda

perdarahan atau tanda Truner

Grey

 berikan produk darah sesuai

indikasi

3. Cairan/ Elektrolit  pertahankan kepatenan akses

a. pasien euvolemik IV

b. tidak ada tanda-tanda  pantau BB setiap hari

keseimbangan elektrolit atau  pantau asupan dan haluran

40
disfungsi ginjal  ukur lingkar abdomen setiap 8

jam

 pantau elektrolit harian dan

PRN

 kaji apakah ada tanda-tanda

penurunan kesadaran

 pantau BUN, kreatinin,

osmolalitas serum dan

elektrolit urine stiap hari

4. Mobilitas/Keamanan  berikan profilaksis untuk

a. tidak ada tanda-tanda thrombosis vena profunda

komplikasi akibat tirah baring  ubah posisi secara regular

lama.  anjurkan untuk bergerak ke

b. pasien mencapaii atau kursi jika fase akut telah

mempertahankan kemampuan berlalu

melakukan aktivitas sendiri  konsultasi kepada ahli terapi

c. tidak ada tanda-tanda infeksi, fisik

SDP dalam batas normal  lakukan latihan rentang gerak

5. Integritas Kulit
 kaji kulit setiap 8 jam dan
a. Integrasi kulit akan tetap utuh
setiap kali pasien diubah

41
posisinya

 ganti posisi setiap 2 jam

 pertimbangkan pengguanaan

matras untuk mengurangi/

meredakan tekanan.

6. Nutrisi  berikan makanan parenteral

a. asupan kalor dan zat gizi  pertahankan pasien tetap puasa

memenuhi kebutuhan  konsultasi pada ahli diet

metabolism per penghitungan  batasi konsumsi lemak

b. tanda-tanda disfungsi metabolic  berikan makanan porsi kecil


minimal tapi sering

 pantau albumin, pra albumin,

transferrin, kolestrol,

trigliserdia, dan glukosa.

7. Kenyamanan/pengendalian nyeri  Kaji nyeri dan

a. Pasien akan mengalami ketidaknyamanan dengan

nyeri minimal, < 5 pada menggunakan skala nyeri

skala nyeri. objektif setiap 4 jam PRN dan

b. Pasien akan mmengalami setelah pemberian obat pereda

42
mual minimal nyeri.

 Berikan analgesik dan pantau

respon pasien.

 Gunakan teknik

penatalaksanaan nyeri

nonfarmakologis misalnya

(musik, distraksi, sentuhan)

sebagai tambahan analgesik.

 Pertahankan kepatenan slang

nasogastristik

 Pantau mual dan muntah

 Berikan obat antimetik sesuai

instruksi.

8. Psikososial  Dengarkan ketakutan dan

Pasien memperlihatkan penurunan kehawatiran pasien.

ansietas.  Kaji respon pasien terhadap

ansietas.

 Dukung perilaku koping

efektif.

 Ajarkan alternative perilaku

untuk perilaku yang tidak

43
membantu.

 Bantu pasien meningkatkan

rasa kendali dengan cara

memberikan informasi dan

penjelasan.

 Berikan pilihan jika

memungkinkan.

 Berikan rutinitas yang dapat

diduga sebisa mungkin.

9. Penyuluhan/rencana pulang  Siapkan pasien/orang terdekat

Pasien/orang terdekat lain untuk berbagi prosedur seperti

memahami prosedur dan parasentesis, pemasangan

pemeriksaan yang diperlukan untuk kateter arteri pulomnalis, atau

pengobatan. pemeriksaan laboratorium.

 Jelaskan efek penyebaran

pankreatitis dan kemungkinan

komplikasi seperti sepsis atau

ARDS.

 Dorong orang terdekat untuk

bertanya tentang patofisiologi,

pemantauan, terapi, dan lain-

44
lain.

 Anjurkan pasien dan keluarga

mengikuti program

perencanaan pulang seperti

perawatan luka, pengobatan,

pembatasan diet.

b. Obstruksi trakus gastrointestinals:

Obstruksi usus dan Ileus

1) Pengertian

a) Obstruksi usus yaitu gangguan pada pengeluaran isi usus

melalui lumen yang dapat terjadi pada usus besar maupun

usus halus.

b) Ileus adalah kegagalan pengeluaran isi usus pada saat tidak

ada onstruksi mekanik.

2) Klasifikasi

Obstruksi usus dapat terjadi pada usus besar dan usus halus. Usus

halus lebih sering mengalami obstruksi. Penyebab obstruksi

mekanis bervariasi dan dapat digolongkan menjadi ekstrinsik,

instrinsik, dan intraluminal. Lesi ekstrinsik terjadi di luar usus

sontohnya perlekatan, hernia, volvulus, dan massa. Lesi instrinsik

45
lebih meluas hingga dinding usus contohnya diverticulitis,

neoplasma, dan enteritis radiasi.

a) Obstruksi usus halus

 Etiologi

Perlekatan adalah penyebab obstruksi usus halus yang

paling umum pada orang dewasa terjadi pada sekitar 66%

sampai 75% obstruksi. Hernia adalah penyebab paling

umum kedua obstruksi usus halus dan terjadi pada sekitar

25% kasus.

 Patofisiologi

Pada onstruksi usus halus, sejumlah besar cairan dan udara

yang tertelan menumpuk di dalam lumen usus di area

proksimal obstruksi, menyebabkan distensu. Saat obstruksi

berlanjut, dinding dan lumen usus menjadi edema dan

meregang. Peningkatan intraluminal menyebabkan

peningkatan permeabilitas kapiler dan gerakan cairan dan

elektrolit di dalam rongga abdomen. Ekstravasasi cairan

dan elektrolit ke dalam rongga peritoneum ditambah cairan

yang hilang melalui muntah menyebabkan hipovolemia,

hypokalemia, dan hiponatremia. Peristaltic menurun dan

fungsi normal usus menurun atau berhenti. Saat tidak ada

46
motilitas usus yang normalterjadi pertumbuhan bakteri

yang berlebihan, jika asupan oral berlanjut, fermentasi

bakteri dapat menyebabkan akumulasi gas. Dalam waktu

beberapa jam terjadinya obstruksi akut, isi lumen dibagian

proksimal obstruksi menimbulkan bau yang tidak sedap

dan mengandung fekal karena pertumbuhan bakteri

berlebihan.

 Gambaran klinis

1. Pasien yang mengalami obstruksi usus halus biasanya

mengeluhkan awitan nyeri kram abdomen yang

intermiten.

2. Pada obstruksi usus halus proksimal sering terjadi

muntah dan lebih awal pada saat obstruksi.

3. Obstruksi usus halus distal sering kali muncul disertai

distensi abdomen sedang dan nyeri berkala atau

menetap.

4. Dapat terjadi demam akibat proses inflamasi atau

sebagai respon terhadap iskemia usus atau perforasi.

5. Konstipasi

47
 Pengkajian

1) Riwayat : pengkajian riwayat yang cermat memberi

petunjuk ke arah etiologi. Riwayat medis yang lalu

tentang pembedahan abdomen atau trauma sebelumnya

meningkatkan risiko perlekatan.

2) Pemeriksaan fisik : inspeksi abdomen seringkali

menunjukkan peristaltic dan distensi nyata.

3) Pemeriksaan laboratorium : leukosit, kadar BUN,

kreatinin, natrium, dan osmolalitas menggambarkan

perpindahan cariran dan elektrolit yang terjadi saat

cairan bocor ke usus dan elektrolit yang terjadi saat

colon bocor ke usus

4) CT scan atau kolonoskopi telah dilakukan untuk

menyingkirkan kemungkinan obstruksi kolon.

 Penatalaksanaan

1) Makanan dan cairan peroral tidak diberikan

2) Dipasang selang nasogastric untuk dekompresi

lambung atau duodenum.

3) Pemenuhan kebutuhan cairan dengan diberikan cairan

ringer laktat atau larutan salin lewat intravena.

48
4) Pemasangan kateter foley untuk mengkaji penggantian

cairan secara kontinu.

5) Jika dalam waktu 24 sampai 48 jam tidak menunjukkan

perbaikan maka diindikasikan untuk dilakukan

pembedahan.

6) Pemberikan antibiotic diberikan ketika dicurugai

terjadi sepsis atau srangulasi.

b) Ostruksi kolon

 Etiologi

Karsinoma, diverticulitis sigmoid, dan volvulus adalah tiga

penyebab obstruksi kolon yang paling sering dan terjadi

pada 90% kasus.

 Patofisiologis

Ketika katup ileosekal kompeten, dapat terjadi obstruksi

lengkung tertutup karena sekum tidak menekan cairan dan

gas usus halus. Seiring penumpukan cairan dan gas,

tekanan intraluminal meningkat dan dinding kolon menjadi

iskemik jika tekanan ini melebihi tekanan kapiler. Ketika

sekresi berpindah ke kolon maka terjadi sehidrasi. Pasien

yang menderita obstruksi kolon mengalami perubahan

ppada flora usus dan translokasi bakteri di nodus lomfe

49
mesenterika. Hal ini merupakan penyebab tersering

komplikasi sepsis pada obstruksi kolon. Pada beberapa

kasus, sekum menjadisangat terdistensi sehingga

menghambat aliran darah intramural, yang dapat

menyebabkan nekrosis dan gangrene.

c) Ileus

Ileus sering disebut paralisis atau ileus adinamik adalah

kegagalan isi usus untuk melintas saat tidak terjadi obstruksi

mekanis.

 Etiologi

Ileus pascaoperasi (penghambat sementara motilitas

gastrointestinal yang biasanya berlangsung selama 3 – 5

hari setelah pembedahan) sering terjadi. Penyebab lainnya

abnormalitas metabolic (gangguan elektrolit, uremia,

keracunan logam berat), obat – obatan (narkotika,

katekolamin, hormon adenokortikotropik, antikolinergik)

dan inflamasi local atau sistemik. Ileus juga dapat terjadi

setelah cedera medulla spinalis. Racun yang menyebar

melalui darah, ketidakseimbangan asam basa gangguan

elektrolit, penurunan suplay oksigen.

