You are on page 1of 37

KEPERAWATAN ANAK

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN MASALAH PENYAKIT


TROPIS DAN INFEKSI

Dosen Pembimbing : Bu Aloysia Ispriantari

Nama Kelompok :

1. Ashari (161081)
2. Hilmatul izza (161099)
3. Ola sanda Y. (161116)

2B KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN RS dr. SOEPRAOEN MALANG

2017/2018
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit infeksi merupakan penyebab paling utama tingginya angka
kesakitan (mordibity) dan angka kematian (mortality) terutama pada negaranegara
berkembang seperti halnya Indonesia. Penyakit infeksi merupakan suatu penyakit
yang disebabkan karena adanya mikroba patogen (Darmadi, 2008). Salah satu
penyebab penyakit infeksi adalah bakteri (Radji, 2011).
Penyakit tropis adalah penyakit yang menjangkit pada daerah tropis dan.
Disebut sebagai penyakit tropis karena erat kaitannya dengan iklim yang terjadi di
wilayah tropis. Adanya musim kemarau (panas) yang panjang serta terjadinya musim
hujan dengan volume tinggi, sangat mempengaruhi pembentukan tempat
berkembang biak agen penyakit. Suhu musim kemarau yang tinggi dapat
mendukung replikasi agen penyakit,baik di dalam maupun di luar organism biologis.
Faktor sosio-ekonomi juga sangat mendukung, karena sebagian besar negara-
negara temiskin di dunia berada di wilayah tropis. Perubahan iklim dan pemanasan
global yang disebabkan oleh efek rumah kaca, telah menyebabkan penyakit tropis
dan vektor menyebar ke ketinggian yang lebih tinggi di daerah pegunungan.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana Asuhan Keperawatan pada anak dengan masalah tropik dan infeksi?

1.3 Tujuan Penulisan

a. Untuk mengetahui pengertian penyakit tropik dan infeksi pada anak


b. Untuk mengetahui etiologi dari penyakit tropik dan infeksi pada anak
c. Untuk mengetahui patofisiologi dari penyakit tropik dan infeksi pada anak
d. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari penyakit tropik dan infeksi pada anak
e. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari penyakit tropik dan infeksi pada anak
BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1 KONSEP DASAR

2.1.1 Konsep Dasar Campak

A. Pengertian

Campak yaitu penyakit akut yang disebabkanoleh virus campak yang sangat
menular pada anak-anak, ditandai dengan gejala panas, batuk, pilek, konjungtivitis,
bercak kemerahan diikuti dengan erupsi makulopapular yang menyuluruh. Komplikasi
campak adalah diarrhea hebat,peradangan pada telinga dan infeksi saluran nafas
(pneumonia). Penyakit ini sangat infeksius, menular sejak awal masa prodromal sampai
lebih kurang 4 hari setelah munculnya ruam. Infeksi disebarkan lewat udara (airborne).
B. Etiologi
Penyebabnya virus morbili (paramiksovirus) Virus ini terdapat dalam darah dan
sekret (cairan) nasofaring (jaringan antara tenggorokan dan hidung) pada masa gejala
awal hingga 24 jam setelah timbulnya bercak merah di kulit dan selaput lendir.
Cara penularan melalui droplet dan kontak, yakni karena menghirup percikan ludah
(droplet) dari hidung, mulut maupun tenggorokan penderita morbili/campak.
Artinya, seseorang dapat tertular campak bila menghirup virus morbili, bisa di tempat
umum, di kendaraan atau di mana saja. Penderita bisa menularkan infeksi ini dalam
waktu 2-4 hari sebelum rimbulnya ruam kulit dan selama ruam kulit ada. Masa inkubasi
adalah 10-14 hari sebelum gejala muncul.
Sebelum vaksinasi campak digunakan secara meluas, wabah campak terjadi setiap
2-3 tahun, terutama pada anak-anak usia pra-sekolah dan anak-anak SD. Jika
seseorang pernah menderita campak, maka seumur hidupnya dia akan kebal terhadap
penyakit ini.
Kekebalan terhadap campak diperoleh setelah vaksinasi, infeksi aktif dan kekebalan
pasif pada seorang bayi yang lahir dari ibu yang telah kebal (berlangsung selama 1
tahun).
1. Orang – orang yang rentan terhadap campak adalah :
 Bayi berumur > 1 tahun
 Bayi yang tidak mendapatkan imunisasi
 Remaja dan dewasa muda yang belum mendapatkan imunisasi kedua
C. Patofisiologi
Virus campak ditularkan lewat infeksi droplet lewat udara, menempel dan
berkembang biak pada epitel nasofaring. Tiga hari setelah invasi, replikasi dan
kolonisasi berlanjut pada kelenjar limfe regional dan terjadi viremia yang
pertama. Virus menyebar pada semua sistem retikuloendotelial dan menyusul
viremia kedua setelah 5-7 hari dari infeksi awal. Adanya pembesaran sel dan
proses peradangan merupakan dasar patologik ruam dan infiltrat peribronchial
paru. Juga terdapat udema, bendungan dan perdarahan yang tersebar pada
otak. Kolonisasi dan penyebaran pada epitel dan kulit menyebabkan batuk, pilek,
mata merah dan demam yang makin lama makin tinggi.

