You are on page 1of 27

MINI PROJECT REPORT

Gambaran Cakupan Imunisasi dan ORI Difteri di RT 03,04 RW 02


Kedaung Kaliangke dengan Pendekatan Rapid Convenience Assestment

DOKTER PEMBIMBING:

dr. Desi Natalia Ginting

PENYUSUN:

dr. Devy Anggi Sitompul

PUSKESMAS KEDAUNG KALI ANGKE, KECAMATAN CENGKARENG, KOTA


ADMINISTRASI JAKARTA BARAT, PROVINSI DKI JAKARTA

2018
BAB I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah


Difteri masih menjadi masalah kesehatan yang serius di Indonesia.
Menurut data dari World Health Organization (WHO) mengenai Diphteria
Reported Cases, pada Tahun 2011 Indonesia menduduki urutan ke 2 di dunia
dengan jumlah kasus sebanyak 1.192 kasus dan meninggal sebanyak 76 kasus
(WHO, 2012). Hal ini berarti telah terjadi peningkatan mengingat kasus difteri
pada Tahun 2011 sebanyak 808 kasus dengan 38 diantaranya meninggal dunia
(Kemenkes, 2011).Dilihat dari trennya, cakupan imunisasi dasar lengkap pada
bayi Indonesia memang terus menurun. Pada 2012, partisipasinya mencapai 93,3
persen, tapi turun menjadi 86,8 persen pada 2013. Lalu, 89,9 persen di tahun
2013, menjadi 86,9 persen di tahun 2014 dan 86,5 persen di tahun 2015. Pada
2016, menurut data Profil Kesehatan Indonesia, ada 415 kasus dengan jumlah
kasus meninggal sebanyak 24 kasus. Tahun sebelumnya, tercatat ada 252 kasus
difteri dan 5 di antaranya meninggal dunia. Pada akhir 2017, masyarakat
dihebohkan oleh Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri. Data Kementerian
Kesehatan menujukkan sampai dengan November 2017, ada 95 kabupaten dan
kota dari 20 provinsi yang melaporkan kasus difteri. Secara keseluruhan terdapat
622 kasus, 32 diantaranya meninggal dunia. Hingga Januari 2018, Ikatan Dokter
Anak Indonesia (IDAI) menyebut kejadian luar biasa (KLB) difteri di Indonesia
paling tinggi di dunia. KLB difteri terjadi di 28 provinsi serta 142 kabupaten/kota.
Ketua PP Ikatan Dokter Anak Indonesia Aman Bhakti Pulungan menyebutkan
bahwa KLB difteri saat ini adalah KLB difteri yang pernah kejadian paling tinggi
di dunia. Jadi belum pernah ada di dunia jumlahnya paling banyak dan
cakupannya sebanyak 28 provinsi.
Penyakit difteri termasuk dalam Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan
Imunisasi (PD3I). Imunisasi merupakan suatu cara meningkatkan kekebalan
spesifik dari paparan suatu penyakit, apabila seseorang terpapar suatu penyakit
mereka tidak menderita sakit (Depkes RI, 2004). Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No. 1501/ MENKES/PER/X/2010 tentang Jenis Penyakit
Menular Tertentu, apabila ditemukan 1 kasus difteria klinis dinyatakan sebagai
KLB. Sebagai pencegahan, IDI dan IDAI mengimbau masyarakat untuk
1
mengikuti imunisasi melalui ORI (Outbreak Response Immunization). Secara
serentak sebagai upaya meningkatkan ketahanan dan melindungi masyarakat
terhadap penyakit difteri, sehingga diharapkan kegiatan ini dapat memutus mata
rantai penularan Difteri.
Status imunisasi merupakan salah satu faktor risiko kejadian difteri.
Berdasarkan penelitian Kartono pada tahun 2008 di Kabupaten Garut Jawa Barat
menyatakan bahwa faktor dominan yang mempengaruhi kejadian difteri adalah
status imunisasi yang tidak lengkap dengan risiko 46,403 kali lebih besar
dibandingkan dengan status imunisasi yang lengkap. Melalui “penilaian cepat atau
Rapid Convenience Assessment” yang sudah dilakukan di suatu daerah, dapat
diketahui alasan tidak terimunisasinya sasaran dan tingkat keberhasilan di daerah
tersebut. Sasaran yang belum mendapatkan imunisasi difteri dirujuk ke pos
pelayanan imunisasi atau Puskesmas untuk mendapatkan imunisasi difteri, dan
petugas diminta kembali mencari sasaran lain yang mungkin belum terimunisasi.
Melalui kegiatan ini diharapkan tidak ada puskesmas yang tidak mencapai target
cakupan.
Saat ini belum banyak data mengenai status imunisasi anak di
Indonesia. Wilayah RW 02 Kelurahan Kedaung Kaliangke merupakan salah satu
kawasan yang belum pernah dilakukan penelitian mengenai tingkat keberhasilan
status imunisasi difteri melalui format RCA. Pada penelitian ini Rapid Assessment
Convenience (RCA) digunakan untuk memperoleh informasi mendalam mengenai
pelaksanaan ORI Difteri Tahun 2017 sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan
evaluasi dan masukan untuk pelaksanaan kegiatan sejenis berikutnya.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Difteri masih menjadi masalah kesehatan yang serius di Indonesia
1.2.2 Tahun 2011 Indonesia menduduki urutan ke 2 di dunia dengan jumlah kasus
sebanyak 1.192 kasus dan meninggal sebanyak 76 kasus
1.2.3 Dilihat dari trennya, cakupan imunisasi dasar lengkap pada bayi Indonesia
memang terus menurun.
1.2.4 Pada 2012, partisipasinya mencapai 93,3 persen, tapi turun menjadi 86,8 persen
pada 2013. Lalu, 89,9 persen di tahun 2013, menjadi 86,9 persen di tahun 2014
dan 86,5 persen di tahun 2015.

