Professional Documents
Culture Documents
DOKTER PEMBIMBING:
PENYUSUN:
2018
BAB I
Pendahuluan
2
1.2.5 Menurut data Profil Kesehatan Indonesia, ada 415 kasus dengan jumlah kasus
meninggal sebanyak 24 kasus. Tahun sebelumnya, tercatat ada 252 kasus difteri
dan 5 di antaranya meninggal dunia.
1.2.6 Akhir 2017, masyarakat dihebohkan oleh Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri. Data
Kementerian Kesehatan menujukkan sampai dengan November 2017, ada 95
kabupaten dan kota dari 20 provinsi yang melaporkan kasus difteri.
1.2.7 Hingga Januari 2018, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyebut kejadian
luar biasa (KLB) difteri di Indonesia paling tinggi di dunia. KLB difteri terjadi di
28 provinsi serta 142 kabupaten/kota.
1.2.8 Wilayah RW 02 Kelurahan Kedaung Kaliangke merupakan salah satu kawasan
yang belum pernah dilakukan penelitian mengenai tingkat keberhasilan status
imunisasi difteri melalui format RCA.
3
1.5.2 Bagi Puskesmas
1.5.3.1 Sebagai bahan masukan bagi petugas kesehatan dalam melaksanakan kegiatan
imunisasi di Puskesmas Kedaung Kaliangke.
1.5.3.2 Membantu mendapatkan sasaran yang belum mendapatkan imunisasi difteri
dirujuk ke pos pelayanan imunisasi atau Puskesmas untuk mendapat imunisasi
difteri.
1.5.3.3 Dengan adanya penelitian dengan menggunakan format RCA, diharapkan
berhasilnya program imunisasi khususnya ORI Difteri di Puskesmas Kedaung
Kaliangke.
4
BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1 Difteri
Difteri adalah suatu penyakit infeksi yang disebarkan dari orang ke
orang melalui percikan ludah dari tenggorokan melalui batuk dan bersin. Penyakit
ini biasanya muncul 2 sampai 5 hari setelah terinfeksi. Difteri umumnya
menyerang tonsil, faring, laring dan kadang kulit. Gejala berkisar dari gejala
ringan seperti nyeri menelan sampai berat yang mengancam jiwa, seperti difteri
laring atau saluran nafas atas dan bawah. Difteri seringkali diikuti dengan
komplikasi miokarditis dan neuritis. Penyakit ini dapat berakibat fatal. Lima
sampai sepuluh persen pasien difteri meninggal, meski telah mendapat
pengobatan. Apabila tidak diobati, penyakit ini dapat mengakibatkan lebih banyak
kematian. Pasien yang tidak diobati dapat menularkan sampai 2-3 minggu
sehingga berpotensi untuk menimbulkan wabah.
Berdasarkan panduan WHO, definisi kasus klinis pada KLB difteri
adalah laringitis, faringitis atau tonsilitis disertai pseudomembran di tonsil, faring
dan/atau hidung. Isolasi C. diphtheria dari apus tenggorok merupakan kriteria
diagnostik laboratorium. Sedangkan berdasarkan buku pedoman Penanggulangan
KLB Difteri Provinsi Jawa Timur adalah sebagai berikut: kasus suspek difteri
adalah orang dengan gejala laringitis, nasofaringitis atau tonsilitis ditambah
pseudomembran putih keabuan yang tak mudah lepas dan mudah berdarah di
faring, laring, tonsil. Kasus probable difteri adalah suspek difteri ditambah salah
satu dari : a)Pernah kontak dengan kasus (<2 minggu),b)Ada didaerah endemis
difteri, c)Stridor, bullneck, Perdarahan submukosa atau petekie pada kulit,
d)Gagal jantung, gagal ginjal akut, miokarditis dan atau kelumpuhan motorik 1 s/d
6 minggu setelah awitan, e)Mati. Kasus konfirmasi Difteri adalah kasus probable
yang hasil isolasi ternyata positif C. difteriae yang toksigenik (dari usap hidung,
tenggorok, ulkus kulit, jaringan, conjungtiva, telinga, vagina) atau serum
antitoksin meningkat 4 kali lipat atau lebih (hanya bila kedua sampel serum
diperoleh sebelum pemberian toksoid difteri atau antitoksin).