Gejala panas, batuk, pilek makin lama makin berat dan pada hari ke 10 sejak awal
infeksi mulai timbul ruam makulopapuler warna kemerahan.Virus dapat berbiak juga
pada susunan saraf pusat dan menimbulkan gejala klinik encefalitis. Setelah masa
konvelesen pada turun dan hipervaskularisasi mereda dan menyebabkan ruam menjadi
makin gelap,berubah menjadi desquamasi dan hiperpigmentasi. Proses ini disebabkan
karena pada awalnya terdapat perdarahan perivaskuler dan infiltrasi limfosit.
D. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan darah didapatkan jumlah leukosit normal atau meningkat apabila
ada komplikasi infeksi bakteri. Pemeriksaan antibodi IgM merupakan cara tercepat
untuk memastikan adanya infeksi campak akut. Karena IgM mungkin belum dapat
dideteksi pada 2 hari pertama munculnya rash, maka untuk mengambil darah
pemeriksaan IgM dilakukan pada hari ketiga untuk menghindari adanya false
negative.Titer IgM mulai sulit diukur pada 4 minggu setelah muncul rash. Sedangkan
IgG antibodi dapat dideteksi 4 hari setelah rash muncul, terbanyak IgG dapat
dideteksi 1 minggu setelah onset sampai 3 minggu setelah onset. IgG masih dapat
ditemukan sampai beberapa tahun kemudian. Virus measles dapat diisolasi dari
urine, nasofaringeal aspirat, darah yang diberi heparin, dan swab tenggorok selama
masa prodromal sampai 24 jam setelah timbul bercak-bercak. Virus dapat tetap aktif
selama sekurang-kurangnya 34 jam dalam suhu kamar.
E. Penatalaksanaan
1. Pengobatan bersifat suportif, terdiri dari :
 Pemberian cairan yang cukup
 Kalori yang sesuai dan jenis makanan yang disesuaikan dengan tingkat
kesadaran dan adanya komplikasi
 Suplemen nutrisi
 Antibiotik diberikan apabila terjadi infeksi sekunder
 Anti konvulsi apabila terjadi kejang
 Pemberian vitamin A.
2. Indikasi rawat inap : hiperpireksia (suhu > 39,00 C), dehidrasi, kejang,
asupan oral sulit, atau adanya komplikasi. Campak tanpa komplikasi :
 Hindari penularan
 Tirah baring di tempat tidur
 Vitamin A 100.000 IU, apabila disetai malnutrisi dilanjutkan 1500 IU tiap hari
 Diet makanan cukup cairan, kalori yang memadai. Jenis makanan
disesuaikan dengan tingkat kesadaran pasien dan ada tidaknya komplikasi
3. Campak dengan komplikasi :
Ensefalitis :
 Antibiotika bila diperlukan, antivirus dan lainya sesuai dengan PDT
ensefalitis
 Kortikosteroid, bila diperlukan sesuai dengan PDT ensefalitis
 Kebutuhan jumlah cairan disesuaikan dengan kebutuhan serta koreksi
terhadap gangguan elektrolit.
Bronkopneumonia :
 Antibiotika sesuai dengan PDT pneumonia
 Oksigen nasal atau dengan masker
 Koreksi gangguan keseimbangan asam-basa, gas darah dn elektrolit
Pada kasus campak dengan komplikasi bronkhopneumonia dan gizi kurang
perlu dipantau terhadap adanya infeksi TB laten. Pantau gejala klinis serta
lakukan uji Tuberkulin setelah 1-3 bulan penyembuhan.
Enteritis :
 koreksi dehidrasi sesuai derajat dehidrasi (lihat Bab enteritis dehidrasi).
 Pantau keadaan gizi untuk gizi kurang/buruk.
2.1.2 Konsep Dasar Difteri
a. Pengertian
Difteri adalah suatu penyakit akut yang bersifat toxin-mediated desease dan
disebabkan oleh kuman corynebacteriumdiphteriae. Seorang anak dapat terinfeksi
difteria pada nasofaringnya dan kuman tersebut kemudian akan memproduksi toksin
yang menghambat sintesis protein selular dan menyebabkan destruksi jaringan
setempat dan terjadilah suatu selaput/membran yang dapat menyumbatjalan nafas.
Gejala awal penyakit ini adalah radang tenggorokan, hilang nafsu makan dan demam
ringan. Dalam 2-3 hari timbul selaput putih kebiru-biruan pada tenggorokan dan tonsil.
Difteri dapat menimbulkan komplikasi berupa gangguan pernafasan yang berakibat
kematian.
b. Etiologi
Disebabkan oleh corynebacterium diphteriae, bakteri gram positif yang bersifat
polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarna sediaan langsung
dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan
langsung dari lesi.
Sifat basil polimorf, gram positif, tidak bergerak dan tidak membentuk spora, mati
pada pemanasan 60ºC selama 10 menit, tahan sampai beberapa minggu dalam es, air
susu, dan lendir yang telah menngering.
Terdapat 3 jenis basil yaitu bentuk gravis mitis dan intermedius atas dasar
perbedaan bentuk koleni dalam biakan agar darah yang mengandung kalium terlarut.
Basil dapat membentuk :
- Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih keabu-
abuan yang terkena terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan basil.
- Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah bebrapa jam
diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada
otot jantung, ginjal dan jaringan saraf. Satu perlima puluh ml toksin dapat membunuh
marmut dan kurang lebih 1/50 dosis ini dipakai untuk uji Schick.
c. Patofisiologi
Corynebacterium diphteriae masuk kehidung atau mulut dimana basil akan menempel di
mukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata atau mukosa genital.
Setelah 2-4 jam hari masa inkubasi kuman dengan corynephage menghasilkan toksik
yang mula-mula diabsorbsi oleh membran sel, kemudian penetrasi dan interferensi
dengan sintesa protein bersama-sama dengan sel kuman mengeluarkan suatu enzim
penghancur terhadap Nicotinamide Adenine Dinucleotide (NAD). Sehingga sintesa
protein terputus karena enzim dibutuhkan untuk memindahkan asam amino dan RNA
dengan memperpanjang rantai polipeptida akibatnya terjadi nekrose sel yang menyatu
dengan nekrosis jaringan dan membentuk eksudat yang mula-mula dapat diangkat,
produksi toksin kian meningkat dan daerah infeksi makin meluas akhirnya terjadi eksudat
fibrin, perlengketan dan membentuk membran yang berwarna dari abu-abu sampai hitam
tergantung jumlah darah yang tercampur dari pembentukan membran tersebut apabila
diangkat maka akan terjadi perdarahan dan akhirnya menimbulkan difteri. Hal tersebut
dapat menimbulkan beberapa dampak antara lain sesak nafas sehingga menyebabkan
pola nafas tidak efektif, anoreksia sehingga penderita tampak lemah sehingga terjadi
intoleransi aktifitas.
d. Pemeriksaan Penunjang
1. Schick test
Tes kulit ini digunakan untuk menentukan status imunitas penderita. Tes ini tidak
berguna untuk diagnosis dini karena baru dapat dibaca beberapa hari kemudian.
Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MED. Yang diberikan intrakutan dalam
bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0,1 ml bila orang tersebut tidak
mengandung antitoksin akan timbul vesikel pada bekas suntikan akan hilang setelah
beberapa minggu. Pada orang yang mengandung titer antitoksin yang rendah uji
schick dapat positif, pada bekas suntikan akan timbul warna merah kecoklatan dalam
24 jam. Uji schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat
suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung antitoksin
yang tinggi. Positif palsu dapat terjadi akibat reaksi alergi terhadap protwin antitoksin
yang akan menghilang dalam 72 jam.
2. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis
polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada urin terdapat
albumin ringan.
3. Pemeriksaan Diagnostik
• Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis,
penurunan jumlah eritrosit dan kadar albumin.
• Pada urine terdapat albuminuria ringan.

e. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis
Pengobatan umum dengan perawatan yang baik, isolasi dan pengawasan EKG yang
dilakukan pada permulan dirawat satu minggu kemudian dan minggu berikutnya sampai
keadaan EKG 2 kali berturut-
turut normal dan pengobatan spesifik.
Pengobatan spesifik untuk difter :
- ADS (Antidifteri serum), 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut dengan
sebelumnya harus dilakukan uji kulit dan mata.
- Antibiotik, diberikan penisillin prokain 5000U/kgBB/hari sampai 3 hari bebas
demam. Pada pasien yang dilakukan trakeostomi ditambahkan kloramfenikol
75mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis.
- Kortikosteroid, untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat
membahayakan, dengan memberikan predison 2mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu.
Bila terjadi sumbatan jalan nafas yang berat dipertimbangkan untuk tindakan
trakeostomi. Bila pada pasien difteri terjadi komplikasi paralisis atau paresis otot,
dapat diberikan strikin ¼ mg dan vitamin B1 100 mg tiap hari selama 10 hari.
Pengobatan spesifik: Jika diduga kuat bahwa seseorang menderita difteria
didasarkan kepada gejala klinis maka antitoksin harus diberikan setelah sampel
untuk pemeriksaan bakteriologis diambil tanpa harus menunggu hasil pemeriksaan
bakteriologis tersebut. (Saat ini yang tersedia adalah antitoksin yang berasal dari
kuda).
Diphtheria Antitoxin (DAT) tersedia di CD-Atlanta sebagai “investigational product”.
Program imunisasi (Amerika Serikat) melayani permintaan DAT pada waktu jam
kerja (pukul 08.00 am – 04.30 pm. EST; Senin – Jum’at dengan menghubungi nomor
telepon 404-639-8255). Diluar jam kerja dan pada waktu hari libur menghubungi
petugas jaga CDC pada nomor 404-639-2888. DAT disimpan di stasiun karantina
yang tersebar di seluruh negara bagian di Amerika Serikat. Sebelum diberikan
lakukan terlebih dahulu skin test untuk mengetahui adanya hypersensivitas terhadap
serum kuda. Jika hasilnya negative, DAT diberikan IM dengan dosis tunggal 20.000
– 100.000 unit tergantung berat ringan serta luasnya penyakit. Untuk kasus berat
pemberian IM dan IV dilakukan bersama-sama. Pemberian antibiotika tidak dapat
menggantikan pemberian antitoksin.
Procain Penicillin G (IM) diberikan sebanyak 25.000 – 50.000 unit/kg BB untuk anak-
anak dan 1,2 juta unit/kg BB untuk orang dewasa per hari. Dibagi dalam dua dosis.
Penderita dapat juga diberikan erythromycin 40-50 mg/kg BB per hari maksimum 2 g
per hari secara parenteral. Jika penderita sudah bisa menelan dengan baik maka
erythromycin dapat diberikan per oral dibagi dalam 4 dosis per hari atau penicillin V
per oral sebesar 125-250 mg empat kali sehari, selama 14 hari. Pernah ditemukan
adanya strain yang resisten terhadap erythromycin namun sangat jarang. Antibiotik
golongan macrolide generasi baru seperti azythromycin dan chlarithromycin juga
efektif untuk strain yang sensitif terhadap erythromycin tetapi tidak sebaik
erythromycin.
Terapi profilaktik bagi carrier: untuk tujuan profilaktik dosis tunggal penicillin G
sebesar 600.000 unit untuk anak usia dibawah 6 tahun dan 1,2 juta unit untuk usia 6
tahun ke atas. Atau dapat juga diberikan erythromycin oral selama 7-10 hari dengan
dosis 40 mg/kg BB per hari untuk anak-anak dan 1 gram per hari untuk orang
dewasa.
2. Penatalaksanaan keperawatan
Pasien difteri harus dirawat di kamar isolasi yang tertutup. Petugas harus memakai
gaun khusus (celemek) dan masker yang harus diganti tiap pergantian tugas atau
sewaktu-waktu bila kotor (jangan dari pagi sampai malam hari). Sebaiknya penunggu
pasien juga harus memakai celemek tersebut untuk mencegah penularan ke luar
ruangan. Harus disediakan perlengkapan cuci tangan: desinfektan, sabun, lap, atau
handuk yang selallu kering (bila ada tisu) air bersih jika ada kran juuga tempat untuk
merendam alat makan yang diisi dengan desinfektan.
Risiko terjadi komplikasi obstruksi jalan napas, miokarditis, pneumonia.
Pasien difteri walaupun penyakitnya ringan perlu dirawat di rumah sakit karena
potensial terjadi komplikasi yang membahayakan jiwanya yang disebabkan adanya
pseudomembran dan eksotosin yang dikeluarkan oleh basil difteri tersebut.
- Sumbatan jalan napas.
Kelainan ini terjadi karena adanya edema pada laring dan trakea serta adanya
pseudomembran. Gejala sumbatan adalah suara serak dan stridor inspiratoir. Bila
makin berat terjadi sesak napas, sianosis, tampak retraksi otot, kedengaran stridor :
a. Berikan O2
b. Baringkan setengah duduk.
c. Hubungi dokter.
d. Pasang infus (bila belum dipasang).
e. Hubungi orang tua beritahu keadaan anak dan bahaya yang dapat terjadi.
- Miokarditis.
Eksotoksin yang dikeluarkan oleh basil difteri jika diserap oleh janutng akan
menyebabkan terjadinya miokarditis yang biasanya kelainan ini timbul pada minggu
kedua sampai ketiga. Untuk mencegah adanya miokarditis hanya dengan pemberian
suntikan ADS sedini mungkin. Tetapi untuk mengetahui gejala miokarditis perlu
observasi terus menerus dan pasien harus istirahat paling sedikit 3 minggu atau
sampai hasil EKG 2 kali berturut-turut normal. Selama dirawat, pengamatan nadi,
pernapasan dan suhu dicatat dalam perawatan khusus. Bila tidak ada alat EKG :
- Pemantauan nadi sangat penting dan harus dilakukan setiap jam dan dicatat
secara teratur. Bila terdapat perubahan kecepatan nadi makin menurun (bradikardi)
harus segera menghubungi dokter.