50
 Patofisiologi

Ileus pascaoperasi berbagai mekanisme dapat menjadi

penyebabnya diantaranya reflex saraf simpatik, mediator

peradangan local dan sistemik, dan perubahan transmitter

neural dan hormonal. Efek ansietas yang disertai inflamasi

atau iskemia pada daerah operasi juga dapat menyebabkan

ileus pascaoperasi karena narkotik oploid menurunkan

motilitas dorongan pada usus. Pada ileus, peristaltic

berhenti dan terjadi distensi usus seiring dengan

penumpukan cairan dan elektrolit.

 Gambaran klinis

1) Mual muntah yang biasanyanya mengandung isi

lambung dan empedu

2) Nyeri yang biasanya dirasakan lebih ringan

dibandingkan onstruksi usus halus atau kolon

3) Konstipasi

4) Anoreksia

 Pengkajian

1) Riwayat : penyakit tiroid atau paratiroid, pajanan logam

berat, diabetes mellitus, dan scleroderma harus

didapatkan untuk mengidentifikasi penyebab utama.

51
2) Pemeriksaan fisik : terlihat mencolok pada ileus.

Auskultasi abdomen biasanya menunjukkan tidak

adanya atau jarangnya bising usus. Perkusi abdomen

biasanya terdengar resinan karena udara pada lengkung

usus yang melebar.

 Penatalaksanaan

1) Pasien dipuasakan

2) Penggantian cairan dan elektrolit di pandu oleh status

klinis dan nilai laboratorium.

3) Intervensi terapi untuk dekompresi kolon meliputi

kolonoskopi, sekostomi terbuka atau perkutan dan

kolostomi dekompresi.

d) Fatty Liver

 Pengertian

Perlemakan hati adalah penumpukan lemak yang berlebihan

dalam sel hati. Batasan penumpukan lemak adalah jika jumlah

lemak melebihi 5% dari total berat hatinormal atau jika lebih

dari 30% sel hati dalam lobulus hati terdapat penumpukan

lemak.Perlemakan hati bervariasi mulai dari perlemakan hati

saja (steatosis) dan perlemakan hati dengan inflamasi

(steatohepatitis) (Patel dan Tushar 2001).

52
 Etiologi

Perlemakan hati secara garis besar dibagi 2, yaitu penyakit

perlemakan hati alkoholik dan penyakit perlemakan hati non

alkoholik. Penyakit hati alkoholik berkembang karena

kelebihan minum alkohol. Di sisi lain, perlemakan hati non

alkohol dihubungkan dengan kelebihan berat badan atau

kegemukan yang disebabkan karena terlalu sering makan

makanan berlemak tinggi dan berkalori tinggi.

Faktor resiko atau penyebab yang dapat menimbulkan fatty

liver yaitu :

1) Obesitas

2) Diabetes

3) Konsumsi alkohol berelebihan

4) Efek samping dari obat-obatan kimia, seperti

kortikosteroid, tetrasiklin, asam valproat, metotreksat,

karbon tetraklorid, fosfor kuning.

5) Terlalu banyak mengkonsumsi makanan yang mengandung

lemak jenuh, seperti: makanan yang menggunakan banyak

santan, makanan pedas, gorengan dan makanan atau

minuman yang banyak menggunakan bahan pengawet

makanan.

53
 Manifestasi Klinis

Gejala fatty liver jarang menimbulkan keluhan, karena

penimbunan lemak yang terjadi secara perlahan. Namun bila

kondisi ini terjadi terus menerus dan berlanjut dapat

menyebabkan gejala sebagai berikut:

1) Perut terasa penuh

2) Terkadang daerah ulu hati terasa keras

3) Tidak nyaman atau nyeri tumpul pada daerah perut

kanan atas

4) Lesu, mudah lelah dan lemas

5) Kadang kembung, mual dan muntah.

 Komplikasi

1) Hepatitis alkoholik

2) Liver fibrosis

3) Sirosis hepatis

 Penatalaksanaan

Tidak ada pengobatan khusus atau pembedahan untuk

mengatasi perlemakan hati. Tujuan dari pengobatan adalah

menghilangkan penyebabnya atau mengobati penyakit

yang mendasarinya. Bila hati secara berulang mendapat

pemaparan dari bahan-bahan racun seperti alkohol, pada

54
akhirnya fatty liver akan berkembang menjadi sirosis.

Sejumlah langkah ini bisa dicoba guna mencegah

terjadinya kerusakan hari yaitu:

1) Turunkan berat badan secara aman. Ini berarti berat

badan tidak turun lebih dari 0,5-1 kg per minggu,

dengan mengatur asupan kalori dan lemak.

2) Turunkan kadar trigliserida melalui diet (hindari

kuning telur ayam dan telur puyuh) dan minum obat

antilipid dengan resep dokter (golongan fibrat :

genfibrozil)

3) Hindari alkohol

4) Olah raga secara teratur yang membakar banyak kalori.

5) Lakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin.

Penatalaksanaan medik untuk fatty liver berdasarkan

analisis jurnal dari the American Association for the Study

of Liver Desease and the American Gerontology

association (2012) adalah sebagai berikut :

1) penurunan berat badan paling sedikit 10 % untuk

memperbaiki necroinflamasi.

2) pemberian vitamin E (a-tocopherol) 800 IU per/hari

untuk memperbaiki jaringan hati pada pasien dewasa

yang telah terbukti terdiagnosa fatty liver desease

55
dengan dilakukan biopsy sehingga terapi ini dapat

menjadi terapi lini pertama.

3) omega 3 dapat dipertimbangkan untuk diberikan pada

pasien non alcoholic fatty liver desease dengan

hipertrigliseridemia.

4) metformin tidak direkomendasikan sebagai terapi

spesifik untuk penyakit dewasa non alcoholic

steatoheaptitis (peradangan karena fatty liver).

5) pioglitazone dapat digunakan sebagai terapi

steatohepatitis pada pasien dengan NASH yang telah

terbukti dengan biopsy akan tetapi data keamanan dan

efikasi jangka panjang belum diketahui.

6) obat genfibrozil yaitu obat golongan antilipid.

e) Kolik Abdomen

 Pengertian

Nyeri kolik abdomen merupakan nyeri yang dapat

terlokalisasi dan dirasakan seperti perasaan tajam.

Mekanisme terjadinya nyeri ini adalah karena sumbatan

baik parsial ataupun total dari organ tubuh berongga atau

organ yang terlibat tersebut dipengaruhi peristaltik.

Beberapa yang menjadi penyebab kolik abdomen adalah

56
kolik bilier, kolik renal dan kolik karena sumbatan usus

halus (Gilroy, 2009).

 Klasifikasi

1. Kolik biliar

a. Pengertian

Kolik bilier merupakan gejala tidak nyaman

yang dirasakan pasien dan sering tidak disertai

tanda-tanda klinis lain. Nyeri ini merupakan

gejala klinis dari penyakit batu empedu

(kolelitiasis/koledokolitiasis). (Gilroy, 2009).

b. anamnesis

Kolik bilier biasanya datang tiba-tiba dan

mencapai intensitas maksimum dalam waktu

60 menit di dua pertiga dari pasien. Rasa sakit

biasanya berlanjut tanpa fluktuasi dan

menghilang secara bertahap selama 2-6 jam.

Nyeri berlangsung lebih lama dari 6 jam harus

dicurigai sebagai kolesistitis akut (Gilroy,

2009).

57
c. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan awal seringkali mengungkapkan

individu yang berkeringat, pucat, dan rasa tidak

nyaman. Muntah bisa menyertai rasa sakit.

Pemeriksaan dapat mengungkapkan beberapa

fitur fisik yang terkait dengan pembentukan

batu empedu (misalnya, kelebihan berat badan,

setengah baya, perempuan). Pasien dengan

kolik empedu tanpa komplikasi tidak

mengalami demam, menggigil, hipotensi, atau

tanda-tanda lain dari suatu proses sistemik

yang signifikan. Sinus takikardi adalah umum

selama sakit. Nyeri pantul, tahanan, suara usus

tidak ada, atau teraba massa mendukung

diagnosis alternatif lain (Gilroy, 2009).

2. Kolik obstruksi usus

a. Etiologi

Sebuah obstruksi usus kecil (SBO)

disebabkan oleh berbagai proses patologis.

Penyebab utama SBO di negara maju adalah

perlekatan pasca operasi (60%) diikuti oleh

keganasan, penyakit Crohn's, dan hernia, walaupun

58
beberapa studi telah melaporkan penyakit Crohn

sebagai faktor etiologi lebih besar dari neoplasia.

Satu studi dari Kanada melaporkan frekuensi yang

lebih tinggi dari SBO setelah operasi kolorektal,

diikuti oleh pembedahan ginekologi, perbaikan

hernia, dan usus buntu (Nobie, 2009).

SBO dapat sebagian atau lengkap, sederhana

(yaitu, nonstrangulasi) atau strangulasi. Obstruksi

strangulasi adalah darurat bedah. Jika tidak

didiagnosis dan diobati tepat, menyebabkan

iskemia usus dan morbiditas lebih lanjut dan

kematian (Nobie, 2009).

b. Pemeriksaan Fisik

Beberapa hal yang ditemukan dari pemeriksaan

fisik meliputi (Nobie, 2009):

1) Distensi abdomen

2) Suara usus Hiperaktif terjadi di awal sebagai

upaya GI untuk mengatasi obstruksi.

3) Suara usus yang menurun terjadi belakangan.

4) Mengeksklusikan hernia inkarserata dari

selangkangan, segitiga femoralis, dan foramen

obturatorius.