2
1.2.5 Menurut data Profil Kesehatan Indonesia, ada 415 kasus dengan jumlah kasus
meninggal sebanyak 24 kasus. Tahun sebelumnya, tercatat ada 252 kasus difteri
dan 5 di antaranya meninggal dunia.
1.2.6 Akhir 2017, masyarakat dihebohkan oleh Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri. Data
Kementerian Kesehatan menujukkan sampai dengan November 2017, ada 95
kabupaten dan kota dari 20 provinsi yang melaporkan kasus difteri.
1.2.7 Hingga Januari 2018, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyebut kejadian
luar biasa (KLB) difteri di Indonesia paling tinggi di dunia. KLB difteri terjadi di
28 provinsi serta 142 kabupaten/kota.
1.2.8 Wilayah RW 02 Kelurahan Kedaung Kaliangke merupakan salah satu kawasan
yang belum pernah dilakukan penelitian mengenai tingkat keberhasilan status
imunisasi difteri melalui format RCA.

1.3 Tujuan Penelitian


1.4.1 Tujuan Umum
Terpenuhinya target cakupan imunisasi ORI difteri di Puskesmas Kedaung
Kaliangke.
1.4.2 Tujuan Khusus
1.4.2.1 Diketahuinya tingkat keberhasilan imunisasi status imunisasi ORI difteri RW 02
melalui format RCA.

1.4 Manfaat Penelitian


1.5.1 Bagi Peneliti
1.5.1.1 Memperoleh pengalaman belajar dan pengetahuan dalam melakukan penelitian.
1.5.1.2 Menerapkan ilmu pengetahuan dan membandingkannya dengan keadaan yang
sebenarnya dalam masyarakat.
1.5.1.3 Sebagai pengalaman berharga dalam rangka menambah wawasan pengetahuan
serta pengembangan diri, khususnya dalam bidang penelitian lapangan.
1.5.1.4 Berperan serta dalam usaha penanggulangan KLB Difteri di Provinsi DKI Jakarta.
1.5.1.5 Melatih peneliti untuk membuat suatu program dan karya tulis sebagai salah satu
tugas dalam menjalankan program Internsip.
1.5.1.6 Hasil Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi dan
pengetahuan bagi peneliti selanjutnya.

3
1.5.2 Bagi Puskesmas
1.5.3.1 Sebagai bahan masukan bagi petugas kesehatan dalam melaksanakan kegiatan
imunisasi di Puskesmas Kedaung Kaliangke.
1.5.3.2 Membantu mendapatkan sasaran yang belum mendapatkan imunisasi difteri
dirujuk ke pos pelayanan imunisasi atau Puskesmas untuk mendapat imunisasi
difteri.
1.5.3.3 Dengan adanya penelitian dengan menggunakan format RCA, diharapkan
berhasilnya program imunisasi khususnya ORI Difteri di Puskesmas Kedaung
Kaliangke.

4
BAB II
Tinjauan Pustaka

2.1 Difteri
Difteri adalah suatu penyakit infeksi yang disebarkan dari orang ke
orang melalui percikan ludah dari tenggorokan melalui batuk dan bersin. Penyakit
ini biasanya muncul 2 sampai 5 hari setelah terinfeksi. Difteri umumnya
menyerang tonsil, faring, laring dan kadang kulit. Gejala berkisar dari gejala
ringan seperti nyeri menelan sampai berat yang mengancam jiwa, seperti difteri
laring atau saluran nafas atas dan bawah. Difteri seringkali diikuti dengan
komplikasi miokarditis dan neuritis. Penyakit ini dapat berakibat fatal. Lima
sampai sepuluh persen pasien difteri meninggal, meski telah mendapat
pengobatan. Apabila tidak diobati, penyakit ini dapat mengakibatkan lebih banyak
kematian. Pasien yang tidak diobati dapat menularkan sampai 2-3 minggu
sehingga berpotensi untuk menimbulkan wabah.
Berdasarkan panduan WHO, definisi kasus klinis pada KLB difteri
adalah laringitis, faringitis atau tonsilitis disertai pseudomembran di tonsil, faring
dan/atau hidung. Isolasi C. diphtheria dari apus tenggorok merupakan kriteria
diagnostik laboratorium. Sedangkan berdasarkan buku pedoman Penanggulangan
KLB Difteri Provinsi Jawa Timur adalah sebagai berikut: kasus suspek difteri
adalah orang dengan gejala laringitis, nasofaringitis atau tonsilitis ditambah
pseudomembran putih keabuan yang tak mudah lepas dan mudah berdarah di
faring, laring, tonsil. Kasus probable difteri adalah suspek difteri ditambah salah
satu dari : a)Pernah kontak dengan kasus (<2 minggu),b)Ada didaerah endemis
difteri, c)Stridor, bullneck, Perdarahan submukosa atau petekie pada kulit,
d)Gagal jantung, gagal ginjal akut, miokarditis dan atau kelumpuhan motorik 1 s/d
6 minggu setelah awitan, e)Mati. Kasus konfirmasi Difteri adalah kasus probable
yang hasil isolasi ternyata positif C. difteriae yang toksigenik (dari usap hidung,
tenggorok, ulkus kulit, jaringan, conjungtiva, telinga, vagina) atau serum
antitoksin meningkat 4 kali lipat atau lebih (hanya bila kedua sampel serum
diperoleh sebelum pemberian toksoid difteri atau antitoksin).