5
2.1.1 Epidemiologi
Pada awal tahun 1990, WHO melaporkan endemic difteri di Brazil,
India, Indonesia, Filipina, dan beberapa bagian dari Uni Soviet. Angka kematian
berkisar 5-10%, dan lebih tinggi pada anak usia < 5 tahun.
Penelitian di India, melaporkan bahwa insiden tertinggi terlihat pada
kelompok umur 0-5 tahun (58%), rasio laki-laki banding perempuan 1,833:1,
Sebagian besar pasien berasal dari pedesaan (47%) dan wilayah kesukuan
(39,5%).
2.1.2 Etiologi
Difteri adalah penyakit infeksi akut yang terjadi secara lokal pada
mukosa atau kulit, yang disebabkan oleh basil Gram Positif Corynebacterium
diphteriae dan Corynebacterium ulceran.
Korinebakteri berdiameter 0,5-1 µm dan panjang beberapa
mikrometer. Secara khas, organisme ini memiliki pembengkakan iregular pada
satu ujung yang memberikan gambaran “bentuk gada”. Pada agar darah, koloni C.
diphteriae berukuran kecil, granular, dan berwarna abu-abu, dengan tepi tidak
teratur, dan dapat mempunyai zona hemolisis. Pada agar kalium telurit, koloni
berwarna coklat hingga hitam, karena telurit di reduksi secara intrasellular.
2.1.4 Patogenesis
Bakteri biasanya memasuki tubuh melalui saluran pernafasan bagian
atas, tapi dapat juga masuk melalui kulit, genital, atau mata. C. diphteriae dalam
hidung atau mulut berkembang di sel epitel saluran nafas atas terutama tonsil,
kadang kulit, konjungtiva, dan genital. Basil menghasilkan eksotoksin yang
menyebabkan reaksi inflamasi lokal, selanjutnya terjadi kerusakan jaringan dan
nekrosis .
Toksin terdiri atas 2 fragmen, fragmen B berikatan dengan reseptor
penjamu dan sifat proteolitik yang memotong lapisan membrane lipid, sehingga
membantu fragmen A masuk ke sel penjamu. Selanjutnya terjadi destruksi epitel
dan nekrosis. Pada daerah nekrosis terbentuk fibrin yang diinfiltrasi sel darah
putih membentuk patchy exudat. Pada keadaan lanjut, toksin diproduksi lebih
banyak dan nekrosis semakin luas. Jika membrane menyebar ke bronchial dapat
menimbulkan dispneu. Kerusakan jaringan lokal, menyebabkan toksin menyebar
6
melalui limpa dan hematogen ke organ lain seperti miokardium, ginjal, dan
system saraf.
2.1.4 Diagnosis
Kriteria laboratorium untuk diagnosis difteri:
Isolasi Corynebacterium diphteriae dari spesimen klinis, atau antibodi serum
meningkat 4 kali atau lebih (hanya bila kedua sampel serum diperoleh sebelum
pemberian toxoid difteri atau antitoxin).
Klasifikasi kasus difteri
Kasus probable difteri adalah kasus yang memenuhi deskripsi klinis difteri
Kasus konfirmasi difteri adalah kasus probable difteri yang dipastikan
melalui pemeriksaan laboratorium atau berhubungan secara epidemiologi
dengan kasus terkonfirmasi laboratorium.
2.1.5 Tatalaksana
Semua kasus yang memenuhi kriteria di atas (probable difteri) harus
diperlakukan sebagai difteri sampai terbukti bukan. Tujuan pengobatan penderita
difteri adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan
mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diphtheriae
untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteri.
7
Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
tenggorok negatif 2 kali berturut-turut dengan jarak 24 jam. Pada
umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring
selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat.
Khusus
Antitoksin: Anti Diphtheria Serum (ADS)
Antitoksin diberikan segera setelah ditegakkan diagnosis difteri. Dengan
pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita
kurang dari 1%, namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka
kematian ini bisa meningkat sampai 30%.
Antibiotik
Antibiotik diberikan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi
toksin. Penisilin prokain 25.000 - 50.000 U/kgBB/hari (maksimum 1,2 juta
U/hari) selama 14 hari. Bila terdapat riwayat hipersensitivitas penisilin
diberikan eritromisin 40 mg/kgBB/hari (maksimum 2 g/hari) dibagi 4
dosis, interval 6 jam selama 14 hari.
