You are on page 1of 32

ASUHAN KEPERAWATAN PERIOPERATIF TURP PADA Tn.

DENGAN INDIKASI BPH DI RUANG KAMAR BEDAH

RSU SILOAM GEDUNG B

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas pelatihan perawat mahir kamar bedah

Disusun oleh :

Ns. Muhammad Mudawam S. Kep

SILOAM HOSPITALS GROUP RSUS – GEDUNG B


JL. Boulevard Jend. Sudirman, LIPPO VILLAGE, 15810
TANGERANG 2018
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohiim

Segala puji dan syukur hanyalah milik Allah SWT yang telah melimpahkan ilmu,

hidayah, kemudahan serta kasih sayang-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

penyusunan karya tulis ini.

Makalah ini diajukan sebagai salah satu persyaratan dalam menyelesaikan Program

Pelatihan Perawat Mahir Kamar Bedah Siloam Training Center serta untuk

mengaplikasikan teori yang didapatkan ke dalam praktek nyata dilapangan. Adapun judul

yang diambil oleh penulis adalah “ ASUHAN KEPERAWATAN PERIOPERATIF TURP

PADA Tn. T DENGAN INDIKASI BPH DI RUANG KAMAR BEDAH RSU SILOAM

Penulis telah berusaha untuk menghasilkan makalah ini dengan sebaik - baiknya,

namun sebagai manusia yang tidak luput dari kekurangan, penulis menyadari makalah ini

masih jauh dari sempurna. Untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis

harapkan.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas

bantuan dan bimbingannya. Ucapan terimakasih penulis tujukan kepada :

1. Bapak Marboen S. Km selaku pembimbing klinik yang telah meluangkan waktu,

tenaga, pikiran, kritikan maupun koreksi yang membangun dalam penyusunan

makalahs ini.

2. Bapak Oktavianus Hendra Hendra Wijaya pembimbing klinik

3. Bapak Ns. Iud Dwi Atmaja S. Kep selaku pembimbing klinik


4. Semua senior OT RSU Siloam dan OT Siloam Lippo Village yang memberikan
bimbingan dan arahan selama praktik klinik.
5. Bapak dan ibu yang banyak memberikan dukungan moril sampai makalah ini tersusun.

6. Sahabat tercinta dan rekan-rekan STC OT 2018 yang sama- sama berjuang selama

mengikuti pelatihan, serta semua pihak yang telah memberikan bantuan sehingga

makalah ini selesai.

Akhirnya penulis mengharapkan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua

pihak atau Perawat Perioperative di Siloam se Indonesia

Wassalam

Tangerang, 25 Juni 2018

Penulis

Ns. Muhammad Mudawam S. Kep


BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Prostat adalah jaringan fibromuskuler dan jaringan kelenjar yang terlihat persis di
inferior dari kandung kencing. Prostat normal beratnya + 20 gr, didalamnya berjalan uretra
posterior + 2,5 cm.
Pada bagian anterior difiksasi oleh ligamentum puboprostatikum dan sebelah
inferior oleh diafragma urogenitale. Pada prostat bagian posterior bermuara duktus
ejakulatoris yang berjalan miring dan berakhir pada verumontanum pada dasar uretra
prostatika tepat proksimal dari spingter uretra eksterna.
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada
saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadinya
pembesaran prostat, resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot
destrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase
penebalan destrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka
destrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi
untuk berkontraksi sehingga terjadi retensio urin yang selanjutnya dapat menyebabkan
hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas. Oleh karena itu penting bagi perawat untuk
mempelajari patofisiologi, manifestasi klinis, prosedur diagnostik dan asuhan keperawatan
yang komprehensif pada klien Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) beserta keluarganya.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengaplikasikan ilmu yang sudah didapat secara nyata dalam memberikan asuhan
keperawatan pada klien dengan BPH secara komprehensif dengan TURP Transurethral
Resection Of The Prostate
2. Tujuan khusus
a. Mampu melaksanakan pengkajian secara menyeluruh pada klien BPH dengan
TURP
b. Mampu menganalisa dan menentukan masalah keperawatan pada klien BPH
dengan TURP
c. Mampu melakukan intervensi dan implementasi untuk mengatasi masalah
keperawatan yang timbul pada klien BPH dengan TURP
d. Mampu mengevaluasi tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan pada klien
BPH dengan TURP

3. Manfaat
a. Secara Teoritis
Makalah ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan baru atau paling
tidak mengingatkan kembali tentang konsep dasar penyakit BPH serta asuhan
keperawatan Perioperative pada klien dengan BPH. Dengan demikian, perawat
diharapkan semakin menyadari perannya sebagai tenaga kesehatan professional
yang perlu meningkatkan ilmu pengetahuan dan kualitas kerja yang efektif dan
efesien dengan menjadikan makalah ini sebagai sumber referensi tentang proses
keperawatan Perioperative klien dengan BPH
b. Secara Aplikatif
Manfaat aplikatif diturunkan dari manfaat teoritis. Makalah ini diharapkan
dapat memberikan contoh asuhan keperawatan perioperative yang tepat, efektif dan
efesien, bermanfaat untuk mendukung proses Pre, Intra dan Post operasi sampai
pemulihan klien dengan BPH.
BAB 2
PEMBAHASAN