5
2.1.1 Epidemiologi
Pada awal tahun 1990, WHO melaporkan endemic difteri di Brazil,
India, Indonesia, Filipina, dan beberapa bagian dari Uni Soviet. Angka kematian
berkisar 5-10%, dan lebih tinggi pada anak usia < 5 tahun.
Penelitian di India, melaporkan bahwa insiden tertinggi terlihat pada
kelompok umur 0-5 tahun (58%), rasio laki-laki banding perempuan 1,833:1,
Sebagian besar pasien berasal dari pedesaan (47%) dan wilayah kesukuan
(39,5%).

2.1.2 Etiologi
Difteri adalah penyakit infeksi akut yang terjadi secara lokal pada
mukosa atau kulit, yang disebabkan oleh basil Gram Positif Corynebacterium
diphteriae dan Corynebacterium ulceran.
Korinebakteri berdiameter 0,5-1 µm dan panjang beberapa
mikrometer. Secara khas, organisme ini memiliki pembengkakan iregular pada
satu ujung yang memberikan gambaran “bentuk gada”. Pada agar darah, koloni C.
diphteriae berukuran kecil, granular, dan berwarna abu-abu, dengan tepi tidak
teratur, dan dapat mempunyai zona hemolisis. Pada agar kalium telurit, koloni
berwarna coklat hingga hitam, karena telurit di reduksi secara intrasellular.

2.1.4 Patogenesis
Bakteri biasanya memasuki tubuh melalui saluran pernafasan bagian
atas, tapi dapat juga masuk melalui kulit, genital, atau mata. C. diphteriae dalam
hidung atau mulut berkembang di sel epitel saluran nafas atas terutama tonsil,
kadang kulit, konjungtiva, dan genital. Basil menghasilkan eksotoksin yang
menyebabkan reaksi inflamasi lokal, selanjutnya terjadi kerusakan jaringan dan
nekrosis .
Toksin terdiri atas 2 fragmen, fragmen B berikatan dengan reseptor
penjamu dan sifat proteolitik yang memotong lapisan membrane lipid, sehingga
membantu fragmen A masuk ke sel penjamu. Selanjutnya terjadi destruksi epitel
dan nekrosis. Pada daerah nekrosis terbentuk fibrin yang diinfiltrasi sel darah
putih membentuk patchy exudat. Pada keadaan lanjut, toksin diproduksi lebih
banyak dan nekrosis semakin luas. Jika membrane menyebar ke bronchial dapat
menimbulkan dispneu. Kerusakan jaringan lokal, menyebabkan toksin menyebar
6
melalui limpa dan hematogen ke organ lain seperti miokardium, ginjal, dan
system saraf.

2.1.4 Diagnosis
Kriteria laboratorium untuk diagnosis difteri:
Isolasi Corynebacterium diphteriae dari spesimen klinis, atau antibodi serum
meningkat 4 kali atau lebih (hanya bila kedua sampel serum diperoleh sebelum
pemberian toxoid difteri atau antitoxin).
Klasifikasi kasus difteri
 Kasus probable difteri adalah kasus yang memenuhi deskripsi klinis difteri
 Kasus konfirmasi difteri adalah kasus probable difteri yang dipastikan
melalui pemeriksaan laboratorium atau berhubungan secara epidemiologi
dengan kasus terkonfirmasi laboratorium.

2.1.5 Tatalaksana
Semua kasus yang memenuhi kriteria di atas (probable difteri) harus
diperlakukan sebagai difteri sampai terbukti bukan. Tujuan pengobatan penderita
difteri adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan
mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diphtheriae
untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteri.

7
 Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
tenggorok negatif 2 kali berturut-turut dengan jarak 24 jam. Pada
umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring
selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat.
 Khusus
Antitoksin: Anti Diphtheria Serum (ADS)
Antitoksin diberikan segera setelah ditegakkan diagnosis difteri. Dengan
pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita
kurang dari 1%, namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka
kematian ini bisa meningkat sampai 30%.

 Antibiotik
Antibiotik diberikan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi
toksin. Penisilin prokain 25.000 - 50.000 U/kgBB/hari (maksimum 1,2 juta
U/hari) selama 14 hari. Bila terdapat riwayat hipersensitivitas penisilin
diberikan eritromisin 40 mg/kgBB/hari (maksimum 2 g/hari) dibagi 4
dosis, interval 6 jam selama 14 hari.
 Kortikosteroid
Kortikosteroid diberikan untuk kasus difteri yang disertai dengan gejala
obstruksi saluran napas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck) dan

8
bila terdapat penyulit miokarditis. Prednison 2 mg/kgBB/hari selam 2
minggu kemudian diturunkan bertahap
 Trakeostomi
Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernapasan yang
progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
 Manajemen kontak
Untuk memutuskan rantai penularan, seluruh anggota keluarga serumah
harus segera diperiksa oleh dokter dan diperiksa apus tenggorok untuk
menentukan status mereka apakah mereka penderita atau karier (pembawa
kuman) difteri dan mendapat pengobatan (eritromisin 50 mg/kg berat
badan selama 5 hari). Awasi ketat selama 7 hari mulai tanggal terakhir
kontak. Lakukan desinfeksi serentak dan menyeluruh terhadap barang
yang terpapar dengan penderita. Beri eritromisin pada semua orang
serumah tanpa melihat status imunisasi. Bila kontak menangani makanan
dan anak sekolah, bebaskan dari tugas tersebut sementara. Berikan vaksin
pada fase konvalesen sesuai rekomendasi.Pengobatan karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan tanda dan gejala
difteri, tetapi pada kultur swab tenggorok ditemukan basil difteri dalam
nasofaringnya. Pengobatan untuk karier adalah benzatin penisilin G
600.000 unit untuk anak <30 kg dan 1,2 juta unit untuk anak > 30 kg, atau
eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis selama 7 hari, maksimum
(1 gram/hari). Pemantauan dilakukan sampai ada hasil kultur, jika masih
positif, antibiotik diberikan lebih lama.

