You are on page 1of 12

BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN
Inkontinensia urin merupakan eliminasi urin dari kandung kemih yang tidak terkendali atau
terjadi diluar keinginan.(Brunner & Suddart. 2002)
Inkontinensia urin merupakan urin yang keluar tidak terkendali dan tidak diduga.(Mary
Baradero,dkk. 2009)
Inkontinensia urin ialah kehilangan control berkemih yang dapat bersifat sementara atau
menetap. (Potter & Perry. 2006)

B. KLASIFIKASI
Menurut Brunner & Suddart:
1. Inkontinensia stress
Merupakan eliminasi urin diluar keinginan melalui uretra sebagai akibat dari peningkatan
mendadak pada tekanan intra-abdomen. Tipe inkontinensia ini paling sering ditemukan pada
wanita dan dapat disebabkan oleh cedera obstetric, lesi kolum vesika urinaria, kelainan ekstrinsik
pelvis, fistula, disfungsi detrusor dan sejumlah keadaan lainnya. Disamping itu, gangguan ini
dapat terjadi karena kelainan congenital (ekstrofi vesika urinaria, ureter ektopik).
2. Inkontinensia urgensi
Terjadi bila pasien merasakan dorongan atau keinginan untuk urinasi tetapi tidak mampu
menahannya cukup lama sebelum mencapai toilet. Pada banyak kasus, kontraksi kandung kemih
yang tidak dihambat merupakan factor yang menyertai; keadaan ini dapat terjadi pada pasien
disfungsi neurologi yang mengganggu penghambatan kontraksi kandung kemih atau pada pasien
dengan gejala local iritasi akibat infeksi saluran kemih atau tumor kandung kemih.

3. Inkontinensia overflow
Ditandai oleh eliminasi urin yang sering dan kadang-kadang terjadi hampir terus-menerus
dari kandung kemih. Kandung kemih tidak dapat mengosongkan isinya secara normal dan
mengalami distensi yang berlebihan. Meskipun eliminasi urin terjadi dengan sering,kandung
kemih tidak pernah kosong. Inkontinensia overflow dapat disebabkan oleh kelainan neurologi
(yaitu, lesi medulla spinalis) atau oleh factor-faktor yang menyumbat saluran keluar urin
(yaitu,penggunaan obat-obatan, tumor, struktur dan hyperplasia prostat).
4. Inkontinensia fungsional
Merupakan inkontinensia dengan fungsi saluran kemih bagian bawah yang utuh tetapi ada
factor lain, seperti gangguan kognitif berat yang membuat sulit untuk mengidentifikasi perlunya
urinasi (misalnya demensia Alzheimer) atau gangguan fisik yang menyebabkan pasien sulit atau
tidak mungkin menjangkau toilet untuk melakukan urinasi.
5. Inkontinensia reflex
Merupakan kehilangan urin yang tidak disadari bila volume tertentu telah tercapai, terjadi
pada Interval yang dapat diperkirakan. Gangguan neurologic seperti pada lesi sum-sum tulang
belakang. (Barbara C. Long. 1996)

C. ETIOLOGI
1. Cerebral clouding
Merupakan gangguan pengendalian serebral berupa status mental yang disifatkan dengan
bingung, penurunan persepsi, kurang perhatian dan mengakibatkan disorientasi terhadap waktu,
tempat, dan lain-lain.
2. Infeksi
3. Gangguan jalur dari saraf pusat (lesi korteks)
4. Lesi neuron atas
5. Lesi motor neuron bawah
6. Kerusakan jaringan
D. FAKTOR YANG BERHUBUNGAN
Factor-faktor yang ada hubungan
Penyebab Kesadaran Kemampuan Busur Respon akibatnya
inkontinensia kebutuhan korteks refleks kandung
urin untuk untuk kemih
berkemih menahan terhadap
berkemih pengisian
Cerebral terganggu Terganggu Bekerja Normal Berkemih
clouding tidak
terkendali
akibat respon
reflek.
Infeksi Bekerja Bekerja tapi Mendapat Meningkat Berkemih
terkalahkan stimulus karena
oleh respon tidak respon reflek
reflek yang normal yang kuat
kuat (terpaksa).
Gangguan Berkurang Terganggu Bekerja Meningkat Berkemih
jalur dari sel karena
saraf pusat respon
(lesi korteks) reflek.
Lesi neuron Rusak Rusak Bekerja, Meningkat Berkemih
atas tapi tidak karenarespon
tepat reflek.
Lesi motor Rusak Rusak Rusak atau Rusak atau Distensi atau
neuron bawah terganggu terganggu pengosongan
tidak
sempurna.
Kerusakan bekerja Ada, tapi bekerja normal Hilang
jaringan berfungsi kendali
karena berkemih
respon otot karena otot-
jelek otot
terganggu.