A. Definisi
Ada beberapa pengertian penyakit Benigna Prostate Hiperplasia ( BPH ) menurut
beberapa ahli adalah :
1. Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) merupakan perbesaran kelenjar prostat,
memanjang ke atas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan
menutupi orifisium uretra akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal
(hidronefrosis) secara bertahap (Smeltzer dan Bare, 2002).
2. BPH merupakakan pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam
prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang
terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa, prostat tersebut
mengelilingi uretra dan, dan pembesaran bagian periuretral menyebabkan obstruksi
leher kandung kemih dan uretra parsprostatika yang menyebabkan aliran kemih dari
kandung kemih (Price dan Wilson, 2006).
3. BPH merupakan suatu keadaan yang sering terjadi pada pria umur 50 tahun atau lebih
yang ditandai dengan terjadinya perubahan pada prostat yaitu prostat mengalami atrofi
dan menjadi nodular, pembesaran dari beberapa bagian kelenjar ini dapat
mengakibatkan obstruksi urine ( Baradero, Dayrit, dkk, 2007).

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Benigna Prostat


Hiperplasi (BPH) merupakan penyakit pembesaran prostat yang disebabkan oleh proses
penuaan, yang biasa dialami oleh pria berusia 50 tahun keatas, yang mengakibatkan
obstruksi leher kandung kemih, dapat menghambat pengosongan kandung kemih dan
menyebabkan gangguan perkemihan.
B. Tahap Perkembangan Penyakit BPH
Berdasarkan perkembangan penyakitnya menurut Sjamsuhidajat dan De jong (2005)
secara klinis penyakit BPH dibagi menjadi 4 gradiasi :
Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur
ditemukan penonjolan prostat, batas atas mudah teraba dan
sisa urin kurang dari 50 ml
Derajat 2 : Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok dubur
dan batas atas dapat dicapai, sedangkan sisa volum urin
50100 ml.
Derajat 3 : Pada saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas
prostat tidak dapat diraba dan sisa volum urin lebih dari 100
ml.
Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi urine total
C. Anatomi dan Fisiologi Prostat
1. Anatomi Prostat
Menurut Wibowo dan Paryana (2009). Kelenjar prostat terletak dibawah kandung
kemih, mengelilingi uretra posterior dan disebelah proksimalnya berhubungan dengan
buli-buli, sedangkan bagian distalnya kelenjar prostat ini menempel pada diafragma
urogenital yang sering disebut sebagai otot dasar panggul. Gambar letak prostat
terlihat di gambar 2.1

Gambar 1 : Letak anatomi prostat ( Hidayat, 2009 )

Prostat terdiri atas kelenjar majemuk, saluran-saluran, dan otot polos Prostat dibentuk
oleh jaringan kelenjar dan jaringan fibromuskular. Prostat dibungkus oleh capsula
fibrosa dan bagian lebih luar oleh fascia prostatica yang tebal. Diantara fascia
prostatica dan capsula fibrosa terdapat bagian yang berisi anyaman vena yang disebut
plexus prostaticus. Fascia prostatica berasal dari fascia pelvic yang melanjutkan diri
ke fascia superior diaphragmatic urogenital, dan melekat pada os pubis dengan
diperkuat oleh ligamentum puboprostaticum. Bagian posterior fascia prostatica
membentuk lapisan lebar dan tebal yang disebut fascia Denonvilliers. Fascia ini sudah
dilepas dari fascia rectalis dibelakangnya. Hal ini penting bagi tindakan operasi prostat
( Purnomo, 2011).
Gambar 2 : Bagian prostat
Kelenjar prostat merupakan suatu kelenjar yang terdiri dari 3050 kelenjar yang
terbagi atas empat lobus, lobus posterior, lobus lateral, lobus anterior, dan lobus medial.
Lobus posterior yang terletak di belakang uretra dan dibawah duktus ejakulatorius,
lobus lateral yang terletak dikanan uretra, lobus anterior atau isthmus yang terletak di
depan uretra dan menghubungkan lobus dekstra dan lobus sinistra, bagian ini tidak
mengandung kelenjar dan hanya berisi otot polos, selanjutnya lobus medial yang
terletak diantara uretra dan duktus ejakulatorius, banyak mengandung kelenjar dan
merupakan bagian yang menyebabkan terbentuknya uvula vesicae yang menonjol
kedalam vesica urinaria bila lobus medial ini membesar. Sebagai akibatnya dapat
terjadi bendungan aliran urin pada waktu berkemih (Wibowo dan Paryana, 2009).

Menurut Hidayat, 2009 Kelenjar ini pada laki-laki dewasa kurang lebih sebesar
buah walnut atau buah kenari besar. Ukuran, panjangnya sekitar 4 - 6 cm, lebar 3 - 4
cm, dan tebalnya kurang lebih 2 - 3 cm dengan berat sekitar 20 gram. Bagian- bagian
prostat terdiri dari 50 – 70 % jaringan kelenjar, 30 – 50 % adalah jaringan stroma
(penyangga) dan kapsul/muskuler. Bagian prostat terlihat di gambar 2

Prostat merupakan inervasi otonomik simpatik dan parasimpatik dari pleksus


prostatikus atau pleksus pelvikus yang menerima masukan serabut parasimpatik dari
korda spinalis dan simpatik dari nervus hipogastrikus. Rangsangan parasimpatik
meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel prostat, sedangkan rangsangan simpatik
menyebabkan pengeluaran cairan prostat kedalam uretra posterior, seperti pada saat
ejakulasi. System simpatik memberikan inervasi pada otot polos prostat, kapsula
prostat, dan leher buli-buli. Ditempat itu terdapat banyak reseptor adrenergic.
Rangsangan simpatik menyebabkan dipertahankan tonus otot tersebut. Pada usia lanjut
sebagian pria akan mengalami pembesaran kelenjar prostat akibat hiperplasi jinak
sehingga dapat menyumbat uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi
saluran kemih (Purnomo, 2011).