Perawatan lain selain tanda vital dan keadaan umum :


a. Pasien tidak boleh banyak bergerak, tetapi sikap berbaringnya harus sering
diubah, misalnya setiap 3 jam untuk mencegah terjadinya komplikasi
brokopneumonia (pneumonia hipostatik).
b. Jaga kulit pada bagian tubuh yang tertekan agar tidak terjadi dekubitus (ingat
pasien tirah baring selama 3 minggu, tidak boleh bangun).
- Komplikasi yang mengenai saraf.
Komplikasi yang mengenai saraf dapat terjadi pada minggu pertama dan kedua. Jika
mengenai saraf palatum mole (saraf telan) dengan gejala bila pasien minum air/susu
akan keluar melalui hidungnya. Jika terjadi demikian :
a. Cara memberikan minum harus hati-hati, pasien sambil didudukkan.
b. Bila pasien makan cair agar dibuat agak kental dan diberikan sedikit demi sedikit.
- Komplikasi pada ginjal.
Selama pasien difteri dalam perawatan keadaan urine selain harus diperhatikan
warnanya juga banyaknya apakah normal atau tidak.
Gangguan masukan nutrisi.
Gangguan masukan nutrisi pada pasien difteri selain disebabkan karena sakit
menelan juga karena anoreksia. Jika anak masih mau menelan bujuklah agar ia mau
makan sedikit demi sedikit dan berikan makanan cair atau bubur encer dan berikan
susu lebih banyak. Jika pasien tidak amau makan sama sekali atau hanya sedikit
sekali, atau dalam keadaan sesak nafas perlu dipasang infus. Setelah 2-3 hari
kemudian sesak nafas telah berkurang sebelum infus dihentikkan dicoba makan per
oral dan apabila anak telah mau makan infus dihentikan. Berikan minum yang sering
untuk memelihara kebersihan mulut dan membantu kelancaran eliminasi.
2.1.3 Konsep Dasar Tetanus

a. Pengertian
Tetanus merupakan penyakit akut, bersifat fatal yang disebabkan oleh oksitosin yang
diproduksi bakteri clostridium tetani yang umumnya terjadi pada anak-anak. Perawatan
luka, kesehatan gigi dan telinga merupakan pencegahan utama terjadinya tetanus
disamping imunisasi terhadap tetanus baik aktif maupun pasif.
Gejala awal penyakit adalah kaku otot pada rahang disertai kaku pada leher,
kesulitan menelan, kaku otot perut, berkeringat dan demam. Pada bayi sering disertai
gejala berhenti menetek antara 3 sampai dengan 28 hari setelah lahir. Gejala berikutnya
adalah kejang hebat dan tubuh menjadi kaku. Komplikasi tetanus adalah patah tulang
akibat kejang,pneumonia dan infeksi lain yang dapat menimbulkan kematian.

b.Etiologi

Adapun Penyebab penyakit dari penyakit tetanus, yaitu : Clostridium tetani yang
hidup anaerob, berbentuk spora selama di luar tubuh manusia, tersebar luas di tanah.
Juga terdapat di tempat yang kotor, besi berkarat sampai pada tusuk sate bekas. Basil
ini bila kondisinya baik ( di dalam tubuh manusia ) akan mengeluarkan toksin. Toksin ini
dapat menghancurkan sel darah merah, merusak leukosit dan merupakan
tetanospasmin, yaitu toksin yang neurotropik yang menyebabkan ketegangan dan
spasme otot.( Ngastiyah 2005).
Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang, ramping, berukuran 2 - 5 x 0,4 –
0,5 milimikron. Kuman ini berspora termasuk golongan Gram positif dan hidupnya
anaerob. Spora dewasa mempunyai bagian yang berbentuk bulat yang letaknya di
ujung, penabuh genderang (drum stick). Kuman mengeluarkan toksin yang bersifat
neurotoksik. Toksin ini (tetanospasmin) mula - mula akan menyebabkan kejang otot dan
saraf perifer setempat. Toksin ini labil pada pemanasan, pada suhu 650C akan hancur
dalam 5 menit. Di samping itu, terdapat pula tetanolisin yang bersifat hemolisis, yang
perannya kurang berarti dalam proses penyakit. (http://
likalikuluke.multiply.com/journal/item/9+pengertian+Tetanus).
Selain penyebab di atas, dapat dilihat pula factor pendukung atau faktor predisposisi
pada penyakit tetanus, antara lain : Usia anak-anak, luka yang dalam dan kotor, serta
keadaan belum terimunisasi.