D. MANIFESTASI KLINIS
1. Inkontinensia stress : Keluarnya urin selama batuk, mengedan, dan sebagainya. Gejala-gejala ini
sangat spesifik untuk inkontinensia stress.
2. Inkontinensia urgensi : ketidak mampuan menahan keluarnya urin dengan gambaran seringnya
terburu-buru untuk berkemih.
3. Enuresis nocturnal : 10% anak usian 5 tahun dan 5% anak usia 10 tahun mengompol selama
tidur. Mengompol pada anak yang lebih tua merupakan sesuatu yang abnormal dan menunjukan
adanya kandung kemih yang tidak stabil.
4. Gejala infeksi urine (frekuensi, disuria, nokturia), obstruksi(pancara lemah, menetes), trauma
(termasuk pembedahan, misalnya reseksi abdominoperineal), fistula (menetes terus menerus),
penyakit neurologis (disfungsi seksual atau usus besar) atau penyakit sistemik (misalnya
diabetes) dapat menunjukan penyakit yang mendasari.
5. Ketidak nyamanan daerah pubis.
6. Distensi vesika urinaria.
7. Ketidak sanggupan untuk berkemih.
8. Sering berkemih, saat vesika urinaria berisi sedikit urine (20-50 ml).
9. Ketidak seimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan asupannya.
10. Meningkatkan keresahan dan keinginanan berkemih.
11. Adanya urine sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.
12. Tidak merasakan urine keluar.
13. Kandung kemih terasa penuh walaupun telah buang air kecil.