2. Fisiologi
Menurut Purnomo (2011) fisiologi prostat adalah suatu alat tubuh yang
tergantung kepada pengaruh endokrin. Pengetahuan mengenai sifat endokrin ini masih
belum pasti. Bagian yang peka terhadap estrogen adalah bagian tengah, sedangkan
bagian tepi peka terhadap androgen. Oleh karena itu pada orang tua bagian tengahlah
yang mengalami hiperplasi karena sekresi androgen berkurang sehingga kadar estrogen
relatif bertambah. Sel-sel kelenjar prostat dapat membentuk enzim asam fosfatase yang
paling aktif bekerja pada pH 5.
Kelenjar prostat mensekresi sedikit cairan yang berwarna putih susu dan
bersifat alkalis. Cairan ini mengandung asam sitrat, asam fosfatase, kalsium dan
koagulase serta fibrinolisis. Selama pengeluaran cairan prostat, kapsul kelenjar prostat
akan berkontraksi bersamaan dengan kontraksi vas deferen dan cairan prostat keluar
bercampur dengan semen yang lainnya. Cairan prostat merupakan 70% volume cairan
ejakulat dan berfungsi memberikan makanan spermatozon dan menjaga agar
spermatozon tidak cepat mati di dalam tubuh wanita, dimana sekret vagina sangat asam
(pH: 3,5-4). Cairan ini dialirkan melalui duktus skretorius dan bermuara di uretra
posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat
ejakulasi. Volume cairan prostat kurang lebih 25% dari seluruh volume ejakulat.
Dengan demikian sperma dapat hidup lebih lama dan dapat melanjutkan perjalanan
menuju tuba uterina dan melakukan pembuahan, sperma tidak dapat bergerak optimal
sampai pH cairan sekitarnya meningkat 6 sampai 6,5 akibatnya mungkin bahwa cairan
prostat menetralkan keasaman cairan dan lain tersebut setelah ejakulasi dan sangat
meningkatkan pergerakan dan fertilitas sperma ( Wibowo dan Paryana, 2009 ).

3. Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi/penyebab
terjadinya BPH, namun beberapa hipotesisi menyebutkan bahwa BPH erat kaitanya
dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua. Terdapat
perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bila
perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan patologik anatomi
yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka kejadiannya sekitar 50%, untuk usia 80
tahun angka kejadianya sekitar 80%, dan usia 90 tahun sekiatr 100% (Purnomo, 2011)
Etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga
menjadi penyebab timbulnya Benigna Prosat, teori penyebab BPH menurut Purnomo
(2011) meliputi, Teori Dehidrotestosteron ( DHT), teori hormon (ketidakseimbangan
antara estrogen dan testosteron), faktor interaksi stroma dan epitel-epitel, teori
berkurangnya kematian sel (apoptosis), teori sel stem.
a. Teori Dehidrotestosteron ( DHT )
Dehidrotestosteron/ DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting
pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Aksis hipofisis testis dan reduksi
testosteron menjadi dehidrotestosteron ( DHT ) dalam sel prostad merupakan factor
terjadinya penetrasi DHT kedalam inti sel yang dapat menyebabkan inskripsi pada
RNA, sehingga dapat menyebabkan terjadinya sintesis protein yang menstimulasi
pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT
pada BPH tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja
pada BPH, aktivitas enzim 5alfa –reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih
banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitive
terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan
prostat normal.
b. Teori hormone ( ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron)
Pada usia yang semakin tua, terjadi penurunan kadar testosteron sedangkan
kadar estrogen relative tetap, sehingga terjadi perbandingan antara kadar estrogen
dan testosterone relative meningkat. Hormon estrogen didalam prostat memiliki
peranan dalam terjadinya poliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara
meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel
prostat (apoptosis). Meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat
rangsangan testosterone meningkat, tetapi sel-sel prostat telah ada mempunyai
umur yang lebih panjang sehingga masa prostat jadi lebih besar.
c. Faktor interaksi Stroma dan epitel epitel
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung
dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator yang disebut Growth factor.
Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel
stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel
stroma itu sendiri intrakrin dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel
parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya poliferasi sel-sel epitel maupun sel
stroma. Basic Fibroblast Growth Factor (bFGF) dapat menstimulasi sel stroma dan
ditemukan dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran
prostad jinak. bFGF dapat diakibatkan oleh adanya mikrotrauma karena miksi,
ejakulasi atau infeksi.
d. Teori berkurangnya kematian sel ( apoptosis )
Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme
fisiologik untuk mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Pada apoptosis
terjadi kondensasi dan fragmentasi sel, yang selanjutnya sel-sel yang mengalami
apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya, kemudian didegradasi oleh
enzim lisosom. Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju poliferasi
sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat
dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan
seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat baru dengan prostat yang
mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan
menjadi meningkat, sehingga terjadi pertambahan masa prostat.
e. Teori sel stem
Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel baru.
Didalam kelenjar prostat istilah ini dikenal dengan suatu sel stem, yaitu sel yang
mempunyai kemampuan berpoliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat
tergantung pada keberadaan hormone androgen, sehingga jika hormone androgen
kadarnya menurun, akan terjadi apoptosis. Terjadinya poliferasi sel-sel BPH
dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi
yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.