59
5) Temuan pada pemeriksaan rectal touge:

a) Darah yang tampak ataupun samar, yang

menunjukkan strangulasi lanjutan atau

keganasan

b) Massa, yang menunjukkan hernia

obturatorius

c) Periksa gejala umum diyakini akan lebih

diagnostik untuk iskemia usus, yaitu:

 Demam (suhu> 100 ° F)

 Takikardia (> 100 detak / menit)

 Tanda-tanda peritoneal

3. Survey primer dan resusitasi pada klien akut abdomen:

a. Airway (jalan nafas)

Airway diatasi terlebih dahulu, selalu ingat bahwa cedera bisa

lebih dari satu area tubuh,dan apapun yang ditemukan, harus

memprioritaskan airway dan breathing terlebih dahulu. Airway dan

breathing terlebih dahulu. Airway harus dijaga dengan baik pada

klien. Jaw thrust atau chin lift dapat dilakukan atau dapat juga

dipakai naso-phari-ngeal airway pada klien yang masih sadar. Bila

klien tidak sadar dan tidak adagag reflek dapat dipakai guedel.

Kontrol jalan nafas pada klien dengan airway terganggu Karena

60
faktor mekanik, atau ada gangguan ventilasi akibat gangguan

kesadaran, dicapai dengan intubasi endotracheal, baik oral maupun

nasal. Prosedur ini harus dilakukan dengan kontrol servical.

Surgical airway. (crico-thyroidotomy) dapat dilakukan bila intubasi

endotracheal tidak mungkin karena kontr indikasi atau karena

masalah teknis.

b. Breathing (pernafasan)

Kaji ventilasi apakah adekuat dan berikan oksigen. Aspirasi

lambung dengan selang nasogastric. Prosedur ini membantu

mendeteksi luka lambung, mengurangi kontaminasi terhadap

rongga peritoneum dan mencegah komplikasi paru karena aspirasi.

c. Circulation

Kebanyakan pada trauma abdomen tidak dapat dilakukan

tindakan apa-apa pada pra RS, namun, terhadap syok yang

menyertai perlu penanganan yang segera. Seharusnya monitoring

urine dilakukan dengan pemasangan DC setelah klien berada di RS.

Kaji tanda dan gejala hemoragi. Hemoragi sering menyertai cedera

abdomen, khususnya jika hati dan limpa mengalami trauma.

Kontrol perdarahan dan pertahankan volume darah sampai

pembedahan dilakukan.

d. Disability (neurologi)

61
Klien dengan akut abdomen yang mengalami gangguan kesadaran

terjadi pada klien trauma abdomen yang disertai pada klien trauma

abdomen yang disertai trauma kapitis. Selalu priksa tingkat

kesadaran dengan GCS dan adanya lateralisasi (pupil anisokor dan

motoric yang lebih lemah satu sisi.

4. Penatalaksaan Kedaruratan Pada Akut Abdomen.

a. Apendiksitis

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita Apendisitis

meliputi penanggulangan konservatif dan operasi.

1) Penanggulangan konservatif

Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita

yang tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa

pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik berguna untuk

mencegah infeksi. Pada penderita Apendisitis perforasi,

sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit,

serta pemberian antibiotik sistemik

2) Operatif

Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan Apendisitis

maka tindakan yang dilakukan adalah operasi membuang

appendiks (appendektomi). Penundaan appendektomi dengan

pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi.

62
Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan

nanah).

3) Pencegahan Tersier

Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah

terjadinya komplikasi yang lebih berat seperti komplikasi intra-

abdomen. Komplikasi utama adalah infeksi luka dan abses

intraperitonium. Bila diperkirakan terjadi perforasi maka

abdomen dicuci dengan garam fisiologis atau antibiotik. Pasca

appendektomi diperlukan perawatan intensif dan pemberian

antibiotik dengan lama terapi disesuaikan dengan besar infeksi

intra-abdomen.

b. Kholesititis akut

1) Istirahat baring dalam posisi fowler

2) Beri cairan parenteral bil muntah banyak

3) Observasi tanda-tanda vital

4) Observasi pembesaran kantong empedu

5) Pemberian antibiotic dan spasmolitik

 Sanford guide merekomendasikan piperacillin/tazobactam

(Zosyn, 3,375 gram IV/6 jam atau 4,5 gram IV/8 jam),

ampicilin/sulbactam (Unasyn, 3 gram IV/6 jam), atau

meropenem (Merrem, 1 gram IV/8 jam). Pada kasus berat

63
yang mengancam jiwa, Sanford guide merekomendasikan

Imipenem/cilastatin ( primaxin, 500 mg IV/6 jam).

 Regimen alternatif meliputi sefalosporin generasi ketiga

plus metronidazole (Flagyl, 1 gram IV bolus diikuti 500 mg

IV/6 jam).

 Bila terdapat emesis dapat diberikan antiemesis dan suction

nasogastrik.

 Obat-obatan suportif dapat diberikan seperti pengatur

kestabilan hemodinamik, antibiotik untuk mengtasi bakteri

gram negatif usus dan bakteri anaerobik, terutama bila

curiga adanya infeksi saluran empedu.

6) Lakukan persiapan operasi kholesistektomi, jika terdapat

batu/perporasi.

c. Pankreatitis akut

1) Anjurkan istirahat baring

2) Penghisapan isi lambung secara intermiten

3) Atasi syok dan dehidrasi

4) Pemberian antibiotic dan antikolinergik

5) Lakukan persiapan operasi pada kedaan umum memburuk

disertai obstruksi bilier.

64
Penatalaksanaan pasien pankreatitis akut bersifat simtomatik dan

ditujukan untuk mencegah atau mengatasi komplikasi. Semua

asupan peroral harus dihentikan untuk menghambat stimulasi dan

sekresi pancreas. Pelaksanaan TPN (total parenteral nutrition) pada

pankreatitis akut biasanya menjadi bagian terapi yang penting,

khusus pada pasien dengan keadaan umum yang buruk, sebagai

akibat dari stress metabolic yang menyertai pankreatitis akut.

1) Penanganan Nyeri ; Pemberian obat pereda nyeri yang adekuat

merupakan tindakan yang esensial dalam perjalanan panyakit

pankreastitis akut karena mengurangi rasa nyeri dan

kegilisahan yang dapat menstimulasi sekresi pankreas.

2) Perawatan Intensif ; Koreksi terhadap , kehilangan cairan serta

darah dan kadar albumin yang rendah diperlakukan untuk

nenperhatikan lika untuj, serta mencegah gagal ginjal akut.

3) Perawatan Respiratorius. ; perawatan yang agresif dipelukan

karena resiko untuk terjadinya elevasi diafragma, infiltrasi

serta efusi dalam paru, dan etelektasis cenderung tinggi.

4) Drainase Bilier ; pemasangan drain bilier (untuk drainase

eksternal) dan stent(selang indwelling) dalam duktus

pankreatikus melalui endoskopi telah dilakukan dengan

keberhasilan yang terbatas.

65
5) Intervensi Bedah ; meskipun pasien yang berada dalam

keadaan sakit berat mempunyai risiko bedah yang buruk,

namun pembedahan dapat dilakukan untuk membantu

menegakkan diagnosa pankreatitis, untuk membentuk kembali

drainase pancreas atau untuk melakukan reseksi atau

pengangkatan jaringan pancreas yang netrotik.

6) Penatalaksanaan Pasca akut ; antacid dapat diberikan ketika

gejala akut pankreatitis mulai menghilang. Pemberian makanan

per oral yang rendahlemak dan protein dimulai secara bertahap.

d. Penatalaksanaan obstruksi usus

1) Konservatif

a) Penderita dipuasakan.

b) Dekompresi dengan nasogastric tube yang panjang dari

proksimal usus ke area penyumbatan; selang dapat

dimasukkan dengan lebih efektif dengan pasien berbaring

miring ke kanan.

c) Koreksi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit :

 Terapi Na+, K+, komponen darah

 Ringer laktat untuk mengoreksi kekurangan cairan

interstisial

66
 Dekstrosa dan air untuk memperbaiki kekurangan

cairan intraseluler

d) Dipasang kateter urin untuk menghitung balance cairan.

e) Lavement jika ileus obstruksi, dan kontraindikasi ileus

paralitik.

f) Hiperalimentasi untuk mengoreksi defisiensi protein

karena obstruksi kronik, ileus paralitik atau infeksi.Reseksi

usus dengan anastomosis dari ujung ke ujung.

g) Ostomi barrel-ganda jika anastomosis dari ujung ke ujung

terlalu beresiko.

2) Medications

a) Antibiotics broad-spectrum untuk bacterial anaerobe dan

aerobe. Analgesic apabila nyeri. (Medlinux.com).

3) Surgery

Bila telah diputuskan untuk tindakan operasi, ada 3 hal yang

perlu di perhatikan :

a) Berapa lama obstruksinya sudah berlangsung.

b) Bagaimana keadaan atau fungsi organ vital lainnya, baik

sebagai akibat obstruksinya maupun kondisi sebelum sakit.

c) Apakah ada risiko strangulasi.

67
4) Indikasi intervensi bedah

a) Obstruksi usus dengan prioritas tinggi adalah strangulasi,

volvulus, dan jenis obstruksi kolon.

b) Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi

nasogastrik untuk mencegah sepsis sekunder atau rupture

usus.

c) Operasi diawali dengan laparotomi kemudian disusul

dengan teknik bedah yang disesuaikan dengan hasil

eksplorasi melalui laparotomi.

e Penatalaksanaan Kolik abdomen

1) Kolik biliar

Pengobatan yang diberikan tergantung dari gejala yang

dirasakan oleh pasien. Jika nyeri sangat hebat dapat diberikan

pereda nyeri golongan narkotik yaitu Meperidine (pethidine)

dengan dosis 1-1,5 mg/kg IM setiap 3 jam. Jika muntah dapat

diberikan metoklopramid. Tidak ada satupun intervensi operasi

yang dapat menjamin karena kolik bilier yang tidak komplikasi

dapat mereda dengan pengobatan konservatif (Gilroy, 2009).