c. Patofisiologi

a. Tetanus
Penyakit tetanus terjadi karena adanya luka pada tubuh seperti : luka tertusuk
paku, pecahan kaca, atau kaleng, luka tembak, luka bakar, luka yang kotor dan
pada bayi dapat melalui tali pusat. Tetanus dapat terjadi bilamana tubuh
mengalami luka dan kebanyakan luka tusuk yang dalam misalnya tertusuk paku,
pecahan kaca, terkena kaleng, atau luka yang menjadi kotor; karena terjatuh di
tempat yang kotor atau kecelakaan dan timbul luka yang tertutup debu/kotoran.
Juga dapat terjadi pada kondisi luka bakar dan patah tulang terbuka. Luka yang
kotor/ tertutup memungkinkan keadaan anaerob yang ideal untuk pertumbuhan
Clostridium tetani. Sebagai portal/ jalan masuk lainnya dapat juga luka gores
yang ringan kemudian menjadi bernanah; gigi berlubang yang dikorek dengan
benda yang kotor atau luka yang dibersihkan dengan kain yang kotor.
Organisme multiple membentuk dua toksin yaitu tetanospasmin yang
merupakan toksin kuat dan atau neurotropik yang dapat menyebabkan
ketegangan dan spasme otot, dan mempengaruhi system saraf pusat. Kemudian
tetanolsin yang tampaknya tidak significance. Hipotesa cara absorbsi dan
bekerjanya toksin adalah Pertama, toksin diabsorbsi pada ujung saraf motorik
dan melalui aksis silindrik dibawa ke kornu anterior susunan saraf pusat. Kedua,
Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk ke dalam sirkulasi darah arteri
kemudian masuk ke dalam susunan saraf pusat. Toksin tersebut bersifat seperti
antigen, sangat mudah diikat oleh jaringan saraf dan bila dalam keadaan terikat
tidak dapat lagi dinetralkan oleh antitoksin spesifik. Tetapi toksin yang bebas
dalam peredaran darah sangat mudah dinetralkan oleh antitoksin. Hal ini penting
untuk pencegahan dan pengobatan penyakit tetanus ini. Toksin bereaksi pada
myoneural junction yang menghasilkan otot menjadi kejang dan mudah sekali
terangsang. Masa inkubasi 2 hari sampai 2 bulan dan rata rata 10 hari. Kasus
yang sering terjadi adalah 14 hari. Sedangkan untuk neonatus biasanya pada
hari ke - 5 sampai hari ke - 14. ( Ngastiyah 2005).
d. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan fisik, adanya luka dan ketegangan otot yang khas terutama pada
rahang
b. Pemeriksaan darah ( kalsium dan fosfat )
c. Pemeriksaan darah leukosit 8.000-12.000 m/L, peninggian tekanan otak, deteksi
kuman
d. Pemeriksaan ECG dapat terlihat gambaran aritmia ventrikuler

e. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien anak dengan penyakit tetanus (Suriadi,
2010), antara lain :

a. Dirawat di ruang perawatan intensif


b. Pemberian ATS 20.000 U secara IM didahului oleh uji kulit dan mata
c. Antikejang dan penenang (fenobarbital bila kejang hebat, diazepam, largakttil )
d. Antibiotik ( PP 50.000 U/KgBB/hari )
e. Diit tinggi kalori dan protein
f. Perawatan Isolasi
g. Pemberian oksigen pemasangan NGT bila perlu intubasi dan trakeostomi bila
indikasi
h. Pemberian terapi intravena bila indikasi

2.1.4 Konsep Dasar DHF

a. Pengertian
Demam berdarah dengue atau dengue haemorrhagic fever adalah penyakit yang
disebabkan oleh virus dengue yang masuk kedalam tubuh melalui gigitan nyamuk Aedes
Aegypti (WHO,2009).

b. Etiologi
Menerut Depkes (2005), penyebab DBD adalah virus dengue, yang mana
memiliki 4 serotipe yaitu dengue-1, dengue -2, dengue-3, dengue-4 dan telah
ditemukan di seluruh Indonesia, serta termasuk dalam group B Arthropod Borne
Virus (Arbovirus). Saat ini Indonesia yang dominan adalah dengue-3.
Nyamuk aedesaegypti mengalami metamorphosis di dalam air mulai dari telur-
jentik-kepongpong-nyamuk.Telur menetas menjadi jentik berlangsung selama
dua hari terendam dalam air, stadium jentik berlangsung selama enam sampai
delapan hari dan stadium kepongpong selama dua sampai empat hari serta dari
telur menjadi nyamuk dewasa berlangsung selama Sembilan sampai sepuluh
hari (Depkes,2005).
c. Patofisiologi
Padaseranganirus dengue untukpertama kali
tubuhakanmembentukkekebalanspesifikkhususuntuk dengue
tetapimasihmemungkinkanuntukdiseranguntukkeduakalinyaataulebihkarenaadale
bihdarisatutipeirus dengue (nadesul,2007). Orang yang terinfeksi virus dengue
untukpertama kali
umumnyahanyamenderitademamringandanbiasanyasembuhsendiridalamwaktu 5
haripengobatan, (Depkes,2005). Infeksi virus dengue selanjutnyadengantipe
virus yang berbedaakanmenyebabkanpenyakit DBD (Nadesul,2007).
Setelah virus msukkedalamtubuhmaka virus akanberkembangbiak di
retikuloendotelsel (sel-selmasenhimdengandayafagosit)
sehinggatubuhmengalamiviremia (darahmengandung virus) yang
menyebabkanterbentuknya virus antibody,
sehinggamenyebabkanagregrasitrombosit yang
berdampakterjadinyatrombositopenia, aktivitaskoagulasi yang
berdampakmeningkatnyapermeabilitaskapilersehinggaterjadikebocoran plasma,
aktivasikomplemenjugaakanberdampakpadapermeabilitaskapilersehinggdapatterj
adikebocoran plasma dantimulsyok (WHO,2009).
d. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaanlaboratorium yang perludilakukanmeliputi:

1. Pemeriksaantrombosit, dimanaditemukantrombositopenia (100.000/µl ataukurang).


2. Adanykebocoran plasma
karenapeningkatkanpermeabilitaskapilerdenganmanifestasisebagaiberikut:
a. Peningkatan hematocrit ≥ 20% darinilaistandart.
b. Peningkatan hematocrit setelah≥ 20% setelahmendapatterapicairan.
c. Efusi pleura/pericardial,asites, hipoproteinemia.

Duadarikriteriagejalaklinispertamaditambahsatudarikriterialaboratorium(
atauhanyapeningkatan hematocrit) ckupuntukmenegakkan diagnosis kerja DBD.

e. Penatalaksanaan

Penatalaksanaandemamberdarah dengue tanpasyok

Penatalaksanaandisesuaikandengangambarklinismaupunfase, danuntuk diagnosis DBD


padaderajat I dan II menunjukkanbahwaanakmengalami DBD
tanpasyoksedangkanpadaderajat III danderajat IV makaanakmengalami DBD
disertaidengansyok.

Tatalaksanaanuntukanak yang dirawat di rumahsakitmeliputi:

1. Berikananakbanyakminumlaruratanoralitatau jus buah,airtajin,airsirup,


susuuntukmengganticairan yang hilangakibatkebocoran plasma, demam, munta,
diare.
2. Berikanparacetamolbilademam, janganberikanasetosalatau ibuprofen
karenadapatmerangsangterjadinyaperdarahan.
3. Berikaninfussesuaidengandehidrasisedang:
 Berikanhanyalarutan isotonic seperti ringer laktat/asetat
 Kebutuhancairan parenteral
a) Beratbadan< 15 kg : 7 ml/kgBB/jam
b) Beratbadan 14-40 kg : 5 ml/kgBB/jam
c) Beratbadan> 40 kg : 3 ml/kgBB/jam
 Pantautanda vital dan diuresis setiap jam, sertaperiksalaboratorium
(hematocrit, trombosit, leukosit, dan hemoglobin) tiap 6 jam.
 Apabilaterjadipenurunanhematrocitdanklinismembaik,turunkanjumlahcairanse
carabertahapsampaikeadaanstabil.
Cairanintravenabiasanyahanyamemerlukanwaktu 24-48 jam
sejakkebocaranpembuluhkapilerspontansetelahpemberiancairan.
4. Apabilaterjadipemburukanklinismakaberikantatalaksanasesuaidengantatalaksanasyo
terkompensasi
Penatalaksanaandemaberdara dengue dengansyok

Penatalaksanaan DBD menurut WHO (2008), meliputi:

1. Perlakuansebagaigawatdarurat. Berikanoksigen 2-4 L/menitsecara nasal.


2. Berikan 20 ml/kg laeutankristaloidseperti ringer laktat/asetansecepatnya.
3. Jikatidakmenunjukkanperbaikanklinis, ulaingipemberiankristaloid 20
ml/kgBBsecepatnya (maksimal 30 menit) ataupertimbanganpemberiankoloid 10-
20ml/kg/BB/24jam.
4. Jikatidakadaperbaikanklinistetapi hematocrit dan hemoglobin
menurunpertimbangkanterjadinyaperdarahantersembunyi: berikan transfuse
darah/komponen.
5. Jikaterdapatperbaikanklinis (pengisiankapilerdanperfusiperifermulaimembaik,
tekanannadimelebar), jumlahcairan di kurangihingga 10ml/kgBBdalam 2-4 jam
dansecarabertahap di turunkan 4-6 jam sesuaikondisiklinislaboratorium.
6. Dalambanyakkasus, cairanintravenadapat di hentikansetelah 36-48 jam.
Perludiingatbanyakkematianterjadikarenapemberiancairanterlalubanyakdaripadapem
berian yang terlalisedikit.
2.1.5 Konsep Dasar Thypoid
a. Pengertian

Tifus abdominalis merupakan penyakit infeksi yang terjadi pada usus halus yang
disebabkan oleh Salmonella thypii, yang ditularkan melalui makanan, mulut atau
minuman yang terkontaminasi oleh kuman Salmonella thypii (Hidayat, 2006).