D. Manifestasi Klinis
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan
diluar saluran kemih. Menurut Purnomo (2011) dan tanda dan gejala dari BPH yaitu :
keluhan pada saluran kemih bagian bawah, gejala pada saluran kemih bagian atas, dan
gejala di luar saluran kemih.
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
a. Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan dikandung kemih sehingga
urin tidak bisa keluar), hesitansi (sulit memulai miksi), pancaran miksi lemah,
Intermiten (kencing terputus-putus), dan miksi tidak puas (menetes setelah miksi)
b. Gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi ( perasaan ingin miksi yang
sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi).
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas

Akibat hiperplasi prostat pada sluran kemih bagian atas berupa adanya gejala
obstruksi, seperti nyeri pinggang, benjolan dipinggang (merupakan tanda dari
hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda infeksi atau urosepsis.
3. Gejala diluar saluran kemih

Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit hernia inguinalis atau


hemoroid. Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering mengejan pada saan miksi
sehingga mengakibatkan tekanan intraabdominal. Adapun gejala dan tanda lain yang
tampak pada pasien BPH, pada pemeriksaan prostat didapati membesar, kemerahan,
dan tidak nyeri tekan, keletihan, anoreksia, mual dan muntah, rasa tidak nyaman pada
epigastrik, dan gagal ginjal dapat terjadi dengan retensi kronis dan volume residual
yang besar.

E. Tes Diagnostik
1. Cek darah lengkap, untuk mengevaluasi adanya infeksi dan anemia dalam hematuria
2. Blood Urea Nitrogen (BUN) , untuk mengetahui tingkat serum kreatinin dan
mengevaluasi fungsi renal
3. A Prostate-specific Antigen (PSA), jika terkena kanker prostat dapat diketahui dari
tingkat keasaman fosfat.
4. TRUS (Transrectal Ultrasound Antigen)  untuk mendeteksi adanya kanker prostat,
aliran urine, dan systoscopy
5. Cystoureroscopy : untuk mengevaluasi obstruksi leher kandung kemih
6. Pemeriksaan Trans Abdominal Ultra Sound (TAUS) dapat mendeteksi adanya
hidronefrosis ataupun kerusakan ginjal akibat obstruksi BPH yang lama.

F. Komplikasi
Menurut Sjamsuhidajat dan De Jong (2005) komplikasi BPH adalah :
1. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi
2. Infeksi saluran kemih
3. Involusi kontraksi kandung kemih
4. Refluk kandung kemih
5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus berlanjut maka
pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin yang akan
mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.
6. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi
7. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat terbentuk batu
endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi. Batu tersebut dapat
pula menibulkan sistitis, dan bila terjadi refluks dapat mengakibatkan pielonefritis.
8. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada waktu miksi
pasien harus mengedan.
F. Pathway
G. Penatalaksanaan Medis
1. Konservatif
a. Therapi obat hormonal untuk mengurangi hiperplasia jaringan dengan menurunkan
endogren.
- Finasteride (proscar) block, enzim 5α – reduktase.
- Penyekat reseptor alfa adrenergik, misalnya minipres, cardura, hytrin dan
flamox  untuk melemaskan otot halus kolum kandung kemih dan prostat.
b. Laser Prostaectomy digunakan untuk alternative lain agar tidak dilakukan
pembedahan digunakan untuk memotong jaringan prostat.

2. Pembedahan
Macam-macam pembedahan
a. TUIP (Transurethral incision of the Prostate)
Yaitu dilakukan anastesi local pada pembedahan ini. Pembedahan ini dilakukan
pada pria yang baru mengalami gejala awal dan mengurangi tekanan pada ureter.
b. Transuretral microwave thermotherapy (TUMT): memanaskan dan
menggumpalkan jaringan prostat melalui probe transuretal. Kateter kemih dapat
dibiarkan di tempat selama satu minggu setelah perawatan untuk memfasilitasi
lewatnya jaringan nekrotik dan mencegah retensi urin.
c. Teansuretral nedlle ablation (TUNA): menempatkan jarum frekuensi radio
langsung ke prostat untuk membekukan daerah jaringan spesifik hematuria.
d. Transuretral Resection of the prostate (TURP): suatu operasi pengangkatan
jaringan prostat lewat uretra menggunakan resektoskop. TURP merupakan operasi
tertutup tanpa insisi serta tidak mempunyai efek merugikan terhadap potensi
kesembuhan. Operasi ini dilakukan pada prostat yang mengalami pembesaran
antara 30-60 gram dan kemudian dilakukan reseksi.
Setelah dilakukan TURP, dipasang kateter folly 3 saluran yang dilengkapi balon
30 ml, untuk memperlancar pembuangan gumpalan darah dari kandung kemih.
Irigasi kandung kemih yang konstan dilakukan setelah 24 jam bila tidak keluar
bekuan darah lagi. Kemudian kateter dibilas tiap 4 jam sampai cairan jernih.
Kateter diangkat setelah 3-5 hari setelah operasi dan pasien harus sudah dapat
berkemih dengan lancar. TURP masih merupakan standar emas.