2) Kolik akibat obstruksi usus

Tatalaksana awal di ruang gawat darurat meliputi resusitasi

cairan secara agresif, dekompresi usus halus, pemberian

analgetik dan antiemetic dengan indikasi klinis, antibiotik dan

68
konsultasi operasi yang dini. Dekompresi dilakukan dengan cara

memasang selang NGT untuk dilakukan suction terhadap isis GI

dan untuk mencegah aspirasi. Tidak lupa juga untuk selalu

memonitor jalan napas, pernapasan dan sirkulasi (Nobie, 2009).

Survei Sekunder Pada Klien Akut Abdomen

a. Kaji adanya nyeri abdomen.

Perhatikan sifat, progersivitas dan lokasi nyeri. Bila nyeri hilang

timbul tiba-tiba,, sedangkan sebelumnya klien tenang disebabkan

perdarahan. Bila timbulnya cepat, kemudian memberat secara

menetap perikiraan pankreatitis akut, starngulasi usus (penjepitan

usus).

b. Kaji adanya anoreksia, nausea dan vomitus

c. Kaji adanya diare: diare biasa menyertai apdeniksitis.

d. Kaji adanya konstipasi dan keluhan tak dapat flatus biasanya pada

obstruksi usus.

e. Kaji adanya demam, pada klien peradangan intra abdomen.

f. Pada klien trauma abdomen yang mengalami perdarahan klien

tampak anemis, pada perdarahan hebat akan timbul gejala dan

tanda dari syok hemoragik. Gejala adanya darah intraabdomen,

klien nyeri abdomen yang bervariasi dari ringan sampai nyeri

hebat.

69
g. Pada trauma abdomen, dapatkan riwayat mekanisme cedera:

kekuatan tusukan atau tembakan; kekuatan tumpul (pukulan).

5. Diagnosa Keperawatan Pada Klien Akut Abdomen.

a. Gangguan rasa nyaman; nyeri abdomen berhubungan dengan

proses infeksi.

b. defisit volume cairan berhubungan dengan hilangnya cairan dalam

peritoneum; dehidrasi karena mual dan muntah; defek pada

koagulasi.

c. ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d

metabolism yang terganggu; mual dan muntah

d. ketidakefektifan pola napas b/d dyspnea dari asites.

6. Intervensi Keperawatan Pada Klien Akut Abdomen.

a. Gangguan rasa nyaman; nyeri abdomen berhubungan dengan

proses infeksi.

Tujuan / kriteria hasil :

NOC :

Pain control dan Pain level

 klien melaporkan nyeri berkurang

 Klien dapat mengenal lamanya / onset nyeri

 Klien dapat menggunakan teknik non farmakologis

 Klien menggunakan analgesic sesuai instruksi.

70
1) Kaji lokasi nyeri dan progresivitas nyeri.

R/ : mengetahui tingkat nyeri membantu penentuan intervensi

lanjutan.

2) Catat nyeri tekan, nyeri lepas, gerakkan melindungi, kekakuan dan

spasme.

R/ : membantu mengetahui tingkat ketidaknyamanan klien

terhadap nyeri dan penentuan intervensi lanjutan.

3) Observasi tanda-tanda vital, ukur luas infiltrate, fluktasi dan resiko

perluasan peritonitis.

R/ : perluasan infiltrate dan peradangan meningkatkan rasa nyeri

pada klien.

4) Lakukan pemeriksaan laju endap darah (LED) dan lekosit.

R/ : membantu penilaian terhadap perluasan infeksi dan

peradangan.

5) Kolaborasi dalam pemberian terapi analgetik, spasmolitik,

antikolinergik dan antibiotik.

R/ : analgetik dan antibiotic membantu dalam mengurangi nyeri

dan infeksi / peradangan.

b. Defisit volume cairan berhubungan dengan hilangnya cairan dalam

peritoneum; dehidrasi karena mual dan muntah; defek pada koagulasi.

Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ….x diharapkan cairan

dan elektrolit klien seimbang dengan kriteria hasil :

71
Label NOC : Fluid Balance

 Turgor kulit elastic

 Intake dan output cairan seimbang

 Membrane mucus lembab

 vital sign dalam batas normal.

 tidak adanya perdarahan.

NIC

fluid monitoring

1. pantau status hemodinamik

R/ : sebagai penilaian status volume cairan.

2. berikan cairan parenteral atau produk pengganti darah jika perlu.

R/ : menjaga keseimbangan curah jantung dan kapasitas oksigen.

3. pantau adanya tanda-tanda perdarahan, penilaian HB, HT.

R/ : membantu penilaian terhadap perdarahan retroperitoneal dan

rongga abdomen.

c. ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d

metabolisme yang terganggu; mual dan muntah.

tujuan / kriteria hasil :

NOC

nutritional status :

 intake nutrisi terpenuhi

72
 penurunan frekuensi mual muntah.

 asupan makanan dan cairan tercukupi.

NIC :

Nutrition Management

1. Kaji status nutrisi pasien

R/ : Pengkajian penting dilakukan untuk mengetahui status nutrisi

pasien sehingga dapat menentukan intervensi yang diberikan.

2. Kaji frekuensi mual, durasi, tingkat keparahan, faktor frekuensi,

presipitasi yang menyebabkan mual.

R/ : Membantu memilih alternatif pemenuhan nutrisi yang adekuat.

3. menilai status gizi melalui pemeriksaan klinis dan analisis

laboratorium.

4. R/ : membantu menetapkan pengkajian awal dan penentuan

intervensi lanjutan.

5. Anjurkan pasien untuk makan selagi hangat

R/ : makanan yang hangat dapat mengurangi mual muntah.

6. kolaborasi dengan ahli gizi terkait nutrisi yang tepat bagi klien.

R/ : nutrisi yang tepat bagi klien dapat menunjang nutrisi yang

adekuat.

7. Berikan asupan gizi yang adekuat

73
R/ : asupan gizi yang adekuat membantu keseimbangan nutrisi bagi

tubuh.

8. Kolaborasi dalam pemberian terapi antiemetik.

R/ : antiemetik bekerja mengurangi mual dan muntah.

d. ketidakefektifan pola napas b/d dyspnea dari asites

tujuan / kriteria hasil :

NOC

Respiratory Status: Airway patency

 Frekuensi, irama, kedalaman pernapasan dalam batas normal

 Tidak menggunakan otot-otot bantu pernapasan

 TTV dalam batas normal (RR : 18- 24 x/ menit)

NIC

Airway Management

osisikan pasien semi fowler

1. Auskultasi suara nafas, catat hasil penurunan daerah ventilasi atau

tidak adanya suara adventif.

R/ : posisi semifoler dapat memaksimalkan potensial ventilasi.

2. Auskultasi suara nafas, catat hasil penurunan daerah ventilasi atau

tidak adanya suara adventif.

R/ : penilaian terhadap kepatenan jalan napas.

3. Monitor pernapasan dan status oksigen yang sesuai.

74
R/ : penilaian terhadap respirasi dan keadekuatan oksigen.

oxygen terapy

4. Kolaborasi dalam pemberian oksigen terapi.

R/ : Meningkatkan ventilasi dan asupan oksigen.

5. Monitor aliran oksigen

R/ : penilaian ketercukupan aliran oksigen sesuai kebutuhan

pasien.

Respiratory Monitoring

6. Monitor kecepatan, ritme, kedalaman dan usaha pasien saat

bernafas.

R/ : penilaian terhadap keadekuatan pernapasan guna penentuan

intervensi lanjutan.

7. Catat pergerakan dada, simetris atau tidak, menggunakan otot

bantu pernafasan.

R/ : penilaian terhadap adanya obstruksi di salah satu bronkus atau

adanya gangguan pada ventilasi.

7. Evaluasi Keperawatan

a. Rasa nyaman klien terpenuhi

b. Nutrisi, cairan dan elektrolit adekuat.

c. pola napas efektif

75
B. Asuhan keperawatan pada pasien dengan trauma abdomen

1. Pengertian

Trauma adalah cedera fisik dan psikis, kekerasan yang mengakibatkan cedera

(Sjamsuhidayat, 1997). Trauma pada abdomen dapat dibagi menjadi dua jenis

yaitu trauma penetrasi dan trauma non penetrasi.

a. Trauma penetrasi

1) Trauma tembak

2) Trauma tumpul

b. Trauma non penetrasi

1) Kompresi

2) Hancur akibat kecelakaan

3) Sabuk pengaman

4) Cedera akselerasi

Trauma pada dinding abdomen terdiri kontusio dan laserasi.

a. Kontusio dinding abdomen disebabkan trauma non penetrasi.

Kontusio dinding abdomen tidak terdapat cedera intra abdomen,

kemungkinan terjadi eksimosis atau penimbunan darah dalam jaringan

lunak dan masa darah dapat menyerupai tumor.

b. Laserasi

Jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus rongga

abdomen harus dieksplorasi atau terjadi karena trauma penetrasi.

76
Trauma abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen

yang dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan

metabolism, kelainan imunologi dan gangguan faal berbagai organ.

Trauma abdomen pada isi abdomen terdiri dari :

a. Perforasi organ visceral intraperitonium

Cedera pada isi abdomen mungkin disertai oleh bukti adanya cedera

pada dinding abdomen.

b. Luka tusuk (trauma penetrasi) pada abdomen. Luka tusuk pada

abdomen dapat menguji kemampuan diagnostic ahli bedah.

c. Cedera thorak abdomen setiap luka pada thoraks yang mungkin

menembus sayap kiri diafragma, atau sayap kanan dan hati harus

dieksplorasi.