Kortikosteroid
Kortikosteroid diberikan untuk kasus difteri yang disertai dengan gejala
obstruksi saluran napas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck) dan
8
bila terdapat penyulit miokarditis. Prednison 2 mg/kgBB/hari selam 2
minggu kemudian diturunkan bertahap
Trakeostomi
Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernapasan yang
progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
Manajemen kontak
Untuk memutuskan rantai penularan, seluruh anggota keluarga serumah
harus segera diperiksa oleh dokter dan diperiksa apus tenggorok untuk
menentukan status mereka apakah mereka penderita atau karier (pembawa
kuman) difteri dan mendapat pengobatan (eritromisin 50 mg/kg berat
badan selama 5 hari). Awasi ketat selama 7 hari mulai tanggal terakhir
kontak. Lakukan desinfeksi serentak dan menyeluruh terhadap barang
yang terpapar dengan penderita. Beri eritromisin pada semua orang
serumah tanpa melihat status imunisasi. Bila kontak menangani makanan
dan anak sekolah, bebaskan dari tugas tersebut sementara. Berikan vaksin
pada fase konvalesen sesuai rekomendasi.Pengobatan karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan tanda dan gejala
difteri, tetapi pada kultur swab tenggorok ditemukan basil difteri dalam
nasofaringnya. Pengobatan untuk karier adalah benzatin penisilin G
600.000 unit untuk anak <30 kg dan 1,2 juta unit untuk anak > 30 kg, atau
eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis selama 7 hari, maksimum
(1 gram/hari). Pemantauan dilakukan sampai ada hasil kultur, jika masih
positif, antibiotik diberikan lebih lama.
9
2.1.6 Prognosis
Prognosis bergantung pada virulensi basil, lokasi dan luas membrane,
kekebalan penderita, cepat lambatnya pengobatan, dan pengobatan yang
diberikan. Pada difteri dengan keterlibatan jantung prognosisnya buruk dengan
angka kematian 60-90%.
2.1.7 Pencegahan
Pencegahan terbaik dengan vaksinasi. Untuk vaksin anak dan remaja
dengan DTaP dan dewasa Tdap tiap 10 tahun atau ketika terjadi paparan [1].
Membatasi kontak dengan basil seminimal mungkin, pasien difteri harus
diisolasi dan bahayanya dapat dikurangi dengan pemberian antibiotic.
10
Kegiatan imunisasi dalam KLB difteri antara lain :
1. Penguatan imunisasi dasar dan lanjutan untuk mencegah KLB difteri:
a. Cakupan imunisasi dasar (DPT3), pada bayi harus mencapai minimal 95%
b. Cakupan imunisasi lanjutan usia 18 bulan dan anak sekolah dasar minimal
harus mencapai 95%
2. Melakukan Outbreak Response Immunisation (ORI)
3. Jika pertimbangan epidemiologi mengharuskan, maka seluruh populasi orang
dewasa harus disertakan dalam imunisasi massal.
4. Melakukan Rapid Convenience Assessment (RCA) pada wilayah yang ada
kegiatan imunisasi untuk mengetahui validitas cakupan dan tanggapan
masyarakat yang masih menolak imunisasi.
5. Memantau kualitas dan manajemen rantai vaksin. Potensi vaksin sangat besar
kontribusinya terhadap kualitas pelayanan imunisasi dan terbentuknya
kekebalan.
6. Memantau dan membina kompetensi petugas pengelola vaksin maupun
koordinator program imunisasi. Kualitas pengelola vaksin dan koordinator
program imunisasi yang tidak kualified akan berpengaruh pada kualitas
vaksinasinya.
7. Penderita difteri apabila telah sembuh dan yang tidak pernah diimunisasi
sebaiknya segera diberi satu dosis vaksin yang mengandung toksoid difteri
(sebaiknya Td) dan kemudian lengkapi imunisasi dasar sekurang-kurangnya 3
dosis.
8. Penderita dengan status imunisasi belum lengkap, harus melengkapi imunisasi
dasar dan lanjutan sesuai jadual program imunisasi nasional.