Menurut Nursalam et al. (2008), demam tipoid adalah penyakit infeksi akut yang
biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 1
minggu, gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran.

Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman
Salmonella thypii ( Arief Mansjoer, 2000).

b. Etiologi
c. Penyebab penyakit ini adalah jenis Salmonella typhosa, kuman ini memiliki
ciri-ciri sebagai berikut:
d. a. Basil gram negatif yang bergerak dengan bulu getar dan tidak
berspora.
e. b. Memiliki paling sedikit 3 macam antigen, yaitu antigen O (somatic
yang terdiri atas zat kompleks lipopolisakarida), antigen H (flagella), dan
antigen Vi. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium pasien, biasanya
terdapat zat anti (aglutinin) terhadap ketiga macam antigen tersebut.
f. Salmonella terdiri atas beratus-ratus spesies, namun memiliki susunan
antigen yang serupa, yaitu sekurang-kurangnya antgen O (somatik) dan
antigen H (flagella). Perbedaan diantara spesies tersebut disebabkan oleh
faktor antigen dan sifat biokimia.
g. Mekanisme masuknya kuman di awali dengan infeksi yang terjadi pada
saluran pencernaan, basil diserap oleh usus melalui pembuluh limfe lalu
masuk ke dalam peredaran darah samapai keorgan-organ lain, terutama hati
dan limpa. Basil yang tidak dihancurkan berkembang biak dalam hati dan
limpa sehingga organorgan tersebut akan membesar disertai dengan rasa
nyeri pada perabaan, kemudian basil masuk kembali ke dalam darah
(bakterimia) dan menyebar keseluruh tubuh terutama dalam kelenjar limfoid
usus halus, sehingga menimbulkan tukak berbentuk lonjong pada mukosa
diatas plak penyeri; tukak tersebut dapat menimbulkan perdarahan dan
perforasi usus. Gejala demam disebabkan oleh endotoksin, sedangkan gejala
pada saluran pencernaan disebabkan oleh kelainan pada usus.
c.Patofisiologi

f. Polio
Polio, kependekan dari poliomyelitis, adalah penyakit yang dapat merusak sistem
saraf dan menyebabkan paralysis.Penyakit ini paling sering terjadi pada anak-anak di
bawah umur 2 tahun.Infeksi virus ini mulai timbul seperti demam yang disertai panas,
muntah dan sakit otot.Kadang-kadang hanya satu atau beberapa tanda tersebut, namun
sering kali sebagian tubuh menjadi lemah dan lumpuh (paralisis).Kelumpuhan ini paling
sering terjadi pada salah satu atau kedua kaki. Lambat laun, anggota gerak yang lumpuh
ini menjadi kecil dan tidak tumbuh secepat anggota gerak yang lain.
Polio (Poliomielitis) adalah penyakit menular yang akut disebabkan oleh virus polio
dengan predileksi pada sel anterior massa kelabu sumsum tulang belakang dan inti
motorik batang otak, dan akibat kerusakan bagian susunan syaraf tersebut akan terjadi
kelumpuhan serta atropi otot.
Poliomielitis atau polio adalah penyakit paralysis atau lumpuh yang disebabkan oleh
virus.Agen pembawa penyakit ini, sebuah virus yang dinamakan poliovirus (PV) masuk
ketubuh melalui mulut, menginfeksi saluran usus. Virus ini dapat memasuki aliran darah
dan mengalir kesistem saraf pusat menyebabkan melemahnya otot dan kadang
Kelumpuhan (paralysis).
.
d. Penyebab Polio
Agen pembawa penyakit polio adalah sebuah virus yang dinamakan poliovirus (PV),
masuk ke tubuh melalui mulut, menginfeksi saluran usus dan menyebar ke sistem saraf
yang dibawa melalui aliran darah.
2.1.2 Patofisiologi
Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal
dengan 5F yaitu Food(makanan), Fingers(jari tangan/kuku), Fomitus (muntah),
Fly(lalat), dan melalui Feses.
Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman salmonella
thypi kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat,
dimana lalat akan hinggap dimakanan yang akan dikonsumsi oleh orang yang
sehat. Apabila orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti
mencuci tangan dan makanan yang tercemar kuman salmonella thypi masuk ke
tubuh orang yang sehat melalui mulut. Kemudian kuman masuk ke dalam
lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian
lagi masuk ke usus halus bagian distal dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam
jaringan limpoid ini kuman berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah dan
mencapai sel-sel retikuloendotelial. Sel-sel retikuloendotelial ini kemudian
melepaskan kuman ke dalam sirkulasi darah dan menimbulkan bakterimia,
kuman selanjutnya masuk limpa, usus halus dan kandung empedu.
Semula disangka demam dan gejala toksemia pada typhoid disebabkan oleh
endotoksemia. Tetapi berdasarkan penelitian eksperimental disimpulkan bahwa
endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam pada typhoid.
Endotoksemia berperan pada patogenesis typhoid, karena membantu proses
inflamasi lokal pada usus halus. Demam disebabkan karena salmonella thypi dan
endotoksinnya merangsang sintetis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada
jaringan yang meradang.
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung selama 7-14 hari (bervariasi antara 3-
60 hari) bergantung jumlah dan strain kuman yang tertelan. Selama masa
inkubasi penderita tetap dalam keadaan asimtomatis. (Soegeng soegijanto,
2002)
d. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Suryadi (2006) pemeriksaan pada klien dengan typhoid adalah pemeriksaan
laboratorium, yang terdiri dari:

B. Pemeriksaan leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat
leukopenia dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering
dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan
darah tepi berada pada batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat leukosit
walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan
jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam typhoid.
C. Pemeriksaan SGOT DAN SGPT
SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali
normal setelah sembuhnya typhoid.
D. Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan
darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini
dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor:
a. Teknik pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain, hal
ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu
pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat
bakteremia berlangsung.
b. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Biakan darah terhadap Salmonella thypii terutama positif pada minggu pertama
dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah
dapat positif kembali.
c. Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan antibodi
dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah
negatif.
d. Pengobatan dengan obat anti mikroba.
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba
pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin
negatif.

E. Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).
Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella thypii terdapat dalam serum klien
dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang
digunakan pada uji widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan
diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan adanya
aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita typhoid. Akibat infeksi oleh
Salmonella thypii, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :
a. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh
kuman).
b. Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel kuman).
c. Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai
kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya
untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita typhoid.
F. Pemeriksaan Tubox
Pemeriksaan yang dapat dijadikan alternatif untuk mendeteksi penyakit demam
tifoid lebih dini adalah mendeteksi antigen spesifik dari kuman Salmonella
(lipopolisakarida O9) melalui pemeriksaan IgM Anti Salmonella (Tubex TF).
Pemeriksaan ini lebih spesifik, lebih sensitif, dan lebih praktis untuk deteksi dini
infeksi akibat kuman Salmonella thypii. Keunggulan pemeriksaan Tubox TF antara
lain bisa mendeteksi secara dini infeksi akut akibat Salmonella thypii, karena
antibody IgM muncul pada hari ke 3 terjadinya demam. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas yang tinggi terhadap
kuman Salmonella (lebih dari 95%). Keunggulan lain hanya dibutuhkan sampel darah
sedikit, dan hasil dapat diperoleh lebih cepat.
e.Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Medis

Pasien yang di rawat dengan diagnosis observasi tifus abdominalis harus dianggap
dan diperlakukan langsung sebagai pasien tifus abdominalis dan di berikan perawatan
sebagai berikut:

1. Perawatan
 Klien diistirahatkan 7 hari sampai demam hilang atau 14 hari untuk mencegah
komplikasi perdarahan usus.
 Mobilisasi bertahap bila tidak ada panas, sesuai dengan pulihnya kondisi bila ada
komplikasi perdarahan.
2. Diet
 Makanan mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi protein
 Bahan makanan tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang kerja
usus dan tidak mengandung gas, dapat diberikan susu 2 gelas sehari
 Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring.
 Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim.
 Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama 7
hari.
3. Obat-obatan
Obat-obat yang dapat di berikan pada klien dengan thypoid yaitu :

 Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever


terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mg/kg/hari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari.
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun.
Pemberian Intra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak
dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau
didapatkan infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari.
Kelemahan dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh,
dan carier.

 Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan


sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10 mg/kg/hari
dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian
secara syrup dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi
2 kali selama 2 minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini
adalah terjadinya gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik,
Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada beberapa Negara antibiotika
golongan ini sudah dilaporkan resisten.

 Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan


dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk anak- anak golongan
obat ini cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis yang diberikan untuk
anak 100-200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu. Penurunan
demam biasanya lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol.

 Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime), merupakan


pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari
Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella
typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan dosis 100 mg/kg/hari IVdibagi
dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan
cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan
Per oral dapat diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai
syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit
untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang


diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera
dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika metronidazol.

2.1.6 Konsep Dasar Poliomielitis


a. Pengertian
Polio, kependekan dari poliomyelitis, adalah penyakit yang dapat
merusak sistem saraf dan menyebabkan paralysis.Penyakit ini paling
sering terjadi pada anak-anak di bawah umur 2 tahun.Infeksi virus ini
mulai timbul seperti demam yang disertai panas, muntah dan sakit
otot.Kadang-kadang hanya satu atau beberapa tanda tersebut, namun
sering kali sebagian tubuh menjadi lemah dan lumpuh
(paralisis).Kelumpuhan ini paling sering terjadi pada salah satu atau
kedua kaki. Lambat laun, anggota gerak yang lumpuh ini menjadi kecil
dan tidak tumbuh secepat anggota gerak yang lain.
Polio (Poliomielitis) adalah penyakit menular yang akut disebabkan oleh
virus polio dengan predileksi pada sel anterior massa kelabu sumsum
tulang belakang dan inti motorik batang otak, dan akibat kerusakan
bagian susunan syaraf tersebut akan terjadi kelumpuhan serta atropi otot.
Poliomielitis atau polio, adalah penyakit paralysis atau lumpuh yang
disebabkan oleh virus.Agen pembawa penyakit ini, sebuah virus yang
dinamakan poliovirus (PV), masuk ketubuh melalui mulut, menginfeksi
saluran usus. Virus ini dapat memasuki aliran darah dan mengalir
kesistem saraf pusat menyebabkan melemahnya otot dan kadang
kelumpuhan (paralysis).

b. Etiologi
Agen pembawa penyakit polio adalah sebuah virus yang dinamakan
poliovirus (PV), masuk ke tubuh melalui mulut, menginfeksi saluran
usus dan menyebar ke sistem saraf yang dibawa melalui aliran darah.
c. Patofisiologi
Virus hanya menyerang sel-sel dan daerah susunan syaraf tertentu.
Tidak semua neuron yang terkena mengalami kerusakan yang sama
dan bila ringan sekali dapat terjadi penyembuhan fungsi neuron dalam
3-4 minggu sesudah timbul gejala. Daerah yang biasanya terkena polio
ialah :
1. Medula spinalis terutama kornu anterior
2. Batang otak pada nucleus vestibularis dan inti-inti saraf cranial serta formasio
retikularis yang mengandung pusat vital
3. Sereblum terutama inti-inti virmis
4. Otak tengah “midbrain” terutama masa kelabu substansia nigra dan kadang-
kadang nucleus rubra
5. Talamus dan hipotalamus
6. Palidum, dan
7. Korteks serebri, hanya daerah motoric
a. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan darah, cairanserebrospinal dan isolasi
virus polio.
A. Pemeriksaan Lab lainnya :
a. Pemeriksaan darah
b. Cairan serebrospinal
c. Isolasi virus polio.
B. Pemeriksaan radiologi
b. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Medis
a. Penatalaksanaan Medis
1. Poliomielitis aboratif
 Diberikan analgetk dan sedative
 Diet adekuat
 Istirahat sampai suhu normal untuk beberapa hari,sebaiknya dicegah aktifitas
yang berlebihan selama 2 bulan kemudian diperiksa neurskeletal secara teliti.
2. Poliomielitis non paralitik
 Sama seperti aborif
 Selain diberi analgetika dan sedative dapat dikombinasikan dengan kompres
hangat selama 15 – 30 menit,setiap 2 – 4 jam.
3. Poliomielitis paralitik
 Perawatan dirumah sakit
 Istirahat total
 Selama fase akut kebersihan mulut dijaga
 Fisioterafi
 Akupuntur
 Interferon

Poliomielitis asimtomatis tidak perlu perawatan.Poliomielitis abortif diatasi dengan


istirahat 7 hari jika tidak terdapat gejala kelainan aktifitas dapat dimulai
lagi.Poliomielitis paralitik/non paralitik diatasi dengan istirahat mutlak paling sedikit
2 minggu perlu pemgawasan yang teliti karena setiap saat dapat terjadi paralysis
pernapasan.

Fase akut :

Analgetik untuk rasa nyeri otot.Lokal diberi pembalut hangat sebaiknya dipasang
footboard (papan penahan pada telapak kaki) agar kaki terletak pada sudut yang
sesuai terhadap tungkai..Pada poliomielitis tipe bulbar kadang-kadang reflek menelan
tergaggu sehingga dapat timbul bahaya pneumonia aspirasi dalam hal ini kepala anak
harus ditekan lebih rendah dan dimiringkan kesalah satu sisi.

Sesudah fase akut :

Kontraktur.atropi,dan attoni otot dikurangi dengan fisioterafy. Tindakan ini dilakukan


setelah 2 hari demam hilang.

2.2.1 Konsep Asuhan Keperawatan Campak

A. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah utama dan dasar utama dari proses keperawatan
yang mempunyai 2 kegiatan pokok yaitu :
1.Pengumpulan Data
a. Anamnese
a) Identitas penderita
Meliputi nama anak, umur : rentan pada anak berumur 1-14 th dengan status
gizi yang kurang dan sering mengalami penyakit infeksi, jenis kelamin (L dan
P pervalensinya sama), suku bangsa, no register, tanggal masuk rumah sakit,
diagnosa medis.
b) Keluhan utama
Anak masuk rumah sakit biasanya dengan keluhan adanya eritema
dibelakang telinga, di bagaian atas lateral tengkuk, sepanjang rambut dan
bagian belakang bawah, badan panas, enantema ( titik merah ) dipalatum
durum dan palatum mole.
c) Riwayat kesehatan sekarang
Pada anak yang terinfeksi virus campak biasanya ditanyakan pada orang tua
atau anak tentang kapan timbulnya panas, batuk, konjungtivitis, koriza,
bercak koplik dan enantema serta upaya yang telah dilakukan untuk
mengatasinya.
d) Riwayat kesehatan dahulu
Anak belum pernah mendapatkan vaksinasi campak dan pernah kontak
dengan pasien campak.
e) Riwayat kesehatan keluarga
Apakah anak belum mendapatkan vaksinasi campak.
f) Riwayat imunisasi
Imunisasi apa saja yang sudah didapatkan misalnya BCG, POLIO I,II, III; DPT
I, II, III; dan campak.
g) Riwayat nutrisi
Kebutuhan kalori 4-6 tahun yaitu 90 kalori/kg/hari.Pembatasan kalori untuk
umur 1-6 tahun 900-1300 kalori/hari. Untuk pertambahan berat badan ideal
menggunakan rumus 8 + 2n.
Status Gizi
Klasifikasinya sebagai berikut :
- Gizi buruk kurang dari 60%
- Gizi kurang 60 % - <80 %
- Gizi baik 80 % - 110 %
- Obesitas lebih dari 120 %

h) Riwayat tumbuh kembang anak.