2. Etiologi

a. Penyebab trauma penetrasi

1) Luka akibat terkena tembakan

2) Luka akibat tikaman benda tajam

3) Luka akibat tusukan

b. Penyebab trauma non penetrasi

1) Terkena kompresi atau tekanan dari luar tubuh

2) Hancur (tertabrak mobil)

3) Terjepit sabuk pengaman karna terlalu menekan perut

4) Cidera akselerasi/deserasi karena kecelakaan olahraga

77
3. Patofisiologi

Jika terjadi penetrasi atau non penetrasi kemungkinan terjadi pendarahan intra

abdomen yang serius, pasien akan memperlihatkan tanda-tanda iritasi yang

disertai penurunan hitung sel darah merah yang akhirnya gambaran klasik

syok hemoragik. Bila suatu organ visceral mengalami perforasi, maka tanda-

tanda perforasi, tanda-tanda iritasi peritoneum cepat tampak. Tanda –tanda

dalam trauma abdomen tersebut meliputi nyeri tekan, nyeri spontan, nyeri

lepas dan distensi abdomen tanpa bising usus bila telah terjadi peritonitis

umum. Bila syok telah lanjut pasien akan mengalami takikardi dan

peningkatan suhu tubuh, juga terdapat leukositosis. Biasanya tanda-tanda

peritonitis mungkin belum tampak. Pada fase awal perforasi kecil hanya

tanda-tanda tidak khas yang muncul. Bila terdapat kecurigaan bahwa masuk

rongga abdomen, maka operasi harus dilakukan.

4. Manifestasi

Klinis kasus trauma abdomen ini bisa menimbulkan manifestasi klinis

meliputi nyeri tekan diatas daerah abdomen, distensi abdomen, demam,

anorexia, mual dan muntah, takikardi, peningkatan suhu tubuh,nyeri spontan.

Pada trauma non penetrasi (tumpul) pada trauma non penetrasi biasanya

terdapat adanya jejas atau rupture dibagian dalam abdomen: terjadi

perdarahan intra abdominal. Apabila trauma terkena usus, mortilisasi usus

terganggu sehingga fungsi usus tidak normal dan biasanya akan

78
mengakibatkan peritonitis dengan gejala mual, muntah, dan BAB hitam

(melena).

Kemungkinan bukti klinis tidak tampak sampai beberapa jam setelah trauma.

Cedera serius dapat terjadi walaupun tidak terlihat tanda kontusio pada

dinding abdomen. Pada trauma penetrasi biasanya terdapat luka robekan pada

abdomen, luka rusuk sampai menembus abdomen, biasanya organ yang

terkena penetrasi bisa perdarahan/memperparah keadaan keluar dari dalam

abdomen.

5. Penanganan awal

Pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah yang mengancam

nyawa, harus mengkaji dengan cepat apa yang terjadi di lokasi kejadian.

Paramedic mungkin harus melihat apabila sudah ditemukan luka tikaman,

luka trauma benda lainnya, maka harus segera ditangani, penilaian awal

dilakukan prosedur ABC jika ada indikasi, jika korban tidak berespon, maka

segera buka dan bersihkan jalan napas.

a. Airway dengan control tulang belakang

Membuka jalan napas menggunakan teknik head tilt chin lift atau

menengadahkan kepala dan mengangkat dagu, periksa adakah benda asing

yang dapat mengakibatkan tertutupnya jalan napas. Muntahan makanan,

darah atau benda asing lainnya.

b. Breathing, dengan ventilasi yang adekuat

79
Memeriksa pernapasan dengan menggunakan cara “lihat-dengar-rasakan”

tidak lebih dari 10 detik untuk memastikan apakah ada napas atau tidak,

selanjutnya lakukan pemeriksaan status respirasi korban (kecepatan, ritme

dan adekuattidaknya pernapasan).

c. Circulation dengan control perdarahan hebat

Jika pernapasan korban tersengal-sengal dan tidak adekuat, maka bantuan

napas dapat dilakukan. Jika tidak ada tanda-tanda sirkulasi, lakukan

resusitasi jantung patu segera. Rasio kompresi dada dan bantuan napas

dalam RJP adalah 30 : 2 untuk pasien dewasa dan 15:2 untuk pasien

anak-anak (15 kali kompresi dada dan bantuan napas 2 kali).

d. Penanganan awal trauma non penetrasi (trauma tumpul)

1) Stop makanan dan minuman

2) Imobilisasi

3) Kirim ke rumah sakit

4) Diagnostic peritoneal lavage (DPL)

Dilakukan pada trauma abdomen perdarahan intra abdomen, tujuan

dari DPL adalah untuk mengetahui lokasi perdarahan intra abdomen.

Indikasi untuk melakukan DPL, antara lain :

a) Nyeri abdomen yang tidak bisa diterangkan sebabnya

b) Trauma pada bagian bawah dari dada

c) Hipotensi hematocrit turun tanpa alasan yang jelas

80
d) Pasien cidera abdominal dengan gangguan kesadaran (obat,

alcohol, cedera otak)

e) Pasien cedera abdomininalis dan cedera medulla spinalis

(sumsum tulang belakang)

f) Patah tulang pelvis

Pemeriksaan DPL dilakukan melalui anus, jika terdapat darah segar

dalam BAB atau sekitar anus berarti trauma non penetrasi (trauma

tumpul) mengenai kolon atau usus besar, dan apabila darah hitam

tedapat pada BAB atau sekitar anus berarti trauma non penetrasi

(trauma tumpul) usus halus atau lambung. Apabila telah diketahui

hasil diagnostic peritoneal lavage (DPL) seperti adanya darahpada

rectum atau pada saat BAB. Perdarahan dinyatakan posistif bila sel

darah merah lebih dari 100.000 sel/mm dari 500 sel/mm, empedu atau

amylase dalam jumlah yang cukup juga merupakan indikasi untuk

cedera abdomen. Tindakan selanjutnya akan dilakukan prosedur

laparatomi.

Kontra indikasi dilakukan DPL antara lain :

a) Hamil

b) Pernah operasi abdominal

c) Operator tidak berpengalaman

d) Bila hasilnya tidak akan merubah penatalaksanaan

81
e. Penanganan awal trauma penetrasi (trauma tajam)

1) Bila terjadi luka tusuk, maka tusukan (pisau atau benda tajam

lainnya) tidak boleh dicabut kecuali dengan adanya tim medis.

2) Penanganannya bila terjadi luka tusuk cukup dengan melilitkan

dengan kain kassa pada daerah antara pisau atau memfiksasi pisau

sehingga tidak memperparah luka.

3) Bila ada usus atau organ lain yang keluar, maka organ tersebut tidak

dianjurkan dimasukkan kembali ke dalam tubuh, kemudian organ

yang keluar dari dalam tersebut dibalut kain bersih atau bila ada

verban steril.

4) Imonilisasi pasien

5) Tidak dianjurkan memberika makan dan minum

6) Apabila ada luka terbuka lainnya maka balut luka dengan menekan.

Kirim ke rumah sakit.

f. Penanganan di rumah sakit

1) Trauma penetrasi

Bila dugaan bahwa luka tembus dinding abdomen, seorang ahli

bedah yang berpengalaman akan memeriksa lukanya secara local

untuk menentukan dalamnya luka.

Pemeriksaan ini sangat berguna bila ada luka masuk dan luka keluar

yang berdekatan.

a) Skrinning pemeriksaan rongten

82
Foto rongten torak tegak berguna untuk menyingkirkan

kemungkinan hemo atau pneumotoraks atau untuk menemukan

adanya udara intraperitonium serta rongten abdomen sambil

tidur (supine) untuk menentukan jalan peluru atau adanya udara

retroperitoneum.

b) IVP atau Urogram Excretory dan CT Scanning ini dilakukan

untuk mengetahui jenis cedera ginjal yang ada.

c) Uretrografi

Di lakukan untuk mengetahui adanya rupture uretra.

d) Sistografi

Ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya cedera pada

kandung kencing, contohnya pada fraktur pelvis dan trauma non

penetrasi. Penanganan pada trauma benda tumpul di rumah

sakit.

e) Pengambilan contoh darah dan urine

Darah diambil dari salah satu vena permukaan untuk

pemeriksaan laboratorium rutin, dan juga untuk pemeriksaan

laboratorium khusus seperti pemeriksaan darah lengkap,

potassium, glukosa, amylase.

f) Pemeriksaan rongten

Pemeriksaan rongten servikal lateral, toraks anteroposterior dan

pelvis adalah pemeriksaan yang harus dilakukan pada penderita

83
dengan multi trauma, mungkin berguna untuk mengetahui udara

ekstraluminal di retroperitonium atau udara bebas di bawah

diagfragma, yang keduanya memerlukan laparatomi segera.

g) Study kontras urologi dan gastrointestinal

Dilakukan pada cedera yang meliputi daerah duodenum, kolon

ascendens atau decendens dan dubur.

Asuhan keperawatan

1. Pengkajian data

Dasar pemeriksaan fisik “head to toe” harus dilakukan denga singkat tetapi

menyeluruh dari bagian kepala ke ujung kaki.

a. Aktivitas/istirahat

Data subyektif : pusing, sakit kepala, nyeri, mulas

Data obyektif : perubahan kesadaran, masalah dalam keseimbangan

cedera (trauma).

b. Sirkulasi

Data obyektif : kecepatan (bradipneu, takhipneu), pola napas

(hipoventilasi, hiperventilasi)

c. Integritas ego

Data subyektif : perubahan tingkah laku/ kepribadian (tenang atau

dramatis)

Data obyektif : cemas, bingung, depresi.

84
d. Eliminasi

Data subyektif : inkontinensia kandung kemih/usus atau mengalami

gangguan fungsi.

e. Makanan dan cairan

Data subyektif : mual, muntah, dan mengalami perubahan selera makan.

Obyektif : mengalami ditensi abdomen.

f. Neurosensori

Data subyektif : kehilangan kesadaran sementara, vertigo

Data obyektif : perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan

status mental, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh.

g. Nyeri dan kenyamanan

Data subyektif : sakit pada abdomen dengan intensitas dan lokasi yang

berbeda biasanya lama

Data obyektif : wajah meringis, gelisah, merintih.

h. Pernafasan

Data obyektif : perubahan pola nafas

i. Keamanan

Data subyektif : trauma baru/trauma karena kecelakaan

Data obyektif : dislokasi gangguan kognitif.gangguan rentang gerak.