H. Indikasi dan kontraindikasi TURP


Secara umum indikasi untuk metode TURP adalah pasien dengan gejala sumbatan
yang menetap, progresif akibat pembesaran prostat, atau tidak dapat diobati dengan terapi
obat lagi.Indikasi TURP ialah gejala-gejala dari sedang sampai berat, volume prostat
kurang dari 60 gram dan pasien cukup sehat untuk menjalani operasi.

Menurut Agency for Health Care Policy and Research guidelines, indikasi absolute
pembedahan pada BPH adalah sebagai berikut :
1. Retensi ur ine yang berulang.
2. Infeksi saluran kemih rekuren akibat pembesaran prostat.
3. hematuria berulang.
4. Insufisiensi ginjal akibat obstruksi saluran kemih pada kandung kemih.
5. Kerusakan permanen kandung kemih atau kelemahan kandung kemih.
6. Divertikulum yang besar pada kandung kemih yang menyebabkan pengosongan
kandung kemih terganggu akibat pembesaran prostat.

Kontraindikasi TURP
1. Kemampuan klien menjalani bedah dan anastesi lumbal
2. Status kardiopulmoner yang tidak stabil, seperti baru mengalami infark miokard dan
dipasang stent arteri koroner
3. Riwayat kelainan perdarahan yang sulit disembuhkan
4. Klien dengan disfungsi sfingter uretra eksterna pada penderita miastenia gravis, fraktur
pelvis mayor
5. Klien dengan kanker prostat yang baru menjalani radioterapidan kemoterapi
I. Komplikasi TURP
1. Kesulitan berkemih yang temporer, efek anastesi dapat mengurangi sensasi ingin
berkemih setelah operasi. Hal ini dapat menyebabkan klien secara temporer kesulitan
dalam berkemih
2. Infeksi saluran kemih bawah, luka insisi akibat TURP menyebabkan jaringan sekitar
terpapar langsung dengan urine atau kateter, dan dapat menyebabkan infeksi saluran
kemih bagian bawah
3. Rendahnya natrium dalam darah, merupakan komplikasi yang jarang terjadi, namun
dapat menjadi berbahaya, sering juga disebut dengan syndrome TUR (Transurethral
Resection). Hal ini terjadi ketika tubuh mengabsorbsi natrium yang disunakan untuk
membilas luka reseksi TURP.
4. Perdarah yang berlebihan pada urin (hematuria) , aliran urin, mengejan, jaringan reseksi
yang masuk kedalam kandung kemih dapat menyebabkan tercampurnya darah dengan
urin
5. Kesulitan menahan untuk berkemih, sfingter urin internus akan hilang setelah TURP,
klien hanya mengandalkan sfingter urin eksternus
6. Disfungsi seksual, belum diketahui jelas penyebabnya, namun diderita krang lebih 70%
klien pasca TURP. Hal ini dapat dikaitkan dengan fungsi prostat itu sendiri untuk
mengalirkan cairan yang dikeluarkan bersama dengan air mani saat ejakulasi

J. Persiapan Klien TURP:


1. Bila seorang perokok maka harus berhenti merokok beberapa minggu sebelum operasi,
untuk menghindari gangguan proses penyembuhan
2. Bila klien menggunakan obat seperti aspirin dan ibuprofen maka harus berhenti paling
tidak 2 minggu sebelum operasi, hal berhubungan dengan bahwa obat tersebut
mempengaruhi pembekuan darah
3. Beritahu tentang anastesi lumbal, dan posisi litotomi saat bedah berlangsung
4. Riwayat penyakit harus kembali diinformasikan kepada bedah urologi seperti
hipertensi, diabetes, anemia, pernah mengalami operasi apa sebelumnya
5. Informasikan kepada bedah urologi tentang obat dan suplemen yang di konsumsi, baik
yang ada resepnya dari dokter atau non-resep.
6. Pemeriksaan diagnostik (CBC, coagulation profile, urinalisis, Xray, CT abdomen)
7. Puasa paling tidak 8 jam sebelum operasi dilakukan.

Hal-hal yang perlu diberitahu pada klien pasca TURP dintaranya:


1. Ingatkan klien untuk melakukan mobilisasi awal setelah operasi
2. Tarik napas dalam dalam penanganan Nyeri setelah operasi
3. Beri tahu perawat bila keberadaaan kateter berubah setelah operasi
4. Melakukan aktivitas sehari-hari secara bertahap dan kembali keaktivitas normal
setelah 4-6 minggu.
5. Menghindari mengangakat benda berat dan aktivitas sexual setelah 3-4 minggu
6. Menggunkan obat sesuai dengan resep dari dokter terutama menghabiskan antibiotik.