a. Tahap pertumbuhan
Pada anak umur lima tahun, perkiraan berat badan dalam kilogram mengikuti
patokan umur 1-6 tahun yaitu umur ( tahun ) x 2 + 8. Tapi ada rata-rata BB
pada usia 3 tahun : 14,6 Kg, pada usia 4 tahun 16,7 kg dan 5 tahun yaitu 18,7
kg. Untuk anak usia pra sekolah rata – rata pertambahan berat badan 2,3
kg/tahun.Sedangkan untuk perkiraan tinggi badan dalam senti meter
menggunakan patokan umur 2- 12 tahun yaitu umur ( tahun ) x 6 + 77.Tapi
ada rata-rata TB pada usia pra sekolah yaitu 3 tahun 95 cm, 4 tahun 103 cm,
dan 5 tahun 110 cm. Rata-rata pertambahan TB pada usia ini yaitu 6 – 7,5
cm/tahun.Pada anak usia 4-5 tahun fisik cenderung bertambah tinggi.

b. Tahap perkembangan.
§ Perkembangan psikososial ( Eric Ercson ) : Inisiatif vs rasa
bersalah.Anak punya insiatif mencari pengalaman baru dan jika anak
dimarahi atau diomeli maka anak merasa bersalah dan menjadi anak
peragu untuk melakukan sesuatu percobaan yang menantang
ketrampilan motorik dan bahasanya.
§ Perkembangan psikosexsual ( Sigmund Freud ) : Berada pada fase
oedipal/ falik ( 3-5 tahun ).Biasanya senang bermain dengan anak
berjenis kelamin berbeda.Oedipus komplek ( laki-laki lebih dekat dengan
ibunya ) dan Elektra komplek ( perempuan lebih dekat ke ayahnya ).
§ Perkembangan kognitif ( Piaget ) : Berada pada tahap preoperasional
yaitu fase preconseptual ( 2- 4 tahun ) dan fase pemikiran intuitive ( 4- 7
tahun ). Pada tahap ini kanan-kiri belum sempurna, konsep sebab akibat
dan konsep waktu belum benar dan magical thinking.
§ Perkembangan moral berada pada prekonvensional yaitu mulai
melakukan kebiasaan prososial : sharing, menolong, melindungi,
memberi sesuatu, mencari teman dan mulai bisa menjelaskan peraturan-
peraturan yang dianut oleh keluarga.
§ Perkembangan spiritual yaitu mulai mencontoh kegiatan keagamaan dari
ortu atau guru dan belajar yang benar – salah untuk menghindari
hukuman.
§ Perkembangan body image yaitu mengenal kata cantik, jelek,pendek-
tinggi,baik-nakal, bermain sesuai peran jenis kelamin, membandingkan
ukuran tubuhnya dengan kelompoknya.
§ Perkembangan sosial yaitu berada pada fase “ Individuation – Separation
“. Dimana sudah bisa mengatasi kecemasannya terutama pada orang
yang tak di kenal dan sudah bisa mentoleransi perpisahan dari orang tua
walaupun dengan sedikit atau tidak protes.
§ Perkembangan bahasa yaitu vokabularynya meningkat lebih dari 2100
kata pada akhir umur 5 tahun. Mulai bisa merangkai 3- 4 kata menjadi
kalimat. Sudah bisa menamai objek yang familiar seperti binatang,
bagian tubuh, dan nama-nama temannya. Dapat menerima atau
memberikan perintah sederhana.
§ Tingkah laku personal sosial yaitu dapat memverbalisasikan
permintaannya, lebih banyak bergaul, mulai menerima bahwa orang lain
mempunyai pemikiran juga, dan mulai menyadari bahwa dia mempunyai
lingkungan luar.
§ Bermain jenis assosiative play yaitu bermain dengan orang lain yang
mempunyai permainan yang mirip.Berkaitan dengan pertumbuhan fisik
dan kemampuan motorik halus yaitu melompat, berlari, memanjat,dan
bersepeda dengan roda tiga.

b. Pemeriksaan fisik ( had to toe )


a) Status kesehatan umum
Meliputi keadaan penderita, kesadaran, tinggi badan, berat badan, dan tanda- tanda
vital.
b) Kepala dan leher
- Inspeksi :
Kaji bentuk kepala, keadan rambut, kulit kepala, konjungtivitis, fotofobia, adakah
eritema dibelakang telinga, di bagian atas lateral tengkuk, sepanjang rambut dan
bagian belakang bawah.
- Palpasi :
adakah pembesaran kelenjar getah bening di sudut mandibula dan didaerah leher
belakang,

c) Mulut
- Inspeksi :
Adakah bercak koplik di mukosa bukalis berhadapan dengan molar bawah, enantema
di palatum durum dan palatum mole, perdarahan pada mulut dan traktus digestivus.

d) Toraks
- Inspeksi :
Bentuk dada anak, Adakah batuk, secret pada nasofaring, perdarahan pada hidung.
Pada penyakit campak, gambaran penyakit secara klinis menyerupai influenza.
- Auskultasi :
Ronchi / bunyi tambahan pernapasan.

e) Abdomen
- Inspeksi :
Bentuk dari perut anak. Ruam pada kulit.
-Auskultasi
Bising usus.
-Perkusi
Perkusi abdomen hanya dilakukan bila terdapat tanda abnormal, misalnya masa atau
pembengkakan.

e) Kulit
- Inspeksi :
Eritema pada kulit, hiperpigmentasi, kulit bersisik.
- Palpasi :
Turgor kulit menurun

2. Analisa Data
Data yang sudah terkumpul selanjutnya dikelompokkan dan dilakukan analisa serta
sintesa data. Dalam mengelompokkan data di bedakan atas data subyektif objektif.
Data yang telah dikelompokkan tadi dianalisa sehingga dapat diambil kesimpulan
tentang masalah keperawatan dan kemungkinan penyebab.

B. Diagnosa Keperawatan
Penilaian klinis tentang respon individu, keluarga atau komunitas terhadap proses
kehidupan / masalah kesehatan.
Adapun diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien campak adalah sebagai berikut :
1. Gangguan termoregulasi b/d penyakit yang dialami.
2. Ketidak efektifan jalan napas : ketidak mampuan mengeluarkan secret b/d
penumpukan secret pada nasofaring.
3. Kerusakan integritas kulit b/d infeksi virus morbili.
4. Kekurangan volume cairan tubuh b/d demam, diare, muntah.
5. Gangguan rasa aman dan nyaman b/d rasa gatal.
6. Resiko terjadinya komplikasi : bronkopneumonia b/d keadaan umum
anak kurang baik.
2.2.2 Konsep Asuhan Keperawatan Difteri

a. Pengkajian

1.Biodata

Umur : Biasanya terjadi pada anak-anak umur 2-10 tahun dan jarang ditemukan pada bayi
berumur dibawah 6 bulan dari pada orang dewasa diatas 15 tahun

Suku bangsa : Dapat terjadi diseluruh dunia terutama di negara-negara miskin

Tempat tinggal : Biasanya terjadi pada penduduk di tempat-tempat pemukiman yang rapat-
rapat, higine dan sanitasi jelek dan fasilitas kesehatan yang kurang

2.Keluhan Utama

Klien marasakan demam yang tidak terlalau tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia,
lemah

3.Riwayat Kesehatan Sekarang

Klien mengalami demam yang tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia

4.Riwayat Kesehatan Dahulu

Klien mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring, dan saluran nafas atas
dan mengalami pilek dengan sekret bercampur darah

5.Riwayat Penyakit Keluarga

Adanya keluarga yang mengalami difteri

6.Pola Fungsi Kesehatan

aPola nutrisi dan metabolisme

Jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoraksia

bPola aktivitas

Klien mengalami gangguan aktivitas karena malaise dan demam

cPola istirahat dan tidur


Klien mengalami sesak nafas sehingga mengganggu istirahat dan tidur

dPola eliminasi

Klien mengalami penurunan jumlah urin dan feses karena jumlah asupan nutrisi kurang
disebabkan oleh anoreksia

II.Pemeriksaan Fisik

aTTV

Nadi : meningkat

TD : menurun

RR : meningkat

Suhu : kurang dari 38°C

bInspeksi : lidah kotor, anoreksia, ditemukan pseudomembran

cAuskultasi : nafas cepet dan dangkal

III.Pemeriksaan Penunjang

apemeriksaan terhadap apus tenggorokan dan dibuat biakan di laboratorium.

bUntuk melihat kelainan jantung, bisa dilakukan pemeriksaan EKG.