E. PATOFISIOLOGI
Pengendalian kandung kencing dan sfinkter diperlukan agar terjadi pengeluaran
urin secara kontinen. Pengendalian memerlukan kegiatan otot normal diluar kesadaran dan yang
di dalam kesadaran yang dikoordinasi oleh reflex urethrovesica urinaria. Pengertian tentang
keteraturan stimulus saraf dan kegiatan otot dapat membantu perawat bagaimana kontinen dapat
dapat dipertahankan.
Bila terjadi pengisian kandung kecing, tekanan didalam kandung kemih
meningkat. Otot detrusor (lapisan yang tiga dari dinding kandung kencing) memberikan respon
dengan relaksasi agar memperbesar volume daya tampung. Bila titik daya tampung telah dicapai,
biasanya 150 sampai 200 ml urin daya rentang reseptor yang terletak pada dinding kandung
kemih mendapat rangsang. Stimulus ditransmisi lewat serabut reflek eferan ke lengkungan pusat
reflex untuk mikstrurirasi. Impuls kemudian disalurkan melalui serabut eferen dari lengkungan
refleks ke kandung kemih, menyebabkan kontraksi otot detrusor.
Sfinkter interna yang dalam keadaan normal menutup, serentak bersama-sama
membuka dan urin masuk ke urethra posterior. Relaksasi sfinkter eksterna dan otot perincal
mengikuti dan isi kandung kemih keluar. Pelaksanaan kegiatan refleks bisa mengalami interupsi
dan berkemih ditangguhkan melalui dikeluarkannya impuls inhibitori dari pusat kortek yang
berdampak kontraksi diluar kesadaran dari sfinker eksterna. Bila salah satu bagian dari fungsi
yang komlek ini rusak, bisa terjadi inkontinensia urin.
Cerebral clouding (fungsi otak menurun) pada orang lanjut usia adalah biasa.
Pada banyak kejadian orang lanjut usia inkontinen karena berkurangnya kesadaran kebutuhan
untuk mengosongkan kandung kemih. Bentuk inkontinen ini seringkali tidak ada hubungan
dengan kelainan patologi pada tingkat otak. Cerebral clouding terjadi juga pada orang sakit akut
yang menderita begitu sakit sehingga otak tumpul. Mereka tidak dapat berfikir dan tidak
mempunyai energy untuk mengendalikan di luar kesadaran. Demikian juga seseorang dalam
keadaan koma mengalami inkontinen, karena hilangnya kemampuan diluar kesadaran
pembukaan sfinter eksterna. Bila air kencing sudah masuk ke urethra posterior, kandung kencing
berkontraksi dan air kemih keluar. Hal seperti ini menyebabkan kenapa seseorang berkemih pada
waktu anesthesia.
Infeksi dimana saja pada saluran kemih dapat berdampak inkontinen, karena
bakteri pada saluran kemih menyebabkan iritasi pada lapisan mukosa kandung kemih dan
menstimulir rethrovesica urinaria.
inkontinen terjadi sebagai dampak dari ketidakmampuan untuk menahan reflek urethro vesica
urinaria dengan sempurna oleh pusat-pusat yang lebih tinggi.
Gangguan reflek urethro vesicalis dapat terjadi karena lesi tulang sum-sum belakang atau rusak
saraf perifer dari kandung kemih. Bentuk kontinen ini dapat terlihat pada orang dengan malforsi
sum-sum belakang, cedera, tumor dan pada mereka dengan komprs sum-sum akibat patah
vertebra, diskus yang hernia, tumor metastase di sum-sum belakang pasca bedah. Bentuk
kesulitan ini dapat berakibat kepada dua jenis respon yang dikenal sebagai neurogenik vesicalis.
Orang yang menderita neurogenic vesikalis tidak mempunyai cara untuk mengetahui kapan
berkemih itu terjadi.
Cedera diatas tingkat S2 dari sum-sum belakang atau gangguan pusat cerebrocortical tidak
merusak reflek berkemih, walupun bisa menghilangkan keteraturan. Lesi bisa merusak potensi
kortek untuk menahan reflek. Dampaknya adalah “motor neuron atas” atau kandung kencing
yang automatis. Kandung kemih menjadi hipertosis dan hanya mempunyai sedikit kapasitas
(kurang dari 150 ml). Peningkatan tonus detrusor dan peningkatan sensitifitas terhadap jumlah
urin yang sedikit di dalam kandung kemih berdampak mendahului reflek berkemih dan
berpotensi terjadi refluks vesicourethral.
Kerusakan saraf cauda equina atau segmen sakrum bisa berdampak pada lengkungan refleks oleh
interupsi aferennya, eferannya oleh komponen sentral. Berakibat terjadi “motor neuron bawah”
atau kandung kemih lemah. Kandung kemih menjadi hipotonis dengan kapasitas 500 ml atau
lebih. Inkontinen luapan, retensi residu urin, dan potensi vesicourethra refluks merupakan
masalah yang didorong oleh kandung kemih yang hipotosis.
Inkontinen karena luapan dianggap disebabkan oleh tekanan dari kandung kemih yang distensi
oleh otot-otot abdomen. Residu urin adalah, urin yang masih berada di dalam kandung kemih
setelah pengosongan yang tidak sempurna, merupakan media untuk berkembangnya bakteri dan
infeksi saluran kemih menjadi lumrah.
Kerusakan jaringan dari sfingter kandung kemih oleh instrumen, bedah atau kecelakaan, parut
yang ditinggalkan infeksi, lesi yang mengenai sfingter atau relaksasi struktur perineum dapat
berakibat intontinen urin. Sebab inkontinen yang akhir kadang-kadang sering timbul setelah
melahirkan anak. Masalah sifatnya lokal dan tidak menyangkut saraf.
F. PENATALAKSANAAN
1. Kateterisasi
Ada tiga macam kateterisasi pada inkontinensia urine :
a. Kateterisasi luar
Terutama pada pria yang memakai system kateter kondom. Efek samping yang utama adalah
iritasipad kulit dan sering lepas.
b. Katerisasi intermiten
Katerisasi secara intermiten dapat dicoba, terutam pada wanita lanjut usia yang menderita
inkontinensia urine. Frekuensi pemasangan 2-4x sehari dengan sangat memperhatikan sterilisasi
dan tehnik prosedurnya.
c. Kateterisasi secar menetap
Pemasangan kateter secara menetap harus benar-benar dibatasi pada indikasi yang tepat.
Misalnya untuk ulkus dekubitus yang terganggu penyembuhannya karena ada inkontinensia
urine ini. Komplikasi dari kateterisasi secara terus-menerus ini disamping infeksi. Juga
menyebabkan batu kandung kemih, abses ginjal dan bahkan proses keganasan dari saluran
kemih.
2. Medikasi
a. Estrogen, untuk mengurangi atropik vanigitis uretra dan memulihkan uretra yang supel
b. Antikolinergik, untuk mengurangi spastisitas kandung kemih, relaksasi otot.
c. Kolinergik, untuk memperbaiki kandung kemih yang flaksid dengan menstimulasi kontraksi
kandung kemih.
d. Penyekat alfa-adrenergik, untuk mengurangi spastisitas leher kandung kemih
e. Simpatomimetik, untuk meningkatkan tonus leher kandung kemih dan uretra
f. Penyekat saluran kalsium, untuk mengurangi kontraksi otot detrusor.
3. Diet
Modifikasi diet terdiri dari penjadwalan asupan cairan. Asupan cairan setelah makan malam
perlu dikurangi.makanan yang dapat menstimulasi kandung kemih perlu dihindari, misalnya
kopi, the, alcohol, dan cokelat.