K. Mekanisme TURP
TURP dilakukan dengan memakai alat yang disebut resektoskop dengan suatu
lengkung diathermi. Jaringan kelenjar prostat diiris selapis demi selapis dan dikeluarkan
melalui selubung resektoskop. Perdarahan dirawat dengan memakai diathermi, biasanya
dilakukan dalam waktu 30 sampai 120 menit, tergantung besarnya prostat. Selama operasi
dipakai irigan akuades atau cairan isotonik tanpa elektrolit. Prosedur ini dilakukan dengan
anastesi regional ( Blok Subarakhnoidal / SAB / Peridural ). Setelah itu dipasang kateter
nomer Ch. 24 untuk beberapa hari. Sering dipakai kateter bercabang tiga atau satu saluran
untuk spoel yang mencegah terjadinya pembuntuan oleh pembekuan darah. Balon
dikembangkan dengan mengisi cairan garam fisiologis atau akuades sebanyak 30 – 50 ml
yang digunakan sebagai tamponade daerah prostat dengan cara traksi selama 6 – 24 jam.
Traksi dapat dikerjakan dengan merekatkan ke paha klien atau dengan memberi beban (0,5
kg) pada kateter tersebut melalui katrol. Traksi tidak boleh lebih dari 24 jam karena dapat
menimbulkan penekanan pada uretra bagian penoskrotal sehingga mengakibatkan stenosis
buli – buli karena ischemi. Setelah traksi dilonggarkan fiksasi dipindahkan pada paha
bagian proximal atau abdomen bawah. Antibiotika profilaksis dilanjutkan beberapa jam
atau 24 – 48 jam pasca bedah. Setelah urin yang keluar jernih kateter dapat dilepas .Kateter
biasanya dilepas pada hari ke3–5.Untuk pelepasan kateter, diberikan antibiotika 1 jam
sebelumnya untuk mencegah urosepsis. Biasanya klien boleh pulang setelah miksi baik,
satu atau dua hari setelah kateter dilepas