11
2.3 Imunisasi
Imunisasi merupakan salah satu pencegahan penyakit menular
khususnya Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) yang
diberikan kepada tidak hanya anak sejak masih bayi hingga remaja tetapi juga
kepada dewasa. Cara kerja imunisasi yaitu dengan memberikan antigen bakteri
atau virus tertentu yang sudah dilemahkan atau dimatikan dengan tujuan
merangsang sistem imun tubuh untuk membentuk antibodi. Antibodi yang
terbentuk setelah imunisasi berguna untuk menimbulkan /meningkatkan
kekebalan seseorang secara aktif sehingga dapat mencegah atau mengurangi
kejadian akibat penularan PD3I tersebut.
Imunisasi merupakan salah satu investasi kesehatan yang paling cost-
effective (murah), karena terbukti dapat mencegah dan mengurangi kejadian sakit,
cacat, dan kematian akibat PD3I yang diperkirakan 2 hingga 3 juta kematian tiap
tahunnya. Dalam Undang-undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 dinyatakan
bahwa setiap anak berhak memperoleh imunisasi dasar sesuai dengan ketentuan
untuk mencegah terjadinya penyakit yang dapat dihindari melalui imunisasi dan
pemerintah wajib memberikan imunisasi lengkap kepada setiap bayi dan anak.
Penyelenggaraan imunisasi tertuang dalam Peraturan MenteriKesehatan Nomor
42 Tahun 2013.
12
2.3.1 Imunisasi Dasar pada Bayi
Setiap negara mempunyai program imunisasi yang berbeda, tergantung
prioritas dan keadaan kesehatan di masing-masing negera. Penentuan jenis
imunisasi ini didasarkan atas kajian ahli dan analisa epidemiologi atas penyakit-
penyakit yang timbul. Di Indonesia, program imunisasi mewajibkan setiap bayi
(usia 0-11 bulan) mendapatkan imunisasi dasar lengkap yang terdiri dari 1 dosis
Hepatitis B, 1 dosis BCG, 3 dosis DPT-HB-Hib, 4 dosis polio tetes, dan 1 dosis
campak dengan jadwal pemberian sebagai berikut:
13
Tren imunisasi dasar lengkap nasional tahun 2015 dapat dilihat sebagai berikut
dibawah ini.
Tren cakupan DPT 3 dari data rutin antara tahun 2007-2015 memperlihatkan
kondisi yang konstan karena caupan pada periode tersebut sudah tinggi yaitu
antara 90-100%
Sedangkan tren jumlah kasus difteri cenderung meningkat, puncaknya terjadi
pada tahun 2002, yaitu sebanyak 1.192 kasus. Provinsi Jawa Timur merupakan
kontributor terbesar kasus difteri, yaitu sebanyak 74% dari seluruh kasus pada
tahun 2014. Demikian pula pada tahun 2015, Jawa Timur masih menyumbang
kasus terbesar (63%)
Pada tahun 2015, sebanyak 37% kasus difteri merupakan penderita yang
belum mendapatkan imunisasi DPT3.
Data cakupan imunisasi DPT3 dari Riskesdas 2013 didapatkan standard error
(SE) 2,2 lebih besar dibandingkan dengan SE dari data rutin 2013 yang
sebesar 1,7.
15
2.3.3 Imunisasi Anak sekolah
Setelah mendapatkan imnisasi dasar lengkap pada saat bayi, seorang
anak membutuhkan imunisasi lanjutan selain saat berusia sebelum tiga tahun
(batita) dengan mendapatkan imunisasi DPY-HB-Hib dosis ke-4 pada usia 18
bulan dan campak dosis kedua pada usia 24 bulan dan pada saat usia sekolah
dasar, yaitu imunisasi campak dan DT pada siswa kelas 1 dan imunisasi Td pada
siswa kelas 2 dan 3. Pemberian imunisasi pada anak SD diberikan dalam kegiatan
Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) yaitu imunisasi campak pada bulan
Agustus sedangkan imunisasi DT dan Td pada bulan November.
17
BAB III
Metodologi Penelitian
3.4 Populasi
3.4.1 Populasi Target
Populasi target adalah semua keluarga yang memiliki anggota keluarga yang
berusia 1-19 tahun.