2. Intervensi

a. Defisit volume cairan dan elektrolit b.d perdarahan

Tujuan : terjadi keseimbangan volume cairan

85
NOC :

 Turgor kulit elastic

 Intake dan output cairan seimbang

 Membrane mucus lembab

 Perdarahan terkontrol atau terselesaikan.

Intervensi :

NIC.

Electrolyte Monitoring

Fluid management

1) Kaji tanda-tanda vital

R/ untuk mengindentifikasi deficit volume cairan

2) Pantau cairan parenteral dengan elektrolit, antibiotic, dan vitamin

R/ mengidentifikasi keadaan perdarahan

3) Kaji tetesan infus

R/ awasi tetesan untuk mengidentifikasi kebutuhan cairan

4) Kolaborasi berikan cairan parenteral sesuai indikasi

R/ cara parenteral membantu memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh

5) Transfusi darah

R/ mengganti darah yang keluar.

86
b. Nyeri berhubungan dengan adanya trauma abdomen atau luka penetrasi

abdomen

Tujuan /kriteria hasil :

NOC :

Pain control dan Pain level

• Klien melaporkan nyeri berkurang

• Klien dapat mengenal lamanya / onset nyeri

• Klien dapat menggunakan teknik non farmakologis

• Klien menggunakan analgesic sesuai instruksi.

Intervensi :

1) Kaji karakteristik nyeri

R/ mengetahui tingkat nyeri klien

2) Beri posisi semi fowler

R/ mengurangi kontraksi abdomen

3) Anjurkan teknik manajemen nyeri seperti distraksi

R/ membantu mengurangi rasa nyeri dengan mengalihkan perhatian

4) Kolaborasi pemeberian analgetik sesuai indikasi

R/ analgetik membantu mengurangi rasa nyeri

5) Manajemen lingkungan yang nyaman

R/ lingkungan yang nyaman dapat memberikan rasa nyaman klien

c. Kerusakkan integritas kulit berhubungan dengan trauma tajam/tembus.

Tujuan . kriteria hasil :

87
NOC :

Wound healing : primary intention

 Tidak ada perluasan tepi luka

 Tidak ada eritema di daerah sekitar luka

 Bebas lesi jaringan

NIC :

Wound care

1) Kaji lokasi, luas dan kedalaman luka pada abdomen.

R/ : memonitor karakteristik luka dapat membantu perawat dalam

menentukan perawatan luka dan penanganan yang sesuai untuk

pasien.

2) Kaji tanda-tanda infeksi pada area yang mengenai kulit.

R/: luka tembus/ trauma tembus beresiko terjadinya infeksi.

3) Anjurkan klien tidur dengan posisi datar dan lutut fleksi, untuk

mencegah protusi lanjut.

R/ : mengurangi protusi lanjut.

4) Pertahankan teknik steril dalam perawatan luka klien.

5) Berikan antibiotik spectrum luas sesuai ketentuan

R/ : antibiotic bekerja untuk meminimalkan penyebaran pathogen

akibat terbukanya port de entry yang beresiko infeksi lanjut.

88
d. Resiko infeksi b.d tidak adekuatnya pertahanan tubuh

Tujuan / kriteria hasil

NOC

• Immune Status

• Knowledge : Infection control

• Risk control

Kriteria Hasil:

• Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi

• Mendeskripsikan proses penularan penyakit, faktor yang

mempengaruhi penularan serta penatalaksanaannya

• Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi

• Jumlah leukosit dalam batas normal.

Intervensi :

NIC

Infection control

1) Kaji tanda-tanda infeksi

R/ mengidentifikasi adanya resiko infeksi lebih dini

2) Kaji keadaan luka

R/ keadaan luka yang diketahui lebih awal dapat mengurangi resiko

infeksi

3) Kaji tanda-tanda vital

R/ suhu tubuh naik dapat diindikasikan adanya proses infeksi

89
4) Perawatan luka dengan prinsip sterilisasi

R/ teknik aseptic dapat menurunkan resiko infeksi nosocomial

5) Kolaborasi pemberian antibiotic

R/ antibiotik mencegah adanya infeksi bakteri dari luar

e. Ansietas b.d krisis situasi dan perubahan status kesehatan

Tujuan/ kriteria hasil :

NOC

anxiety level

 kecemasan berkurang.

Intervensi

NIC.

anxiety reduction

1) Kaji perilaku koping baru dan anjurkan penggunaan keterampilan

yang berhasil pada waktu lalu

R/ koping yang baik akan mengurangi ansietas klien

2) Dorong dan sediakan waktu untuk mengungkapkan ansietas dan rasa

takut dan berikan penanganan

R/ mengetahui ansietas rasa takut klien bisa mengidentifikasi masalah

dan untuk memberikan penjelasan kepada klien

3) Jelaskan prosedur dan tindakan dan beri penguatan penjelasan

mengenai penyakit

90
R/ apabila klien tahu tentang prosedur dan tindakan yang akan

dilakukan, klien mengerti dan diharapkan ansietas berkurang

4) Pertahankan lingkungan yang tenang dan tanpa stress

R/ lingkungan yang nyaman dapat membantu klien nyaman dalam

menghadapi situasi

5) Dorong dan dukung orang terdekat

R/ orang terdekat terutama keluarga membantu memotivasi klien

f. Gangguan mobilitas fisik b.d kelemahan fisik

Tujuan / kriteria hasil

NOC.

 Joint Movement : Active

 Mobility Level

 Self care : ADLs

 Transfer performance

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama….gangguan mobilitas

fisik teratasi dengan kriteria hasil:

 Klien meningkat dalam aktivitas fisik

 Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas

 Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan

kemampuan berpindah

 Memperagakan penggunaan alat Bantu untuk mobilisasi (walker)

91
Intervensi :

NIC

Exercise terapy : ambulation

1) Kaji kemampuan pasien untuk bergerak

R/ identifikasi kemampuan klien dalam mobilisasi

2) Dekatkan peralatan yang dibutuhkan klien

R/ meminimalisir pergerakan klien

3) Berikan latihan gerak aktif pasif

R/ melatih otot-otot klien

4) Bantu kebutuhan pasien

R/ membantu dalam mengatasi kebutuhan dasar klien

5) Kolaborasi dengan ahli fisioterapi

R/ terapi fisioterapi dapat memulihkan kondisi klien.

C. Asuhan Keperawatan pada Perdarahan Gastrointestinal

1. Konsep Dasar Medik Perdarahan Gastrointestinal

a. Pengertian

Perdarahan saluran cerna adalah suatu perdarahan yang bisa

terjadi dimana saja di sepanjang saluran pencernaan, mulai dari

mulut sampai anus. Bisa berupa ditemukannya darah dalam

tinjaatau muntah darah, tetapi gejala bisa juga tersembunyi dan

92
hanya bisa diketahui melalui pemeriksaan tertentu. (Mansjoer,

2000).

b. Klasifikasi

Perdarahan gastrointestinal akut dibagi menjadi perdarahan

gastrointestinal atas yang bersumber dari esophagus, abdomen,

atau duodenum dan perdarahan gastrointestinal bawah yang

bersumber dari yeyunum, ileum, kolon, dan rectum.

c. Etiologi perdarahan gastrointestinal atas

1) Dari esophagus yaitu :

i. Varises

Varises dapat terjadi pada esophagus, lambung,

duodenum, kolon, rectum, atau anus. Lokasi varises yang

secara klinis paling signifikan adalah pada gastroesofagus

karena kecendrungan terjadinya ruptur varises pada area

ini.Varises esophagus dapat terjadi akibat adanya

hipertensi porta yang disebabkan oleh sirosis, dari

peningkatan tahanan di dalam system vena porta yang

disebabkan oleh gangguan struktur lobular hati normal.

Tahanan ini menghambat aliran darah ke, di dalam, dan

dari hati. Sebagai respon terhadap hipertensi porta,

terbentuk vena kolateral untuk memintas peningkatan

tahanan porta sebagai upaya mengembalikan darah ke

93
sirkulasi sistemik. Seiring peningkatan tekanan di dalam

vena ini, aliran darah menjadi berkelok-kelok dan

melebar, membentuk varises vena atau varikosa yang

lama-kelamaan akan mengalami rupture dan terjadi

perdarahan.

ii. Lesi Mallory-Weiss

Lesi Mallory Weiss adalah laserasi yang terjadi pada

esophagus distal, pada gastroesofagus, dan pada kardia

lambung. Perdarahan pada lesi msallory terjadi ketika lesi

mengenai bantalan vena atau arteri dibawahnya. Lesi

Mallory berhubungan dengan konsumsi alkohol yang

banyak, dan terdapat riwayat muntah yang berat atau

batuk hebat.

Penyebab lainnya yaitu :

a) Esophagitis

b) Tumor

2) Dari lambung dan duodenum

a) Ulkus peptikum

Faktor resiko primer terjadinya ulkus peptikum yaitu

akibat adanya infeksi bakteri Helicobacter pylori. H pylori

membantu kemampuan bakteri untuk melekat dan

bergerak pada lapisan mucus. Infeksi H.pylori

94
menyebabkan kerusakan mukosa dengan cara merusak

lapisan mukus, melepaskan enzim dan racun, dan

menempel pada epitel. Peradangan di perparah oleh

respon imun tubuh dan biasanya mengakibatkan gastritis

kronis asimptomatik. Sel epitelium mukosa

gastrointestinal dilindungi dari potensi efek merusak

sekresi lambung, obat-obatan, alkohol, dan bakteri oleh

berbagai mekanisme perlindungan. Sel-sel ini mensekresi

musin, fosfolipid yang menciptakan suatu gradient PH

antara lumen lambung yang asam dan permukaan sel.

Prostaglandin meningkatkan perlindungan mukosa dengan

meningkatkan sekresi mukosa, meningkatkan produksi

bikarbonat, mempertahankan aliran darah mukosa, dan

meningkatkan ketahanan sel gastroduodenum terhadap

cedera. Ketika faktor perlindungan ini terbebani oleh

berbagai faktor yang agresif, integritas mukosa lambung

atau duodenum terganggu maka terjadi ulkus peptikum.