IV.Penatalaksanaan

Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah masa akut terlampaui.
Kontak penderita diisolasi sampai tindakan-tindakan berikut terlaksana :

a. biakan hidung dan tenggorok

b. seyogyanya dilakukan tes Schick (tes kerentanan terhadap diphtheria)

c. diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati.

Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan toksoid diphtheria.

Hasil Kultur
Test Shick

Tindakan

Bebas isolasi

Pengobatan carrier

+, gejala (-)

ADS + Penisilin

Toksoid

VI.Diagnosa Keperawatan

Berdasarkan asuhan keperawatan NANDA (2015):

1. Ketidakefektifan pola nafas b.d edema faring

2.Penurunan curah jantung b.d edema kongesti, perubahan volume sekuncup, perubahan
kontraktilitas jantung

3. Ansietas b.d perubahan status kesehatan anaknya

2.2.3 Konsep Asuhan Keperawatan Tetanus

a. Pengkajian
 Identitas pasien : nama, umur, tanggal lahir, jenis kelamin, alamat, tanggal masuk,
tanggal pengkajian, diagnosa medik, rencana terapi
 Identitas orang tua:
Ayah : nama, usia, pendidikan, pekerjaan, agama, alamat.
Ibu : nama, usia, pendidikan, pekerjaan, agama, alamat
 Identitas sudara kandung
b. Keluhan utama/alasan masuk RS.
c. Riwayat Kesehatan
 Riwayat kesehatan sekarang
 Riwayat kesehatan masa lalu
 Ante natal care
 Natal
 Post natal care
 Riwayat kesehatan keluarga
d. Riwayat imunisasi
e. Riwayat tumbuh kembang
 Pertumbuhan fisik
 Perkembangan tiap tahap
f. Riwayat Nutrisi
 Pemberin ASI
 Susu Formula
 Pemberian makanan tambahan
 Pola perubahan nutrisi tiap tahap usia sampai nutrisi saat ini

g. Riwayat Psikososial
h. Riwayat Spiritual
i. Reaksi Hospitalisasi ( Pemahaman keluarga tentang sakit yang rawat nginap )
j. Aktifitas sehari-hari
 Nutrisi
 Cairan
 Eliminasi BAB/BAK
 Istirahat tidur
 Olahraga
 Personal Hygiene
 Aktifitas/mobilitas fisik
 Rekreasi
k. Pemeriksaan Fisik
 Keadaan umum klien
 Tanda-tanda vital
 Antropometri
 Sistem pernafasan
 Sistem Cardio Vaskuler
 Sistem Pencernaan
 Sistem Indra
 Sistem muskulo skeletal
 Sistem integument
 Sistem Endokrin
 Sistem perkemihan
 Sistem reproduksi
 Sistem imun
 Sistem saraf : Fungsi cerebral, fungsi kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, fungsi
cerebelum, refleks, iritasi meningen

l. Pemeriksaan tingkat perkembangan


 0 sampai 6 tahun dengan menggunakan DDST ( Motorik kasar, motorik halus, bahasa,
personal sosial )
 6 tahun ke atas ( Perkembangan Kognitif, Psikoseksual, Psikososial)
m. Tes Diagnostik
n. Terapi

b. Diagnosa Keperawatan

a. Kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sputum pada
trakea dan spame otot pernafasan.
b. Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otot-
otot pernafasan.
c. Ketidakseimbangan volume cairan tubuh : Kurang cairan dan elektrolit berhubungan
dengan intake yang kurang dan oliguria
d. Perubahan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan efeks toksin (bakterimia)
e. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kekakuan otot
pengunyah
f. Risiko terjadi trauma / jatuh berhubungan dengan sering kejang
g. Gangguan pemenuhan kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan kondisi lemah dan
sering kejang
h. Kurangnya pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakit tetanus dan
penanggulangannya berhubungan dengan kurangnya informasi.
i. Kurangnya kebutuhan istirahat berhubungan dengan seringnya kejang

2.2.4 Konsep Asuhan Keperawatan DHF


1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal yang dilakukan perawat untuk mendapatkan data yang
dibutuhkan sebelum melakukan asuhan keperawatan . pengkajian pada pasien dengan
“DHF” dapat dilakukan dengan teknik wawancara, pengukuran, dan pemeriksaan fisik.
Adapun tahapan-tahapannya meliputi :
* Mengidentifikasi sumber-sumber yang potensial dan tersedia untuk memenuhi kebutuhan
pasien.
* Kaji riwayat keperawatan.
* Kaji adanya peningkatan suhu tubuh ,tanda-tanda perdarahan, mual, muntah, tidak nafsu
makan, nyeri ulu hati, nyeri otot dan sendi, tanda-tanda syok (denyut nadi cepat dan lemah,
hipotensi, kulit dingin dan lembab terutama pada ekstrimitas, sianosis, gelisah, penurunan
kesadaran).

2. Diagnosa keperawatan yang Muncul


1. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi virus dengue.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah, tidak
ada nafsu makan.
3. Ketidakefektifan pola nafas b.d jalan nafas terganggu akibat spasme otot-otot
2.2.5 Konsep Asuhan Keperawatan Thypoid
a. Pengkajian

1. Riwayat Kesehatan Sekarang


Mengapa pasien masuk Rumah Sakit dan apa keluahan utama pasien, sehingga
dapat ditegakkan prioritas masalah keperawatan yang dapat muncul.
2. Riwayat Kesehatan Sebelumnya
Apakah sudah pernah sakit dan dirawat dengan penyakit yang sama.
3. Riwayat Kesehatan Keluarga
Apakah ada dalam keluarga pasien yang sakit seperti pasien.
4. Riwayat Psikososial
Intrapersonal : perasaan yang dirasakan klien (cemas / sedih)
Interpersonal : hubungan dengan orang lain.
5.
6. Pola Fungsi kesehatan
Pola nutrisi dan metabolisme :
7. Biasanya nafsu makan klien berkurang karena terjadi gangguan pada usus halus.
Pola istirahat dan tidur
8. Selama sakit pasien merasa tidak dapat istirahat karena pasien merasakan sakit
pada perutnya, mual, muntah, kadang diare.
9. Pemeriksaan Fisik
o Kesadaran dan keadaan umum pasien
Kesadaran pasien perlu di kaji dari sadar - tidak sadar (composmentis -
coma) untuk mengetahui berat ringannya prognosis penyakit pasien.
o Tanda - tanda vital dan pemeriksaan fisik Kepala - kaki
TD, Nadi, Respirasi, Temperatur yang merupakan tolak ukur dari keadaan
umum pasien / kondisi pasien dan termasuk pemeriksaan dari kepala sampai
kaki dengan menggunakan prinsip-prinsip inspeksi, auskultasi, palpasi,
perkusi), disamping itu juga penimbangan BB untuk mengetahui adanya
penurunan BB karena peningakatan gangguan nutrisi yang terjadi, sehingga
dapat dihitung kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan.

a. Diagnosa Keperawatan
Diagnosis Keperawatan yang muncul menurut NANDA (2015) yaitu:

a. Ketidakefektifan termoregulasi b.d fluktasi suhu lingkungan, proses


penyakit.

b. Nyeri akut b.d proses peradangan


c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang
tidak adekuat.

d. Resiko kekurangan volume cairan

e. Konstipasi b.d penurunan motilitas traktus gastrointestinal (penurunan


motilitas usus)
2.2.6 Konsep Asuhan Keperawatan Poliomeilitis

A. Pengkajian

1) Riwayat kesehatan

Riwayat pengobatan penyakit-penyakit dan riwayat imunitas

2) Pemeriksaan fisik

a. Nyeri kepala

b. Paralisis

c. Refleks tendon berkurang

d. Kaku kuduk

e. Brudzinky

B. Diagnosa Keperawatan

1. Perubahan nutrisi dari kebutuhan tubuh b/d anoreksia, mual dan muntah

2. Hipertermi b/d proses infeksi

3. Resiko ketidakefektifan pola nafas dan ketidakefektifan jalan nafas b/d


paralysis otot

4. Nyeri b/d proses infeksi yang menyerang syaraf

5. Gangguan mobilitas fisik b/d paralysis

6. Kecemasan pada anak dan keluarga b/d kondisi penyakit.

You might also like