Pengelolaan inkontinensia urine pada penderita usia lanjut, secara garis besar dapat dikerjakan
sebagai berikut :
a. Program rehabilitasi
1) Melatih respon kandung kemihagar baik lagi
2) Melatih perilaku berkemih
3) Latihan otot-otot dasar panggul
4) Modifikasi tempat untuk berkemih
5) Kateterisasi baik secara berkala atau menetap
6) Obat-obatan, antara lain untuk relaksasi kandung kemih, esterogen
7) Pembedahan, misalnya untuk mengangkat penyebab sumbatan atau keadaan patologi lain.
Menurut Kane dkk, untuk masing-masing tipe dari inkontinensia ada beberapa hal khusus yang
dianjurkan, misalnya :
1. Inkontinensia tipe stress
a. Latihan otot-otot dasar panggul
b. Latihan penyesuaian berkemih
c. Obat-obatan untuk merelaksasi kandung kemih dan estrogen
d. Tindakan pembedahan memperkuat muara kandung kemih
2. Inkontinensia tipe urgensi
a. Latihan mengenal berkemih dan menyesuaikan
b. Obat-obatan untuk merelaksasikan kandung kemih dan estrogen
c. Tindakan pembedahan untuk mengambil sumbatan dan lain-lain keadaan patologik yang
menyebabkan iritasi saluran kemih bagian bawah.
3. Inkontinensia tipe fungsional
a. Penyesuaian sikap berkemih antara lain dengan jadwal dan kebiasaan berkemih
b. Pakaian dalam dan kain penyerap khusus lainnya.
c. Penyesuaian atau modifikasi lingkungan tempat berkemih.
d. Kalau perlu digunakan obat-obatan yang merelaksasikan kandung kemih