9
2.1.6 Prognosis
Prognosis bergantung pada virulensi basil, lokasi dan luas membrane,
kekebalan penderita, cepat lambatnya pengobatan, dan pengobatan yang
diberikan. Pada difteri dengan keterlibatan jantung prognosisnya buruk dengan
angka kematian 60-90%.

2.1.7 Pencegahan
Pencegahan terbaik dengan vaksinasi. Untuk vaksin anak dan remaja
dengan DTaP dan dewasa Tdap tiap 10 tahun atau ketika terjadi paparan [1].
Membatasi kontak dengan basil seminimal mungkin, pasien difteri harus
diisolasi dan bahayanya dapat dikurangi dengan pemberian antibiotic.

2.2 KLB Difteri


Suatu wilayah dinyatakan KLB Difteri jika ditemukan minimal 1
Suspek Difteri. Faktor faktor kemungkinan penyebab terjadinya KLB difteri di
Indonesia Munculnya KLB Difteri dapat terkait dengan adanya immunity gap,
yaitu kesenjangan atau kekosongan kekebalan di kalangan penduduk di suatu
daerah. Kekosongan kekebalan ini terjadi akibat adanya akumulasi kelompok
yang rentan terhadap Difteri, karena kelompok ini tidak mendapat imunisasi atau
tidak lengkap imunisasinya. Akhir-akhir ini, di beberapa daerah di Indonesia,
muncul penolakan terhadap imunisasi Adanya miskonsepsi beberapa orang atau
kelompok terhadap vaksinasi merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya
KLB di Indonesia dan kelompok ini harus didekati secara khusus.
Selain itu, petugas kadang menunda imunisasi pada anak yang sakit
ringan padahal imunisasi tidak boleh diberikan hanya pada keadaan defisiensi
imun dan riwayat syok anafilaksis pada pemberian vaksin terdahulu. Vaksin
difteri mengandung toksoid yang memerlukan pemberian iImunisasi penguat
untuk tetap mempertahankan titer antibodi pada ambang pencegahan. Untuk itu
diperlukan suntikan sebanyak 5 kali sebelum mencapai umur masuk sekolah
dasar. Selain itu, kualitas vasin dapat mempengaruhi efektivitasnya. Hal ini sangat
ditentukan oleh rantai dingin distribusi sehingga perlu dilakukan pemantauan
transportasi dan penyimpanannya.

10
Kegiatan imunisasi dalam KLB difteri antara lain :
1. Penguatan imunisasi dasar dan lanjutan untuk mencegah KLB difteri:
a. Cakupan imunisasi dasar (DPT3), pada bayi harus mencapai minimal 95%
b. Cakupan imunisasi lanjutan usia 18 bulan dan anak sekolah dasar minimal
harus mencapai 95%
2. Melakukan Outbreak Response Immunisation (ORI)
3. Jika pertimbangan epidemiologi mengharuskan, maka seluruh populasi orang
dewasa harus disertakan dalam imunisasi massal.
4. Melakukan Rapid Convenience Assessment (RCA) pada wilayah yang ada
kegiatan imunisasi untuk mengetahui validitas cakupan dan tanggapan
masyarakat yang masih menolak imunisasi.
5. Memantau kualitas dan manajemen rantai vaksin. Potensi vaksin sangat besar
kontribusinya terhadap kualitas pelayanan imunisasi dan terbentuknya
kekebalan.
6. Memantau dan membina kompetensi petugas pengelola vaksin maupun
koordinator program imunisasi. Kualitas pengelola vaksin dan koordinator
program imunisasi yang tidak kualified akan berpengaruh pada kualitas
vaksinasinya.
7. Penderita difteri apabila telah sembuh dan yang tidak pernah diimunisasi
sebaiknya segera diberi satu dosis vaksin yang mengandung toksoid difteri
(sebaiknya Td) dan kemudian lengkapi imunisasi dasar sekurang-kurangnya 3
dosis.
8. Penderita dengan status imunisasi belum lengkap, harus melengkapi imunisasi
dasar dan lanjutan sesuai jadual program imunisasi nasional.