18
3.5 Protokol Mini Project
19
Bab IV
Hasil
20
UMUR JUMLAH PENDUDUK
JUMLAH
(TAHUN) LAKI-LAKI PEREMPUAN
(ORANG)
(ORANG) (ORANG)
0-4 1.260 1.215 2.475
5-9 1.398 1.049 2.447
10-14 1.242 1.219 2.461
15-49 12.819 11.216 24.035
50-64 1.994 1.749 2.743
65 + 490 474 964
JUMLAH 19.203 16.921 36.124
Tabel 1. Jumlah Penduduk Kelurahan Kedaung Kaliangke menurut Kelompok Umur, Tahun 2015
HB-0 33 100 %
BCG 33 100 %
DPT-HB-HIB 1 33 100 %
DPT-HB-HIB 2 33 100 %
DPT-HB-HIB 3 33 100 %
POLIO 1 33 100 %
POLIO 2 33 100 %
21
POLIO 3 33 100 %
POLIO 4 33 100 %
CAMPAK 33 100 %
BOOSTER 10 30,30 %
MR 30 100 %
ORI-0 32 96,96 %
ORI-1 17 51,51 %
22
Bab V
Pembahasan
23
Sedang angka persentasi subjek yang sudah melakukan ORI kedua hanya
51,51 % oleh karena pada saat penjadwalan ORI kedua, kondisi sebanyak 9,09 %
subjek sedang sakit, selain itu sebanyak 36,36 % terdapat anak yang dilakukan
penyuntikan di sekolah masing-masing dan 3,03 % subjek belum sempat datang
ke posko ORI kedua.
100%
90%
80%
70% 51,51 % sudah ORI
60%
50% 36.36 % menunggu
40% suntik
di sekolah
30%
20% 9,09 % % sedang
sakit
10%
0% 3,03 % menunggu
suntik di sekolah
Imunisasi dasar ORI 1 ORI 2
24
Bab VI
Penutup
6.1. Kesimpulan
1. Cakupan imunisasi dari sampel yang didapat di RT 03,04 RW 02 Kedaung
Kaliangke, kecuali booster, sudah mencapai 100%.
2. Cakupan ORI difteri pertama dari sampel yang didapat di RT 03,04 RW 02
Kedaung Kaliangke belum mencapai 100%.
3. Dari populasi target didapatkan 1 orang yang belum mengikuti ORI pertama
karena karena pada saat waktu yang telah dijadwalkan sedang sakit dan
sedang dalam pengobatan.
4. Cakupan ORI difteri kedua RT 03,04 RW 02 belum mencapai 100 % oleh
karena didapatkan sebanyak 9,09 % subjek sedang sakit, sebanyak 36,36 %
terdapat anak yang dilakukan penyuntikan di sekolah masing-masing dan
3,03 % subjek belum sempat datang ke posko ORI kedua.
6.2. Saran
1. Diharapkan dapat dilakukan RCA pada wilayah lain yang dipikirkan memiliki
cakupan imunisasi dan cakupan ORI difteri rendah.
2. Diharapkan dapat dilakukan penguatan imunisasi rutin (bayi,baduta dan
BIAS) di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Kedaung Kaliangke sehingga
tercapai cakupan imunisasi yang tinggi dan dapat memutus rantai penularan
PD3I di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Kedaung Kaliangke.
3. Diharapkan kader masing – masing RT di walayah RW 02 pro aktif mencatat
nama-nama anak yang status ORI nya menunda oleh karena dalam kondisi
sakit kemudian memantau bila kondisi anak tersebut sehat, kader dapat
mengingatkan orangtua sang anak untk dilakukan penyuntikan kepuskesmas.
4. Diharapkan agar saat satu bulan sebelum dilakukan penyuntikan ORI ketiga,
para petugas kesehatan yang bertugas di posyandu memberikan arahan atau
peringatan kembali kepada orangtua di wilayah setempat untuk dilakukan
penyuntikan ketiga. Mengingat jarak watu antara ORI kedua dan ketiga cukup
jauh. Sehingga tidak ada orangtua yang lupa melakukan penyuntikan ketiga
untuk anaknya.
25
Daftar Pustaka
2. Ulasan Kesehatan 2017: Indonesia Berperang Melawan Difteri dan Anti-imunisasi. Di akses
dari: https://tirto.id/2017-indonesia-berperang-melawan-difteri-dan-anti-imunisasi-cCxg pada
14 Februari 2018
3. Amindoni A. BBC Indonesia: Wabah difteri di 20 provinsi: Lima hal yang perlu anda ketahui.
Di akses dari: http://www.bbc.com/indonesia/majalah-42215042 pada 14 Februari 2018
26