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tes diagnostik pada inkontinensia urin (Menurut Ouslander)
Tes diagnostik pada inkontinensia perlu dilakukan untuk mengidentifikasi faktor yang potensial
mengakibatkan inkontinensia, mengidentifikasi kebutuhan klien dan menentukan tipe
inkontinensia.
1. Mengukur sisa urine setelah berkemih
Dilakukan dengan cara : Setelah buang air kecil, pasang kateter, urin yang keluar melalui
kateter diukur atau menggunakan pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila sisa urin > 100 cc berarti
pengosongan kandung kemih tidak adekuat. Urinalisis, dilakukan terhadap spesimen urine yang
bersih untuk mendeteksi adanya factor yang berperan terhadap terjadinya inkontinensia urin
seperti hematuri, piouri, bakteriuri, glukosuria, dan proteinuria. Tes diagnostik lanjutan perlu
dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis belum jelas.
2. Tes lanjutan tersebut adalah :
a) Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium glukosa
sitologi. Tes urodinamik adalah untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian
bawah
b) Tes tekanan urethra adalah mengukur tekanan di dalam urethra saat istirahat dan saat dinamis
3. Imaging adalah tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah.
Pemeriksaan penunjang Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan
alat-alat mahal. Sisa-sisa urine pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisis.
Pengukuran yang spesifik dapat dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urine.
Merembesnya urin pada saatdilakukan penekanan dapat juga dilakukan.
Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan ketika kandung kemih penuh dan ada desakan
keinginan untuk berkemih. Diminta untuk batuk ketika sedang diperiksa dalam posisi litotomi
atau berdiri. Merembesnya urin sering kali dapat dilihat. Informasi yang dapat diperoleh antara
lain saat pertama ada keinginan berkemih, ada atau tidak adanya kontraksi kandung kemih tak
terkendali, dan kapasitas kandung kemih.
4. Laboratorium Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk menentukan
fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuri.
5. Catatan berkemih (voiding record)
Catatan berkemih dilakukan untuk mengetahui pola berkemih. Catatan ini digunakan untuk
mencatat waktu dan jumlah urin saat mengalami inkontinensia urin dan tidak inkontinensia urin,
dan gejala berkaitan dengan inkontinensia urin. Pencatatan pola berkemih tersebut dilakukan
selama 1-3 hari. Catatan tersebut dapat digunakan untuk memantau respon terapi dan juga dapat
dipakai sebagai intervensi terapeutik karena dapat menyadarkan pasien faktor-faktor yang
memicu terjadinya inkontinensia urin pada dirinya.
6. Urinalisis
Digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa dalam urine.
7. Uroflowmeter
Digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan obstruksi pintu bawah
kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien berkemih.
8. Cysometry
Digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih dengan mengukur efisiensi
refleks otot destrusor, tekana dan kapasitas intravesikal, dan reaksi kandung kemih terhadap
rangsangan panas.
9. Urografi ekskretori bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien berkemih :
a. Urografi ekskretorik
Disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk mengevaluasi struktur dan fungsi
ginjal, ureter dan kandung kemih.
b. Kateterisasi residu pascakemih
Digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan kandung kemih dan jumlah urine
yang tersisa dalam kandung kemih setelah pasien berkemih.
10. Sistometrogram dan elektromiogram.
Dilakukan untuk mengevaluasi otot detrusor, spingter dan otot perineum.
11. USG kandung kemih, sistoskopi dan IVP.
Dilakukan untuk mengkaji struktur dan fungsi saluran kemih.

H. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, alamat, suku
bangsa, tanggal, jam MRS, nomor registrasi, dan diagnosa medis.
b. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang mendahului
inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan), masukan cairan, usia/kondisi fisik, kekuatan
dorongan/aliran jumlah cairan berkenaan dengan waktu miksi. Apakah ada penggunaan diuretik,
terasa ingin berkemih sebelum terjadi inkontenin, apakah terjadi ketidakmampuan.
2) Riwayat kesehatan dahulu.
Apakah klien pernah mengalami penyakit serupa sebelumnya, riwayat urinasi dan catatan
eliminasi klien, apakah pernah terjadi trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi
saluran kemih dan apakah dirawat dirumah sakit.
3) Riwayat kesehatan keluarga.
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit serupa dengan klien dan
apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan, penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan.
c. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena respon dari terjadinya
inkontinensia.
2) Pemeriksaan Sistem
a) B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai oksigen menurun. kaji
ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.
b) B2 (blood)
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
c) B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
d) B4 (bladder)
Inspeksi:
Periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat karena adanya aktivitas
mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi
pada bladder, pembesaran daerah supra pubik lesi pada meatus uretra,banyak kencing dan nyeri
saat berkemih menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang kateter
sebelumnya.
Palpasi :
Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar di urera luar
sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu kencing.
e) B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan abdomen, adanya
ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi pada ginjal.
f) B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas yang lain, adakah
nyeri pada persendian.

2. Analisa data
Data Masalah etiologi
DS: Gangguan eliminasi urine Gangguan sensori motor
Biasanya pasien
mengatakan sering
berkemih.
DO:
Inkontinensia urin
Retensi urin

DS: Gangguan citra tubuh Kehilangan fungsi tubuh,


Biasanya klien
perubahan keterlibatan
mengungkapkan perasaan
sosial
yang mencerminkan
perubahan pandangan
tentang tubuh individu.

DO:
Respon nonverbal terhadap
perubahan actual pada
tubuh.
Perubahan actual pada
fungsi danstruktur tubuk
DS: ansietas Perubahan dalam status
Biasanya klien mengatakan
kesehatan
gelisah.
Klien mengeluhkan
kekhawatiran karena
perubahan dalam peristiwa
hidup.
Klien mengatakan susah
tidur.

DO:
Klien tampak cemas.
Klien tampak gelisah.
Klien insomnia.