11
2.3 Imunisasi
Imunisasi merupakan salah satu pencegahan penyakit menular
khususnya Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) yang
diberikan kepada tidak hanya anak sejak masih bayi hingga remaja tetapi juga
kepada dewasa. Cara kerja imunisasi yaitu dengan memberikan antigen bakteri
atau virus tertentu yang sudah dilemahkan atau dimatikan dengan tujuan
merangsang sistem imun tubuh untuk membentuk antibodi. Antibodi yang
terbentuk setelah imunisasi berguna untuk menimbulkan /meningkatkan
kekebalan seseorang secara aktif sehingga dapat mencegah atau mengurangi
kejadian akibat penularan PD3I tersebut.
Imunisasi merupakan salah satu investasi kesehatan yang paling cost-
effective (murah), karena terbukti dapat mencegah dan mengurangi kejadian sakit,
cacat, dan kematian akibat PD3I yang diperkirakan 2 hingga 3 juta kematian tiap
tahunnya. Dalam Undang-undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 dinyatakan
bahwa setiap anak berhak memperoleh imunisasi dasar sesuai dengan ketentuan
untuk mencegah terjadinya penyakit yang dapat dihindari melalui imunisasi dan
pemerintah wajib memberikan imunisasi lengkap kepada setiap bayi dan anak.
Penyelenggaraan imunisasi tertuang dalam Peraturan MenteriKesehatan Nomor
42 Tahun 2013.

12
2.3.1 Imunisasi Dasar pada Bayi
Setiap negara mempunyai program imunisasi yang berbeda, tergantung
prioritas dan keadaan kesehatan di masing-masing negera. Penentuan jenis
imunisasi ini didasarkan atas kajian ahli dan analisa epidemiologi atas penyakit-
penyakit yang timbul. Di Indonesia, program imunisasi mewajibkan setiap bayi
(usia 0-11 bulan) mendapatkan imunisasi dasar lengkap yang terdiri dari 1 dosis
Hepatitis B, 1 dosis BCG, 3 dosis DPT-HB-Hib, 4 dosis polio tetes, dan 1 dosis
campak dengan jadwal pemberian sebagai berikut:

13
Tren imunisasi dasar lengkap nasional tahun 2015 dapat dilihat sebagai berikut
dibawah ini.

 Dibandingkan periode 2008-2011, cakupan imunisasi dasar lengkap periode


2012-2015 di Indonesia mengalami penurunan
 Cakupan imunisasi dasar lengkap berdasarkan data rutin pada tahun 2010-
2013 mencapai target Rencana Strategi (Renstra) Kementerian kesehatan.
Namun pada tahun 2014 dan 2015 cakupan imunisasi tidak mencapat terget
renstra yang diharapkan.
 Proporsi imunisasi dasar lengkap menurut survei Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) pada tahun 2010 (53,8%) dan 2013 (59,2%) belum mencapai
target yang ditetapkan pada tahun tersebut. Alan tetapi telah mengalami
mengalami peningkatan yang cukup baik.
 Terdapat perbedaan data imunisasi dasar lengkap dari hasil pencatatan rutin
dan survei. Capaian imunisasi dasar lengkap dari hasil pencatatan rutin lebih
tinggi dibandingkan data yang diperoleh dari survei Riskesdas.
 Perbedaan yang terjadi disebabkan karena adanya kelemahan pada data rutin
yaitu validitas dan kelengkapan yang beragam. Sebagian daerah memiliki
validitas dan kelengkapan yang baik, namun beberapa daerah lainnya memiliki
validitas dan kelengkapan data yang rendah. Sedangkan kelemahan dari data
survei yaitu terdapat balita yang tidak dapat diketahui status imunisasinya
(missing) dan bias memory recall dari ibu. Hal ini karena ketiadaan buku KIA
atau kartu imunisasi untuk menggali informasi yang dimaksud. Selain itu,
ketidakakuratan pewawancara saat proses wawancara dan pencatatan.
14
 Data imunisasi dasar lengkap dari Riskesdas 2013 didapatkan standard error
(SE) 2,5 lebih besar dibandingkan dengan SE dari data rutin 2014 yang
sebesar 1,6. Perhitungan SE didapatkan dari persentase per provinsi tanpa
menggunakan pembobotan.

2.3.2 Imunisasi DPT dan Kejadian Difteri

 Tren cakupan DPT 3 dari data rutin antara tahun 2007-2015 memperlihatkan
kondisi yang konstan karena caupan pada periode tersebut sudah tinggi yaitu
antara 90-100%
 Sedangkan tren jumlah kasus difteri cenderung meningkat, puncaknya terjadi
pada tahun 2002, yaitu sebanyak 1.192 kasus. Provinsi Jawa Timur merupakan
kontributor terbesar kasus difteri, yaitu sebanyak 74% dari seluruh kasus pada
tahun 2014. Demikian pula pada tahun 2015, Jawa Timur masih menyumbang
kasus terbesar (63%)
 Pada tahun 2015, sebanyak 37% kasus difteri merupakan penderita yang
belum mendapatkan imunisasi DPT3.
 Data cakupan imunisasi DPT3 dari Riskesdas 2013 didapatkan standard error
(SE) 2,2 lebih besar dibandingkan dengan SE dari data rutin 2013 yang
sebesar 1,7.

15
2.3.3 Imunisasi Anak sekolah
Setelah mendapatkan imnisasi dasar lengkap pada saat bayi, seorang
anak membutuhkan imunisasi lanjutan selain saat berusia sebelum tiga tahun
(batita) dengan mendapatkan imunisasi DPY-HB-Hib dosis ke-4 pada usia 18
bulan dan campak dosis kedua pada usia 24 bulan dan pada saat usia sekolah
dasar, yaitu imunisasi campak dan DT pada siswa kelas 1 dan imunisasi Td pada
siswa kelas 2 dan 3. Pemberian imunisasi pada anak SD diberikan dalam kegiatan
Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) yaitu imunisasi campak pada bulan
Agustus sedangkan imunisasi DT dan Td pada bulan November.