Ulkus yang terjadi kemudian mengikis dinding pembuluh

darah sehingga timbul perdarahan.

b) Angiodisplasia

Angodisplasia atau disebut juga malformasi arterovenosa

atau angioma, adalah istilah yang digunakan untuk

95
menggambarkan vena mukosa yang melebar dan

berkelok-kelok, atau pelebaran arteri.

c) Lesi Dieulafoy

Lesi dieulafoy adalah malformasi vascular pada arteri

submukosa yang besarnya abnormal, yang terletak amat

dekat dengan permukaan mukosa.Lesi dieulafoy sering

dijumpai pada lambung bagian proksimal. Perdarahan

karena lesi dieulafoy terjadi dapat terjadi massif dan

terulang karena arteri yang besar.

d) Divertikulosis.

Divertikula atau penonjolan seperti kantong pada dinding

kolon yang biasanya terjadi pada titik tembus arteri ke

dinding usus. Pembuluh darah dan lumen usus ini hanya

dipisahkan oleh mukosa sehingga mudah terjadi cedera.

Penyebab lainnya yaitu :

a) Gastritis

b) Tumor

c) Penyakit Crohn

d) kolitis

e) Hemoroid.

96
d. Patofisiologi

Pada gagal hepar sirosis kronis, kematian sel dalam hepar

mengakibatkan peningkatan tekanan vena porta. Sebagai

akibatnya terbentuk saluran kolateral dalam submukosa esopagus

dan rektum serta pada dinding abdomen anterior untuk

mengalihkan darah dari sirkulasi splenik menjauhi hepar.

Meningkatnya tekanan dalam vena ini, maka vena tersebut

menjadi mengembang dan membesar (dilatasi) oleh darah (disebut

varises). Varises dapat pecah, mengakibatkan perdarahan

gastrointestinal masif. Selanjutnya dapat mengakibatkan

kehilangan darah tiba-tiba, penurunan arus balik vena ke jantung,

dan penurunan curah jantung. Jika perdarahan menjadi berlebihan,

maka akan mengakibatkan penurunan perfusi jaringan. Dalam

berespon terhadap penurunan curah jantung, tubuh melakukan

mekanisme kompensasi untuk mencoba mempertahankan perfusi.

Mekanisme ini merangsang tanda-tanda dan gejala-gejala utama

yang terlihat pada saat pengkajian awal. Jika volume darah tidak

digantikan, penurunan perfusi jaringan mengakibatkan disfungsi

seluler. Sel-sel akan berubah menjadi metabolsime anaerobi, dan

terbentuk asam laktat. Penurunan aliran darah akan memberikan

efek pada seluruh sistem tubuh, dan tanpa suplai oksigen yang

mencukupi sistem tersebut akan mengalami kegagalan.

97
e. Manifestasi Klinis

1) Hematemesis, muntah darah segar dan tidak berubah atau

material “endapan kopi”

2) Melena, mengeluarkan feses hitam dan lengket.

3) Hematokezia, pengeluaran darah berwarna merah marun atau

merah terang biasanya mengindikasikan perdarahan yang

bersumber pada gastrointestinal bagian bawah.

f. Komplikasi

1) Anemia

2) Dehidrasi

3) Kehilangan darah

4) Syok

5) Kematian

g. Pemeriksaan Diagnostik

1) Periksa darah lengkap : Penurunan hemoglobin dan hematokrit,

leukositosis dan trombositopenia.

2) Pemeriksaan BUN : Peningkatan kadar nitrogen urea darah

(BUN).

3) Pemanjangan masa protrombin (PT)/ masa tromboplastin

parsial (PTT).

h. Penatalaksanaan

1) Resusitasi cairan.

98
i. transfuse lebih dari 2 kantong sel darah merah kemasan

(PRBC, packed red blood cell) atau perdarahan aktif

membutuhkan perawatan intensif di ICU.

ii. akses intravena (IV) menggunakan minimal dua kateter

IV berukuran besar (ukuran 14-16) atau akses sentral.

iii. Pemeriksaan golongan darah dan pencocokan silang perlu

dilakukan pada perdarahan > 1500 ml membutuhkan

penggantian darah selain cairan.

2) Intubasi nasogastrik

Slang nasogastrik berukuran besar dipasang pada semua pasien

yang mengalami perdarahan gastrointestinal untuk aspirasi dan

bilas lambung.

3) Terapi penekan asam

a. Penggunaan pompa inhibitor pompa proton dosis tinggi

(omeprazol, lansoprazol, esomeprazol, pantoprazol,

rabeprazol) untuk mempertahankan pH lambung lebih dari

4.

b. Terapi penekan asam dengan obat antagonis-histamin

(simetidin, ranitidin, famotidin, nizatidin) dapat digunakan

sebagai terapi profilaktik pada pasien yang berisiko tinggi

mengalami sindrom erosive terkait-stres.

99
c. Antacid juga dapat diberikan dengan bekerja sebagai buffer

basa langsung dan diberikan untuk mengendalikan pH

lambung.

4) Farmakoterapi untuk menurunkan Hipertensi porta.

iv. Vasopresin

Pertimbangkan pemberian vasopressin atau oktreotida

pada pasien yang diduga mengalami hemoragi varises.

Vasopressin (Pitresin) menurunkan hipertensi porta

dengan menyempitkan arteri splanika, yang mengurangi

aliran darah. Vasopressin diberikan melalui jalur sentral

dengan laju 0,4 sampai 1 U/menit.

v. Somatostatin

Polipeptida alami yang mennurunkan tekanan vena porta

dengan cara menyebabkan vasokintriksi selektif sirkulasi

splanika dan memiliki efek samping sistemik yang lebih

ringan daripada vasopresin. Infus IV diperlukan karena

somatostatin memiliki waktu paruh yang singkat.

vi. Oktreotida

Oktreotida (sandostatin) adalah analog somatostatin

sinetik yang memiliki sifat haemodinamik yang mirip

tetapi memiliki waktu paruh yang lebih lama. Oktreotida

biasanya diberikan sebagai bolus IV, 50 µg dilanjutkan

100
50 µg/jam selama 3-5 hari. Efek oktreotida mirip dengan

vasopressin dengan infus nitratgliserin tanpa dampak

pada haemodinamik atau curah jantung.

5) Endoskopi

Selain digunakan dalam penegakkan diagnosis, endoskopi juga

menjadi prosedur pilihan untuk penanganan perdarahan

gastrointestinal meliputi injeksi skleroterapi, koagulasi termal,

pemasangan penjepit hemostatic, dan ligase varises

endoskopik.

6) Angiografi

Diindikasikan untuk pasien yang mengalami perdarahan

menetap, perdarahan dapat dikendalikan dengan infus

vasopressin intra arteri atau dengan embolisasi arteri dengan

bantuan radiologi.

7) Tamponade balon

Perdarahan varises yang tidak berespon terhadap terapi

endoskopik dapat dikontrol sementara dengan tamponade

balon. Sebagian besar slang esofagogastrik memiliki dua

balon, satu untuk lambung dan satu untuk esophagus dan

sebuah port drainase lambung dibagian distalnya. Tekanan

diberikan pada kardia lambung dan pada perdarahan veses.

Slang dimasukkan sedikitnya 50 cm untuk memastikan

101
intubasi lambung. Balon lambung kemudian dikembungkan

perlahan-lahan dengan 250-300 ml udara dan di pasang traksi

penyeimbang sampai balon lambung terpasang dengan pas di

kardia lambung.

8) Pembedahan

Indikasi intervensi pembedahan adalah perdarahan hebat yang

tidak berespon terhadap resusitasi awal, perdarahan massif

yang mengancam jiwa, terapi endoskopi yang tidak dapat

dilakukan atau gagal, perforasi, obstruksi, kecurigaan maligna,

atau perdarahan terus-menerus meskipun telah dilakukan

berbagai upaya terapi medis. Pilihan pembedahan bergantung

pada usia dan kondisi pasien, serta lokasi, ukuran, dan anatomi

sumber perdarahan. Perdarahan ulkus lambung dan duodenum

juga dapat ditangani dengan salah satu prosedur dibawah ini:

a) Vagotomi dan piloroplasti

Meliputi pemotongan nervus vagus yang mempersarafi sel

lambung. Tindakan ini menyebabkan penurunan sekresi

asam lambung. Piloroplasti dilakukan bersama vagotomi

karena penghentian suplai saraf vagus mempengaruhi

motilitas

b) Antrektomi

102
Dekompresi bedah pada hipertensi porta dapat digunakan

pada pasien yang mengalami varises esophagus atau

varises lambung yang tidak berespon terhadap terapi medis

atau endoskopi.

2. Konsep Dasar Askep Perdarahan Gastrointestinal

a. Pengkajian

1) Riwayat

a) Riwayat nyeri epigastrium, dyspepsia, atau riwayat

penyakit ulkus peptikum.

b) Riwayat perdarahan gastrointestinal yang lalu.

c) Konsumsi alkohol yang tinggi meningkatkan kemungkinan

sirosis dan perdarahan.

d) Pasien dengan riwayat penyakit gagal ginjal.

e) Muntah, batuk, atau muntah sebelum perdarahan indikasi

lesi Mallory-Wells.

f) Adanya riwayat penggunaan AINS atau aspirin.

2) Pengkajian Fisik

a) Perfusi jaringan yang buruk seperti sianosis dan perubahan

status mental.

b) Perhatikan tanda agitasi atau kebingungan atau

kebingungan yang merupakan tanda hipoperfusi serebral.

103
c) Pantau ketat tanda-tanda vital untuk mengkaji instabilitas

hemodinamik.

d) Kaji abdomen; bising usus,nyeri tekan abdomen, adanya

tanda spasme otot, kekakuan, adanya massa abdomen.

Abdomen yang lembek dan dan seperti papan adalah tanda

peritonitis, kemungkinan akibat perforasi.

e) Pengkajian rektum untuk mengkaji adanya hematocezia

dan melena.

b. Diagnosa Keperawatan

1) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan perdarahan

(kehilangan secara aktif).