Gambar Prosedur TURP


ASUHAN KEPERAWATAN BPH dengan TURP

A. Pengkajian
Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan u
ntuk mengumpulan informasi / data tentang klien, agar dapat mengidentifikasi, men
genali masalah, kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien baik fisik, mental, sosi
al dan lingkungan ( Nasrul, E,1995: 18).
1. Pengumpulan data
Data yang perlu dikumpulkan dari klien meliputi :
a. Identitas klien
Merupakan biodata klien yang meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama,
sukubangsaras, pendidikan, bahasa yang dipakai, pekerjaan, penghasilan dan
alamat. Jenis kelamin dalam hal ini klien adalah laki - laki berusia lebih da
ri 50 tahun dan biasanya banyak dijumpai pada ras Caucasian (Donna, D.I,
1991 : 1743 )
b. Keluhan utama
Keluhan utama yang biasa muncul pada klien BPH pasca TURP adalah
nyeri yang berhubungan dengan spasme buli - buli.
Pada saat mengkaji keluhan utama perlu diperhatikan faktor yang mempe
rgawat atau meringankan nyeri ( provokative / paliative
), rasa nyeri yang dirasakan (quality), keganasan / intensitas ( saverity
) dan waktu serangan, lama, kekerapan (time)
c. Riwayat penyakit sekarang
Kumpulan gejala yang ditimbulkan oleh BPH dikenal dengan Lower Urin
ari Tract Symptoms
(LUTS) antara lain : hesitansi, pancar urin lemah, intermitensi, terminal drib
bling, terasa ada sisa setelah selesai miksi,
urgensi, frekuensi dan disuria (Sunaryo, H, 1999 : 12, 13).
Perlu ditanyakan mengenai permulaan timbulnya keluhan, hal-hal yang dapat
menimbulkankeluhan pula bahwa munculnya gejala untuk pertama kali atau
berulang.
1) Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan keadaan penyakit s
ekarang perlu ditanyakan .
Diabetes Mellitus, Hipertensi, PPOM, Jantung Koroner, Dekompensasi
Kordis dan gangguan faal darah dapat memperbesar resiko terjadinya penyulit pas
ca bedah ( Sunaryo, H, 1999 : 11, 12, 29 ). Ketahui pula adanya
riwayat penyakit saluran kencing dan pembedahan terdahulu.
2) Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit pada anggota keluarga yang sifatnya menurun seperti : Hipertensi
, Diabetes Mellitus, Asma perlu digali .
3) Riwayat psikososial
Kaji adanya emosi kecemasan, pandangan klien terhadap
dirinya serta hubungan interaksi pasca tindakan TURP.
4) Pola – pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Timbulnya perubahan pemeliharaan kesehatan karena tirah baring selama 24 jam
pasca TURP. Adanya keluhan nyeri karena spasme buli - buli memerlukan
penggunaan anti spasmodik sesuai terapi dokter (Marilynn. E.D, 2000 : 683).
b. Pola nutrisi dan metabolisme
Klien yang di lakukan anasthesi SAB tidak boleh makan dan
minum sebelum flatus.
c. Pola eliminasi
Pada klien dapat terjadi hematuri setelah tindakan TURP. Retensi urin dapat ter
jadi bila terdapat bekuan darah pada kateter. Sedangkan inkontinensia dapat terj
adi setelah kateter di lepas (Sunaryo, H, 1999: 35)
d. Pola aktivitas dan latihan
Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah dan terpasang tr
aksi kateter selama 6 –
24 jam. Pada paha yang dilakukan perekatan kateter tidak boleh fleksi selama t
raksi masih diperlukan.
e. Pola tidur dan istirahat
Rasa nyeri dan perubahan situasi karena hospitalisasi
dapat mempengaruhi pola tidur dan istirahat.
f. Pola kognitif perseptual
Sistem Penglihatan, Pendengaran, Pengecap, peraba dan
Penghidu tidak mengalami gangguan pasca TURP.
g. Pola persepsi dan konsep diri
Klien dapat mengalami cemas karena ketidaktahuan tentang perawatan dan kom
plikasi pasca TURP.
h. Pola hubungan dan peran
Karena klien harus menjalani perawatan di rumah sakit maka dapat mempengar
uhi hubungan dan peran klien baik dalam keluarga tempat kerja dan masyarakat
.
i. Pola reproduksi seksual
Tindakan TURP dapat menyebabkan impotensi dan ejakulasi retrograde
j. Pola penanggulangan stress
Stress dapat dialami klien karena kurang pengetahuan tentang perawatan dan
komplikasi pasca TURP. Gali
adanya stres pada klien dan mekanisme koping klien terhadap stres tersebut.
5) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan didasarkan pada sistem – sistem tubuh antara lain :
a. Keadaan umum
Setelah operasi klien dalam keadaan lemah dan kesadaran baik, kecuali bila ter
jadi shock. Tensi, nadi dan kesadaran pada fase awal ( 6 jam
) pasca operasi harus diminitor tiap jam dan dicatat. Bila keadaan tetap stabil
interval monitoring dapat diperpanjang misalnya 3 jam sekali .
b. Sistem pernafasan
Klien yang menggunakan anasthesi SAB tidak mengalami kelumpuhan pernapas
an kecuali bila dengan konsentrasi tinggi mencapai daerah thorakal atau servikal
(Oswari, 1989 : 40).
c. Sistem sirkulasi
Tekanan darah dapat meningkat atau menurun
pasca TURP. Lakukan cek Hb untuk mengetahui banyaknya perdarahan dan obs
ervasi cairan (infus, irigasi, per oral) untuk mengetahui masukan dan haluaran.
d. Sistem neurologi
Pada daerah kaudal akan mengalami kelumpuhan
(relaksasi otot) dan mati rasa karena pengaruh anasthesi.
e. Sistem gastrointestinal
Anasthesi menyebabkan klien pusing, mual dan muntah
.Kaji bising usus dan adanya massa pada abdomen .
f. Sistem urogenital
Setelah dilakukan tindakan TURP klien akan mengalami hematuri .
Retensi dapat terjadi bila kateter tersumbat bekuan darah.
Jika terjadi retensi urin, daerah supra sinfiser akan terlihat menonjol, terasa ad
a ballotemen jika dipalpasi dan klien terasa ingin kencing (Sunaryo, H ,1999 :
16). Residual urin dapat diperkirakan dengan cara perkusi. Traksi kateter
dilonggarkan selama 6 - 24 jam (Doddy, 2001 : 6).
g. Sistem muskuloskaletal
Traksi kateter direkatkan di bagian paha klien. Pada paha yang direkatan kateter
tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan. (Tim Keperawatan RSUD. dr.
Soetomo, 1997 : 21).
9) Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorik
Setiap penderita pasca TURP harus di cek kadar
hemoglobinnya dan perlu diulang secara berkala bila urin
tetap merah dan perlu di periksa ulang bila terjadi
penurunan tekanan darah dan peningkatan nadi. Kadar serum kreatinin juga
perlu diulang secara berkala terlebih lagi bila sebelum operasi kadar
kreatininnya meningkat.
Kadar natrium serum harus segera diperiksa bila terjadi sindroma TURP. Bila
terdapat tanda septisemia harus diperiksa kultur urin dan kultur darah (
Tim Keperawatan RSUD dr. Soetomo, 1997)
b. Uroflowmetri
Yaitu pemeriksaan untuk mengukur pancar urin. Dilakukan
setelah kateter dilepas (Lab / UPF Ilmu bedah RSUD dr. Soetomo, 1994 : 114).
b. Analisa dan sintesa data
Setelah data dikumpulkan, dikelompokkan dan dianalisa kemudian data tersebut dirum
uskan ke dalam masalah keperawatan .
Adapun masalah yang mungkin terjadi pada klien BPH pasca TURP antara lain : nyeri, r
etensi urin, resiko tinggi infeksi, resiko tinggi kelebihan cairan, resiko tinggi
ketidakefektifan pola napas, resiko tinggi kekurangan cairan, kurang pengetahuan, inkontine
nsia dan resiko tinggi disfungsi seksual .

3.2 Diagnosa keperawatan

1. Perubahan eliminasi urin b.d. Obstruksi mekanikal : Bekuan darah,edema ; Tekanan


dan iritasi kateter/balon ; Hilang tonus kandung kemih sehubungan dengan distensi
berlebihan praoperasi.
(i) Data Pendukung :
Frekuensi, urgensi, disuria, inkontinensia, retensi, kandung kemih penuh,ketidaknyamanan
suprapubik.

Hasil yang diharapkan :


Pasian akan memperbaiki pola berkemih yang normal tanpa retensi. Pasien akan dapat
mengontrol pola berkemih.

Tindakan/ Intervensi :

1. Kaji pengeluaran urin khususnya selama irigasi kandung kemih R/ Retensi dapat
terjadi karena edema area bedah, bekuan darah, dan spasme kandung kemih.

2. Perhatikan waktu, jumlah berkemih, setelah kateter dilepas. Perhatikan keluhan


rasa penuh kandung kemih; ketidakmampuan berkemih, urgensi.
R/ Kateter biasanya dilepas 2 5 hari setelah pembedahan, tetapi keluhan penuh pada
bladder masih tetap terjadi karena adanya edema pada uretra.

3. Motivasi pasien untuk berkemih jika ada keinginan untuk berkemih.

R/ Mencegah terjadinya retensi urin.