2.4 Outbreak response immunization (ORI)


Outbreak response immunization atau (ORI) adalah strategi yang
dilakukan untuk mengedalikan KLB melalui pemberian imunisasi tambahan yang
dilakukan di wilayah yang sedang terjadi KLB, khusus untuk populasi yang
berisiko tertular penyakit tersebut (dalam hal ini difteri). Tujuan ORI untuk
meningkatkan kekebalan populasi tersebut sehingga dapat mencegah meluasnya
penularan penyakit, menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit
tersebut. 7 ORI dilakukan tanpa menunggu hasil laboratorium suspek difteri
(kasus indeks), dengan sasaran sesuai dengan kajian epidemiologi tanpa
memandang status imunisasi sebelumnya. Cakupan ORI minimal 90% pada lokasi
yang telah ditetapkan.
Skema pemberian vaksin difteri pada ORI adalah anak usia 1 tahun
sampai dengan <19 tahun tanpa memandang riwayat imunisasi yaitu dengan
menyuntikkan vaksin DPT atau DT atau Td sesuai usia, sebanyak 3 kali. . Vaksin
yang digunakan adalah:
a. anak usia 1 - < 5 tahun menggunakan vaksin DPT-HB-Hib,
b. anak usia 5 - <7 tahun menggunakan vaksin DT
c. anak usia ≥ 7 tahun menggunakan vaksin Td.

Suntikan pertama disuntikkan 1 kali pada bulan ini, selanjutnya


suntikkan kedua diberikan 1 kali dengan jarak 1 bulan dari suntikan pertama, dan
suntikan ke tiga diberkan 1 kali berjarak 6 bulan dari suntikan kedua. Imunisasi
disuntikkan secara intramuscular (IM) di area deltoid (otot lengan atas) kiri
16
dengan dosis 0,5 mL. Pemberian vaksin dalam skala luas diperlukan untuk
mengendalikan KLB tanpa memandang status imunisasi sebelumnya. Sehingga
anak yang sudah lengkap imunisasinya, tetap diberikan tiga dosis vaksin sesuai
skema ORI yaitu bulan ke-0,1 dan 6.
Tempat pelaksanaan ORI KLB difteri dilakukan di sarana kesehatan
pemerintah (posyandu, Puskesmas, RS Pemerintah) dan sekolah. Sarana kesehatan
non pemerintah/swasta dapat melakukan ORI berkordinasi dengan Dinas
Kesehatan setempat.

2.5 Rapid Convenience Assessment (RCA)


Kegiatan evaluasi dilakukan setelah pelaksanaan kegiatan ORI difteri
dengan menggunakan format RCA (Rapid Convenience Assesment)/ Penilaian
Cepat. Penilaian cepat (RCA) dilakukan untuk mengetahui apakah seluruh sasaran
pada daerah tersebut sudah diimunisasi. Penilaian ini dilakukan terhadap minimal
20 rumah. Melalui kegiatan ini diharapkan tidak ada puskesmas yang tidak
mencapai target cakupan. Melalui “penilaian cepat atau Rapid Convenient
Assessment” yang sudah dilakukan di suatu daerah, dapat diketahui alasan tidak
terimunisasinya sasaran dan kisaran cakupan di daerah tersebut. Sasaran yang
belum mendapatkan imunisasi dirujuk ke pos pelayanan imunisasi atau Puskesmas
untuk mendapatkan imunisasi difteri, dan petugas diminta untuk kembali mencari
sasaran lain yang mungkin belum terimunisasi.

17
BAB III
Metodologi Penelitian

3.1 Desain Penelitian


Desain penelitian yang digunakan adalah studi deskriptif untuk mendapatkan
gambaran tentang imunisasi dan cakupan ORI difteri di wilayah RW 02 Kedaung
Kaliangke, Jakarta Barat.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 17 Januari 2018 dan 30 Januari 2018 di
wilayah RT 03,04 RW 02 Kedaung Kaliangke, Jakarta Barat.

3.3 Sumber Data


Sumber data terdiri dari data primer yang diambil dengan wawancara pada warga
RT 03,04 RW 02 Kedaung Kaliangke, Jakarta Barat.

3.4 Populasi
3.4.1 Populasi Target
Populasi target adalah semua keluarga yang memiliki anggota keluarga yang
berusia 1-19 tahun.

3.4.2 Populasi Terjangkau


Populasi terjangkau adalah semua keluarga yang memiliki anggota keluarga yang

18
3.5 Protokol Mini Project

Menentukan rumusan masalah dengan Kepala


Puskesmas Kelurahan Kedaung Kaliangke

Koordinasi kepada pemegang


program ORI Difteri di Puskesmas
Kelurahan Kedaung Kaliangke

Melakukan pengambilan data


dengan melakukan RCA di RT
03,04 RW 02 Kedaung Kaliangke

Melakukan pengolahan data

Pelaporan hasil pelaksanaan mini


project

3.6 Manajemen Data


1. Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dari keluarga yang memiliki anggota keluarga berusia 1-19
tahun di wilayah RT 03,04 RW 02 Kedaung Kaliangke pada Januari 2018.
Teknik pengumpulan data dengan menggunakan wawancara.
2. Pengolahan Data
Terhadap data-data yang telah dikumpulkan dilakukan pengolahan berupa
proses editing, verifikasi, data entry, dan cleaning. Selanjutnya dimasukkan
dan diolah dengan menggunakan program komputer, yaitu program Microsoft
Word dan Microsoft Excel.
3. Penyajian Data
Data yang didapat disajikan secara tekstular dan tabular.
4. Pelaporan Data
Data disusun dalam bentuk pelaporan penelitian yang selanjutnya akan di
presentasikan di hadapan Kepala dan staf Puskesmas Kelurahan Kedaung
Kaliangke, Jakarta Barat.