3. Diagnosa keperawatan
a. Gangguan eliminasi urine b/d gangguan sensori motor.
b. Gangguan citra tubuh b/d kehilangan fungsi tubuh, perubahan keterlibatan sosial.
c. Ansietas b/d perubahan dalam status kesehatan.

4. NCP
Diagnose Criteria hasil Intervensi Aktivitas NIC
keperawatan berdasarkan NOC keperawatan
berdasarkan
NIC
I Urinary contiunence Urinary 1. Lakukan penilaian kemih
Criteria Hasil:
retention care yang komprehensif
1. Kandung kemih kosong
berfokus pada
secara penuh.
2. Tidak ada residu urine inkontinensia(misalnya,
>100-200 cc. output urin, pola berkemih,
3. Intake cairan dalam
fungsikognitif)
rentang normal. 2. Pantau penggunaan obat
4. Balance cairan
dengan sifat antikolinergik
seimbang. 3. Memantau intake dan
output
4. Memantau tingkat distensi
kandung kemih dengan
palpasi atau perkusi
5. Bantu dengan toilet secara
berkala
6. Kateterisasi
II Body image Body image 1. kaji secara verbal dan non
Criteria Hasil:
enhancement verbal respon klien terhadap
1. Body image positif
2. Mampu tubuhnya
2. jelaskan tentang
mengidentifikasi
pengobatan dan perawatan
kekuatan personal
3. Mendeskripsikan secara penyakit
3. identifikasi arti
factual perubahan fungsi
pengurangan melalui
tubuh
4. Mempertahankan pemakaian alat bantu.
4. Fasilitasi kontak dengan
interaksi sosial
individu lain dalam
kelompok lain
III Anxiety self control Anxiety 1. Gunakan pendekatan yang
Criteria hasil:
reduction menenangkan.
1. klien mampu
2. Jelaskan semua prosedur
(penurunan
mengidentifikasi dan
dan apa yang dirasakan
kecemasan)
mengungkapkan gejala
selama prosedur.
cemas. 3. Pahami prespektif klien
2. Mengidentifikasi,
terhadap situasi stress.
mengungkapakan dan 4. Temani pasien untuk
menunjukkan teknik memberikan keamanan dan
untuk mengontrol cemas. mengurangi takut.
3. Postur tubuh, ekspresi 5. Dorong keluarga untuk
wajah, bahasa tubuh dan menemani pasien.
tingkat aktifitas
menunjukkan
berkurangnya
kecemasan.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Inkontinensia urin merupakan eliminasi urin dari kandung kemih yang tidak terkendali
atau terjadi diluar keinginan.(Brunner & Suddart. 2002).
Terdapat lima pengklasifikasian inkontinensia urin, yaitu:
1. Inkontinensia stress
2. Inkontinensia urgensi
3. Inkontinensia overflow
4. Inkontinensia fungsional
5. Inkontinensia reflex

Inkontinensia urin dapat disebabkan oleh cerebral clouding, infeksi, gangguan jalur dari saraf
pusat (lesi korteks), lesi neuron atas, lesi motor neuron bawah, dan kerusakan jaringan.
Inkontinensia urin dapat ditangani dengan beberapa cara,diantaranya adalah:
1. Kateterisasi
2. Medikasi
3. Pengaturan diet
4. Latihan otot panggul.

B. SARAN
Sebagai seorang perawat, sudah menjadi kewajiban untuk memberikan tindakan perawatan
dalam asuhan keperawatan yang diarahkan kepada pembentukan tingkat kenyamanan pasien,
manajemen rasa sakit dan keamanan. Perawat harus mampu mamahami faktor psikologis dan
emosional yang berhubungan dengan diagnosa penyakit, dan perawat juga harus terus
mendukung pasien dan keluarga dalam menjalani proses penyakitnya.
DAFTAR PUSTAKA

Potter & Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Konsep, Proses, dan Praktik. Jakarta:
EGC.
Barbara C. Long. 1996. Perawatan Medikal Bedah. Bandung: Yayasan IAPK Padjajaran Bandung.
Baradero, Marry, dkk. 2009. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Ginjal. Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth. Vol.2.
Edisi 8. Jakarta: EGC.
Nurarif, Amin Huda,dkk. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis &
NANDA NIC NOC. Yogyakarta: Mediaction Publishing.

You might also like