4. Anjurkan pasien untuk minum 3000 ml setiap hari. Batasi cairan pada malam hari,
setelah kateter dilepas.

R/ Mempertahankan hidrasi yang adekuat dan perfusi ginjal untuk aliran urin.

5. Instruksikan pasien untuk latihan perineal, contoh mengencangkan bokong,


menghentikan dan memulai aliran urin.

R/ Membantu meningkatkan kontrol kandung kemih/ sfingter, meminimalkan


inkontinensia.

6. Pertahankan irigasi kandung kemih secara kontinu sesuai indikasi pad periode
pasca operasi.

R/ Mencuci kandung kemih dari bekuan darah dan debris untuk mempertahankan
aliran urin.

2. Risiko tinggi kekurangan volume cairan b.d. area bedah vaskuler ; kesulitan
mengontrol perdarahan, pembatasan pemasukan preoperasi
Data pendukung :
( Tidak dapat diterapkan : adanya tanda-tanda dan gejala membuat diagnosa aktual )
Hasil yang diharapkan :
Mempertahankan hidrasi yang dekuat dengn tandavital stabil, ndi perifer teraba , pengisian
kapiler baik, membran mukosa lembab dan keluaran urin tetap serta tidak ada perdarahan aktif.
Tindakan/ Intervensi :

1. Observasi intake dan output

R/ Indikator keseimbangan cairan dan kebutuhan penggantian.


2. Observasi drainase kateter dan perhatikan perdarahan yang berlebihan/ berlanjut.

R/ dengan mengetahui adanya perdarahan dapat menentukan intervensi yang diberikan


sebagai evaluasi medik.

3. Observasi tanda-tanda vital

R/ Perubahan tanda-tanda vital akibat perdarahan dapat menunjukan terjadinya syok


hipovolemik.
4. Tingkatkan pemasukan cairan 3000 ml Perhari kecuali jika ada R/ kontraindikasi
membilas ginjal / kandung kemih dari bakteri dan debris tetapi dapat mengakibatkan
intoksikasi cairan / kelebihan cairan bila tidak diawasi dengan ketat.

5. Observasi hasil laboratorium sesuai indikasi [ Hb,Ht,jumlah sel darah merah.

R/Berguna dalam mengevaluasi kehilangan darah dan kebutuhan penggantiannya.

3. Risiko tinggi terhadap infeksi b.d. prosedur invasif : alat selama pembedahan, kateter,
irigasi kandung kemih yang sering ; trauma jaringan, insisi bedah.

Data pendukung :

( tidak dapat diterapkan ; adanya tanda-tanda dan gejala-gejala membuat diagnosa aktual ).
Hasil yang diharapkan/ kriteria evaluasi :
Pasien tidak menunjukan terjadinya tanda-tanda infeksi.
Tindakan/Intervensi :
1. Berikan perawatan kateter secara teratur .
R/ Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi.
2. Mengganti balutan dengan sering
R/ balutan yang basah menyebabkan kulit iritasi dan memberikan media untuk pertumbuhan
bakteri
3. Observasi tanda-tanda vital, tanda-tanda infeksI Pemberian antibiotik sesuai indikasi
R/ Untuk mencegah terjadinya infeksi.
4. Nyeri ( akut ) b.d. iritasi mukosa kandung kemih; refleks spasme otot sehubungan
dengan prosedur bedah dan/atau tekanan dari balon kandung kemih.
Data pendukung :
Nyeri spasme kandung kemih
Wajah meringis,gelisah
Hasil yang diharapkan :
- Pasien akan melaporkan nyeri hilang / terkontrol

- Pasien akan menunjukan penggunaan ketrampilan relaksasi dan aktivitas teraupetik sesuai
indikasi untuk situasi individu.

- Pasien akan tampak rileks, tidur/istirahat dengan tenang.

Tindakan / intervensi :

- Pertahankan posisi kateter. Pertahankan selang bebas dari lekukan dan bekuan.

R/ Mempertahankan fungsi kateter dan drainase sistem, menurunkan risiko distensi/ spasme
kandung kemih.
- Tingkatkan pemasukan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi. R/ Menurunkan iritasi
dengan mempertahankan aliran cairan secara tetap ke mukosa kandung kemih.

- Berikan rendam duduk atau lampu penghangat

R/ Meningkatkan perfusi jaringan dan perbaikan edema dan meningkatkan penyembuhan.

- Berikan antispamodik.

R/ Merilekskan otot polos, untuk menurunkan spasme.


5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan b.d.
Kurang mengingat, salah interpretasi data ; kurang terpapar terhadap informasi.
Data Pendukung :
Pasien selalu menanyakan tentang penyakitnya ; Tidak akurat mengikuti instruksi.
Hasil yang diharapkan/ Kriteria evaluasi :

Pasien akan memahami tentang prosedur bedah dan pengobatan, Pasien akan akan
berpartisipasi dalam program pengobatan.
Pendidikan Kesehatan
1. Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake nutrisi; dorong pasien untuk konsumsi buah-
buahan,meningkatkan diet tinggi serat

2. Anjurkan kepada pasien untuk membatasi aktifitas misalnya menghindari mengangkat


beban berat, latihan keras, duduk yang terlalu lama, memanjat tangga.

3. Motivasi latihan berkemih

4. Ajarkan tentang cara perawatan kateter

You might also like