19
Bab IV
Hasil

4.1 Profil Komunitas Umum


Kelurahan Kedaung Kaliangke merupakan bagian dari Kecamatan
Cengkareng yang terletak di bagian Barat Jakarta. Kelurahan ini merupakan luas
wilayah 2,61 km2 dan berpenduduk lebih dari 11.901 KK. Wilayah kelurahan
Kedaung Kaliangke terbagi atas 10 RW. Jumlah penduduk yang tercatat di
kelurahan Kedaung Kaliangke ialah sebanyak 42.366 jiwa.
Kelurahan Kedaung Kaliangke sebagian besar wilayahnya terdiri dari
pergudangan dan pabrik. Selain perkantoran dan kantor SATPAS juga terdapat
dua tempat perumahan elite yaitu Casa Jardin dan Green Mansion. Kelurahan ini
dikelilingi oleh 3 sungai besar yaitu sungai Cengkareng drain di sebelah Barat,
sungai Cisadane di sebelah Selatan memisahkan satu bagian wilayah RW yaitu
RW 08 dan sungai Angke di sebelah Timur, sedangkan sisi Utara dilintasi oleh
sungai Apuran. Sungai Angke dan sungai Cisadane adalah sungai dengan
penyumbang banjir terbesar di kelurahan ini hingga tahun 2015.

4.2 Data Geografis


Kelurahan Kedaung Kaliangke terletak pada bagian Barat Jakarta
dengan luas wilayah 2,61 km2. Kelurahan ini berbatasan dengan Kelurahan Kapuk
di sebelah Utara, Kelurahan Wijaya Kusuma di sebelah Timur, dan Kelurahan
Kembangan di sebelah Selatan.

4.3 Data Demografik


Kelurahan Kedaung Kaliangke mencakup 10 RW yang terdiri dari 97
RT dengan jumlah penduduk 36.124 jiwa. Kelurahan ini memiliki kepadatan
penduduk 13.840 jiwa/km2. Sebanyak 19.203 jiwa penduduknya merupakan laki-
laki sedangkan 16.821 jiwa penduduknya adalah perempuan. Terdapat warga
negara asing yang berdiam di wilayah kelurahan Kedaung Kaliangke, 5 orang
laki-laki dan 3 orang perempuan. Jumlah penduduk yang bekerja hanya 24.100
jiwa.

20
UMUR JUMLAH PENDUDUK
JUMLAH
(TAHUN) LAKI-LAKI PEREMPUAN
(ORANG)
(ORANG) (ORANG)
0-4 1.260 1.215 2.475
5-9 1.398 1.049 2.447
10-14 1.242 1.219 2.461
15-49 12.819 11.216 24.035
50-64 1.994 1.749 2.743
65 + 490 474 964
JUMLAH 19.203 16.921 36.124
Tabel 1. Jumlah Penduduk Kelurahan Kedaung Kaliangke menurut Kelompok Umur, Tahun 2015

Mata pencaharian utama penduduk Kelurahan Kedaung Kaliangke


adalah pedagang dan pemilih rumah makan (9.000 jiwa), lalu karyawan bank
(3.400 jiwa) diikuti pertukangan listrik dan air (3.300 jiwa). Usia penduduk
kelurahan Kedaung Kaliangke tersebar secara merata dengan proporsi terbesar
usia produktif.

4.4 Hasil RCA


Dari RCA yang dilakukan di wilayah RT 03,04 RW 02 Kedaung Kaliangke,
Jakarta Barat pada tanggal 17 Januari 2018 dan 30 Januari 2018 didapatkan 33
anak berusia 1-19 tahun dari 20 rumah yang dikunjungi. Data imunisasi dan
cakupan ORI difteri dari 33 anak tersebut adalah sebagai berikut:

Jenis Imunisasi Jumlah Anak Persentase

HB-0 33 100 %

BCG 33 100 %

DPT-HB-HIB 1 33 100 %

DPT-HB-HIB 2 33 100 %

DPT-HB-HIB 3 33 100 %

POLIO 1 33 100 %

POLIO 2 33 100 %

21
POLIO 3 33 100 %

POLIO 4 33 100 %

CAMPAK 33 100 %

BOOSTER 10 30,30 %

MR 30 100 %

ORI-0 32 96,96 %

ORI-1 17 51,51 %

22
Bab V
Pembahasan

5.1 Analisis Hasil RCA


Dari hasil RCA yang telah dilakukan, didapatkan 100% subjek
penelitian sudah diimunisasi HB-0, BCG, DPT-HB-HIB 1, DPT-HB-HIB 2, DPT-
HB-HIB 3, Polio 1, Polio 2, Polio 3, Polio 4, Campak, MR. Sebanyak 30,30 %
subjek penelitian sudah diimunisasi booster (imunisasi ulang), baik DPT-HB-HIB
ataupun Campak. Sebanyak 96,96 % sudah mengikuti ORI difteri pertama dan
Sebanyak 51,51% sudah mengikuti ORI difteri kedua.
Tingginya cakupan hampir keseluruhan imunisasi dan yang mengikuti
ORI dipikirkan karena tingkat pengetahuan penduduk yang sudah baik, peran aktif
kader dan warga di RW 02, peran aktif petugas kesehatan di Puskesmas Kedaung
Kaliangke (memberikan penyuluhan, melakukan sweeping, dan membuka posko
di luar jadwal Posyandu).
Rendahnya cakupan imunisasi booster yang didapatkan pada penelitian
ini disebabkan karena program booster yang baru berjalan pada tahun 2013,
sehingga sebagian besar anak yang sudah berusia lebih dari 4 tahun tidak
mendapatkan imunisasi booster ini.
Terdapat 1 subjek penelitian yang belum mengikuti ORI difteri
pertama. Subjek penelitian ini belum mengikuti ORI difteri kedua karena pada
saat waktu yang telah dijadwalkan dan saat dilakukan RCA sedang sakit dan
sedang dalam pengobatan.