2) Resiko gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan

hipovolemik karena perdarahan.

3) Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan

ketidakadekuatan pertahanan sekunder.

c. Intervensi Keperawatan

Secara umum intervensi yang dapat dilakukan pada perdarahan

gastrointestinal sebagai berikut :

Intervensi Keperawatan untuk Pasien yang Mengalami

Perdarahan Gastrointestinal

1. Pertahankan kepatenan jalan napas, tinggikan kepala

104
tempat tidur, dan siapkan penghisap di samping tempat

tidur untuk mencegah aspirasi mesis atau darah.

2. Berikan terapi oksigen untuk menangani hipoksia yang

dapat menyebabkan penurunan kadar hemoglobin.

3. Pantau oksimetri nadi.

4. Kaji dan dokumentasikan tanda dan gejala syok, misalnya

kegelisahan; penurunan nadi perifer, atau kulit yang

dingin, pucat dan lembab. Kaji dan dokumentasikan

tanda-tanda vital, haluan urine, nilai hemodinamik, dan

saturasi oksigen.

5. Kaji dan dokumentasikan pemantauan ekektrokardiografi

dan bunyi jantung, paru, dan bising usus.

6. Bantu dengan pemasangan kateter tekanan vena sentral

atau kateter arteri pulmonalis.

7. Pantau dan dokumentasikan tekanan vena sentral (CVP),

tekanan arteri pulmonalis (PAP), tekanan baji arteri

pulmonalis (PAWP), curah jantung, dan tahanan vaskuler

sistemik (SVR).

8. Pertahankan akses IV dan berikan cairan serta produk

darah secara IV sesuai instruksi.

9. Pasang slang nasogastrik dan bilas sesuai instruksi.

105
10. Pantau PH lambung, konsultasi dengan dokter tentang

rentang PH khusus dan pemberian antacid.

11. Beri pngobatan anti skeret sesuai instruksi untuk

menurunkan sekresi asam lambung.

12. Beri vasopressin atau oktreotida sesuai instruksi.

13. Pertahankan keakuratan asupan dan haluaran setiap 1

sampai 2 jam dan PRN.

14. Catat jumlah urine, drainase nasogastrik, dan muntah.

15. Pantau elektrolit yang dapat hilang bersama cairan atau

berubah karena perpindahan cairan dan laporkan bila

nilainya apnormal.

16. Pantau kadar Hb, HT, hitung sel darah merah, masa

protrombin (PT), masa tromboplastin parsial (PTT), dan

nitrogen urea darah (BUN) serta laporkan jika nilainya

abnormal.

17. Lakukan perawatan mulut sesuai kebutuhan

18. Jelaskan semua prosedur kepada pasien.

19. Siapkan pasien untuk prosedur diagnostic dan intervensi

terapeutik.

20. Jelaskan pada pasien pentingnya mencari bantuan medis

jika terdapat tanda dan gejala perdarahan.

106
21. Anjurkan untuk berehenti merokok dan hindari alkohol.

1) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan

perdarahan (pengeluaran aktif)

a) Tujuan / kriteria hasil :

Setelah diberikan asuhan keperawatan selama

diharapkan cairan dan elektrolit klien seimbang dengan

kriteria hasil :

Label NOC : Fluid Balance

 Turgor kulit elastic

 Intake dan output cairan seimbang

 Membrane mucus lembab

 Perdarahan terkontrol atau terselesaikan.

Label NOC : Vital sign

 Vital signs klien dalam rentang normal (BP :

120/80 mmHg, RR : 15-20 x/menit, HR : 60-

100 x/menit, suhu klien 36,5-37,5 derajat

celcius).

b) Intervensi :

NIC.

Electrolyte Monitoring

107
1. Identifikasi kemungkinan penyebab

ketidakseimbangan elektrolit.

R/ : mengetahui penyebab untuk menentukan

intervensi penyelesaian.

2. Monitor adanya kehilangan cairan dan elektrolit.

R/ : mengetahui keadaan umum pasien.

3. Monitor adanya mual,muntah dan diare

R/ : mengurangi risiko kekurangan voume cairan

semakin bertambah.

Fluid Management

1. Monitor status hidrasi ( membran mukus, tekanan

ortostatik, keadekuatan denyut nadi).

R/: mengetahui perkembangan rehidrasi.

2. Monitor keakuratan intake dan output cairan

R/: evaluasi intervensi

3. Monitor vital signs untuk ketidakstabilan

hemodinamik

R/ : menilai status volume.

4. Ukur indikator preload : RAP, PAOP

R/ : menilai status volume.

5. Monitor EKG, turgor kulit, keluaran urin, jumlah

dan karakteristik dari sekresi gastrointestinal.

108
R/: monitor status volume dan perfusi jaringan.

6. Monitor hasil laboratorium : Hct, Hgb, BUN.

Potassium, sodium.

R/ : menilai keparahan perdarahan akut.

7. Monitor bising usus

R/ : menilai integritas dan fungsi usus.

8. Monitor adanya tanda-tanda klinis terjadinya

perforasi : nyeri abdomen yang parah.

R/ : membantu penilaian terhadap komplikasi yang

mengancam jiwa.

9. Monitor pemberian terapi IV.

R/ : Rehidrasi optimal.

10. Siapkan endoskopi jika perlu, dan monitor untuk

terjadinya komplikasi.

R/ : endoskopi merupakan pemeriksaan yang dapat

membantu diagnosis masalah klinis dalam

perdarahan akut.

2) Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan

volume darah.

Tujuan / kriteria hasil :

NOC

109
 Circulation status\

 Tissue Perfusion : cerebral

Kriteria Hasil :

 Mendemonstrasikan status sirkulasi yang ditandai

dengan :

Tekanan systole dan diastole dalam rentang yang

diharapkan

Tidak ada ortostatik hipertensi

Tidak ada tanda tanda peningkatan tekanan

intrakranial (tidak lebih dari 15 mmHg)

 Mendemonstrasikan, kemampuan kognitif yang

ditandai dengan :

Berkomunikasi dengan jelas dan sesuai dengan

kemampuan, menunjukkan perhatian, konsentrasi dan

orientasi, memproses informasi, membuat keputusan

dengan benar

 Menunjukkan fungsi sensori motori cranial yang utuh :

tingkat kesadaran membaik tidak ada gerakan gerakan

involunter

NIC :

Peripheral Sensation Management

110
(Manajemen sensasi perifer)

1. Pantau hipoperfusi dan ketidakstabilan hemodinamik.

R/ : ketidakstabilan hemodinamik beresiko mencegah

kerusakan akhir dari organ.

2. Pantau tanda vital secara berkala sampai stabil.

R/ : pemeriksaan tanda vital membantu penilaian

hipovolemia dan status volume darah.

3. Pantau adanya takikardia, nyeri dada, segmen ST

elevasi, diaphoresis, dan ekstremitas yang teraba dingin.

R/ : menilai adanya penurunan curah jantung dan

penurunan perfusi jaringan.

4. Pantau tingkat kesadaran

R/ : penilaian terhadap perfusi jaringan ke otak.

5. Pantau bising usus

R/ : penilaian terhadap perfusi jaringan ke usus.

6. Pantau adanya peningkatan bilirubin

R:/ penilaian terhadap disfungsi hati dan perfusi

jaringan.

3) Resti infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan sekunder.

Tujuan/kriteria hasil :

NOC

111
 Immune Status

 Knowledge : Infection control

 Risk control

Kriteria Hasil:

 Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi

 Mendeskripsikan proses penularan penyakit, faktor

yang mempengaruhi penularan serta

penatalaksanaannya

 Menunjukkan kemampuan untuk mencegah

timbulnya infeksi

 Jumlah leukosit dalam batas normal.

NIC

Infection Control (Kontrol infeksi)

1. Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain

R/ : meminimalkan resiko infeksi

2. Pertahankan teknik isolasi

R/ : teknik isolasi dapat meminimalkan pathogen yang

ada dilingkungan sekitar klien.

3. Batasi pengunjung bila perlu

R/ : meminimalkan resiko infeksi nasokomial.

112
4. Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan

saat berkunjung dan setelah berkunjung meninggalkan

pasien.

R/ : mengurangi terpajannya mikroba bakteri yang

dapat menyebabkan infeksi.

5. Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan.

R/ : mengurangi terpajannya mikroba bakteri yang

dapat menyebabkan infeksi.

6. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung

R/ : Alat pelindung diri membantu meminimalkan

resiko infeksi nasokomial.

7. Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan

alat.

R / : meminimalkan resiko terjadinya infeksi.

113
DAFTAR PUSTAKA

Klein, et al. 2005. Introduction to Critical Care Nursing. United State of


America. Elsevier

Krisanti. P, dkk. 2009. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta: CV.


Trans Info Media

Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta: Nuha Medika

Morton, G et al. 2011. Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC

Smeltzer., S. C. (2013). KeperawatanMedikal-Bedah (Handbook For Brunner


&Suddarth's Textbook of Medical-Surgical Nursing) (12 ed.). Jakarta:
BukuKedokteran EGC.
Muttaqin.,Arif., Sari., Kumala.,. (2013). Gangguan Gastrointestinal Aplikasi
Asuhan Keperawatan . Jakarta: SalembaMedika.
https://www.scribd.com/doc/50071634/Asuhan-Keperawatan-Pasien-Dengan-
Cholecystitis diakses pada tanggal 15 November 2017.

http://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-content/uploads/2016/10/PERITONITIS-
DAN-ILUES.pdf diakses pada 15 November 2017.

www.kalbemed.com/news/tabid/229/id/1753/penatalaksanaan-fatty -liver-
desease.aspx. chalasani N, et al. 2012; 55(6): 2005-23. The diagnosis
and management of non alcoholic fatty liver desease: Practice guideline
by The American Association for the Study of Liver Disease, American
Collage of Gastroenterology, and The American Gastroenterological
Association Hepatology diakses pada tanggal 16 desember 2017.

114

You might also like