23
Sedang angka persentasi subjek yang sudah melakukan ORI kedua hanya
51,51 % oleh karena pada saat penjadwalan ORI kedua, kondisi sebanyak 9,09 %
subjek sedang sakit, selain itu sebanyak 36,36 % terdapat anak yang dilakukan
penyuntikan di sekolah masing-masing dan 3,03 % subjek belum sempat datang
ke posko ORI kedua.

100%
90%
80%
70% 51,51 % sudah ORI
60%
50% 36.36 % menunggu
40% suntik
di sekolah
30%
20% 9,09 % % sedang
sakit
10%
0% 3,03 % menunggu
suntik di sekolah
Imunisasi dasar ORI 1 ORI 2

24
Bab VI
Penutup

6.1. Kesimpulan
1. Cakupan imunisasi dari sampel yang didapat di RT 03,04 RW 02 Kedaung
Kaliangke, kecuali booster, sudah mencapai 100%.
2. Cakupan ORI difteri pertama dari sampel yang didapat di RT 03,04 RW 02
Kedaung Kaliangke belum mencapai 100%.
3. Dari populasi target didapatkan 1 orang yang belum mengikuti ORI pertama
karena karena pada saat waktu yang telah dijadwalkan sedang sakit dan
sedang dalam pengobatan.
4. Cakupan ORI difteri kedua RT 03,04 RW 02 belum mencapai 100 % oleh
karena didapatkan sebanyak 9,09 % subjek sedang sakit, sebanyak 36,36 %
terdapat anak yang dilakukan penyuntikan di sekolah masing-masing dan
3,03 % subjek belum sempat datang ke posko ORI kedua.

6.2. Saran

1. Diharapkan dapat dilakukan RCA pada wilayah lain yang dipikirkan memiliki
cakupan imunisasi dan cakupan ORI difteri rendah.
2. Diharapkan dapat dilakukan penguatan imunisasi rutin (bayi,baduta dan
BIAS) di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Kedaung Kaliangke sehingga
tercapai cakupan imunisasi yang tinggi dan dapat memutus rantai penularan
PD3I di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Kedaung Kaliangke.
3. Diharapkan kader masing – masing RT di walayah RW 02 pro aktif mencatat
nama-nama anak yang status ORI nya menunda oleh karena dalam kondisi
sakit kemudian memantau bila kondisi anak tersebut sehat, kader dapat
mengingatkan orangtua sang anak untk dilakukan penyuntikan kepuskesmas.
4. Diharapkan agar saat satu bulan sebelum dilakukan penyuntikan ORI ketiga,
para petugas kesehatan yang bertugas di posyandu memberikan arahan atau
peringatan kembali kepada orangtua di wilayah setempat untuk dilakukan
penyuntikan ketiga. Mengingat jarak watu antara ORI kedua dan ketiga cukup
jauh. Sehingga tidak ada orangtua yang lupa melakukan penyuntikan ketiga
untuk anaknya.

25
Daftar Pustaka

1. Ummamah F. Rapid Assessment of Third Round of Sub PIN Diphteria at Tambakrejo


Village Jombang. Surabaya: Universitas Airlangga; 2014. Diunduh dari https://e-
journal.unair.ac.id/index.php/JBE/article/view/2119

2. Ulasan Kesehatan 2017: Indonesia Berperang Melawan Difteri dan Anti-imunisasi. Di akses
dari: https://tirto.id/2017-indonesia-berperang-melawan-difteri-dan-anti-imunisasi-cCxg pada
14 Februari 2018

3. Amindoni A. BBC Indonesia: Wabah difteri di 20 provinsi: Lima hal yang perlu anda ketahui.
Di akses dari: http://www.bbc.com/indonesia/majalah-42215042 pada 14 Februari 2018

4. Satari HI.Diphteria: Re-emergiing Disease. In Pulungan AB, Hendarto A et al. Current


Evidences in Pediatric Emergencies Management. Edisi 1. Jakarta: Departemen Ilmu
Kesehatan Anak FKUI-RSCM; 2014.

5. InfoDatin. Situasi Imunisasi di Indonesia. 2016 Diunduh dari:


www.pusdatin.kemkes.go.id/.../situasi-imunisasi-di-indonesia-tahun-2007---2015.html pada 14
Februari 2018.

6. Ikatan Dokter Anak Indonesia. FAQ seputar kegiatan outbreak response


immunization (ORI) difteri. 16 Desember 2017. Diunduh dari:
http://www.idai.or.id/about-idai/idai-statement/faq-seputar-kegiatan-outbreak-
response-immunization-ori-difteri, 14 Februari 2018.

7. Anggraeni ND, Yosephine P, Ummar AN et al. Pedoman Pencegahan dan


Pengendalian Difteri. Edisi 1. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2017. Diunduh
dari https://www.informasikedokteran.com/2017/12/pedoman-pencegahan-dan-
pengendalian.html pada 14 februari 2018.

26

You might also like